EKONOMI KONVERSI LAHAN SAWAH MENJADI KEBUN
KELAPA SAWIT DI KECAMATAN SELUMA SELATAN
KABUPATEN SELUMA PROVINSI BENGKULU
HAMDAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Ekonomi Konversi Lahan Sawah Menjadi Kebun Kelapa Sawit di Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2012
Abstract
HAMDAN, 2012. The Economics of Rice Field Conversion into Oil Palm Plantation in South Seluma District Seluma Regency Province Bengkulu. Under Supervision of YUSMAN SYAUKAT (chair) and AHYAR ISMAIL (member).
Food security is one of the biggest challenges confronted by Indonesia. High population growth and per capita food consumption increase resulted in increase in demand for national rice production. One of the greatest threats to rice production increase is conversion of irrigated lowland area into oil palm plantations as occurs in Seluma District, Province of Bengkulu. Objective of this study is to identify the factors determining land conversion from rice field into oil palm plantation and to determine the present value of benefit resulted from both land uses. The results of study showed a decrease of irrigated lowland areas in district of Seluma during 2005 to 2010 about 3.934 hectares, the largest decline in rice field area in 2005 to 2007 covering an area of 3.861 hectares in non-irrigated land, while in non-irrigated land the average increase of 997.20 hectare per year. One of the drivers of land conversion is the value of present of land rent in oil palm farm is greater than rice farming, each amount to Rp 118, 20 million per hectare and Rp 106,59 million per hectare. In addition to economic benefits, oil palm farmers also get easier access to sources of capital and production input markets. The results of logistic regression analysis shows that the push and pull factors of wetland conversion into oil palm plantations are irrigated constraints, The risk of rice paddies plantation, the amount of family labor and the level of price of oil palm.
RINGKASAN
HAMDAN, Ekonomi Konversi Lahan Sawah Menjadi Kebun Kelapa Sawit di Kecamatan Seluma Selatan, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Dibimbing oleh Yusman Syaukat sebagai ketua dan Ahyar Ismail sebagai anggota komisi pembimbing.
Kabupaten Seluma merupakan salah satu sentra produksi padi di Provinsi Bengkulu, secara keseluruhan daerah ini memiliki luas areal persawahan 23.748 ha atau 22,59% dari luas sawah Provinsi Bengkulu. Lahan sawah yang dapat ditanami dua kali dalam satu tahun seluas 4.851 ha (20%), dan yang ditanami satu kali dalam satu tahun seluas 13.290 ha (56%) Produktivitas padi didaerah ini mencapai 3,95 merupakan yang tertinggi ketiga setelah Kota Bengkulu dan Kabupaten Kepahiang. Berbagai kendala dalam usahatani padi, pelandaian produksi padi yang terus terjadi akibat degradasi lahan, sarana produksi yang tidak tersedia, hama dan penyakit, irigasi menyebabkan biaya usahatani semakin tinggi yang berarti land rent yang diperoleh semakin menurun. Kondisi ini mendorong petani untuk mencari solusi pengelolaan lahan sawah yang dimiliki untuk memperoleh manfaat yang lebih besar untuk kesejahteraannya, salah satunya adalah konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit.
Meskipun fenomena konversi lahan ini belum menjadi ancaman yang serius terhadap keamanan pangan regional Bengkulu, perhatian terhadap perkembangan konversi lahan harus tetap dilakukan untuk mengantisipasi semakin maraknya konversi lahan. Untuk itu dalam tulisan ini akan dipaparkan tiga tujuan penelitian mengenai keragaan konversi lahan sawah di Kabupaten Seluma, yaitu: (1) Mengestimasi perkembangan laju konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit di Kabupaten Seluma, (2) Mengestimasi nilai land rent dari tanaman pangan selama periode satu tahun dan nilai land rent rata-rata komoditas kelapa sawit selama periode satu tahun serta memproyeksikan nilai land rent dalam Present Value Net Return land rent, dan (3) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit.
Laju konversi lahan sawah terluas di Kabupaten Seluma yang terjadi pada tahun 2005 sampai 2010 mencapai 4.022 hektar, tertinggi tahun 2006 seluas seluas 2.934 hektar kemudian tahun 2007 seluas 927 hektar dan tahun 2009 seluas 161 hektar. Tahun 2005 luas lahan sawah mencapai 23.936 hektar, tahun 2006 turun menjadi 21.002 hektar dan tahun 2007 kembali mengalami penurunan menjadi 20.075 hektar. Pencetakan sawah baru tahun 2008 seluas 3.870 hektar yang dilakukan secara swadaya oleh petani setelah adanya kegiatan perbaikan drainase dan pengeringan pada lahan baku sawah oleh Dinas Pertanian Kabupaten Seluma, sehingga meningkatkan luas lahan sawah menjadi 23.784 hektar pada tahun 2008. Konversi lahan sawah yang terjadi belum menjadi ancaman terhadap ketahanan pangan Kabupaten Seluma, namun kondisi ini perlu dicermati lebih jauh karena ada gejala penurunan produksi padi dan produktivitas dalam tiga tahun terakhir dimana pada tahun 2008 produksi padi mencapai 84.631 ton kemudian turun menjadi 62.629 pada tahun 2010. Produktivitas lahan juga mengalami penurunan, yaitu dari 4,15 ton/ha pada tahun 2007 menjadi 3,94 ton/ha pada tahun 2010.
Hasil analisis ekonomi terhadap usahatani komoditas padi sawah diperoleh nilai land rent rata-rata sebesar Rp 11.742.521/hektar/tahun. Nilai land rent rata-rata komoditas kelapa sawit sebesar Rp 15.533.369/hektar/tahun. Nilai PVNR-land rent dari usahatani padi sawah sebesar Rp 106,587,332/hektar, sedangkan dari usahatani kelapa sawit sebesar 118.195.250/hektar. PVNR-land rent dari kelapa sawit 10,89% lebih tinggi dari sawah atau 1 berbanding 1,11. Artinya land rent yang lebih tinggi dari kelapa sawit merupakan salah satu pendorong konversi lahan, meskipun perubahan ini belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Nilai Tukar Rumah Tangga Petani sebagai indikator kesejahteraan memberikan nilai 0,58 untuk padi sawah dan 0,78 untuk kelapa sawit, dapat dikatakan pengelolaan salah satu komoditas saja dengan luasan 1 hektar belum mampu mensejahterakan petani. Diversifikasi usahatani seperti padi dan kelapa sawit dapat menjadi salah satu solusi peningkatan kesejahteraan petani, tentunya dengan pengaturan dan pengelolaan yang lebih baik.
Push factor konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit adalah kendala irigasi (X1), Resiko usahatani padi sawah (X3), dan jumlah tenaga kerja
keluarga (X5). Faktor kendala irigasi dan resiko usahatani padi berpengaruh
positif terhadap kecenderungan konversi lahan dengan koefisen 3,790 dan 2,835 serta odds ratio 44,267 dan 17,029, artinya peluang untuk mengkonversi lahan lebih besar dibandingkan tidak mengkonversi jika ada kendala irigasi dan resiko usahatani yang semakin tinggi. Variabel jumlah tenaga kerja keluarga berpengaruh negatif dengan koefisien -2,000 dan odds ratio 0,135, artinya peluang mengkonversi lahan akan semakin kecil jika suatu keluarga memiliki tenaga kerja cukup untuk mengelola usahataninya. Pull factor konversi lahan adalah harga tandan buah segar kelapa sawit (X8), variabel ini berpengaruh
positif pada selang kepercayaan 10% dengan koefisien 2,619 dan odds ratio 13,723, artinya kenaikkan harga TBS menyebabkan peningkatan kecenderungan petani untuk mengkonversi lahan sawah 13,723 kali lebih besar dibanding tidak melakukan konversi.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
EKONOMI KONVERSI LAHAN SAWAH MENJADI KEBUN
KELAPA SAWIT DI KECAMATAN SELUMA SELATAN
KABUPATEN SELUMA PROVINSI BENGKULU
HAMDAN
Tesis
Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr. Eka Intan Kumala Putri, MS Ir. Ahyar
Judul Tesis : Ekonomi Konversi Lahan Sawah Menjadi Kebun Kelapa Sawit di Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu
Nama : Hamdan
NRP : H351090151
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M. Ec Ketua
Dr. Ir. Ahyar Ismail, M. Agr Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir Akhmad Fauzi, M.Sc
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc, Agr
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah ekonomi sumberdaya lahan,
dengan judul Ekonomi Konversi Lahan Sawah menjadi Kebun Kelapa Sawit di
Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu. Tulisan ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar master (S2) pada Program
Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan
kepada:
1. Dr. Ir. Yusman Syaukat. M. Ec, ketua Komisi Pembimbing yang penulis
hormati atas segala arahan, ilmu dan kesabaran yang telah diberikan
kepada penulis sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan.
2. Dr. Ir. Ahyar Ismail, M. Agr, anggota komisi pembimbing atas segala ilmu
dan arahan yang telah diberikan kepada penlis.
3. Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc, Ketua Program Studi Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan atas segala ilmu dan motivasinya selama
penulis menyelesaikan pendidikan pascasarjana.
4. Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS, dosen Program Studi Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan atas segala ilmu dan motivasinya selama
penulis menyelesaikan pendidikan pascasarjana.
5. Dosen dan staf Departemen ESL atas bantuan dan kerjasamanya selama
penulis menempuh pendidikan pascasarjana.
6. Pimpinan Badan Litbang Pertanian, Kepala Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor dan Kepala Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Bengkulu, yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk melanjutkan pendidikan.
7. Ayahanda tercinta Ariyus KH. Sampono Endah beserta Ibunda Baiyinah dan
Papa Drs. Djamal Sasta beserta Mama Koen Paryati atas segala doa,
nasehat, motivasi dan kasih sayangnya.
8. Kakak M. Taufiq dan adik-adik tercinta Busyra, Ruhamak, Baihaqi, Raudhah
9. Istri tercinta Shannora Yuliasari yang setia mendampingi dan memberikan
semangat serta membantu penulis selama pendidikan dan penyelesaian
tulisan ini.
10. Anak-anakku tersayang Firaas Althaf dan Mahira Lutfiyah yang selalu
memberikan semangat dan keceriaan.
11. Mamak Ir. Yardha beserta keluarga atas segala bantuan dan motivasinya
sehingga penulis dapat menjalani masa pendidikan dan penyelesaiaan
tulisan ini.
12. Rekan-rekan ESL dan ESK 2009, Pak Bambang ESL 2007, ESL 2008 atas
segala bantuan dan kebersamaan yang dibangun selama ini.
13. Bapak M. Rais dan keluarga yang telah menyediakan akomodasi dan bantuan bagi penulis selama melaksanakan penelitian serta masyarakat Kecamatan Seluma Selatan yang terlibat dalam penelitian ini.
14. Teman-teman dan sahabat penulis Yadi, Said, Kadek, Asti, Ria, Novan, Ongen, Roghib, Eka, Rio, Fadli dan Ririn atas segala bantuan dan kebersamaan selama ini.
15. Bapak/Ibu petugas belajar Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian atas segala informasi dan bantuannya.
Akhir kata, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat
bagi stake holder terkait untuk pengelolaan sumberdaya lahan yang lebih baik guna manfaat sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat dan semoga
tulisan ini dapat menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut.
Bogor, Januari 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Tiga Suku Padang Panjang pada tanggal 21
Juni 1977 dari ayah Ariyus KH. Sampono Endah dan ibu Baiyinah. Penulis
merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara. Tahun 1996 penulis lulus dari
SMA Negeri Padang Panjang dan pada tahun 1997 diterima di Universitas Syiah
Kuala pada Program Studi Agribisnis Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas
Pertanian. Penulis mendapatkan gelar Sarjana Pertanian pada tahun 2002.
Tahun 2002 penulis bekerja sebagai staf peneliti di Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian sampai sekarang. Tahun
2009, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada
Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana,
xii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 5
1.3. Tujuan Penelitian ... 10
1.4. Manfaat Penelitian ... 10
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekonomi Konversi Lahan ... 11
2.2. Rente Lahan (Land Rent)... 14
2.3. Biaya ... 18
2.4. Harga ... 20
2.5. Produktivitas ... 21
2.6. Penerimaan ... 22
2.7. Perubahan Penggunaan Lahan ... 23
III. KERANGKA PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 31
4.2. Jenis dan Sumber Data ... 31
4.3. Metode Pengambilan Sampel ... 32
4.4. Metode Analisis Data ... 33
4.4.1. Analisis Laju Konversi Lahan Sawah ... 33
4.4.2. Analisis Land Rent ... 34
4.4.3. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan ... 37
4.5. Batasan Penelitian ... 40
V.
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
5.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Seluma ... 415.2. Kependudukan ... 42
5.3. Tingkat Pendidikan ... 44
5.4. Struktur Ekonomi Wilayah Kabupaten Seluma ... 44
5.5. Penggunaan Lahan ... 45
5.6. Sub-sektor Tanaman Pangan ... 46
5.7. Sub-sektor Perkebunan ... 47
VI.
HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Keragaan Petani Responden ... 496.2. Analisis Laju Konversi Lahan Sawah ... 50
6.3. Dampak Konversi Lahan terhadap Ketahanan Pangan ... 55
6.4. Analisis Land rent ... 56
6.4.1. Usahatani Padi Sawah ... 57
6.4.2. Usahatani Kelapa Sawit ... 68
6.4.3. Nilai land rent Usahatani Padi dan Kelapa Sawit ... 77
xiii VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan ... 91 7.2. Saran ... 92
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Luas maksimum kepemilikan lahan berdasarkan kepadatan
penduduk ... 25
2. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ... 31
3. Luas wilayah kecamatan di Kabupaten Seluma tahun 2011 ... 40
4. Data Monografi Kabupaten Seluma dirinci menurut kecamatan ... 42
5. Tingkat Pendidikan penduduk Kabupaten Seluma ... 43
6. Distribusi PDRB Kabupaten Seluma atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha ... 44
7. Luas lahan yang sudah diusahakan di Kabupaten Seluma tahun 2010 . 45 8. Luas sawah Provinsi Bengkulu Dirinci Menurut Kabupaten ... 45
9. Luas lahan sawah di kabupaten seluma berdasarkan irigasi ... 46
10. luas tanam komoditi perkebunan rakyat Kabupaten Seluma ... 47
11. Luas areal perkebunan besar swasta/negara di Kabupaten Seluma .... 47
12. Keragaan karakteristik petani responden ... 48
13. Perkembangan luas lahan sawah di Kabupaten Seluma ... 50
14. Laju konversi lahan sawah di Kabupaten Seluma tahun 2005 – 2010 ... 51
15. Perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Seluma tahun 2005 - 2010 ... 52
16. Kondisi ketahanan pangan Kabupaten Seluma tahun 2005-2009 ... 55
17. Penggunaan sarana produksi usahatani padi sawah Pola Tanam I ... 58
18. Alokasi biaya usahatani padi sawah Pola Tanam I ... 59
19. Penerimaan, biaya, dan land rent usahatani pada Pola Tanam I ... 61
20. Penggunaan sarana produksi usahatani padi sawah Pola Tanam II ... 62
21. Penggunaan sarana produksi usahatani palawija pada Pola Tanam II .. 63
22. Alokasi biaya usahatani padi sawah Pola Tanam II ... 64
23. Analisis land rent tanaman palawija jagung, kacang tanah, dan ubi jalar ... 65
24. Rata-rata penerimaan, biaya, dan land rent usahatani per musim pada Pola Tanam II ... 66
25. Profil usahatani kelapa sawit pada lahan sawah yang konversi ... 67
26. Penggunaan sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun pertama ... 69
27. Biaya sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun pertama ... 70
xv
29. Biaya sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun kedua ... 71
30. Penggunaan sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun ketiga ... 72
31. Biaya sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun ke tiga ... 73
32. Biaya sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun ke-4 sampai tahun ke-25 ... 73
33. Penggunaan input usahatani tanaman tumpangsari kelapa sawit ... 74
34. Analisis usahatani tanaman tumpangsari kelapa sawit ... 75
35. Analisis land rent usahatani kelapa sawit ... 76
36. Perbandingan nilai land rent usahatani padi dan kelapa sawit ... 76
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Nilai produk dan kurva biaya untuk ilustrasi konsep land rent sebagai
surplus ekonomi setelah pembayaran biaya produksi ... 16
2. Perbedaan antara land rent dan standar quasi-rent ... 18
3. Diagram model operasional ekonomi konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit di Kecamatan Seluma Selatan ... 28
4. Peta wilayah Kabupaten Seluma ... 41
5. Proses konversi lahan (A) Sporadis, (B) Progresif ... 54
6. Struktur biaya rata-rata usahatani pola tanam Padi-padi ... 60
7. Distribusi biaya usahatani kelapa sawit tahun pertama ... 70
8. Grafik land rent usahatani kelapa sawit tahun 1 – 25 ... 76
xvii DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Biaya rata-rata usahatani padi sawah pola tanam Padi – Padi dan
Padi-Padi-Palawija per hektar per musim tanam ... 102
2. Biaya rata-rata usahatani padi sawah pola tanam Padi – Padi dan
Padi-Padi-Palawija per hektar per musim tanam ... 103
3. Analisis land rent dan PVNR-land rent usahatani padi sawah pola
tanam Padi – Padi - Palawija ( t = 25 tahun, r = 10%) ... 104
4. Potensi produksi tanaman kelapa sawit menurut umur tanaman
pada kelas kesesuaian lahan S2 ... 105
5. Biaya rata-rata usahatani tanaman belum menghasilkan (TBM) dan
tanaman menghasilkan (TM) kelapa sawit ... 106
6. Analisis land rent dan PVNR-land rent usahatani kelapa sawit (r =
10% dan t = 25 tahun) ... 107
7. Hasil olah data regresi logistik faktor-faktor yang mempengaruhi
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kabinet Indonesia Bersatu tahun 2005 mencanangkan strategi Revitalisasi
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK), yang bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan petani hutan, mengurangi
pengangguran, membangun ketahanan pangan, membangun perdesaan, dan
melestarikan lingkungan (KKBP 2005). Harapan dari kebijakan pemerintah ini
adalah menurunkan kemiskinan dari 16,6% (2004) menjadi 8,2% (2009),
menurunkan pengangguran terbuka dari 9,7% (2004) menjadi 5,1% (2009), dan
swasembada beras secara berkelanjutan. Selain itu telah dicanangkan juga
untuk mencapai swasembada beberapa komoditas pertanian seperti jagung
(2007), kedelai (2025), gula (2009) dan daging (2010).
RPPK ini perlu mendapat perhatian semua pihak, mengingat sumbangan
sektor pertanian yang cukup besar terhadap pendapatan nasional, menurut data
BPS peranan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia
tahun 2009 sebesar 15,30%. Sektor pertanian berada pada ranking kedua yang
memiliki kontribusi terhadap PDB setelah sektor industri pengolahan yaitu
sebesar 26,40%. Di tingkat regional Provinsi Bengkulu kontribusi sektor pertanian
terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) lebih tinggi dibanding
nasional, yaitu sebesar 19,44% (BPS 2009). Hal lain yang perlu dipertimbangkan
adalah 88,83% kabupaten/kota berbasis pertanian dan 83% tenaga kerja sektor
pertanian. Namun jumlah yang besar ini tidak diikuti tingkat kesejahteraan yang
memadai karena angka kemiskinan di perdesaan masih sangat tinggi, jumlah
penduduk miskin mencapai 24,6 juta (68,14%) (Pasaribu 2007).
Ketahanan pangan merupakan tantangan utama yang akan dihadapi
Bangsa Indonesia, selain itu juga inflasi akibat kenaikan harga pangan dan
energi, untuk mengantisipasinya pemerintah menargetkan peningkatan
cadangan beras. Hal ini disampaikan Presiden Republik Indonesia pada Rapat
Kerja tentang Pelaksanaan Program Pembangunan Tahun 2011. Misi
pemerintah pada tahun 2011 yaitu mempercepat pertumbuhan ekonomi yang
berkeadilan, sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah pertumbuhan
ekonomi sebesar 6,4%, inflasi 5,3%, penurunan angka pengangguran menjadi
7%, dan penurunan angka kemiskinan menjadi 11,5-12,5%1.
1
2
Permasalahan utama pembangunan pertanian di Indonesia adalah a)
semakin berkurangnya lahan-lahan pertanian produktif terutama lahan sawah
karena dikonversi menjadi lahan pertanian non sawah dan non pertanian, b)
penurunan kualitas sumberdaya lahan akibat pengelolaan yang kurang baik, dan
c) kompetisi penggunaan dan fragmentasi lahan. Kompetisi penggunaan lahan
terkait dengan pemenuhan kebutuhan akan sarana dan prasarana, serta bahan
bakar sedangkan fragmentasi lahan terjadi karena kondisi sosial ekonomi petani,
kemiskinan akan memaksa petani melepas sebagian kepemilikan lahannya dan
adanya sistem pewarisan yang berdampak pada skala kepemilikan lahan sawah
yang semakin kecil (Hidayat 2009).
Perubahan kepemilikan dan fragmentasi lahan menyebabkan peningkatan
rumah tangga petani gurem, yaitu rumah tangga pertanian yang menguasai
lahan kurang dari 0,5 ha. Berdasarkan data statistik jumlah rumah tangga petani
gurem meningkat 2,6% tiap tahun, yaitu dari 10,8 juta rumah tangga pada tahun
1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga pada tahun 2003. Persentase rumah
tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga
meningkat dari 52,7% menjadi 56,5%. Rumah tangga petani gurem di Jawa
tahun 1993 adalah 69,80%, tahu 2003 meningkat menjadi 74,90%. Di luar Jawa,
persentase perani gurem meningkat dari 30,60% menjadi 33,9%. Banyaknya
rumah tangga pertanian naik dari 20,8 juta pada tahun 1993 menjadi 25,4 juta
pada tahun 2003, yang berarti meningkat sebesar 2,20%/tahun. Komposisi
banyaknya rumah tangga pertanian di Jawa menurut Sensus Pertanian 1993
sebanyak 56,10% rumah tangga pertanian dan sisanya sebesar 43,90% berada
di luar Jawa, tahun 2003 komposisinya menjadi 54,90% di Jawa dan 45,10% di
luar Jawa2.
Beban sektor pertanian makin bertambah, seiring dengan meningkatnya
jumlah rumah tangga di Indonesia, banyaknya rumah tangga pertanian juga
mengalami peningkatan dari 20,8 juta pada tahun 1993 menjadi 25,6 juta pada
tahun 2003, dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 2,10% pertahun. Demikian
juga halnya dengan jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan, meningkat
1,7% pertahun, dari 20,5 juta pada tahun 1993 menjadi 24,4 juta rumah
tangga pada tahun 20033. Peningkatan rumah tangga pertanian dan rumah
tangga pengguna lahan berdampak pada peningkatan tenaga kerja peningkatan
2
Pertumbuhan Rumah Tangga Pertanian di Indonesia. Berita Resmi Statistik No.06/VII/2 Januari 2004
3
3 tenaga kerja pertanian, tenaga kerja pertanian meningkat sebesar 25,65%, dari
66,52 juta orang pada tahun 1993 menjadi 83,58 juta orang pada tahun 2003.
Akibatnya kesejahteraan rata-rata petani menjadi terkendala untuk ditingkatkan.
Disamping itu, telah terjadi ketimpangan distribusi penguasaan lahan, yaitu 70%
petani menguasai 13% lahan yang ada, sementara yang 30% petani lainnya
justru menguasai 87% lahan yang ada. Ketimpangan dalam penguasaan lahan
akan semakin memiskinkan petani, memarjinalisasikan petani dan pertanian, dan
mengancaman ketahanan pangan yang memerlukan keseriusan berbagai pihak
untuk menanganinya (Suhartanto 2008).
Berkaitan dengan aspek ketersediaan bahan pangan, kelangsungan
proses produksi pangan dengan pelaku utama petani, memerlukan ketersediaan
lahan secara berkelanjutan dalam jumlah dan mutu yang memadai. Lahan
pertanian selain sebagai faktor kunci dalam sistem produksi pangan, juga
memiliki sifat yang unik karena fungsinya yang tidak dapat tergantikan oleh
sumberdaya. Oleh karenanya ketersediaan lahan pertanian yang berkelanjutan
merupakan hal yang sangat mendasar untuk menciptakan ketahanan pangan
nasional yang lestari dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara
umum.
Konversi lahan sawah yang terjadi pada periode tahun 1981-1999 seluas
90.417 hektar/tahun dan pencetakan sawah baru seluas 178.954 hektar/tahun
sehingga terjadi penambahan luas sawah 88.536 hektar/tahun. Kemudian pada
tiga tahun berikutnya laju konversi lahan sawah tidak terkendali sehingga pada
periode tahun 1999 - 2002 lahan sawah berkurang atau menyusut seluas
141.286 hektar/tahun. Konversi lahan sawah pada periode tersebut mencapai
187.720 hektar/tahun (alih fungsi ke non pertanian seluas 110.164 hektar/tahun
dan alih fungsi ke pertanian lainnya seluas 77.556 hektar/tahun), sedangkan
pencetakan sawah baru hanya 46.434 hektar/tahun. Konversi lahan sawah pada
periode 1999-2002 tersebut sebagian besar (70,3%) terjadi di luar Pulau Jawa
dan sisanya (29,7%) di Pulau Jawa. Secara keseluruhan pada periode
1981-2002 tersebut pencetakan sawah baru mencapai 3,4 juta hektar, tetapi kemudian
dikonversi lagi sebanyak 2,2, juta hektar atau 65% (Irawan 2007).
Berbagai peraturan telah dikeluarkan pemerintah untuk membatasi
konversi lahan sawah, namun upaya ini tidak banyak hasilnya disebabkan
karena: (a) kemudahan untuk merubah kondisi fisik lahan sawah; (b) peraturan
4
himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas; dan (c) ijin konversi merupakan
keputusan kolektif sehingga sulit ditelusuri pihak mana yang bertanggung jawab
atas pemberian ijin konversi lahan. Menurut Simatupang dan Irawan (2007)
Konversi lahan pertanian tidak terhindari antara lain, karena: (1) pembangunan
berlangsung pesat dan jumlah penduduk terus meningkat terutama di daerah
yang langka lahan, (2) mekanisme pasar disebabkan oleh rente ekonomi lebih
rendah pada sektor tanaman pangan dari permintaan di luar tanaman pangan,
dan (3) konversi lahan merupakan proses yang menular.
Faktor-faktor yang menentukan konversi lahan dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu faktor ekonomi, faktor sosial, dan peraturan pertanahan yang ada
(Ilham et.al. (2005), lebih lanjut Suhartanto (2008) dan Witjaksono (2006), menyatakan alasan ekonomi senantiasa melatar-belakangi dan menjadi faktor
pendorong terjadinya konversi lahan pertanian antara lain : a) nilai land rent yang diperoleh dari usaha pertanian senantiasa lebih rendah dibanding nilai
land rent untuk sektor non pertanian (perumahan, jasa, industri, infrastrukur jalan), b) kesejahteraan petani yang masih tertinggal, c) kepentingan
pemerintah daerah di era otonomi daerah khususnya terkait penerimaan
Pendapatan Asli Daerah (PAD), ada anggapan sektor pertanian tidak
memberikan keuntungan yang signifikan, dan d) lemahnya fungsi kontrol dan
pemberlakuan peraturan oleh lembaga terkait.
Konversi lahan pertanian harus dicegah karena sifatnya yang irreversible dan permanen, artinya ketika lahan pertanian telah berubah fungsi kapanpun
sulit untuk dapat berubah kembali ke fungsi pertanian. Alih fungsi lahan
pertanian, terutama lahan sawah berdampak sangat buruk bagi bangsa dan
rakyat Indonesia, antara lain (1) berpotensi mengancam ketahanan pangan
nasional, (2) proses pemiskinan petani karena kehilangan aset pokok untuk
sumber mata pencahariannya, (3) pengangguran karena lenyapnya lahan
pertanian yang mampu menyerap angkatan kerja sampai 46%, (4) pemubaziran
investasi yang telah ditanam pemerintah (terutama irigasi), (5) degradasi budaya
masyarakat di perdesaan, dan (6) menurunnya fungsi lingkungan hidup.
Proses konversi lahan sawah pada umumnya berlangsung cepat jika akar
penyebabnya terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan sektor ekonomi lain
yang menghasilkan surplus ekonomi lahan (land rent) lebih tinggi. Sebaliknya akan berlangsung lambat jika motivasi terkait dengan degradasi fungsi lahan
5 dapat difungsikan lagi sebagai lahan sawah. Teori ekonomi dapat menjelaskan
fenomena konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian, yakni melalui analisis
rasio persewaan lahan (land rent ratio).
Beberapa hasil kajian empiris memberikan penilaian land rent lahan untuk sawah adalah 1/500 dibanding pemanfaatan lahan untuk industri (Iriadi 1990),
1/622 untuk perumahan (Riyani 1992), 1/14 untuk pariwisata (Kartika 1991), dan
1/2,6 untuk hutan produksi (Lubis 1991), 1/7 untuk bawang merah (Sitorus et.al. 2007). Selanjutnya, menurut Asni (2005) dalam penelitiannya tentang produksi,
pendapatan dan alih fungsi lahan diperoleh pendapatan dari usahatani padi Rp
1.387.577/hektar dan kelapa sawir Rp 5.735.203/hektar, artinya pendapatan dari
usahatani kelapa sawit 3,70 kali lebih besar daripada padi sawah. Berdasarkan
kasus-kasus konversi lahan yang ada dapat dikatakan bahwa faktor penarik
konversi lahan sawah adalah nilai manfaat yang lebih besar jika lahan diubah
fungsinya menjadi penggunaan lain.
Penilaian yang demikian menyebabkan proses konversi lahan sawah ke
penggunaan lain sulit dihindari. Jika alokasi lahan sepenuhnya diserahkan pada
mekanisme pasar, maka pertumbuhan ekonomi akan selalu menimbulkan
konversi lahan sawah yang pada umumnya telah memiliki infrastruktur yang
sudah berkembang. Ketersediaan infrastruktur ekonomi yang memadai
merupakan faktor positif dominan yang ikut mempengaruhi keputusan pemilik
lahan untuk merubah fungsi lahannya, seperti perkebunan kelapa sawit yang
sangat membutuhkan infrastruktur jalan untuk pengangkutan bibit, pupuk dan
sarana produksi lainnya pada tanaman belum menghasilkan serta pengangkutan
hasil panen dan sarana produksi pada tanaman menghasilkan.
1.2. Perumusan Masalah
Pola pemanfaatan lahan petani sangat dipengaruhi oleh kecukupan modal,
tenaga kerja keluarga dan adanya kemudahan dalam perawatan dan
pemasarannya. Misalnya, petani akan rela mengganti seluruh tanaman yang
sudah lama diusahakan (padi) dengan tanaman lain asal menguntungkan
(kelapa sawit). Dari keadaan tersebut ada kecenderungan pilihan komoditas
yang diusahakan petani yaitu: (a) petani akan berusaha untuk memperoleh uang
dan bahan pangan guna keperluan sehari-hari, (b) jika struktur tenaga kerja
dalam keluarga tidak mendukung/mencukupi, petani akan berusaha untuk
menanam komoditas yang tidak banyak menyita waktu, c) petani akan
6
perawatannya mudah dengan kecenderungan pilihan komoditas yaitu kelapa
sawit.
Keterbatasan sumberdaya lahan yang dimiliki dan produktivitas lahan
sawah yang cenderung melandai (levelling off) mendorong petani untuk merubah fungsi lahannya menjadi kebun kelapa sawit. Disamping faktor internal dari
permintaan crude palm oil (CPO) dan karet dunia yang cenderung tinggi ditambah dengan melambungnya harga komoditas sawit dan karet sejak tahun
2007 membuat sektor perkebunan menjadi semakin menggiurkan4. Pasar hasil
perkebunan rakyat yang melibatkan banyak petani dan terpencar berhadapan
dengan beberapa pedagang (desa sampai kabupaten) dan karena sifat produk
perkebunan yang harus diolah berhadapan dengan “kelompok” industri
pengolahan.
Struktur pasar yang berkembang cenderung kearah struktur pasar tidak
bersaing (oligopsoni). Pengembangan perkebunan rakyat, seperti di daerah
Perusahaan Inti Rakyat (PIR) untuk merubah struktur pasar oligopsoni justru
terjebak pada munculnya struktur pasar monopsoni dimana pekebun berhadapan
langsung dengan industri pengolahan. Kondisi ini yang kemudian menjadi
penghambat berkembangnya sektor perkebunan kelapa sawit rakyat, namun
permintaan CPO yang tinggi mendorong perusahaan untuk menghasilkan produk
lebih banyak. Untuk berproduksi lebih banyak, tentunya dibutuhkan bahan baku
tandan buah segar kelapa sawit lebih banyak pula, kondisi ini yang kemudian
menjadi peluang pasar bagi produksi TBS kelapa sawit dari perkebunan rakyat.
Peluang pasar ini dioptimalkan oleh petani yang bekerja pada perusahaan
perkebunan kelapa sawit yang ada di Kecamatan Seluma Selatan dengan
membuka perkebunan sendiri. Pada awalnya lahan yang digunakan adalah
lahan-lahan sawah yang dianggap kurang subur untuk tanaman padi karena
kondisi drainase yang kurang baik. Dalam perkembangnya, melihat pertumbuhan
tanaman kelapa sawit yang cukup baik, pengelolaan tanaman yang lebih mudah,
proses panen dan pemasaran yang mudah, serta periode produksi yang relatif
cepat menjadi penarik bagi petani sekitar untuk ikut merubah fungsi lahan
sawahnya dari tanaman padi menjadi tanaman kelapa sawit.
Selain faktor harga komoditas dan peluang pasar yang cukup terbuka,
akumulasi berbagai kendala terkait sarana dan prasarana untuk usahatani padi
4
7 seperti ketersediaan air irigasi, ketersediaan pupuk dan keuntungan usahatani
yang sebanding dengan biaya dan tenaga yang dicurahkan ikut mendorong
petani untuk mengembangkan tanaman kelapa sawit dengan merubah fungsi
lahan sawah yang dimiliki. Ketersediaan air irigasi merupakan kunci awal
keberhasilan usahatani karena berhubungan dengan tahap persiapan lahan,
pengolahan lahan, tanam dan pertanaman. Tanaman padi membutuhan kondisi
lahan yang jenuh air (tergenang) dalam periode pertumbuhannya untuk
memperoleh produksi yang tinggi, namun perubahan tata kelola irigasi yang
terjadi menyebabkan distribusi air irigasi tidak merata sehingga banyak lahan
sawah yang tidak bisa ditanami padi. Lahan-lahan ini kemudian diindikasikan
sebagai lahan terlantar dan dijadikan kebun kelapa sawit.
Faktor lain yang ikut berperan dalam konversi lahan adalah ketersediaan
pupuk bersubsidi pemerintah. Dalam pelaksanaan pengaturan distribusi pupuk
secara tertutup sekarang ini, Pemerintah telah mengeluarkan Permentan,
Permendag yang bertujuan untuk mengatur pendistribusian pupuk bersubsidi
secara tertutup yang akan diberlakukan pada tahun 2009, yaitu: Peraturan
Presiden RI No. 72 Tahun 2008, tentang Penetapan Pupuk bersubsidi Sebagai
Barang Dalam Pengawasan; Permendag No. 21/M-DAG/Per 16/2008 tentang
Pengadaan dan Penyaluran Pupuk bersubsidi Untuk Sektor Pertanian;
Permentan No. 42 Tahun 2008 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi
(HET) Pupuk bersubsidi Untuk Sektor Pertanian Tahun 20095. Kenyataannya,
pupuk bersubsidi sering tidak diterima petani karena kelompok tani tidak memiliki
dana untuk menebus nilai pupuk yang diajukan. Kondisi ini kemudian
dimanfaatkan oknum pedagang pengecer untuk membantu menebus pengajuan
pupuk kelompok tani tersebut, disini pupuk bersubsidi berubah menjadi barang
publik sehingga bisa didapatkan oleh siapa saja yang membutuhkan. Akibatnya
distribusi pupuk menjadi menjadi terganggu, terutama dari aspek jumlah, waktu
dan jenis pupuk.
Pemupukan secara berimbang utamanya keseimbangan antara unsur
Nitrogen (Pupuk Urea) Phospor (SP-36) dan Kalium (KCI) yang harus diberikan
tergantung pada keadaan tanah. Ketiga unsur ini mempunyai peran yang sangat
penting terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman, dimana ketiga unsur ini
saling berinteraksi satu sama lain dalam menunjang pertumbuhan tanaman.
5
8
Seperti halnya air irigasi, ketersediaan pupuk tidak hanya mempengaruhi
produksi secara langsung tetapi juga berpengaruh pada musim tanam.
Perubahan musim tanam akan memperbesar resiko usahatani yang dihadapi,
terutama disebabkan oleh hama dan penyakit tanaman. Kebutuhan yang tinggi
dan kurang tersedianya pupuk ditingkat petani pada saat musim tanam menjadi
salah satu pembenaran bagi petani untuk konversi lahan sawah menjadi kebun
kelapa sawit.
Sektor pemerintahan juga ikut berperan dalam konversi lahan sawah ke
penggunaan lain, terutama pada daerah-daerah pemekaran. Pemekaran wilayah
akan membentuk sistem pemerintahan baru, seterusnya juga membutuhkan
pembangunan infrastruktur baru, dalam beberapa kasus pembangunan dilakukan
pada lahan-lahan pertanian yang produktif. Kondisi ini diperburuk oleh pola
pengelolaan sumberdaya alam yang hanya berorientasi untuk peningkatan
pendapatan asli daerah tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Hal
seperti ini tentunya sangat menghawatirkan, disaat pemerintah sedang
mengkampanyekan pentingnya ketahanan pangan, namun proses konversi lahan
pangan menjadi perkebunan terus terjadi.
Peningkatan harga komoditas perkebunan, kemudahan dalam pengelolaan
dan pemasaran produk perkebunan, masalah irigasi, pupuk, dan kebijakan
pemerintah merupakan pemicu penyusutan luas lahan sawah di Provinsi
Bengkulu sebesar 12,74 % dalam enam tahun terakhir. Berdasarkan data
statistik luas lahan sawah tahun 2006 sebesar 121.470 hektar turun menjadi 106
ribu hektar pada tahun 2011. Menurut Kepala Badan Ketahanan Pangan
Provinsi (BKPP) Bengkulu (H. Muslih) penyusutan tersebut disebabkan penciutan
atau alih fungsi menjadi perkebunan sebesar 50% serta infrastruktur dan 50%
lainnya disebabkan bencana alam seperti longsor dan abrasi untuk kawasan
pesisir. penyusutan sawah juga diakibatkan banyaknya perusahaan perkebunan
skala besar beroperasi akibat pemberian izin yang mudah dilakukan. Lebih lanjut
Kepala BKPP menegaskan, bahwa tidak mungkin ketahanan pangan tercapai
bila lahan untuk pertanian tanaman pangan beralih fungsi menjadi kebun karet
dan sawit atau pemukiman baru, seperti yang terjadi di Kabupaten Mukomuko,
Bengkulu Selatan, Bengkulu Utara, dan Seluma6.
6
9 Luas lahan sawah di Kabupaten Seluma tahun 2005 mencapai 23.936 ha,
selanjutnya pada tahun 2006 turun menjadi 21.002 hektar atau terjadi penurunan
seluas 2.934 hektar. Pada tahun 2007 kembali terjadi penurunan seluas 927
hektar, perubahan luas lahan sawah ini sebagian besar akibat dikonversi menjadi
lahan perkebunan karet dan kelapa sawit serta penggunaan non pertanian.
Kondisi ini terlihat dari perkembangan luas tanam komoditas kelapa sawit, dalam
kurun waktu lima tahun (2005 – 2010) luas tanam kelapa sawit meningkat sekitar
89,41%, tahun 2005 tercatat luas tanam mencapai 15.312 hektar dan tahun 2010
bertambah menjadi 29.002 hektar atau rata-rata meningkat sebesar 3.422,50
hektar/ tahun. Demikian juga dengan komoditas karet, luas tanam meningkat
sebesar 5,42% dari luas tanam 25.199 hektar menjadi 26.482 hektar pada tahun
2010 (BPS 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, 2010).
Keputusan menanam kelapa sawit yang ditempuh dengan jalan
mengkonversi lahan sawah merupakan suatu keputusan revolusioner yang
ditempuh petani. Usahatani ini bukannya tanpa resiko, sebagai bidang usaha
baru kesalahan dalam pengelolaan seperti pemilihan bibit, teknologi budidaya
bukannya memberikan keuntungan lebih tinggi tapi tidak menghasilkan apa-apa
karena tanaman kelapa sawit mereka produktivitasnya rendah bahkan tidak
berproduksi sama sekali. Namun dengan pengalaman yang cukup lama dalam
usahatani padi dengan berbagai kendala yang dihadapi, mungkin resiko yang
dihadapi lebih rendah pada usahatani kelapa sawit.
Berdasarkan uraian di atas, timbul pertanyaan-pertanyaan yang kemudian
menjadi permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini, berkaitan dengan
usaha-usaha untuk pengendalian konversi lahan sawah irigasi menjadi kebun
kelapa sawit, yaitu:
1. Bagaimana perkembangan laju konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa
sawit di Kabupaten Seluma?
2. Benarkah land rent dari usahatani kelapa sawit lebih tinggi dari usahatani padi sawah?
3. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi petani untuk mengkonversi lahan
sawah menjadi kebun kelapa sawit?.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menganalisa fenomena konversi lahan sawah
menjadi kebun kelapa sawit yang terjadi di Kecamatan Seluma Selatan
10
yang optimal dari pengelolaan komoditas pada lahan tersebut. Secara lebih rinci
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengestimasi perkembangan laju konversi lahan sawah menjadi kebun
kelapa sawit di Kabupaten Seluma.
2. Mengestimasi nilai land rent dari tanaman pangan selama periode satu tahun dan nilai land rent rata-rata komoditas kelapa sawit selama periode satu tahun serta memproyeksikan nilai land rent dalam Present Value Net Return land rent.
3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani mengkonversi lahan
sawah menjadi kebun kelapa sawit.
1.4. Manfaat Penelitian
Informasi dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam pengelolaan dan perlindungan lahan pertanian terutama lahan sawah,
sebagai tempat diproduksinya bahan pangan. Ketersediaan lahan pertanian yang
memadai dan menjaga stabilitas ketahanan pangan Provinsi Bengkulu dalam
rangka mempertahankan swasembada beras yang telah dicapai. Hasil penelitian
ini dapat digunakan untuk pengambilan kebijakan untuk mengendalikan konversi
lahan sawah serta upaya perbaikan pengelolaan sumberdaya lahan pertanian
dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekonomi Konversi Lahan
Sumberdaya lahan sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia
karena sumberdaya lahan merupakan masukan yang diperlukan untuk setiap
bentuk aktifitas manusia untuk memenuhi kebutuhannya, seperti untuk pertanian,
daerah industri, daerah pemukiman, jalan dan juga tempat rekreasi. Secara
umum dapat dikatakan bahwa sumberdaya lahan berkontribusi besar bagi
kesejahteraan suatu bangsa (Suparmoko 1997).
Sebagai salah satu komoditas ekonomi lahan mengalami peningkatan nilai
sejalan dengan waktu karena sifat keterbatasannya, apalagi tanah mempunyai
manfaat dilihat dari berbagai sudut pandang. Lahan mempunyai nilai keindahan,
nilai politik, nilai fisik, nilai sosial, dan nilai spiritual. Nilai-nilai ini dimiliki
sumberdaya lahan apabila ia mempunyai manfaat/potensi untuk menghasilkan
pendapatan dan kepuasan dimana jumlah yang ditawarkan lebih sedikit daripada
permintaannya serta ia mudah untuk ditransfer (Cahyono 1983).
Lahan dapat diartikan sebagai suatu hamparan milik/dikuasai seseorang
dan dibatasi oleh penguasaan lahan orang lain ataupun batas-batas alam lainnya
seperti sungai, jalan umum, hutan, selokan dan semacamnya. Sedangkan lahan
sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang
(galengan), saluran untuk menahan/menyalurkan air, yang biasanya ditanami
padi sawah tanpa memandang darimana diperolehnya atau status tanah
tersebut.
Lahan sawah yang memperoleh pengairan dari sistem irigasi, baik yang
bangunan penyadap dan jaringan-jaringannya diatur dan dikuasai dinas
pengairan Pekerjaan Umum (PU) maupun dikelola sendiri oleh masyarakat,
terdiri dari 1) lahan sawah irigasi teknis adalah lahan sawah yang mempunyai
jaringan irigasi dimana saluran pemberi terpisah dari saluran pembuang agar
penyediaan dan pembagian air ke dalam lahan sawah tersebut dapat
sepenuhnya diatur dan diukur dengan mudah, 2) lahan sawah irigasi setengah
teknis adalah lahan sawah yang memperoleh irigasi dari irigasi setengah teknis.
Sama halnya dengan pengairan teknis, namun dalam hal ini PU hanya
menguasai bangunan penyadap untuk dapat mengatur dan mengukur
pemasukan air, sedangkan pada jaringan selanjutnya tidak diukur dan tidak
dikuasai oleh PU, 3) lahan sawah irigasi sederhana adalah lahan sawah yang
12
(bendungan) dibangun oleh PU, 4) lahan sawah irigasi non PU adalah lahan
sawah yang memperoleh pengairan dari sistem pengairan yang dikelola sendiri
oleh masyarakat atau irigasi desa.
Kondisi lahan sawah yang didukung infrastruktur yang baik dan topografi
yang relatif datar menyebabkan lahan ini cenderung dikonversi. Konversi lahan
dapat diartikan sebagai perubahan penggunaan lahan yang dilakukan secara
sengaja oleh manusia. Konversi lahan dapat bersifat permanen dan sementara,
perubahan penggunaan menjadi kawasan pemukiman atau industri merupakan
perubahan yang bersifat permanen, sedangkan perubahan menjadi perkebunan
tebu bersifat sementara, karena pada tahun berikutnya dapat di jadikan sawah
lagi. Konversi lahan yang permanen biasanya berdampak lebih besar daripada
konversi lahan sementara.
Pola konversi lahan sawah dapat dipilah menjadi dua, yaitu sistematis dan
sporadis. Konversi lahan sawah untuk pembangunan kawasan industri,
perkotaan, kawasan pemukiman (real estate), jalan raya, kompleks perkantoran, dan sebagainya mengakibatkan terbentuknya pola konversi yang sistematis.
Lahan sawah yang dikonversi pada umumnya mencakup suatu hamparan yang
cukup luas dan terkonsolidasi. Konversi lahan sawah yang dilakukan sendiri oleh
pemilik lahan sawah umumnya bersifat sporadis. Luas lahan sawah yang
terkonversi kecil-kecil dan terpencar. Proses konversi lahan sawah bersifat
progresif, artinya, lahan sawah di sekitar lokasi yang telah terkonversi, dalam
waktu yang relatif pendek cenderung berkonversi pula dengan luas yang
cenderung meningkat. Secara empiris progresifitas konversi lahan dengan pola
sistematis cenderung lebih tinggi daripada pola yang sporadis (Direktorat Pangan
dan Pertanian 2006).
Konversi lahan sawah yang marak terjadi hampir diseluruh wilayah
Indonesia sepertinya sudah menjadi bagian dari hukum demand dan supply, ketersediaan sumberdaya yang terbatas sedangkan peningkatan jumlah
penduduk dan perkembangan struktur perekonomian terus terjadi sehingga
kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian cenderung terus meningkat.
Kondisi ini mengharuskan pemilik sumberdaya mengelolanya kearah yang lebih
menguntungkan. Kecenderungan tersebut menyebabkan alih fungsi lahan
pertanian sulit dihindari. Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi
alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga
13 Secara empiris lahan pertanian merupakan lahan yang paling rentan
terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh; Pertama pembangunan kegiatan non pertanian lebih mudah dilakukan pada lahan sawah
yang relatif datar dibanding lahan kering, Kedua infrastruktur ekonomi lebih memadai, dan Ketiga lahan persawahan lebih dekat kedaerah konsumen atau daerah kota yang lebih padat penduduknya (Nasoetion 2003). Selanjutnya
Irawan (2005), menyatakan alih fungsi lahan disebabkan oleh dua faktor.
Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif
untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong
meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga
harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan.
Wibowo (1996) menambahkan bahwa pelaku pembelian tanah biasanya bukan
penduduk setempat, sehingga mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan guntai
yang secara umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan.
Maraknya fenomena alih fungsi lahan pertanian sudah seyogyanya jadi
perhatian semua pihak. Sebagai ilustrasi, data terakhir dari Direktorat Jenderal
Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian (Dirjen PLA 2005)
menunjukkan bahwa sekitar 187.720 hektar sawah beralih fungsi kepenggunaan
lain setiap tahunnya, terutama di Pulau Jawa. Lebih mengkhawatirkan lagi, data
dari Direktorat Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional (Winoto 2005)
menggambarkan bahwa jika arahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang
ada pada saat ini tidak ditinjau kembali, maka dari total lahan sawah beririgasi
(7,3 juta hektar), hanya sekitar 4,2 juta hektar (57,6%) yang dapat dipertahankan
fungsinya. Sisanya, yakni sekitar 3,01 juta hektar (42,4%) terancam beralih
fungsi ke penggunaan lain.
Konversi lahan sawah menjadi pertanian lahan kering berpengaruh secara
langsung terhadap produksi padi karena berkuranganya luas areal persawahan.
Secara tidak langsung proses ini juga akan menurunkan produksi padi karena
kondisi lingkungan yang tercipta dapat menjadi tempat tinggal hama tanaman
padi seperti tikus, burung, dan belalang. Hasil penelitian Kiatpathomchai et al. (2008) menunjukkan penurunan produktivitas lahan sawah sebesar 467-515
kg/hektar di Thailand Selatan akibat konversi lahan sawah menjadi tambak
14
hidrologis air tawar yang digunakan untuk lahan sawah. Untuk mengetahui nilai
manfaat dari pengelolaan komoditas padi sawah dan kelapa sawit terhadap
rumah tangga petani dan masyarakat sekitar perlu dilakukan perhitungan land rent, sehingga dapat disimpulkan bagaimana sebaiknya pengelolaan lahan sawah yang ada.
2.2. Rente Lahan (land rent)
Menurut Ricardo rente lahan (land rent), adalah surplus ekonomi suatu lahan yang dapat dibedakan atas (i) surplus yang selalu tetap (rent as an unearned increment), definisi ini memberikan kesan bahwa sewa lahan adalah surplus yang selalu tetap atau mendapat hasil tanpa berusaha (windfall return), yang diperoleh akibat pemilikan lahan, dan (ii) surplus sebagai hasil dari investasi
(rent as return on investment), dalam pengertian ini lahan dipandang sebagai faktor produksi. Kebanyakan investor, pemilik dan penggarap menggunakan
pengertian kedua ini. Selanjutnya dikatakan, land rent dapat dibedakan atas teori sewa Ricardian (Ricardian Rent), dan sewa ekonomi (Economic Rent atau Locational Rent). Teori sewa Ricardian, merupakan teori rente lahan yang mempertimbangkan faktor kesuburan lahan. Lahan yang subur akan memiliki
nilai land rent yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan yang kurang subur. Pendekatan ini terutama banyak digunakan pada wilayah pertanian yang
umumnya berada di perdesaan, sedangkan sewa ekonomi mempertimbangkan
lokasi atau jarak relatif dari suatu lahan pertanian dengan pusat pasar. Lahan
dengan land rent yang tinggi akan berada di dekat pusat pasar. Kondisi tersebut berkaitan erat dengan rendahnya biaya pengangkutan atau biaya perjalanan,
yang dibutuhkan untuk menempuh jarak dari lokasi produksi ke lokasi pemasaran
(Barlowe 1978).
Rente lahan dapat dianggap sebagai kelebihan nilai penerimaan dari hasil
pemanfaatan lahan yang terkait dengan biaya yang dikeluarkan untuk selain
lahan, seperti tenaga kerja, capital, bahan baku, dan energi yang digunakan untuk mengubah sumberdaya alam menjadi barang. Menurut Suparmoko (1997),
bahwa land rent merupakan surplus ekonomi yang merupakan kelebihan nilai produksi total di atas biaya total. Surplus ekonomi dari sumberdaya lahan dapat
dilihat dari surplus ekonomi karena kesuburan tanahnya dan surplus ekonomi
15 persegi tiap tahun akibat dilakukannya suatu kegiatan pada bidang lahan
tersebut. Pendapatan bersih atau benefit ini berasal dari total penerimaan dikurangi dengan total biaya produksi yang dikeluarkan. Peninjauan biaya
tergantung kepada yang melihatnya dan karena itu terbagai menjadi (1) analisis finansial, yaitu peninjauan biaya yang dilihat dari segi pengelola usaha; (2) analisis ekonomi, yaitu peninjauan biaya yang dilihat dari sudut pandang masyarakat secara keseluruhan (sosial).
Krause and Brorsen (1995), dalam penelitiannya tentang dampak dari
resiko nilai land rent pada lahan pertanian menyatakan bahwa, land rent adalah fungsi dari penerimaan, biaya produksi, dan resiko. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa tingginya resiko penggunaan lahan akan mengakibatkan
menurunnya nilai land rent dan sebaliknya. Selanjutnya Renkow (1993), dalam penelitiannya tentang harga lahan (land prices), rente lahan (land rent), dan perubahan teknologi menyatakan, bahwa adopsi teknologi di bidang pertanian
mempunyai pengaruh yang positif terhadap nilai land rent. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa harapan perolehan keuntungan secara nyata akan
mempengaruhi peningkatan harga lahan.
Konsep rente lahan dapat didekati dengan nilai rata-rata (average value) per hektar atau per meter persegi. Merupakan selisih antara harga produk yang
dihasilkan dari pemanfaatan lahan tersebut dengan biaya rata-rata yang
dikeluarkan (tidak termasuk biaya untuk lahan) untuk membeli input dalam suatu
proses produksi. Berikutnya dikatakan bahwa konsep rente lahan juga dapat
didekati dengan pendekatan marginal value, yang merupakan selisih antara produk terakhir dan biaya per unit input terakhir (tidak termasuk lahan), yang
digunakan untuk menghasilkan tambahan produk terakhir tersebut. Dalam kasus
dimana harga produk konstan dan input tersedia dengan penawaran yang elastis
sempurna, maka pendekatan average value menjadi sama dengan pendekatan marginal value (Sutara 1996).
Berdasarkan Gambar 1, Barlowe (1978) menjelaskan penggunaan nilai
produk dan kurva biaya untuk land rent yang merupakan surplus ekonomi setelah pembayaran biaya produksi, nilai produksi total yang dihasilkan
ditunjukkan oleh segi empat LNSP dengan total biaya input segi empat MNSR
dan menghasilkan land rent atau economic rent seluas LMRP Surplus ekonomi sumberdaya lahan dapat dilihat dari surplus ekonomi karena faktor kesuburan
16
Gambar 1. Nilai produk dan kurva biaya untuk ilustrasi konsep land rent sebagai surplus ekonomi setelah pembayaran biaya produksi (Sumber: Barlowe 1978).
Pada akhir abad kesembilan belas, Alfred Marshall memperkenalkan
pemikiran tentang quasi-rent. Ketika keberadaan suatu sumberdaya tidak responsif terhadap perubahan harga dalam jangka pendek, hal ini dapat
menyebabkan kelebihan pengembalian tetap dari sumber daya yang sama
dengan rente berbeda. Misalnya, bangunan, mesin, dan peralatan yang dapat
memperoleh quasi-rent dalam jangka pendek karena pasokan peralatan yang tahan lama tidak dapat diperluas dengan cepat atau diubah untuk penggunaan
lain. Namun, dalam jangka panjang, peralatan yang ada dan mesin dapat
dimanfaatkan untuk penggunaan baru atau dijual, dan mesin baru dapat
diperoleh, sehingga dalam ekonomi yang kompetitif, quasi- rent dari peralatan tersebut tetap terjaga.
Lebih lanjut Marshall menggunakan istilah composite quasi-rent, ketika kombinasi dari sumber daya menghasilkan laba melebihi opportunity cost dari input yang diperlukan untuk menghasilkan output. Sumber daya yang terpisah
kemudian disatukan untuk membuat sumber daya khusus, sehingga nilai sumber
daya menjadi lebih tinggi. Contoh adalah penggilingan (untuk mengubah gandum
menjadi tepung) yang memanfaatkan aliran air (yang terdiri dari struktur
pengalihan dan roda air) untuk memberi energi pada pabrik (Young 2005).
Composite quasi-rents terdiri dari land rent dan non land rent, selanjutnya ditunjukkan bagaimana metode sisa dapat diturunkan sebuah konseptual
kerangka kerja alternatif yang menekankan konsep biaya dan sewa, seperti
pendekatan fungsi produksi. Gambar 2 menggambarkan aspek penting dari teori
awal perusahaan. Versi sederhana dari model neoklasik mengasumsikan bahwa
kurva suplai untuk input variabel yang diperlukan pada harga konstan, dimana Output
MR=AR Harga
Land rent
MC AC
P
R
S L
M
17 produsen adalah price taker di pasar output, sehingga harga produk (Py) dapat
diasumsikan konstan untuk periode analisis. Total pendapatan (TR) adalah
output (Y) kali harga produk (TR = Y. Py).
Dalam konteks ini, konsep biaya yang signifikan adalah biaya marjinal
(MC), yang mengacu pada penambahan biaya produksi pada masing-masing
unit output. Produsen memaksimalkan keuntungan dengan memilih tingkat
output dimana harga produk sama dengan biaya marjinal (Py = MC). Pada
gambar, tingkat output yang optimal (di mana Py = MC) adalah Y0. Hal ini dapat
digunakan untuk membedakan input tetap atau input variabel. Faktor tetap
adalah faktor yang tidak dapat dihindari, bahkan jika perusahaan berhenti
operasi. Biaya tetap adalah biaya yang awalnya diasumsikan berdasarkan harga
pasar atau opportunity cost. Biaya variabel adalah biaya yang dapat dihindari jika perusahaan memproduksi output. Biaya variabel total diwakili oleh daerah dilambangkan huruf a. Biaya variabel rata-rata (AVC) dan biaya total rata-rata (ATC) didefinisikan, masing-masing sebagai biaya variabel total dan biaya total
dibagi dengan Y.
Berdasarkan definisi konvensional, jumlah rent ditambah quasi-rent adalah perbedaan antara penerimaan total dan biaya variabel total. Seperti dijelaskan
sebelumnya, economic rents adalah setiap pembayaran yang dilakukan untuk input yang digunakan saat ini. Quasi-rent adalah pembayaran total untuk faktor tetap. Jumlah rents dan quasi-rents akan merubah pendapatan total karena pengaruh kelebihan dari biaya variabel total. Artinya, pendapatan total terdiri dari
biaya variabel total ditambah yang normal quasi-rents, composite quasi-rent dan economic rent. Rente ekonomi muncul hanya jika satu atau lebih sumber daya dalam pasokan terbatas. Jika semua sumber daya dapat dibeli pada pasar
kompetitif pada harga konstan, tidak ada rente ekonomi.
Nilai land rent digambarkan sebagai daerah c dalam Gambar 2, nilai rent yang tersisa (daerah b pada Gambar 2) terdiri dari normal quasi-rent (QR) ditambah rente lainnya, yaitu hasil dari faktor produksi tetap selain lahan
(seperti, hasil modal ekuitas, kewirausahaan, manajerial, dan input sumber daya
alam lainnya selain lahan).
Berdasarkan definisi di atas, dapat disusun representasi aljabar dari ukuran
kesejahteraan produsen. Total penerimaan sama dengan jumlah dari biaya
18
TR = TVC + QR + RL + RNL
Persamaan tersebut dapat disusun ulang untuk memperoleh solusi nilai RL,
menjadi;
RL = TR - TVC - QR – RNL
Jika kedua biaya variabel total dan semua quasi-rent dan rent nonl-and dapat diisolasi dan diukur, kita kemudian dapat memperoleh rente yang berhubungan
dengan lahan (RL) sebagai suatu ukuran jangka panjang yang berhubungan
dengan penggunaan lahan terhadap kesejahteraan produser.
Gambar 2. Perbedaan antara land rent dan standar quasi-rent (Sumber: Young 2005)
2.3. Biaya
Biaya untuk menghasilkan suatu produk, akan didasarkan pada
pengeluaran yang dibebankan di dalam menghasilkan suatu jumlah hasil
produksi tertentu dalam suatu periode waktu tertentu. Tanpa pengkhususan
jumlah dan periode waktu tersebut, setiap petunjuk terhadap harga tidaklah
berarti (Bishop and Toussaint 1979). Tohir (1982) menyatakan, bahwa biaya
produksi perorangan adalah semua pengeluaran dalam hal jasa-jasa, dan
barang-barang yang dibutuhkan guna melaksanakan usaha. Selanjutnya
dikatakan, bahwa tingginya biaya produksi (biaya produksi marjinal) mempunyai
kecenderungan (tendensi) terhadap peningkatan harga produk.
Prijosoebroto (1991) menyatakan bahwa dalam usaha perikanan tambak
diperlukan biaya produksi yang terdiri atas modal kerja, biaya benih, biaya pakan,
dan biaya tenaga kerja. Selanjutnya Gohong (1993), menyatakan bahwa
penggunaan input produksi akan banyak menentukan produksi total usahatani, price
Py
ATC0
AVC
MC
ATC
AVC
Y0
Land rent
Total Variable Cost Quasi-rent
production
a b
19 apabila input tersebut dapat dipergunakan secara efektif dan efisien. Beberapa
jenis input produksi tersebut adalah tenaga kerja, pemakaian benih, pemakaian
pupuk, dan pemakaian pestisida serta obat-obatan. Untuk mendapatkan
keuntungan maksimal diperlukan penggunaan input produksi yang optimum.
Biaya dalam proses produksi dapat dibedakan menjadi biaya tetap dan
biaya variabel. Biaya tetap adalah berhubungan dengan penggunaan sarana
produksi tetap, seperti mesin. Biaya ini adalah dalam bentuk depresiasi, karena
biaya yang diperhitungan dalam proses produksi tetapi tidak dibayarkan,
melainkan masuk dalam cadangan perusahaan. Biaya variabel adalah
merupakan pengeluaran untuk penggunaan input produksi dan tenaga. Berbeda
dengan biaya tetap yang tidak dipengaruhi oleh volume produksi, besarnya biaya
variabel dipengaruhi oleh volume produksi (Djojodipuro 1991).
Biaya variabel adalah biaya karena pertambahan input variabel. Biaya
tersebut akan dibebankan hanya apabila produksi itu berlangsung dan besarnya
biaya ini akan tergantung macam input yang digunakan. Di dalam membuat
keputusan-keputusan produksi, yang digunakan untuk memaksimumkan
penerimaan bersih adalah jumlah input variabel. Biaya tetap ditambah dengan
biaya variabel adalah biaya total. Biaya total penting dalam memperhitungkan
penerimaan bersih, karena penerimaan bersih sama dengan penerimaan total
dikurangi biaya total. Dalam jangka panjang, jika penerimaan total tidak lebih
besar dari biaya total, produsen tidak akan berproduksi (Bishop and Toussaint
1979).
Penjumlahan biaya tetap total (Total Fixed Cost) dengan biaya variabel total (Total Variable Cost) merupakan keseluruhan biaya yang dikeluarkan dalam menghasilkan output (Total Cost), dalam notasi matematika dituliskan (Sugiarto, et al. 2007):
TC = TFC + TVC
Keteragan:
TC = biaya total produksi
TFC = biaya tetap total
TVC = biaya variabel total
Biaya tetap adalah biaya yang tetap harus dikeluarkan pada berbagai
tingkat output yang dihasilkan. Pada penelitian ini yang termasuk biaya tetap
20
variabel adalah biaya yang berubah-ubah menurut tinggi rendahnya tingkat
output yang dihasilkan. Yang termasuk dalam penelitian ini adalah upah tenaga
kerja, pembelian bibit, pembelian pupuk, serta pembelian pestisida.
Apabila biaya total (TC) untuk memproduksi sejumlah barang tertentu (Q)
dibagi dengan jumlah output yang diproduksit, nilai yang diperoleh adalah biaya
total rata-rata (Average Cost). Nilainya dihitung menggunakan rumus dibawah ini
Apabila biaya tetap total (TFC) untuk memproduksi sejumlah output
tertentu (Y) dibagi dengan jumlah produksi tersebut. Nilai yang diperoleh adalah
biaya tetap rata- rata. Dengan demikian rumus untuk menghitung biaya tetap rata
rata atau AFC adalah sebagai berikut :
Apabila biaya berubah total (TVC) untuk memproduksi sejumlah barang (Y)
dibagi dengan jumlah produksi tersebut, nilai yang diperoleh adalah biaya
berubah rata-rata . Biaya berubah rata – rata dihitung dengan rumus :
Marginal Cost (MC) adalah kenaikan dari total cost yang diakibatkan oleh
diproduksinya tambahan satu unit output, dengan demikian biaya marginal dapat
dicari dengan menggunakan rumus :
2.4. Harga
Casler (1988) menyatakan bahwa masalah perekonomian yang terpenting
adalah masalah harga, yang dimaksud dengan harga adalah tinggi nilai barang
dan jasa diukur dengan uang. Demikian juga dengan rente tanah (land rent), harga komoditas akan mempengaruhi penerimaan usahatani yang secara
langsung mempengaruhi nilai land rent. Harga memberikan rangsangan pada para produsen untuk menghasilkan barang-barang yang permintaannya sangat
besar dan menggunakan sumber-sumber yang paling banyak jumlahnya. Apabila
harga beberapa barang meningkat para produsen didorong untuk menghasilkan
21 akan memperoleh tambahan sumber-sumber guna memperluas produksi. Sistem
penentuan harga mengalokasikan sumber-sumber pada penggunaan yang paling
banyak permintaannya (Bishop and Toussaint1979).
Fungsi harga terutama adalah untuk menghasilkan keseimbangan yang
diperlukan antara permintaan dan penawaran. Jika kenaikan harga tidak berhasil
meningkatkan output atau mengurangi permintaan maka kenaikan harga dianggap berbahaya. Kebijaksanaan harga hendaknya ditujukan pada
fleksibilitas mengendalikan permintaan, mengalokasikan kembali sumber-sumber
produksi dan mengarahkan kembali output ke arah yang dikehendaki (Jhingan
1996).
2.5. Produktivitas
Dalam penelitian dan literatur, produktivitas