• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pluralism And The Existence Of The Ahmadiyah In The Rural Area Of Java

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pluralism And The Existence Of The Ahmadiyah In The Rural Area Of Java"

Copied!
339
0
0

Teks penuh

(1)

YOSFIALDI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pluralisme dan Keberadaan Ahmadiyah di Pedesaan Jawa adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2012

(3)

Java. Under direction of LALA M. KOLOPAKING and NURAINI W. PRASODJO

This study described and analyzed how the people in rural areas responded pluralism before and after the reform era. It also examined how conflicts occurred as a consequence of the waning tolerance and pluralism in rural area. The research was conducted in one village in West Java Province, where the Ahmadiyah have existed since 1933. This study used a qualitative approach to explore the responses of the religious leaders, village government and ordinary people toward Ahmadiyah. Tolerance and pluralism in the village were reflected in their social or religious lives, such as mutual assistance, education, health and religious events. However, since 2005, the attitude of tolerance and pluralism has been fading along with the Cikeukeuh people’s increasing resistance to Ahmadiyah. One of the reasons is that the attitude of the religious elite who are too reactive in response to the existence of the Ahmadiyah. The reactive attitude can not be separated from the rules and policies issued related to Ahmadiyah. Public responses to Ahmadiyah were not the same, depending on the people’s social/religious status and their domicile. The study indicated that the negative and reactive responses were shown by the religious elite and the people living close to Ahmadiyah. In the meantime, the positive response and tolerance were shown by religious leaders, village officials and ordinary people in villages far from Ahmadiyah. Various policies related to Ahmadiyah raise segregations in society that ultimately fade the tradition of pluralism itself. As a consequence, social interaction is not fully formed because the followers of Ahmadiyah worry violate existing regulations. On the contrary, non Ahmadiyah people are also not easily interact with the followers of Ahmadiyah intensively considered for fear of other people close to the Ahmadiyah.

(4)

Dibimbing oleh LALA M. KOLOPAKING dan NURAINI W. PRASODJO. Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat plural di dunia, baik suku, bahasa, budaya dan agama. Pluralisme ini merupakan fakta sosial yang tidak dapat dihindari. Potensi pluralitas ini menjadi suatu kekuatan besar sekaligus kekayaan budaya yang tak ternilai harganya. Akan tetapi pluralitas ini juga berpotensi menjadi pemicu konflik, jika tidak dapat mengelolanya denga baik.

Keberadaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) merupakan satu bentuk pluralitas keberagamaan di tengah berbagai keyakinan keagamaan di Indonesia, terutama di pedesaan. Kondisi pluralitas ini menuntut adanya suatu sikap toleransi yang tinggi dalam masyarakat untuk menghindari disintegrasi sosial, seperti yang ditunjukkan pada masa sebelum era reformasi. Namun, disebabkan oleh berbagai faktor, kondisi pluralisme di pedesaan belakangan ini menjadi pudar.

Kajian ini menjelaskan dan menganalisa bagaimana kehidupan pluralisme di pedesaan terjadi sebelum masa reformasi sekaligus melihat proses pemudaran pluralisme pascareformasi. Kajian ini juga melihat bagaimana proses konflik terjadi sebagai konsekuensi dari memudarnya sikap toleransi dan pluralisme di pedesaan.

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran umum tentang kehidupan toleransi dan pluralisme di pedesaan sebagai konsekuensi dari adanya pluralitas keberagamaan. Penelitian ini dilakukan di Desa Cikeukeuh, Propinsi Jawa Barat di mana JAI sudah ada sejak tahun 1933. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menggali bagaimana respon tiga lapisan masyarakat, yakni tokoh agama, pemerintahan desa dan masyarakat biasa terhadap JAI.

Masyarakat Cikeukeuh secara umum memiliki sikap toleransi yang tinggi kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Hal itu terlihat dalam interaksi mereka selama ini, khususnya pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Sikap toleransi dan kehidupan pluralisme tersebut tercermin dalam kehidupan sosio-kemasyarakatan dan sosio-keagamaan, seperti gotong-royong, pendidikan, kesehatan dan pengajian-pengajian keagamaan. Namun, semenjak tahun 2005, sikap toleransi dan pluralisme tersebut menjadi pudar seiring dengan semakin meningkatnya resistensi sebagian masyarakat desa Cikeukeuh terhadap JAI.

Salah satu penyebabnya adalah sikap elit agama yang terlalu reaktif merespon keberadaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Sikap reaktif ini tidak bisa dilepaskan dari berbagai aturan dan kebijakan yang dikeluarkan terkait dengan JAI, seperti fatwa MUI, SKB 3 Menteri dan SKB Kabupaten. Berbagai kebijakan yang terkait dengan JAI melahirkan segregasi-segregasi dalam masyarakat yang pada akhirnya mematikan tradisi pluralisme itu sendiri. Dalam hal ini, negara melakukan hegemoni agama yang berujung pada pudarnya pluralisme di pedesaan.

(5)

masyarakat dan domisilinya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa respon negatif dan reaktif diperlihatkan oleh elit agama dan masyarakat yang berdekatan dengan Kampung Ciladong. Sementara respon positif dan toleran diperlihatkan oleh tokoh agama, aparat desa dan masyarakat biasa di kampung yang berjauhan dengan Kampung Ciladong. Sehingga, dengan demikian, konflik tidak terhindarkan akibat kuatnya resistensi masyarakat yang berdekatan dengan Kampung Ciladong, kampung dimana JAI berdomisili.

(6)

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

YOSFIALDI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

limpahan rahmat-Nya jualah sehingga tesis dengan judul “Pluralisme dan Keberadaan Ahmadiyah Di Pedesaan Jawa” dapat penulis selesaikan dengan sebaik-baiknya.

Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis ini disusun di bawah bimbingan Komisi Pembimbing, yaitu Bapak Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS selaku Ketua Komisi dan Ibu Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS selaku Anggota Komisi.

Penulis juga tak lupa menghaturkan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang turut membantu penulisan tesis ini, yaitu: 1. Bapak Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan

Ibu Ir. Nuraini W selaku Anggota Komisi yang telah mengarahkan dan membimbing penulis.

2. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamal (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta) selaku penguji dan sekaligus memberikan arahan dan bimbingan untuk perbaikan tesis.

3. Kepala Desa Cikeukeuh beserta stafnya yang telah menerima dan membukakan akses kepada penulis dalam penelitian ini.

4. Masyarakat Cikeukeuh yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, khususnya di Kampung Ciladong, Sadang, Nanggreg, Sukasari, Mekarsari. 5. Bapak Wahid, Kepala Perpustakaan Kampus Mubarak Parung, yang dengan

penuh perhatian membantu penulis menyediakan buku-buku yang terkait dengan Ahmadiyah.

6. Ibunda tercinta, Hj. Darisah, yang tidak pernah bosan-bosannya mendoakan untuk keberhasilan penulis.

7. Rekan-rekan mahasiswa Mayor Sosiologi Pedesaan angkatan 2010, khususnya Mba Sri Agustina, Sukma Taroniarta, Ahmad Tarmiji dan Rinto Andi Suncoko yang banyak membantu penulis selama kuliah.

(11)

harapkan.

Akhir kata, semoga tesis ini bermanfaat khususnya bagi terwujudnya kerukunan dan kedamaian antarumat beragama di negeri yang kaya akan perbedaan ini.

Bogor, September 2012

(12)

(alm.) Bakhtiar dan Ibu Darisah (73 tahun). Penulis merupakan putra kelima dari lima bersaudara.

Tahun 2000 penulis lulus dari Madrasah Aliyah (MA) Bukittinggi dan pada tahun penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis memilih jurusan Tafsir-Hadits dan memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam pada tahun 2004. Penulis masuk ke IPB program Pascasarjana Mayor Sosiologi Pedesaan pada tahun 2010.

Setelah menyelesaikan S1, penulis pernah bergabung dengan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Yayasan Sains, Estetika dan Teknologi (SET), Etnomark Consulting dan Bina Swadaya. Pada Februari – Juni 2012 (semester genap) penulis dipercaya menjadi asisten praktikum Mata Kuliah Kelembagaan, Organisasi dan Kepemimpinan (KOK) yang diampu oleh Bapak Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, M.S dan Bapak Ir. Fredian Tony Nasdian, M.S.

(13)

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I PENDAHULUAN . ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah . ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 12

1.4. Manfaat Penelitian ... 13

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 13

II TINJAUAN PUSTAKA... 15

2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu .. ... 15

2.2. Pluralisme Keberagamaan ... 17

2.3. Fundamentalisme dan Konflik Keberagamaan ... 19

2.4. Jemaat Ahmadiyah di Pedesaan Indonesia ... 24

III METODE PENELITIAN ... 27

3.1. Kerangka Pemikiran ... 27

3.2 Paradigma Penelitian ... 28

3.3. Pendekatan Penelitian ... 28

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 29

3.5. Teknik Analisa Data ... 30

3.6. Lokasi Penelitian ... 31

IV CIKEUKEUH DALAM KONTEKS SOSIO-HISTORIS DAN KEAGAMAAN ... 33

4.1. Data Demografis Desa Cikeukeuh ... 33

4.2. Kehidupan Sosial-Politik ... 39

4.3. Agama dan Praktek Keagamaan dalam Masyarakat ... 45

4.4. Kampung Ciladong dan Jemaat Ahmadiyah ... 50

V KEBERADAAN AHMADIYAH DALAM KONTEKS GLOBAL DAN NASIONAL ... 67

(14)

5.1.3 Ahmadiyah dan Perannya di Dunia Internasional ... 78

5.2 Masuknya Ahmadiyah ke Indonesia ... 83

5.2.1 Kemunculan Ahmadiyah ... 83

5.2.2 Doktrin Kenabian ... 88

5.2.3 Menanggapi Ahmadiyah melalui Fatwa MUI ... 94

5.2.4 Menanggapi Ahmadiyah melalui SKB 3 Menteri ... 100

VI MEMUDARNYA PLURALISME DI PEDESAAN JAWA ... 105

6.1 Elit Agama dan Paham Keagamaan ... 105

6.1.1 Sekilas Gambaran Elit Agama ... 105

6.1.2 Aswaja Sebagai Tuntunan Hidup ... 109

6.1.3 Kepemimpinan dan Pengaruh Elit Agama ... 111

6.2 Pluralisme Keberagamaan: Dinamika Gagasan dan Praktek dalam Historis ... 114

6.3 Konstruksi Masyarakat terhadap Ahmadiyah ... 118

6.3.1 Eksternalisasi: Momen Adaptasi Diri ... 118

6.3.2 Obyektivasi: Momen Interaksi Diri ... 119

6.3.3 Internalisasi: Momen Identifikasi Diri ... 121

6.3.4 Penilaian Masyarakat terhadap Ajaran Ahmadiyah ... 123

6.3.5 Penilaian Masyarakat terhadap Pelarangan Ahmadiyah ... 126

6.3.6 Penilaian Masyarakat terhadap Fatwa MUI dan Peraturan-peraturan Lainnya ... 129

6.4 Munculnya Konflik Komunal ... 133

6.4.1 Sumber Munculnya Konflik ... 133

6.4.2 Kekuasaan Agama dan Kekuasaan Negara ... 139

VII SIMPULAN DAN SARAN ... 143

7.1 Simpulan ... 143

7.2 Saran ... 144

DAFTAR PUSTAKA ... 145

(15)

Halaman

1 Kekerasan Massa terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) 6 2 Peraturan Daerah tentang Pelarangan Kegiatan Keagamaan Jemaat

Ahmadiyah

11 3 Perolehan Suara Pemilihan Anggota DPRD Kabupaten Tahun 2004 42 4 Perolehan Suara Pemilihan Anggota DPRD Prop. Jawa Barat Tahun 2009 42

5 Perolehan Suara Pemilihan Anggota DPR RI Tahun 2009 43

6 Realisasi Pembangunan Desa Tahun 2010 53

7 Sebaran Perkembangan Ahmadiyah di Dunia 80

8 Elite Agama dalam Pandangan Masyarakat 106

9 Tradisi Pluralisme Pada Masa Orde Lama dan Orde Baru 116

10 Dialektika Ekternalisasi, Obyektivasi dan Internalisasi 123 11 Penilaian Masyarakat Terhadap Jemaat Ahmadiyah Berdasarkan Lapisan

Masyarakat

128 12

13

Penilaian Masyarakat Terhadap Peraturan/Keputusan tentang Ahmadiyah

Pola Dasar Hubungan dalam Masyarakat Plural

(16)

Halaman

1 Jumlah Peristiwa dan Tindakan Intoleransi Tahun 2007-2011 8 2 Kerangka Pemikiran Pluralisme dan Keberadaan Ahmadiyah di

Pedesaan Jawa

27

3 Struktur Penduduk Desa Cikeukeuh Berdasarkan Jenis Kelamin 33 4 Struktur Usia Produktif Penduduk Berdasar Jenis Kelamin 34 5

Alih fungsi lahan dari pertanian menjadi empang Kantor Desa Cikeukeuh

Salah satu sekolah agama yang ada di Desa Cikeukeuh Kondisi jalan di Kampung Ciladong

Struktur organisasi Jemaat Ahmadiyah Cabang Ciladong periode 2010-2013

Perkembangan Mesjid Ahmadiyah di seluruh Dunia

Penilaian terhadap Fatwa MUI mengenai Ajaran Ahmadiyah Penilaian atas tindakan yang seharusnya dilakukan pemerintah mengenai Ahmadiyah

Konstruksi Manusia terhadap Realitas Sosial

(17)

Halaman

(18)

1.1 Latar Belakang

Secara empiris Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Sebagai masyarakat yang religius, agama di kalangan masyarakat Indonesia sangat penting bahkan menjadi tuntunan dalam bertindak. Geertz, misalnya, menyebut agama sebagai pola untuk melakukan tindakan serta menjadi hal yang berarti dan mengejawantah dalam kehidupan sehari-hari (Sutiyono 2010).

Selain sebagai pola bagi tindakan (pattern for behaviour), yaitu agama sebagai pedoman yang dijadikan sebagai kerangka interpretasi tindakan manusia, agama juga merupakan pola dari tindakan, yaitu sesuatu yang hidup dalam diri manusia yang tampak dalam kehidupannya. Di sini, dalam pandangan Geertz, agama dianggap sebagai bagian sistem budaya. Ignas Kleden (dalam Syam 2005) menyebut bahwa pola bagi tindakan terkait dengan sistem nilai dan pola dari tindakan terkait dengan sistem kognitif atau pengetahuan manusia. Hubungan keduanya terletak pada sistem simbol yang memungkinkan pemaknaan dilakukan. Dalam perspektif sosiologis, agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Menurut Tischler (dalam Kahmad 2009) sistem kepercayaan itu diwujudkan dalam bentuk sistem ritual, emosi keagamaan, kepercayaan dan kelembagaan agama. Dengan demikian, setiap perilaku individu yang beragama akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya.

Ibnu Khaldun (1986) juga menyatakan bahwa perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan budaya suatu masyarakat. Bagi Ibnu Khaldun, perilaku manusia sangat ditentukan oleh struktur sosial budayanya. Oleh karena itu, secara sosiologis, perilaku keislaman masyarakat Maroko dan keislaman masyarakat Jawa (Indonesia) sangatlah berbeda (Geertz 1968).

(19)

dimensi praktis agama yang meliputi perilaku simbolik dari makna-makna keagamaan yang terkandung di dalamnya. Ketiga, dimensi pengalaman keagamaan yang merujuk pada seluruh keterlibatan subyektif dan individual dengan hal-hal yang suci dari agama. Keempat, dimensi pengetahuan agama dimana orang yang beragama memiliki pengetahuan tentang keyakinan, ritual, kitab suci dan tradisi. Kelima, dimensi konsekuensi yang mengacu kepada identifikasi akibat-akibat keyakinan, praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang akan agama.

Jika dalam pandangan Geertz, agama dinilai sebagai bagian dari sistem kebudayaan, Peter L. Berger (1966) berpendapat bahwa kebudayaan merupakan konstruksi manusia, dan agama sebagai bagian dari sistem kebudayaan juga merupakan konstruksi manusia. Menurut Berger (1966), terdapat proses dialektik ketika melihat hubungan antara manusia, masyarakat dan agama dimana agama sebagai sesuatu yang obyektif karena agama berada di luar diri manusia atau agama mengalami proses obyektivasi.

Proses obyektivasi ini terjadi ketika agama menjadi doktrin, tata nilai, hukum, aturan dan sebagainya. Doktrin ini kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam diri individu sebab agama telah diinterpretasikan oleh manusia untuk menjadi pedoman dalam kehidupannya. Di sini agama mengalami proses internalisasi. Akan tetapi agama juga mengalami proses eksternalisasi, yaitu ketika agama menjadi sesuatu yang termanifestasi dalam masyarakat dan menjadi norma yang berfungsi mengontrol tindakan masyarakat.

Perjalanan sejarah keberagamaan di Indonesia pascareformasi salah satunya menunjukkan potret kekerasan atas nama agama. Padahal setiap agama dan keyakinan menolak segala bentuk kekerasan dengan alasan apa pun. Pendorong timbulnya perilaku kekerasan agama adalah pemahaman agama dari hasil pemikiran yang termanifestasi dalam bentuk tindakan nyata. Di sini, meminjam konsep Berger, proses dialektika obyektivasi, internalisasi dan eksternalisasi agama dan lingkungannya terjadi.

(20)

yaitu abangan, santri dan priyayi. Istilah abangan (Robertson 1988) merujuk pada penekanan pada aspek animistis dari sinkretisme1 Jawa dan secara luas dihubungkan dengan golongan petani. Istilah santri menekankan pada aspek Islam dari sinkretisme itu dan pada umumnya dihubungkan dengan aspek dagang (dan juga kepada unsur tertentu di kalangn petani). Sementara itu, istilah priyayi menekankan pada aspek-aspek Hindu dan dihubungkan dengan elemen birokratik. Islam santri menggambarkan sekelompok muslim saleh yang memeluk agama Islam dengan sungguh-sungguh, menjalankan perintah agama dan berusaha membersihkan akidahnya dari perilaku takhayul, bid`ah dan khurafat. Sedangkan Islam abangan menggambarkan sekelompok muslim yang cara hidupnya masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra-Islam, yaitu suatu tradisi yang menitik beratkan pada pemaduan unsur-unsur Islam, Budha-Hindu, dan unsur-unsur asli sebelumnya. Kelompok pertama ini oleh Sutiyono (2010) disebut juga dengan muslim atau masyarakat puritan, sementara kelompok kedua disebut juga dengan muslim atau masyarakat sinkretis.

Berdasarkan partisipasi ritualnya, Islam santri lebih berorientasi menjalankan ritual yang diajarkan Islam seperti shalat, puasa dan ibadah haji. Sementara Islam abangan lebih berorientasi pada ritual-ritual yang tidak diajarkan secara baku seperti slametan, nyadran, nyewu, uahan, brokohan, sesajen dan sebagainya. Perilaku religius ini bisa dibedakan berdasarkan sistem kepercayaan kelompok dan partisipasinya dalam kegiatan ritual keagamaan. Sistem kepercayaan dan praksis ritual di antara kedua kelompok religius ini menampakkan kecenderungan yang relatif berbeda.

Koentjaraningrat (1984) menyebut religiusitas Islam abangan dengan istilah AgamiJawi dan Islam santri dengan Agama Islam Santri. Kategori ini nampaknya untuk membedakan dua varian religius dan bukan varian sosial seperti yang digambarkan oleh Geertz sebagai santri, priyayi dan abangan. Menurut Koentjaraningrat, Agami Jawi adalah suatu kompleks keyakinan dan

1

(21)

konsep Hindu-Budha yang cenderung ke arah mistik, yang bercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam. Sementara itu, Agama Islam santri lebih dekat pada dogma-dogma Islam. Dengan kata lain, Islam abangan atau Agami Jawi lebih bersifat sinkretis karena menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu-Budha dan Islam.

Koentjaraningrat kemudian berpendapat, bahwa hal itu tidak berarti Islam abangan tidak beragama atau sangat sedikit memikirkan agama, atau menjalankan kehidupan tanpa kegiatan agama. Waktu-waktu mereka justru banyak tersita oleh aktivitas agama. Mereka juga percaya adanya Allah, percaya kenabian Muhammad, percaya dengan kebenaran kitab Al-Quran dan percaya bahwa orang baik akan masuk surga. Tetapi di samping itu mereka juga meyakini konsep dan pandangan keagamaan tertentu, percaya akan makhluk gaib dan kekuatan sakti, dan melakukan ritus-ritus dan upacara keagamaan yang sangat sedikit kaitannya dengan doktrin-doktrin Islam.

Sikap sinkretisme, dalam pandangan Simuh (1988), adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan benar salahnya suatu agama, atau suatu sikap yang tidak mempersoalkan murni atau tidak murninya suatu agama. Bagi orang yang berpaham sinkretis, semua agama dipandang baik dan benar. Penganut paham sinkretisme, suka memadukan unsur-unsur dari berbagai agama dan budaya lokal, yang pada dasarnya berbeda atau bahkan berlawanan. Dengan demikian, Islam sinkretisme merupakan gambaran sikap keagamaan yang sudah jauh dari sifatnya yang murni.

(22)

untuk seluruh umat Islam. Islam puritan, mengacu pada hasil penelitian Sutiyono (2010) di Senjakarta, Klaten, dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Islam puritan moderat dan Islam puritan radikal2.

Pluralisme keberagamaan ini merupakan fakta sosial yang tidak dapat dihindari. Kondisi ini kerapkali menimbulkan sekat-sekat sosial yang berakhir dengan perbedaan-perbedaan bahkan menimbulkan konflik sosial. Akibatnya, pada tingkat ekstrim benturan budaya (sistem kepercayaan atau agama) menjadi konsekuensi negatif, dan aspek-aspek simbolik dari masing-masing individu yang berlainan sikap dan perilaku keberagamaannya dapat berfungsi menjadi faktor disintegrasi dalam kehidupan sosial.

Kekerasan keagamaan yang terjadi di pedesaan Jawa kerapkali dapat digolongkan kepada mereka yang santri (puritan radikal). Kelompok ini seringkali tidak toleran terhadap kelompok keagamaan yang lain. Kondisi ini sesungguhnya berbanding terbalik dengan kondisi Jawa yang secara umum dikenal sebagai masyarakat yang paling majemuk di Indonesia dan toleran serta, meminjam istilah Hefner (2005), kaya akan pluralist endowments.

Asumsi ini didasarkan pada kenyataan bahwa banyak pedesaan di Jawa adalah daerah yang memiliki basis pesantren dan mayoritas beragama Islam, yang dikenal dengan sikap toleransi keberagamaannya. Kenyataan ini seharusnya menjadi fondasi dan kekuatan utama dalam rangka membangun kehidupan keberagamaan yang saling menghormati.

Dalam kaitan ini, ada dua fenomena yang mengindikasikan tantangan pluralisme keberagamaan. Pertama, maraknya aksi kekerasan secara fisik maupun psikis, berupa penyesatan, pembubaran, dan pengusiran terhadap beberapa kelompok keyakinan, seperti kekerasan yang dialami oleh kelompok Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), yaitu organisasi keagamaan yang mempercayai

2

(23)

Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Kedua, menguatnya sikap intoleransi dan memudarnya sikap pluralisme di kalangan masyarakat di pedesaan.

Tabel 1 Kekerasan Massa terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)

No Kasus Tempat/Waktu Pelaku Korban

1 Pengusiran, penganiayaan, dan

2 Penyerangan dan pengrusakan dua mesjid Desa Manis lor,

Kuningan (2002)

Massa -

3 Penyerangan atas penganut JAI Kota Selong, Lombok

Timur (2002)

Massa

4 Penyerangan dan pengrusakan kampus

dan rumah JAI

Parung, Bogor (2005) Gerakan Umat

Islam (GUI), FPI

-

5 Pengrusakan mesjid Desa Sadasari,

Majalengka (2005)

Massa -

6 Pembakaran mesjid Parakansalak,

Sukabumi (2005)

8 Pembakaran masjid Kebayoran Lama,

Jak-Sel (2009)

Dua orang Tak dikenal

-

9 Penyerangan atas penganut JAI Praya, Lombok

Tengah (2010)

Massa -

10 Pengrusakan dan pembakaran 22 rumah Desa Gegerung,

Lombok Barat (2010)

Massa -

11 Pemaksaan pembongkaran mesjid Desa Warnasari, Kec.

Sukabumi (2010)

Santri -

12 Penyerangan dan pengrusakan mesjid Ciputat, Tangerang

Selatan (2010)

Sekelompok orang bersepeda motor

-

13 Pengrusakan paksa papan nama mesjid Surabaya (2010) FPI dan GUIB -

14 Pengrusakan dan pembakaran bangunan Desa Ciampea Udik,

Bogor (2010)

Ratusan warga -

15 Pembakaran madrasah dan mushalla Desa Sukadana,

Cianjur (2010)

Massa -

16 Pemaksaan meninggalkan kegiatan di

mesjid

Makassar (2011) FPI -

17 Perusakan rumah tokoh JAI dan pusat

kegiatan keagamaan

19 Pengrusakan mesjid Singaparna,

Tasikmalaya (2012)

Massa

20 Pengrusakan mesjid Manislor, Kuningan

2012

Massa

Sumber: Hasil Pengolahan Data Sekunder (Media Massa)

(24)

kekerasan dan sikap-sikap intoleransi yang marak terjadi pasca jatuhnya rejim Orde Baru tentu sangat memprihatinkan di tengah berbagai persoalan bangsa, seperti penataan ekonomi, pengentasan kemiskinan dan pemberantasan korupsi. Kondisi ini tentu saja sudah mengarah pada melemahnya ikatan kebangsaan masyarakat Indonesia (Muttaqin et. al 2006).

Dalam kasus Ahmadiyah, misalnya, persoalan dan penanganan Ahmadiyah yang sudah berada pada tingkat nasional juga memberikan tekanan tersendiri pada gejala-gejala kekerasan dan intoleransi di tingkat pedesaan. Hal ini didukung oleh banyak faktor, di antaranya adalah keluarnya berbagai regulasi yang berkaitan dengan Ahmadiyah, ekses reformasi yang tidak lagi mengandung restriksi-restriksi seperti pada masa Orde Baru (Azra 2002), lemahnya penegakan hukum dan menguatnya sikap-sikap fundamentalisme keberagamaan.

Maarif Institute (2010) mencatat bahwa kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah banyak terjadi di Jawa Barat. Jawa Barat dianggap sebagai lumbung kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah dengan 117 kasus hingga pertengahan September 2010. Kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah meningkat dibandingkan pada tahun 2009 yang berjumlah 114 kasus. Melonjaknya angka kekerasan berbasis sentimen keagamaan pada 2010 ini menjadi fakta yang tak terbantahkan bahwa toleransi dan kerukunan dalam masyarakat mulai pudar.

Senada dengan laporan Maarif Institute, The Wahid Institute (2009) melaporkan bahwa kasus intoleransi keagamaan dan keyakinan yang terjadi pada tahun 2009, Jawa Barat menempati posisi paling atas dengan 32 kasus. Setelah itu Jakarta 15 kasus, Jawa Timur 14 kasus, dan Jawa Tengah 13 kasus. Di Jawa Barat, isu yang paling menghantui kehidupan keberagamaan adalah isu yang masuk dalam kategori penyebaran kebencian yang ditujukan kepada agama tertentu seperti Yahudi, Kristen, atau kelompok atau individu yang diduga sesat.

(25)

Gambar 1 Jumlah Peristiwa dan Tindakan Intoleransi Tahun 2007-2011.

Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa sikap masyarakat cenderung intoleransi dan ada indikasi pluralisme keberagamaan memudar di Indonesia. Masyarakat Indonesia yang dulu dikenal dengan masyarakat yang santun, toleran dan menghargai perbedaan. Namun, nilai-nilai tersebut kini terlihat memudar bahkan cenderung tidak menghargai perbedaan. Mengutip pendapat Anderson (dalam Roibin 2008) mengatakan bahwa masyarakat Jawa dikenal dengan sikap relativisme, sinkritisisme dan toleransinya. Sikap-sikap ini menunjukkan keterbukaan dan lapang dada orang jawa terhadap perbedaan.

1.2. Perumusan Masalah

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang paling majemuk di dunia. Kemajemukan ini disadari oleh para pendiri bangsa (founding fathers) kita, sehingga mereka merumuskan konsep pluralisme ini dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Bhinneka Tunggal Ika merupakan suatu pengakuan terhadap pluralisme etnik, budaya, agama, ras, dan bahasa, namun menuntut adanya persatuan dan komitmen untuk membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keragaman yang dimiliki Indonesia bisa menjadi kelebihan sekaligus sebagai kekurangan. Potensi keberagaman ini jika terjalin dengan baik akan menjadi suatu kekuatan besar sekaligus kekayaan budaya yang tak ternilai

0

Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011

(26)

harganya. Akan tetapi perbedaan ini juga berpotensi menjadi pemicu konflik dan disintegrasi sosial.

Meski dari sudut pandang agama Indonesia adalah bangsa Muslim terbesar di dunia, namun secara religio-politis dan ideologis Indonesia bukanlah “negara Islam”. Indonesia adalah negara yang didasarkan kepada ideologi resmi yang disebut Pancasila. Nur Kholis Madjid (1998) menyebut bahwa Soekarno menawarkan Pancasila sebagai modus vivendi antara nasionalisme sekular yang disuarakan kelompok nasionalis dan gagasan negara Islam yang dituntut oleh para politisi berorientasi Islam.

Meskipun merupakan salah satu bangsa Muslim terbesar di dunia, Indonesia adalah bangsa yang paling sedikit mengalami Arabisasi dibandingkan dengan bangsa-bangsa Muslim lainnya. Di samping itu, Indonesia merupakan satu di antara sedikit negara dimana Islam tidak menggantikan agama-agama yang ada sebelumnya. Hal ini disebabkan karena proses islamisasi di Indonesia berlangsung dalam cara yang sering disebut Pénétration pacifique (penetrasi secara damai) terutama oleh para pedagang dan pendakwah (Madjid 1998).

Dalam suatu negara yang majemuk seperti Indonesia sangat dibutuhkan suatu kondisi yang dapat menjamin keberlangsungan kehidupan bermasyarakat. Kondisi ini menuntut adanya suatu sifat toleransi yang tinggi dalam masyarakat. Perbedaan etnik, budaya, ras, bahasa dan agama dan keyakinan yang kita peluk bukan untuk dipertentangkan, melainkan harus diserasikan untuk mencapai cita-cita bersama sebagai anak bangsa.

Karena itu, jelas Madjid (1998) masalah Islam vis-à-vis pluralisme adalah masalah bagaimana kaum muslim mengadaptasikan diri dengan dunia modern. Dan ini, pada gilirannya, melibatkan masalah bagaimana mereka memandang dan menilai sejarah Islam, dan bagaimana mereka melihat dan menilai perubahan dan keharusan membawa masuk nilai-nilai Islam yang normatif dan universal ke dalam dialog dengan realitas ruang dan waktu.

(27)

orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali; 2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,

menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”. Sementara itu, Pasal 29 ayat 2 menyatakan: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama

dan kepercayaannya itu”.

Indonesia juga memiliki UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengatur kebebasan beragama dan berkeyakinan khususnya pada pasal 22. Hal ini selaras dengan isi Deklarasi Universal PBB 1948 tentang HAM terutama pasal 18. Dalam perjalanannya, Indonesia juga mengeluarkan kebijakan berupa TAP MPR tahun 1998 No. XVII tentang HAM yang mengakui hak beragama sebagai hak asasi manusia yang tertera pada pasal 13. Indonesia juga memutuskan untuk meratifikasi Konvensi Internasional Hal Sipil dan Politik melalui UU No.12 Tahun 2005 yang diatur dalam Pasal 18.

Pasal-pasal dalam konstitusi di atas secara tegas memberi jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai bagian hak dasar warga negara.

Bahkan dalam pasal 28I (4) lebih ditegaskan: “Perlindungan, pemajuan,

penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.

Kebijakan-kebijakan negara dan pemerintah secara faktual telah menjadikan Jemaat Ahmadiyah sebagai kelompok minoritas yang harus bubarkan dalam kehidupan kenegaraan dan keagamaan di Indonesia. Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang berkaitan dengan Ahmadiyah merupakan kebijakan utama yang dijadikan landasan pemerintah dan kelompok garis keras (muslim puritan radikal) untuk menegasikan hak-hak dan perlindungan terhadap Jemaat Ahmadiyah (The Wahid Institute 2011).

(28)

merupakan masalah perbedaan penafsiran tentang apa makna 12 butir kesepakatan yang dibuat pada Januari 2008 dan SKB yang dikeluarkan pada Juni 2008, dan apa yang dituntut dari keduanya.

Tabel 2 Peraturan Daerah tentang Pelarangan Kegiatan Keagamaan Jemaat Ahmadiyah

No Surat Wilayah Dikeluarkan

1 Surat Keputusan Bersama No.

Kep.11/IPK.32.2/L-2.III.3/11/83

Lombok Barat Kepala Kejaksaan Negeri Selong (21-11

1983)

2 Surat Keputusan Bersama Kuningan MUSPIDA, Pimpinan DPRD, MUI, dan

pimpinan pondok pesantren dan ormas Islam Kabupaten Kuningan (3-11-2002)

3 Surat Keputusan Bersama Bogor Bupati, Ketua DPRD, Dandim 0621,

Kepala Kejaksaaan Negeri Cibinong, Kapolres, Ketua PN, DANLANUD

5 Surat Keputusan Bersama No. 21

tahun 2005

Cianjur Bupati, Kepala Kejaksaaan Negeri dan

Kepala Kantor Depag Kab.Cianjur (17-10-2005)

6 Surat Keputusan Bersama No. 143

tahun 2006

Sumatera Selatan Gubernur Sumatera Selatan Mahyudin

N.S, (1-9-2008)

8 SK Walikota No.

450/BKBPPM/749

Pekanbaru Walikota Pekanbaru Herman Abdullah

(16-10-2010)

9 Surat Edaran Gubernur No.

223.2/803/kesbang

Sulawesi Selatan Gubernur Sul-Sel H. Syahrul Yasin

Limpo (10-2-2011)

10 Peraturan Bupati No. 5 tahun 2011 Kab.Pandeglang Pj. Bupati Pandeglang Asmudji HW

(21-2-2011)

11 Surat Keputusan Walikota No.

200/160/BKPPM.I/II/2011

Samarinda Walikota Samarinda H. Syahrie Ja'ang

(25-2-2011)

12 Peraturan Gubernur No.

188/94/KPTS/013/2011

Jawa Timur Gubernur Jawa Timur Soekarwo

(28-2-2011)

13 Peraturan Gubernur No. 12 Tahun

2011

Jawa Barat Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan

(3-3-2011)

Kampar Bupati Kampar Buruanuddin Husin

(16-2-2011)

16 Peraturan Gubernur No. 5 tahun

2011

Banten Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah

(1-3-2011)

17 Peraturan Gubernur No. 17 Tahun

2011

Sumatera Barat Gubernur Sumatera Barat Irwan

Prayitno (24-3-2011)

18 Peraturan Bupati Kab. Bogor Bupati Bogor Rachmat Yasin

(21-3-2011)

19 Peraturan Walikota No. 09 Tahun

2011

Depok Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail

Sumber: Hasil Pengolahan Data Sekunder (Media Massa)

(29)

Islam (FPI) menganggap fatwa MUI sebagai pernyataan hukum Islam (Assyaukanie 2009; Budiwanti 2009).

Indikasi relasi antara kebijakan negara atau pemerintah dengan penyerangan dan kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah ini semakin kentara memasuki tahun 2011. Penyerangan dan pembunuhan terhadap pengikut Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik pada 6 Februari 2011 dan dikeluarkannya berbagai Peraturan Gubernur dan Bupati (lihat Tabel 2) di beberapa wilayah Indonesia semakin menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa penyerangan dan kekerasan terhadap kelompok Jemaat Ahmadiyah ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kebijakan negara atau pemerintah yang tidak adil terhadap warganya.

Negara sesungguhnya memiliki otoritas dan kewenangan untuk menjamin pelaksanaan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Lemahnya kapasitas pemerintah untuk bertindak tegas dan menjamin pelaksanaan kebebasan beragama dan berkeyakinan seringkali membuat negara berpihak pada kelompok tertentu dan bertindak intoleran dan diskriminatif terhadap kelompok tertentu dengan melakukan pembatasan terhadap kebebasan tersebut melalui kebijakan yang dikeluarkan (Soegiharti 2009).

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana tokoh agama, pemerintahan desa dan masyarakat merespon keberadaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia?

2. Bagaimana proses konflik dan proses akomodasi terjadi antara masyarakat dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia?

3. Mengapa nilai-nilai toleransi dan pluralisme memudar di kalangan masyarakat pedesaan?

1.3. Tujuan Penelitian

(30)

1. Mengetahui dan menganalisa respon tokoh agama, pemerintahan desa dan masyarakat atas keberadaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia

2. Mengetahui dan menganalisa proses munculnya konflik dan proses akomodasi antara masyarakat dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia

3. Menganalisa penyebab memudarnya nilai-nilai toleransi dan pluralisme di kalangan masyarakat pedesaan

1.4. Manfaat Penelitian

Kajian tentang pluralisme di pedesaan tidak saja ingin melihat adanya pluralitas yang terdapat di tengah masyarakat, melainkan juga melihat semakin menguatnya resistensi akan pluralitas tersebut di kalangan masyarakat yang mengarah pada tindakan kekerasan. Sikap seperti ini tentu saja bertentangan dengan konstitusi yang mendukung perbedaan apa pun.

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi analisis terhadap bagaimana respon masyarakat terhadap kelompok Jemaat Ahmadiyah bagi terciptanya kehidupan keberagamaan yang pluralis. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan pengetahuan baru tentang hubungan sosial Jemaat Ahmadiyah (minoritas) dengan non Jemaat Ahmadiyah (mayoritas) di tengah pluralisme keberagamaan. Sementara itu, secara praktis, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi atau masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyusun kebijakan hubungan antarumat yang berbeda keyakinan dan pencegahan konflik dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

(31)
(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian M. Lutfi Mustofa (2010) tentang etika pluralisme di kalangan warga nahdliyin di Jawa Timur menyebutkan bahwa; (1) konsepsi NU mengenai pluralisme keagamaan terkonstruksi dan tumbuh berkembang dalam konteks sejarah dan sosialnya melalui proses dialektika teologis, ideologis, dan sosio-kultural; (2) keterlibatan NU dalam mempromosikan dan memelihara nilai-nilai pluralisme keagamaan di Jawa Timur menampakkan gambaran yang beraneka ragam, dari yang bersifat responsif, kontra produktif, dan pada elemen terbesarnya bersikap diam (silent majority); (3) dampak psiko-sosial etika pluralisme NU terhadap relasi-relasi internal maupun eksternal NU di Jawa Timur, paling tidak dapat dirasakan dan disaksikan dari semakin menguatnya kontestasi antara kelompok konservatif dan progresif. Pro-kontra pluralisme keagamaan di dalam NU Jawa Timur, sekalipun tidak sepanas di dunia politik, tetapi setidaknya hal ini telah menimbulkan keprihatinan pada kelompok-kelompok minoritas dan marjinal akan ancaman melemahnya kekuatan civil society yang selama ini telah dicontohkan oleh Gus Dur dan NU.

Ada tiga aspek yang menjadi fokus penelitian Mustofa, yaitu: (1) pertama, konsepsi pluralisme keagamaan NU yang terelaborasi dalam konstitusi organisasi maupun pemikiran komunitas nahdliyin; (2) bentuk-bentuk keterlibatan aktif NU dalam mempromosikan dan memelihara nilai-nilai pluralisme keagamaan; (3) dampak psiko-sosial etika pluralisme keagamaan NU dalam relasi-relasi internal maupun eksternal komunitas nahdliyin.

(33)

paroh terakhir 1990-an. Sebagai organisasi sosial-keagamaan, kiprah NU tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan norma-norma keislaman yang secara baku disusun dalam konstitusi fiqh maupun teologinya, termasuk untuk mempromosikan gagasan dan praktik pluralisme keagamaan. Meminjam istilah Berger (1966), nilai-nilai dan norma-norma keislaman inilah yang dalam waktu sangat lama merupakan faktor penting yang ikut membentuk realitas sosial komunitas NU di Indonesia.

Hasil penelitian Umar dan Priyangga (2007) tentang pluralisme agama dan paham keagamaan di Kota Bandar Lampung menunjukkan bahwa pluralisme agama dan paham keagamaan tidak menjadi kendala dalam menciptakan toleransi kehidupan beragama baik antar umat beragama maupun intern umat beragama. Menurut Umar dan Priyangga, hampir tidak pernah terjadi keributan dan konflik akibat perbedaan agama dan paham keagamaan.

Dalam penelitiannya, Umar dan Priyangga menyimpulkan bahwa kerukunan yang terjadi di kota Bandar Lampung, baik antar umat beragama dan intern umat beragama (Islam) tidak terlepas dari peran Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung, tokoh agama serta pemimpin Ormas Islam yang senantiasa membina umat dalam bentuk dialog antar umat beragama dan dialog antar pemerintah dengan umat beragama. Forum Aksi Sosial dan Kerjasama Antar Umat Beragama Lampung (FASKAUBAL) yang dibentuk oleh pemerintah daerah untuk menangani kerukunan antar umat beragama berperan besar dalam menciptakan pluralisme keberagamaan dan hidup toleransi di Kota Bandar Lampung.

Kajian Syafru El Fauzi (2007) tentang Jemaat Ahmadiyah menunjukkan bahwa kelompok keagamaan yang berkembang di Indonesia sejak tahun 1925 hingga kini tidak pernah aman dari kritikan dan kecaman. Hal itu terlihat dari respon beberapa ormas Islam terhadap Jemaat Ahmadiyah, seperti Muhammadiyah, NU dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Respon negatif dari ormas-ormas Islam ini lebih bersifat teologis ketimbang sosiologis. Sementara itu, kajian Iskandar Zulkarnain (2006) lebih menitikberatkan pada gerakan organisasi Jemaat Ahmadiyah antara tahun 1920-1942.

(34)

bahwa konflik yang terjadi antara Jemaat Ahmadiyah dan masyarakt non Ahmadiyah di Lombok lebih disebabkan karena proses komunikasi yang tidak efektif (komunikator, pesan dan metode), baik dari kalangan Jemaat Ahmadiyah maupun dari masyarakat Lombok.

Penelitian yang terkait dengan pluralisme dan Jemaat Ahmadiyah ditulis oleh Budiwanti (2009). Dalam tulisannya, Budiwanti mengatakan bahwa pluralisme di Indonesia sudah runtuh melihat perlakuan masyarakat, ormas Islam dan MUI kepada Jemaat Ahmadiyah. Menurut Budiwanti fatwa MUI tentang Jemaat Ahmadiyah yang sesat menjadi legitimasi bagi organisasi Islam radikal untuk menyerang Jemaat Ahmadiyah.

2.2. Pluralisme Keberagamaan

Pluralism adalah istilah kefilsafatan yang diadopsi dari Bahasa Inggris,

plural yang berarti jamak atau banyak dengan implikasi perbedaan, dan ism yang berarti paham atau aliran. Dengan demikian, istilah pluralisme selengkapnya dapat diartikan sebagai paham atau aliran kefilsafatan yang mengakui secara sungguh-sungguh terhadap kenyataan bahwa terdapat banyak kelompok manusia yang berbeda-beda dalam suatu negara, baik atas dasar etnis, ras, budaya, agama dan kepercayaan.

Menurut The Oxford English Dictionary, seperti yang dikutip Abdillah (2001) disebutkan, bahwa pluralisme dipahami sebagai: (1) suatu teori yang menentang kekuasaan negara monolitis, dan mendukung desentralisasi dan otonomi untuk organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan individu dalam masyarakat. Suatu keyakinan bahwa kekuasaan itu harus dibagi bersama-sama di antara sejumlah partai politik. (2) keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan, dan sebagainya. Definisi yang pertama mengandung pengertian pluralisme politik, sedangkan definisi kedua mengandung pengertian pluralisme sosial atau primordial.

(35)

sebagai gagasan atau paham yang mengandaikan: (1) kelompok keagamaan yang berbeda-beda dapat berkoeksistensi di dalam satu masyarakat di bawah sistem teologi dan hukum mereka sendiri, dan (2) tidak satu kelompok pun yang dapat memonopoli terhadap keselamatan. Pluralisme di sini juga dibedakan dari inklusivisme, karena keduanya memiliki kerangka paradigmatiknya sendiri dalam melihat agama. Apabila inklusivisme meniscayakan pemahaman terhadap agama lain dari segi adanya dimensi kesamaan substansi dan nilai, maka pluralisme justru mengakui dan menegaskan adanya perbedaan-perbedaan. Pluralisme tidak saja dibedakan dari inklusivisme, tetapi juga dibedakan dari subyektivisme, relativisme, multikulturalisme, dan globalisme (Boase 2005, Rahman 2001).

Dengan kata lain, pluralisme hendak membangun pemahaman mengenai agama-agama itu sebagaimana realitas mereka sendiri yang memang berbeda-beda. Hanya saja, dalam memberikan respons terhadap diversitas tersebut pluralisme menawarkan sesuatu yang baru.

Pertama, ia menghendaki keterlibatan aktif setiap individu untuk menyulam perbedaan-perbedaan tersebut, guna mencapai tujuan kebersamaan. Kedua, ia tidak sekadar menganjurkan penghargaan terhadap yang lain (toleransi), tetapi lebih pada ikhtiar membangun pemahaman yang konstruktif (constructive understanding) mengenai orang lain (religious others). Ketiga, ia bermaksud menemukan komitmen bersama di antara keanekaragaman komitmen (encounter commitments). Jadi, sangat berbeda dengan relativisme, karena apabila pluralisme hendak mencapai komitmen bersama untuk kemanusiaan, maka relativisme justru menegasikannya, bahkan mengingkari kebenaran agama-agama itu sendiri (Misrawi 2007).

(36)

Diana L. Eck berpendapat, seperti yang ditulis Omid Safi (2003), Misrawi (2007) dan Ali (2003) bahwa terdapat tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pluralisme, yaitu: 1) pluralisme sama sekali tidak sama dengan perbedaan (diversity), seperti masyarakat yang berlatar belakang agama dan etnik yang berbeda. Perbedaan latar belakang ini membutuhkan keterlibatan aktif satu sama lain; 2) tujuan pluralisme sama sekali bukan bersikap ”toleransi” terhadap orang lain tetapi lebih dari itu ada upaya aktif untuk mencapai pemahaman satu sama lain; 3) pluralisme berbeda dengan relativisme. Jika pluralisme hendak mencapai komitmen bersama untuk kemanusiaan, maka relativisme justru menegasikan dan mengingkari kebenaran agama-agama itu sendiri.

Pluralisme keberagamaan (Banchoff 2008) merupakan konsep yang melampui konteks nasional dan politik. Dalam teologi, terma pluralisme keberagamaan kerapkali menganjurkan sikap-sikap harmoni, tindakan terlibat di satu tempat, atau kesesuaian dengan orang lain yang melampaui tradisi-tradisi keberagamaan sebagai lawan dari sikap eksklusivisme keagamaan. Dalam sosiologi, pluralisme keberagamaan mengacu kepada tradisi-tradisi keberagamaan yang berbeda-beda di dalam ruang sosial atau kultural yang sama. Pluralisme keberagamaan juga mengacu pada pola-pola interaksi damai diantara aktor-aktor pemeluk agama yang berbeda-beda, yaitu individu dan kelompok yang bertindak menurut cara-cara keagamaan tertentu.

Berdasarkan atas berbagai kajian terhadap gagasan dan praktek pluralisme keberagamaan di berbagai kawasan, para sarjana telah menyusun beragam pengertian pluralisme keberagamaan yang berbeda-beda. Sebagian pengertian tersebut sekalipun pada intinya dimasudkan untuk memperjelas arti penting etika global ini dalam menciptakan harmoni antarumat beragama, namun tidak semuanya digunakan sebagai definisi operasional dalam kajian ini. Konsep pluralisme dalam penelitian ini mengacu pada konsep Diana L. Eck (2006).

2.3. Fundamentalisme dan Konflik Keberagamaan

(37)

(Azra 1999; Hidayat 2012; Madjid 1998). Berbeda dengan penyebaran Islam di Timur Tengah yang dalam beberapa kasus disertai dengan pendudukan wilayah oleh militer Muslim. Islam dalam batasan tertentu disebarkan dengan pedang, kemudian dilanjutkan oleh para guru agama (da`i) dan pengembara sufi (Sunanto 2010).

Islam masuk ke Indonesia (Nusantara) semula diperkenalkan oleh para pedagang Arab melalui jalur perdagangan di Samudera Hindia. Arus Islam ke Nusantara pada gilirannya juga melibatkan partisipasi pedagang-pedagang dari India (Gujarat), Persia dan China yang juga membawa pengaruh kebudayaan mereka masing-masing (Latif 2011). Para pedagang ini membawa Islam dengan cara damai sejalan dengan karakter pedagang itu sendiri yang bersahabat, terbuka dan menjalin relasi dengan orang lain. Sifat pedagang ini rupanya sejalan dengan semangat dakwah yang juga selalu ingin menawarkan dan menyebarkan ajaran Islam di wilayah baru.

Menarik untuk diperhatikan bahwa Islam yang dikembangkan pada masa-masa awal lebih banyak bermuatan tasawuf (esoterisme) yang berasal dari Persia dan India, sehingga ekspresi dan artikulasi Islam pada saat lebih inklusif, esoterik dan ramah (Hidayat 2012). Genealogi historis ini mungkin dapat menjelaskan mengapa Islam yang berkembang di Nusantara yang tadinya menjadi pusat Hindu-Budha berubah menjadi pusat Islam terbesar di dunia. Warisan berbagai candi yang tersebar di Indonesia telah cukup menjadi bukti betapa Indonesia dulu menjadi pusat agama Hindu dan Budha, di samping agama dan kepercayaan lokal yang sebagiannya masih bertahan hingga sekarang.

Genealogis historis-teologis masuknya Islam ke Indonesia ini telah memberi karakter ekspresi keislaman di Indonesia hingga saat ini. Corak keislaman yang berkembang di Indonesia lebih bersifat kultural yang sangat apresiatif dan akomodatif terhadap tradisi lokal tanpa kehilangan substansi dari ajaran Islam itu sendiri. Karena itu (Madjid 1998), perkembangan kebudayaan Islam di Indonesia sebagian besarnya merupakan hasil dialog antara nilai-nilai Islam yang universal dan nilai-nilai kultural kepulauan Nusantara.

(38)

fundamentalisme dari kelompok Islam tertentu ikut menghiasi wajah keislaman Indonesia. Menurut Abd A`la (2008), peristiwa awal yang melakukan fundamentalisme keberagamaan adalah ketika meletusnya gerakan Padri yang bukan saja kepada orang di luar Islam, tapi kekerasan juga dilakukan kepada sesama muslim yang tidak mau mengikuti ajaran mereka.

Kekerasan dan tindakan sejenis dapat dirujuk pandangan keagamaan tertentu yang sampai derajat tertentu melegitimasi atas terjadinya sikap dan tindakan semacam itu. Menurut Azra (1996) dan A`la (2008), sikap fundamentalisme keagamaan tersebut dapat dilacak dan dipengaruhi oleh pandangan aliran keagamaan Wahabi di Arab Saudi. Menurut Benda (1958 dalam A`la, 2008), gerakan Wahabi yang lahir di Arab Saudi itu telah memberikan tarikan magnetik kepada muslim Indonesia melampaui perbedaan doktrinal yang ada.

Kaum Wahabi adalah kelompok keagamaan yang sangat tidak toleran dengan praktek-praktek yang bersifat bid`ah, khurafat dan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Siapa saja yang menyimpang, kelompok Wahabi siap ”meluruskan,” atau jika perlu diperangai dengan jalan kekerasan. Mereka berusaha melakukan purifikasi keagamaan sesuai dengan prinsip yang mereka anut dan akan meluruskan ritual keagamaan yang dianggap tidak sesuai melalui cara mereka sendiri. Dalam hal ini, ajaran mereka yang rigid tersebut, tidak bisa dilepaskan dari pemahaman keagamaan mereka yang literal-skriptualistik.

Gerakan Islam fundamentalisme di Indonesia memiliki genealogi dengan gerakan Islam salafi yang berkembang di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi. Entah suatu kebetulan atau memang seperti itu, kebanyakan tokoh-tokoh gerakan Islam radikal di Indonesia adalah keturunan Arab, seperti Habieb Riziq Syihab, pemimpin Front Pembela Islam (FPI), Ja’far Umar Thalib (Laskar Jihad), Abu

Bakar Ba’asyir (Majelis Mujahidin Indonesia), Habieb Husein al-Habsyi

(Ikhwanul Muslimin), Hafidz Abdurahman (Hizbut Tahrir Indonesia).

(39)

fundamentalis untuk membedakan dari kaum Protestan liberal yang dalam anggapan mereka telah mengalami distorsi keimanan yang benar. Kaum fundamentalisme ini menekankan ajaran dan praktek pada tradisi dan prinsip Kristen melalui pemaknaan biblikal yang literalistik.

Sebagai istilah yang diproduksi dalam tradisi Barat, maka istilah ini tidak cukup dikenal dalam tradisi Islam, meskipun gejala dan perilaku yang kurang lebih sama dapat kita temukan dalam tradisi dan sejarah muslim. Dalam Islam, fundamentalisme biasanya diterjemahkan dengan al-Ushuuliyyah al-Islaamiyyah

(fundamentalisme Islam), al-Salaafiyah (warisan leluhur), Sahwah al-islamiyyah (kebangkitan Islam), al-Ihyaa` al-Islami (kebangkitan kembali Islam). Namun, di kalangan intelektual berbeda-beda dalam menggunakannya, seperti ”ekstremisme Islam” oleh Gilles Kepel, ”Islam Radikal” oleh Emmanual Sivan (1990), dan yang lain ada yang menggunakan istilah ”integrisme,” revivalisme,” atau ”Islamisme” (Euben 2002). Sebutan-sebutan tersebut oleh kalangan tertentu juga sering disebut sebagai fenomena ”kebangkitan Islam” atau ”intensifikasi

Islam” dalam wajah yang baru.3

Bagi Azra (1996), karakteristik fundamentalisme adalah paham perlawanan terhadap modernitas, sekularisasi dan tata nilai barat, penolakan terhadap hermeneutika, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme keberagamaan dan penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis yang membuat mereka mudah terperangkap dalam tindakan kekerasan. Fundamentalisme Islam, lanjutnya, bisa dikatakan merupakan bentuk ekstrem dari gejala revivalisme.

Habermas (dalam Borradori 2005) melihat bahwa salah satu karakteristik utama fundamentalisme terletak pada kekakuan sikap yang ditampakkan; mentalitas, sikap kepala batu yang menekankan pada pemaksaan secara politik keyakinan-keyakinan sepihak, terutama yang berkaitan dengan kepercayaan keagamaan, kendati hal tersebut tidak dapat diterima secara rasional.

Sedikit berbeda dengan penjelasan di atas, Arkoun (1999), menjelaskan bahwa gerakan fundamentalisme Islam terbentuk secara menyeluruh dari oposisi,

3

Rumadi (2009) menjelaskan bahwa istilah-istilah tersebut digunakan untuk menunjuk gejala

“kebangkitan Islam” yang diikuti dengan militansi dan fanatisme yang terkadang sangat ekstrim.

(40)

tuntutan, susunan ideologis dan halusinasi individual yang tidak membawa kita kepada Islam sebagai agama atau warisan pemikiran, tetapi semata-mata kepada kemampuan setiap ideologinya dalam menggerakkan fantasi kolektif. Fundametalisme Islam yang berkembang di belahan dunia saat ini sama sekali bukanlah hal yang baru.

Brown (2003) mencatat bahwa fundamentalisme merupakan fenomena global dan tidak saja terdapat di kalangan Islam saja melainkan juga di kalangan kaum Kristen, Yahudi, Hindu, Sikh dan Budha. Faktor-faktor, lanjutnya, yang melahirkan gerakan fundamentalisme bisa disebabkan oleh ekonomi, politik, militer dan sosial.

Terlepas dari rumusan yang berbeda-beda, namun dapat ditarik benang merahnya bahwa fundamentalisme merupakan pola keberagamaan (bukan agama) untuk kembali kepada sumber ajaran secara rigid sebagai respon terhadap segala sesuatu yang dalam anggapan mereka merupakan krisis terhadap kepercayaan yang mereka yakini. Senada dengan ini, John O. Voll (dalam Euben, 2002) menjelaskan bahwa fundamentalisme dalam Islam, tepatnya dalam aliran Sunni, adalah sebagai penegasan kembali prinsip-prinsip mendasar dan usaha untuk membentuk ulang masyarakat berdasarkan dasar-dasar tadi ke dalam dunia politik dan sosial kontemporer.

Munculnya gerakan-gerakan Islam fundamentalisme berkait erat dengan kegagalan negara menerapkan pola manajemen keragaman keagamaan (religious diversity) secara tepat. Dalam ruang sosial yang menghambat tumbuhnya kohesi sosial dan kesalingpercayaan antarkomponen masyarakat, fundamentalisme agama dapat tumbuh dengan mekar.

Fundamentalisme agama itu sendiri merupakan cerminan dari lemahnya kohesi sosial. Dari sudut pandang sosiologis, gejala ini berhubungan dengan ekspansi modernisasi yang menciptakan kondisi dunia modern yang sangat paradoksal dan ini menimbulkan tekanan terhadap sistem disposisi berkelanjutan individual yang mengintegrasikan pengalaman-pengalaman masa lalu dan berfungsi sebagai matriks persepsi dan tindakan.

(41)

akhirnya melahirkan sikap intoleransi pada kelompok lain, bahkan menimbulkan konflik. Konflik muncul karena mereka yang memahami doktrin agama secara literal dan menolak kontekstual teks-teks agama tidak toleran dengan pemahaman dan penafsiran kelompok lain yang berbeda dengan mereka. Sikap eksklusifisme dalam penafsiran teks-teks agama serta menolak berbagai kemungkinan penafsiran lain berpengaruh pada terciptanya konflik dalam masyarakat.

Hubungan antar umat beragama saat ini berada pada situasi yang cukup pelik. Gambaran ini jelas berbeda jauh jika dibandingkan dengan kondisi sebelum reformasi di mana hubungan antarumat beragama dianggap jauh lebih rukun dengan sedikit konflik. Berbagai peristiwa mutakhir terkait intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan atas nama agama dimungkinkan telah berkontribusi dalam membentuk persepsi publik dalam menilai situasi mutakhir kondisi hubungan antar umat beragama (Hasani et. al 2011).

2.4. Jemaat Ahmadiyah di Pedesaan Indonesia

Ahmadiyah adalah suatu ajaran dan gerakan keagamaan yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) asal Qadian, Punjab, India. Dalam perkembangannya, Ahmadiyah terbagi ke dalam dua golongan, yaitu Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadian. Perbedaan kedua kelompok ini terletak pada keyakinan pada sosok Mirza Ghulam Ahmad. Ahmadiyah Qadian berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi karena mereka mempercayai kenabian itu akan tetap ada sesudah Nabi Muhammad. Sementara itu, Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad bukanlah nabi melainkan seorang reformis agama (mujaddid) karena pintu kenabian setelah Nabi Muhammad sudah tidak ada lagi.

(42)

tidak lepas dari peran dari pelajar-pelajar Indonesia yang tengah menuntut ilmu di Qadian pada saat itu.

Di antara kedua aliran tersebut, Ahmadiyah Qadian kerapkali ditentang oleh kebanyakan umat Islam dibandingkan dengan Ahmadiyah Lahore karena ajaran-ajarannya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, seperti adanya nabi setelah Nabi Muhammad. Sementara itu, Ahmadiyah Lahore relatif bisa diterima umat Islam karena tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi melainkan reformer agama (mujaddid).

Kehadiran Ahmadiyah Qadian di Indonesia, dan di negara-negara yang mayoritas berpaham Sunni, seringkali menimbulkan penolakan yang berujung pada konflik sosial. Dalam hal ini, Ahmadiyah Qadian tidak jarang menjadi sasaran kekerasan dari sikap fundamentalisme keberagamaan masyarakat dalam melihat perbedaan penafsiran ajaran agama dengan Ahmadiyah Qadian.

Keberadaan Ahmadiyah Qadian di pedesaan juga mengalami yang sama, mereka tidak lepas dari sasaran kekerasan sebagian masyarakat yang tidak bisa menerima ajaran mereka. Bila melihat ke belakang, kondisi ini tentu saja jauh dari kondisi yang ada sekarang di mana warga Ahmadiyah dan non Ahmadiyah hidup berdampingan dan saling menghargai. Rupanya berbagai faktor, seperti reformasi, intervensi pemerintah dalam bentuk regulasi, media massa dan fatwa MUI ikut membentuk perubahan suasana yang tadinya saling toleran dan menghormati menjadi saling curiga dan membenci satu sama lain.

Akibatnya, kedua kelompok keagamaan ini di banyak pedesaan di Indonesia mengalami segregasi-segregasi akibat dari regulasi atau fatwa yang dikeluarkan pihak-pihak terkait. Interaksi di tengah masyarakat menjadi berjarak karena takut melanggar regulasi tersebut sehingga yang muncul adalah interaksi kepura-puraan. Tidak ada kohesifitas masyarakat pascaterjadinya konflik kedua kelompok keagamaan ini.

(43)

0628/KET/1978 Tanggal 19 Juni 1978 yang menyatakan bahwa Jemaat Ahmadiyah Indonesia telah diakui sebagai badan hukum berdasarkan Statsblaad 1870 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang diuraikan di atas Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 2 Kerangka Pemikiran “Pluralisme dan Keberadaan Ahmadiyah di

(45)

3.2. Paradigma Penelitian

Guba dan Lincoln (dalam Salim 2006), mengemukakan empat paradigma utama dalam ilmu pengetahuan dengan berbagai asumsi-asumsi yang mendasarinya, yaitu positivisme, post-positivisme, teori kritis, dan konstruktivisme. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma konstruktivisme. Paradigma ini menyatakan bahwa realitas sosial itu ada dalam bentuk bermacam-macam konstruksi mental, pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik serta bergantung pada orang yang melakukannya. Respon masyarakat Desa Cikeukeuh terhadap Ahmadiyah akan berbeda dengan respon masyarakat di luar desa ini karena konteks lokal dan pengalaman masyarakat yang berbeda.

3.3. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative approach) dengan informasi yang bersifat subyektif dan historis. Bryman (2001) menyebutkan bahwa penelitian kualitatif adalah strategi penelitian yang pada umumnya menekankan kata-kata daripada kuantifikasi dalam pengumpulan dan analisa data. Penelitian kualitatif memberikan deskripsi dan analisa yang mendalam tentang kualitas, atau substansi, pengalaman manusia (Marvasti 2004).

Pendekatan kualitatif, tulis Syam (2005), didasari oleh beberapa alasan.

Pertama, yang dikaji adalah makna dari suatu tindakan atau apa yang ada di balik tindakan seseorang. Kedua, pendekatan kualitatif memberikan peluang bagi pengkajian mendalam terhadap suatu fenomena secara holistik. Ketiga,

pendekatan kualitatif memberikan peluang untuk memahami fenomena menurut

emic view atau dalam istilah Geertz disebut sebagai konsep from the native`s points of view.

(46)

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian kualitatif ini menggunakan strategi studi kasus (case study) dengan menerapkan multi metode (triangulasi) dalam proses pengumpulan data. Sebagai studi kasus, maka penelitian ini diharapkan mampu mempelajari, memahami, dan menginterpretasi suatu kasus dalam konteksnya yang natural. Studi kasus oleh Yin (1997) dikatakan sebagai strategi penelitian yang lebih cocok bila pokok pertanyaan penelitian berkaitan dengan “bagaimana” atau “mengapa,” peneliti memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bila fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer.

a. Pemilihan Informan

Pemilihan informan berdasarkan lapisan masyarakat, yaitu tokoh agama, aparat desa dan masyarakat biasa. Ketiga lapisan masyarakat ini tersebar di empat kampung, yaitu dua kampung (Mekarsari dan Sukasari) yang berdekatan dengan Kampung Ciladong (tempat Jemaat Ahmadiyah berdomisili) dan dua kampung (Nanggrek dan Bumi Asri) yang berjauhan dengan Kampung Ciladong.

b. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dimulai dari beberapa tokoh kunci (key informan) yang dianggap tahu dan mengusai permasalahan desa, terutama yang berkaitan dengan masalah Ahmadiyah. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga (3) cara, yaitu:

1. Metode Observasi

Metode observasi adalah pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung ke lokasi penelitian untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti, mencatat dan mendokumentasikan data yang diperlukan.

2. Metode Wawancara

(47)

(tokoh agama, aparat desa, dan masyarakat biasa) yang mengetahui kedalaman informasi yang terkait dengan masalah yang diteliti. Triangulasi data yang diperoleh diperiksa dengan menggunakan sumber lain di luar data tersebut untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding data tersebut agar ada jaminan tingkat kepercayaan data dan mencegah bahaya subyektifitas (Nasution 1988).

3. Studi Kepustakaan

Studi ini merupakan pengumpulan data dengan menelusuri dokumen dan laporan-laporan terkait dengan hasil penelitian serta referensi yang berkaitan dengan penelitian.

c. Jenis Data

Ada dua jenis data yang diperoleh dari lapangan, yakni data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek yang akan diteliti di lapangan. Sementara itu, data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber tertulis berupa dokumen, media cetak (koran), arsip. Data sekunder juga bisa berasal dari hasil-hasil penelitian, seperti hasil kajian berupa laporan, jurnal, tesis, disertasi dan sebagainya. Ada pun perolehan data primer didasarkan pada hasil wawancara dengan informan dari tiga lapisan masyarakat di atas.

3.5. Teknik Analisa Data

(48)

Sebaliknya, jika kesimpulan peneliti belum menunjukkan kesesuaian dengan interpretasi mereka, maka peneliti melakukan pencarian data, menganalisa dan merumuskan kesimpulan kembali.

3.6. Lokasi Penelitian

(49)
(50)

BAB IV

CIKEUKEUH DALAM KONTEKS SOSIO-HISTORIS

DAN KEAGAMAAN

4.1. Data Demografis Desa Cikeukeuh

Desa Cikeukeuh merupakan salah satu dari sekian desa yang ada di wilayah Propinsi Jawa Barat dengan luas wilayah 243,150 ha. Desa ini terbagi dalam 4 Dusun, 9 Rukun Warga (RW) dan 27 Rukun Tangga (RT). Desa Cikeukeuh dibelah oleh jalan kabupaten yang menjadi perlintasan menuju sebuah kawasan wisata gunung. Posisi Desa Cikeukeuh berada pada dataran tinggi dengan ketinggian tanah 900 sampai dengan 1500 m/dpl. Wilayah desa ini membentang dari arah utara ke selatan dimana lahannya masih didominasi oleh sawah dan ladang (182,357 ha). Posisi Desa Cikeukeuh berjarak 6 km dari pemerintahan kecamatan, 44 km dari ibukota kabupaten, 150 km dari ibukota propinsi. Akses ke desa ini tidak terlalu sulit karena didukung oleh angkutan pedesaan yang lumayan banyak dan prasarana jalan yang cukup bagus.

Jumlah penduduk Desa Cikeukeuh pada tahun 2012 adalah 7.650 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 3.955 jiwa (51,70 %) dan perempuan sebanyak 3.695 jiwa (48, 30 %), dengan jumlah 2353 kepala keluarga. Warga yang berusia 5-9 tahun mendominasi jumlah penduduk, yakni sebanyak 816 orang disusul usia 10-14 tahun (808 orang) dan usia 0-4 tahun (792 orang).

Gambar 3 Struktur Penduduk Desa Cikeukeuh Berdasarkan Jenis Kelamin.

Pada tahun 2011, jumlah angkatan kerja usia 15-56 tahun sebanyak 4.864 orang. Jumlah angkatan kerja pada tahun 2011 ini menurun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (tahun 2010), yakni sebanyak 5095 orang. Sementara itu, jumlah pengangguran untuk usia yang sama pada tahun 2011 sebanyak 1459 orang meningkat dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 1278 orang. Dari

Laki-laki 51,70 %

(51)

2334 KK terdapat 453 KK (19,4%) yang tergolong miskin, 1488 KK yang bertempat tinggal permanen, 1425 KK yang sudah terpasang listrik dan 21 KK yang memasang telpon rumah.

Gambar 4 Struktur Usia Produktif Penduduk Berdasar Jenis Kelamin.

Desa Cikeukeuh terdiri dari 9 kampung, yaitu Kampung Sukasari (RW 01), Mekarsari (RW 02), Cihedang (RW 03), Lampari (RW 04), Ciladong (RW 05), Bumi Asri (RW 06), Sadang (RW 07), Nanggreg (RW 08) dan Cibuluh (RW 09). Dari kesembilan kampung ini, Bahasa Sunda menjadi bahasa ibu meski pada kenyataannya tidak semua keluarga masih mempertahankan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu.

Banyak keluarga di desa ini menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi sehari-hari. Di antara penyebabnya adalah bahwa warga yang ada di desa ini tidak lagi homogen. Banyak pendatang yang menjadi warga desa ini lantaran hubungan pernikahan, seperti warga yang berasal dari etnis Batak, Minang dan Jawa. Alasan lainnya adalah karena pengaruh perubahan sosial dimana makin memudarnya peran orangtua dalam mewarisi bahasa Sunda sebagai alat komunikasi sehari-hari. Sangat jarang orangtua mengajarkan bahasa Sunda halus kepada anak-anaknya, disamping orangtua sekarang banyak yang tidak menguasai bahasa Sunda halus, sehingga menggunakan bahasa Indonesia menjadi pilihan ketimbang berbahasa Sunda kasar dan kuatir dijawab dengan bahasa Sunda kasar oleh anak-anak mereka.

0 500 1000 1500 2000 2500 3000

Usia Produktif Usia Non Produktif

Laki-laki

Gambar

Gambar 2  Kerangka Pemikiran “Pluralisme dan Keberadaan Ahmadiyah di
Gambar 4 Struktur Usia Produktif Penduduk Berdasar Jenis Kelamin.
Gambar 5 Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Cikeukeuh.
Gambar 7. Alih fungsi lahan dari
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Kode Barang Asal-usul Cara Nomor Bahan Nomor Register Merk / Type Ukuran /cc Nama Barang /.

 Kerangka IASB menyatakan bahwa 'pengguna diharapkan memiliki pengetahuan yang cukup tentang bisnis dan kegiatan ekonomi dan akuntansi dan kemauan untuk mempelajari

Penggalian kembali corak-corak lama, seperti yang terdapat pada gaya-gaya Yunani Purba dan Romawi telah melahirkan aliran-aliran baru yang dikenal dengan alisan klasik dan neo

Zat Flavonoid : mengurangi kadar risiko penyakit jantung koroner, mengandung antiinflamasi (antiradang), berfungsi sebagai anti-oksidan, membantu mengurangi rasa

Mengetahui respon kemoterapi respon kemoterapi lini kedua gemcitabine carboplatin memiliki respon pada pasien kanker ovarium epitelial rekuren yang terjadi kekambuhan <

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa variabel kemudahan berpengaruh signifikan terhadap variabel minat menggunakan dan dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan adanya

Catatan : Agar membawa dokumen perusahaan asli sesuai dalam isian kualifikasi serta menyerahkan rekaman/copy-nyaM. Demikian undangan dari kami dan atas perhatiannya