• Tidak ada hasil yang ditemukan

dapat dikatakan jika pengelolaan usahatani padi sawah semakin sulit sehingga resiko kegagalannya semakin tinggi maka kecenderungan

konversi lahan sawah juga akan semakin meningkat.

Resiko usaha tani,

84

tanaman padi sangat rentan terhadap kegagalan panen atau puso hal ini dapat disebabkan oleh serangan hama dan penyakit juga faktor alam. Hama dan penyakit utama pada tanaman padi diantaranya keong mas, tikus, burung, babi, wereng dan penyakit tunggro. Serangan hama dan penyakit ini dalam skala berat kadangkala tidak bisa dikendalikan sehingga bukan mendapat keuntungan malah kerugian yang diterima. Pengendalian hama dan penyakit juga memerlukan tambahan input usahatani dan waktu sehingga meningkatkan biaya usahatani.

Jumlah tenaga kerja keluarga(X5) dengan nilai significant 0,027 dan nilai Exp(β) atau odds ratio sebesar 0,135, berarti bahwa variabel ini berpengaruh

nyata terhadap konversi lahan pada α = 0,05. Nilai koefisien bertanda negatif

(-2,000), dapat dikatakan jika tenaga kerja keluarga tersedia maka peluang untuk tidak mengkonversi lahan sawah 0,135 lebih besar dari kecenderungan untuk mengkonversi. Tenaga kerja merupakan faktor penting dalam menentukan keberhasilan petani dalam pengelolaan usahataninya. Tenaga kerja adalah suatu faktor produksi yang utama, sebab faktor tersebut menentukan kedudukan petani dalam usahataninya, dengan artian bahwa petani dalam usahataninya tidak hanya menyumbangkan tenaga kerja saja, tetapi adalah pemimpin usahatani yang mengatur organisasi produksi secara keseluruhan.

Intensistas pekerjaan yang tinggi pada usahatani padi sawah memerlukan curahan tenaga kerja yang banyak, rata-rata penggunaan tenaga kerja pada MT I sebanyak 80,90 HOK dan pada MT II 84,44 HOK. Selain itu, juga terdapat tahapan pekerjaan yang dilakukan secara borongan sehingga kebutuhan tenaga kerja menjadi lebih banyak. Sekitar 59,82% dari penggunaan tenaga kerja, berasal dari tenaga kerja keluarga. Rata-rata jumlah tenaga kerja keluarga adalah 2,33 jiwa, jumlah ini tentunya terlalu kecil untuk mengelola lahan sawah seluas 1,51 ha. Meskipun kekurangan tenaga kerja dapat dipenuhi oleh tenaga kerja luar keluarga, namun itu berarti penambahan biaya dan artinya keuntungan usahatani yang terbatas akan semakin kecil. Dilema inilah yang kemudian mendorong petani untuk memperkecil luas skala usahatani padi sawahnya menjadi rata-rata 0,65 hektar dan yang lainnya dijadikan kebun kelapa sawit.

Harga tandan buah segar kelapa sawit (X8) dengan nilai significant 0,056,

berarti bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap konversi lahan pada α =

0,10. Nilai koefisien bertanda positif (2,619), dapat dikatakan jika harga TBS semakin tinggi maka kecenderungan konversi lahan sawah juga akan semakin meningkat. Menurut Shahza (2004a), bahwa perkembangan luas areal kelapa

85 sawit yang cepat disebabkan oleh harga TBS yang tinggi. Lebih lanjut Shahza (2004b), menyatakan bahwa kenaikan harga TBS

memberikan pendapatan

yang lebih tinggi kepada petani dibandingkan dengan jenis tanaman

perkebunan lainnya, hal ini dapat dilihat dari indek pertumbuhan

kesejahteraan petani kelapa sawit di Riau pada tahun 1995 hanya

sebesar 0,49 persen, pada tahun 2003 meningkat menjadi 1,74.

Kendala sarana produksi pupuk (X2), dengan nilai significant 0,142 dan nilai odds ratio sebesar 0,189 berarti bahwa variabel X2 berpengaruh nyata

terhadap konversi lahan pada α = 0,15. Nilai koefisien bertanda negatif (-1,669),

dapat dikatakan jika terjadi kendala irigasi maka kecenderungan konversi lahan sawah akan semakin menurun dengan peluang 0,189 kali lebih besar dibanding mengkonversi lahan. Pupuk merupakan faktor produksi yang sangat penting bagi sektor pertanian, dimana 20 persen peningkatan produksi pertanian terutama padi tahun 1965 -1980 dan keberhasilan Indonesia mencapai swasembada beras di tahun 1984.

Kekurangan pupuk dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman yang tidak normal sehingga menurunkan hasil panen petani atau bahkan terjadi gagal panen. Gagal panen inilah yang selanjutnya menjadi ancaman dalam menurunkan tingkat kesejahteraan petani, mengganggu ketahanan pangan dan keberlangsungan produksi pertanian nasional, serta dapat menekan pertumbuhan ekonomi nasional17. Masalah utama menyangkut pupuk adalah pendistribusian yang tidak tepat dalam jumlah dan waktu, terutama pupuk bersubsidi pemerintah. Sistem distribusi pupuk bersubsidi yang langsung kepada kelompok tani tidak sepenuhnya berhasil menjamin ketersediaan pupuk. Kelompok tani harus memiliki kekuatan financial untuk dapat menebus nilai pupuk yang diusulkan, jika tidak pupuk ini akan ditebus dengan memanfaatkan jasa pihak kedua. Pupuk pada pihak kedua menjadi barang public yang dapat dimanfaatkan semua petani yang memilki kemampuan untuk membayar sehingga banyak pupuk bersubsidi ini menjadi tidak tepat sasaran.

Luas kepemilikan lahan sawah” (X7) dengan nilai significant 0,426 dan odds ratio 2,061, berarti bahwa variabel ini tidak berpengaruh nyata terhadap konversi

lahan pada α = 0,05. Pengelolaan lahan sawah berhubungan dengan kebutuhan

sarana produksi, semakin luas lahan yang dikelola maka kebutuhan sarana

17

86

produksi akan semakin besar dan berarti biaya usahatani juga menjadi lebih banyak. Jika petani memiliki kemampuan keuangan yang baik dan tenaga kerja yang cukup, luas lahan tidak akan menjadi masalah. Namun pada kondisi modal usahatani dan tenaga kerja terbatas solusi terbaik adalah memperkecil skala usahataninya atau mengganti jenis usahatani pada aktivitas yang mampu memberikan manfaat lebih tinggi dengan modal lebih rendah dan juga kebutuhan tenaga kerja rendah.

Variabel lain yang juga mempengaruhi konversi lahan adalah pengalaman berusahatani padi (X6). Rata-rata responden sudah berpengalaman lebih dari 20 tahun dalam usahatani padi sawah, sehingga segala seluk-beluk usahatani sudah sangat dipahami termasuk masalah produksi, biaya, dan pendapatan. Pengalaman hasil panen yang rendah, harga yang murah serta pekerjaannya yang berat akan merubah pola pikir petani untuk mencari usahatani alternatif yang lebih baik seperti kelapa sawit. Komoditas ini tidak hanya efisien dalam biaya usahatani, namun juga mudah dalam pengelolaan dan periode panen yang pendek. Penelitian yang dilakukan Mahananto et al. (2009) menyatakan hal yang senada, bahwa berdasarkan nilai elastisitas produksi menunjukkan hubungan yang negatif yang berarti bahwa semakin tinggi pengalaman akan meng-akibatkan penurunan tingkat produksi padi sawah.

Pengetahuan tentang peraturan konversi lahan (X4), salah satu pendorong konversi lahan adalah rendahnya pemahaman masyarakat terhadap peraturan yang dikeluarkan pemerintah terkait dengan peruntukan dan pengelolaan lahan sawah. Pembahasan dan penanganan masalah alih fungsi lahan pertanian yang dapat mengurangi jumlah lahan pertanian, terutama lahan sawah, telah berlangsung sejak dasawarsa 90-an. Akan tetapi sampai saat ini pengendalian alih fungsi lahan pertanian belum berhasil diwujudkan. Setidaknya ada 9 peraturan/perundangan yang berkenaan dengan masalah ini, antara lain adalah: 1. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 590/11108/SJ tanggal 24

Oktober 1984 yang menyatakan bahwa penyediaan tanah untuk kegiatan pembangunan sedapat mungkin mencegah terjadinya perubahan tanah pertanian ke non-pertanian, sehingga tidak mengganggu usaha peningkatan produksi pangan yang telah ada selama ini.

2. Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri, dimana antara lain ditegaskan bahwa untuk kawasan industri tidak menggunakan tanah sawah dan tanah pertanian subur lainnya. Dalam

87 pelaksanaannya, larangan ini telah diberlakukan untuk semua penggunaan tanah non-pertanian lainnya seperti untuk perumahan, jasa, dan lain sebagainya.

3. Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1990 tentang penggunaan tanah kawasan industri yang antara lain berisi bahwa pemberian ijin lokasi dan ijin pembebasan tanah untuk perusahaan kawasan industri tidak boleh mengurangi areal tanah pertanian dan harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat.

4. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang penyediaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum.

5. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1993 tentang tata cara memperoleh ijin lokasi dan hak atas tanah bagi perusahaan dalam rangka Penanaman Modal, dengan petunjuk pelaksanaannya untuk Ijin Lokasi dengan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 22 Tahun 1993.

6. Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua BAPPENAS kepada Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5334/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994 tentang perubahan penggunaan sawah irigasi teknis untuk penggunaan tanah non-pertanian 7. Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua

BAPPENAS selaku Ketua BKTRN kepada Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 5334/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994 tentang efisiensi pemanfaatan tanah bagi pembangunan perumahan yang secara umum menggariskan bahwa pembangunan kawasan perumahan tidak dilakukan di tanah sawah beririgasi teknis.

8. Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Ketua BAPPENAS Nomor 5417/MK/10/1994 tanggal 4 Oktober 1994; dan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 474/4263/SJ tanggal 27 Desember 1994 yang menyatakan bahwa perubahan penggunaan tanah pertanian ke non-pertanian tidak mengorbankan tanah pertanian subur dan berpengairan teknis

9. Surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 460-3346 tanggal 31 Oktober 1994 kepada seluruh Kantor Wilayah BPN Propinsi dan Kantor Pertanahan se-Indonesia. Diinstruksikan untuk tetap mempertahankan tanah sawah beririgasi teknis, apabila rencana perubahan penggunaan tanah

88

sawah tersebut telah tertuang dalam RTRW maka diinstruksikan agar membantu pemda setempat untuk merubah peruntukan tersebut.

Secara umum peraturan/perundangan tentang perlindungan lahan pertanian yang ada saat ini hanya bersifat himbauan tanpa disertai sanksi dan pengawasan dari pemerintah. Menurut Irawan (2008), aspek penting yang mempengaruhi lemahnya implementsi kebijakan konversi lahan adalah sistem pemerintahan dan kebijakan ekonomi serta sistem hukum yang ada. Undang-undang otonomi daerah memberikan kemandirian yang luas kepada daerah dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan, pada kondisi ini implementasi kebijakan konversi lahan tergantung pada keinginan politik penguasa. Karena sub-sektor perkebunan dapat menghasilkan PAD yang lebih besar guna mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dibanding sub-sektor tanaman pangan, maka pemerintah daerah terkesan kurang mempertimbangkan peraturan tentang konversi lahan.

Konversi lahan yang terjadi tidak seluruhnya dilakukan secara langsung oleh petani, namun juga terjadi melalui jual beli lahan. Pemilik kebun yang telah

berhasil cenderung menjadi “debitur” bagi petani yang membutuhkan dana cepat

dengan membeli lahan sawah mereka. Proses seperti ini yang berpengaruh lebih besar pada konversi lahan karena mereka menggunakan seluruh lahan yang dimiliki untuk kelapa sawit, saat ini banyak petani/pengusaha lokal yang memilki lahan kelapa sawit diatas 20 hektar bahkan sampai 40 hektar. Padahal sesuai Undang-undang No.56 prp Tahun 1960 pasal 1 ayat 1 dan 2 tentang batasan kepemilikan lahan, dengan kepadatan penduduk Kecamatan Seluma Selatan sebesar 134,06 jiwa/km2 kepemilikan lahan yang diizinkan adalah 10 hektar untuk lahan basah dan 12 hektar lahan kering.

Untuk memperbaiki kinerja peraturan yang ada dalam menekan laju konversi lahan sawah pemerintah kemudian mengeluarkan aturan baru melalui Undang-undang (UU) 41 tahun 2009, dimana setiap pelaku baik petani, pejabat maupun badan usaha melakukan alih fungsi lahan akan dikenakan hukuman pidana dan denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kebijakan ini dibuat untuk mempertahankan kelangsungan produksi pertanian di Indonesia, terlebih lagi ancaman alih fungsi lahan pertanian ke perkebunan sudah tidak terkendali. Walaupun belum adanya data berapa luas lahan produktif beralih fungsi menjadi kawasan perkebunan. Laju alih fungsi ini harus segera dihentikan, jika tidak ancaman rawan pangan bakal terjadi.

89 Dalam UU 41 tahun 2009 dikatakan, bagi perseorangan yang melakukan tindakan alih fungsi lahan akan dikenakan hukuman penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 1 milyar. Bagi perseorangan yang tidak melakukan kewajiban mengembalikan keadaan lahan pertanian pangan bekelanjutan ke keadaan semula dikenakan hukuman pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 3 milyar. Dan apabila perbuatan tersebut diatas pelakunya pejabat pemerintah, pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana yang diancamkan.

Selain rendahnya pemahaman masyarakat pada peraturan perundang-undangan tentang konversi lahan sawah, kebijakan pemerintah daerah dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) juga menjadi pemicu konversi lahan, seperti pembentukan wilayah pengembangan di Kabupaten Seluma. Tujuannya adalah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga dibentuk WP Seluma A, B, C, dan D. Kegiatan perekonomian yang menonjol pada masing-masing wilayah adalah perkebunan, pertanian lahan basah dan pertanian. Sama halnya dengan arah pengembangan komoditas yang disusun oleh Dinas Pertanian Kabupaten Seluma, dimana untuk tanaman pangan komoditas utamanya adalah padi dan jagung sedangkan perkebunan komoditas karet dan kelapa sawit. Tidak adanya penetapan kawasan pengembangan menurut komoditas akan membuka peluang yang lebih besar untuk pengembangan sektor perkebunan karena memberi nilai manfaat yang lebih tinggi secara ekonomi bagi petani dan daerah.

91

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

Berdasarkan pengamatan di lapangan dan anasisa data yang diperoleh, maka dalam penelitian ini dapat disimpulkan beberapa poin penting, yaitu:

1. Laju konversi lahan sawah terluas di Kabupaten Seluma berlangsung pada tahun 2005 sampai 2010 mencapai 3.934 hektar, dari luas lahan sawah 23.936 hektar tahun 2005 menjadi 20.075 hektar tahun 2007. Laju terbesar terjadi tahun 2006 seluas 2.535 hektar kemudian tahun 2007 seluas 1.326 hektar dan tahun 2010 seluas 73 hektar. Pencetakan sawah baru tahun 2008 seluas 3.709 hektar melalui kegiatan pengeringan pada lahan baku sawah oleh Dinas Pertanian Kabupaten Seluma, sehingga luas lahan meningkat menjadi 23.784 hektar.

2. Hasil analisis diperoleh nilai land rent dari usahatani padi sawah dengan pola tanam Padi-Padi sebesar Rp 9.826.601/hektar/tahun dan untuk pola Padi-Padi-Palawija sebesar Rp 13.316.038/hektar/tahun. Nilai land rent rata-rata lahan sawah dari kedua pola tanam sebesar Rp 11.571.319/hektar/ tahun. Dengan demikian diperoleh PVNR land rent sebesar Rp 106.587.332/hektar/tahun untuk padi sawah. Nilai land rent komoditas kelapa sawit sebesar Rp 15.533.369/hektar/tahun, sehingga diperoleh nilah PVNR land rent sebesar Rp 118.195.250/hektar untuk kelapa sawit. Nilai PNVR land rent kelapa sawit 10,89% lebih tinggi dibandingkan padi sawah. Bardasarkan nilai land rent dari dari aktivitas usahatani kedua komoditas diperoleh indeks tingkat kesejahteraan petani sebesar 0,58 untuk usahatani padi dan 0,78 untuk kelapa sawit, artinya pengelolaan masing-masing komoditas pada luasan 1 hektar belum mampu mensejahterakan petani. Solusi untuk tujuan kesejahteraan petani adalah petani harus melakukan diversifikasi usahatani, termasuk salah satunya padi dan kelapa sawit. 3. Faktor pendorong (push factor) konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa

sawit adalah kendala irigasi (X1), Resiko usahatani padi sawah (X3), dan jumlah tenaga kerja keluarga (X5). Faktor kendala irigasi dan resiko usahatani padi berpengaruh positif terhadap kecenderungan konversi lahan, artinya peluang untuk mengkonversi lahan lebih besar dibandingkan tidak mengkonversi jika ada kendala irigasi dan resiko usahatani yang semakin tinggi. Variabel jumlah tenaga kerja keluarga berpengaruh negatif, artinya

92

peluang mengkonversi lahan akan semakin kecil jika suatu keluarga memiliki tenaga kerja cukup untuk mengelola usahataninya. Pull factor konversi lahan adalah tingkat harga tandan buah segar kelapa sawit (X8), variabel ini berpengaruh positif pada selang kepercayaan 10% artinya kenaikkan harga TBS menyebabkan meningkatnya kecenderungan petani untuk mengkonversi lahan sawah.

7.1. Saran

1. Salah satu faktor pendorong terjadinya konversi lahan sawah adalah masalah pengelolaan irigasi, hal ini terlihat kondisi infrastrutur yang kurang terawat dan tidak adanya petugas pengelola dan pengatur pada pintu-pintu air. Untuk itu disarankan kepada instansi terkait sebagai pengelola irigasi tingkat kabupaten dan provinsi, supaya tidak hanya bekerja berdasarkan wewenang yang diterima tapi agar lebih mengedepankan petani sebagai pengguna air irigasi.

2. Berdasarkan perhitungan nilai manfaat dari pengelolaan lahan sawah untuk usahatani padi dan nilai manfaat dari lahan sawah yang dikonversi jadi kebun kelapa sawit diperoleh nilai yang tidak jauh berbeda, artinya masih ada peluang pengendalian konversi lahan dengan mendorong peningkatan intensitas tanam pada lahan sawah. Untuk itu diharapkan peran pemangku kebijakan dalam pengelolaan distribusi sarana produksi terutama pupuk supaya dapat menyesuaikan kebutuhan pupuk dengan tepat dalam jenis dan kebutuhan, tepat dalam harga, tepat sasaran, tepat waktu dan mutu

yang terjamin.

3. Untuk meningkatkan kesejahteraan petani tanaman pangan, pemerintah daerah dan dinas serta instansi terkait dapat menyusun konsep usahatani yang mengedepankan diversifikasi usahatani. Pengelolaan satu jenis usahatani saja tidak akan dapat mensejahterakan masyarakat dengan kepemilikan lahan yang terbatas.

4. Pemerintah daerah perlu meningkatkan sosialisasi peraturan-peraturan yang melarang alih fungsi lahan sawah ke panggunaan lain serta menindak tegas pelaku konversi seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang (UU) 41 tahun 2009 demi menjaga stabilitas ketahanan pangan Kabupaten Seluma.

93

Dokumen terkait