• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Economics of Rice Field Conversion into Oil Palm Plantation in South Seluma District Seluma Regency Province Bengkulu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Economics of Rice Field Conversion into Oil Palm Plantation in South Seluma District Seluma Regency Province Bengkulu"

Copied!
230
0
0

Teks penuh

(1)

EKONOMI KONVERSI LAHAN SAWAH MENJADI KEBUN

KELAPA SAWIT DI KECAMATAN SELUMA SELATAN

KABUPATEN SELUMA PROVINSI BENGKULU

HAMDAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Ekonomi Konversi Lahan Sawah Menjadi Kebun Kelapa Sawit di Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan

tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2012

(3)

Abstract

HAMDAN, 2012. The Economics of Rice Field Conversion into Oil Palm Plantation in South Seluma District Seluma Regency Province Bengkulu. Under Supervision of YUSMAN SYAUKAT (chair) and AHYAR ISMAIL (member).

Food security is one of the biggest challenges confronted by Indonesia. High population growth and per capita food consumption increase resulted in increase in demand for national rice production. One of the greatest threats to rice production increase is conversion of irrigated lowland area into oil palm plantations as occurs in Seluma District, Province of Bengkulu. Objective of this study is to identify the factors determining land conversion from rice field into oil palm plantation and to determine the present value of benefit resulted from both land uses. The results of study showed a decrease of irrigated lowland areas in district of Seluma during 2005 to 2010 about 3.934 hectares, the largest decline in rice field area in 2005 to 2007 covering an area of 3.861 hectares in non-irrigated land, while in non-irrigated land the average increase of 997.20 hectare per year. One of the drivers of land conversion is the value of present of land rent in oil palm farm is greater than rice farming, each amount to Rp 118, 20 million per hectare and Rp 106,59 million per hectare. In addition to economic benefits, oil palm farmers also get easier access to sources of capital and production input markets. The results of logistic regression analysis shows that the push and pull factors of wetland conversion into oil palm plantations are irrigated constraints, The risk of rice paddies plantation, the amount of family labor and the level of price of oil palm.

(4)

RINGKASAN

HAMDAN, Ekonomi Konversi Lahan Sawah Menjadi Kebun Kelapa Sawit di Kecamatan Seluma Selatan, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Dibimbing oleh Yusman Syaukat sebagai ketua dan Ahyar Ismail sebagai anggota komisi pembimbing.

Kabupaten Seluma merupakan salah satu sentra produksi padi di Provinsi Bengkulu, secara keseluruhan daerah ini memiliki luas areal persawahan 23.748 ha atau 22,59% dari luas sawah Provinsi Bengkulu. Lahan sawah yang dapat ditanami dua kali dalam satu tahun seluas 4.851 ha (20%), dan yang ditanami satu kali dalam satu tahun seluas 13.290 ha (56%) Produktivitas padi didaerah ini mencapai 3,95 merupakan yang tertinggi ketiga setelah Kota Bengkulu dan Kabupaten Kepahiang. Berbagai kendala dalam usahatani padi, pelandaian produksi padi yang terus terjadi akibat degradasi lahan, sarana produksi yang tidak tersedia, hama dan penyakit, irigasi menyebabkan biaya usahatani semakin tinggi yang berarti land rent yang diperoleh semakin menurun. Kondisi ini mendorong petani untuk mencari solusi pengelolaan lahan sawah yang dimiliki untuk memperoleh manfaat yang lebih besar untuk kesejahteraannya, salah satunya adalah konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit.

Meskipun fenomena konversi lahan ini belum menjadi ancaman yang serius terhadap keamanan pangan regional Bengkulu, perhatian terhadap perkembangan konversi lahan harus tetap dilakukan untuk mengantisipasi semakin maraknya konversi lahan. Untuk itu dalam tulisan ini akan dipaparkan tiga tujuan penelitian mengenai keragaan konversi lahan sawah di Kabupaten Seluma, yaitu: (1) Mengestimasi perkembangan laju konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit di Kabupaten Seluma, (2) Mengestimasi nilai land rent dari tanaman pangan selama periode satu tahun dan nilai land rent rata-rata komoditas kelapa sawit selama periode satu tahun serta memproyeksikan nilai land rent dalam Present Value Net Return land rent, dan (3) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit.

(5)

Laju konversi lahan sawah terluas di Kabupaten Seluma yang terjadi pada tahun 2005 sampai 2010 mencapai 4.022 hektar, tertinggi tahun 2006 seluas seluas 2.934 hektar kemudian tahun 2007 seluas 927 hektar dan tahun 2009 seluas 161 hektar. Tahun 2005 luas lahan sawah mencapai 23.936 hektar, tahun 2006 turun menjadi 21.002 hektar dan tahun 2007 kembali mengalami penurunan menjadi 20.075 hektar. Pencetakan sawah baru tahun 2008 seluas 3.870 hektar yang dilakukan secara swadaya oleh petani setelah adanya kegiatan perbaikan drainase dan pengeringan pada lahan baku sawah oleh Dinas Pertanian Kabupaten Seluma, sehingga meningkatkan luas lahan sawah menjadi 23.784 hektar pada tahun 2008. Konversi lahan sawah yang terjadi belum menjadi ancaman terhadap ketahanan pangan Kabupaten Seluma, namun kondisi ini perlu dicermati lebih jauh karena ada gejala penurunan produksi padi dan produktivitas dalam tiga tahun terakhir dimana pada tahun 2008 produksi padi mencapai 84.631 ton kemudian turun menjadi 62.629 pada tahun 2010. Produktivitas lahan juga mengalami penurunan, yaitu dari 4,15 ton/ha pada tahun 2007 menjadi 3,94 ton/ha pada tahun 2010.

Hasil analisis ekonomi terhadap usahatani komoditas padi sawah diperoleh nilai land rent rata-rata sebesar Rp 11.742.521/hektar/tahun. Nilai land rent rata-rata komoditas kelapa sawit sebesar Rp 15.533.369/hektar/tahun. Nilai PVNR-land rent dari usahatani padi sawah sebesar Rp 106,587,332/hektar, sedangkan dari usahatani kelapa sawit sebesar 118.195.250/hektar. PVNR-land rent dari kelapa sawit 10,89% lebih tinggi dari sawah atau 1 berbanding 1,11. Artinya land rent yang lebih tinggi dari kelapa sawit merupakan salah satu pendorong konversi lahan, meskipun perubahan ini belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Nilai Tukar Rumah Tangga Petani sebagai indikator kesejahteraan memberikan nilai 0,58 untuk padi sawah dan 0,78 untuk kelapa sawit, dapat dikatakan pengelolaan salah satu komoditas saja dengan luasan 1 hektar belum mampu mensejahterakan petani. Diversifikasi usahatani seperti padi dan kelapa sawit dapat menjadi salah satu solusi peningkatan kesejahteraan petani, tentunya dengan pengaturan dan pengelolaan yang lebih baik.

Push factor konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit adalah kendala irigasi (X1), Resiko usahatani padi sawah (X3), dan jumlah tenaga kerja

keluarga (X5). Faktor kendala irigasi dan resiko usahatani padi berpengaruh

positif terhadap kecenderungan konversi lahan dengan koefisen 3,790 dan 2,835 serta odds ratio 44,267 dan 17,029, artinya peluang untuk mengkonversi lahan lebih besar dibandingkan tidak mengkonversi jika ada kendala irigasi dan resiko usahatani yang semakin tinggi. Variabel jumlah tenaga kerja keluarga berpengaruh negatif dengan koefisien -2,000 dan odds ratio 0,135, artinya peluang mengkonversi lahan akan semakin kecil jika suatu keluarga memiliki tenaga kerja cukup untuk mengelola usahataninya. Pull factor konversi lahan adalah harga tandan buah segar kelapa sawit (X8), variabel ini berpengaruh

positif pada selang kepercayaan 10% dengan koefisien 2,619 dan odds ratio 13,723, artinya kenaikkan harga TBS menyebabkan peningkatan kecenderungan petani untuk mengkonversi lahan sawah 13,723 kali lebih besar dibanding tidak melakukan konversi.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

EKONOMI KONVERSI LAHAN SAWAH MENJADI KEBUN

KELAPA SAWIT DI KECAMATAN SELUMA SELATAN

KABUPATEN SELUMA PROVINSI BENGKULU

HAMDAN

Tesis

Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(8)

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr. Eka Intan Kumala Putri, MS Ir. Ahyar

(9)

Judul Tesis : Ekonomi Konversi Lahan Sawah Menjadi Kebun Kelapa Sawit di Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu

Nama : Hamdan

NRP : H351090151

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M. Ec Ketua

Dr. Ir. Ahyar Ismail, M. Agr Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir Akhmad Fauzi, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc, Agr

(10)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas segala

limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan.

Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah ekonomi sumberdaya lahan,

dengan judul Ekonomi Konversi Lahan Sawah menjadi Kebun Kelapa Sawit di

Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu. Tulisan ini

merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar master (S2) pada Program

Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut

Pertanian Bogor.

Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan

kepada:

1. Dr. Ir. Yusman Syaukat. M. Ec, ketua Komisi Pembimbing yang penulis

hormati atas segala arahan, ilmu dan kesabaran yang telah diberikan

kepada penulis sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan.

2. Dr. Ir. Ahyar Ismail, M. Agr, anggota komisi pembimbing atas segala ilmu

dan arahan yang telah diberikan kepada penlis.

3. Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc, Ketua Program Studi Ekonomi

Sumberdaya dan Lingkungan atas segala ilmu dan motivasinya selama

penulis menyelesaikan pendidikan pascasarjana.

4. Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS, dosen Program Studi Ekonomi

Sumberdaya dan Lingkungan atas segala ilmu dan motivasinya selama

penulis menyelesaikan pendidikan pascasarjana.

5. Dosen dan staf Departemen ESL atas bantuan dan kerjasamanya selama

penulis menempuh pendidikan pascasarjana.

6. Pimpinan Badan Litbang Pertanian, Kepala Balai Besar Pengkajian dan

Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor dan Kepala Balai Pengkajian

Teknologi Pertanian Bengkulu, yang telah memberikan kesempatan kepada

penulis untuk melanjutkan pendidikan.

7. Ayahanda tercinta Ariyus KH. Sampono Endah beserta Ibunda Baiyinah dan

Papa Drs. Djamal Sasta beserta Mama Koen Paryati atas segala doa,

nasehat, motivasi dan kasih sayangnya.

8. Kakak M. Taufiq dan adik-adik tercinta Busyra, Ruhamak, Baihaqi, Raudhah

(11)

9. Istri tercinta Shannora Yuliasari yang setia mendampingi dan memberikan

semangat serta membantu penulis selama pendidikan dan penyelesaian

tulisan ini.

10. Anak-anakku tersayang Firaas Althaf dan Mahira Lutfiyah yang selalu

memberikan semangat dan keceriaan.

11. Mamak Ir. Yardha beserta keluarga atas segala bantuan dan motivasinya

sehingga penulis dapat menjalani masa pendidikan dan penyelesaiaan

tulisan ini.

12. Rekan-rekan ESL dan ESK 2009, Pak Bambang ESL 2007, ESL 2008 atas

segala bantuan dan kebersamaan yang dibangun selama ini.

13. Bapak M. Rais dan keluarga yang telah menyediakan akomodasi dan bantuan bagi penulis selama melaksanakan penelitian serta masyarakat Kecamatan Seluma Selatan yang terlibat dalam penelitian ini.

14. Teman-teman dan sahabat penulis Yadi, Said, Kadek, Asti, Ria, Novan, Ongen, Roghib, Eka, Rio, Fadli dan Ririn atas segala bantuan dan kebersamaan selama ini.

15. Bapak/Ibu petugas belajar Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian atas segala informasi dan bantuannya.

Akhir kata, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat

bagi stake holder terkait untuk pengelolaan sumberdaya lahan yang lebih baik guna manfaat sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat dan semoga

tulisan ini dapat menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut.

Bogor, Januari 2012

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Tiga Suku Padang Panjang pada tanggal 21

Juni 1977 dari ayah Ariyus KH. Sampono Endah dan ibu Baiyinah. Penulis

merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara. Tahun 1996 penulis lulus dari

SMA Negeri Padang Panjang dan pada tahun 1997 diterima di Universitas Syiah

Kuala pada Program Studi Agribisnis Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas

Pertanian. Penulis mendapatkan gelar Sarjana Pertanian pada tahun 2002.

Tahun 2002 penulis bekerja sebagai staf peneliti di Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian sampai sekarang. Tahun

2009, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana,

(13)

xii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekonomi Konversi Lahan ... 11

2.2. Rente Lahan (Land Rent)... 14

2.3. Biaya ... 18

2.4. Harga ... 20

2.5. Produktivitas ... 21

2.6. Penerimaan ... 22

2.7. Perubahan Penggunaan Lahan ... 23

III. KERANGKA PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 31

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 31

4.3. Metode Pengambilan Sampel ... 32

4.4. Metode Analisis Data ... 33

4.4.1. Analisis Laju Konversi Lahan Sawah ... 33

4.4.2. Analisis Land Rent ... 34

4.4.3. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan ... 37

4.5. Batasan Penelitian ... 40

V.

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

5.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Seluma ... 41

5.2. Kependudukan ... 42

5.3. Tingkat Pendidikan ... 44

5.4. Struktur Ekonomi Wilayah Kabupaten Seluma ... 44

5.5. Penggunaan Lahan ... 45

5.6. Sub-sektor Tanaman Pangan ... 46

5.7. Sub-sektor Perkebunan ... 47

VI.

HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1. Keragaan Petani Responden ... 49

6.2. Analisis Laju Konversi Lahan Sawah ... 50

6.3. Dampak Konversi Lahan terhadap Ketahanan Pangan ... 55

6.4. Analisis Land rent ... 56

6.4.1. Usahatani Padi Sawah ... 57

6.4.2. Usahatani Kelapa Sawit ... 68

6.4.3. Nilai land rent Usahatani Padi dan Kelapa Sawit ... 77

(14)

xiii VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan ... 91 7.2. Saran ... 92

(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Luas maksimum kepemilikan lahan berdasarkan kepadatan

penduduk ... 25

2. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ... 31

3. Luas wilayah kecamatan di Kabupaten Seluma tahun 2011 ... 40

4. Data Monografi Kabupaten Seluma dirinci menurut kecamatan ... 42

5. Tingkat Pendidikan penduduk Kabupaten Seluma ... 43

6. Distribusi PDRB Kabupaten Seluma atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha ... 44

7. Luas lahan yang sudah diusahakan di Kabupaten Seluma tahun 2010 . 45 8. Luas sawah Provinsi Bengkulu Dirinci Menurut Kabupaten ... 45

9. Luas lahan sawah di kabupaten seluma berdasarkan irigasi ... 46

10. luas tanam komoditi perkebunan rakyat Kabupaten Seluma ... 47

11. Luas areal perkebunan besar swasta/negara di Kabupaten Seluma .... 47

12. Keragaan karakteristik petani responden ... 48

13. Perkembangan luas lahan sawah di Kabupaten Seluma ... 50

14. Laju konversi lahan sawah di Kabupaten Seluma tahun 2005 – 2010 ... 51

15. Perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Seluma tahun 2005 - 2010 ... 52

16. Kondisi ketahanan pangan Kabupaten Seluma tahun 2005-2009 ... 55

17. Penggunaan sarana produksi usahatani padi sawah Pola Tanam I ... 58

18. Alokasi biaya usahatani padi sawah Pola Tanam I ... 59

19. Penerimaan, biaya, dan land rent usahatani pada Pola Tanam I ... 61

20. Penggunaan sarana produksi usahatani padi sawah Pola Tanam II ... 62

21. Penggunaan sarana produksi usahatani palawija pada Pola Tanam II .. 63

22. Alokasi biaya usahatani padi sawah Pola Tanam II ... 64

23. Analisis land rent tanaman palawija jagung, kacang tanah, dan ubi jalar ... 65

24. Rata-rata penerimaan, biaya, dan land rent usahatani per musim pada Pola Tanam II ... 66

25. Profil usahatani kelapa sawit pada lahan sawah yang konversi ... 67

26. Penggunaan sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun pertama ... 69

27. Biaya sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun pertama ... 70

(16)

xv

29. Biaya sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun kedua ... 71

30. Penggunaan sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun ketiga ... 72

31. Biaya sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun ke tiga ... 73

32. Biaya sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun ke-4 sampai tahun ke-25 ... 73

33. Penggunaan input usahatani tanaman tumpangsari kelapa sawit ... 74

34. Analisis usahatani tanaman tumpangsari kelapa sawit ... 75

35. Analisis land rent usahatani kelapa sawit ... 76

36. Perbandingan nilai land rent usahatani padi dan kelapa sawit ... 76

(17)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Nilai produk dan kurva biaya untuk ilustrasi konsep land rent sebagai

surplus ekonomi setelah pembayaran biaya produksi ... 16

2. Perbedaan antara land rent dan standar quasi-rent ... 18

3. Diagram model operasional ekonomi konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit di Kecamatan Seluma Selatan ... 28

4. Peta wilayah Kabupaten Seluma ... 41

5. Proses konversi lahan (A) Sporadis, (B) Progresif ... 54

6. Struktur biaya rata-rata usahatani pola tanam Padi-padi ... 60

7. Distribusi biaya usahatani kelapa sawit tahun pertama ... 70

8. Grafik land rent usahatani kelapa sawit tahun 1 – 25 ... 76

(18)

xvii DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Biaya rata-rata usahatani padi sawah pola tanam Padi – Padi dan

Padi-Padi-Palawija per hektar per musim tanam ... 102

2. Biaya rata-rata usahatani padi sawah pola tanam Padi – Padi dan

Padi-Padi-Palawija per hektar per musim tanam ... 103

3. Analisis land rent dan PVNR-land rent usahatani padi sawah pola

tanam Padi – Padi - Palawija ( t = 25 tahun, r = 10%) ... 104

4. Potensi produksi tanaman kelapa sawit menurut umur tanaman

pada kelas kesesuaian lahan S2 ... 105

5. Biaya rata-rata usahatani tanaman belum menghasilkan (TBM) dan

tanaman menghasilkan (TM) kelapa sawit ... 106

6. Analisis land rent dan PVNR-land rent usahatani kelapa sawit (r =

10% dan t = 25 tahun) ... 107

7. Hasil olah data regresi logistik faktor-faktor yang mempengaruhi

(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kabinet Indonesia Bersatu tahun 2005 mencanangkan strategi Revitalisasi

Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK), yang bertujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan petani hutan, mengurangi

pengangguran, membangun ketahanan pangan, membangun perdesaan, dan

melestarikan lingkungan (KKBP 2005). Harapan dari kebijakan pemerintah ini

adalah menurunkan kemiskinan dari 16,6% (2004) menjadi 8,2% (2009),

menurunkan pengangguran terbuka dari 9,7% (2004) menjadi 5,1% (2009), dan

swasembada beras secara berkelanjutan. Selain itu telah dicanangkan juga

untuk mencapai swasembada beberapa komoditas pertanian seperti jagung

(2007), kedelai (2025), gula (2009) dan daging (2010).

RPPK ini perlu mendapat perhatian semua pihak, mengingat sumbangan

sektor pertanian yang cukup besar terhadap pendapatan nasional, menurut data

BPS peranan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia

tahun 2009 sebesar 15,30%. Sektor pertanian berada pada ranking kedua yang

memiliki kontribusi terhadap PDB setelah sektor industri pengolahan yaitu

sebesar 26,40%. Di tingkat regional Provinsi Bengkulu kontribusi sektor pertanian

terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) lebih tinggi dibanding

nasional, yaitu sebesar 19,44% (BPS 2009). Hal lain yang perlu dipertimbangkan

adalah 88,83% kabupaten/kota berbasis pertanian dan 83% tenaga kerja sektor

pertanian. Namun jumlah yang besar ini tidak diikuti tingkat kesejahteraan yang

memadai karena angka kemiskinan di perdesaan masih sangat tinggi, jumlah

penduduk miskin mencapai 24,6 juta (68,14%) (Pasaribu 2007).

Ketahanan pangan merupakan tantangan utama yang akan dihadapi

Bangsa Indonesia, selain itu juga inflasi akibat kenaikan harga pangan dan

energi, untuk mengantisipasinya pemerintah menargetkan peningkatan

cadangan beras. Hal ini disampaikan Presiden Republik Indonesia pada Rapat

Kerja tentang Pelaksanaan Program Pembangunan Tahun 2011. Misi

pemerintah pada tahun 2011 yaitu mempercepat pertumbuhan ekonomi yang

berkeadilan, sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah pertumbuhan

ekonomi sebesar 6,4%, inflasi 5,3%, penurunan angka pengangguran menjadi

7%, dan penurunan angka kemiskinan menjadi 11,5-12,5%1.

1

(20)

2

Permasalahan utama pembangunan pertanian di Indonesia adalah a)

semakin berkurangnya lahan-lahan pertanian produktif terutama lahan sawah

karena dikonversi menjadi lahan pertanian non sawah dan non pertanian, b)

penurunan kualitas sumberdaya lahan akibat pengelolaan yang kurang baik, dan

c) kompetisi penggunaan dan fragmentasi lahan. Kompetisi penggunaan lahan

terkait dengan pemenuhan kebutuhan akan sarana dan prasarana, serta bahan

bakar sedangkan fragmentasi lahan terjadi karena kondisi sosial ekonomi petani,

kemiskinan akan memaksa petani melepas sebagian kepemilikan lahannya dan

adanya sistem pewarisan yang berdampak pada skala kepemilikan lahan sawah

yang semakin kecil (Hidayat 2009).

Perubahan kepemilikan dan fragmentasi lahan menyebabkan peningkatan

rumah tangga petani gurem, yaitu rumah tangga pertanian yang menguasai

lahan kurang dari 0,5 ha. Berdasarkan data statistik jumlah rumah tangga petani

gurem meningkat 2,6% tiap tahun, yaitu dari 10,8 juta rumah tangga pada tahun

1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga pada tahun 2003. Persentase rumah

tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga

meningkat dari 52,7% menjadi 56,5%. Rumah tangga petani gurem di Jawa

tahun 1993 adalah 69,80%, tahu 2003 meningkat menjadi 74,90%. Di luar Jawa,

persentase perani gurem meningkat dari 30,60% menjadi 33,9%. Banyaknya

rumah tangga pertanian naik dari 20,8 juta pada tahun 1993 menjadi 25,4 juta

pada tahun 2003, yang berarti meningkat sebesar 2,20%/tahun. Komposisi

banyaknya rumah tangga pertanian di Jawa menurut Sensus Pertanian 1993

sebanyak 56,10% rumah tangga pertanian dan sisanya sebesar 43,90% berada

di luar Jawa, tahun 2003 komposisinya menjadi 54,90% di Jawa dan 45,10% di

luar Jawa2.

Beban sektor pertanian makin bertambah, seiring dengan meningkatnya

jumlah rumah tangga di Indonesia, banyaknya rumah tangga pertanian juga

mengalami peningkatan dari 20,8 juta pada tahun 1993 menjadi 25,6 juta pada

tahun 2003, dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 2,10% pertahun. Demikian

juga halnya dengan jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan, meningkat

1,7% pertahun, dari 20,5 juta pada tahun 1993 menjadi 24,4 juta rumah

tangga pada tahun 20033. Peningkatan rumah tangga pertanian dan rumah

tangga pengguna lahan berdampak pada peningkatan tenaga kerja peningkatan

2

Pertumbuhan Rumah Tangga Pertanian di Indonesia. Berita Resmi Statistik No.06/VII/2 Januari 2004

3

(21)

3 tenaga kerja pertanian, tenaga kerja pertanian meningkat sebesar 25,65%, dari

66,52 juta orang pada tahun 1993 menjadi 83,58 juta orang pada tahun 2003.

Akibatnya kesejahteraan rata-rata petani menjadi terkendala untuk ditingkatkan.

Disamping itu, telah terjadi ketimpangan distribusi penguasaan lahan, yaitu 70%

petani menguasai 13% lahan yang ada, sementara yang 30% petani lainnya

justru menguasai 87% lahan yang ada. Ketimpangan dalam penguasaan lahan

akan semakin memiskinkan petani, memarjinalisasikan petani dan pertanian, dan

mengancaman ketahanan pangan yang memerlukan keseriusan berbagai pihak

untuk menanganinya (Suhartanto 2008).

Berkaitan dengan aspek ketersediaan bahan pangan, kelangsungan

proses produksi pangan dengan pelaku utama petani, memerlukan ketersediaan

lahan secara berkelanjutan dalam jumlah dan mutu yang memadai. Lahan

pertanian selain sebagai faktor kunci dalam sistem produksi pangan, juga

memiliki sifat yang unik karena fungsinya yang tidak dapat tergantikan oleh

sumberdaya. Oleh karenanya ketersediaan lahan pertanian yang berkelanjutan

merupakan hal yang sangat mendasar untuk menciptakan ketahanan pangan

nasional yang lestari dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara

umum.

Konversi lahan sawah yang terjadi pada periode tahun 1981-1999 seluas

90.417 hektar/tahun dan pencetakan sawah baru seluas 178.954 hektar/tahun

sehingga terjadi penambahan luas sawah 88.536 hektar/tahun. Kemudian pada

tiga tahun berikutnya laju konversi lahan sawah tidak terkendali sehingga pada

periode tahun 1999 - 2002 lahan sawah berkurang atau menyusut seluas

141.286 hektar/tahun. Konversi lahan sawah pada periode tersebut mencapai

187.720 hektar/tahun (alih fungsi ke non pertanian seluas 110.164 hektar/tahun

dan alih fungsi ke pertanian lainnya seluas 77.556 hektar/tahun), sedangkan

pencetakan sawah baru hanya 46.434 hektar/tahun. Konversi lahan sawah pada

periode 1999-2002 tersebut sebagian besar (70,3%) terjadi di luar Pulau Jawa

dan sisanya (29,7%) di Pulau Jawa. Secara keseluruhan pada periode

1981-2002 tersebut pencetakan sawah baru mencapai 3,4 juta hektar, tetapi kemudian

dikonversi lagi sebanyak 2,2, juta hektar atau 65% (Irawan 2007).

Berbagai peraturan telah dikeluarkan pemerintah untuk membatasi

konversi lahan sawah, namun upaya ini tidak banyak hasilnya disebabkan

karena: (a) kemudahan untuk merubah kondisi fisik lahan sawah; (b) peraturan

(22)

4

himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas; dan (c) ijin konversi merupakan

keputusan kolektif sehingga sulit ditelusuri pihak mana yang bertanggung jawab

atas pemberian ijin konversi lahan. Menurut Simatupang dan Irawan (2007)

Konversi lahan pertanian tidak terhindari antara lain, karena: (1) pembangunan

berlangsung pesat dan jumlah penduduk terus meningkat terutama di daerah

yang langka lahan, (2) mekanisme pasar disebabkan oleh rente ekonomi lebih

rendah pada sektor tanaman pangan dari permintaan di luar tanaman pangan,

dan (3) konversi lahan merupakan proses yang menular.

Faktor-faktor yang menentukan konversi lahan dikelompokkan menjadi

tiga, yaitu faktor ekonomi, faktor sosial, dan peraturan pertanahan yang ada

(Ilham et.al. (2005), lebih lanjut Suhartanto (2008) dan Witjaksono (2006), menyatakan alasan ekonomi senantiasa melatar-belakangi dan menjadi faktor

pendorong terjadinya konversi lahan pertanian antara lain : a) nilai land rent yang diperoleh dari usaha pertanian senantiasa lebih rendah dibanding nilai

land rent untuk sektor non pertanian (perumahan, jasa, industri, infrastrukur jalan), b) kesejahteraan petani yang masih tertinggal, c) kepentingan

pemerintah daerah di era otonomi daerah khususnya terkait penerimaan

Pendapatan Asli Daerah (PAD), ada anggapan sektor pertanian tidak

memberikan keuntungan yang signifikan, dan d) lemahnya fungsi kontrol dan

pemberlakuan peraturan oleh lembaga terkait.

Konversi lahan pertanian harus dicegah karena sifatnya yang irreversible dan permanen, artinya ketika lahan pertanian telah berubah fungsi kapanpun

sulit untuk dapat berubah kembali ke fungsi pertanian. Alih fungsi lahan

pertanian, terutama lahan sawah berdampak sangat buruk bagi bangsa dan

rakyat Indonesia, antara lain (1) berpotensi mengancam ketahanan pangan

nasional, (2) proses pemiskinan petani karena kehilangan aset pokok untuk

sumber mata pencahariannya, (3) pengangguran karena lenyapnya lahan

pertanian yang mampu menyerap angkatan kerja sampai 46%, (4) pemubaziran

investasi yang telah ditanam pemerintah (terutama irigasi), (5) degradasi budaya

masyarakat di perdesaan, dan (6) menurunnya fungsi lingkungan hidup.

Proses konversi lahan sawah pada umumnya berlangsung cepat jika akar

penyebabnya terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan sektor ekonomi lain

yang menghasilkan surplus ekonomi lahan (land rent) lebih tinggi. Sebaliknya akan berlangsung lambat jika motivasi terkait dengan degradasi fungsi lahan

(23)

5 dapat difungsikan lagi sebagai lahan sawah. Teori ekonomi dapat menjelaskan

fenomena konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian, yakni melalui analisis

rasio persewaan lahan (land rent ratio).

Beberapa hasil kajian empiris memberikan penilaian land rent lahan untuk sawah adalah 1/500 dibanding pemanfaatan lahan untuk industri (Iriadi 1990),

1/622 untuk perumahan (Riyani 1992), 1/14 untuk pariwisata (Kartika 1991), dan

1/2,6 untuk hutan produksi (Lubis 1991), 1/7 untuk bawang merah (Sitorus et.al. 2007). Selanjutnya, menurut Asni (2005) dalam penelitiannya tentang produksi,

pendapatan dan alih fungsi lahan diperoleh pendapatan dari usahatani padi Rp

1.387.577/hektar dan kelapa sawir Rp 5.735.203/hektar, artinya pendapatan dari

usahatani kelapa sawit 3,70 kali lebih besar daripada padi sawah. Berdasarkan

kasus-kasus konversi lahan yang ada dapat dikatakan bahwa faktor penarik

konversi lahan sawah adalah nilai manfaat yang lebih besar jika lahan diubah

fungsinya menjadi penggunaan lain.

Penilaian yang demikian menyebabkan proses konversi lahan sawah ke

penggunaan lain sulit dihindari. Jika alokasi lahan sepenuhnya diserahkan pada

mekanisme pasar, maka pertumbuhan ekonomi akan selalu menimbulkan

konversi lahan sawah yang pada umumnya telah memiliki infrastruktur yang

sudah berkembang. Ketersediaan infrastruktur ekonomi yang memadai

merupakan faktor positif dominan yang ikut mempengaruhi keputusan pemilik

lahan untuk merubah fungsi lahannya, seperti perkebunan kelapa sawit yang

sangat membutuhkan infrastruktur jalan untuk pengangkutan bibit, pupuk dan

sarana produksi lainnya pada tanaman belum menghasilkan serta pengangkutan

hasil panen dan sarana produksi pada tanaman menghasilkan.

1.2. Perumusan Masalah

Pola pemanfaatan lahan petani sangat dipengaruhi oleh kecukupan modal,

tenaga kerja keluarga dan adanya kemudahan dalam perawatan dan

pemasarannya. Misalnya, petani akan rela mengganti seluruh tanaman yang

sudah lama diusahakan (padi) dengan tanaman lain asal menguntungkan

(kelapa sawit). Dari keadaan tersebut ada kecenderungan pilihan komoditas

yang diusahakan petani yaitu: (a) petani akan berusaha untuk memperoleh uang

dan bahan pangan guna keperluan sehari-hari, (b) jika struktur tenaga kerja

dalam keluarga tidak mendukung/mencukupi, petani akan berusaha untuk

menanam komoditas yang tidak banyak menyita waktu, c) petani akan

(24)

6

perawatannya mudah dengan kecenderungan pilihan komoditas yaitu kelapa

sawit.

Keterbatasan sumberdaya lahan yang dimiliki dan produktivitas lahan

sawah yang cenderung melandai (levelling off) mendorong petani untuk merubah fungsi lahannya menjadi kebun kelapa sawit. Disamping faktor internal dari

permintaan crude palm oil (CPO) dan karet dunia yang cenderung tinggi ditambah dengan melambungnya harga komoditas sawit dan karet sejak tahun

2007 membuat sektor perkebunan menjadi semakin menggiurkan4. Pasar hasil

perkebunan rakyat yang melibatkan banyak petani dan terpencar berhadapan

dengan beberapa pedagang (desa sampai kabupaten) dan karena sifat produk

perkebunan yang harus diolah berhadapan dengan “kelompok” industri

pengolahan.

Struktur pasar yang berkembang cenderung kearah struktur pasar tidak

bersaing (oligopsoni). Pengembangan perkebunan rakyat, seperti di daerah

Perusahaan Inti Rakyat (PIR) untuk merubah struktur pasar oligopsoni justru

terjebak pada munculnya struktur pasar monopsoni dimana pekebun berhadapan

langsung dengan industri pengolahan. Kondisi ini yang kemudian menjadi

penghambat berkembangnya sektor perkebunan kelapa sawit rakyat, namun

permintaan CPO yang tinggi mendorong perusahaan untuk menghasilkan produk

lebih banyak. Untuk berproduksi lebih banyak, tentunya dibutuhkan bahan baku

tandan buah segar kelapa sawit lebih banyak pula, kondisi ini yang kemudian

menjadi peluang pasar bagi produksi TBS kelapa sawit dari perkebunan rakyat.

Peluang pasar ini dioptimalkan oleh petani yang bekerja pada perusahaan

perkebunan kelapa sawit yang ada di Kecamatan Seluma Selatan dengan

membuka perkebunan sendiri. Pada awalnya lahan yang digunakan adalah

lahan-lahan sawah yang dianggap kurang subur untuk tanaman padi karena

kondisi drainase yang kurang baik. Dalam perkembangnya, melihat pertumbuhan

tanaman kelapa sawit yang cukup baik, pengelolaan tanaman yang lebih mudah,

proses panen dan pemasaran yang mudah, serta periode produksi yang relatif

cepat menjadi penarik bagi petani sekitar untuk ikut merubah fungsi lahan

sawahnya dari tanaman padi menjadi tanaman kelapa sawit.

Selain faktor harga komoditas dan peluang pasar yang cukup terbuka,

akumulasi berbagai kendala terkait sarana dan prasarana untuk usahatani padi

4

(25)

7 seperti ketersediaan air irigasi, ketersediaan pupuk dan keuntungan usahatani

yang sebanding dengan biaya dan tenaga yang dicurahkan ikut mendorong

petani untuk mengembangkan tanaman kelapa sawit dengan merubah fungsi

lahan sawah yang dimiliki. Ketersediaan air irigasi merupakan kunci awal

keberhasilan usahatani karena berhubungan dengan tahap persiapan lahan,

pengolahan lahan, tanam dan pertanaman. Tanaman padi membutuhan kondisi

lahan yang jenuh air (tergenang) dalam periode pertumbuhannya untuk

memperoleh produksi yang tinggi, namun perubahan tata kelola irigasi yang

terjadi menyebabkan distribusi air irigasi tidak merata sehingga banyak lahan

sawah yang tidak bisa ditanami padi. Lahan-lahan ini kemudian diindikasikan

sebagai lahan terlantar dan dijadikan kebun kelapa sawit.

Faktor lain yang ikut berperan dalam konversi lahan adalah ketersediaan

pupuk bersubsidi pemerintah. Dalam pelaksanaan pengaturan distribusi pupuk

secara tertutup sekarang ini, Pemerintah telah mengeluarkan Permentan,

Permendag yang bertujuan untuk mengatur pendistribusian pupuk bersubsidi

secara tertutup yang akan diberlakukan pada tahun 2009, yaitu: Peraturan

Presiden RI No. 72 Tahun 2008, tentang Penetapan Pupuk bersubsidi Sebagai

Barang Dalam Pengawasan; Permendag No. 21/M-DAG/Per 16/2008 tentang

Pengadaan dan Penyaluran Pupuk bersubsidi Untuk Sektor Pertanian;

Permentan No. 42 Tahun 2008 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi

(HET) Pupuk bersubsidi Untuk Sektor Pertanian Tahun 20095. Kenyataannya,

pupuk bersubsidi sering tidak diterima petani karena kelompok tani tidak memiliki

dana untuk menebus nilai pupuk yang diajukan. Kondisi ini kemudian

dimanfaatkan oknum pedagang pengecer untuk membantu menebus pengajuan

pupuk kelompok tani tersebut, disini pupuk bersubsidi berubah menjadi barang

publik sehingga bisa didapatkan oleh siapa saja yang membutuhkan. Akibatnya

distribusi pupuk menjadi menjadi terganggu, terutama dari aspek jumlah, waktu

dan jenis pupuk.

Pemupukan secara berimbang utamanya keseimbangan antara unsur

Nitrogen (Pupuk Urea) Phospor (SP-36) dan Kalium (KCI) yang harus diberikan

tergantung pada keadaan tanah. Ketiga unsur ini mempunyai peran yang sangat

penting terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman, dimana ketiga unsur ini

saling berinteraksi satu sama lain dalam menunjang pertumbuhan tanaman.

5

(26)

8

Seperti halnya air irigasi, ketersediaan pupuk tidak hanya mempengaruhi

produksi secara langsung tetapi juga berpengaruh pada musim tanam.

Perubahan musim tanam akan memperbesar resiko usahatani yang dihadapi,

terutama disebabkan oleh hama dan penyakit tanaman. Kebutuhan yang tinggi

dan kurang tersedianya pupuk ditingkat petani pada saat musim tanam menjadi

salah satu pembenaran bagi petani untuk konversi lahan sawah menjadi kebun

kelapa sawit.

Sektor pemerintahan juga ikut berperan dalam konversi lahan sawah ke

penggunaan lain, terutama pada daerah-daerah pemekaran. Pemekaran wilayah

akan membentuk sistem pemerintahan baru, seterusnya juga membutuhkan

pembangunan infrastruktur baru, dalam beberapa kasus pembangunan dilakukan

pada lahan-lahan pertanian yang produktif. Kondisi ini diperburuk oleh pola

pengelolaan sumberdaya alam yang hanya berorientasi untuk peningkatan

pendapatan asli daerah tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Hal

seperti ini tentunya sangat menghawatirkan, disaat pemerintah sedang

mengkampanyekan pentingnya ketahanan pangan, namun proses konversi lahan

pangan menjadi perkebunan terus terjadi.

Peningkatan harga komoditas perkebunan, kemudahan dalam pengelolaan

dan pemasaran produk perkebunan, masalah irigasi, pupuk, dan kebijakan

pemerintah merupakan pemicu penyusutan luas lahan sawah di Provinsi

Bengkulu sebesar 12,74 % dalam enam tahun terakhir. Berdasarkan data

statistik luas lahan sawah tahun 2006 sebesar 121.470 hektar turun menjadi 106

ribu hektar pada tahun 2011. Menurut Kepala Badan Ketahanan Pangan

Provinsi (BKPP) Bengkulu (H. Muslih) penyusutan tersebut disebabkan penciutan

atau alih fungsi menjadi perkebunan sebesar 50% serta infrastruktur dan 50%

lainnya disebabkan bencana alam seperti longsor dan abrasi untuk kawasan

pesisir. penyusutan sawah juga diakibatkan banyaknya perusahaan perkebunan

skala besar beroperasi akibat pemberian izin yang mudah dilakukan. Lebih lanjut

Kepala BKPP menegaskan, bahwa tidak mungkin ketahanan pangan tercapai

bila lahan untuk pertanian tanaman pangan beralih fungsi menjadi kebun karet

dan sawit atau pemukiman baru, seperti yang terjadi di Kabupaten Mukomuko,

Bengkulu Selatan, Bengkulu Utara, dan Seluma6.

6

(27)

9 Luas lahan sawah di Kabupaten Seluma tahun 2005 mencapai 23.936 ha,

selanjutnya pada tahun 2006 turun menjadi 21.002 hektar atau terjadi penurunan

seluas 2.934 hektar. Pada tahun 2007 kembali terjadi penurunan seluas 927

hektar, perubahan luas lahan sawah ini sebagian besar akibat dikonversi menjadi

lahan perkebunan karet dan kelapa sawit serta penggunaan non pertanian.

Kondisi ini terlihat dari perkembangan luas tanam komoditas kelapa sawit, dalam

kurun waktu lima tahun (2005 – 2010) luas tanam kelapa sawit meningkat sekitar

89,41%, tahun 2005 tercatat luas tanam mencapai 15.312 hektar dan tahun 2010

bertambah menjadi 29.002 hektar atau rata-rata meningkat sebesar 3.422,50

hektar/ tahun. Demikian juga dengan komoditas karet, luas tanam meningkat

sebesar 5,42% dari luas tanam 25.199 hektar menjadi 26.482 hektar pada tahun

2010 (BPS 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, 2010).

Keputusan menanam kelapa sawit yang ditempuh dengan jalan

mengkonversi lahan sawah merupakan suatu keputusan revolusioner yang

ditempuh petani. Usahatani ini bukannya tanpa resiko, sebagai bidang usaha

baru kesalahan dalam pengelolaan seperti pemilihan bibit, teknologi budidaya

bukannya memberikan keuntungan lebih tinggi tapi tidak menghasilkan apa-apa

karena tanaman kelapa sawit mereka produktivitasnya rendah bahkan tidak

berproduksi sama sekali. Namun dengan pengalaman yang cukup lama dalam

usahatani padi dengan berbagai kendala yang dihadapi, mungkin resiko yang

dihadapi lebih rendah pada usahatani kelapa sawit.

Berdasarkan uraian di atas, timbul pertanyaan-pertanyaan yang kemudian

menjadi permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini, berkaitan dengan

usaha-usaha untuk pengendalian konversi lahan sawah irigasi menjadi kebun

kelapa sawit, yaitu:

1. Bagaimana perkembangan laju konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa

sawit di Kabupaten Seluma?

2. Benarkah land rent dari usahatani kelapa sawit lebih tinggi dari usahatani padi sawah?

3. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi petani untuk mengkonversi lahan

sawah menjadi kebun kelapa sawit?.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menganalisa fenomena konversi lahan sawah

menjadi kebun kelapa sawit yang terjadi di Kecamatan Seluma Selatan

(28)

10

yang optimal dari pengelolaan komoditas pada lahan tersebut. Secara lebih rinci

penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengestimasi perkembangan laju konversi lahan sawah menjadi kebun

kelapa sawit di Kabupaten Seluma.

2. Mengestimasi nilai land rent dari tanaman pangan selama periode satu tahun dan nilai land rent rata-rata komoditas kelapa sawit selama periode satu tahun serta memproyeksikan nilai land rent dalam Present Value Net Return land rent.

3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani mengkonversi lahan

sawah menjadi kebun kelapa sawit.

1.4. Manfaat Penelitian

Informasi dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan

dalam pengelolaan dan perlindungan lahan pertanian terutama lahan sawah,

sebagai tempat diproduksinya bahan pangan. Ketersediaan lahan pertanian yang

memadai dan menjaga stabilitas ketahanan pangan Provinsi Bengkulu dalam

rangka mempertahankan swasembada beras yang telah dicapai. Hasil penelitian

ini dapat digunakan untuk pengambilan kebijakan untuk mengendalikan konversi

lahan sawah serta upaya perbaikan pengelolaan sumberdaya lahan pertanian

dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekonomi Konversi Lahan

Sumberdaya lahan sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia

karena sumberdaya lahan merupakan masukan yang diperlukan untuk setiap

bentuk aktifitas manusia untuk memenuhi kebutuhannya, seperti untuk pertanian,

daerah industri, daerah pemukiman, jalan dan juga tempat rekreasi. Secara

umum dapat dikatakan bahwa sumberdaya lahan berkontribusi besar bagi

kesejahteraan suatu bangsa (Suparmoko 1997).

Sebagai salah satu komoditas ekonomi lahan mengalami peningkatan nilai

sejalan dengan waktu karena sifat keterbatasannya, apalagi tanah mempunyai

manfaat dilihat dari berbagai sudut pandang. Lahan mempunyai nilai keindahan,

nilai politik, nilai fisik, nilai sosial, dan nilai spiritual. Nilai-nilai ini dimiliki

sumberdaya lahan apabila ia mempunyai manfaat/potensi untuk menghasilkan

pendapatan dan kepuasan dimana jumlah yang ditawarkan lebih sedikit daripada

permintaannya serta ia mudah untuk ditransfer (Cahyono 1983).

Lahan dapat diartikan sebagai suatu hamparan milik/dikuasai seseorang

dan dibatasi oleh penguasaan lahan orang lain ataupun batas-batas alam lainnya

seperti sungai, jalan umum, hutan, selokan dan semacamnya. Sedangkan lahan

sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang

(galengan), saluran untuk menahan/menyalurkan air, yang biasanya ditanami

padi sawah tanpa memandang darimana diperolehnya atau status tanah

tersebut.

Lahan sawah yang memperoleh pengairan dari sistem irigasi, baik yang

bangunan penyadap dan jaringan-jaringannya diatur dan dikuasai dinas

pengairan Pekerjaan Umum (PU) maupun dikelola sendiri oleh masyarakat,

terdiri dari 1) lahan sawah irigasi teknis adalah lahan sawah yang mempunyai

jaringan irigasi dimana saluran pemberi terpisah dari saluran pembuang agar

penyediaan dan pembagian air ke dalam lahan sawah tersebut dapat

sepenuhnya diatur dan diukur dengan mudah, 2) lahan sawah irigasi setengah

teknis adalah lahan sawah yang memperoleh irigasi dari irigasi setengah teknis.

Sama halnya dengan pengairan teknis, namun dalam hal ini PU hanya

menguasai bangunan penyadap untuk dapat mengatur dan mengukur

pemasukan air, sedangkan pada jaringan selanjutnya tidak diukur dan tidak

dikuasai oleh PU, 3) lahan sawah irigasi sederhana adalah lahan sawah yang

(30)

12

(bendungan) dibangun oleh PU, 4) lahan sawah irigasi non PU adalah lahan

sawah yang memperoleh pengairan dari sistem pengairan yang dikelola sendiri

oleh masyarakat atau irigasi desa.

Kondisi lahan sawah yang didukung infrastruktur yang baik dan topografi

yang relatif datar menyebabkan lahan ini cenderung dikonversi. Konversi lahan

dapat diartikan sebagai perubahan penggunaan lahan yang dilakukan secara

sengaja oleh manusia. Konversi lahan dapat bersifat permanen dan sementara,

perubahan penggunaan menjadi kawasan pemukiman atau industri merupakan

perubahan yang bersifat permanen, sedangkan perubahan menjadi perkebunan

tebu bersifat sementara, karena pada tahun berikutnya dapat di jadikan sawah

lagi. Konversi lahan yang permanen biasanya berdampak lebih besar daripada

konversi lahan sementara.

Pola konversi lahan sawah dapat dipilah menjadi dua, yaitu sistematis dan

sporadis. Konversi lahan sawah untuk pembangunan kawasan industri,

perkotaan, kawasan pemukiman (real estate), jalan raya, kompleks perkantoran, dan sebagainya mengakibatkan terbentuknya pola konversi yang sistematis.

Lahan sawah yang dikonversi pada umumnya mencakup suatu hamparan yang

cukup luas dan terkonsolidasi. Konversi lahan sawah yang dilakukan sendiri oleh

pemilik lahan sawah umumnya bersifat sporadis. Luas lahan sawah yang

terkonversi kecil-kecil dan terpencar. Proses konversi lahan sawah bersifat

progresif, artinya, lahan sawah di sekitar lokasi yang telah terkonversi, dalam

waktu yang relatif pendek cenderung berkonversi pula dengan luas yang

cenderung meningkat. Secara empiris progresifitas konversi lahan dengan pola

sistematis cenderung lebih tinggi daripada pola yang sporadis (Direktorat Pangan

dan Pertanian 2006).

Konversi lahan sawah yang marak terjadi hampir diseluruh wilayah

Indonesia sepertinya sudah menjadi bagian dari hukum demand dan supply, ketersediaan sumberdaya yang terbatas sedangkan peningkatan jumlah

penduduk dan perkembangan struktur perekonomian terus terjadi sehingga

kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian cenderung terus meningkat.

Kondisi ini mengharuskan pemilik sumberdaya mengelolanya kearah yang lebih

menguntungkan. Kecenderungan tersebut menyebabkan alih fungsi lahan

pertanian sulit dihindari. Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi

alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga

(31)

13 Secara empiris lahan pertanian merupakan lahan yang paling rentan

terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh; Pertama pembangunan kegiatan non pertanian lebih mudah dilakukan pada lahan sawah

yang relatif datar dibanding lahan kering, Kedua infrastruktur ekonomi lebih memadai, dan Ketiga lahan persawahan lebih dekat kedaerah konsumen atau daerah kota yang lebih padat penduduknya (Nasoetion 2003). Selanjutnya

Irawan (2005), menyatakan alih fungsi lahan disebabkan oleh dua faktor.

Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif

untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong

meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga

harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan.

Wibowo (1996) menambahkan bahwa pelaku pembelian tanah biasanya bukan

penduduk setempat, sehingga mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan guntai

yang secara umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan.

Maraknya fenomena alih fungsi lahan pertanian sudah seyogyanya jadi

perhatian semua pihak. Sebagai ilustrasi, data terakhir dari Direktorat Jenderal

Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian (Dirjen PLA 2005)

menunjukkan bahwa sekitar 187.720 hektar sawah beralih fungsi kepenggunaan

lain setiap tahunnya, terutama di Pulau Jawa. Lebih mengkhawatirkan lagi, data

dari Direktorat Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional (Winoto 2005)

menggambarkan bahwa jika arahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang

ada pada saat ini tidak ditinjau kembali, maka dari total lahan sawah beririgasi

(7,3 juta hektar), hanya sekitar 4,2 juta hektar (57,6%) yang dapat dipertahankan

fungsinya. Sisanya, yakni sekitar 3,01 juta hektar (42,4%) terancam beralih

fungsi ke penggunaan lain.

Konversi lahan sawah menjadi pertanian lahan kering berpengaruh secara

langsung terhadap produksi padi karena berkuranganya luas areal persawahan.

Secara tidak langsung proses ini juga akan menurunkan produksi padi karena

kondisi lingkungan yang tercipta dapat menjadi tempat tinggal hama tanaman

padi seperti tikus, burung, dan belalang. Hasil penelitian Kiatpathomchai et al. (2008) menunjukkan penurunan produktivitas lahan sawah sebesar 467-515

kg/hektar di Thailand Selatan akibat konversi lahan sawah menjadi tambak

(32)

14

hidrologis air tawar yang digunakan untuk lahan sawah. Untuk mengetahui nilai

manfaat dari pengelolaan komoditas padi sawah dan kelapa sawit terhadap

rumah tangga petani dan masyarakat sekitar perlu dilakukan perhitungan land rent, sehingga dapat disimpulkan bagaimana sebaiknya pengelolaan lahan sawah yang ada.

2.2. Rente Lahan (land rent)

Menurut Ricardo rente lahan (land rent), adalah surplus ekonomi suatu lahan yang dapat dibedakan atas (i) surplus yang selalu tetap (rent as an unearned increment), definisi ini memberikan kesan bahwa sewa lahan adalah surplus yang selalu tetap atau mendapat hasil tanpa berusaha (windfall return), yang diperoleh akibat pemilikan lahan, dan (ii) surplus sebagai hasil dari investasi

(rent as return on investment), dalam pengertian ini lahan dipandang sebagai faktor produksi. Kebanyakan investor, pemilik dan penggarap menggunakan

pengertian kedua ini. Selanjutnya dikatakan, land rent dapat dibedakan atas teori sewa Ricardian (Ricardian Rent), dan sewa ekonomi (Economic Rent atau Locational Rent). Teori sewa Ricardian, merupakan teori rente lahan yang mempertimbangkan faktor kesuburan lahan. Lahan yang subur akan memiliki

nilai land rent yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan yang kurang subur. Pendekatan ini terutama banyak digunakan pada wilayah pertanian yang

umumnya berada di perdesaan, sedangkan sewa ekonomi mempertimbangkan

lokasi atau jarak relatif dari suatu lahan pertanian dengan pusat pasar. Lahan

dengan land rent yang tinggi akan berada di dekat pusat pasar. Kondisi tersebut berkaitan erat dengan rendahnya biaya pengangkutan atau biaya perjalanan,

yang dibutuhkan untuk menempuh jarak dari lokasi produksi ke lokasi pemasaran

(Barlowe 1978).

Rente lahan dapat dianggap sebagai kelebihan nilai penerimaan dari hasil

pemanfaatan lahan yang terkait dengan biaya yang dikeluarkan untuk selain

lahan, seperti tenaga kerja, capital, bahan baku, dan energi yang digunakan untuk mengubah sumberdaya alam menjadi barang. Menurut Suparmoko (1997),

bahwa land rent merupakan surplus ekonomi yang merupakan kelebihan nilai produksi total di atas biaya total. Surplus ekonomi dari sumberdaya lahan dapat

dilihat dari surplus ekonomi karena kesuburan tanahnya dan surplus ekonomi

(33)

15 persegi tiap tahun akibat dilakukannya suatu kegiatan pada bidang lahan

tersebut. Pendapatan bersih atau benefit ini berasal dari total penerimaan dikurangi dengan total biaya produksi yang dikeluarkan. Peninjauan biaya

tergantung kepada yang melihatnya dan karena itu terbagai menjadi (1) analisis finansial, yaitu peninjauan biaya yang dilihat dari segi pengelola usaha; (2) analisis ekonomi, yaitu peninjauan biaya yang dilihat dari sudut pandang masyarakat secara keseluruhan (sosial).

Krause and Brorsen (1995), dalam penelitiannya tentang dampak dari

resiko nilai land rent pada lahan pertanian menyatakan bahwa, land rent adalah fungsi dari penerimaan, biaya produksi, dan resiko. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa tingginya resiko penggunaan lahan akan mengakibatkan

menurunnya nilai land rent dan sebaliknya. Selanjutnya Renkow (1993), dalam penelitiannya tentang harga lahan (land prices), rente lahan (land rent), dan perubahan teknologi menyatakan, bahwa adopsi teknologi di bidang pertanian

mempunyai pengaruh yang positif terhadap nilai land rent. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa harapan perolehan keuntungan secara nyata akan

mempengaruhi peningkatan harga lahan.

Konsep rente lahan dapat didekati dengan nilai rata-rata (average value) per hektar atau per meter persegi. Merupakan selisih antara harga produk yang

dihasilkan dari pemanfaatan lahan tersebut dengan biaya rata-rata yang

dikeluarkan (tidak termasuk biaya untuk lahan) untuk membeli input dalam suatu

proses produksi. Berikutnya dikatakan bahwa konsep rente lahan juga dapat

didekati dengan pendekatan marginal value, yang merupakan selisih antara produk terakhir dan biaya per unit input terakhir (tidak termasuk lahan), yang

digunakan untuk menghasilkan tambahan produk terakhir tersebut. Dalam kasus

dimana harga produk konstan dan input tersedia dengan penawaran yang elastis

sempurna, maka pendekatan average value menjadi sama dengan pendekatan marginal value (Sutara 1996).

Berdasarkan Gambar 1, Barlowe (1978) menjelaskan penggunaan nilai

produk dan kurva biaya untuk land rent yang merupakan surplus ekonomi setelah pembayaran biaya produksi, nilai produksi total yang dihasilkan

ditunjukkan oleh segi empat LNSP dengan total biaya input segi empat MNSR

dan menghasilkan land rent atau economic rent seluas LMRP Surplus ekonomi sumberdaya lahan dapat dilihat dari surplus ekonomi karena faktor kesuburan

(34)

16

Gambar 1. Nilai produk dan kurva biaya untuk ilustrasi konsep land rent sebagai surplus ekonomi setelah pembayaran biaya produksi (Sumber: Barlowe 1978).

Pada akhir abad kesembilan belas, Alfred Marshall memperkenalkan

pemikiran tentang quasi-rent. Ketika keberadaan suatu sumberdaya tidak responsif terhadap perubahan harga dalam jangka pendek, hal ini dapat

menyebabkan kelebihan pengembalian tetap dari sumber daya yang sama

dengan rente berbeda. Misalnya, bangunan, mesin, dan peralatan yang dapat

memperoleh quasi-rent dalam jangka pendek karena pasokan peralatan yang tahan lama tidak dapat diperluas dengan cepat atau diubah untuk penggunaan

lain. Namun, dalam jangka panjang, peralatan yang ada dan mesin dapat

dimanfaatkan untuk penggunaan baru atau dijual, dan mesin baru dapat

diperoleh, sehingga dalam ekonomi yang kompetitif, quasi- rent dari peralatan tersebut tetap terjaga.

Lebih lanjut Marshall menggunakan istilah composite quasi-rent, ketika kombinasi dari sumber daya menghasilkan laba melebihi opportunity cost dari input yang diperlukan untuk menghasilkan output. Sumber daya yang terpisah

kemudian disatukan untuk membuat sumber daya khusus, sehingga nilai sumber

daya menjadi lebih tinggi. Contoh adalah penggilingan (untuk mengubah gandum

menjadi tepung) yang memanfaatkan aliran air (yang terdiri dari struktur

pengalihan dan roda air) untuk memberi energi pada pabrik (Young 2005).

Composite quasi-rents terdiri dari land rent dan non land rent, selanjutnya ditunjukkan bagaimana metode sisa dapat diturunkan sebuah konseptual

kerangka kerja alternatif yang menekankan konsep biaya dan sewa, seperti

pendekatan fungsi produksi. Gambar 2 menggambarkan aspek penting dari teori

awal perusahaan. Versi sederhana dari model neoklasik mengasumsikan bahwa

kurva suplai untuk input variabel yang diperlukan pada harga konstan, dimana Output

MR=AR Harga

Land rent

MC AC

P

R

S L

M

(35)

17 produsen adalah price taker di pasar output, sehingga harga produk (Py) dapat

diasumsikan konstan untuk periode analisis. Total pendapatan (TR) adalah

output (Y) kali harga produk (TR = Y. Py).

Dalam konteks ini, konsep biaya yang signifikan adalah biaya marjinal

(MC), yang mengacu pada penambahan biaya produksi pada masing-masing

unit output. Produsen memaksimalkan keuntungan dengan memilih tingkat

output dimana harga produk sama dengan biaya marjinal (Py = MC). Pada

gambar, tingkat output yang optimal (di mana Py = MC) adalah Y0. Hal ini dapat

digunakan untuk membedakan input tetap atau input variabel. Faktor tetap

adalah faktor yang tidak dapat dihindari, bahkan jika perusahaan berhenti

operasi. Biaya tetap adalah biaya yang awalnya diasumsikan berdasarkan harga

pasar atau opportunity cost. Biaya variabel adalah biaya yang dapat dihindari jika perusahaan memproduksi output. Biaya variabel total diwakili oleh daerah dilambangkan huruf a. Biaya variabel rata-rata (AVC) dan biaya total rata-rata (ATC) didefinisikan, masing-masing sebagai biaya variabel total dan biaya total

dibagi dengan Y.

Berdasarkan definisi konvensional, jumlah rent ditambah quasi-rent adalah perbedaan antara penerimaan total dan biaya variabel total. Seperti dijelaskan

sebelumnya, economic rents adalah setiap pembayaran yang dilakukan untuk input yang digunakan saat ini. Quasi-rent adalah pembayaran total untuk faktor tetap. Jumlah rents dan quasi-rents akan merubah pendapatan total karena pengaruh kelebihan dari biaya variabel total. Artinya, pendapatan total terdiri dari

biaya variabel total ditambah yang normal quasi-rents, composite quasi-rent dan economic rent. Rente ekonomi muncul hanya jika satu atau lebih sumber daya dalam pasokan terbatas. Jika semua sumber daya dapat dibeli pada pasar

kompetitif pada harga konstan, tidak ada rente ekonomi.

Nilai land rent digambarkan sebagai daerah c dalam Gambar 2, nilai rent yang tersisa (daerah b pada Gambar 2) terdiri dari normal quasi-rent (QR) ditambah rente lainnya, yaitu hasil dari faktor produksi tetap selain lahan

(seperti, hasil modal ekuitas, kewirausahaan, manajerial, dan input sumber daya

alam lainnya selain lahan).

Berdasarkan definisi di atas, dapat disusun representasi aljabar dari ukuran

kesejahteraan produsen. Total penerimaan sama dengan jumlah dari biaya

(36)

18

TR = TVC + QR + RL + RNL

Persamaan tersebut dapat disusun ulang untuk memperoleh solusi nilai RL,

menjadi;

RL = TR - TVC - QR – RNL

Jika kedua biaya variabel total dan semua quasi-rent dan rent nonl-and dapat diisolasi dan diukur, kita kemudian dapat memperoleh rente yang berhubungan

dengan lahan (RL) sebagai suatu ukuran jangka panjang yang berhubungan

dengan penggunaan lahan terhadap kesejahteraan produser.

Gambar 2. Perbedaan antara land rent dan standar quasi-rent (Sumber: Young 2005)

2.3. Biaya

Biaya untuk menghasilkan suatu produk, akan didasarkan pada

pengeluaran yang dibebankan di dalam menghasilkan suatu jumlah hasil

produksi tertentu dalam suatu periode waktu tertentu. Tanpa pengkhususan

jumlah dan periode waktu tersebut, setiap petunjuk terhadap harga tidaklah

berarti (Bishop and Toussaint 1979). Tohir (1982) menyatakan, bahwa biaya

produksi perorangan adalah semua pengeluaran dalam hal jasa-jasa, dan

barang-barang yang dibutuhkan guna melaksanakan usaha. Selanjutnya

dikatakan, bahwa tingginya biaya produksi (biaya produksi marjinal) mempunyai

kecenderungan (tendensi) terhadap peningkatan harga produk.

Prijosoebroto (1991) menyatakan bahwa dalam usaha perikanan tambak

diperlukan biaya produksi yang terdiri atas modal kerja, biaya benih, biaya pakan,

dan biaya tenaga kerja. Selanjutnya Gohong (1993), menyatakan bahwa

penggunaan input produksi akan banyak menentukan produksi total usahatani, price

Py

ATC0

AVC

MC

ATC

AVC

Y0

Land rent

Total Variable Cost Quasi-rent

production

a b

(37)

19 apabila input tersebut dapat dipergunakan secara efektif dan efisien. Beberapa

jenis input produksi tersebut adalah tenaga kerja, pemakaian benih, pemakaian

pupuk, dan pemakaian pestisida serta obat-obatan. Untuk mendapatkan

keuntungan maksimal diperlukan penggunaan input produksi yang optimum.

Biaya dalam proses produksi dapat dibedakan menjadi biaya tetap dan

biaya variabel. Biaya tetap adalah berhubungan dengan penggunaan sarana

produksi tetap, seperti mesin. Biaya ini adalah dalam bentuk depresiasi, karena

biaya yang diperhitungan dalam proses produksi tetapi tidak dibayarkan,

melainkan masuk dalam cadangan perusahaan. Biaya variabel adalah

merupakan pengeluaran untuk penggunaan input produksi dan tenaga. Berbeda

dengan biaya tetap yang tidak dipengaruhi oleh volume produksi, besarnya biaya

variabel dipengaruhi oleh volume produksi (Djojodipuro 1991).

Biaya variabel adalah biaya karena pertambahan input variabel. Biaya

tersebut akan dibebankan hanya apabila produksi itu berlangsung dan besarnya

biaya ini akan tergantung macam input yang digunakan. Di dalam membuat

keputusan-keputusan produksi, yang digunakan untuk memaksimumkan

penerimaan bersih adalah jumlah input variabel. Biaya tetap ditambah dengan

biaya variabel adalah biaya total. Biaya total penting dalam memperhitungkan

penerimaan bersih, karena penerimaan bersih sama dengan penerimaan total

dikurangi biaya total. Dalam jangka panjang, jika penerimaan total tidak lebih

besar dari biaya total, produsen tidak akan berproduksi (Bishop and Toussaint

1979).

Penjumlahan biaya tetap total (Total Fixed Cost) dengan biaya variabel total (Total Variable Cost) merupakan keseluruhan biaya yang dikeluarkan dalam menghasilkan output (Total Cost), dalam notasi matematika dituliskan (Sugiarto, et al. 2007):

TC = TFC + TVC

Keteragan:

TC = biaya total produksi

TFC = biaya tetap total

TVC = biaya variabel total

Biaya tetap adalah biaya yang tetap harus dikeluarkan pada berbagai

tingkat output yang dihasilkan. Pada penelitian ini yang termasuk biaya tetap

(38)

20

variabel adalah biaya yang berubah-ubah menurut tinggi rendahnya tingkat

output yang dihasilkan. Yang termasuk dalam penelitian ini adalah upah tenaga

kerja, pembelian bibit, pembelian pupuk, serta pembelian pestisida.

Apabila biaya total (TC) untuk memproduksi sejumlah barang tertentu (Q)

dibagi dengan jumlah output yang diproduksit, nilai yang diperoleh adalah biaya

total rata-rata (Average Cost). Nilainya dihitung menggunakan rumus dibawah ini

Apabila biaya tetap total (TFC) untuk memproduksi sejumlah output

tertentu (Y) dibagi dengan jumlah produksi tersebut. Nilai yang diperoleh adalah

biaya tetap rata- rata. Dengan demikian rumus untuk menghitung biaya tetap rata

rata atau AFC adalah sebagai berikut :

Apabila biaya berubah total (TVC) untuk memproduksi sejumlah barang (Y)

dibagi dengan jumlah produksi tersebut, nilai yang diperoleh adalah biaya

berubah rata-rata . Biaya berubah rata – rata dihitung dengan rumus :

Marginal Cost (MC) adalah kenaikan dari total cost yang diakibatkan oleh

diproduksinya tambahan satu unit output, dengan demikian biaya marginal dapat

dicari dengan menggunakan rumus :

2.4. Harga

Casler (1988) menyatakan bahwa masalah perekonomian yang terpenting

adalah masalah harga, yang dimaksud dengan harga adalah tinggi nilai barang

dan jasa diukur dengan uang. Demikian juga dengan rente tanah (land rent), harga komoditas akan mempengaruhi penerimaan usahatani yang secara

langsung mempengaruhi nilai land rent. Harga memberikan rangsangan pada para produsen untuk menghasilkan barang-barang yang permintaannya sangat

besar dan menggunakan sumber-sumber yang paling banyak jumlahnya. Apabila

harga beberapa barang meningkat para produsen didorong untuk menghasilkan

(39)

21 akan memperoleh tambahan sumber-sumber guna memperluas produksi. Sistem

penentuan harga mengalokasikan sumber-sumber pada penggunaan yang paling

banyak permintaannya (Bishop and Toussaint1979).

Fungsi harga terutama adalah untuk menghasilkan keseimbangan yang

diperlukan antara permintaan dan penawaran. Jika kenaikan harga tidak berhasil

meningkatkan output atau mengurangi permintaan maka kenaikan harga dianggap berbahaya. Kebijaksanaan harga hendaknya ditujukan pada

fleksibilitas mengendalikan permintaan, mengalokasikan kembali sumber-sumber

produksi dan mengarahkan kembali output ke arah yang dikehendaki (Jhingan

1996).

2.5. Produktivitas

Dalam penelitian dan literatur, produktivitas

Gambar

Gambar 3.  Diagram model operasional ekonomi konversi lahan sawah menjadi
Tabel 2 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian
Tabel 3 Luas wilayah kecamatan di Kabupaten Seluma tahun 2011
Gambar 4. Peta wilayah Kabupaten Seluma
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ajaran yang dibawa oleh Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan agama Islam dengan menggunakan cara tidak bekerja dengan sendirinya beliau selalu mengikuti

Berdasarkan pemaparan diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap pengaruh pembelajaran lintas minat Ekonomi terhadap prestasi belajar Ekonomi

Asmoro (1993) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku konsumsi pangan seseorang dalam menentukan makanan erat hubungannya dengan tradisi serta status

Hal ini ditunjukan dengan tidak adanya otoritas transaksi yang berbeda bagian dan prosedur SOP kurang optimal, tidak adanya perlindungan cukup karena rentan

JADWAL BIMBINGAN AKADEMIK DAN PERWALIAN (KONSULTASI DENGAN DOSEN WALI).. SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2017/2018 PROGRAM STUDI

Namun begitu, perusahaan juga harus mengetahui harga produk yang sama di pasar agar harga yang ditawarkan pada pelanggan tidak terlalu tinggi, karena ini adalah salah

urin dalam jumlah lebih banyak dibandingkan bila keadaan normal bersama dengan air, yang mengangkut secara pasif untuk mempertahankan keseimbangan osmotik.. Diuretic sangat