• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perunut hidrokimia sebagai indikator kinerja pengelolaan DAS studi kasus DAS Ciliwung Hulu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perunut hidrokimia sebagai indikator kinerja pengelolaan DAS studi kasus DAS Ciliwung Hulu"

Copied!
296
0
0

Teks penuh

(1)

PERUNUT HIDROKIMIA SEBAGAI INDIKATOR

KINERJA PENGELOLAAN DAS:

Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu

NANI HERYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Perunut Hidrokimia sebagai

Indikator Kinerja Pengelolaan DAS: Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu

merupakan hasil penelitian saya dengan arahan komisi pembimbing. Disertasi ini disusun dari sebagian hasil penelitian Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dan Perguruan Tinggi (KKP3T) TA. 2009 yang berjudul “Analisis Hubungan Proses Aliran Permukaan dengan Ketersediaan Air Secara Spasial dan Temporal untuk Keberlanjutan Pengelolaan Air di dalam DAS” dan TA. 2010 yang berjudul ”Analisis Proses Pembentukan Aliran Permukaan dan Keterkaitannya dengan Ketersediaan Air Secara Spasial dan Temporal Mendukung Pemenuhan Kebutuhan Air Untuk Pertanian” yang diketuai oleh Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan MSc. Disertasi ini belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

(4)
(5)

Watershed Management: Case Study at Upper Ciliwung Watershed. Under the advisory commision of HIDAYAT PAWITAN, M. YANUAR JARWADI

PURWANTO, DAN KASDI SUBAGYONO.

Understanding the linkage between runoff process and the hydrochemical behavior of the catchment should not be directed merely for the short-term process during the rainfall event, but treating the seasonal variations may also provide valuable insights into the pattern of hydrochemistry changes as a function of the dynamic of hydrologic process. Runoff generation mechanisms are difficult to be generalized from one basin to another and even from storm to storm within the same basin. The aims of the research are (1) To learn the effectiveness of hydrochemistry tracers to quantify the flow dynamics during runoff generation, (2) To define source area of the watershed through quantification of solutes transport during the runoff process and to study the spatial and temporal variation of water chemistry, (3) To formulate a conceptual model linking runoff process and spatial and temporal variation of hydrochemistry to support the watershed management. The research was conducted by: characterization of research area, installation of equipment for hydrochemical and hydrometric observation, and hydrochemical sampling. Result showed that diversity of water chemistry by spatial and temporal highly influenced by the dynamics of subsurface flow behavior. Magnitude and direction of subsurface flow on the hillslope because of changes in solute concentration by spatial and temporal. Ca and SO4 as a

conservative tracer at Cakardipa micro watershed. Three components of hydrograf separation were predicted by end member mixing analysis (EMMA) using Ca and SO4 showed that the groundwater, soil water, and rain water were the source area

at Cakardipa micro watershed, 47.3%, 28%, and 24.7% respectively. The solutes of Mg, SO4, NO3 assumed to come from groundwater produced convex curvature,

clockwise hysteresis loops, and positive trend, indicating a concentration component ranking of CG > CR > CSO (C2 model). At the rising of hydrograf, the

vertical flow reaches greater depths on the hillslopes and the role of groundwater was increased at peak discharge. Groundwater contribution lesser at the recessive than at peak discharge

(6)
(7)

Pengelolaan DAS: Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu. Dibimbing oleh HIDAYAT PAWITAN, M. YANUAR JARWADI PURWANTO, DAN KASDI

SUBAGYONO.

Memahami hubungan antara proses limpasan dengan perilaku hidrokimia dalam suatu daerah aliran sungai (DAS) tidak hanya dalam suatu kejadian hujan saja tetapi harus dipelajari keragamannya secara spasial dan temporal. Dinamika keragaman ini dapat menggambarkan pola perubahan hidrokimia dalam kaitannya dengan proses limpasan. Mekanisme proses limpasan tidak dapat disamakan antara satu DAS dengan DAS lain atau antara satu kejadian hujan dengan kejadian lain dalam DAS yang sama.

Penelitian dilakukan di DAS mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu, pada bulan Mei 2008-April 2010. Tujuan penelitian yaitu: 1) mempelajari efektifitas perunut hidrokimia untuk mengkuantifikasi dinamika aliran selama proses limpasan (runoff generation), 2) menentukan potensi sumber limpasan (source area) air sungai di dalam DAS melalui kuantifikasi proses transpor larutan (solute transport) selama proses limpasan, dan mempelajari keragaman ketersediaan air secara spasial dan temporal, 3) menyusun model konseptual hubungan antara proses limpasan dengan keragaman ketersediaan air secara spasial dan temporal untuk mendukung pengelolaan sumber daya air di dalam DAS secara berkelanjutan.

Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu: 1) penelitian lapang terdiri dari: karakterisasi wilayah penelitian (aspek tanah dan batuan, debit, dan iklim); pengukuran debit secara hidrometrik; dan pengambilan contoh air; 2) analisis laboratorium terdiri dari: analisis tanah (fisika, kimia, dan mineral); dan analisis air 3) analisis hidrokimia untuk menyusun model konseptual hubungan antara proses aliran permukaan dengan keragaman ketersediaan air secara spasial dan temporal.

(8)

hidrograf dengan menggunakan perunut Ca2+ dan SO42- menunjukkan bahwa

airbumi, air tanah, dan air hujan merupakan sumber utama aliran di DAS mikro Cakardipa, berturut-turut berkontribusi sebesar 47,3%, 28%, 24,7%.

Dalam penelitian ini diketahui bahea keragaman hidrokimia secara spasial sangat dipengaruhi oleh dinamika perilaku aliran bawah permukaan yang melalui lereng atas, lereng bawah dengan sungai. Konsentrasi unsur hidrokimia pada air tanah (soil water) lebih besar daripada airbumi (groundwater). Aliran air vertikal di lereng bagian bawah menyebabkan terjadinya akumulasi unsur hara. Besaran dan arah aliran bawah permukaan dapat mengakibatkan perubahan konsentrasi hidrokimia secara spasial dan temporal. Informasi perilaku hidrologi dan hidrokimia dalam suatu DAS bermanfaat dalam menyusun perencanaan pengelolaan pertanian di daerah berlereng.

Selanjutnya berdasarkan metode Evans dan Davies diketahui bahwa Mg, SO42-, dan NO3- merupakan unsur hidrokimia yang memiliki tingkat flushing

(pencucian) yang paling tinggi di DAS Mikro Cakardipa, memiliki bentuk kurva cekung dengan arah rotasi searah jarum jam dan trend positif dalam hal ini Cair bumi

> Cair hujan > Cair tanah termasuk model C2.

Hasil analisis berdasarkan integrasi antara pengamatan hidrometrik dan hidrokimia diketahui terdapat hubungan yang erat antara aliran air di lereng bagian atas dengan perilaku unsur hara di lereng bagian bawah dimana pencucian unsur hara terjadi dengan intensif. Pada awal kejadian hujan peran air hujan sangat besar. Selanjutnya pada saat hidrograf meningkat sampai mencapai puncaknya, aliran vertikal mencapai kedalaman yang lebih besar di lereng agak atas, dan peran air bumi meningkat. Pada saat kurva hidrograf menurun kontribusi air bumi menurun dibandingkan pada awal dan puncak hujan.

(9)

©Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilimiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu

NANI HERYANI

A.362060041

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, M.S.

Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc.

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Muhrizal Sarwani, M.Sc.

(13)

Nama Mahasiswa : Nani Heryani

NIM : A362060041

Disetujui:

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, M.S. Dr. Ir. Kasdi Subagyono, M.Sc.

Anggota Anggota

Diketahui:

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Pengelolaan DAS

Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(14)
(15)

rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penelitian dan penulisan disertasi berjudul “Perunut Hidrokimia sebagai Indikator Kinerja Pengelolaan DAS: Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu” dapat diselesaikan. Disertasi ini menyajikan hasil penelitian tentang sumber aliran (source area) di DAS mikro Cakardipa dengan menggunakan perunut hidrokimia. Informasi yang diperoleh sangat penting dalam pengembangan model aliran bawah permukaan dan prediksi dampak perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim terhadap kualitas air permukaan, serta mendukung pengelolaan sumberdaya air yang berkelanjutan.

Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr.Ir. Hidayat Pawitan M.Sc, Dr. Ir. Yanuar J. Purwanto M.S., Dr. Ir. Kasdi Subagyono M.Sc. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dengan penuh kesabaran, memotivasi dan senantiasa memberikan semangat kepada saya selama menyelesaikan studi ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Badan Litbang Kementan, Ketua Komisi Pembinaan Tenaga Badan Litbang Kementerian Pertanian, Kepala Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan, Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat) yang telah memberikan ijin belajar selama melaksanakan pendidikan di IPB. Terima kasih juga disampaikan kepada Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dan Perguruan Tinggi (KKP3T) TA. 2009-2010 dan DIPA Balitklimat TA 2008, atas dukungan dana selama penulis melaksanakan penelitian.

(16)

penelitian sampai penyusunan disertasi, dan Ir. Sawiyo yang telah mencurahkan waktu dan tenaganya dalam membantu pelaksanaan kegiatan penelitian lapang. Kepada Dr. Ir. Aris Pramudia M.Si, Ir. M. Wahyu Tri Nugroho, Budi Rahayu, Gina Maulana ST, Aris Dwi Saputra SH penulis sampaikan terima kasih atas bantuannya dalam pengumpulan data, analisis data, dan pemetaan selama penelitian, serta teman-teman di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala dukungannya selama ini. Terima kasih kepada Pak Iim, Ade, Dayat, dan Umar yang dengan tulus ikhlas telah membantu dalam kegiatan penelitian di lapangan. Sahabat-sahabat mahasiswa S3

Ir. Zuherna Mizwar MS, Ir. Supriyanto MS, Ir. Labima MS, Dr. Ir. Popi Rejekiningrum MS, dan semua teman-teman di Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu atas diskusi, saran-saran, dan dorongan moril yang diberikan. Yang tidak terlupakan sahabat-sahabat G-8 yang telah memberikan semangat, dorongan, dan dukungan kepada penulis untuk segera menyelesaikan pendidikan S3 ini, terima kasih atas segalanya.

Ayahanda (alm.) H.Sukar SH, Ibu Hj Komariah, ayahanda (alm.) H. Samid, ibunda (alm.) Hj. Helly Halimah, Ma Inung, Ma Eni, dan adik-adik tercinta atas kasih sayang dan do’anya yang tulus dan tiada henti-hentinya. Suami tercinta Didy Sopandie, anak-anak terkasih Dicky, Yuline, Puji dan Dini, serta cucu tersayang Revan, terimakasih atas do’a, dukungan, pengorbanan dan kasih sayang yang telah diberikan selama menempuh studi doktor.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2012

(17)

Penulis dilahirkan di Kuningan Jawa Barat pada tanggal 16 Mei 1958, sebagai anak pertama dari delapan bersaudara dari pasangan alm H. Sukar SH dan Hj. Komariah. Menikah dengan Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr dan dikaruniai 3 orang anak Muhamad Sidiq, STp (28 tahun) yang menikah dengan Yuline Rena Chrisanti, S.Si (28 tahun), Puji Rahmawati (20 tahun), dan Dini Rizkianiputri (18 tahun), serta seorang cucu Revan Aditya Rafif (9 bulan).

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian IPB lulus pada tahun 1981. Pada tahun 2001 menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB program studi Agroklimatologi. Sejak tahun 2006 melanjutkan pendidikan program Doktor di Institut Pertanian Bogor, program studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Penulis mulai bekerja pada tahun 1981 di Direktorat Jenderal Perkebunan, kemudian di Balai Penelitian Tanaman Pangan sejak akhir tahun 1982 sampai akhir tahun 1985. Sejak awal tahun 1992 sampai akhir tahun 1993 bekerja kembali di Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor dan sekarang menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi Tanaman Pangan. Sejak tahun 1993 sampai sekarang bekerja di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor.

(18)

DAFTAR TABEL ... xv

1.6Kerangka dan Ruang Lingkup Penelitian ... 4

II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Sumber Daya Air di DAS Ciliwung: Permasalahan dan Upaya Penanganannya ... 7

2.2 Perkembangan Penelitian Tentang Subsurface Stormflow ... 9

2.3 Separasi Hidrograf Secara Geokimia untuk Mennetukan Sumber (source) Runoff dalam DAS ... 14

2.4 Model Konseptual Aliran Permukaan dalam Skala DAS ... 20

III BAHAN DAN METODE ... 23

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 23

3.2 Bahan dan Alat ... 23

3.3 Metode Penelitian... 23

3.3.1 Karakterisasi Biofisik Wilayah Penelitian ... 23

3.3.2 Instalasi Bendung Penduga Debit di DAS Mikro Cakardipa ... 24

3.3.3 Pengamatan Kedalaman Tanah dan Batuan ... 26

3.3.4 Pemasangan Peralatan Pengamatan Hidrokimia ... 26

4.1 Karakteristik Sumber Daya Tanah DAS Mikro Cakardipa... 41

4.2 Penggunaan Lahan DAS Mikro Cakardipa ... 45

4.3 Karakteristik Fisika Tanah ... 45

(19)

V DINAMIKA ALIRAN BAWAH PERMUKAAN BERDASARKAN KERAGAMAN HIDROKIMIA SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL

PADA SAAT HUJAN ... 55

5.1 Pendahuluan ... 55

5.2 Karakteristik Curah Hujan ... 56

5.3 Dinamika Aliran Bawah Permukaan Pada Saat hujan... 56

5.4 Keragaman Hidrokimia secara Spasial ... 60

5.5 Keragaman Hidrokimia secara Temporal ... 65

VI ANALISIS CAMPURAN (MIXING ANALYSIS) DALAM HIDROLOGI UNTUK PENENTUAN SOURCE AREA ... 71

6.1 Pendahuluan ... 71

6.2 Analisis Multivariate ... 73

6.3 Analisis Campuran secara Hidrokimia ... 75

6.4 Analisis Komponen Runoff Berdasarkan Separasi Hidrograf Secara Hidrokimia ... 81

VII HUBUNGAN KONSENTRASI DEBIT(C-Q) PADA SAAT HUJAN DENGAN PENCUCIAN UNSUR HARA ... 85

7.1 Pendahuluan ... 85

7.2 Keragaman Debit secara Temporal dan Konsentrasi Unsur Hara ... 86

7.3 Hubungan Konsentrasi dan Debit di DAS Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu ... 90

VIII MODEL KONSEPTUAL HUBUNGAN ANTARA PROSES RUNOFF DENGAN KERAGAMAN KETERSEDIAAN AIR SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL ... 93

8.1 Pendahuluan ... 93

8.2 Model Konseptual Hubungan antara Proses Runoff dengan Keragaman Ketersediaan Air secara Spasial dan Temporal di DAS Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu ... 94

(20)

1 Distribusi Peralalatan Pengamatan Hidrokimia ... 33

2 Jumlah sampel air dan metode pengambilannya ... 34

3 Diagnosa Penetapan Ranking Model Tiga Komponen Runoff ... 39

4 Hasil Analisis Mineral Liat di Lereng Sebelah Timur, DAS Mikro

Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu ... 49

5 Hasil Analisis Mineral Liat di Lereng Sebelah Barat, DAS Mikro

Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu ... 50

6 Karakteristik Hujan dan Debit DAS Mikro Cakardipa untuk setiap

episode yang tercatat selama bulan Oktober 2009-Pebruari 2010 ... 54

7 Keragaman Konsentrasi Hidrokimia secara Spasial pada Musim Kemarau dan Hujan di DAS Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu ... 64

8 Hasil Eigenvalue Sembilan Variabel K, Na, Ca, Mg, SiO2, SO4, NO3, Cl,

dan HCO3 ... 74

9 Korelasi Pearson’s ... 75

10 Hasil separasi hidrograf secara hidrometrik pada kejadian hujan 14

Pebruari 2010 di DAS mikro Cakardipa ... 83

(21)
(22)

1 Diagram Alir Penelitian Mekanisme Proses Aliran Permukaan di DAS ikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu,

Jawa Barat ... 5

2 Model Perseptual Aliran Bawah Permukaan menurut Engler

(1919) (Sumber: Weiler et al 2005) ... 11

3 ARR tipe HOBO, Bangunan Bendung (weir) Penduga Debit, dan

AWLR tipe Pelampung pada Titik Keluaran DAS Mikro Cakardipa ... 26

4 Bor Manual Terbuat dari Pipa Besi Baja yang Dipergunakan untuk

Mengetahui Kedalaman Tanah dan Batuan ... 27

5 Pengeboran Tanah untuk Menentukan Kedalaman Batuan (bedrock) ... di DAS Mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu ... 28

6 Lokasi Pengamatan Batuan dan Pemasangan Jaringan Pengamatan ... Hidrokimia secara Spasial di DAS Mikro Cakardipa, Sub DAS ... Cisukabirus ... 29

7 Skema Pemasangan Jaringan Pengamatan Hidrokimia di Lereng sebelah Barat dan Timur DAS Mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus... 31

8 Tensiometer (A), Suction Sampler (B), dan Piezometer (C) yang

Dipergunakan pada Penelitian ini ... 32

9 Peta Satuan Lahan DAS Mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukbirus, DAS

Ciliwung Hulu ... 44

10 Penggunaan Lahan di DAS Mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus,

DAS Ciliwung Hulu ... 46

11 Kadar Air Tanah Lereng Sebelah Timur dan Barat DAS Mikro Cakardipa ... 47

12 Porositas Tanah Lereng Sebelah Timur dan Barat DAS Mikro Cakardipa .... 47

13 Distribusi Curah Hujan dan Evapotransiprasi Dasarian Rata-rata di

Stasiun Pengamat Curah Hujan Citeko, Megamendung, Bogor ... 51

14 Intensitas Hujan dan Debit Sesaat DAS Mikro Cakardipa episode

Oktober-Desember 2009 ... 52

15 Intensitas Hujan dan Debit Sesaat DAS Mikro Cakardipa episode

(23)

17 Fluktuasi tinggi hidrolik bulanan airbumi secara lateral dan vertikal di

DAS Mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS CiliwungHulu...57

18 Dinamika Aliran Bawah Permukaan pada Kejadian Hujan

14 Pebruari 2010 di DAS Mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus,

DAS Ciliwung Hulu ... 60

19 Kandungan Kation dan Anion Utama di dalam Air Bumi di Beberapa Titik Pengamatan (Musim Kemarau 2009) ... 62

20 Kandungan Kation dan Anion Utama di dalam Air Bumi di Beberapa

Titik Pengamatan (Musim Hujan 2009/2010) ... 63

21 Distribusi Kation dan Anion Air Tanah pada Beberapa Kedalaman

Secara Spasial di DAS Mikro Cakardipa ... 66

22 Korrelogram Beberapa Unsur Hidrokimia pada Air Bumi di DAS Mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu pada Juni

2009-April 2010 ... 67

23 Korrelogram Beberapa Unsur Hidrokimia pada Air Tanah di DAS Mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu pada Juni

2009-April 2010 ... 68

24 Korrelogram Beberapa Unsur Hidrokimia pada Air Hujan di DAS Mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu pada Juni

2009-April 2010 ... 69

25 Grafik hubungan antara faktor 1 dan faktor 2 untuk melukiskan

keeratan antar unsur hidrokimia ... 75

26 Plot residual konsentrasi masing-masing unsur terhadap konsentrasi

air sungai ... 77

27 Konsentrasi hidrokimia hasil pengamatan dan pendugaan

berdasarkan EMMA ... 79

28 Hasil analisis statistik (RB) terhadap tiga sumber area yang

diproyeksikan terhadap 3 dimensi subruang air sungai ... 80

29 Hasil analisis statistik (RRMSE) terhadap tiga sumber area

yang diproyeksikan terhadap 3 dimensi subruang air sungai ... 80

30 Hasil mixing analisis antara Kalsium (Ca) dengan SO4 pada

(24)

Ca, Mg, Si, NO3, SO4, dan Cl dalam diagram C-Q (kanan) pada

kejadian hujan 14 Pebruari 2010 ... 89

33 Hubungan Konsentrasi Unsur Hara dan Debit DAS Mikro Cakardipa ... 91

34 Model konseptual hubungan antara proses limpasan dengan

(25)
(26)

1 Hasil Pengamatan Kedalaman Tanah dan Batuan (bedrock) untuk Pemasangan Peralatan Pengamatan Hidrokimia di DAS Mikro

Cakardipa ... 113

2 Uraian Profil Tanah Lereng Sebelah Timur ... 118

3 Uraian Profil Tanah Lereng Sebelah Barat ... 123

4 Kandungan Mineral Liat pada Lereng (Atas, Tengah dan Bawah) Sebelah Timur pada Berbagai Kedalaman di DAS Mikro Cakardipa,

Sub DAS Cisukabirus ... 127

5 Kandungan Mineral Liat pada Lereng (Atas, Tengah dan Bawah) Sebelah Barat pada Berbagai Kedalaman di DAS Mikro Cakardipa,

(27)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Air sungai merupakan salah satu sumber air permukaan relatif lebih rentan terhadap pencemaran yang diakibatkan oleh kegiatan manusia dibandingkan air tanah. Penelitian tentang polusi air tanah dan mekanisme recharge aquifer merupakan beberapa aplikasi penting dari analisis kimia air (hydrochemical), namun masih jarang dilakukan. Di sisi lain analisis kimia air merupakan integrator yang berguna dalam beberapa proses biologi, kimia, dan fisik dalam daerah aliran sungai (DAS), seperti dekomposisi tanaman, pertukaran kation tanah, penurunan kualitas air secara kimiawi, dan mineralisasi.

Penilaian tentang pengaruh lingkungan terhadap suatu areal akan sulit diperoleh apabila tidak ada informasi yang lengkap tentang proses-proses hidrologi, kimia, dan biologi yang komplek dan saling berkaitan (Christophersen et al 1994). Dengan demikian hal mendasar yang diperlukan antara lain penelitian yang mempelajari karakteristik dan proses terjadinya limpasan dan aliran bawah permukaan (subsurface stormflow) melalui pengamatan karakteristik biologi, geologi, dan kimianya.

(28)

Dengan demikian masih diperlukan studi untuk menentukan metode separasi aliran yang akurat melalui teknik perunut hidrokimia didukung dengan aplikasi media

Geographical Information Systems (GIS). Perunut adalah zat kimia yang digunakan sebagai tanda untuk mengikuti berlangsungnya reaksi kimia atau proses fisika, atau untuk menunjukkan posisi atau lokasi suatu zat kimia.

Selanjutnya Dunn et al (2005) mengemukakan bahwa satu hal umum yang diperlukan dalam pemodelan adalah separasi hidrograf menjadi beberapa bagian aliran untuk mengidentifikasi sumber aliran dan menduga laju transpor beberapa polutan. Dalam hal ini data hidrokimia dapat dipergunakan untuk menduga proporsi aliran yang berasal dari aliran air di dalam DAS.

(29)

Penelitian ini menjadi penting karena masih terbatasnya informasi tentang mekanisme proses aliran (runoff generation) di Indonesia. Selain itu identifikasi mekanisme pencucian hara dalam skala DAS yang merupakan bagian dari penelitian ini penting dalam mengembangkan model prediksi dampak perubahan iklim dan penggunaan lahan terhadap kualitas air permukaan.

1.2 Tujuan Penelitian

1. Mempelajari efektifitas perunut hidrokimia untuk mengkuantifikasi dinamika aliran selama proses limpasan/aliran air (runoff generation)

2. Menentukan potensi sumber aliran (source area) air sungai di dalam DAS melalui kuantifikasi proses transpor pelarut (solute transport) selama proses limpasan/aliran air, dan mempelajari keragaman ketersediaannya secara spasial dan temporal,

3. Menyusun model konseptual hubungan antara proses limpasan dengan pencucian hara dan keragaman ketersediaan air secara spasial dan temporal untuk mendukung pengelolaan sumber daya air di dalam DAS secara berkelanjutan.

1.3 Manfaat Penelitian

1. Tersedianya informasi efektifitas perunut hidrokimia untuk mengkuantifikasi proses limpasan/aliran air (runoff generation),

2. Tersedianya informasi potensi sumber daya air yang lebih objektif dan akurat secara spasial dan temporal di suatu DAS,

3. Tersedianya model konseptual hubungan proses limpasan dengan pencucian hara dan ketersediaan air secara spasial dan temporal sebagai acuan dalam perencanaan pengelolaan sumber daya air,

(30)

1.4 Hipotesis

Hipotesis yang dirumuskan pada penelitian ini yaitu:

1. Kandungan kimia air bervariasi secara spasial dan temporal tergantung pada karakteristik biofisik DAS dan kondisi hidrogeologinya.

2. Komponen hidrokimia konservatif dapat digunakan sebagai perunut (tracer) hidrologi daerah aliran sungai

3. Informasi yang diperoleh dari separasi hidrograf dalam jangka panjang dapat digunakan sebagai sistem peringatan dini (early warning systems) banjir dan kekeringan, serta penurunan kualitas air.

1.5 Kebaruan Penelitian

1. Diperoleh informasi perunut konservatif di DAS Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu.

2. Diperoleh informasi sumber limpasan (aliran air) dan tingkat pencucian hara di DAS mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu

3. Diperoleh model konseptual tentang hubungan limpasan dengan ketersediaan air dan pencucian unsur hara.

1.6 Kerangka dan Ruang Lingkup Penelitian

(31)

(d) penyusunan model konseptual hubungan limpasan dengan ketersediaan air dan pencucian unsur hara, dan (d) penyusunan desertasi.

Diagram alir ruang lingkup penelitian disajikan pada Gambar 1. Selanjutnya metode yang digunakan untuk memahami beberapa proses hidrologi tersebut dilakukan pada DAS berukuran kecil. Variabilitas di dalam DAS berukuran kecil rendah sehingga beberapa proses hidrologi yang terjadi dalam DAS dapat dipelajari lebih efektif.

Pengumpulan data iklim dan hidrologi Pengamatan topografi

Pembuatan profil tanah

Pengambilan conto tanah untuk analisis fisika, kimia, dan mineral tanah Pengukuran kedalaman batuan

Pengamatan Lapang

Analisis Laboratorium

Tanah:

Fisika: tekstur, BD, pF, permeabilitas Kimia: pH, bahan organik, nilai tukar kation Mineral tanah

Konsep hubungan antara proses aliran permukaan dengan pencucian hara dan keragaman ketersediaan

(32)
(33)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1Sumber Daya Air di DAS Ciliwung:Permasalahan dan Upaya

Penanganannya

Pengelolaan sumber daya air (water resources management) saat ini menjadi isu yang banyak diperbincangkan di berbagai sektor. Pencemaran lingkungan yang makin meningkat mengakibatkan penurunan kualitas air permukaan, sehingga diperlukan pemahaman yang lebih baik tentang hubungan antara air permukaan dengan aliran dasar (baseflow) yang berasal dari air tanah. Pemahaman terhadap karakteristik baseflow sangat bermanfaat untuk: 1) pihak-pihak yang terkait dengan pengelola dan pengguna air tanah, 2) mengkuantifikasi polusi air tanah yang masuk kedalam aliran sungai, 3) mempelajari perilaku air tanah dalam berkontribusi terhadap aliran sungai, serta 4) merancang dan mengimplementasikan upaya perlindungan terhadap habitat sungai.

DAS Ciliwung Hulu memiliki luas 14.876 ha dimulai dari hulu sampai Stasiun Pengamatan Air Sungai (SPAS) Katulampa Bogor. Curah hujan rata-rata tahunan selama periode 1989-2001 adalah 3.636 mm dengan rata-rata hujan bulanan mencapai 303 mm (Kusmana 2003). Berdasarkan data pengamatan selama 1990-2006, debit maksimum absolut harian sungai Ciliwung mencapai 80,1 m3/s terjadi pada tanggal 12 Februari 2001, debit minimum absolut harian sebesar 0 m3/s terjadi pada tanggal 11-13 Oktober 1997, sedangkan debit rata-rata selama periode tersebut sebesar 9,7 m3/s.

(34)

Beberapa permasalahan yang dijumpai dalam pengelolaan sumber daya air di DAS Ciliwung antara lain: 1) secara umum, ketersediaan air telah sangat kritis, 2) pemanfaatan ruang baik di sepanjang sempadan sungai maupun pengelolaan di badan sungainya tidak terkendali, 3) Ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan semakin mahal dan langka baik kuantitas maupun kualitasnya, sehingga menimbulkan berbagai konflik antar sektor maupun antar wilayah, 4) fluktuasi ketersediaan air permukaan sangat tinggi, sehingga sering terjadi banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau, 5) belum adanya kesinergian antar wilayah dalam bentuk role sharing antara Propinsi/Kabupaten/Kota di daerah hulu dengan Propinsi/Kabupaten/Kota di daerah hilir dalam rangka penanganan hulu DAS. Kondisi tersebut memberikan gambaran tentang telah terjadinya kerusakan DAS yang berdampak terhadap permasalahan surplus/defisit neraca air sepanjang tahun (Anonim 2004).

Untuk menanggulangi bencana alam seperti banjir yang kerap terjadi setiap tahun, perlu dibentuk kelembagaan pengelolaan DAS yang berfungsi untuk menyelesaikan berbagai isu menyangkut segala permasalahan bencana banjir (Santoso 2006). Masalah pengelolaan DAS juga berhubungan erat dengan lintas sektor/instansi/lembaga, lintas wilayah adminsitrasi (Negara/ Propinsi/ Kabupaten/ Kota), serta lintas disiplin ilmu (lingkungan, ekonomi, sosial, politik, hukum). Selain rekomendasi teknis, diperlukan rekomendasi kebijakan karena DAS Ciliwung berada di dua propinsi yaitu Jawa Barat dan DKI Ibukota, yaitu pengelolaan DAS terpadu untuk mewujudkan kebijakan one river, one plan, one management dan untuk itu perlu dipastikan bentuk campur tangan pemerintah pusat. Dalam kaitan ini diperlukan studi peran multipihak dalam penetapan cost and benefit sharing serta imbal jasa lingkungan antara pemerintahan dan masyarakat di wilayah hulu dan hilir.

(35)

pendek responnya dapat segera terlihat, seperti perubahan praktek-praktek penggunaan lahan, pemanfaatan irigasi dari reservoir, kampanye mitigasi banjir dan kekeringan melalui konservasi air, dan penyediaan tangki air minum. Sedangkan untuk jangka panjang, meliputi perubahan jenis tanaman dan pembangunan reservoir penyimpan. Pengelolaan sumberdaya air baik kualitas maupun kuantitas semakin penting baik di pulau Jawa maupun luar Jawa seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dll. Dengan karakteristik permasalahan yang berbeda, pendekatan yang dilakukan tentu saja berbeda. Di pulau Jawa terutama wilayah Jabodetabek, permasalahannya terjadi karena kepadatan penduduk (over population) serta terjadinya degradasi dan deplesi sumberdaya air. Di pulau Jawa, permasalahan kuantitas dan kualitas air telah menimbulkan konflik kepentingan antara pertanian, industri, dan munisipal, serta antara penggunaan air permukaan dan air tanah seiring dengan pertumbuhan areal perkotaan yang makin cepat. Dengan demikian perbaikan pengelolaan sumberdaya air merupakan hal penting dalam meningkatkan pengelolaan air berkelanjutan (Anonim 2006), yang antara lain dapat dilakukan melalui: (1) peningkatan produktivitas air melalui: a) praktek budidaya tanaman yang lebih baik yang mencakup perbaikan varietas dan substitusi tanaman, b) praktek pengelolaan air yang lebih baik, mencakup pemberian irigasi suplemen yang lebih tepat, re-alokasi air untuk penggunaan dari komoditas yang memiliki nilai ekonomi rendah ke yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan, (2) meningkatkan penyimpanan air melalui pengembangan potensi sumberdaya air, dalam hal ini mencakup pembangunan dam,

recharge groundwarer, dan panen air hujan. Dengan demikian kuantifikasi potensi sumberdaya air sangat diperlukan untuk mendukung perbaikan pengelolaan sumberdaya air.

2.2 Perkembangan Penelitian Tentang Aliran Bawah Permukaan (Subsurface

Stormflow)

(36)

bahwa aliran bawah permukaan merupakan fenomena aliran air jenuh (atau mendekati jenuh) (Weiler McDonnell, Meerveld, dan Uchida 2005). Aliran bawah permukaan juga termasuk air tanah dan airbumi (soil water dan groundwater). Air tanah (soil water) atau zone tidak jenuh adalah area di dalam profil tanah yang memiliki matrik potensial < 0 kPa, sedangkan groundwater atau zone jenuh didefinisikan sebagai area di dalam profil tanah yang memiliki matrik potensial ≥ 0 kPa.

Aliran bawah permukaan menggambarkan semua proses limpasan (aliran air) yang terjadidi lereng/hillslope (dekat permukaan tanah) yang menghasilkan hidrograf aliran selama kejadian hujan. Aliran ini bergabung langsung ke dalam aliran pada jalur preferensial seperti pori makro dan lapisan dengan permeabilitas tinggi. Aliran bawah permukaan yang cepat erat kaitannya dengan kondisi hidraulik dari area jenuh di lereng karena adanya infiltrasi air hujan.

(37)

Aliran preferensial sering disebut sebagai aliran preferential secara lateral (Tsuboyama et al 1994, McDonnell 1990) dan pipeflow (Uchida et al 1999). Pergerakan air secara lateral dalam tanah merupakan proses penting dalam pendistribusian air, hara, dan larutan di dalam suatu lingkungan dataran tinggi.

Selain sebagai kontributor penting terhadap volume aliran sungai, aliran bawah permukaan juga berperan dalam transpor hara kedalam air permukaan (McGlynn dan McDonell 2003). Karena jalur aliran air di bawah permukaan sering menentukan kimia air dan kualitas air, maka karakterisasi jalur aliran bawah permukaan dan asal muasal air penting untuk dipelajari (Burns et al 2003). Selain itu aliran bawah permukaan dapat meningkatkan tekanan pori tanah di lahan yang curam (Uchida et al

1999) dan dapat memicu terjadinya longsor (Montgomery et al 1997, Sidle dan Tsuboyama 1992). Oleh karena itu proses aliran bawah permukaan mendapat perhatian utama dan penting dalam hidrologi.

Weiler et al (2005) mengemukakan bahwa aliran permukaan tidak selalu terjadi sekalipun pada hujan dengan intensitas tinggi. Air terinfiltrasi kedalam zone perakaran dan mengalir secara lateral di dalam tanah atau pada lapisan antara tanah dan batuan. Gambar 2 memperlihatkan konsep tentang proses tersebut, yaitu infiltrasi yang terjadi dalam humus dan tanah. Pada profil yang lebih dalam air mengalir secara lateral.

(38)

Pemahaman tentang aliran bawah permukaan terus meningkat dengan adanya

International Hydrological Decade (IHD). IHD: yakni suatu periode dimana penelitian tentang hidrologi proses mulai berkembang. MenurutWeiler et al (2005), Hewlett dan Hibbert (1963) melakukan penelitian tentang kondisi kelembaban dan energi di daerah lereng dan berbatu (sloping concrete-walled hillslope), Whipkey (1965) tentang aliran preferensial secara lateral, Dunne dan Black (1970) tentang aliran bawah permukaan di areal hillslope dan interaksinya dengan area jenuh di dekat sungai. Hasil penelitian terpenting selama IHD yaitu pembingkaian aliran bawah permukaan dalam konteks ‘konsep beberapa source area’ (source area concept) yang dilakukan oleh Hewlett dan Hibbert (1967) di Amerika, Cappus (1960) di Perancis, Tsukamoto (1961) di Jepang. Selanjutnya Anderson dan Burt (1978) menjelaskan tentang peranan cekungan-cekungan dalam menghubungkan aliran bawah permukaan dengan sungai.

(39)

Menurut McDonnell (1990) air yang terinfiltrasi bergerak sesuai kedalaman tanah, air berada pada soil-bedrock interface dan disimpan dalam volume yang lebih besar menjadi aliran dasar (baseflow). Woods dan Rowe (1996) dan Brammer et al

(1995) (dalam McGlynn et al 2002) menunjukkan bahwa kondisi topografi permukaan batuan (bedrock) merupakan kunci penentu dimana aliran bawah permukaan terkonsentrasi secara spasial di lereng.

Weiler dan McDonnell (2004a) menyertakan keragaman kedalaman tanah kedalam model aliran bawah permukaan dan simulasinya di lereng DAS Panola, Amerika. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa keragaman kedalaman tanah tidak hanya berpengaruh besar terhadap keragaman aliran bawah permukaan secara spasial tetapi juga sangat mempengaruhi volumenya. Pada beberapa kondisi lingkungan, aliran bawah permukaan didominasi oleh aliran pori makro secara lateral yaitu dari wilayah lahan basah dan hutan-hutan di daerah kutub sampai hutan hujan tropis dan lahan kering (McGlynn et al 2002).

Pori makro pada umumnya disebut soils pipes, dan aliran bawah permukaan yang berada pada pori makro secara alami disebut pipeflow. Pipeflow secara lateral berperan pada penelitian di lereng (Uchida et al 1999), pencucian hara/nutrient flushing (Buttle et al 2001), serta pendistribusian aliran ke sungai (Freer et al 2002, McDonnell 1990) dan ke zone riparian (McGlynn dan McDonnell 2003a). Karaktersitik pipeflow sudah diuji pada skala lereng di Jepang, Inggeris, Amerika Utara dan Peru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa debit maksimum pipeflow

ditentukan terutama oleh diameter pori makro. Beberapa model telah mempelajari perilaku pipeflow pada proses limpasan (Faeh et al 1997, Jones and Conelly 2002, Kosugi et al 2004, Weiler et al 2003). Hubungan antara jumlah presipitasi dengan volume aliran bawah permukaan terdapat kecenderungan hubungan tidak linier antara keduanya (Buttle et al 2004, McDonnell 2003)

Hasil penelitian hidrologi di hillslope (Mosley 1979 dan Whipkey 1965, dalam

(40)

pada kondisi kelembaban sebelumnya (Guebert dan Gardner 2001, Noguchi et al

2001, Uchida et al 1999). Hasil penelitian menunjukkan bahwa aliran pori makro dan aliran matrik memiliki ambang batas yang sangat mirip (sekitar 55 mm). Nilai ambang batas presipitasi berhubungan dengan kondisi kelembaban tanah sebelumnya (Meerveld dan McDonnell 2004).

2.3 Separasi Hidrograf Secara Geokimia untuk Menentukan Sumber

Limpasan (SourceArea) dalam DAS

Air disimpan pada berbagai tempat di dalam suatu daerah aliran sungai (DAS) dan memiliki karakteristik kimia berbeda. Kimia air sungai sangat tergantung kepada jalur aliran dimana air itu mengalir pada saat menuju sungai. Mengetahui jalur aliran yang dominan dan bagaimana air mengalami perubahan secara kimiawi selama kejadian hujan merupakan hal penting dalam memahami proses limpasan terutama yang menyangkut aliran bawah permukaan. Pemahaman teknik kuantitatif yang digunakan untuk mengkarakterisasi proses hidrologi dalam DAS merupakan hal mendasar yang diperlukan dalam penelitian hidrokimia. Pengukuran debit aliran yang tidak akurat atau ketidaksesuaian metode pengambilan conto dan bahan kimia terlarut akan mengakibatkan kesalahan (error) dalam menetapkan hubungan antara debit dan kandungan bahan kimia atau dalam penghitungan neraca masa (Semkin et al 1994).

(41)

Mekanisme proses aliran bawah permukaan (subsurface runoff generation) di wilayah hulu DAS telah menjadi perdebatan sejak tahun 1930-an (Dunn 1998, Bonell 1998, McGlynn et al 2002). Penelitian tentang sumberdaya air di DAS berukuran kecil difokuskan dalam kaitannya dengan siklus hidrologi dan transformasi curah hujan yang melewati kanopi vegetasi yang terinfiltrasi kedalam tanah dan batuan sebagai air bumi (groundwater), dan yang masuk kedalam sungai atau danau. Secara ekologi DAS mikro yang berada di daerah hulu suatu DAS sangat sensitif terhadap perubahan ekosistem karena aktivitas manusia, sehingga dapat dipergunakan sebagai sistem peringatan dini (early warning systems) perubahan ekologi. Namun penilaian tentang pengaruh lingkungan terhadap suatu areal yang sensitif sulit diperoleh apabila tidak ada informasi yang lengkap tentang proses-proses hidrologi, kimia, dan biologi yang komplek dan saling berkaitan (Christophersen et al 1994).

Pada umumnya model hujan dan aliran permukaan mensintesis perilaku hidrologi dalam DAS, meskipun demikian ketepatan output sangat tergantung kepada teknik dan algoritma yang digunakan dalam memisahkan aliran kedalam komponen-komponennya. Selain sebagai kontributor penting terhadap volume aliran sungai, aliran bawah permukaan juga berperan dalam transpor hara kedalam badan air permukaan (McGlynn dan McDonell 2003b). Karena jalur aliran air bawah permukaan sering menentukan kualitas air (kimia, fisik, dan mikrobiologi), maka karakterisasi jalur aliran bawah permukaan dan asal muasal air penting dipelajari (Burns et al 2003). Identifikasi sumber limpasan dalam unit DAS dan memahami jalur aliran penting dalam: a) membantu mengembangkan model pengelolaan DAS, b) membantu mengidentifikasi sumber kunci beberapa polutan, c) membantu evaluasi tentang pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap kualitas air (Ockenden dan Chappell 2011).

Data hidrokimia dapat dipergunakan untuk menduga proporsi limpasan (aliran air) yang berasal dari jalur aliran yang berbeda pada waktu yang berbeda (Dunn et al

(42)

peneliti memfokuskan penelitiannya untuk menganalisis sumber limpasan (source area) secara spasial di dalam DAS melalui penggunaan tool End Member Mixing Analysis (EMMA), pemisahan hidrograf berdasarkan perunut dan analisis hidrometrik (Inamdar dan Mitchell 2007, Bernal et al 2005, Subagyono et al 2005, Wenninger et al 2004, McGlynn dan McDonnell 2003a, Burns et al 2001, dan Hangen et al 2001).

Beberapa penelitian mengkuantifikasi limpasan dari sumber (source) yang berbeda dan menunjukkan kontribusi yang berbeda tergantung kondisi kelembaban yang ada di dalam DAS (Burns et al 2001, McGlynn dan McDonnell 2003a). McGlynn dan McDonnell (2003a) mengidentifikasi unit riparian dan hillslope

sebagai kontributor utama terhadap aliran DAS di DAS Maimai New Zealand. Kontribusi riparian cukup besar pada saat kejadian hujan kecil dan pada kondisi awal pada hujan besar, sementara kontribusi lereng terbesar terjadi selama debit puncak pada kejadian hujan yang besar. Hasil penelitian Hangen et al (2001) di DAS kecil di Black Forest di wilayah Jerman menunjukkan bahwa reservoir di riparian dan lereng merupakan regulator dari aliran. Penelitian ini menyajikan 3 langkah model proses limpasan yaitu: aliran permukaan, air tanah, dan airbumi (groundwater) di riparian, dan interflow di lereng yang semuanya merupakan kontribusi utama aliran di dalam DAS. Bernal et al (2006) mengemukakan bahwa kimia aliran tidak dapat dijelaskan oleh end member selama musim kemarau. End member menggambarkan karakteristik air yang teridentifikasi dari unit hidrologi atau geologi yang berbeda.

Inamdar dan Mitchell (2007) menggunakan beberapa prosedur analisis seperti

(43)

untuk mengontrol konsentrasi hara di DAS Walker Branch. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa Ca2+ dan SO42- dapat digunakan sebagai perunut konservatif

dalam analisis end member mixing untuk mencirikan jalur aliran air dominan di dalam DAS (Mulholland 1993). Ca2+ dan SO42- tergolong kedalam perunut

lingkungan (alami) yang dapat dipergunakan untuk menentukan input airbumi terhadap aliran selama terjadi periode aliran tinggi maupun rendah.

Perunut lingkungan dapat terjadi secara alami atau dilepas kedalam suatu lingkungan karena adanya aktivitas manusia. Yang termasuk kedalam perunut lingkungan yaitu: 1) parameter lapang seperti electrical conductivity atau pH, 2) ion utama seperti kalsium, magnesium, natrium, chlor, dan bikarbonat, 3) isotop stabil seperti oxygen-18 (18O) and deuterium (2H), 4) isotop radioaktif seperti tritium (3H) and radon (222Rn), 5) unsur kimia dalam industri seperti chlorofluorocarbons (CFC) and sulphur hexafluoride (SF6). Beberapa penelitian telah menggunakan beberapa perunut seperti ion utama, isotop stabil dan istotop radioaktif untuk mempelajari interaksi antara airbumi dan air permukaan (Crandall et al 1999, McCarthy et al 1992, Herczeg et al 2001, Cook et al 2003, Baskaran et al 2004).

Kelebihan perunut lingkungan (alami) yaitu: 1) berguna untuk mengembangkan pemahaman tentang aliran airbumi di dekat sungai dan memberikan informasi tentang evolusi airbumi, residence time, atau analisis campuran yang sulit untuk ditentukan, 2) pengukuran perunut lingkungan secara seri waktu sepanjang aliran merupakan tool

(44)

Kelemahan metode perunut lingkungan yaitu: 1) mahal karena memerlukan biaya transportasi dan biaya analisis laboratorium, 2) memerlukan keahlian khusus untuk pengambilan sampel dan interpretasinya, 3) perunut seperti deuterium, oxygen-18 atau tritium memerlukan waktu lama antara pengambilan sampel sampai mendapatkan hasil analisis, 4) model yang digunakan untuk mengkuantifikasi fluks

seepage dari data hidrokimia memerlukan perkiraan parameter yang sulit diukur di lapangan.

Separasi hidrograf secara geokimia dengan EMMA menggunakan Ca2- dan SiO2 telah dilakukan di bagian hulu DAS Kawakami, Jepang, untuk menentukan

sumber aliran yang berkontribusi pada saat hujan (Subagyono 2002). Separasi hidrograf secara geokimia pada kejadian hujan 143.5 mm menunjukkan bahwa air riparian di dekat permukaan, air tanah di lereng, dan air bumi di riparian dalam, merupakan sumber utama pada saat hujan berturut-turut sebesar 45%, 35%, dan 20% dari total limpasan.‘Daerah riparian dekat permukaan’ mendominasi baseflow (87%), pada awal hujan sebesar 58%, akhir hujan sebesar 66%, dan setelah hujan sebesar 76%. ‘Daerah riparian dekat permukaan’ kurang berkontribusi antara periode puncak dan akhir hujan, dimana saat itu yang terutama berkontribusi adalah air tanah di lereng. Airbumi di riparian dalam merupakan penyusun utama zone jenuh, dan tidak pernah mendominasi pada saat kejadian hujan meskipun kontribusi meningkat selama puncak hujan 41%, dan pada akhir hujan 32%.

Hasil penelitian menggunakan analisis end member mixing menunjukkan bahwa kontributor utama terhadap debit di DAS mikro Huewelerbach adalah komponen airbumi, yang kedua adalah aliran permukaan (overlandflow), dan yang terakhir adalah air tanah dangkal. Sedangkan di DAS mikro Weierbach, aliran permukaan tidak berkontribusi nyata. Airbumi hanya berkontribusi kurang dari 2%, dan lebih dari 90% total debit merupakan kontribusi dari throughfall (Krein et al

2007).

(45)

penting untuk DAS kecil bagian hulu. Lereng yang curam dan kelembaban di daerah lembah menunjukkan adanya air rembesan dari lereng selama kondisi terdapat aliran dasar. Kontribusi air riparian terhadap aliran sungai lebih tinggi pada kejadian hujan yang lebih besar, sementara kejadian hujan yang kecil dan antecedent moisture content (AMC) yang tinggi mengekspresikan adanya rembesan airbumi.

Van Verseveld et al (2008) melakukan analisis EMMA berdasarkan Christopherson and Hooper (1992), Burns et al 2001, McHale et al (2002), James dan Roulet (2006), serta Inamdar dan Mitchell (2006b) untuk mengidentifikasi end member aliran dan air bawah permukaan secara lateral. EMMA memiliki asumsi bahwa proses pencampuran end member harus linier, dan pelarut (solute) yang digunakan harus konservatif. Untuk mengevaluasi model EMMA, konsentrasi pelarut hasil prediksi EMMA dibandingkan dengan hasil pengukuran, dan membandingkan kontribusi end member hasil perhitungan dengan data hidrometrik.

Sumber aliran secara spasial juga telah diidentifikasi oleh Inamdar dan Mitchell (2006a) menggunakan silica (Si), magnesium (Mg), dan dissolved organic carbon (DOC) sebagai perunut. Silika dan magnesium dipilih sebagai perunut pada beberapa penelitian karena secara tipikal unsur ini ada bersama airbumi dalam dan air tanah dengan residence time tertentu dalam suatu DAS (McGlynn dan McDonnell 2003, Shanley et al 2002). Meskipun DOC bukan perunut konservatif, DOC telah berhasil diadopsi dalam berbagai penelitian untuk mengidentifikasi jalur aliran dan sumber limpasan (Bernal et al 2006, Brown et al 1999, McGlynn dan McDonnell 2003a). Di DAS Point Peter Brook, Inamdar dan Mitchell (2006a) menemukan konsentrasi Si paling tinggi pada airbumi riparian diikuti oleh debit airbumi dari rembesan lereng. Hasil analisis EMMA menunjukkan bahwa tiga end member yang berperan dalam sebagian besar kejadian hujan yaitu throughfall, rembesan lereng, dan airbumi dari riparian.

Proporsi aliran yang berasal dari tiga end member dihitung dengan menggunakan neraca massa yang dikemukakan oleh Burns et al (2001). Sedangkan model EMMA dievaluasi dengan membandingkan konsentrasi Mg2+, Si, DOC, NO3- ,

(46)

diasumsikan bercampur secara konservatif (Inamdar and Mitchell 2006b). Nilai R2 antara konsentrasi prediksi EMMA dengan hasil pengukuran berkisar antara 0.79 dan 0.99, menunjukkan bahwa tiga komponen terpilih berdasarkan EMMA merupakan prediktor konsentrasi pelarut yang kuat. Model EMMA juga menunjukkan bahwa kontribusi airbumi riparian paling tinggi terjadi setelah puncak debit dan selama kurva resesi.

2.4 Model Konseptual Aliran Permukaan dalam Skala DAS

Penelitian di DAS Maimai dan penelitian lain sampai awal tahun 1990-an menghasilkan kesepakatan umum yaitu: 1) pre-event water (soil water) yang disimpan di dalam DAS sebelum kejadian hujan merupakan kontributor dominan terhadap aliran di sungai, rata-rata mencapai 75% (Buttle 1994), 2) aliran preferensial secara vertikal (sering juga secara lateral) merupakan fenomena yang ada di dalam tanah secara alami, terutama di DAS yang curam, 3) perlu menggabungkan pengamatan hidrometrik, kimia, dan isotop dalam satu penelitian untuk mengatasi perbedaan persepsi tentang model perseptual subsurface stormflow ataupun mekanisme aliran/limpasan yang lain.

Berdasarkan pengamatan perunut hidrokimia, beberapa penelitian telah berhasil menyusun model konseptual proses limpasan untuk menjelaskan pola kontribusi ketiga end member secara temporal (Wheater et al 1990, Jenkins et al 1994, dan Soulsby et al 1998, Inamdar dan Mitchell 2007). Inamdar dan Mitchell (2007) menyusun model konseptual proses aliran air untuk menjelaskan pola kontribusi ketiga end member secara temporal melalui tiga langkah (stage). Pada tahap pertama yaitu kondisi baseflow ternyata area jenuh pada riparian di lembah mendapat

(47)

kedua merupakan peningkatan kurva hidrograf. Pada tahap ini terjadi peningkatan hidrograf yang tajam dengan adanya peningkatan kontribusi throughfall. Throughfall masuk melalui area jenuh di permukaan dan dialirkan ke jaringan drainase (drainage network) sebagai saturation excess runoff. Kontribusi airbumi riparian juga meningkat karena adanya: a) penggantian air riparian dengan throughfall dan presipitasi, b) Percampuran dan pengangkutan air throughfall kedalam aliran permukaan jenuh (saturation overland flow), c) Penggantian airbumi riparian oleh input dari interflow di lereng. Pada tahap terakhir adalah puncak debit dan kurva penurunan. Pada tahap ini kontribusi air riparian terhadap aliran sungai mencapai puncak karena adanya gradient hidraulik dan flux air di lereng, dan pada akhir kurva resesi kontribusi riparian dan dan throughfall menyusut.

Van Verseveld et al (2008), Frey et al (2007), Joerin et al (2002), dan Burns et al (2001) menunjukkan bahwa secara eksplisit terdapat kaitan antara faktor internal dalam DAS (tanah dan larutan unsur kimia) dengan pengamatan kimia aliran/stream chemistry. Pada umumnya terdapat keragaman konsentrasi larutan di outlet berdasarkan pengukuran dibandingkan perhitungan berdasarkan model. Model konseptual hubungan proses aliran air dengan ketersediaan air dalam DAS hanya mencakup proses di dalam DAS yang mempengaruhi kimia aliran atau yang memberi pertanda kimia dalam aliran.

(48)
(49)

III BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian lapang dilakukan pada bulan Mei 2008 sampai April 2010 di DAS mikro Cakardipa, sub DAS Cisukabirus, mencakup areal seluas 60 ha yang merupakan bagian dari DAS Ciliwung Hulu dengan elevasi antara 300 m sampai 3.000 m dpl. Di wilayah DAS Ciliwung Hulu terdapat 7 Sub DAS, yaitu: Tugu, Cisarua, Cibogo, Cisukabirus, Ciesek, Ciseuseupan, dan Katulampa. Analisis tanah dan air dilakukan di Balai Penelitian Tanah, sedangkan analisis data dan pemetaan dilakukan di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan dan peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu:

o Peta rupabumi skala 1:25.000, peta geologi skala 1:100.000, peta geohidrologi

skala 1:250.000

o Data iklim harian mencakup: curah hujan, dan evapotranspirasi 10 tahun terakhir; o Data hidrologi mencakup data tinggi muka air (debit)

o Data tanah: sifat fisik, kimia, dan mineral tanah

o Alat pengukur penetapan kedalaman air tanah, piezometer, tensiometer, suction

sampler (pompa pengambil air tanah dan air bumi)

o Botol untuk pengambilan conto air tanah, airbumi, air hujan, air sungai, aliran

permukaan, dan air dari saluran/sistem drainase

o Ring sampel, GPS (Global Positioning System); AWLR(Automatic Water Level

Recorder); AWS (Automatic Weather Station) dan Current meter, bor tanah.

o Seperangkat komputer, plotter, dan digitizer; software Arc-GIS versi 8.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Karakterisasi Biofisik Wilayah Penelitian

(50)

1. Penyusunan peta satuan lahan. Peta satuan lahan disusun dengan meIakukan tumpang tindih (overlay) beberapa peta tematik yaitu: peta topografi, peta jenis tanah, peta penggunaan lahan, dan peta geologi,

2. Identifikasi sumberdaya tanah. Identifikasi sumberdaya tanah dilakukan untuk mengamati karakteristik tanah melalui pembuatan profil tanah antara lain: bahan induk tanah, bentuk wilayah, lereng, drainase, solum tanah, horison dan ketebalan horison, warna, tekstur, keadaan batuan, dan pH tanah. Pengambilan contoh tanah dilakukan di lereng dan diambil pada setiap lapisan untuk analisis laboratorium. Analisis laboratorium dilakukan untuk mengetahui karakteristik tanah yang tidak dapat diamati di lapangan dan mengkuantifikasi data lapang antara lain: mineral tanah, tekstur (pasir,debu dan liat), pH , bahan organik (C total dan N total), P2O5

dan K2O dalam bentuk total dan tersedia, kapasitas tukar kation, nilai tukar kation

(Ca2+, Mg 2+, K+ dan Na+). Pengambilan conto tanah dengan ring sample untuk analisis fisika meliputi: pF, porositas tanah dan distribusi pori, bobot isi (bulk density), dan konduktivitas hidraulik,

3. Pengumpulan data curah hujan. Data curah hujan diambil dari stasiun hujan Citeko untuk mengetahui karakteristik hujan jangka panjang, sedangkan untuk melihat fluktuasi curah hujan di DAS mikro Cakardipa telah dipasang alat pengukur hujan otomatis (ARR: Automatic Rainfall Recorder) tipe HOBO.

4. Pengamatan karakteristik hidrologi. Untuk mempelajari karakteristik aliran DAS Mikro Cakardipa telah dilakukan pemasangan alat pengukur tinggi muka air otomatis (Automatic Water Level Recorder, AWLR).

3.3.2 Instalasi Bendung Penduga Debit (Pengamatan Hidrometrik) di DAS Mikro Cakardipa

Untuk mempelajari karakteristik aliran DAS Mikro Cakardipa telah dilakukan instalasi alat pengukur tinggi muka air otomatis (Automatic Water Level Recorder,

(51)

Pelampung tersimpan dalam sumur yang berhubungan dengan dasar sungai melalui prinsip bejana berhubungan.

Data tinggi muka air yang terekam oleh AWLR belum memberikan informasi berguna dalam mempelajari karakteristik hidrologis aliran. Data tinggi muka air tersebut perlu ditransformasi menjadi data debit menggunakan persamaan kurva lengkung debit (rating curve). Kurva lengkung debit ditetapkan berdasarkan rumus bangunan bendung penduga debit (weir) yang berbentuk persegi panjang. Persamaan lengkung debit pada bangunan weir berbentuk persegi panjang dapat disusun berdasarkan persamaan sebagai berikut :

g

Untuk weir DAS Mikro Cakardipa, persamaan kurva lengkung debitnya adalah sebagai berikut:

Ketinggian muka air < 29 cm, maka

Q = 0,35x0,9xH1,5 x(2x9,8)0,5...(2) Ketinggian muka air > 29 cm, maka

Q = 0,35x0,39x(0,29)1,5 x(2x9,8)0,5+ 0,35x1,98x(H-0,29)1,5 x(2x9,8)0,5....(3)

(52)

Gambar 3 ARR tipe HOBO, Bangunan Bendung Penduga Debit (weir), dan AWLR Tipe Pelampung pada Titik Keluaran DAS Mikro Cakardipa.

3.3.3 Pengamatan Kedalaman Tanah dan Batuan

Pengamatan kedalaman tanah dan batuan (bedrock) diperlukan sebagai dasar dalam menentukan kedalaman pemasangan jaringan peralatan pengamat hidrometrik dan hidrokimia (piezometer, tensiometer, dan suction sampler). Untuk menentukan kedalaman batuan dilakukan pengeboran tanah pada setiap kedalaman 50 cm sampai 1 meter untuk melihat karakteristik dari tanah dan batuannya. Pengeboran dilakukan dengan menggunakan bor tangan yang memiliki diameter 1,25 dan 3,0 inchi. Alat ini terdiri dari mata bor dari bahan baja yang dihubungkan dengan pipa yang memiliki panjang 0,5 m dan 3 m serta besi pemutar. Ilustrasi bor tangan disajikan pada Gambar 4, dengan cara kerja sebagai berikut:

1. Bor diameter 1,5 inchi dengan panjang mata bor 1,0 m dihubungkan dengan pegangan atau tangkai. Untuk pengamatan lapisan tanah yang lebih dalam diperlukan sambungan pipa lain.

2. Bor dimasukan ke dalam tanah dengan cara ditekan dan disentakan secara berulang oleh tenaga manusia sehingga mata bor masuk ke dalam tanah sampai AWLR tipe pelampung

(53)

kedalaman tertentu dan tanah hasil pengeboran tersebut masuk ke dalam lubang bor.

3. Bor diangkat pada setiap kedalaman 50 cm sampai 100 cm. Material (tanah dan batuan) yang terdapat dalam mata bor dikeluarkan, kemudian diamati karakteristiknya (warna, kekerasan/kekompakan, dan tekstur).

4. Pada saat alat pengeboran sudah tidak mampu menembus batuan yang ada di dalam tanah, kondisi ini dianggap sebagai kedalaman batuan (bedrock).

Ilustrasi kegiatan lapang pada saat pengamatan kedalaman tanah dan batuan disajikan pada Gambar 5.

(54)

Gambar 5 Pengeboran tanah untuk menentukan kedalaman batuan (bedrock) di DAS Mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu.

Pengeboran dilakukan sebanyak 10 titik yaitu 5 titik pengamatan (L1 – L5) di lereng arah timur dan 5 titik di lereng arah barat (L6 –L10). Dari hasil pengamatan diketahui bahwa pada lereng bagian atas (punggung lereng) memiliki lapisan bedrock

yang lebih dalam dibandingkan dengan lereng di bagian bawah (lembah). Karakteristik kedalaman tanah dan batuannya disajikan pada Tabel Lampiran 1-10.

3.3.4 Pemasangan Peralatan Pengamatan Hidrokimia

Dari 10 titik pengamatan kedalaman bedrock telah dilakukan pemasangan jaringan pengamatan hidrokimia berupa piezometer, tensiometer, dan suction sampler

(55)

conto airbumi, sedangkan suction sampler dipergunakan untuk menyedot sampel air tanah. Prototipe tensiometer dan suction sampler yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Gambar 8, dan distribusi kedalaman pemasangan peralatan pengamatan hidrokimia disajikan pada Tabel 1.

Gambar 6 Lokasi Pengamatan Batuan dan Pemasangan Jaringan Pengamatan Hidrokimia secara Spasial di DAS Mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus.

3.3.5 Penentuan Arah Aliran secara Vertikal dan Lateral

Jalur aliran ditentukan di wilayah lereng atas, tengah, dan bawah sampai ke jalur sungai. Jalur aliran bawah permukaan ditetapkan berdasarkan garis equipotensial yang menggambarkan titik-titik yang memiliki potensial air yang sama.

(56)

pada kedalaman yang berbeda di areal lereng tengah dan bawah. Menurut Subagyono dan Tanaka (2007), gradien tinggi hidrolik secara vertikal (∂Η/∂z) dihitung berdasarkan persamaan berikut:

∂H/∂z = (H2-H1)/(z2-z1)...(4)

Dengan : H1 dan H2 adalah tinggi hidrolik pada kedalaman terendah (0,25 m) dan

tertinggi (9 m), dan z1 and z2 adalah ketinggian tempat titik pengamatan.

Sedangkan gradien tinggi hidrolik secara lateral (∂Η/∂z) dihitung berdasarkan persamaan berikut:

∂H/∂z = (Hb-Ha)/(zb-za)... (5)

Dengan : Ha dan Hb tinggi hidrolik pada titik pengamatan L4 dan L5, sedangkan za

(57)

Keterangan:

L1, L2, L8,L9 : terdiri dari tensiometer dan suction sampler

L3, L4, L5, L6, L7 : terdiri dari tensiometer, piezometer, dan suction sampler

(58)

A.

B.

C.

(59)

Tabel 1 Distribusi peralatan pengamatan hidrometrik dan hidrokimia

Keterangan: L1 –L9 adalah lokasi pemasangan alat

3.3.6 Pengambilan Conto Air

(60)

sungai di bagian hulu, tengah, dan hilirnya. Analisis air dilakukan terhadap kandungan unsur: Kalium (K+), Natrium (Na+), Kalsium (Ca2+), Magnesium (Mg2+), Alumunium (Al3+), Besi (Fe3+), Silikat (SiO2), Sulfat (SO42-), Posfat (PO42-), Nitrit

(NO3-1), Klorium (Cl-1), dan Bikarbonat (HCO3-). Anion ditentukan dengan ion chromatography, sedangkan kation dengan Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS). Selain itu dilakukan pengukuran pH dan Electrical Conducivity (EC). Rangkuman jumlah sampel dan metode pengambilannya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah sampel air dan metode pengambilannya

No. Jenis

2. Airbumi Piezometer 16 Bulanan dan setiap

kejadian hujan

Chin-Ong meter 1 Pada saat kejadian

hujan

3.3.7 End-member mixing analysis (EMMA) dan Separasi Hidrograf

(61)

bersifat konservatif (mengikuti hukum kekekalan masa). Proporsi ketiga komponen air tersebut selanjutnya digunakan untuk menghitung proporsi aliran melalui separasi hidrograf. Pertimbangan untuk menggunakan pendekatan ini adalah bahwa seluruh komponen sumber air diasumsikan bercampur secara konservatif sesuai kondisi DAS Ciliwung. Percampuran sifat kimia air secara konservatif terjadi karena komponen kimia air dari sumber limpasan mengalir mengikuti pergerakan air. Kimia air sungai merupakan turunan dari kimia air masing-masing komponen sumber limpasan yang mengalir ke sungai, dengan prinsip bahwa air dapat membawa unsur atau komponen kimia air dari masing-masing sumber limpasan tersebut.

EMMA dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah digunakan oleh Hooper (2001) and Christophersen dan Hooper (1992) serta Burns et al (2001) sebagai berikut:

(1) Menyusun data set air bumi (groundwater), air tanah (soil water), air hujan, dan air sungai yang diukur pada periode hujan tertentu di DAS mikro Cakardipa.

Dari unsur yang dianalisis yaitu: K+, Na+, Ca2+, Mg2+, Fe3+, Al3+, SiO2, SO4

2-, PO43-, NO3-, Cl-, dan HCO3- sejumlah 874 contoh, terdapat 9 unsur terpilih

yaitu: K+, Na+, Ca2+, Mg2+, SiO2, SO42-, NO3-, Cl-, dan HCO3- sebanyak 497 set

data. Set data diberi simbol X yang menggambarkan matriks berukuran n x p

(terdiri dari n contoh dan p pelarut/unsur terpilih).

(2) Normalisasi data dengan cara membagi (masing-masing data hasil pengamatan dikurangi masing-masing data rata-rata seluruh pengamatan) dengan standar deviasi masing-masing pelarut.

Matriks X dinormalkan dengan cara membagi (masing-masing data hasil pengamatan dikurangi masing-masing data rata-rata seluruh pengamatan) dengan standar deviasi masing-masing pelarut. Matriks yang sudah dinormalkan diberi simbol X*. Jika j merupakan rata-rata pengamatan dari masing-masing

pelarut dan sj merupakan standar deviasinya, maka nilai setiap elemen dari matrik yang dinormalkan adalah:

xij*=( xij - j )/ sj ...(6)

(62)

Metode analisis multivariate dengan analisis komponen utama (PCA: Principal Component Analysis) telah digunakan secara luas untuk menganalisis multidimensi data. Pada penelitian ini analisis komponen utama dilakukan terhadap data kimia air terpilih seperti pada point (1) dari beberapa source area. Eigenvectors matriks korelasi diperoleh dengan menggunakan program Minitab Release 14.

Nilai air sungai terproyeksi diperoleh dengan menggandakan eigenvectors dengan nilai pelarut terstandarisasi. Nilai air sungai terproyeksi ini akan diplotkan di dalam dimensi sub ruang (plot kimia air). Proyeksi orthogonal dari matriks X* dapat diketahui melalui persamaan :

* = X*Vt(VVt)-1V...(7) * dapat di normalkan kembali dengan menggandakan kembali dengan standar deviasi dari masing-masing pelarut ditambah dengan rata-ratanya sehingga menjadi . Masing-masing elemen dari matrik ini adalah

ij = ij*. sj + j ...(8)

Residu antara nilai pelarut terproyeksi dengan data asli diplot terhadap konsentrasi unsur yang dimonitor melalui persamaan:

E = – X...(9) Untuk mengetahui fit data digunakan juga bias relatif/relative bias (RB) dan

relative root mean square error (RRMSE). Bias relatif untuk setiap pelarut (solute) ke j ditentukan melalui persamaan berikut:

...(10)

Sedangkan RRMSE untuk pelarut ke j ditentukan melalui persamaan berikut:

...(11)

(4) Untuk menguji bahwa kimia air dari sumber air yang menuju sungai menyebar di dalam plot kimia air sungai, data kimia air bumi,air tanah, dan air hujan

(63)

(5) Data kimia air yang diprediksi dengan EMMA dibandingkan dengan konsentrasi terukur pada saat pengamatan selama hujan tertentu menggunakan regresi linear

Kontribusi setiap sumber air selama proses limpasan yang diprediksi menggunakan EMMA kemudian dihitung menggunakan metode kesetimbangan massa untuk air dan total unsur (larutan) sesuai dengan formula sebagai berikut

Kemudian, Q3 dihitung sebagai berikut:

1

Dengan Q adalah debit, c adalah konsentrasi unsur 1 dan C adalah konsentrasi unsur 2, serta 1, 2, 3, dan T berturut-turut adalah aliran masuk ke sungai dari source area

(sumber aliran) 1, source area 2; source area 3, dan T adalah kombinasi total aliran keluar (total outflow).

3.3.8 Keragaman Unsur Hidrokimia Secara Spasial dan Temporal

Gambar

Gambar 1 Diagram Alir Penelitian Mekanisme Proses Aliran Air di DAS
Gambar 3 ARR tipe HOBO, Bangunan Bendung Penduga Debit (weir), dan AWLR
Gambar 4 Bor manual terbuat dari pipa besi baja yang dipergunakan untuk
Gambar 6 Lokasi Pengamatan Batuan dan Pemasangan Jaringan Pengamatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

 Jumlah tamu asing di Sulawesi Tengah pada bulan September 2012 sebanyak 342 orang, WNA dari Asia sebagai tamu asing terbanyak dengan jumlah 275 orang, disusul oleh

Halaman data bagian menampilkan semua data bagian meliputi nomor urut, kode bagian, nama bagian, gaji pokok, dan uang lembur dari masing-masing bagian yang terdaftar dalam

Setelah berhasil, maka pada sistem akan muncul halaman home yang berfungsi untuk melihat absensi dari student labor tersebut.. Lalu, data tersebut dengan otomatis akan tersimpan

Sedangkan hasil pengukuran kelelahan berdasarkan pemberian larutan gula garam dengan kebanyakan pekerja berada dalam tingkat kategori kelelahan ringan sebanyak 76 % dan

Penelitian bertujuan untuk mengkaji pengaruh penggunaan binder molasses dalam pelet complete calf starter terhadap kualitas kimia dan fisik pelet.. Penelitian dilaksanakan selama

PERUBAHAN ATAS PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 85 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH. KABUPATEN BANYUWANGI TAHUN ANGGARAN

Proses belajar pendidikan jasmani merupakan suatu peristiwa belajar yang dilakukan oleh seluruh siswa dan siswi di sekolah, di mana dalam pelaksanaannya diperlukan adanya suatu

Untuk mencapai tujuan program pemberantasan penyakit (P2) ISPA, puskesmas telah merumuskan langkah-langkah, yaitu melaksanakan promosi penanggulangan ISPA, menemukan