• Tidak ada hasil yang ditemukan

Effectivity of roadside vegetation structure in reducing lead particles emitted by motor vehicle (case study of Acacia mangium Greenbelt, Jagorawi Highway)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Effectivity of roadside vegetation structure in reducing lead particles emitted by motor vehicle (case study of Acacia mangium Greenbelt, Jagorawi Highway)"

Copied!
265
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM MEREDUKSI PARTIKEL TIMBAL

DARI EMISI KENDARAAN BERMOTOR

(STUDI KASUS JALUR HIJAU Acacia mangium,

JALAN TOL JAGORAWI)

RACHMAD HERMAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Efektivitas Struktur Jalur Hijau Jalan dalam Mereduksi Partikel Timbal dari Emisi Kendaraan Bermotor (Studi Kasus Jalur Hijau Acacia mangium, Jalan Tol Jagorawi) adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk karya apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

(3)

Reducing Lead Particles Emitted by Motor Vehicle (Case Study of Acacia mangium Greenbelt, Jagorawi Highway), supervised by CECEP KUSMANA, NIZAR NASRULLAH, LILIK BUDI PRASETYO

Structure of roadside vegetation was assumed to have effects in reducing lead concentration in the air. One of the structure factors was width of roadside vegetation. Difference of width of roadside vegetation had an implication on difference of another structures. The objectives of the research were: (a) to determine relationship between lead particle concentration emitted by motor vehicle with decrease of lead particle concentration in the air; (b) to determine effective width of roaside vegetation in reducing lead particle concentration in the ambient air; (c) to determine the pattern Pb particle adsorption of leaves in roadside vegetations; (d) to recognize spatial dispersion pattern of Pb particle concentration in the air surrounding the roadside vegetation. Air samples to analyze the concentration of Pb particles in the air were collected on four collection points: point emission (roadside), 5 m, 15 m and 30 m behind the roadside vegetation; air samples were also collected from an openspace plot. Leaves samples were taken from the front and back part of the canopies of three trees from each of the first three rows of the roadside vegetation. The samples were used to determine the pattern of Pb particles adsorption. Kriging interpolation method using software Arc GIS 9.3.1 was used to recognize dispersion pattern of Pb particle. The results showed that difference of tree row number affected the decrease of Pb particle concentration; the more the number of tree rows, the greater the decrease of Pb particle concentration. Two plant rows of roadside vegetation had same capability with more two plant rows of roadside vegetation in reducing Pb particle concentration. Roadside vegetation width of 9 m and 17 m had a same capability in reducing lead particle concentration in the air. Pb particle concentration on leaves decrease with the increasing distance from emission sources. Isopleth of spatial dispersion of Pb particle concentration decrease gradually from emission source.

(4)

RACHMAD HERMAWAN. Efektivitas Struktur Jalur Hijau Jalan dalam Mereduksi Partikel Timbal dari Emisi Kendaraan Bermotor (Studi Kasus Jalur Hijau Acacia mangium, Jalan Tol Jagorawi), dibimbing oleh CECEP

KUSMANA, NIZAR NASRULLAH, LILIK BUDI PRASETYO.

Kualitas lingkungan udara di perkotaan cenderung mengalami penurunan terutama disebabkan oleh aktivitas transportasi. Kendaraan bermotor memberikan kontribusi 60-70 % dari total zat pencemar di udara. Salah satu polutan yang diemisikan dari kendaraan bermotor berbahan bakar bensin adalah timbal (Pb). Timbal yang masuk ke dalam tubuh manusia mempunyai efek negatif terhadap kesehatan.

Jalur hijau merupakan agen pertama yang berfungsi sebagai penyaring polutan udara dari emisi kendaraan bermotor dan penyangga untuk daerah di belakangnya. Penelitian peranan vegetasi perkotaan dalam mereduksi partikulat telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, tetapi belum mengkaji perbedaan struktur jalur hijau secara sistematis dan bersamaan terhadap keefektifannya dalam mereduksi emisi partikel timbal. Penelitian ini tidak mendisain faktor-faktor struktur jalur hijau, tetapi memanfaatkan jalur hijau yang sudah ada, maka dilakukan pembatasan pada faktor yang dikaji. Kajian difokuskan pada perbedaan lebar jalur hijau jalan.

Tujuan dari penelitian adalah: (1) mengkaji hubungan antara konsentrasi partikel timbal yang berasal dari emisi kendaraan bermotor dengan besarnya penurunan konsentrasi partikel timbal udara setelah melalui jalur hijau jalan; (2) mengkaji lebar jalur hijau jalan yang efektif dalam menurunkan konsentrasi partikel timbal udara dari emisi kendaran bermotor; (3) mengkaji pola jerapan timbal oleh jalur hijau jalan; (4) mengkaji pola spasial sebaran partikel timbal udara di sekitar jalur hijau jalan.

Struktur utama jalur hijau yang digunakan untuk mengkaji perbedaan keefektifan dalam mereduksi partikel timbal adalah lebar jalur hijau. Oleh karena itu perlu dicari plot-plot penelitian yang mewakili perbedaan lebar jalur hijau. Pada penelitian ini dibatasi pada tiga lebar jalur hijau. Untuk membedakan lebar jalur hijau di lapangan, maka digunakan jumlah baris yaitu : (1) satu baris; (2) dua baris; (3) lebih dari dua baris. Disamping itu, juga ditambah satu jalur berupa jalur terbuka (tanpa vegetasi). Lokasi tersebut terletak pada km 25 sampai dengan 28+600 Jalan Tol Jagorawi arah dari Bogor-Jakarta.

(5)

dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali, kecuali untuk jalur terbuka dan jalur dengan satu baris tanaman dilakukan dua kali pengulangan. Dengan demikian terdapat 40 sampel udara ambien. Selanjutnya sampel tersebut dianalisis konsentrasi timbalnya. Untuk mengetahui pola jerapan partikel debu dan timbal, maka dilakukan pengambilan sampel daun Acacia mangium berdasarkan letak pohon dan posisi tajuk. Isopleth pola sebaran spasial konsentrasi partikel timbal di udara diperoleh dengan metode interpolasi Kriging menggunakan software ArcGIS 9.3.1.

Jalur hijau jalan memberikan pengaruh terhadap besarnya penurunan konsentrasi partikel timbal di udara ambien. Jalur hijau jalan dua baris mempunyai kemampuan yang sama dengan jalur hijau jalan lebih dari dua baris dalam menurunkan konsentrasi partikel timbal. Perbedaan pengaruh jalur hijau jalan hanya sampai pada titik 5 m di belakang jalur hijau dengan penurunan konsentrasi partikel timbal sebesar 40,58-41,15 %, sedangkan titik 15 m dan 30 m di belakang jalur hijau tidak memberikan pengaruh yang berbeda.

Jalur hijau jalan lebar 9 m dengan jalur hijau jalan lebar 17 m memberikan pengaruh yang sama dalam menurunkan konsentrasi partikel timbal di udara ambien. Faktor yang mempengaruhi tidak hanya lebar jalur hijau, tetapi juga ciri struktur lainnya seperti tinggi bebas cabang, indeks luas daun, dan jarak tanam. Ada kecenderungan bahwa dengan semakin lebar jalur hijau, maka akan semakin besar konsentrasi partikel timbal udara yang dapat direduksi; tetapi penurunan konsentrasi partikel timbal yang relatif besar dikontribusikan oleh pengaruh baris-baris tanamam yang dekat jalan.

Letak pohon dan posisi tajuk pada jalur hijau memberikan pengaruh yang berbeda terhadap konsentrasi jerapan debu dan partikel Pb oleh daun. Ada kecenderungan bahwa jerapan debu dan partikel Pb oleh daun akan semakin menurun dengan semakin jauh jaraknya dari sumber emisi. Terdapat korelasi (r= 0,91) antara konsentrasi debu dengan konsentrasi Pb dengan persamaan Y = -33,538+ 0,1268X (Y= konsentrasi timbal; X= konsentrasi debu).

Peta isopleth hasil metode interpolasi Kriging menunjukkan adanya pola gradasi penurunan konsentrasi partikel Pb dari pinggir jalan ke arah menjauh dari jalan. Pengaruh jalur hijau jalan dalam menurunkan konsentrasi partikel timbal udara ambien pada isopleth ditunjukkan adanya perubahan pola kontur, yaitu dari kontur rapat ke kontur yang renggang.

(6)

©

Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau sumber:

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan masalah

b. Pengutipan tdak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

(7)

DALAM MEREDUKSI PARTIKEL TIMBAL

DARI EMISI KENDARAAN BERMOTOR

(STUDI KASUS JALUR HIJAU Acacia mangium,

JALAN TOL JAGORAWI)

RACHMAD HERMAWAN

Disertasi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. H. Endes N. Dahlan, M.S Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, M.Agr

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Tati Budiarti, M.S.

(9)

Nama Mahasiswa : Rachmad Hermawan N I M : E 061020021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Ketua

Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.

(10)
(11)

Partikulat merupakan polutan udara yang dapat menyebabkan gangguan terhadap kesehatan manusia. Salah satu partikulat yang mempunyai efek negatif yang signifikan adalah timbal (Pb). Timbal merupakan polutan yang dihasilkan dari proses pembakaran pada motor berbahan bakar bensin. Salah satu upaya untuk mengurangi efek dari polutan ini adalah dengan membangun jalur hijau jalan. Untuk mengetahui jalur hijau jalan yang efektif untuk mereduksi partikel timbal, maka perlu dikaji strukturnya.

Puji dan syukur, penulis panjatkan kepada Allah SWT, hanya atas rahmat dan karunia-Nya maka disertasi ini dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Komisi Pembimbing yaitu Prof. Dr. Cecep Kusmana sebagai ketua komisi, Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr dan Prof. Dr. Lilik Budi Prasetyo sebagai anggota komisi, atas segala arahan, masukan dan dorongan yang diberikan mulai dari saat penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian sampai penyusunan disertasi.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Kehutanan IPB selama penulis studi yaitu Prof. Dr. Yusuf Sudohadi, Prof. Dr. Cecep Kusmana, Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr dan Prof. Dr. Bambang Hero Saharjo, atas ijin, perhatian dan dukungannya. Kepada Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB, Prof. Dr. Ani Mardiastuti, Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F dan Prof. Dr. Sambas Basuni, diucapkan terima kasih atas bantuan dan dukungannya. Kepada Kepala Bagian Hutan Kota dan Jasa Lingkungan, Dr. Ir. H. Endes N. Dahlan, MS, dan rekan-rekan satu kantor, diucapkan terima kasih atas segala perhatian dan motivasi agar penulis dapat segera menyelesaikan studi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada pihak PT Jasa Marga yang memberikan ijin kepada penulis untuk dapat melaksanakan penelitian. Kepada Nugrohojati Ariprayogo, S.Hut yang telah membantu dalam pengumpulan data di lapangan, Kasuma Wijaya, S.Hut, MSi yang telah membantu dalam analisis data, untuk itu diucapkan terima kasih.

Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada istri, Ir. Kusrini yang selalu mendampingi, mendorong serta doa yang tulus untuk

penyelesaian studi penulis; demikian juga, untuk kedua putra penulis yaitu Azar Rachdian dan Azizan Billardi M. dengan tulus memahami kesibukan ayahandanya dalam penyelesaian studi ini. Kepada orangtua penulis yaitu Bapak Drh. H. Moejono (Alm) dan Ibu Hj. Siti Mumpangati serta Bapak dan ibu mertua yaitu Bapak H. Soemarlan dan Ibu Hj Rochmatun yang senantiasa memberikan doanya, penulis ucapkan terima kasih.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kiritik sangat diperlukan untuk perbaikan tulisan ini. Walaupun demikian, penulis berharap bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu hutan kota dan perbaikan kualitas udara.

(12)

Penulis dilahirkan di Jepara pada tanggal 4 Mei 1967 sebagai anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Drh. H. Moejono (Alm) dan Hj. Siti Mumpangati. Pendidikan dasar dan menengah diselesaikan di kota kelahirannya. Pendidikan dasar diselesaikan di SD N Panggang I Jepara pada tahun 1979, selanjutnya pendidikan menengah diselesaikan di SMP N II Jepara pada tahun 1982 dan di SMA Negeri Jepara pada tahun 1985. Selanjutnya untuk jenjang pendidikan tinggi, pada tahun 1985 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, tahun 1986 penulis masuk Fakultas Kehutanan IPB dan pada tahun 1988 penulis memilih Jurusan Manajemen Hutan, lulus tahun 1989. Pada tahun 1995 mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 pada bidang Ilmu Kehutanan Tropika di Georg August, Goettingen University, Germany dan lulus pada tahun 1997. Pada tahun 2002 mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan program doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan mendapatkan beasiswa dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (BPPS), Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

(13)

Halaman

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xviii

PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1

Perumusan Masalah... 3

Kerangka Pemikiran... 6

Tujuan Penelitian ... 9

Hipotesis Penelitian... 9

Manfaat Penelitian... 9

Novelty (Kebaruan)... 10

TINJAUAN PUSTAKA... 11

Hutan Kota... 11

Struktur Jalur Hijau... 12

Partikulat... 13

Timbal... 17

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Polutan Udara... 18

Teori Penurunan Polutan Udara Partikulat oleh Vegetasi... 21

METODE PENELITIAN... 28

Lokasi Penelitian... 28

Waktu Penelitian... 28

Disain Penelitian... 28

Persiapan Penelitian... 29

Pelaksanaan Penelitian... 31

PENGARUH JUMLAH BARIS TANAMAN JALUR HIJAU JALAN DALAM MEREDUKSI PARTIKEL TIMBAL (Pb) DARI EMISI KENDARAAN BERMOTOR (STUDI KASUS JALUR HIJAU Acacia mangium JALAN TOL JAGORAWI) [The Effect of the Plant Row Number of Roadside Vegetation in Reducing Lead (Pb) Particles Emitted by Motor Vehicle (Case Study ofAcacia mangium Greenbelt, Jagorawi Highway)]... 41

Abstrak... 41

Abstract... 41

Pendahuluan... 42

Tujuan... 43

Metode Penelitian... 43

Hasil dan Pembahasan... 47

Simpulan... 62

(14)

BERDASARKAN LETAK POHON DAN POSISI TAJUK (STUDI KASUS JALUR HIJAU Acacia mangium, JALAN TOL JAGORAWI) [Adsorption of Dust and Pb Particles By Leaves Based on Location of Trees and Position of

Crowns (Case Study of Acacia mangium Greenbelt, Jagorawi Highway)]... 65

Abstrak... 65

Abstract... 65

Pendahuluan... 66

Tujuan... 67

Metode Penelitian... 67

Hasil dan Pembahasan... 71

Simpulan... 79

Daftar Pustaka... 80

POLA SEBARAN SPASIAL KONSENTRASI PARTIKEL TIMBAL DI SEKITAR JALUR HIJAU JALAN (STUDI KASUS JALUR HIJAU Acacia mangium, JALAN TOL JAGORAWI) [Spatial Dispersion Pattern of Lead Particle Concentration in Surrounding Roadside Vegetation (Case Study of Acacia mangium Greenbelt, Jagorawi Highway)]... 82

Abstrak ... 82

Abstract... 83

Pendahuluan... 83

Tujuan... 84

Metode Penelitian... 84

Hasil dan Pembahasan... 84

Simpulan... 89

Daftar Pustaka... 89

PEMBAHASAN UMUM... 96

SIMPULAN DAN SARAN... 97

(15)

Halaman

1. Kemampuan jerapan dan pertambahan jerapan partikulat beberapa jenis

tanaman penghijauan (studi kasus di DKI Jakarta)... 27

2. Plot-plot penelitian yang digunakan... 28

3. Lokasi plot sampel penelitian... 47

4. Struktur jalur hijau yang digunakan sebagai plot penelitian... 49

5. Kondisi iklim mikro di sekitar plot-plot penelitian... 52

6. Rata-rata konsentrasi Pb pada jalur-jalur penelitian... 56

7. Rata-rata konsentrasi Pb pada berbagai jarak titik pengukuran sampel udara... 56

8. Rata-rata penurunan konsentrasi partikel timbal sebelum dan sesudah melewati jalur hijau... 58

9. Penurunan konsentrasi Pb (µg.m-3) pada berbagai titik pengukuran... 58

10. Persentase (%) penurunan konsentrasi partikel timbal pada berbagai titik pengambilan sampel udara di plot-plot penelitian... 59 11. Nilai rata-rata konsentrasi jerapan debu dan partikel Pb berdasarkan letak pohon... 71 12. Nilai rata-rata konsentrasi jerapan debu dan partikel Pb berdasarkan posisi tajuk pohon... 72 13. Penurunan konsentrasi jerapan debu dan partikel timbal oleh daun... 75

14. Perhitungan jerapan partikel timbal pada jalur hijau dua baris... 78

15. Perhitungan jerapan partikel timbal pada jalur hijau tiga baris... 79

(16)

Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian... 8

2. Lapse Rate yang Terjadi dan DALR (Vesilind et al. 1990)... 19 3. Profil kecepatan deposisi patikulat dengan ukuran partikel yang

berbeda dan mekanisme deposisi yang dominan (QUARG 1996

diacu dalam Cavanagh 2006)... 23

4. Mekanisme tumbukan partikel dengan obyek (permukaan)... 24

5. Pemetaan pohon untuk diagram profil... 31

5. Sketsa lokasi pengambilan sampel udara untuk pengukuran

konsentrasi timbal udara ambien di sekitar jalur hijau (satu baris)... 32

6. Sketsa lokasi pengambilan sampel udara untuk pengukuran konsentrasi timbal udara ambien di sekitar jalur hijau (dua

baris)... 33

7. Sketsa lokasi pengambilan sampel udara untuk pengukuran konsentrasi timbal udara ambien di sekitar jalur hijau (lebih dua

baris)... 33

8. Sketsa lokasi pengambilan sampel udara untuk pengukuran

konsentrasi partikulat udara ambien di daerah terbuka... 34

9. Sketsa plot penelitian... 38

10. Sketsa lokasi pengambilan daun sampel pada tajuk... 38

11. Bagian daun yang digunakan untuk analisis kandungan partikel Pb.. 39

12. Sketsa lokasi pengambilan sampel udara untuk pengukuran

konsentrasi timbal di udara di sekitar jalur hijau... 45

13. Sketsa lokasi plot-plot penelitian... 48

14. Peta situasi lolasi plot-plot penelitian... 48

15 Lokasi pengambel sampel udara ambien: (a) jalur terbuka;

(17)

17. Hasil pemotretan alat hemispherical view: (a) jalur satu baris; (b) jalur

dua baris; (c) jalur lebih dua baris... 51

18. Kecepatan angin rata-rata pada plot-plot penelitian... 53

19. Jumlah kendaraan per menit yang melewati plot-plot penelitian... 54

20. Konsentrasi partikel timbal pada titik emisi (T0) pada berbagai jalur... 54

21 Rata-rata konsentrasi partikel timbal pada berbagai titik pengukuran di plot-plot penelitian... 55

22 Rata-rata konsentrasi partikel timbal pada berbagai titik pengukuran 57 23 Persentase penurunan konsentrasi partikel timbal pada berbagai jarak di setiap jalur... 60

24 Sketsa lokasi plot penelitian... 68

25 Sketsa plot penelitian... 68

26 Sketsa lokasi pengambilan daun sampel pada tajuk... 69

27 Bagian daun yang digunakan untuk analisis kandungan partikel Pb... 69

28 Jerapan debu dan partikel timbal oleh daun berdasarkan letak pohon dan posisi tajuk... 74

29. Hubungan antara konsentrasi debu dengan konsentrasi Pb... 76

30 Pola sebaran spasial konsentrasi partikel timbal di sekitar jalur terbuka... 85

31 Pola sebaran spasial konsentrasi partikel timbal di sekitar jalur satu baris... 85

32 Pola sebaran spasial konsentrasi partikel timbal di sekitar jalur dua baris... 86

(18)

35. Hubungan indeks luas daun dengan persentase penurunan

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Spesifikasi alat Low Volume Air Sampler... 107

2. Data pohon penyusun jalur hijau satu baris... 108

3. Data pohon penyusun jalur hijau dua baris... 109

4. Data pohon penyusun jalur hijau lebih dua baris... 111

5. Diagram profil jalur satu baris... 113

6. Diagram profil jalur dua baris ... 114

7. Diagram profil jalur lebih dua baris... 115

8. Analisis sidik ragam pengaruh jalur dan jarak terhadap konsentrasi Pb di udara... 116

9. Analisis sidik ragam pengaruh jalur terhadap selisih konsentrasi Pb di udara... 116 10. Analisis sidik ragam pengaruh jalur dan jarak terhadap persentase penurunan konsentrasi Pb di udara... 116

11. Analisis sidik ragam pengaruh letak dan posisi tajuk terhadap jerapan debu oleh daun Acacia mangium... 117

12. Analisis sidik ragam pengaruh letak dan posisi tajuk terhadap jerapan debu oleh daun Acacia mangium... 117

(20)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kota adalah suatu wilayah yang menjadi tempat pemusatan penduduk dan aktivitas perekonomian, yang merupakan suatu sistem dinamis yang dapat berpengaruh terhadap kondisi lingkungannya (Irwan 1997). Sesuai dengan salah satu asas dasar ilmu lingkungan bahwa sistem yang sudah mantap mengeksploitasi sistem yang belum mantap (Soeriatmadja 1997). Kota dianalogikan sebagai suatu sistem yang mantap yang dapat mengeksploitasi atau menjadi daya tarik bagi manusia yang ada di sistem yang belum mantap, sehingga hal ini menyebabkan meningkatnya arus urbanisasi. Konsekuensi urbanisasi adalah meningkatnya aktivitas transportasi, industri, jasa, dan kegiatan lainnya yang dapat meningkatkan buangan sisa kegiatan-kegiatan tersebut ke udara. Disamping itu pula, perkembangan kota ditandai dengan meningkatnya bangunan fisik, yang mengakibatkan terjadinya konversi lahan yang semula merupakan ruang tumbuh vegetasi menjadi bangunan fisik.

Pembangunan suatu kota yang hanya menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi, kurang menghiraukan fungsi ekologi, seringkali menimbulkan kemunduran kualitas lingkungan hidup yaitu berupa tingginya tingkat pencemaran yang pada akhirnya akan menyebabkan permasalahan kesehatan dan sosial. Salah satu masalah yang dihadapi di kota-kota besar di Indonesia adalah kecenderungan menurunnya kualitas udara dalam dua dekade terakhir (ADB 2006). Salah satu penyebab permasalahan ini adalah akibat emisi kendaraan bermotor yang kurang memperhatikan manajemen transportasi yang ramah lingkungan.

(21)

4 lokasi termasuk dalam kategori “tidak sehat”, sisanya termasuk kategori

“sedang”.

Dalam upaya pengendalian dan monitoring kualitas udara, Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) telah melakukan pengukuran yang berkesinambungan melalui jaringan Air Quality Monitoring System (AQMS) di 10 kota yaitu Jakarta, Bandung, Denpasar, Medan, Jambi, Palangkaraya, Pekanbaru, Pontianak, Semarang dan Surabaya. Hasil monitoring menunjukkan bahwa pada tahun 2002 kualitas udara di 10 kota tersebut sudah mengkhawatirkan. Di enam kota, jumlah hari dengan kualitas udara baik tidak lebih dari 20 persen, berarti hanya 73 hari dalam setahun. Sementara di Pontianak dan Palangkaraya penduduknya harus menghirup udara yang masuk kategori berbahaya selama 88 dan 22 hari. Dari beberapa kota yang diamati, sebagai parameter polutan udara yang kritis dominan adalah material partikulat dengan diameter aerodinamis kurang dari 10 µm atau yang biasa disingkat PM10.

Pencemaran udara telah berdampak terhadap menurunnya tingkat kesehatan dan menimbulkan kerugian ekonomi. Hampir setengah juta setiap tahunnya penduduk Asia-termasuk Indonesia-menderita penyakit saluran pernafasan, asma, iritasi mata dan kulit; penyakit autis yang belakangan ini banyak ditemui, terbukti terkait dengan kandungan logam dalam urin, darah dan rambut anak-anak. Pada tahun 1998, estimasi kerugian ekonomi akibat dari pencemaran udara kurang lebih 1 % dari total Gross Domestic Bruto (GDB).

Sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkunan Hidup pada Pasal 3 dijelaskan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan untuk menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia dan menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; Salah satu komponen lingkungan hidup yang penting bagi kehidupan manusia adalah kualitas udara. Oleh karena itu perlu ditempuh

upaya-upaya untuk mencegah, menanggulangi dan memulihkan kualitas udara,

yang secara lebih teknis dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun

(22)

lebih pada pengendalian pencemaran udara dari sumbernya. Selain itu, juga dapat ditempuh upaya pengendalian pencemaran udara di lingkungan (udara ambien) yaitu dengan menata dan membangun hutan kota yang dapat memberikan manfaat maksimal dalam meningkatkan kualitas udara.

Hutan kota mempunyai peran yang penting dalam siklus biogeokimia di suatu ekosistem. Tumbuhan merupakan komponen ekosistem yang dilintasi oleh siklus unsur kimia dan berfungsi sebagai peramu dan penggerak aktivitas seluruh komponen ekosistem; serta mempunyai kemampuan fisiologis dan ekologis dalam memperbaiki kualitas lingkungan. Selain itu, hutan kota juga memberikan manfaat estetika, proteksi dan manfaat khusus lainnya.

Salah satu bentuk hutan kota yang telah dikembangkan di Indonesia adalah jalur hijau jalan. Jalur hijau mempunyai peran penting dalam memberikan nilai estetika kota, kenyamanan dan perlindungan pengguna jalan serta penyangga masyarakat yang bertempat tinggal di sekitarnya dari pencemaran udara.

.

Perumusan Masalah

Kualitas lingkungan udara di perkotaan cenderung mengalami penurunan terutama disebabkan oleh aktivitas transportasi. Kendaraan bermotor memberikan kontribusi 60-70% dari total zat pencemar di udara (Krisnaya & Bedi 1986; Kusnoputranto 1996). Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengestimasi pada tahun 2003 total beban pencemaran udara Jakarta dari sumber transportasi, pabrik dan rumah tangga untuk oksida nitrogen 24.696 ton/tahun, oksida sulfur 35.456 ton/tahun, dan TSP 4.669 ton/tahun. Berdasarkan data yang dikeluarkan Laboratorium Udara Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan (Sarpedal) KLH, khusus untuk parameter NO2, sudah mencapai 49,8 ppb (part per billion) di titik

(23)

Partikulat merupakan polutan yang bersifat prevalens dan mempunyai dampak signifikan terhadap kesehatan (Soedomo 2001). Salah satu partikulat yang diemisikan oleh kendaraan berbahan bakar bensin adalah timbal. Timbal yang diemisikan dari asap kendaraan bermotor mempunyai ukuran antara 0,08-1,00 µm. Waktu tinggal yang cukup lama di udara yaitu antara 4-40 hari, sehingga berpeluang untuk disebarkan angin hingga mencapai jarak 100-1000 km dari sumbernya (Saeni 1995).

Timbal merupakan racun berbahaya yang berdampak terhadap kesehatan manusia, baik anak-anak maupun orang dewasa. Pada anak-anak timbal dapat menyebabkan penurunan tingkat kecerdasan (IQ points), penurunan kemampuan belajar. Pada orang dewasa pencemaran timbal dapat menyebabkan tekanan darah tinggi, serangan jantung, kemandulan dan pada level yang sangat tinggi dapat menyebabkan kematian (Lestari 2006).

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menangani permasalahan tersebut, antara lain telah dicanangkannya Program Langit Biru, pengujian emisi kendaraan bermotor, penggunaan bahan bakar tanpa timbal. Hamonangan (2004) menjelaskan bahwa dampak penggunaan bensin tanpa timbal terhadap konsentrasi timbal udara ambien di Jakarta menunjukkan penurunannya setelah satu tahun pemberlakuan unleaded gasoline. Hasil pemantauaan konsentrasi timbal udara ambien di Jakarta pada tahun 2010 di berbagai lokasi pengamatan menunjukkan nilai jauh di bawah baku mutu (Pemprov DKI Jakarta 2010). Demikian juga halnya dengan Sugiarta (2008) yang melakukan penelitian di Denpasar bahwa konsentrasi timbal udara ambien di berbagai tempat berada di bawah baku mutu.

Konsentrasi timbal yang rendah bukan berarti tidak memberikan dampak yang negatif terhadap kesehatan manusia. Manusia yang sering terpapari polutan timbal dalam jangka waktu yang lama, walaupun konsentrasinya kecil, mempunyai resiko terhadap gangguan kesehatan. Timbal terakumulasi dalam tubuh manusia dengan pelepasan yang lambat (Wijetilleke & Karunaratne 1995).

(24)

Pemerintah RI No. 63 Tahun 2002) atau menurut Fakuara (1987) dikelompokkan menjadi bentuk taman, jalur hijau, kebun-pekarangan dan hutan. Hutan kota telah dibangun di berbagai landuse seperti pemukiman, industri, pusat bisnis maupun di lokasi-lokasi penting lainnya seperti pinggir sungai, pinggir jalur kereta api maupun pinggir jalan raya dalam bentuk jalur hijau.

Irwan (1997) menjelaskan bahwa hutan kota yang mempunyai kemampuan tinggi dalam memperbaiki kualitas lingkungan adalah hutan kota dengan bentuk tersebar serta berstrata lebih dari dua. Luasan hutan kota juga berpengaruh terhadap kemampuan mereduksi partikulat yang diemisikan oleh kendaraan bermotor. Semakin luas hutan kota maka akan semakin besar pula kapasitasnya dalam mereduksi partikulat, tetapi hal ini akan mengalami kesulitan dalam impelementasinya ketika dihadapkan pada permasalahan keterbatasan lahan. Oleh karena itu perlu dicari bentuk hutan kota dengan strukturnya yang efektif dalam mengatasi pencemaran partikel timbal.

Jalur hijau merupakan agen pertama yang berfungsi sebagai pereduksi partikel timbal yang diemisikan oleh kendaraan bermotor. Oleh karena itu, perannya sangat penting sebagai penyangga untuk wilayah yang ada di sekitarnya. Kemampuan jalur hijau dalam mereduksi partikel timbal diduga dipengaruhi oleh strukturnya. Struktur jalur hijau merupakan susunan spasial dan karakteristik vegetasi hubungannya dengan obyek yang lain (seperti bangunan) dalam wilayah perkotaan (Nowak et al. 2002). Struktur jalur hijau dapat dibedakan menurut berbagai karakteristik tanaman yang mencakup komposisi jenis, umur, dimensi jalur hijau, kondisi kesehatan dan kepadatan tanaman fisik (Sanders 1984).

(25)

banyaknya benda yang menghalangi. Semakin rimbun, maka akan semakin banyak partikel yang ditangkap.

Berbagai penelitian membahas pereduksian partikulat telah dilaksanakan. Penelitian peranan vegetasi perkotaan dalam mereduksi partikulat telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya (Dahlan 1989; Irwan 1997; Sukarsono 1998; Arifudin 2000; Taihuttu 2001; Nowak et al. 2002; Sari 2002; Setiadi 2002; Cavanagh et al. 2009), tetapi belum mengkaji perbedaan struktur jalur hijau jalan secara sistematis dan bersamaan terhadap keefektifannya dalam mereduksi emisi partikel timbal. Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam penelitian ini terdapat rumusan masalah seperti berikut :

(1) Sampai seberapa besar kemampuan jalur hijau jalan dalam mereduksi konsentrasi partikel timbal udara dari emisi kendaraan bermotor berdasarkan perbedaan strukturnya?

(2) Bagaimana pola penurunan konsentrasi partikel timbal menurut perbedaan struktur jalur hijau jalan?

(3) Bagaimana pola jerapan partikel timbal oleh jalur hijau jalan? (4) Bagaimana pola spasial sebaran timbal di sekitar jalur hijau jalan?

Kerangka Pemikiran

Partikulat yang diemisikan oleh kendaraan bermotor sebagian didistribusikan ke lokasi yang lebih jauh oleh angin maupun turbulensi, dan sebagian lagi jatuh ke tanah. Jarak pendistribusian tergantung dari ada tidaknya halangan yang ada. Partikulat yang lebih besar dan berat diakumulasikan di dekat sumber pencemaran, sedangkan partikulat dengan ukuran yang lebih kecil dan ringan akan mengalami penyebaran yang lebih jauh dari sumber pencemaran (Chamberlain et al. 1978; Hirano et al. 1991).

(26)

pengendapan pencemaran udara tergantung luas dan ketebalan tanaman penyangga tersebut. Jalur hijau yang tipis, yang hanya terdiri dari satu barisan tanaman hanya mampu membelokkan angin. Jalur hijau yang tebal, yang terdiri dari kelompok tanaman mampu menyaring partikel-partikel bahan pencemar udara (Bernatzky 1978).

Kerapatan pohon mempunyai pengaruh pada aliran angin. Perubahan aliran angin dekat tanaman tergantung banyak faktor. Tanaman yang rapat dapat mempunyai pengaruh yang sama seperti dinding suara terhadap aliran angin. Pada vegetasi non-permeable terjadi peningkatan konsentrasi dekat windward (upwind)

dan menurun dekat leeward (downwind). Aliran angin dalam vegetasi yang non permeable (rapat) dapat terjadi beberapa hal: (1) angin tidak dapat masuk ke dalam tanaman yang padat dan angin dibelokkan melalui atas tajuk; (2) terjadi turbulensi pada sisi windward dan leeward; (3) kecepatan angin dikurangi sampai dengan jarak sepuluh kali tinggi pohon di belakang tanaman.

Aliran angin dalam vegetasi yang permeable: (1) angin disaring melalui pohon-pohonan; (2) sebagian angin dibelokkan melalui atas tajuk; (3) angin yang bertiup pelan menjaga turbulensi di atas permukaan tanah; (4) kecepatan angin dikurangi sampai dengan 30 kali tinggi pohon di belakang tanaman; (5) dapat berperan sebagai windbreak dengan melindungi areal leeward di belakang pohon dan dapat menciptakan turbulensi yang menyebabkan jatuhan partikel pada vegetasi. Tegakan semi-permeable (porositas 40-60 %) dapat melindungi areal

downwind sampai dengan 30 kali tinggi vegetasi. Tegakan pohon mempunyai keunggulan dalam mereduksi konsentrasi partikulat udara ambien karena memungkinkan aliran udara melalui tajuk dan meningkatkan tumbukan partikel pada permukaan vegetasi (Gardiner et al. 2006 diacu dalam Fuller 2009a).

(27)

Perbedaan lebar jalur hijau diduga menyebabkan perbedaan dalam mereduksi konsentrasi partikel timbal di udara ambien (Irwan 1997; Khan & Abbasi 2000; Shannigrahi et al. 2003; Fuller et al. 2009a) sehingga akan berpengaruh terhadap tingkat penurunan dan pola sebaran partikel timbal udara ambien di sekitar jalur hijau. Selain itu, perbedaan lebar jalur hijau menyebabkan perbedaan besarnya konsentrasi partikel timbal yang dapat dijerap. Tingkat keefektifan jalur hijau dalam mereduksi partikel timbal di udara ditentukan berdasarkan besarnya persentase penurunan konsentrasi partikel timbal sebelum dan sesudah melalui jalur hijau jalan. Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini seperti tersaji pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

Emisi Partikel Timbal Dari Kendaraan Bermotor

Jumlah Baris Tanaman Kerapatan Tanaman

Indeks Luas Daun

Penurunan Konsentrasi Partikel Timbal Udara

Angin

Turbulensi Hujan

Difusi Dispersi

Pola Sebaran Spasial Partikel Timbal di Areal Terbuka

Struktur Jalur Hijau Jalan

Efektivitas Penurunan Konsentrasi Partikel Timbal

Lebar Jalur Hijau

Pola Sebaran Spasial Partikel Timbal di Sekitar Jalur

Hijau Jalan Jerapan Partikel

(28)

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:

1) Mengkaji hubungan antara konsentrasi partikel timbal yang berasal dari emisi kendaraan bermotor dengan besarnya penurunan konsentrasi partikel timbal udara setelah melalui jalur hijau jalan;

2) Mengkaji lebar jalur hijau jalan yang efektif dalam menurunkan konsentrasi partikel timbal udara dari emisi kendaran bermotor;

3) Mengkaji pola jerapan konsentrasi partikel timbal oleh jalur hijau jalan; 4) Mengkaji pola spasial sebaran partikel timbal udara di sekitar jalur hijau

jalan.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1) Jalur hijau jalan mempunyai kemampuan menurunkan konsentrasi partikel timbal di udara yang diemisikan oleh kendaraan bermotor.

2) Semakin lebar jalur hijau jalan, maka akan semakin besar kemampuan dalam menurunkan konsentrasi partikel timbal udara.

3) Konsentrasi partikel timbal di udara semakin menurun dengan semakin jauh jaraknya dari jalan raya.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1) Memberikan kontribusi dalam pengembangan pengetahuan yang berkaitan dengan pencemaran udara, khususnya pengendalian pencemaran udara oleh tumbuhan.

2) Memberikan masukan kepada pihak pengelola jalur hijau jalan (Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Kota) dalam penataan jalur hijau jalan kaitannya dengan struktur jalur hijau jalan yang meliputi lebar jalur hijau, jumlah baris, kerapatan tanaman dan indeks luas daun.

(29)

Novelty (Kebaruan)

(30)

Hutan Kota

Hutan kota telah banyak didefinisikan oleh banyak pakar, pihak maupun berbagai forum. Dari berbagai definisi yang ada dapat ditarik persamaannya bahwa hutan kota merupakan ruang terbuka yang didominasi oleh vegetasi berkayu beserta asosiasinya yang terletak di daerah perkotaan, baik di tanah milik maupun tanah negara, yang memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada penduduk perkotaan. Lebih rinci definisi hutan kota seperti berikut :

(1) Fakultas Kehutanan IPB (1987) : hutan kota didefinisikan sebagai ruang terbuka yang ditumbuhi vegetasi berkayu di wilayah perkotaan, baik di tanah milik maupun negara, yang memberikan manfaat lingkungan sebesar-besarnya kepada penduduk perkotaan dalam kegunaan-kegunaan proteksi, estetika, rekreasi dan kegunaan khusus lainnya

(2) Rapat Teknis Departemen Kehutanan RI di Jakarta pada bulan Pebruari 1991 diacu dalam Dahlan (1991) : hutan kota didefinisikan sebagai suatu lahan yang bertumbuhan pepohonan di wilayah perkotaan, baik di tanah negara maupun di tanah milik yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan dalam hal pengaturan tata air, udara, habitat flora dan fauna yang memiliki nilai estetika dan dengan luas yang solid yang merupakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) pepohonan serta areal tersebut ditetapkan oleh pejabat berwenang sebagai hutan kota.

(3) Irwan (1987): hutan kota adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota, berbentuk jalur, menyebar, atau bergerombol (menumpuk) dengan struktur (menyerupai) hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa dan menimbulkan lingkungan sehat, nyaman dan estetika.

(4) Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 : hutan kota adalah hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang.

(31)

iklim, peredam kebisingan, debu dan bau, dengan tingkat intensitas pengelolaan

dalam kategori ”sedang”, jenis tanaman yang dikembangkan dapat dari berbagai habitus (perdu, semak dan pohon).

Kriteria vegetasi yang dapat dikembangkan untuk jalur hijau jalan menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan, adalah sebagai berikut: (1) kerapatan tajuk dengan kategori setengah rapat sampai rapat, dominan warna hijau, perakaran tidak

mengganggu pondasi; (2) kecepatan tumbuhnya tanaman tahunan; (3) didominasi oleh jenis tanaman berkayu (tahunan); (4) berupa habitat tanaman

lokal dan tanaman budidaya, dan (5) jarak tanaman setengah rapat sampai rapat, sekitar 90% dan luas areal harus dihijaukan. Selanjutnya di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan ditambahkan kriteria lain, antara lain: (1) perawakan dan bentuk tajuk cukup indah; (2) tajuk cukup rindang dan kompak, tetapi tidak terlalu gelap;(3) ukuran dan bentuk tajuk seimbang dengan tinggi pohon;(4) daun sebaiknya berukuran sempit (nanofill);(5) tidak menggugurkan daun; (6) daun tidak mudah rontok karena terpaan angin kencang.

Struktur Jalur Hijau

Struktur jalur hijau didefinisikan sebagai susunan spasial dan karakteristik vegetasi hubungannya dengan obyek lainnya (misal: bangunan di wilayah perkotaan), yang merupakan kumpulan statis bahan tanaman yang berada di atas permukaan atau di dalam tanah baik secara vertikal maupun horizontal di wilayah perkotaan atau wilayah yang masih dipengaruhi oleh aktivitas perkotaan (Sanders 1984; Irwan 1997; Nowak et al. 2002). Struktur dibedakan menurut berbagai karakteristik tanaman yang mencakup komposisi jenis, umur, dimensi ukuran, keanekaragaman hayati, kondisi kesehatan, kerapatan tanaman dan susunannnya dalam ruang fisik (Sanders, 1984) serta luas dan biomas daun (Nowak et al. 2002).

Irwan (1997) melihat struktur hutan kota secara vertikal yang mencakup : (1) Berstrata dua, yaitu komunitas tumbuh-tumbuhan hutan kota yang hanya

(32)

(2) Berstrata banyak, yaitu komunitas tumbuh-tumbuhan hutan kota selain terdiri dari pepohonan dan rumput juga terdapat semak, terna, liana, epifit. ditumbuhi banyak anakan dan penutup tanah, jarak tanam rapat tidak beraturan, dengan strata dan komposisi mengarah meniru komunitas tumbuh-tumbuhan hutan alam.

Struktur hutan kota ini mempengaruhi produksi dan pergerakan polutan di lingkungan. Hasil penelitian Irwan (1987) menunjukkan bahwa struktur hutan kota yang berstrata banyak lebih efektif dalam menanggulangi masalah lingkungan kota yang berhubungan dengan suhu udara, kebisingan, debu dan kelembaban udara. Bentuk tajuk pohon, juga berpengaruh terhadap keefektifan dalam meredam debu; tajuk pohon yang berbentuk bush (contoh: beringin) menyaring udara lebih cepat dan lebih banyak, sehingga merupakan pembersih udara yang lebih efektif dibandingkan yang bertajuk conus (misal : cemara, pinus) (Tanjung 2002).

Dalam skala yang luas, inventarisasi karakter strukur hutan kota yang dilaksanakan dengan survey lapangan membutuhkan waktu yang panjang dan biaya yang mahal serta memerlukan peng-udpate-an data secara periodik. Interpretasi foto udara telah digunakan, tetapi lambat dan biaya relatif mahal. Penggunaan teknologi spasial resolusi tinggi dan penginderaan jauh mempunyai kelebihan. Mekanisme

tracking atau monitoring kesehatan pohon untuk perubahan tutupan tajuk dapat dilakukan (Xiao et al. 2006).

Partikulat Pengertian Partikulat

(33)

pencemaran udara yang paling prevalens, kentara, dan biasanya paling berbahaya (Soedomo 2001).

Partikel individu tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, secara kolektif tampak seperti jelaga hitam, awan berdebu atau asap abu-abu. Karakteristik partikulat termasuk diantaranya ukuran, distribusi ukuran, bentuk kepadatan, kelengketan, sifat korosif, reaktivitas dan toksisitas. Salah satu karakteristik yang paling penting dari suspensi partikel adalah distribusi ukuran partikel. Ukuran partikel merupakan parameter terpenting untuk memberi ciri perilaku partikulat. Semua sifat partikulat bergantung sangat kuat pada ukuran partikel.

Ukuran partikel bervariasi dari 0,005 – 500 mikrometer (m), satu mikro meter yang setara dengan sepersejuta meter. Partikel dengan diameter kurang dari 2,5 mikron diketahui sebagai partikel halus; sedangkan lebih dari 2,5 mikron disebut partikel kasar. Partikel halus dengan diameter kurang dari 1 m, bergerak seperti gas. Oleh karena kecepatan jatuhnya rendah, partikel halus dapat diterbangkan sampai jarak 1000 km atau lebih dari sumbernya. Di bawah pengaruh gravitasi, partikel lebih besar yang tidak dapat disuspensikan cenderung mengendap sehingga dapat menyebabkan terjadinya wilayah-wilayah yang mempunyai deposit partikel tinggi (Beckett et al. 1998).

Partikulat dikuantifikasikan dalam Total Suspended Particulate (TSP) dengan satuan g . m-3 yang menunjukkan semua partikel yang ada di atmosfer. TSP merupakan indikator pertama yang digunakan untuk menjelaskan keberadaan partikel tersuspensi di udara ambien. Mulai Juli tahun 1987, Environmental Protection Agency (EPA) menggunakan indikator baru yaitu PM10 yang mencakup

(34)

dengan ukuran lebih besar, selain itu juga lebih mudah masuk ke bagian lebih dalam dari paru-paru.

Beberapa istilah bahan partikulat udara adalah sebagai berikut (Saeni 1989): (1) Asap (smoke) yaitu aerosol yang dihasilkan dari proses pembakaran tidak

sempurna, misalnya pembakaran bahan bakar minyak (oil smoke) dan tembakau (tobacco smoke). Aerosol ini dapat bertindak sebagai zat pencemar, karena mengandung gas CO yang dapat mengikat hemoglobin di dalam darah. Partikel-partikel asap dapat berupa bahan padat atau cair dan biasanya berdiameter kurang dari 1µm.

(2) Uap air (mist) dan kabut (fog) merupakan aerosol cair yang dihasilkan dari proses atominasi (pemecahan cairan) atau kondensasi. Jika ukuran partikelnya antara 5 dan 40 µm disebut kabut, sedangkan pada ukuran lebih dari 40 µm disebut uap air. Sebagai contoh adalah uap air yang mengandung sulfur dioksida (SO2 mist). Apabila kadar aerosol cukup tinggi dapat menyebabkan

radang paru-paru dan kepucatan pada daun-daun tanaman. Gas SO2 di atmosfir

sebagian besar berasal dari hasil pembakaran minyak bumi dan batu bata. (3) Debu (dust) merupakan aerosol padat yang terbentuk, karena proses pemisahan

suatu bahan secara mekanik, seperti penghancuran, penggilingan dan peledakan. Proses ini dapat terjadi, karena gesekan bahan dengan angin yang kencang atau pergeseran dengan bahan lain. Contohnya adalah debu semen (cement dust) dan debu dari unsur logam (metallurgical). Debu dianggap sebagai partikel bahan padat yang terbagi secara halus dengan ukuran berkisar dari 0,1 hingga 100 µm.

(4) Uap (fume) adalah aerosol padat yang terbentuk dari proses kondensasi uap, sublimasi atau hasil pembakaran suatu gas. Aerosol jenis ini banyak mengandung unsur logam alkali. Pada umumnya ukuran partikel uap kurang dari 1µm.

(35)

produk-produk reaksi fotokimia yang digabung dengan uap air. Partikel kabut asap berukuran lebih kecil dari 1 atau 2 µm.

(6) Spray adalah aerosol yang diterapkan pada produksi kaleng penyemprot aerosol dan biasanya berisikan bahan kosmetika atau insektisida. Bahan ini sering memakai pelarut berupa senyawa khlorofluorokarbon yang berfungsi sebagai zat pendorong (propellant). Pemakaian bahan ini telah mulai dikurangi atau diganti dengan hidrokarbon. Hal ini disebabkan oleh senyawa karbon yang mengandung klor, jika mencapai lapisan ozon akan bertindak sebagai katalis yang dapat menguraikan lapisan ozon.

(7) Awan adalah uap yang dibentuk pada tempat yang tinggi.

Sumber dan Komposisi Partikulat

Farmer (2002) menjelaskan bahwa partikulat dapat diturunkan dari berbagai sumber. Partikulat primer berasal langsung dari sumber, yang mencakup partikel tanah yang terbawa angin, pertambangan, pembakaran domestik dan industri, buangan kendaraan bermotor. Partikulat sekunder disebabkan oleh interaksi antara senyawa-senyawa lain di atmosfer, misal partikel nitrat yang terbentuk dari oksida nitrogen. Sumber partikulat primer yang diketahui berdampak signifikan pada vegetasi adalah: ekstraksi bahan-bahan mineral, terutama pertambangan; industri pengolahan mineral, misal semen dan pekerjaan pemupukan; penggunaan jalan; buangan kendaraan bermotor; sumberdaya alam, misal: badai debu dan gunung berapi.

Hasil studi di California USA menunjukkan bahwa kendaraan bermotor memberikan kontribusi 30-42 % partikel ambien, debu jalan 25-27 % dan aerosol laut 18-23 % (Chow et al. 1996 diacu dalam Beckett et al. 1998). Aktivitas kendaraan bermotor menghasilkan tembaga, seng, timbal dan nikel. Seng berasal dari ban kendaraan bermotor. Tembaga dan nikel berasal dari ausnya bagian-bagian kendaraan bermotor. Kalsium berasal dari resuspensi debu yang terdapat di permukaan tanah dan jalan yang terbawa oleh kendaraan bermotor (Lagerweff et al.

(36)

Pencemaran Timbal di Udara

Sumber utama pencemaran timbal di udara berasal dari emisi kendaraan bermotor berbahan bakar bensin. Sastrawijaya (1991) menjelaskan bahwa pembakaran bensin sebagai sumber pencemar lebih dari separuh pencemar udara di daerah perkotaan, yaitu sekitar 60-70 % dari total zat pencemar.

Timbal ditambahkan ke dalam bahan bakar kendaraan bermotor sebagai bahan aditif untuk memperbaiki mutu bakarnya. Bahan-bahan kimia yang ditambahkan tersebut dimaksudkan sebagai anti letup pada mesin, pencegah korosi, antioksidan deaktivator logam, anti pengembunan dan zat pewarna. Komponen-komponen Pb yang mengandung halogen terbentuk selama pembakaran bensin karena ke dalam bensin sering ditambahkan cairan antiletupan yang mengandung

scavenger kimia. Bahan antiletupan yang aktif terdiri dari tetraetil Pb atau Pb (C2H5)4, tetrametil Pb atau Pb (CH3)4 atau kombinasi dari keduanya. Umumnya

etilen dibromida (C2H4Br2) dan diklorida (C2H4Cl2) ditambahkan agar dapat bereaksi

dengan sisa senyawa Pb yang tertinggal di dalam mesin sebagai akibat dari pembakaran bahan anti letupan tersebut. Campuran atau komposisi yang lazim ditambahkan terdiri atas 62% tetraetil Pb, 18% etilen bromida, 18% etilen diklorida, dan 2% bahan-bahan lainnya (Fardiaz 1992).

Jumlah timbal yang ditambahkan ke dalam bensin berbeda-beda untuk tiap negara. Di Indonesia setiap liter jenis bensin dengan Riset Octane Number (RON) 88 Tanpa Timbal dapat ditambahkan timbal maksimal 0,013 g/l, sedangkan besin dengan RON 88 Bertimbal dapat ditambahkan timbal maksimal 0,3 g/l. Bensin dengan RON 91 dan RON 95 Tanpa Timbal, maksimal dapat ditambahkan timbal 0,013 g/l (Ditjen Migas 2006).

Oleh karena dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan timbal sebagai bahan aditif untuk bahan bakar, maka penggunaan timbal di negara maju dan sebagian negara sedang berkembang sudah dibatasi atau bahkan dilarang. Beberapa senyawa alternatif non logam, misalnya metanol, etanol, anilin dan eter pada dewasa ini dikembangkan untuk mengganti timbal sebagai bahan aditif. Salah satu diantara senyawa tersebut adalah Methyl Tertiary Buthyl Ether (MTBE), CH3OC4H9 sebagai

(37)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Polutan Udara

Penyebaran polutan udara dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor meteorologi dan faktor topografi. Beberapa faktor meteorologi yang perlu dipertimbangkan karena mempengaruhi penyebaran, pengangkutan, konsentrasi dan transformasi polutan udara di daerah perkotaan adalah sebagai berikut (Purnomohadi 1995; Santosa 2005):

(1) Angin

a) Arah dan Kecepatan Angin

Arah dan kecepatan angin merupakan faktor meteorologi yang paling berperan dalam menentukan dispersi konsentrasi dan penyebaran polutan di udara. Semakin tinggi kecepatan angin, pengenceran polutan udara semakin intensif. Konsentrasi polutan udara di satu titik searah angin berbanding terbalik dengan kecepatan anginnya. Jika angin berhembus lemah sekali, udara yang tercemar akan bergerak searah dengan arah tiupan angin dengan bentuk asap (plume) menyempit dan ramping, yang penyebarannya hanya dalam bentuk aliran difusi molekuler yang sangat lambat. Konsentrasi polutan udara di suatu tempat di dalam plume dapat lebih tinggi dibandingkan dengan yang ada di dekat mulut plume; dan dapat diabaikan bila ada di luar

plume.

Penelitian Razif dan Prasasti (2006) yang dilakukan di Pusat Kota Surabaya menjelaskan bahwa angin tidak memberikan pengaruh dominan terhadap penyebaran partikulat. Pengaruhnya hanya terjadi pada dini hari dengan perbedaan konsentrasi partikulat yang ditimbulkan. Untuk wilayah yang dekat dengan gedung bertingkat, maka partikulat akan dipantulkan, dengan penyebaran sesuai dengan bentuk gedung.

b) Fluktuasi Kecepatan Angin

(38)

(2) Kestabilan Atmosfer

Ketidakstabilan vertikal udara dapat menyebabkan turbulensi. Suhu atmosfer normal menurun dengan meningkatnya ketinggian. Laju penurunan suhu tersebut disebut lapse rate. Lapse rate 1oC/100 m disebut Dry Adiabatic Lapse Rate (DALR), yang penting sebagai lapse rate kritikal untuk menentukan pergerakan vertikal di atmosfer, karena berhubungan dengan mempertinggi atau menahan penyebaran polutan udara. Lapse rate dapat diklasifikasikan seperti pada Gambar 2 ( Vesilind et al. 1990).

Gambar 2 Lapse Rate yang Terjadi dan DALR (Vesilind et al. 1990)

DALR disebut sebagai neutral lapse rate atau neutral stability.

Superadiabatic lapse rate disebut sebagai strong lapse rate yang terjadi apabila suhu atmosfer lebih besar dari 1oC/100 m kenaikan ketinggian. Subadiabatic lapse rate disebut weak lapse rate yang dicirikan dengan penurunan suhu lebih kecil dari 1oC/100 m kenaikan ketinggian. Kasus khusus weak lapse rate adalah inversi, yang merupakan kondisi dimana udara hangat di atas udara dingin.

Selama superadiabatic lapse kondisi atmosfer berada dalam kondisi tidak stabil; subadiabatic dan inversi mencirikan kondisi atmosfer yang stabil. Dalam kondisi atmosfer yang tidak stabil, udara dapat bergerak bebas dari satu

100

Elevasi (m)

0

T – I o C Superadiabatik

Suhu (oC)

Adiabatik Subaadiabatik

Inversi

(39)

ketinggian ke ketinggian lain dan polutan udara disebar dengan bebas ke atas dan ke bawah. Sebaliknya apabila kondisi atmosfer stabil, pergerakan vertikal ditahan, artinya penyebaran polutan udara juga terhambat secara vertikal. 3) Inversi Suhu

Kadang-kadang suhu udara naik sejalan dengan ketinggian dalam lapisan yang terbatas disebut inversi suhu. Lapisan inversi suhu ini sangat stabil, sehingga membatasi proses perkembangan awan dan proses pencampuran vertikal antara udara yang tercemar dengan udara atas yang lebih bersih (pertukaran udara vertikal hampir terhambat sempurna). Inversi dapat terjadi di dekat permukaan tanah atau dasar inversi ada pada ketinggian tertentu. Pertukaran udara vertikal terjadi di bawah inversi, karena inversi bertindak sebagai tutup. Apabila terdapat polutan, maka konsentrasi polutan udara akan tinggi di bawah inversi (Fardiaz 1992; Purnomohadi 1995).

4) Faktor meteorologi lainnya

Faktor-faktor meteorologi lain yang mempengaruhi konsentrasi polutan mencakup radiasi matahari, presipitasi dan kelembaban. Radiasi matahari berperan dalam pembentukan ozon yang merupakan polutan sekunder di udara. Kelembaban dan presipitasi juga dapat menyebabkan terjadinya polutan sekunder seperti hujan asam. Presipitasi juga memberikan manfaat dalam mencuci polutan gas dan partikel dari udara (Purnomohadi 1995).

Konsentrasi polutan selain dipengaruhi oleh kondisi atmosfer, juga dipengaruhi oleh topografi. Konsentrasi polutan udara akan lebih besar apabila terletak pada daerah lembah atau cekungan. Polutan yang dibuang di atmosfer pada malam hari yang biasanya terjadi inversi suhu (makin ke atas makin tinggi suhunya) akan mengalami hambatan untuk naik ke atas. Akibatnya polutan akan turun ke bawah terakumulasi dalam cekungan. Demikian juga jika letak sumber pencemar di pantai, maka akan sangat dipengaruhi pola aliran angin laut dan angin darat (Purnomohadi 1995).

(40)

Teori Penurunan Polutan Udara Partikulat oleh Vegetasi

Transportasi Partikulat ke Vegetasi

Pergerakan polutan udara dari sumbernya ke vegetasi terjadi karena adanya angin dan turbulensi. Selama transpor di atmosfer, polutan didispersikan oleh aksi turbulensi dan mengalami proses kimia (sebagian besar oksidasi), yang mentransformasikan polutan gas primer menjadi polutan sekunder, dan sering menjadi aerosol (Fowler 2002).

Lerman dan Darley (1975) menyimpulkan dari berbagai penelitian bahwa akumulasi timbal oleh vegetasi dekat jalan raya tergantung pada kepadatan lalulintas dan secara umum menurun apabila semakin jauh dari jalan. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya kandungan timbal di jalan raya di daerah perkotaan adalah rendahnya kecepatan angin, tidak adanya hujan, adanya gedung-gedung yang tinggi, jalan raya yang sempit dan kemacetan lalu lintas (Ali et al. 1986), layout jalan dan keberadaan jalur hijau (El-Gamal 2000). Bahan-bahan partikulat dapat terakumulasi tidak hanya di daerah-daerah yang berdekatan dengan sumber pencemaran saja tetapi dapat juga di daerah-daerah yang lebih jauh. Partikulat dengan ukuran yang lebih besar dan berat diakumulasikan di dekat sumber pencemaran, sedangkan partikulat dengan ukuran yang lebih kecil dan ringan akan mengalami penyebaran yang lebih jauh dari sumber pencemaran (Chamberlain et al. 1978).

Transpor gas dan aerosol dari atmosfer ke permukaan tanah oleh turbulensi yang terjadi karena adanya friksi permukaan dengan angin. Turbulensi dikuantifikasikan oleh sebuah momentum difusivitas turbulen yang besarnya tergantung pada kecepatan angin, stabilitas atmosfer dan kekasaran permukaan (roughness). Turbulensi akan mempengaruhi tingkat deposisi gas dan partikulat ke suatu permukaan obyek, selain proses yang tejadi di permukaan tersebut dalam pengambilan gas atau penangkapan partikel (Beckett et al. 1998).

Sebelum mengalami benturan dengan vegetasi, partikel mengalami beberapa proses di atmosfer seperti berikut: sedimentasi, difusi, turbulensi, pencucian, deposisi. Deposisi PM10 dan polutan lain dalam air hujan yang mengikuti proses

(41)

Pengendapan partikulat di atas permukaan tanaman dapat terjadi melalui proses difusi Brown, benturan, intersepsi, dan sedimentasi. Partikel-partikel partikulat yang berukuran < 1µm seperti timbal yang berasal dari proses pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor yang berukuran 0,04 – 1µm dan asap yang berasal dari industri dan rumah tangga yang berukuran 0,01 - 1µm diendapkan melalui difusi Brown. Mekanisme difusi Brown mirip dengan difusi gas; perbedaannya bahwa gas yang diserap dapat masuk ke dalam jaringan tanaman tetapi pada difusi Brown, partikulat hanya melekat di bagian luar jaringan tanaman, seperti: daun dan batang. Partikulat yang diendapkan melalui difusi Brown, akan melekat kuat di permukaan tanaman sehingga tidak dapat diterbangkan angin (Forman & Godron 1986; Smith 1978 diacu dalam Miller 1988).

Proses benturan terjadi bila aliran massa udara yang mengandung partikulat pada waktu mendekati suatu penghalang, seperti: tanaman, alirannya akan dibelokkan. Waktu dibelokkan, aliran massa udara terbagi tetapi partikel-partikel yang ada di dalam massa udara cenderung terus melewati penghalang tetapi karena kekuatannya berkurang maka berhenti dan jatuh di daerah sekitar penghalang. Pengendapan melalui proses benturan terjadi pada partikel-partikel partikulat yang berukuran besar. Efisiensi pengendapan melalui proses benturan bertambah dengan berkurangnya diameter penghalang (Robinson 1984)

Proses intersepsi terjadi bila massa udara yang mengandung partikel-partikel partikulat pada waktu mendekati penghalang, alirannya tidak dibelokkan tetapi menyentuh permukaan penghalang. Daun-daun tanaman yang berbulu menangkap partikel-partikel partikulat melalui proses intersepsi (Robinson 1984)

Proses sedimentasi terjadi karena pengaruh gravitasi. Proses ini penting terutama pada partikel berukuran besar. Hal ini disebabkan massa partikel-partikel yang berukuran besar cenderung lebih berat, sehingga mempercepat proses pengendapannya (Robinson 1984).

(42)

sedimentasi; sedangkan untuk partikel kecil didominasi oleh Difusi Brownian, meningkat dengan menurunnya ukuran partikel. Partikel dengan ukuran 0,1-2,0 µm terbatas gerakannya melalui leaf boundar layer (lapisan batas daun).

Gambar 3 Profil kecepatan deposisi patikulat dengan ukuran partikel yang berbeda dan mekanisme deposisi yang dominan (QUARG 1996 diacu dalam Cavanagh 2006).

Banyaknya akumulasi partikulat pada tanaman tergantung pada: jarak dari tepi jalan raya, luas permukaan daun yang berhubungan secara langsung dengan udara bebas, sifat permukaan daun, kulit ranting/batang dan buah yang dimiliki tanaman, lamanya tanaman tersebut berhubungan langsung dengan udara bebas, kepadatan lalu lintas, arah angin dan curah hujan (Page et al., 1971 diacu dalam Taihuttu 2001).

Mekanisme Tanaman dalam Menurunkan Kandungan Partikulat Udara Ambien

Yang (2005) menjelaskan bahwa pohon dapat mengurangi polutan dalam dua cara: 1) dengan pengurangan langsung dari udara; 2) dengan menghindari emisi polutan udara. Pengurangan secara langsung, pohon dapat mengabsorpsi polutan gas seperti SO2, NO2 dan ozon melalui stomata daun dan juga dapat melarutkan polutan

(43)

dengan naungan langsung dan evapotranspirasi, sehingga emisi polutan udara dari penggunaan mesin pendingin dapat dikurangi. Selain itu, penurunan suhu udara dapat mengurangi aktivitas reaksi kimia yang dapat menghasilkan polutan sekunder.

Partikel ditangkap oleh tanaman dengan berbagai proses tumbukan. Partikel dalam aliran udara siap ditangkap oleh permukaan yang lembab, kasar dan bermuatan listrik. Selanjutnya dapat juga disuspensikan oleh tumbukan berikutnya. Mc Pherson et al. (1994) diacu dalam Beckett et al. (1998) menduga bahwa dalam model intersepsi PM10 oleh pohon-pohon kota, 50 % partikel diresuspensi dengan

kondisi meteorologi normal. Gaya elektrostatik dan radiometrik kurang penting dalam penarikan partikel dalam lingkungan alam.

Penahanan partikel meningkat jika mempunyai massa relatif tinggi atau jika mengenai obyek yang mempunyai sifat lengket (sticky) . Walaupun demikian pada kecepatan angin relatif tinggi dapat dikurangi sampai mendekati nol karena meningkatnya “bounce off”. Mekanisme tumbukan partikel dengan suatu obyek (permukaan) seperti pada Gambar 4. Intersepsi langsung terjadi ketika partikel dideposisikan oleh aliran udara atau gaya gravitasi pada permukaan, tumbukan inersi terjadi ketika momentum partikel membawanya melalui aliran udara yang membelok mengelilingi permukaan. Partikel juga dijatuhkan sesuai arah angin pada obyek yang cocok, seperti daun atau batang, karena aksi turbulensi arus eddy (Beckett et al. 1998).

Gambar 4 Mekanisme tumbukan partikel dengan obyek (permukaan). Tumbukan Inersia

Intersepsi Langsung

Tarikan Elektrostatik

(44)

Tumbuhan mempunyai kemampuan dalam menetralisir konsentrasi polutan sampai titik kritis yang menyebabkan kerusakan fisik. Titik kritis dari setiap tanaman terhadap polutan partikulat bervariasi. Carborn (1965) diacu dalam Beckett

et al. (1998) mengindentifikasi mekanisme beberapa jenis pohon untuk menghindari kerusakan secara spesifik dari partikel. Hal ini mencakup perubahan waktu munculnya tunas atau gugurnya daun, dan kemampuan untuk menghasilkan daun baru ketika rusak. Oleh karena alasan ini dan mekanisme fisiologi yang lain, beberapa pohon dapat tumbuh lebih baik pada kondisi yang berpolutan. Tanaman yang mempunyai konduktansi stomata yang tinggi sebaiknya ditanam pada hot-spot

polusi tinggi untuk mengabsorp kontaminan sehingga dapat memperbaiki kualitas udara.

Pohon-pohonan dengan daun, ranting dan cabang yang padat membentuk sebuah permukaan aerodinamik yang sangat efektif mereduksi polutan udara melalui proses deposisi kering. Pereduksian polutan udara pada waktu dan tempat tertentu dapat dihitung dengan persamaan (Nowak et al. 2002) :

Q adalah jumlah polutan yang direduksi oleh pohon pada waktu tertentu, F adalah flux polutan , L adalah total penutupan tajuk pada suatu wilayah, T adalah periode waktu. Flux polutan (F) dihitung dengan :

Vd merupakan kecepatan deposisi kering, C adalah konsentrasi polutan di udara.

Kemampuan tumbuhan dalam mereduksi pencemaran udara secara umum dipengaruhi oleh beberapa faktor (Smith 1981; Dahlan, 1991; Beckett et al. 1998; de Santo, 1976 dan Hicks 1978 diacu dalamPurnomohadi 1995;Farmer, 2002; Lei et al. 2006) :

(1) Jenis Tumbuhan Khusus berkaitan dengan sifat-sifat sebagai berikut :

(a) Kekasaran permukaan daun. Semakin kasar permukaan daun, maka kemampuan dalam mengendapkan dan mengakumulasi timbal akan semakin besar dibandingkan dengan permukaan daun yang licin dan berlilin.

Q = F x L x T

(45)

(b) Karakter fisiologis: laju transpirasi; ketahanan difusi stomata, tajuk dan mesofil; penjerapan dan penyerapan zat pencemaran udara; mekanisme aktivitas enzim selama proses detoksasi oksigen aktif.

(c) Masa hidup daun. Daun yang mempunyai masa hidup lebih panjang mempunyai periode waktu yang lebih besar dalam mengakumulasikan polutan.

(d) Struktur ranting dan batang: ranting pohon yang kulitnya berbulu dengan arah percabangan horisontal atau berbentuk V ke atas akan lebih efektif menjerap dan mengintersepsi debu, timbal dan seng dibandingkan dengan percabangan yang menggantung ke arah tanah. Demikian pula kulit batang dan ranting yang berbulu lebih efektif dibandingkan yang kulitnya licin berlilin, sebab partikel timbal lebih mudah tercuci air hujan atau mudah tertiup angin.

(e) Ukuran, bentuk dan kebasahan (wetness) dan tekstur permukaan daun maupun partikel.

(f) Ukuran stomata. Partikel yang mempunyai ukuran lebih kecil dari celah stomata, maka selain dapat dijerap oleh daun pada permukaannya, juga dapat diserap masuk ke dalam daun lewat lubang stomata. Ukuran panjang stomata sekitar 10µm dan lebarnya sekitar 2-7 µm.

(2) Disain Pertanaman dan Arsitektur Lansekap

Komposisi tanaman yang diatur sesuai dengan fungsi-fungsi ekologisnya dapat lebih efektif dalam meredam polutan udara. Hal ini dapat dilakukan dengan penanaman tumbuhan yang mempunyai sifat dan kemampuan berbeda dalam meredam polutan udara, menerapkan pola multi-strata tajuk dan campuran berlapis, serta berbagai jenis yang berbeda ukuran daun dan kerimbuhan tajuknya.

(46)

Taihuttu (2001) telah melakukan penelitian mengenai kemampuan jerapan dan pertambahan jerapan partikulat beberapa tanaman penghijauan yang dilaksanakan di DKI Jakarta, dengan hasil seperti tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1 Kemampuan jerapan dan pertambahan jerapan partikulat beberapa jenis tanaman penghijauan (studi kasus di DKI Jakarta)

No. Tingkat jerapan dan pertambahan jerapan partikulat

Sifat morfologi daun Jenis tanaman yang diteliti

1. Sangat Tinggi Berdaun Jarum Cemara kipas (Thuja orientalis L.),

Pinus (Pinus merkusii Jungh. & de

Vriese)

2. Tinggi Berdaun besar, permukaan

kasar dan berbulu

Meranti merah (Shorea leprosula Miq)

Mahoni (Swietenia macrophylla King)

3. Sedang Berdaun kecil, permukaan

kasar dan berbulu

Tembesi (Samanea saman Jacq.)

Saga (Adenanthera microsperma T &

B)

4. Rendah Berdaun besar,

permukaan licin

Tanjung (Mimusops elengi L.)

Kesumba (Bixa orellana L.)

5. Sangat Rendah Berdaun kecil, permukaan

licin

Kembang merak (Caesalpinia

pulcherrima L.),

Asam landi (Pithecelobium dulce

(47)

METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di jalur hijau jalan yang terdapat di Jalan Tol Jagorawi (Jakarta-Bogor-Ciawi). Analisis konsentrasi partikel timbal udara dilaksanakan di Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB. Untuk analisis konsentrasi jerapan timbal oleh daun dilaksanakan di Laboratorium Biokimia FMIPA IPB.

Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2010 sampai dengan bulan Oktober 2011 mulai dari perijinan, persiapan, pelaksanaan dan analisis di laboratorium.

Disain Penelitan

Struktur utama jalur hijau yang digunakan untuk mengkaji perbedaan keefektifan dalam mereduksi partikel timbal adalah lebar jalur hijau. Oleh karena itu perlu dicari plot-plot penelitian yang mewakili perbedaan lebar jalur hijau. Pada penelitian ini dibatasi pada tiga lebar jalur hijau. Untuk membedakan lebar jalur hijau di lapangan, maka digunakan jumah baris yaitu : (1) satu baris; (2) dua baris; (3) lebih dari dua baris. Selain plot yang berupa jalur hijau, juga terdapat plot yang berupa jalur terbuka; plot ini berfungsi sebagai pembanding atau kontrol. Untuk leb

Gambar

Tabel 1      Kemampuan jerapan dan pertambahan jerapan partikulat beberapa jenis  tanaman penghijauan (studi kasus di DKI Jakarta)
Gambar  8    Sketsa  lokasi  pengambilan  sampel  udara  untuk  pengukuran  konsentrasi   partikel timbal udara sekitar jalur hijau (lebih dari dua baris)
Gambar  9    Sketsa  lokasi  pengambilan  sampel  udara  untuk  pengukuran  konsentrasi   partikel timbal  udara  di daerah terbuka
Gambar  13    Sketsa  lokasi  pengambilan  sampel  udara  untuk  pengukuran  konsentrasi   timbal udara ambien di sekitar jalur hijau
+7

Referensi

Dokumen terkait

UPT dan Perangkat Daerah yang berbentuk Rumah Sakit yang sudah dibentuk tetap melaksanakan tugasnya sampai dengan ditetapkannya Peraturan Walikota tentang

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan Gubernur Jawa Timur tentang Pemberian Penghargaan Bagi Pegawai Aparatur

Dalam konteks yang lebih luas, aktivitas investor relations digunakan sebagai alat untuk mengurangi asimetri informasi antara perusahaan dengan pelaku pasar, dengan

Hal ini tentu akan menghambat serta memerlukan waktu yang cukup lama dalam proses pencatatan data disana, namun penulis berusaha untuk membuat suatu program yang

Sistem yang dirancang adalah sistem layanan pemesanan dan antrian pada dapur restoran, dimana customer yang datang dapat melakukan pemesanan melalui PC yang

Pada penelitian ini, kemampuan komunikasi yang digunakan yaitu kemampuan komunikasi berdasakan gender meliputi mengekspresikan ide- ide matematika melalui lisan,

so before he meet my family, we have to talk properly, not just basic talking, we just real talk and then I show and I introduce him to my family that this is my partner, he want

Dengan menggunakan Unity3D diharapkan aplikasi ini akan berguna bagi pengguna untuk menampilkan informasi gedung BAKP dan UPMS secara interaktif dan akurat baik