• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknik pemanfaatan anakan alam puspa (Schima Wallichii (DC.) Korth.) di hutan pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Teknik pemanfaatan anakan alam puspa (Schima Wallichii (DC.) Korth.) di hutan pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

FITRI APRIANTI. Teknik Pemanfaatan Anakan Alam Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi. Dibimbing oleh CAHYO WIBOWO.

Teknik pemanfaatan anakan alam puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi bertujuan untuk mempelajari teknik-teknik pemanfaatan anakan alam puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) dan mempelajari respon/perlakuan anakan alam puspa yang dimanfaatkan secara cabutan dan puteran. Pengujian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan yaitu:

teknik cabutan dengan tinggi tanaman 2−29 cm, teknik cabutan dengan tinggi tanaman ≥ 30 cm,

teknik cabutan dengan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman 2−29 cm, teknik cabutan

dengan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman ≥ 30 cm, teknik puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm, dan teknik puteran dengan tinggi tanaman ≥ 30 cm. Pertambahan tinggi dan

pertambahan jumlah daun teknik puteran dengan tinggi ≥ 30 cm memiliki respon terbaik dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Tanaman dengan tinggi tanaman ≥ 30 cm mempunyai

biomassa yang lebih besar sehingga mempunyai persediaan air yang lebih banyak dan lebih tahan terhadap kekeringan. Namun, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara keenam teknik pemanfaatan anakan alam puspa dalam hal persentase bibit hidup, persentase daun kering dan persentase daun gugur.

Kata kunci : Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Schima wallichii, teknik cabutan, teknik puteran

ABSTRACT

FITRI APRIANTI. Techniques of Utilization of Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) Wildlings in Gunung Walat University Forest (GWUF), Sukabumi. Under academic supervision of CAHYO WIBOWO.

The objectives of this study were learning the techniques of utilizing puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) wildlings in Gunung Walat (GWUF), Sukabumi, as planting stocks and studying the respond of these wildlings which were utilized as bare root (uprooted) plants and earth balled plants. Experiment for this purpose was conducted as completely randomized design (CRD) with six treatments, namely: bare root (uprooted) plants with plant heights of

2−29 cm, bare root (uprooted) plants withplant heights of ≥ 30 cm, bare root (uprooted) plants with initial plant heights of 2−29 cm accompanied with soil loosening, bare root (uprooted) plants with initial plant heights of ≥ 30 cm accompanied with soil loosening, earth balled plants with initial plant height of 2−29 cm, and earth balled plants with initial plant height of ≥ 30 cm.

Increment of height and number of leaves for earth balled plants with initial height of ≥ 30 cm

showed the best respond as compared with other treatments. Plants with initial height of ≥ 30 cm possessed greater biomass and possessed more water and are therefore more resistant toward desiccation. However, there were no significant difference between the six techniques (treatments) of utilizing puspa wildlings in terms of survival percentage, percentage of desiccated leaves, and percentage of shed leaves.

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) memiliki kondisi penutupan lahan dengan berbagai jenis vegetasi yang dapat dimanfaatkan sebagai permudaan (anakan alam). Permudaan hutan merupakan proses regenerasi tegakan hutan yang dapat dilakukan secara alami (permudaan alami), maupun buatan (permudaan buatan). Permudaan alami adalah proses regenerasi tegakan hutan yang mengandalkan proses alam tanpa ada penanganan manusia dalam setiap tahapan proses perkembangan tegakan hutan, sedangkan permudaan buatan adalah proses regenerasi tegakan hutan yang dilakukan oleh manusia melalui penerapan aspek-aspek budidaya hutan (Indriyanto 2008).

Dorongan untuk menghutankan kembali suatu kawasan hutan dapat timbul karena alasan ekonomi, sosial, maupun ekologi. Alasan ekonomi didasarkan pada persediaan dan permintaan kayu, sedangkan alasan sosial dan ekologi didasarkan adanya manfaat yang dapat dirasakan, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk kehidupan masyarakat di sekitar hutan serta lingkungan yang dipengaruhinya.

Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) di Hutan Pendidikan Gunung Walat dapat dijadikan sebagai penghasil anakan alam karena termasuk salah satu pohon dalam ekosistem hutan yang tumbuh pada tanah kering dengan tingkat kesuburan tanah yang rendah, sehingga berpotensi untuk dikembangkan menjadi hutan tanaman (Firmansyah 2006). Dalam penelitian Widodo (2003) puspa dapat dijadikan sebagai tanaman revegetasi karena relatif tidak sulit untuk dikembangkan dilapangan dan termasuk salah satu tanaman yang resisten terhadap kebakaran

Teknik perbanyakan dalam rangka permudaan ini dapat dilakukan menggunakan biji ataupun anakan/semai alam. Teknik perbanyakan menggunakan anakan dapat dilakukan melalui teknik puteran atau cabutan. Pada penelitian ini, dilakukan perbanyakan dengan jalan pemanfaatan anakan alam puspa melalui puteran dan cabutan dengan berbagai ukuran tinggi guna pengadaaan bibit puspa di kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW).

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini yaitu mempelajari teknik-teknik pemanfaatan anakan alam puspa (S. wallichii) dan mempelajari respon/perlakuan anakan alam puspa yang dimanfaatkan secara cabutan dan puteran.

Manfaat

(3)

bahan rekomendasi mengenai teknik pemanfaatan anakan alam puspa, khususnya di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW).

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth)

Pohon puspa yang berasal dari famili Theaceae merupakan jenis kayu pertukangan. Puspa memiliki nama daerah simar tolu, madang bungkar (Sumatra), huru manuk (sunda), seru (Jawa), merang surau (Kalimantan). Klasifikasinya adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Theales

Famili : Theaceae Genus : Schima

Spesies : S. wallichii (DC.) Korth.

Puspa (Schima walichii (DC.) Korth.)

Puspa memiliki 9 sub spesies, di antaranya bacana, noronhae, tetapi antar sub spesies tersebut tidak menunjukkan adanya perbedaan yang mencolok. Lingkaran tumbuh tidak teratur, berganti-ganti sempit dan lebar, batas lingkaran tumbuh kabur, pori-pori tidak teratur rapih. Susunan antara dua jari-jari kayu terdapat dua pertiga pori-pori merupakan beberapa ciri dari kayu puspa (Gambar 1a).

Pohon puspa bisa mencapai tinggi ± 47 meter, dengan diameter batang dapat mencapai 127 cm, kadang-kadang memiliki banir 1.8 meter, berdaun tunggal

berbentuk lanset dengan ukuran 2.5−30 cm x 1.5−10 cm, pangkal dan ujung

daunnya meruncing. Daun muda puspa umumnya berwarna merah, merah muda, dan atau ungu. Bunganya soliter atau tandan terdapat pada ketiak dan termasuk pohon yang berbunga sepanjang tahun. Buah puspa berbentuk bulat, diameter mampu mencapai 0.5 sampai 2.5 cm. Pohon puspa ini juga memiliki biji yang

berbentuk ginjal dengan ukuran 6−12 cm x 3−7cm (Gambar 1b).

(4)

bahan rekomendasi mengenai teknik pemanfaatan anakan alam puspa, khususnya di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW).

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth)

Pohon puspa yang berasal dari famili Theaceae merupakan jenis kayu pertukangan. Puspa memiliki nama daerah simar tolu, madang bungkar (Sumatra), huru manuk (sunda), seru (Jawa), merang surau (Kalimantan). Klasifikasinya adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Theales

Famili : Theaceae Genus : Schima

Spesies : S. wallichii (DC.) Korth.

Puspa (Schima walichii (DC.) Korth.)

Puspa memiliki 9 sub spesies, di antaranya bacana, noronhae, tetapi antar sub spesies tersebut tidak menunjukkan adanya perbedaan yang mencolok. Lingkaran tumbuh tidak teratur, berganti-ganti sempit dan lebar, batas lingkaran tumbuh kabur, pori-pori tidak teratur rapih. Susunan antara dua jari-jari kayu terdapat dua pertiga pori-pori merupakan beberapa ciri dari kayu puspa (Gambar 1a).

Pohon puspa bisa mencapai tinggi ± 47 meter, dengan diameter batang dapat mencapai 127 cm, kadang-kadang memiliki banir 1.8 meter, berdaun tunggal

berbentuk lanset dengan ukuran 2.5−30 cm x 1.5−10 cm, pangkal dan ujung

daunnya meruncing. Daun muda puspa umumnya berwarna merah, merah muda, dan atau ungu. Bunganya soliter atau tandan terdapat pada ketiak dan termasuk pohon yang berbunga sepanjang tahun. Buah puspa berbentuk bulat, diameter mampu mencapai 0.5 sampai 2.5 cm. Pohon puspa ini juga memiliki biji yang

berbentuk ginjal dengan ukuran 6−12 cm x 3−7cm (Gambar 1b).

(5)

Kayu puspa merupakan kayu pertukangan yang bermutu baik dan sering digunakan sebagai bahan bangunan. Kayu ini dianggap lebih baik dijadikan sebagai tiang penyangga rumah, kusen pintu, panil kayu, lantai rumah, perabotan rumah tangga, dan bahan pembuat perahu. Kayu puspa juga baik sebagai kayu lapis, dan papan serat.

Ekologi

Puspa mampu hidup pada berbagai kondisi tanah, iklim, dan habitat. Tumbuh melimpah di hutan primer dataran rendah hingga pegunungan, pohon ini juga umum dijumpai di hutan-hutan sekunder dan wilayah yang terganggu, bahkan juga di padang ilalang. Bisa hidup hingga ketinggian 5−3.900 m dpl. Puspa tidak memilih-milih kondisi tekstur dan kesuburan tanah. Meski lebih menyukai tanah yang berdrainase baik, pohon puspa diketahui mampu tumbuh baik di daerah rawa dan tepian sungai. Puspa merupakan tumbuhan asli di India, Nepal, Burma, Cina, Vietnam, Laos, Thailand, Malaysia, Indonesia, Brunei, Filipina, dan Papua Nugini, sedangkan di Indonesia pohon puspa memiliki tempat tumbuh di daerah Pulau jawa, Pulau sumatera, pulau Kalimantan. Penyebaran secara alami di Indonesia terutama terdapat di Jawa Barat. Tumbuhan ini berkelompok membentuk hutan primer maupun hutan sekunder, kadang-kadang tersebar di daerah yang selalu lembab. Di Jawa Barat sering kali terdapat pada

ketinggian 100−1500 m dpl (Bloembergen 1952).

METODOLOGI

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan September 2012.

Alat dan Bahan

(6)

Kayu puspa merupakan kayu pertukangan yang bermutu baik dan sering digunakan sebagai bahan bangunan. Kayu ini dianggap lebih baik dijadikan sebagai tiang penyangga rumah, kusen pintu, panil kayu, lantai rumah, perabotan rumah tangga, dan bahan pembuat perahu. Kayu puspa juga baik sebagai kayu lapis, dan papan serat.

Ekologi

Puspa mampu hidup pada berbagai kondisi tanah, iklim, dan habitat. Tumbuh melimpah di hutan primer dataran rendah hingga pegunungan, pohon ini juga umum dijumpai di hutan-hutan sekunder dan wilayah yang terganggu, bahkan juga di padang ilalang. Bisa hidup hingga ketinggian 5−3.900 m dpl. Puspa tidak memilih-milih kondisi tekstur dan kesuburan tanah. Meski lebih menyukai tanah yang berdrainase baik, pohon puspa diketahui mampu tumbuh baik di daerah rawa dan tepian sungai. Puspa merupakan tumbuhan asli di India, Nepal, Burma, Cina, Vietnam, Laos, Thailand, Malaysia, Indonesia, Brunei, Filipina, dan Papua Nugini, sedangkan di Indonesia pohon puspa memiliki tempat tumbuh di daerah Pulau jawa, Pulau sumatera, pulau Kalimantan. Penyebaran secara alami di Indonesia terutama terdapat di Jawa Barat. Tumbuhan ini berkelompok membentuk hutan primer maupun hutan sekunder, kadang-kadang tersebar di daerah yang selalu lembab. Di Jawa Barat sering kali terdapat pada

ketinggian 100−1500 m dpl (Bloembergen 1952).

METODOLOGI

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan September 2012.

Alat dan Bahan

(7)

Prosedur Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu persiapan bibit, pengangkutan, penyapihan, pemeliharan, pengamatan, pengambilan data, serta perancangan percobaan dan analisis data.

Persiapan

Anakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah anakan alam puspa. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan yaitu:

1. Teknik cabutan dengan tinggi tanaman 2−29 cm, 2. Teknik cabutan dengan tinggi tanaman ≥30 cm,

3. Teknik cabutan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman 2−29 cm, 4. Teknik cabutan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman ≥30 cm, 5. Teknik puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm,

6. Teknik puteran dengan tinggi tanaman ≥30 cm.

Setiap perlakuan terdiri dari 15 ulangan, dan satu ulangan adalah satu tanaman dalam satu polibag, sehingga jumlah tanaman untuk seluruh perlakuan (6 x 15) menjadi 90 tanaman.

Tahapan persiapan yang dimaksud adalah pengadaan bibit dan persiapan media. Bibit yang digunakan merupakan hasil dari cabutan tanpa penggemburan tanah, cabutan dengan penggemburan tanah, dan puteran dari kawasan hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW).

Media tanam yang digunakan adalah tanah 100% yang ditempatkan dalam polibag dengan tinggi 13 cm, diameter 14 cm untuk tinggi tanaman ≥30 cm; dan

polibag dengan tinggi 8 cm, diameter 9 cm untuk tinggi tanaman 2−29 cm.

Perbedaan ukuran polibag ini disesuaikan dengan ukuran tanaman.

Persiapan yang dilaksanakan untuk menghindari kematian anakan setelah dicabut adalah mempersiapkan ember berisi kertas koran yang diberi air, agar anakan yang telah dicabut tersebut tetap mendapatkan kelembaban. Pada perlakuan puteran anakan yang akarnya masih utuh diselimuti oleh tanah dimasukan kedalam polibag dan ini dilakukan langsung di lapangan untuk meminimalisir kerusakan puteran tersebut. Teknik yang dilakukan dalam penelitian ini ada tiga macam yaitu cabutan langsung, cabutan dengan penggemburan tanah, dan puteran.

Teknik cabutan langsung adalah mencabut anakan dari tempat tumbuhnya dengan cara memegang bibit di bagian bawah sedekat mungkin dengan tanah, kemudian bibit ditarik tegak lurus searah batang (Gambar 2a). Hal tersebut dilakukan pada tanah yang gembur. Jika media tumbuh tanaman tersebut padat maka dilakuakan pemberian air terlebih dahulu agar memudahkan proses pencabutan.

(8)

Teknik puteran adalah pengambilan tanaman lengkap dengan tanahnya. Pengambilan tersebut dilakukan dengan cara menghujamkan golok/pisau ke dalam tanah, sampai kedalaman ± 20 cm membentuk lingkaran sekeliling anakan yang akan diambil. Tanah diluar lingkaran tersebut digemburkan agar mempermudah pengambilan puteran. Jarak antara batang tanaman dengan golok adalah sekitar 5 cm (membentuk jari jari lingkaran ± 5 cm) (Gambar 2c). Untuk puteran, tanah yang dipilih adalah tanah yang kompak dan padat karena akan lebih mudah mendapatkan puteran tanah yang tidak hancur. Teknik-teknik tersebut

berlaku sama untuk tinggi tanaman 2−29 cm maupun yang ≥30 cm.

Gambar 2 Teknik pemanfaatan anakan: (a) cabutan langsung; (b) cabutan dengan penggemburan tanah; (c) puteran

Pengangkutan

Pengangkutan dilakukan setelah semua tanaman selesai dikumpulkan. Tanaman dengan teknik cabutan dikumpulkan di dalam ember yang berisi kertas koran yang sudah dibasahi, karena akar perlu dihindarkan dari sengatan cahaya matahari (Dahlan 1992), sedangkan tanaman hasil teknik puteran dimasukan ke dalam polibag di lapangan untuk mengurangi kerusakan hasil puteran tersebut. Semua tanaman kemudian dikumpulkan dalam gerobak dorong dan dibawa sampai kepersemaian.

Gambar 3 Hasil teknik pemanfaatan anakan alam puspa: (a) cabutan; (b) puteran Penyapihan

(9)

bibit ditanam dalam polibag, kemudian diberi label dan disusun berdasarkan rencana layout (Lampiran 1)

Gambar 4 Kegiatan di persemaian: (a) tanah yang digunakan; (b) hasil puteran dimasukan ke dalam polibag

Pemeliharaan

Pemeliharaan anakan puspa yang telah disusun sesuai layout, disiram 2 kali sehari setiap pagi pukul 07.00 wib dan sore hari pukul 16.00 wib, (± 44 ml air tiap polibag) dengan menggunakan alat penyiraman (kapasitas 4 liter) serta mempertimbangkan kondisi media tanam di dalam polibag. Jika tanah masih basah maka penyiraman tidak dilakukan.

Pengamatan dan Pengambilan Data

Parameter yang diamati adalah: (1) persentase bibit hidup, bibit hidup adalah bibit yang masih segar atau yang menunjukkan pertumbuhan daun baru diakhir masa penelitian (3 bulan). Persentase bibit hidup dihitung dengan rumus:

% bibit hidup= bibit hidup

bibit keseluruhan X 100%

(2) tinggi semai, pengukuran tinggi dilakukan dengan menggunakan mistar, mulai dari pangkal batang yang sudah ditandai sebelumnya (± 1 cm di atas media) hingga titik tumbuh pucuk apikal (ujung dibatang utama). (3) jumlah daun, pertambahan jumlah daun didapat dari selisih antara jumlah daun diakhir pengamatan dengan jumlah daun diawal pengamatan. Sebagian tanaman menunjukkan pertambahan jumlah daun yang negatif (jumlah daun di akhir lebih sedikit dibandingkan di awal pengamatan) dalam hal ini, untuk keperluan pengolahan dan analisis data, nilai negatif yang terbesar dianggap sebagai nol (0) sehingga semua angka aktual tersebut di tambah 26. (4) persentase daun kering, persentase daun kering yaitu jumlah daun kering yang dihitung setiap empat minggu dengan menggunakan rumus:

% daun kering= daun kering

daun keseluruhan di awal penelitian untuk tiap tanaman X 100%

Daun dikategorikan sebagai daun kering apabila lebih dari 50% luas daun kering. dan (5) persentase daun gugur. Menghitung persen daun gugur, yaitu jumlah daun gugur yang dihitung setiap empat minggu dengan rumus:

% daun gugur= daun gugur

(10)

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan faktor teknik pengambilan anakan alam menggunakan 6 perlakuan, setiap perlakuan terdiri dari 15 ulangan, dan satu ulangan adalah satu tanaman, sehingga jumlah tanaman untuk seluruh perlakuan (6 x 15) menjadi 90 tanaman. Masing-masing perlakuan dirinci sebagai berikut:

A1 = cabutan semai dengan tinggi 2−29 cm A2 = cabutan semai dengan tinggi ≥30 cm

A3 = cabutan semai penggemburan tanah dengan tinggi 2−20 cm A4 = cabutan semai penggemburan tanah dengan tinggi ≥30 cm

A5 = puteran dengan tinggi 2−20 cm A6 = puteran dengan tinggi ≥30 cm

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran dianalisis dengan menggunakan model linear:

Yik = µ + αi+ εik

Yik = Nilai/respon dari pengamatan pada faktor teknik taraf ke-i dan ulangan ke-k

µ = Nilai rataan umum

αi = pengaruh perlakuan teknik ke-i

εik = pengaruh acak faktor teknik ke-i dan ulangan ke-k

Analisis Data

Guna mengetahui pengaruh perlakuan, dilakukan sidik ragam dengan uji F. Data diolah dengan menggunakan perangkat lunak statistika SPSS versi 16, jika: a. Psig > 0.05, maka perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap parameter

yang diamati

b. Psig ≤ 0.05, maka perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati. Jika terdapat perbedaan yang nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan`s Multiple Range Test.

KEADAAN UMUM HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG

WALAT

Sejarah Hutan Pendidikan Gunung Walat

(11)

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan faktor teknik pengambilan anakan alam menggunakan 6 perlakuan, setiap perlakuan terdiri dari 15 ulangan, dan satu ulangan adalah satu tanaman, sehingga jumlah tanaman untuk seluruh perlakuan (6 x 15) menjadi 90 tanaman. Masing-masing perlakuan dirinci sebagai berikut:

A1 = cabutan semai dengan tinggi 2−29 cm A2 = cabutan semai dengan tinggi ≥30 cm

A3 = cabutan semai penggemburan tanah dengan tinggi 2−20 cm A4 = cabutan semai penggemburan tanah dengan tinggi ≥30 cm

A5 = puteran dengan tinggi 2−20 cm A6 = puteran dengan tinggi ≥30 cm

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran dianalisis dengan menggunakan model linear:

Yik = µ + αi+ εik

Yik = Nilai/respon dari pengamatan pada faktor teknik taraf ke-i dan ulangan ke-k

µ = Nilai rataan umum

αi = pengaruh perlakuan teknik ke-i

εik = pengaruh acak faktor teknik ke-i dan ulangan ke-k

Analisis Data

Guna mengetahui pengaruh perlakuan, dilakukan sidik ragam dengan uji F. Data diolah dengan menggunakan perangkat lunak statistika SPSS versi 16, jika: a. Psig > 0.05, maka perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap parameter

yang diamati

b. Psig ≤ 0.05, maka perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati. Jika terdapat perbedaan yang nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan`s Multiple Range Test.

KEADAAN UMUM HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG

WALAT

Sejarah Hutan Pendidikan Gunung Walat

(12)

IPB untuk digunakan seperlunya bagi pendidikan kehutanan yang dikelola oleh Fakultas Kehutanan IPB. Pada tahun 1969 diterbitkan Surat Keputusan Kepala Jawatan Kehutanan Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 7041/IV/69 tanggal 14 Oktober 1969 yang menyatakan bahwa Gunung Walat seluas 359 Ha ditunjukkan sebagai hutan pendidikan yang pengelolaannya diserahkan kepada IPB.

SK Mentri Pertanian RI No. 008/Kpts/DJ/73 tentang penunjukkan komplek Hutan Gunung Walat menjadi Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) pada tahun 1973 diterbitkan. Pengelolaan kawasan Hutan Gunung Walat seluas 359 ha dilaksanakan oleh IPB dengan status hak pakai sebagai hutan pendidikan dan dikelola Unit Kebun Percobaan IPB dengan jangka waktu 20 tahun. Pada tahun 1973 penanaman telah mencapai 53%. Tahun 1980 seluruh wilayah HPGW telah berhasil ditanami berbagai jenis tanaman yaitu damar (A. loranthifolia), pinus (Pinus merkusi), puspa (S. wallichii), kayu afrika (maesopsis eminii), mahoni (Swietenia macrophylla), rasamala (Altiangia excelsa), sonokeling (Dalbegia latifolia), gamal (Gliricidae sp.), sengon (Paraserianthes falcataria), meranti (Shorea sp.) dan mangium (Acacia mangium). Berdasarkan SK Mentri Kehutanan No. 687/Kpts-II/1992 tentang penunjukan komplek hutan gunung walat sebagai hutan pendidikan, pengelolaan kawasa Hutan Pendidikan Gunung Walat sebagai hutan pendidikan dilaksanakan bersama antara Fakultas Kehutanan IPB dan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan atau Balai Latihan (BLK) Bogor. Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 24 januari 1993. Status hukum kawasan HPGW pada tahun 2005 dikuatkan dengan diterbitkannya SK Menhut No. 188/Menhut-II/2005, yang menetapkan fungsi hutan kawasan HPGW sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) dan pengelolaannya diserahkan kepada Fakultas Kehutanan IPB dengan tujuan khusus sebagai Hutan Pendidikan (Badan Eksekutif HPGW 2009)

Letak dan Posisi Geografis

HPGW secara geografis terletak pada 6°53’35”−6°55’10”LS dan 106°47’50”–106°51’30” BT. Secara administratif, HPGW termasuk dalam

wilayah Kecamatan Cicantayan dan Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Berdasarkan pembagian wilayah kehutanannya, HPGW termasuk wilayah BKPH Cikawung, KPH Sukabumi (Damayanti 2003).

Kondisi Vegetasi Hutan Pendidikan Gunung Walat

(13)

blok Cikatomas seluas 120 ha; (2) Blok II yang disebut blok Cimenyan seluas 125 ha; dan (3) Blok III yang disebut blok Tangkalok atau Seuseupan seluas 114 ha.

Jenis Tanah dan Topografi

Berdasarkan peta tanah Gunung Walat (1981) skala 1:10.000, tanah Gunung Walat termasuk dalam keluarga Tropohumult Tipik (Latosol merah kekuningan), Tropodult Tipik (Latosol coklat), Dystropept Tipik (Podsolik merah kuning) dan Tropopent Lipik (Litosol). Tanah latosol merah kekuningan adalah jenis tanah yang terbanyak, sedangkan di daerah berbatu hanya terdapat tanah litosol, dan di daerah lembah terdapat tanah podsolik (Marwitha 1997).

Gunung Walat merupakan sebagian dari pebukitan yang berderet dari timur ke barat. Bagian selatan merupakan daerah yang bergelombang mengikuti punggung-punggung bukit yang memanjang dan landai dari utara ke selatan. Di bagian tengah terdapat puncak dengan ketinggian 676 m dpl tepat pada titik triangulasi KQ 2212. Di bagian timur dengan ketinggian 726 m dpl dapat dilihat pada titik KQ 2213. Hampir seluruh kawasan berada pada ketinggian lebih dari 500 m dpl, hanya lebih kurang 10% dari bagian selatan berada dibawah ketinggian tersebut.

Iklim dan Curah Hujan

Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim di HPGW termasuk iklim tipe B dengan nilai Q 18.42% yaitu daerah basah dengan vegetasi masih hutan hujan tropika. Berdasarkan data curah hujan tahun 1999 sampai dengan 2004, distribusi curah hujan HPGW DAS Cipeureu, Sukabumi rata-rata tertinggi jatuh pada bulan Desember yaitu sebesar 453.4 mm dan curah hujan rata-rata terendah jatuh pada bulan Juli dan Agustus dengan nilai masing-masing yaitu sebesar 53.18 mm dan 53.52 mm. Selanjutnya untuk nilai rata-rata bulan basah diperoleh sebesar 289.56 mm dan rata-rata bulan kering sebesar 53.35 mm (Laboratorium Pengaruh Hutan Fahutan IPB 2004 diacu dalam Buliyansih 2005).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik perbanyakan anakan alam puspa sangat berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi, pertambahan jumlah daun, persentase daun kering (1 bulan, 2 bulan), persentase daun gugur (1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan). Hasil sidik ragam dapat dilihat pada Tabel 1.

(14)

blok Cikatomas seluas 120 ha; (2) Blok II yang disebut blok Cimenyan seluas 125 ha; dan (3) Blok III yang disebut blok Tangkalok atau Seuseupan seluas 114 ha.

Jenis Tanah dan Topografi

Berdasarkan peta tanah Gunung Walat (1981) skala 1:10.000, tanah Gunung Walat termasuk dalam keluarga Tropohumult Tipik (Latosol merah kekuningan), Tropodult Tipik (Latosol coklat), Dystropept Tipik (Podsolik merah kuning) dan Tropopent Lipik (Litosol). Tanah latosol merah kekuningan adalah jenis tanah yang terbanyak, sedangkan di daerah berbatu hanya terdapat tanah litosol, dan di daerah lembah terdapat tanah podsolik (Marwitha 1997).

Gunung Walat merupakan sebagian dari pebukitan yang berderet dari timur ke barat. Bagian selatan merupakan daerah yang bergelombang mengikuti punggung-punggung bukit yang memanjang dan landai dari utara ke selatan. Di bagian tengah terdapat puncak dengan ketinggian 676 m dpl tepat pada titik triangulasi KQ 2212. Di bagian timur dengan ketinggian 726 m dpl dapat dilihat pada titik KQ 2213. Hampir seluruh kawasan berada pada ketinggian lebih dari 500 m dpl, hanya lebih kurang 10% dari bagian selatan berada dibawah ketinggian tersebut.

Iklim dan Curah Hujan

Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim di HPGW termasuk iklim tipe B dengan nilai Q 18.42% yaitu daerah basah dengan vegetasi masih hutan hujan tropika. Berdasarkan data curah hujan tahun 1999 sampai dengan 2004, distribusi curah hujan HPGW DAS Cipeureu, Sukabumi rata-rata tertinggi jatuh pada bulan Desember yaitu sebesar 453.4 mm dan curah hujan rata-rata terendah jatuh pada bulan Juli dan Agustus dengan nilai masing-masing yaitu sebesar 53.18 mm dan 53.52 mm. Selanjutnya untuk nilai rata-rata bulan basah diperoleh sebesar 289.56 mm dan rata-rata bulan kering sebesar 53.35 mm (Laboratorium Pengaruh Hutan Fahutan IPB 2004 diacu dalam Buliyansih 2005).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik perbanyakan anakan alam puspa sangat berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi, pertambahan jumlah daun, persentase daun kering (1 bulan, 2 bulan), persentase daun gugur (1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan). Hasil sidik ragam dapat dilihat pada Tabel 1.

(15)

Tabel 1 Ringkasan hasil sidik ragam teknik pemanfaatan anakan alam puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.)

Perlakuan Teknik pemanfaatan anakan alam puspa Parameter

Persentase bibit hidup Pertambahan tinggi

tn ** Pertambahan jumlah daun

Persentase daun kering 1B Persentase daun kering 2B Persentase daun kering 3B

** ** ** tn Persentase daun gugur 1B

Persentase daun gugur 2B Persentase daun gugur 3B

** ** **

**= perlakuan berpengaruh nyata pada taraf uji 99%, tn = perlakuan tidak berpengaruh nyata

1B = 1 Bulan, 2B = 2 Bulan, 3B = 3 Bulan

Persentase Bibit Hidup

Bibit hidup yaitu bibit yang tumbuh dan berkembang selama pengamatan dilakukan. Persentase bibit hidup dihitung untuk melihat bagaimana ketahanan suatu tanaman dalam satu perlakuan selama penelitian dilakukan. Ketersediaan air di dalam tanah yang semakin berkurang sementara proses metabolisme dan transpirasi masih terus berlangsung (Slatyer 1967, diacu dalam Dianingsih 1994), menjelaskan bahwa kekurangan air akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan jika kondisi cukup berat akan menyebabkan kematian bagi tanaman tersebut.

Air merupakan bagian terbesar dari jaringan tanaman dan sangat berperan dalam kehidupan tanaman. Tjondronegoro (1999) menyebutkan bahwa air merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dibandingkan dengan faktor lingkungan lainnya, hal ini terbukti karena lebih dari 80% berat basah tanaman terdiri air sehingga ketersediaannya merupakan faktor pembatas dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sebab air penting untuk pembelahan dan pembesaran sel.

(16)

Gambar 5 Persentase bibit hidup pada teknik pemanfaatan anakan alam puspa (Schima wallichii). Perlakuan yang memiliki huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji 99%. (A1 = teknik cabutan dengan

tinggi tanaman 2−29 cm; A2 = teknik cabutan dengan tinggi tanaman ≥30 cm; A3 = teknik cabutan dengan penggemburan tanah dengan

tinggi tanaman 2−29 cm; A4 = teknik cabutan dengan penggemburan

tanah dengan tinggi tanaman ≥30 cm; A5 = teknik puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A6 = teknik puteran dengan tinggi tanaman ≥30 cm)

Pertambahan Tinggi

Pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran yang dapat diukur, misalnya saja tinggi merupakan pertambahan kesatu arah (Salisbury dan Ross 1995), sehingga pengukuruan tinggi dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana faktor lingkungan mempengaruhi tanaman. Teknik perbanyakan anakan alam sangat berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi pada taraf uji 99% (Tabel 1). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan A6 yaitu teknik

putaran dengan tinggi ≥30 cm memberikan respon pertumbuhan yang tinggi dan

lebih baik jika dibandingkan dengan teknik lainnya seperti yang tersaji pada Gambar 6.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa teknik A6 (teknik putaran

dengan tinggi ≥30 cm) memiliki nilai rataan pertambahan tinggi yang paling besar

yaitu 3.03 cm, sehingga dapat dikemukakan bahwa A6 sangat berbeda nyata dengan teknik yang lainnya yang ditunjukkan oleh huruf c. Hal ini dikarenakan teknik puteran merupakan teknik pemindahan bibit lengkap dengan media tanahnya (keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK 272/Menhut-V/2004) sehingga, kerusakan pada sistem perakarannya sangat rendah dibandingkan

dengan teknik yang lainnya. Menurut Mulyana (2010) tinggi tanaman ≥30 cm

sudah memiliki ketahanan terhadap hama dan penyakit, pertumbuhan tanaman sudah seimbang dan telah melalui proses aklimatisasi. Selain itu, tinggi tanaman

≥30 cm, mempunyai biomassa yang lebih besar, maka mempunyai persediaan air

yang lebih banyak dan lebih tahan terhadap kekeringan.

60 70 80 90 100

A1 A2 A3 A4 A5 A6

a a

a

a a a

P

er

sen

tase b

ib

it

h

id

u

p

(

%)

(17)

Gambar 6 Pertambahan tinggi tanaman pada teknik pemanfaatan anakan alam puspa (Schima wallichii). Perlakuan yang memiliki huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji 99%. (A1 = teknik cabutan

dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A2 = teknik cabutan dengan tinggi tanaman ≥30 cm; A3 = teknik cabutan dengan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A4 = teknik cabutan dengan

penggemburan tanah dengan tinggi tanaman ≥30 cm; A5 = teknik puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A6 = teknik puteran dengan tinggi tanaman ≥30 cm)

Pertambahan jumlah Daun

Daun berfungsi sebagai organ utama fotosintesis pada tumbuhan karena paling banyak mengandung klorofil sehingga daun sangat diperlukan untuk penyerapan dan pengubahan energi cahaya menjadi energi kimia untuk pertumbuhan (Gardner et al. 1991). Pengamatan daun sangat diperlukan selain sebagai indikator pertumbuhan juga sebagai data penunjang untuk menjelaskan proses pertumbuhan yang terjadi (Sitompul dan Guritno 1995). Berdasarkan ringkasan hasil sidik ragam (Tabel 1), teknik perbanyakan anakan puspa berpengaruh nyata terhadap pertambahan jumlah daun pada taraf uji 99%. Hasil

uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa teknik puteran dengan tinggi tanaman ≥30 cm dan teknik puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm memiliki respon yang baik

untuk pertambahan jumlah daun dibandingkan dengan teknik lainnya, seperti yang tersaji pada Gambar 7.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa rataan jumlah daun yang

paling tinggi adalah perlakuan A6 (teknik puteran dengan tinggi ≥30 cm) dengan nilai 26.60 dan perlakuan A5 (teknik puteran dengan tinggi 2−29 cm) dengan nilai

25.40, sedangkan untuk perlakuan A1 (cabutan langsung dengan tinggi tanaman 2-29 cm), A2 (cabutan langsung dengan tinggi tanaman ≥30 cm), A3 (cabutan dengan penggemburan dengan tinggi tanaman 2-29 cm) dan A4 (cabutan dengan

penggemburan dengan tinggi ≥30 cm) memiliki nilai yang rendah terhadap pertambahan jumlah daun. Hal ini membuktikan bahwa pada teknik puteran, terdapat ketersediaan air yang cukup pada perakaran, sehingga transpirasi tidak terjadi secara berlebihan dan akibatnya tanaman tidak banyak merontokan daun sedangkan perlakuan lainnya mengalami kekurangan air yang mengakibatkan rontoknya daun sebagai akibat gangguan secara fisiologis. Bila transpirasi

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00

A1 A2 A3 A4 A5 A6

a ab

ab

bc

abc

c

T

in

g

g

i (

cm

)

(18)

berlebihan yang tidak seimbang dengan aliran air yang masuk, maka jaringan akan kehilangan turgiditasnya, tumbuhan menjadi layu atau bahkan mengering dan mati (Salisbury dan Ross 1995).

Gambar 7 Pertambahan jumlah daun pada setiap teknik pemanfaatan anakan alam puspa (Schima wallichii). Perlakuan yang memiliki huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji 99%. (A1 = teknik cabutan

dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A2 = teknik cabutan dengan tinggi tanaman ≥30 cm; A3 = teknik cabutan dengan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A4 = teknik cabutan dengan

penggemburan tanah dengan tinggi tanaman ≥30 cm; A5 = teknik

puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A6 = teknik puteran dengan tinggi tanaman ≥30 cm)

Persentase Daun Kering

Penyebab terjadinya daun menjadi kering salah satunya adalah karena kurangnya air yang tersedia sehingga tanaman mengeringkan atau merontokan daun untuk mengurangi penguapan yang terjadi. Teknik pemanfaatan anakan puspa berpengaruh nyata terhadap persentase daun gugur pada bulan pertama (1 bulan) dan bulan kedua (2 bulan), sedangkan pada bulan ketiga (3 bulan), persentase daun gugur tidak berpengaruh nyata terhadap pemanfaatan anakan alam puspa (Tabel 1).

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa untuk bulan pertama (1 bulan) dan bulan kedua (2 bulan) nilai tertinggi persentase daun kering ditunjukkan oleh teknik A2 (cabutan langsung dengan tinggi ≥30 cm) dengan nilai 21.01% dan 26.41%, sehingga A2 merupakan teknik yang menghasilkan daun kering yang tertinggi dibandingkan teknik lainnya. Hal ini dikarenakan kemampuan metabolisme bibit dalam merespon kekeringan berbeda pada setiap individunya (Permata 2009). Air seringkali membatasi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Respon tanaman terhadap kekurangan air relatif terhadap aktivitas metabolismenya, morfologinya, tingkat pertumbuhannya dan potensial hasil panennya (Gardner et al. 1991).

0 10 20 30

A1 A2 A3 A4 A5 A6

a

a a a

b b

Ju

m

lah

d

au

n

(h

elai)

(19)

Gambar 8 Persentase daun kering untuk setiap teknik pemanfaatan anakan alam puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.). Perlakuan yang memiliki huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji 99%. (A1 = teknik

cabutan dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A2 = teknik cabutan dengan tinggi tanaman ≥30 cm; A3 = teknik cabutan dengan penggemburan

tanah dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A4 = teknik cabutan dengan

penggemburan tanah dengan tinggi tanaman ≥30 cm; A5 = teknik puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A6 = teknik puteran dengan tinggi tanaman ≥30 cm)

Persentase Daun Gugur

Proses gugurnya daun atau absisi, terjadi karena adanya peningkatan konsentrasi asam absisat pada suatu pangkal daun. Hormon ini menstimulus lepasnya daun dari batang tempat dia melekat. Konsentrasi absisat ini sangat bergantung pada konsentrasi air pada tubuh tumbuhan. Ketika konsentrasi air rendah, jumlah asam absisat akan meningkat dan menyebabkan daun-daun berguguran (Mulyani 2006).

Berdasarkan ringkasan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa persentase daun gugur berpengaruh nyata setiap bulannya yaitu 1 bulan, 2 bulan, dan 3 bulan. Hasil uji lanjut Duncan persentase daun gugur nilai terendah terlihat pada A5

(puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm) dan A6 (puteran dengan tinggi tanaman ≥30 cm) seperti yang dapat dilihat pada Gambar 9. Hal tersebut menunjukkan

bahwa pada teknik A5 dan A6 memiliki air yang tersedia pada tanaman sehingga terjadi rendahnya pengguguran daun. Rontoknya daun sebagai mekanisme untuk beradaptasi dikarenakan ketersedian air yang minim dapat memicu penimbunan asam absisat sehingga mengakibatkan daun gugur (Permata 2009).

Gugurnya daun dapat mengurangi luasan transpirasi tanaman, dengan demikian akan mengurangi hilangnya air dari tanaman (Jones et al 1981, diacu dalam Dedywiryanto 2006). Selain itu, air yang tersimpan di dalam tanah (kapasitas lapang) pada titik pelayuan permanen tidak dapat diserap oleh tanaman (air yang tersedia) (Gardner er al. 1991). Titik pelayuan permanen terjadi karena terjadinya plasmolisis. Plasmolisis adalah suatu proses lepasnya protoplasma dari

0 10 20 30

A1 A2 A3 A4 A5 A6

(20)

dinding sel yang diakibatkan keluarnya sebagian air dari vakuola (Salisbury dan Ross 1995).

Gambar 9 Persentase daun gugur untuk setiap teknik pemanfaatan anakan alam puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) terhadap persentase daun gugur. Perlakuan yang memiliki huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata

pada taraf uji 99%. (A1 = teknik cabutan dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A2 = teknik cabutan dengan tinggi tanaman ≥30 cm; A3 = teknik cabutan dengan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman 2−29 cm;

A4 = teknik cabutan dengan penggemburan tanah dengan tinggi

tanaman ≥30 cm; A5 = teknik puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A6 = teknik puteran dengan tinggi tanaman ≥30 cm)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam hal pertambahan tinggi dan pertambahan jumlah daun, teknik A6 (teknik puteran dengan tinggi ≥30 cm) memiliki nilai yang tinggi dan untuk persentase daun kering dan persentase daun gugur memiliki nilai yang rendah sehingga teknik A6 yang paling baik digunakan untuk teknik pemanfaatan anakan alam. Selain itu, untuk persentase bibit hidup tidak ada yang berbeda nyata pada taraf uji 99%.

Saran

Perlu dilakukan penelitian mengenai efisiensi kerja karena secara umum keenam teknik perlakuan memperlihatkan efektifitas yang sama tetapi dalam penelitian ini efisiensi kerja belum diukur. Selain itu juga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh teknik perlakuan terhadap bibit setelah ditanam di lapangan.

0 20 40 60

A1 A2 A3 A4 A5 A6

(21)

dinding sel yang diakibatkan keluarnya sebagian air dari vakuola (Salisbury dan Ross 1995).

Gambar 9 Persentase daun gugur untuk setiap teknik pemanfaatan anakan alam puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) terhadap persentase daun gugur. Perlakuan yang memiliki huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata

pada taraf uji 99%. (A1 = teknik cabutan dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A2 = teknik cabutan dengan tinggi tanaman ≥30 cm; A3 = teknik cabutan dengan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman 2−29 cm;

A4 = teknik cabutan dengan penggemburan tanah dengan tinggi

tanaman ≥30 cm; A5 = teknik puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A6 = teknik puteran dengan tinggi tanaman ≥30 cm)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam hal pertambahan tinggi dan pertambahan jumlah daun, teknik A6 (teknik puteran dengan tinggi ≥30 cm) memiliki nilai yang tinggi dan untuk persentase daun kering dan persentase daun gugur memiliki nilai yang rendah sehingga teknik A6 yang paling baik digunakan untuk teknik pemanfaatan anakan alam. Selain itu, untuk persentase bibit hidup tidak ada yang berbeda nyata pada taraf uji 99%.

Saran

Perlu dilakukan penelitian mengenai efisiensi kerja karena secara umum keenam teknik perlakuan memperlihatkan efektifitas yang sama tetapi dalam penelitian ini efisiensi kerja belum diukur. Selain itu juga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh teknik perlakuan terhadap bibit setelah ditanam di lapangan.

0 20 40 60

A1 A2 A3 A4 A5 A6

(22)

TEKNIK PEMANFAATAN ANAKAN ALAM

PUSPA (

Schima wallichii

(DC) Korth

)

DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT (HPGW), SUKABUMI

FITRI APRIANTI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(23)

DAFTAR PUSTAKA

Buliyansih A. 2005. Penilaian dampak kebakaran terhadap makrofauna tanah dengan metode forest health monitoring [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Dahlan EN. 1992. Hutan Kota untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup. Jakarta (ID): Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia. Damayanti EK. 2003. Pengelolaan hutan secara lestari berbasiskan tumbuhan

obat: studi kasus di Hutan Pendidikan Gunung Walat, IPB [tesis]. Bogor (ID): Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Dedywiryanto Y. 2006. Respon bibit dan kajian karakter ketahanan terhadap cekaman kekeringan pada kelapa sawit (Elaeis guineensis Jack.) [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Dianingsih M.G.A. 1994. Pengaruh stres kekurangan air dan pemberian nitrogen terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman mangga (Mangifera indica L.) [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

[Badan Eksekutif HPGW] Badan Eksekutif Hutan Pendidikan Gunung Walat. 2009. Rencana Pembangunan Hutan Pendidikan Gunung Walat 2009-2013. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

[Fahutan-IPB] Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. 1978. Pola Umum Pembangunan HPGW. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Firmansyah K. 2006. Pertumbuhan alami puspa (Schima wallichii (DC) Korth) pada lahan bekas terbakar di HTI PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Utara [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Fitter AH, Hay RKM. 1991. Fisiologi Tanaman. Andani S, Perbayanti ED, penerjemah. Srigandono B, editor. Semarang (ID): UGM Pr. Terjemahan dari: Enviromental Physiology of Plants.

Gardner FP, Pearce RB, Roger LM. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Herwatisusilo, penerjemah; Jakarta (ID): UI Pr. Terjemahan dari: Physiology of Crop Plants.

Indriyanto. 2008. Pengantar Budidaya Hutan. Jakarta (ID): Bumi Aksara

Martawijaya A, Kartasudjana I, Mandang YI, Prawira SA, Kadir K. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Departemen Kehutanan.

Marwitha J. 1997. Penerapan sistem informasi geografis untuk mendukung kegiatan perencanaan dan pengelolaan Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Mulyana D, Asmarahman C. 2010. 7 Jenis Kayu Penghasil Rupiah. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.

Mulyani Sri. 2006. Anatomi Tumbuhan. Yogyakarta (ID): Kunisius.

Permata FW. 2009. Pengaruh bahan penahan air aquasorb terhadap pertumbuhan Jati [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Salisbury B, Cleon R. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 1. Lukman DR,

(24)

Sitompul S.M, Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr.

Tjondronegoro PD, Said H, Hamim. 1999. Fisiologi Tumbuhan Dasar. Bogor (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

(25)

TEKNIK PEMANFAATAN ANAKAN ALAM

PUSPA (

Schima wallichii

(DC) Korth

)

DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT (HPGW), SUKABUMI

FITRI APRIANTI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(26)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Teknik Pemanfaatan Anakan Alam Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2012

(27)

ABSTRAK

FITRI APRIANTI. Teknik Pemanfaatan Anakan Alam Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi. Dibimbing oleh CAHYO WIBOWO.

Teknik pemanfaatan anakan alam puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi bertujuan untuk mempelajari teknik-teknik pemanfaatan anakan alam puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) dan mempelajari respon/perlakuan anakan alam puspa yang dimanfaatkan secara cabutan dan puteran. Pengujian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan yaitu:

teknik cabutan dengan tinggi tanaman 2−29 cm, teknik cabutan dengan tinggi tanaman ≥ 30 cm,

teknik cabutan dengan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman 2−29 cm, teknik cabutan

dengan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman ≥ 30 cm, teknik puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm, dan teknik puteran dengan tinggi tanaman ≥ 30 cm. Pertambahan tinggi dan

pertambahan jumlah daun teknik puteran dengan tinggi ≥ 30 cm memiliki respon terbaik dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Tanaman dengan tinggi tanaman ≥ 30 cm mempunyai

biomassa yang lebih besar sehingga mempunyai persediaan air yang lebih banyak dan lebih tahan terhadap kekeringan. Namun, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara keenam teknik pemanfaatan anakan alam puspa dalam hal persentase bibit hidup, persentase daun kering dan persentase daun gugur.

Kata kunci : Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Schima wallichii, teknik cabutan, teknik puteran

ABSTRACT

FITRI APRIANTI. Techniques of Utilization of Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) Wildlings in Gunung Walat University Forest (GWUF), Sukabumi. Under academic supervision of CAHYO WIBOWO.

The objectives of this study were learning the techniques of utilizing puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) wildlings in Gunung Walat (GWUF), Sukabumi, as planting stocks and studying the respond of these wildlings which were utilized as bare root (uprooted) plants and earth balled plants. Experiment for this purpose was conducted as completely randomized design (CRD) with six treatments, namely: bare root (uprooted) plants with plant heights of

2−29 cm, bare root (uprooted) plants withplant heights of ≥ 30 cm, bare root (uprooted) plants with initial plant heights of 2−29 cm accompanied with soil loosening, bare root (uprooted) plants with initial plant heights of ≥ 30 cm accompanied with soil loosening, earth balled plants with initial plant height of 2−29 cm, and earth balled plants with initial plant height of ≥ 30 cm.

Increment of height and number of leaves for earth balled plants with initial height of ≥ 30 cm

showed the best respond as compared with other treatments. Plants with initial height of ≥ 30 cm possessed greater biomass and possessed more water and are therefore more resistant toward desiccation. However, there were no significant difference between the six techniques (treatments) of utilizing puspa wildlings in terms of survival percentage, percentage of desiccated leaves, and percentage of shed leaves.

(28)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Silvikultur

TEKNIK PEMANFAATAN ANAKAN ALAM

PUSPA (

Schima wallichii

(DC) Korth

)

DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT (HPGW),

SUKABUMI

FITRI APRIANTI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(29)

Judul Skripsi : Teknik Pemanfaatan Anakan Alam Puspa (Schima Wallichii (DC.) Korth.) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi Nama : Fitri Aprianti

NIM : E44080079

Disetujui oleh

Dr Ir Cahyo Wibowo, MScFTrop Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS Ketua Departemen

(30)

PRAKATA

Puji syukur saya sampaikan kehadirat Allah SWT, karena atas rancang bangun dan kepastian ilmu-NYA jualah penelitian ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam pelaksanaan penelitian yang dilaksanakan pada bulan juni sampai dengan bulan September 2012 adalah pemanfaatan anakan alam, dengan

judul “Teknik Pemanfaatan Anakan Alam Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.)

di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Kabupaten Sukabumi”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Cahyo Wibowo, MScFTrop selaku pembimbing, Bapak Dr Ir Istomi MS, Ibu Dra Sri Rahayu MSi serta Ibu Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi khususnya bang Adly, Pak Uus, yang telah membantu dan memfasilitasi terlaksananya kegiatan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada adik-adik LKP Doa Bangsa, teman-teman Asosiasi Doa Bangsa khususnya teh Gita, M. Abdul Kadir, Ade Irma, Latif, Agung, dede serta teman-teman silvikultur 45 khususnya kepada Tirsa, Erik, Ageng, Rizka, Dien, Rian dan teman-teman RIMPALA yang telah memberi bantuan tenaga serta semangatnya, begitupun terimakasih banyak kepada Bapak, mamah, teteh, dan adik atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2012

(31)

v

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 1

Manfaat 1

TINJAUAN PUSTAKA 2

Klasifikasi Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) 2

Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) 2

Ekologi 3

METODELOGI 3

Waktu dan Lokasi Penelitian 3

Alat dan Bahan 3

Prosedur Penelitian 4

Analisis Data 7

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 7

Sejarah Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) 7

Letak dan Posisi Geografis 8

Kondisi Vegetasi di Hutan Pendidikan Gunung Walat 8

Jenis Tanah dan Topografi 9

Iklim dan Curah Hujan 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Persentase Bibit Hidup 10

Pertambahan Tinggi 11

Pertambahan Jumlah Daun 12

Persentase Daun Kering 13

Persentase Daun Gugur 14

SIMPULAN DAN SARAN 15

Simpulan 15

Saran 15

DAFTAR PUSTAKA 16

LAMPIRAN 18

(32)
(33)

vi

DAFTAR GAMBAR

1 Puspa 2

2 Teknik pemanfaatan anakan 5

3 Hasil teknik pemanfaatan anakan alam puspa 5

4 Kegiatan dipersemain 6

5 Persentase bibit hidup pada teknik pemanfaatan anakan alam puspa

(Schima wallichii (DC.) Korth.) 11

6 Pertambahan tinggi tanaman pada teknik pemanfaatan anakan alam

puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) 12

7 Pertambahan jumlah daun pada setiap teknik pemanfaatan anakan alam

puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) 13

8 Persentase daun kering untuk setiap teknik pemanfaatan anakan alam

puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) 14

9 Persentase daun gugur untuk setiap teknik perbanyakan anakan alam puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) terhadap persentase daun gugur 15

DAFTAR LAMPIRAN

1 Layout denah percobaan 18

2 Rancangan Pengamatan 19

3 Hasil sidik ragam teknik pemanfaatan anakan alam puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) (a). Persentase bibit hidup; (b). pertambahan tinggi; (c). pertambahan jumlah daun; (d). persentase daun kering; (e).

persentase daun gugur 19

4 Hasil uji lanjut Duncan pertambahan tinggi tanaman 21 5 Hasil uji lanjut Duncan pertambahan jumlah daun 21 6 Hasil uji lanjut Duncan persentase bibit hidup 21 7 Hasil uji lanjut Duncan persentase daun kering minggu ke 4 22 8 Hasil uji lanjut Duncan persentase daun kering minggu ke 8 22 9 Hasil uji lanjut Duncan persentase daun kering minggu ke 12 22 10 Hasil uji lanjut Duncan persentase daun gugur minggu ke 4 23 11 Hasil uji lanjut Duncan persentase daun gugur minggu ke 8 23 12 Hasil uji lanjut Duncan persentase daun gugur minggu ke 12 23

(34)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) memiliki kondisi penutupan lahan dengan berbagai jenis vegetasi yang dapat dimanfaatkan sebagai permudaan (anakan alam). Permudaan hutan merupakan proses regenerasi tegakan hutan yang dapat dilakukan secara alami (permudaan alami), maupun buatan (permudaan buatan). Permudaan alami adalah proses regenerasi tegakan hutan yang mengandalkan proses alam tanpa ada penanganan manusia dalam setiap tahapan proses perkembangan tegakan hutan, sedangkan permudaan buatan adalah proses regenerasi tegakan hutan yang dilakukan oleh manusia melalui penerapan aspek-aspek budidaya hutan (Indriyanto 2008).

Dorongan untuk menghutankan kembali suatu kawasan hutan dapat timbul karena alasan ekonomi, sosial, maupun ekologi. Alasan ekonomi didasarkan pada persediaan dan permintaan kayu, sedangkan alasan sosial dan ekologi didasarkan adanya manfaat yang dapat dirasakan, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk kehidupan masyarakat di sekitar hutan serta lingkungan yang dipengaruhinya.

Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) di Hutan Pendidikan Gunung Walat dapat dijadikan sebagai penghasil anakan alam karena termasuk salah satu pohon dalam ekosistem hutan yang tumbuh pada tanah kering dengan tingkat kesuburan tanah yang rendah, sehingga berpotensi untuk dikembangkan menjadi hutan tanaman (Firmansyah 2006). Dalam penelitian Widodo (2003) puspa dapat dijadikan sebagai tanaman revegetasi karena relatif tidak sulit untuk dikembangkan dilapangan dan termasuk salah satu tanaman yang resisten terhadap kebakaran

Teknik perbanyakan dalam rangka permudaan ini dapat dilakukan menggunakan biji ataupun anakan/semai alam. Teknik perbanyakan menggunakan anakan dapat dilakukan melalui teknik puteran atau cabutan. Pada penelitian ini, dilakukan perbanyakan dengan jalan pemanfaatan anakan alam puspa melalui puteran dan cabutan dengan berbagai ukuran tinggi guna pengadaaan bibit puspa di kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW).

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini yaitu mempelajari teknik-teknik pemanfaatan anakan alam puspa (S. wallichii) dan mempelajari respon/perlakuan anakan alam puspa yang dimanfaatkan secara cabutan dan puteran.

Manfaat

(35)

bahan rekomendasi mengenai teknik pemanfaatan anakan alam puspa, khususnya di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW).

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth)

Pohon puspa yang berasal dari famili Theaceae merupakan jenis kayu pertukangan. Puspa memiliki nama daerah simar tolu, madang bungkar (Sumatra), huru manuk (sunda), seru (Jawa), merang surau (Kalimantan). Klasifikasinya adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Theales

Famili : Theaceae Genus : Schima

Spesies : S. wallichii (DC.) Korth.

Puspa (Schima walichii (DC.) Korth.)

Puspa memiliki 9 sub spesies, di antaranya bacana, noronhae, tetapi antar sub spesies tersebut tidak menunjukkan adanya perbedaan yang mencolok. Lingkaran tumbuh tidak teratur, berganti-ganti sempit dan lebar, batas lingkaran tumbuh kabur, pori-pori tidak teratur rapih. Susunan antara dua jari-jari kayu terdapat dua pertiga pori-pori merupakan beberapa ciri dari kayu puspa (Gambar 1a).

Pohon puspa bisa mencapai tinggi ± 47 meter, dengan diameter batang dapat mencapai 127 cm, kadang-kadang memiliki banir 1.8 meter, berdaun tunggal

berbentuk lanset dengan ukuran 2.5−30 cm x 1.5−10 cm, pangkal dan ujung

daunnya meruncing. Daun muda puspa umumnya berwarna merah, merah muda, dan atau ungu. Bunganya soliter atau tandan terdapat pada ketiak dan termasuk pohon yang berbunga sepanjang tahun. Buah puspa berbentuk bulat, diameter mampu mencapai 0.5 sampai 2.5 cm. Pohon puspa ini juga memiliki biji yang

[image:35.595.110.522.606.725.2]

berbentuk ginjal dengan ukuran 6−12 cm x 3−7cm (Gambar 1b).

(36)

Kayu puspa merupakan kayu pertukangan yang bermutu baik dan sering digunakan sebagai bahan bangunan. Kayu ini dianggap lebih baik dijadikan sebagai tiang penyangga rumah, kusen pintu, panil kayu, lantai rumah, perabotan rumah tangga, dan bahan pembuat perahu. Kayu puspa juga baik sebagai kayu lapis, dan papan serat.

Ekologi

Puspa mampu hidup pada berbagai kondisi tanah, iklim, dan habitat. Tumbuh melimpah di hutan primer dataran rendah hingga pegunungan, pohon ini juga umum dijumpai di hutan-hutan sekunder dan wilayah yang terganggu, bahkan juga di padang ilalang. Bisa hidup hingga ketinggian 5−3.900 m dpl. Puspa tidak memilih-milih kondisi tekstur dan kesuburan tanah. Meski lebih menyukai tanah yang berdrainase baik, pohon puspa diketahui mampu tumbuh baik di daerah rawa dan tepian sungai. Puspa merupakan tumbuhan asli di India, Nepal, Burma, Cina, Vietnam, Laos, Thailand, Malaysia, Indonesia, Brunei, Filipina, dan Papua Nugini, sedangkan di Indonesia pohon puspa memiliki tempat tumbuh di daerah Pulau jawa, Pulau sumatera, pulau Kalimantan. Penyebaran secara alami di Indonesia terutama terdapat di Jawa Barat. Tumbuhan ini berkelompok membentuk hutan primer maupun hutan sekunder, kadang-kadang tersebar di daerah yang selalu lembab. Di Jawa Barat sering kali terdapat pada

ketinggian 100−1500 m dpl (Bloembergen 1952).

METODOLOGI

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan September 2012.

Alat dan Bahan

(37)

Prosedur Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu persiapan bibit, pengangkutan, penyapihan, pemeliharan, pengamatan, pengambilan data, serta perancangan percobaan dan analisis data.

Persiapan

Anakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah anakan alam puspa. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan yaitu:

1. Teknik cabutan dengan tinggi tanaman 2−29 cm, 2. Teknik cabutan dengan tinggi tanaman ≥30 cm,

3. Teknik cabutan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman 2−29 cm, 4. Teknik cabutan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman ≥30 cm, 5. Teknik puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm,

6. Teknik puteran dengan tinggi tanaman ≥30 cm.

Setiap perlakuan terdiri dari 15 ulangan, dan satu ulangan adalah satu tanaman dalam satu polibag, sehingga jumlah tanaman untuk seluruh perlakuan (6 x 15) menjadi 90 tanaman.

Tahapan persiapan yang dimaksud adalah pengadaan bibit dan persiapan media. Bibit yang digunakan merupakan hasil dari cabutan tanpa penggemburan tanah, cabutan dengan penggemburan tanah, dan puteran dari kawasan hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW).

Media tanam yang digunakan adalah tanah 100% yang ditempatkan dalam polibag dengan tinggi 13 cm, diameter 14 cm untuk tinggi tanaman ≥30 cm; dan

polibag dengan tinggi 8 cm, diameter 9 cm untuk tinggi tanaman 2−29 cm.

Perbedaan ukuran polibag ini disesuaikan dengan ukuran tanaman.

Persiapan yang dilaksanakan untuk menghindari kematian anakan setelah dicabut adalah mempersiapkan ember berisi kertas koran yang diberi air, agar anakan yang telah dicabut tersebut tetap mendapatkan kelembaban. Pada perlakuan puteran anakan yang akarnya masih utuh diselimuti oleh tanah dimasukan kedalam polibag dan ini dilakukan langsung di lapangan untuk meminimalisir kerusakan puteran tersebut. Teknik yang dilakukan dalam penelitian ini ada tiga macam yaitu cabutan langsung, cabutan dengan penggemburan tanah, dan puteran.

Teknik cabutan langsung adalah mencabut anakan dari tempat tumbuhnya dengan cara memegang bibit di bagian bawah sedekat mungkin dengan tanah, kemudian bibit ditarik tegak lurus searah batang (Gambar 2a). Hal tersebut dilakukan pada tanah yang gembur. Jika media tumbuh tanaman tersebut padat maka dilakuakan pemberian air terlebih dahulu agar memudahkan proses pencabutan.

(38)

Teknik puteran adalah pengambilan tanaman lengkap dengan tanahnya. Pengambilan tersebut dilakukan dengan cara menghujamkan golok/pisau ke dalam tanah, sampai kedalaman ± 20 cm membentuk lingkaran sekeliling anakan yang akan diambil. Tanah diluar lingkaran tersebut digemburkan agar mempermudah pengambilan puteran. Jarak antara batang tanaman dengan golok adalah sekitar 5 cm (membentuk jari jari lingkaran ± 5 cm) (Gambar 2c). Untuk puteran, tanah yang dipilih adalah tanah yang kompak dan padat karena akan lebih mudah mendapatkan puteran tanah yang tidak hancur. Teknik-teknik tersebut

berlaku sama untuk tinggi tanaman 2−29 cm maupun yang ≥30 cm.

Gambar 2 Teknik pemanfaatan anakan: (a) cabutan langsung; (b) cabutan dengan penggemburan tanah; (c) puteran

Pengangkutan

Pengangkutan dilakukan setelah semua tanaman selesai dikumpulkan. Tanaman dengan teknik cabutan dikumpulkan di dalam ember yang berisi kertas koran yang sudah dibasahi, karena akar perlu dihindarkan dari sengatan cahaya matahari (Dahlan 1992), sedangkan tanaman hasil teknik puteran dimasukan ke dalam polibag di lapangan untuk mengurangi kerusakan hasil puteran tersebut. Semua tanaman kemudian dikumpulkan dalam gerobak dorong dan dibawa sampai kepersemaian.

[image:38.595.110.507.514.636.2]

Gambar 3 Hasil teknik pemanfaatan anakan alam puspa: (a) cabutan; (b) puteran Penyapihan

(39)

bibit ditanam dalam polibag, kemudian diberi label dan disusun berdasarkan rencana layout (Lampiran 1)

Gambar 4 Kegiatan di persemaian: (a) tanah yang digunakan; (b) hasil puteran dimasukan ke dalam polibag

Pemeliharaan

Pemeliharaan anakan puspa yang telah disusun sesuai layout, disiram 2 kali sehari setiap pagi pukul 07.00 wib dan sore hari pukul 16.00 wib, (± 44 ml air tiap polibag) dengan menggunakan alat penyiraman (kapasitas 4 liter) serta mempertimbangkan kondisi media tanam di dalam polibag. Jika tanah masih basah maka penyiraman tidak dilakukan.

Pengamatan dan Pengambilan Data

Parameter yang diamati adalah: (1) persentase bibit hidup, bibit hidup adalah bibit yang masih segar atau yang menunjukkan pertumbuhan daun baru diakhir masa penelitian (3 bulan). Persentase bibit hidup dihitung dengan rumus:

% bibit hidup= bibit hidup

bibit keseluruhan X 100%

(2) tinggi semai, pengukuran tinggi dilakukan dengan menggunakan mistar, mulai dari pangkal batang yang sudah ditandai sebelumnya (± 1 cm di atas media) hingga titik tumbuh pucuk apikal (ujung dibatang utama). (3) jumlah daun, pertambahan jumlah daun didapat dari selisih antara jumlah daun diakhir pengamatan dengan jumlah daun diawal pengamatan. Sebagian tanaman menunjukkan pertambahan jumlah daun yang negatif (jumlah daun di akhir lebih sedikit dibandingkan di awal pengamatan) dalam hal ini, untuk keperluan pengolahan dan analisis data, nilai negatif yang terbesar dianggap sebagai nol (0) sehingga semua angka aktual tersebut di tambah 26. (4) persentase daun kering, persentase daun kering yaitu jumlah daun kering yang dihitung setiap empat minggu dengan menggunakan rumus:

% daun kering= daun kering

daun keseluruhan di awal penelitian untuk tiap tanaman X 100%

Daun dikategorikan sebagai daun kering apabila lebih dari 50% luas daun kering. dan (5) persentase daun gugur. Menghitung persen daun gugur, yaitu jumlah daun gugur yang dihitung setiap empat minggu dengan rumus:

% daun gugur= daun gugur

[image:39.595.113.512.126.248.2]
(40)

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan faktor teknik pengambilan anakan alam menggunakan 6 perlakuan, setiap perlakuan terdiri dari 15 ulangan, dan satu ulangan adalah satu tanaman, sehingga jumlah tanaman untuk seluruh perlakuan (6 x 15) menjadi 90 tanaman. Masing-masing perlakuan dirinci sebagai berikut:

A1 = cabutan semai dengan tinggi 2−29 cm A2 = cabutan semai dengan tinggi ≥30 cm

A3 = cabutan semai penggemburan tanah dengan tinggi 2−20 cm A4 = cabutan semai penggemburan tanah dengan tinggi ≥30 cm

A5 = puteran dengan tinggi 2−20 cm A6 = puteran dengan tinggi ≥30 cm

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran dianalisis dengan menggunakan model linear:

Yik = µ + αi+ εik

Yik = Nilai/respon dari pengamatan pada faktor teknik taraf ke-i dan ulangan ke-k

µ = Nilai rataan umum

αi = pengaruh perlakuan teknik ke-i

εik = pengaruh acak faktor teknik ke-i dan ulangan ke-k

Analisis Data

Guna mengetahui pengaruh perlakuan, dilakukan sidik ragam dengan uji F. Data diolah dengan menggunakan perangkat lunak statistika SPSS versi 16, jika: a. Psig > 0.05, maka perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap parameter

yang diamati

b. Psig ≤ 0.05, maka perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati. Jika terdapat perbedaan yang nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan`s Multiple Range Test.

KEADAAN UMUM HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG

WALAT

Sejarah Hutan Pendidikan Gunung Walat

(41)

IPB untuk digunakan seperlunya bagi pendidikan kehutanan yang dikelola oleh Fakultas Kehutanan IPB. Pada tahun 1969 diterbitkan Surat Keputusan Kepala Jawatan Kehutanan Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 7041/IV/69 tanggal 14 Oktober 1969 yang menyatakan bahwa Gunung Walat seluas 359 Ha ditunjukkan sebagai hutan pendidikan yang pengelolaannya diserahkan kepada IPB.

SK Mentri Pertanian RI No. 008/Kpts/DJ/73 tentang penunjukkan komplek Hutan Gunung Walat menjadi Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) pada tahun 1973 diterbitkan. Pengelolaan kawasan Hutan Gunung Walat seluas 359 ha dilaksanakan oleh IPB dengan status hak pakai sebagai hutan pendidikan dan dikelola Unit Kebun Percobaan IPB dengan jangka waktu 20 tahun. Pada tahun 1973 penanaman telah mencapai 53%. Tahun 1980 seluruh wilayah HPGW telah berhasil ditanami berbagai jenis tanaman yaitu damar (A. loranthifolia), pinus (Pinus merkusi), puspa (S. wallichii), kayu afrika (maesopsis eminii), mahoni (Swietenia macrophylla), rasamala (Altiangia excelsa), sonokeling (Dalbegia latifolia), gamal (Gliricidae sp.), sengon (Paraserianthes falcataria), meranti (Shorea sp.) dan mangium (Acacia mangium). Berdasarkan SK Mentri Kehutanan No. 687/Kpts-II/1992 tentang penunjukan komplek hutan gunung walat sebagai hutan pendidikan, pengelolaan kawasa Hutan Pendidikan Gunung Walat sebagai hutan pendidikan dilaksanakan bersama antara Fakultas Kehutanan IPB dan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan atau Balai Latihan (BLK) Bogor. Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 24 januari 1993. Status hukum kawasan HPGW pa

Gambar

Gambar 3  Hasil teknik pemanfaatan anakan alam puspa: (a) cabutan; (b) puteran
Gambar 4  Kegiatan di persemaian: (a) tanah yang digunakan; (b) hasil puteran
Gambar 6. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa teknik A6 (teknik putaran
Gambar 6 Pertambahan tinggi tanaman pada teknik pemanfaatan anakan alam
+7

Referensi

Dokumen terkait

Saran-Saran Berdasarkan hasil kajian dan analisis penulis tentang istri sebagai pencari nafkah keluarga perspektif teori konstruksi sosial studi kasus pada pekerja sektor formal

Berdasarkan hasil pemetaan anak perusahaan dalam matriks kesesuaian pengasuhan (Gambar 2), kelompok usaha Industri Pupuk dan Bahan Kimia masuk dalam kategori heartland business maka

Badan Pendidikan dan Pelatihan Energi Dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Republik Indonesia (Badiklat ESDM) dan Universitas Laica

Total biaya pelanggan (total customer cost) adalah kumpulan biaya yang dipersepsikan yang diharapkan pelanggan untuk dikeluarkan dalam mengevaluasi, mendapatkan,

Hasil yang didapat dari melaksanakan kegiatan PPL adalah pengalaman dalam mengahadapi karakter peserta didik yang berbeda-beda dan dari berbagai jenis umur dari

Saat ini sudah berkembang alat tugal semi mekanis menggunakan pegas yang memiliki multifungsi.Fungsi tugal semi mekanis yang sudah berkembang adalah untuk

kalium heksasianoferat (II)–tembaga (II) klorida. Adanya pengikatan radioisotop tertentu pada matrik teramati dari penurunan radioaktivitas pada daerah energi radiasi γ

planci di Perairan Tomia yang berada dalam Status Ancaman ditemukan di Stasiun Waha pada kedalaman 3 – 5 meter, dengan kepadatan mencapai 0,132 individu/m 2 , sedangkan