• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan sumber irigasi yang digunakan, luas lahan sawah irigasi Kabupaten Seluma mencapai 10.866 hektar (45,69%), dan 12.918 hektar

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.4. Analisis Land rent

6.4.2. Usahatani Kelapa Sawit

rate sebesar 10%. Hasil analisis ini menghasilkan nilai PVNR-land rent sawah sebesar Rp 89.196.453/hektar/tahun untuk Pola Tanam Padi-Padi dan Rp 123,978,211/hektar/tahun untuk Pola Tanam Padi-Padi-Palawija, dengan rata-rata Rp 106,587,332/hektar/tahun.

6.4.2. Usahatani Kelapa Sawit

Berdasarkan hasil survey dan informasi dari tokoh masyarakat, konversi lahan sawah banyak terjadi pada tahun 2006, hal ini terlihat dari hasil penelitian dimana rata-rata pengalaman usahatani sekitar 4,87 tahun. Menurut Widiono (2009), proses ini terjadi dalam tiga tahap. Pertama, periode 1990-1993 yakni pencarian alternatif solusi atas masalah keterbatasan faktor edafik (tanah bergambut dan pasang surut) bagi produksi sawah. Sebaliknya tanaman kelapa sawit dapat tumbuh pada tanah podsolik, latosol, hidromorf kelabu, Regosol, Andosol dan tanah alluvial, bahkan pada tanah gambut pun dapat tumbuh dengan syarat ketebalan gambut tidak lebih dari 1 meter. Kedua periode 1993-1998 adalah penumbuhan kesadaran dan upaya meniru yang merupakan hasil pengamatan serta pertukaran pengalaman dengan para buruh salah satu perusahaan perkebunan swasta dan migran etnis dari Sumatera Utara. Ketiga periode 1998-sekarang, yaitu pemilihan alternatif dan penerapan solusi. Pilihan untuk menanam kelapa sawit secara meluas terjadi setelah petani merasa memiliki pengetahuan yang cukup, ketersediaan modal, dan jaminan pembelian oleh pabrik kelapa sawit. Profil usahatani kelapa sawit pada lahan sawah disajikan pada Tabel 25.

Tabel 25 Profil usahatani kelapa sawit pada lahan sawah yang konversi

No. Uraian Jumlah

1. 2. 3. 4. 5.

Luas lahan (Ha) Jumlah batang/ha Umur tanaman (Tahun) Tanaman berproduksi (%) Pengalaman usahatani (Tahun)

1,02 144 3,78 53,49

4,87 Sumber : data primer (diolah) 2011

Tahapan pembangunan kelapa sawit secara garis besar terbagi dalam dua periode, yaitu berdasarkan fase pertumbuhan tanaman, yaitu fase vegetatif atau tanaman belum menghasilkan (TBM) dan fase generatif atau tanaman menghasilkan (TM). Pemeliharaan tanaman belum menghasilkan ditujukan untuk menyiapkan tanaman agar mampu memberikan produksi yang tinggi, sedangkan

69 tanaman menghasilkan pengelolaan tanaman terutama pada perawatan dan pengaturan penggunaan input produksi seperti pupuk dan pestisida. Fase vegetatif dilahan mulai setelah bibit ditanam sampai tanaman berumur 2,5 – 3 tahun. Berdasarkan Tabel 26, dari rata-rata umur tanaman kelapa sawit 3,78 tahun terdiri dari 23 petani (53,49%) yang memiliki tanaman menghasilkan dengan kisaran umur tanaman 3 – 9 tahun dan 20 petani (46,51%) memiliki tanaman belum menghasilkan dengan umur tanaman 1 tahun sebanyak 13,95% dan umur dua tahun 32,56%.

a. Penggunaan Sarana Produksi pada Tanaman Belum Menghasilkan i. Tanaman Berumur Satu Tahun

Pada tahap pembangunan kebun kelapa sawit penggunaan sarana produksi yang utama adalah tenaga kerja dan bibit. Penggunaan tenaga kerja terutama untuk persiapan lahan, seperti pembersihan lahan dari gulma, pengaturan jarak tanam dengan memberi ajir sebagai penanda lubang tanam, pembuatan lubang tanam, dan penanaman. Dikarenakan skala usaha yang relatif kecil, penanaman biasanya dilakukan sendiri keluraga petani sesuai pemahaman dan kecukupan tenaga kerja yang dimiliki. Kondisi ini dapat dilihat dari jarak tanam yang kurang teratur dan pertanaman yang tidak rata. Penggunaan tenaga kerja untuk proses tanam ini sekitar 23,50 HOK, terdiri dari 19,25 HOK (81,92%) tenaga kerja keluarga dan 4,25 HOK (18,08%) tenaga kerja luar keluarga.

Rata-rata penggunaan bibit sebanyak 144 batang/hektar, pola tanam kelapa sawit yang umum digunakan adalah pola segitiga sama sisi dengan jarak 9 x 9 meter antara barisan dan 7,79 dalam barisan. Pada sebagian petani karena kontur lahan dan pengaruh bekas petakan pada lahan sawah sebelumnya menyebabkan jarak tanam menjadi lebih rapat menjadi 8 x 9 meter bahkan sampai 8 x 8 meter sehingga kebutuhan bibit menjadi lebih banyak, seperti ditunjukkan pada Tabel 26.

Secara umum budidaya kelapa sawit yang dilakukan petani belum melaksanakan paket teknologi yang direkomendasikan, terutama bibit dan pupuk. Bibit tanaman yang umumnya digunakan petani merupakan hasil penangkaran sendiri, bibit biasanya diambil pohon induk yang berproduksi tinggi dan pertumbuhannya bagus. Kendala utama bagi perkebunan rakyat untuk memperoleh bibit unggul bersertifikat adalah harga yang cukup mahal dan prosedur pemesanan yang cukup rumit yang membutuhkan waktu yang cukup lama. Saat ini harga kecambah kelapa sawit produksi Pusat Penelitian Kelapa

70

Sawit (PPKS) yang ada di Kota Medan Provinsi Sumatera Utara sekitar Rp 6.000/kecambah.

Tabel 26 Penggunaan sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun pertama

Input usahatani Volume Petani pengguna input

(%) Bibit (Batang/ha)

Urea (Kg/ha) SP-36 (Kg/ha) NPK (Kg/ha)

Pupuk kandang (Kg/ha) Herbisida (liter/ha) Insektisida (ml/ha) Tenaga kerja (HKSP/ha)

144 55,95 4,65 4,07 125,58 5,84 3,72 23,50 100 30,23 2,33 4,65 9,30 95,35 2,33 100 Sumber : data primer (diolah) 2011

Seperti ditunjukkan pada Tabel 26, pemupukan tanaman belum menghasilkan (TBM) hanya dilakukan oleh 34,88% responden, rendahnya penggunaan pupuk disebabkan oleh rendahnya pemahaman petani tentang budidaya kelapa sawit, selain rendahnya daya beli masyarakat dan ketersediaan pupuk serta ekspektasi petani terhadap keberhasilan usahatani yang masih rendah. Disamping itu, pemanfaatan lahan untuk tanaman palawija juga mempengaruhi penggunaan pupuk untuk tanaman kelapa sawit, dalam hal ini pupuk untuk tanaman kelapa sawit hanya memanfaatkan residu pupuk dari tanaman palawija. Pola tanam ini dilakukan pada tanaman sawit umur 1 sampai 3 tahun. Tanaman palawija yang diusahakan adalah jagung, kacang tanah, ubi jalar, dan ubi kayu.

Konsekuensi dari penggunaan sarana produksi adalah timbulnya biaya usahatani, biaya rata-rata pada tahap pembangunan kebun serta perawatan sebesar Rp 2.464.894/hektar. Penggunaan biaya terbesar adalah untuk penggadaan bibit sebesar Rp 1.142.628/hektar (44,81%), kemudian biaya tenaga kerja Rp 888.368/ hektar (34,84%). Biaya lainnya adalah untuk pestisida dan pupuk sebesar Rp 411.280/ hektar atau 16,13% serta biaya peralatan sebesar Rp 107.885/tahun. Biaya peralatan diasumsikan sama selama 25 periode analisis, biaya dihitung berdasarkan harga beli dan masa pakai peralatan tersebut, rata-rata penggunaan biaya usahatani disajikan pada Tabel 27.

71 Tabel 27 Biaya sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun pertama

Input usahatani Biaya input Persentase

(%) Bibit (Rp/ha/tahun)

Pupuk (Rp/ha/tahun) Pestisida (Rp/ha/tahun) Tenaga kerja (Rp/ha/tahun) Peralatan (Rp/tahun) 1.142.628 140.005 271.275 888.368 107.885 44,81 5,49 10,64 34,54 4,23 Jumlah 2.464.894 100

Sumber : data primer (diolah) 2011

Biaya pestisida pada Tabel di atas terutama untuk pembelian herbisida yang digunakan saat pembukaan lahan dan pengendalian gulma dalam tahap perawatan tanam. Biaya tenaga kerja sebesar Rp 888.368/hektar, terdiri dari biaya tanam Rp 539.1636/hektar (60,69%) dan biaya perawatan Rp 349.205/ tahun (39,31%), dengan tingkat upah Rp 40.000/hari. Peralatan usahatani yang digunakan pada kebun kelapa sawit umumnya juga digunakan pada lahan sawah, seperti cangkul, parang, arit, gerobak, garpu. Selain itu ada beberapa alat yang digunakan hanya pada kelapa sawit, seperti dodos dan egrek yang digunakan untuk pemanenan. Dodos digunakan pada tanaman umur 3 sampai 9 tahun, sedangkan egrek digunakan pada tanaman berumur lebih dari 9 tahun. Distribusi biaya disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Distribusi biaya usahatani kelapa sawit tahun pertama ii. Tanaman Berumur Dua Tahun

Pengelolaan tanaman pada tahun kedua terutama pada pengendalian gulma dan pemupukan. Pengedalian gulma dilakukan dengan penyemprotan herbisida dan penebasan gulma dibawah tajuk tanaman. Pemberian pupuk sudah banyak dilakukan, terutama pupuk Urea terdiri dari 55,81% responden,

Bibit 45% Pupuk 5% Pestisida 11% Tenaga Kerja 35% Peralatan 4%

72

pupuk NPK (11,63%), dan pupuk SP-36 (9,30%). Rata-rata penggunaan pupuk urea sebesar 107,69 kg/hektar, pemupukan dilakukan 3-4 kali dalam satu tahun. Pemupukan dilakukan dengan menyebarkan secara merata pada daerah bokoran, atau daerah di bawah pelepah daun kelapa sawit. Pengendalian gulma (Tabel 28) dilakukan dengan penyemprotan herbisida, dengan rata-rata penggunaan sebanyak 3,36 liter/hektar/tahun. Kebutuhan tenaga kerja sebanyak 10,98 HOK untuk pekerjaan pengendalian gulma, pemupukan, dan perawatan tanaman. Pekerjaan tersebut dilakukan sendiri oleh keluarga petani, terdiri dari 7,02 HOK pria dan 3,70 HOK wanita.

Tabel 28 Penggunaan sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun kedua

Input usahatani Volume Petani pengguna input

(%) Urea (Kg/ha) SP-36 (Kg/ha) NPK (Kg/ha) Pukan (Kg/ha) Herbisida (Liter/ha) Tenaga kerja (HKSP/ha)

107,69 12,79 11,05 37,21 3,36 10,98 55,81 9,30 11,63 9,30 100 100 Sumber : data primer (diolah) 2011

Untuk tanaman berumur dua tahun biaya rata-rata yang dikeluarkan hanya 35,80% dari biaya tahun pertama, yaitu sebanyak Rp 912.956/hektar. Penggunaan biaya terbesar seperti yang ditunjukkan pada Tabel 30 adalah untuk biaya tenaga kerja dan pembelian pupuk, masing-masing sebesar Rp 383.950/hektar (42,06%) dan Rp 266.109/hektar (29,15%). Selanjutnya biaya untuk pembelian pestisida, terutama herbisida (Rp 155.012/hektar) dan biaya peralatan Rp 107.885/tahun. Alokasi biaya tenaga kerja digunakan untuk pemiliharaan tanaman, terdiri dari kegiatan pemupukan, pengendalian gulma dan perawatan tanaman.

Tabel 29 Biaya sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun kedua

Input usahatani Biaya input Persentase

(%) Pupuk (Rp/ha/tahun)

Pestisida (Rp/ha/tahun) Tenaga kerja (Rp/ha/tahun) Peralatan (Rp/tahun) 266.109 155.012 383.950 107.885 29,15 16,98 42,06 11,82 Jumlah 912.956 100

73 b. Penggunaan Sarana Produksi pada Tanaman Menghasilkan

Tanaman kelapa sawit mulai berbunga setelah berumur 2,5 tahun dan bisa panen setelah 5,5 bulan dari penyerbukan. Pada lahan dengan pertumbuhan tanaman serta pengelolaan tanaman yang baik, produksi sudah dapat diperoleh setelah tanaman berumur 31 bulan. Kondisi tanaman yang sudah mulai berbuah

“buah pasir” inilah menjadi pendorong utama petani melakukan pemupukan

dengan dosis yang lebih baik. Jenis pupuk yang banyak digunakan adalah Urea, NPK, dan SP-36 seperti yang disajikan pada Tabel 30.

Tabel 30 Penggunaan sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun ketiga

Input usahatani Volume Petani pengguna input

(%) Urea (Kg/ha) SP-36 (Kg/ha) NPK (Kg/ha) Pukan (Kg/ha) Herbisida (Liter/ha) Tenaga kerja (HOK/ha)

274,16 42,06 291,12 52,17 3,58 25,41 78,26 13,04 86,96 8,70 100 100 Sumber : data primer (diolah) 2011

Dosis pemupukan yang digunakan dalam analisa ini merupakan jumlah rata-rata yang digunakan petani yang memiliki tanaman berproduksi, terdiri dari 23 responden (53,49%). Jenis pupuk yang banyak digunakan adalah Urea dan NPK, masing-masing dengan dosis 1,95 kg/pohon/tahun dan 2,07 kg/pohon /tahun. Pemupukan kelapa sawit biasanya dilakukan 2 sampai 3 kali per tahun pada saat awal musim hujan dan akhir musim hujan. Faktor kemampuan untuk membeli dan jenis pupuk yang tersedia mempengaruhi dosis pupuk yang digunakan.

Rekomendasi pemupukan tersebut akan sulit diterapkan ditingkat petani, mengingat kisaran biaya per pohon yang sangat tinggi. Berdasarkan jenis dan dosis pupuk yang dianjurkan kisaran biaya yang harus dikeluarkan sekitar Rp 2.930 – Rp 4.330 untuk tanaman belum menghasilkan (TBM) dan Rp 14.600 –

Rp 18.400 untuk tanaman menghasilkan (TM). Sedangkan ditingkat petani biaya rata-rata yang dikeluarkan untuk pupuk adalah Rp 10.785 per pohon pada tanaman menghasilkan. Selain biaya yang tinggi, jenis pupuk yang direkomendasikan juga sulit diperoleh dilapangan, seperti KCl, Kiserit, dan Borax.

Biaya rata-rata usahatani kelapa sawit pada tahun ke-3 sebesar Rp 2.229.705/hektar. Penggunaan biaya terbesar seperti ditunjukkan pada Tabel 31

74

adalah untuk pembelian sarana produksi pupuk, sebesar Rp 1,450,413/hektar /tahun atau 65,05% dari total biaya usahatani. Pengeluaran lainya untuk tenaga kerja sebesar Rp 512,667 /hektar /tahun (22,99%). Biaya tenaga kerja ini adalah pengeluaran untuk pekerjaan pemupukan, pengendalian gulma dan perawatan tanaman dengan penggunaan tenaga kerja sebanyak 25,41 HOK, terdiri dari 10,83 HOK tenaga keluarga dan 14,59 HOK tenaga luar keluarga.

Tabel 31 Biaya sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun ke-3

Input usahatani Biaya input Persentase (%)

Pupuk (Rp/ha/tahun) - Urea - SP-36 - NPK - Pupuk kandang Herbisida(Rp/ha/tahun) Tenaga kerja (Rp/ha/tahun) Peralatan (Rp/tahun) 547.835 98.000 787.187 17.931 166.826 512.667 99.799 24,57 4,40 35,30 0,78 7,48 22,99 4,48 Jumlah (Rp/ha) 2.229.705 100

Sumber : data primer (diolah) 2011

Penggunaan sarana produksi, seperti pupuk Urea, SP-36, NPK, dan herbisida pada tanaman berproduksi berumur 3 tahun sampai 25 tahun relatif sama, sehingga biaya usahatani diasumsikan sama seperti pada Tabel 32. Demikian juga halnya dengan curahan tenaga kerja untuk perawatan tanaman seperti pemupukan dan pengendalian gulma. Penambahan biaya dari pengelolaan usahatani kelapa sawit adalah untuk pekerjaan panen dan pasca panen.

Tabel 32 Biaya sarana produksi pada usahatani kelapa sawit tahun ke-4 sampai tahun ke-25

Input usahatani Biaya input/tahun

3 4 5 25

Pupuk (Rp/ha/tahun) Pestisida (Rp/ha/tahun) Tenaga kerja (Rp/ha/thn) Peralatan (Rp/tahun) Produksi (Kg)

Biaya panen (Rp/ha/thn)*) Biaya angkut (Rp/ha/thn)**)

1,450,413 166.826 512.667 99,799 6.388,85 638.885 638.885 1,450,413 166.826 512.667 99,799 11.815 1.181.500 1.181.500 1,450,413 166.826 512.667 99,799 14.002,97 1.400.297 1.400.297 1,450,413 166.826 512.667 99,799 Prod25 100xProd25 100xProd25 Jumlah (Rp/ha/tahun) 3.507.476 4.592.706 5.030.298 2.229.705+ 200xProd25

Sumber : data primer (diolah) 2011

75 Secara lebih sederhana perhitungan biaya produksi pada tanaman menghasilkan dapat diformulasikan sebagai berikut:

Biaya Tahun t = 2.229.705+ Hct+ Tct,

Dimana t adalah umur tanaman yang akan dihitung biaya usahataninya, biaya tetap sebesar 2.250.495 merupakan biaya penggunaan input produksi, Hct

adalah biaya panen (harvest costs), dan Tct adalan biaya transportasi (transportation costs). Biaya panen dan transportasi hasil panen, masing-masing sebesar Rp 100/kg produksi (lampiran 4), dengan formula Hct=Tct=100 x Productiont.

c. Tanaman Tumpangsari Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit belum menghasilkan (TBM) umur 0-3 tahun, kondisi kanopi dan perakaran tanaman masih relatif belum berkembang. Sebagian besar lahan tersebut akan terbuka dan memperoleh cahaya matahari secara penuh sehingga dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman tumpangsari dalam tanaman kelapa sawit. Pola tanam ini dilakukan oleh 17 responden (39,53%) dan komoditas yang diusahakan adalah jagung, kacang tanah, ubi jalar, dan ubi kayu. Penggunaan sarana produksi dan analisis usahatani tanaman tumpangsari disajikan pada Tabel 33 dan Tabel 34.

Tabel 33 Penggunaan input usahatani tanaman tumpangsari kelapa sawit Input usahatani

Jenis tanaman palawija Jagung Ubi jalar Kacang

tanah Singkong 1. Benih/bibit (kg/ha) 12.90 40.000* 18.50 15.000* 2. Pupuk (kg/ha) - Urea 269.49 - - - - SP-36 86.54 - - - - NPK 164.36 75.00 - - 3. Pestisida - Herbisida 1.47 - - 1.33 - Insektisida 291.28 - 240.00 - 4. Tenaga Kerja

- Tenaga kerja keluarga

Pria 11.15 3.00 3.00 5.33 Wanita 5.57 6.00 8.00 5.33 - Tenaga kerja luar keluarga

Pria 17.67 30.00 5.00 - Wanita 19.32 3.00 32.50 - Sumber : data primer (diolah) 2011. Keterangan: *) Stek

76

Pola tanam tumpangsari memberikan keuntungan secara finansial yang hampir sama dengan pengelolaan lahan sawah. Rata-rata respoden melakukan penanaman dua kali dalam satu tahun sampai tanaman kelapa sawit berumur dua tahun. Manfaat lain yang diperoleh melalui pola ini adalah pengelolaan kebun menjadi lebih baik karena kebersihan kebun dari gulma menjadi lebih baik. Tanaman lain yang juga banyak ditanam adalah kacang tanah yang juga berperan sebagai tanaman penutup tanah (legume cover crop).

Tabel 34 Analsis usahatani tanaman tumpangsari kelapa sawit

Uraian Tanaman Tumpangsari Kelapa Sawit

Jagung Kacang tanah Singkong Ubi jalar Produktivitas (Kg/Ha) Penerimaan (Rp/ha) Biaya - Benih - Pupuk - Pestisida - Perlengkapan - Tenaga kerja 3,426.39 8,807,639 733.333 1.112.708 139.667 296.667 2.832.014 1.163 5.812.500 462.500 - 60.000 292.500 2.645.000 2.000 2.000.000 - - 60.000 - 346.667 2.000 4.000.000 80.000 202.500 60.000 - 2.257.500 Keuntungan (Rp/ha) 3,693,250 2.352.500 1.593.333 1.460.000 Sumber : data primer (diolah) 2011

d. Nilai Land rent Kelapa Sawit

Pemasaran hasil kelapa sawit relatif mudah dan lancar, petani pekebun hanya menyiapkan TBS di tepi jalan kemudian pedagang pengumpul akan membawa ke gudang. Setelah penimbangan, petani langsung mendapat pembayaran dari penjualan TBS. Harga tandan buah segara ditentukan oleh pedagang pengumpul berdasarkan umur tanaman, tingkat kematangan dan ukuran buah. Biasanya TBS dari kelapa sawit muda (umur 3-4 tahun) cendrung lebih murah karena ukuran buah relatif kecil dengan berat TBS sekitar 1,5 kg sampai 3 kg, sedangkan TBS dari tanaman berumur lebih dari enam tahun dikategorikan buah super dan dibeli dengan harga tertinggi.

Produksi kelapa sawit dihitung dengan membandingkan produksi aktual pada tahun tertentu dengan tabel potensi produksi tanaman kelapa sawit berdasarkan kelas kesesuaian lahan yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) (Lampiran 4). Pemanenan dilakukan setiap tiga minggu sekali atau 16 kali panen dalam satu tahun dengan rata-rata produksi per panen sebanyak 1.218,37 kg/hektar dan rata-rata produksi per tahun sebanyak 19.494 kg/hektar (Tabel 35). Produksi yang tinggi diperoleh pada tanaman berumur 7-18

77 tahun dengan produksi 20.129,27- 20.566,86 kg/hektar dan puncak produksi diperoleh pada tanaman berumur 9 sampai 13 tahun sebanyak 24.505,19 kg/hektar/tahun. Perubahan penerimaan, biaya dan land rent usahatani kelapa sawit disajikan pada Gambar 8.

Tabel 35 Analisis land rent usahatani kelapa sawit

Uraian Rata-rata

Produksi (Kg/ha) Harga (Rp/kg)

Penerimaan (Rupiah/Ha/Tahun)

Biaya input selain lahan (Rupiah/Ha/Tahun) Biaya panen dan angkut

19.494 1.185 21.388.985

2.268.737 3.586.878 Land rent (Rupiah/Ha/Tahun) 15.533.369 Sumber : data primer (diolah) 2011

Gambar 8 Grafik land rent usahatani kelapa sawit tahun 1 - 25 6.4.3. Nilai Land rent Usahatani Padi dan Kelapa Sawit

Perubahan pengelolaan lahan umumnya dipengaruhi oleh faktor nilai manfaat yang akan diperoleh dari suatu usahatani. Seperti terlihat pada Tabel 36, usahatani kelapa sawit memberikan nilai land rent yang lebih besar dibandingkan usahatani padi (Rp 15.533.369 : 11.742.521/hektar/tahun). Nilai PVNR-land rent komoditas padi sawah sebesar Rp 106,587,332/hektar/tahun dan dari usahatani kelapa sawit lebih tinggi Rp 11.607.918/hektar (10,89%) sebesar Rp 118.195.250/hektar. Artinya nilai manfaat yang diperoleh dari usahatani kelapa sawit 1,11 kali lebih besar dibandingkan pada lahan sawah

(5) -5 10 15 20 25 30 35 1 6 11 16 21 N il ai ( R p 000.00 0) Tahun Penerimaan Biaya Land rent

78

yang ditanam padi. Nilai penerimaan dan land rent dari usahatani dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 36 Perbandingan nilai land rent usahatani padi dan kelapa sawit

Uraian Padi Kelapa sawit

Penerimaan (Rupiah/Ha/Tahun)

Biaya input selain lahan (Rupiah/Ha/Tahun) Land rent (Rupiah/Ha/Tahun)

PVNR land rent* 30.344.156 18,692.970 11.651.186 106,587,332 21.388.985 5.855.616 15.533.369 118.195.250 Sumber : Data primer (diolah) 2011,

*) Nilai PVNR land rent dihitung selama 25 tahun dan suku bunga 10 per tahun.

Periode pengusahaan kebun kelapa sawit yang relatif lama (25 tahun), sangat memungkinkan terjadinya perubahan dari harga jual TBS. Sebagai gambaran, tahun 2007 harga TBS sekitar Rp 1.270/kg; tahun 2008 harga TBS tertinggi mencapai Rp 1.800/kg; tahun 2009 Rp 900/kg; tahun 2010 Rp 1.100/kg; dan tahun 2011 sebesar Rp 1.100-1.200/kg. Fluktuasi harga TBS tentunya sangat mempengaruhi petani dalam mengelola kebun dan juga dalam melakukan investasi untuk kebun kelapa sawit. Untuk itu perlu dianalisis sensitivitas pengaruh perubahan harga terhadap nilai land rent kebun kelapa sawit. Kenaikkan harga TBS hingga 10% menjadi Rp 1.300/kg dan cateris paribus mendorong kenaikkan land rent sebesar Rp 2.278.880/hektar/tahun (14%) menjadi Rp 18.820.744/hektar/tahun atau nilai PVNR-land rent sebesar Rp 134.298.530/hektar. Nilai PVNR-land rent kalapa sawit 1,26 kali lebih besar dari padi sawah.

Berdasarkan nilai PVNR-land rent tersebut dapat disimpulkan bahwa secara ekonomi konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit adalah keputusan yang logis yang diambil petani karena keuntungan yang diperoleh lebih besar dibandingkan usahatani padi sawah meskipun perbedaan nilai land rent yang diperoleh tidak jauh berbeda. Hasil analisis di atas menunjukkan nilai manfaat yang lebih besar dari usahatani kelapa sawit, lalu bagaimana pengaruh nilai land rent kelapa sawit tersebut dengan tingkat kesejahteraan?.

Secara umum perubahan orientasi usahatani padi menjadi kelapa sawit dapat dimaklumi karena bertujuan untuk meningkatkan pendapatan agar dapat mengimbangi peningkatan biaya usahatani dan biaya hidup keluarga petani itu sendiri. Harga hasil pertanian terutama beras yang selalu dikatrol murah menyebabkan nilai tukar beras menjadi sangat rendah dibandingkan sarana

79 produksi dan kebutuhan barang dan jasa sektor industri. Posisi petani sektor tanaman pangan merupakan pihak yang kurang beruntung, disebabkan produktivitas usahatani padi yang mengalami pelandaian (levelling off), rendahnya efisiensi dalam tahapan produksi pertanian dan rendahnya harga jual beras.

Dengan kondisi demikian, pekerjaan sebagai petani, terutama untuk tanaman pangan, akan menjadi pilihan terakhir. Konsekuensi dari semua ini adalah semakin lajunya proses alih fungsi lahan pertanian menjadi areal pemukiman, perkotaan, daerah industri atau sektor tanaman perkebunan terutama kelapa sawit. Kekhawatirkan terbesar dari alih fungsi lahan ini adalah semakin sulitnya mempertahankan tingkat self sufficiency untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional yang senantiasa meningkat seiring dengan meningkatnya laju pertambahan penduduk.

Untuk dapat menjelaskan hubungan antara land rent dan kesejahteraan dilakukan dengan pendekatan konsep Nilai Tukar Petani (NTP), yang merupakan rasio indeks harga yang diterima dan indeks harga yang dibayar petani. Penanda tingkat kesejahteraan petani dengan NTP dapat didekati dengan konsep Nilai Tukar Pendapatan Rumah Tangga Petani (NTPRP). Penanda tersebut merupakan ukuran rumah tangga petani dalam memenuhi kebutuhan sub-sistemnya yang terdiri dari biaya usahatani dan biaya konsumsi per tahun.

Menurut Sugiarto ( 2008) dalam Basuki et. al.2001 bahwa konsep NTPRP didefinisikan sebagai nisbah antara pendapatan total rumah tangga dengan pengeluaran total rumah tangga. Pendapatan total merupakan hasil dari seluruh kegiatan on-farm dan off-farm, sedangkan pengeluaran total merupakan penjumlahan dari pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga dan biaya usahatani. Pengeluaran perkapita Provinsi Bengkulu sebesar Rp 438.569/bulan (BPS 2010b), jumlah rata-rata anggota keluarga petani sebanyak 3.78 jiwa maka total pengeluaran keluarga sebesar Rp 19.917.780/tahun.

Berdasarkan nilai land rent komoditas padi sawah dan kelapa sawit serta nilai total pengeluaran keluarga petani diperoleh NTPRP usahatani padi sawah 0,58 dan dari usahatani kelapa sawit 0,78. Dapat dikatakan jika rumah tangga petani hanya mengelola satu jenis usahatani saja maka tingkat kesejahteraan mereka akan sulit dicapai. Untuk memperoleh NTPRP sama dengan satu saja, petani harus mengelola lahan sawah seluas 1,71 hektar atau kelapa sawit seluas 1,28 hektar. Penambahan luas pengelolaan lahan tentunya membutuhkan biaya

80

besar, baik dari proses pembelian lahan ataupun pencetakan sawah sehingga salah satu solusi yang mudah adalah diversifikasi usahatani.

Menurut Darwanto (2005), nilai tukar petani yang menggambarkan surplus yang dijual petani sekaligus juga sebagai indikator tingkat kesejahteraan rumahtangga petani mempunyai hubungan yang saling berkebalikan. Jadi, jika tujuannya peningkatan produksi beras maka akan mengorbankan kesejahteraan petani dan jika sebaliknya untuk meningkatkan kesejahteraan petani akan menurunkan produksi beras. Kondisi tersebut dapat dijelaskan karena tingkat harga beras yang relatif lebih rendah dari harga barang/jasa lain maka untuk dapat membeli barang/jasa lain tersebut rumah tangga petani harus menjual beras atau komoditas pangan yang dihasilkannya lebih banyak sehingga ketersediaan beras/pangan di pasar menjadi meningkat.

Bagi petani yang memiliki tanaman kelapa sawit yang telah berproduksi, kontribusi komoditas tersebut sangat besar dalam struktur pendapatan keluarga. Hasil yang diperoleh dari usahatani kelapa sawit merupakan sumber penghasilan bulanan, hal ini tentunya sangat membantu dalam kebutuhan financial rumah tangga petani. Selain itu, dengan kebun kelapa sawit petani memilki kekuatan lebih yang memudahkan akses mereka terhadap sumber modal, baik formal maupun informal. Kemudahan lain yang diperoleh adalah akses terhadap sarana produksi pupuk, dimana bagi petani yang tidak memiliki kebun kelapa sawit

Dokumen terkait