• Tidak ada hasil yang ditemukan

Effect of shading intensity on the growth and leaf bioactive compounds of two accession of javanese long pepper (Piper retrofractum Vahl.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Effect of shading intensity on the growth and leaf bioactive compounds of two accession of javanese long pepper (Piper retrofractum Vahl.)"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

DAUN DUA AKSESI TANAMAN CABE JAWA

(Piper retrofractum

Vahl.)

DWIWANTI SULISTYOWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Pengaruh Intensitas Naungan terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Bioaktif Daun Dua Aksesi Tanaman Cabe Jawa (Piper retrofractumVahl.) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2010

(3)

DWIWANTI SULISTYOWATI. Effect of Shading Intensity on The Growth and Leaf Bioactive Compounds of Two Accession of Javanese Long Pepper (Piper retrofractum Vahl.). Under direction of MAYA MELATI and SANDRA ARIFIN AZIZ.

The aims of this research were (1) to study the morphology, physiology and plant growth of two accessions of javanese long pepper in some shading intensites, and (2) to analyze the nutrients content and bioactive compounds in the leaves of two accessions of javanese long pepper. The research was conducted in June 2009 to February 2010, in Field Experimental Station, Darmaga, Bogor Agricultural University. Split Plot Design was used with three replications. The main plots were shading intensities: 0, 25 and 55%, while the subplot were plant accessions, namely Lampung and Madura. Statistically, there was no effect of shading intensities on morphological and physiological characteristics of plants except of potassium (K) and alkaloid content of leaf. Shading increased K content in leaves, while shading intensity of 25% reduced alkaloid content. Accessions had different plant characteristics in some variables, namely leaf size, branch number, and chlorophylls. In Bogor, Lampung accession tended to have higher values of morphological characteristics than those of Madura. Although not statistically different, there was a general trend of shading effects on different accessions. In Bogor, Lampung accession can grow well with shading intensity up to 55% (shade loving plant), and Madura grow well without shading (sun loving plant). Qualitative bioactive compound test results showed that the leaves of javanese long pepper contained alkaloid and steroid. Increasing shading intensity significantly increased leaf alkaloid, but tends to reduce leaf steroid.

(4)

Pertumbuhan dan Kandungan Bioaktif Daun Dua Aksesi Tanaman Cabe Jawa (Piper retrofractum Vahl.). Dibimbing oleh MAYA MELATI dan SANDRA ARIFIN AZIZ.

Saat ini pemanfaatan tanaman obat sebagai ramuan semakin meningkat, bahkan tidak hanya dikonsumsi oleh masyarakat dalam negeri juga di luar negeri. Ramuan tradisional tanaman obat warisan nenek moyang ini dipercaya oleh masyarakat dan penggunaannya relatif lebih aman. Cabe jawa termasuk 10 besar simplisia nabati yang diserap oleh industri obat tradisional dan menempati peringkat ke-enam. Prospek pengembangan cabe jawa cukup cerah, sejalan dengan perkembangan industri obat tradisional dan modern, didukung pula oleh kecenderungan back to nature dimana kebutuhan obat-obatan yang berasal dari alam meningkat.

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mempelajari mekanisme fisiologi dan morfologi pertumbuhan dua aksesi tanaman cabe jawa pada beberapa intensitas naungan, dan (2) menganalisis kandungan hara dan bahan bioaktif dalam daun dua aksesi cabe jawa. Percobaan disusun dalam Rancangan Petak Terpisah (Split Plot Design) dalam Rancangan Acak Kelompok. Petak utama adalah intensitas naungan dengan ukuran 0, 25 dan 55%, sedangkan sebagai anak petak asal bahan tanam (aksesi), yaitu Lampung dan Madura, dengan ulangan 3 kali. Terdapat 18 unit percobaan, masing-masing unit percobaan terdiri atas 5 tanaman.

Naungan tidak berpengaruh nyata terhadap seluruh peubah karakter morfologi tanaman. Naungan tidak berpengaruh nyata terhadap seluruh peubah karakter fisiologi daun, kecuali pada kadar hara K daun yaitu meningkatkan kadar K daun. Terdapat kecenderungan bahwa naungan meningkatkan kandungan klorofil a, klorofil b, klorofil total, rasio klorofil b/a, dan tebal daun, namun cenderung menurunkan kerapatan stomata.

Perbedaan aksesi menunjukkan bahwa tinggi tanaman dan jumlah daun aksesi Lampung cenderung lebih tinggi daripada aksesi Madura. Panjang dan lebar daun terbesar pada 26 MST dan lebar sel palisade aksesi Madura nyata lebih tinggi daripada aksesi Lampung. Kandungan klorofil a, klorofil total dan rasio klorofil b/a pada aksesi Lampung nyata lebih tinggi daripada aksesi Madura. Secara umum karakter morfologi dan fisiologi aksesi Lampung lebih baik dibandingkan aksesi Madura untuk kondisi naungan dan adaptasi iklim di Bogor.

(5)

tanpa naungan nyata lebih tinggi daripada intensitas naungan 25%. Naungan pada aksesi Lampung meningkatkan kandungan alkaloid daun, tetapi pada aksesi Madura cenderung menurun. Naungan cenderung menurunkan kandungan steroid daun pada kedua aksesi tanaman. Kandungan steroid daun pada aksesi Madura cenderung lebih tinggi daripada aksesi Lampung.

(6)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

DAUN DUA AKSESI TANAMAN CABE JAWA

(Piper retrofractum

Vahl.)

DWIWANTI SULISTYOWATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Nama : Dwiwanti Sulistyowati

NRP : A252080141

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

Dr. Ir. Maya Melati, MS, MSc. Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS

Diketahui

Ketua Mayor Agronomi dan Hortikultura

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

(10)

Tipe pertumbuhan yang merambat membuat cabe jawa biasa dibudidayakan di bawah pohon tahunan (terkena naungan). Prospek pengembangan dan permintaan bahan baku tanaman obat khsususnya cabe jawa yang termasuk peringkat ke-6 dari 10 besar simplisia nabati yang diserap oleh industri obat tradisional dan modern mendorong upaya untuk mencari teknis budidaya yang dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas tanaman obat. Sampai saat ini belum diketahui karakteristik tanaman cabe jawa yang menyebar di berbagai daerah di Indonesia terutama sentra cabe jawa (Lampung, Madura dan Lamongan). Penelitian mengenai naungan dan aksesi diharapkan mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi tanaman obat cabe jawa. Tesis yang berjudul Pengaruh Intensitas Naungan terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Bioaktif Daun Dua Aksesi Tanaman Cabe Jawa (Piper retrofractum Vahl.) mencoba memberikan salah satu jawaban upaya peningkatan kualitas dan kuantitas tanaman obat cabe jawa.

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian hingga penulisan tesis ini dengan baik. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih pada Dr. Ir. Maya Melati MS, MSc dan Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS sebagai komisi pembimbing atas kesabaran beliau membimbing penulis menyelesaikan studi dan penelitian. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Kebun Percobaan Babakan, Bapak Adang serta Staf Laboratorium IPB, Bapak Yudiansyah dan Bapak Joko Mulyono yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan atas dukungan yang selalu diberikan oleh suami, ayah mertua, ibu, anak-anak, dan teman-teman serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.

Bogor,

(11)

Penulis dilahirkan di Jepara, Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 11 April 1967 sebagai anak ke dua dari pasangan Rachmat Sutopo dan Pujiwati. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Hortikultura, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang dan lulus pada tahun 1990. Penulis pertama kali bekerja sebagai guru di SPP/SPMA Negeri Sembawa, Palembang tahun 1992-1997, kemudian mutasi dan bekerja sebagai dosen di Jurusan Penyuluhan Pertanian, Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Bogor sejak tahun 1997 sampai sekarang.

(12)

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan... 3

Hipotesa ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Daerah Asal dan penyebaran ……… 5

Botani dan Morfologi ... 5

Khasiat dan Manfaat... 7

Lingkungan TumbuhTanaman ………. 8

Naungan……… 9

Aksesi ... 12

METODOLOGI Tempat dan Waktu ... 15

Bahan dan Alat... 15

Metode Percobaan ... 15

Pelaksanaan Penelitian ... 16

Pengamatan ………... 17

Morfologi Tanaman ………... 18

Fisiologi Tanaman ………. 18

Analisis Kandungan Bioaktif Daun... 19

HASIL DANPEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian ... 21

Hasil……… 22

Pembahasan ... 34

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 41

Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA... 43

(13)

xii 1 Rekapitulasi hasil sidik ragam pengaruh taraf naungan dan aksesi

tanaman cabe jawa terhadap peubah yang diamati... 23

2 Karakter morfologi tanaman cabe jawa pada berbagai intensitas

naungan dan aksesi tanaman ... 25

3 Pengaruh intensitas naungan dan aksesi terhadap jumlah daun cabe

jawa ... 26

4 Jumlah cabang primer pada interaksi perlakuan intensitas naungan

dan aksesi tanaman cabe jawa ... 27

5 Pengaruh intensitas naungan dan aksesi terhadap jumlah cabang

sekunder daun cabe jawa... 28

6 Kerapatan stomata, mesofil dan tebal daun tanaman cabe jawa pada

berbagai intensitas naungan dan aksesi tanaman... 29

7 Pengaruh intensitas naungan dan aksesi terhadap bobot kering,

kadar hara dan serapan hara daun cabe jawa... 30

8 Pengaruh intensitas naungan dan aksesi terhadap krorofil daun cabe

jawa ... 32

9 Pengaruh intensitas naungan dan aksesi terhadap skor kandungan

(14)

xiii 1 Pohon glirisidia sebagai tanaman panjat, tanaman cabe jawa dan

buah cabe jawa kering ... 15

2 Tanaman cabe jawa yang terkena penyakit busuk pangkal batang,

(15)

xiv

1 Denah penelitian ... 49

2 Pengaruh intensitas naungan dan aksesi terhadap skor kandungan bioaktif daun cabe jawa ... 50

3 Data analisis tanah sebelum percobaan...….. 51

4 Data analisis tanah setelah percobaan... 51

5 Data iklim lokasi percobaan ...….. 52

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Berkembangnya gerakan ”kembali ke alam” atau back to naturemembuka kesadaran manusia terhadap pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. Hal ini juga tampak dalam bidang kesehatan, yaitu dengan semakin meningkatnya penggunaan tanaman obat. Menurut Wahid (1998), tumbuhan obat adalah setiap jenis tumbuhan (flora) yang produk atau bagian tubuh (organ)nya dapat digunakan atau memiliki khasiat sebagai obat atau bahan baku obat.

Saat ini pemanfaatan tanaman obat sebagai ramuan semakin meningkat, bahkan tidak hanya dikonsumsi oleh masyarakat dalam negeri, tetapi juga konsumsi luar negeri. Ramuan tradisional tanaman obat warisan nenek moyang ini dipercaya oleh masyarakat dan penggunaannya relatif lebih aman. Pengetahuan tradisional tentang ramuan ini telah dikuasai dengan baik, dengan menggunakan bagian-bagian tanaman yang tepat berupa akar, rimpang, batang, daun, bunga atau buah (Bermawieet al. 2007).

Cabe jawa termasuk 10 besar simplisia nabati yang diserap oleh industri obat tradisional dan menempati peringkat ke-enam. Serapannya sebesar 9.5% dari total simplisia. Pemakaian simplisia ini menunjukkan adanya peningkatan dari tahun ke tahun, dengan kecenderungan peningkatan rata-rata per tahun sebesar 20.81% dalam kurun waktu 1985-1990. Prospek pengembangan cabe jawa cukup cerah, sejalan dengan perkembangan industri obat tradisional dan modern, didukung pula oleh kecenderunganback to naturedimana kebutuhan obat-obatan yang berasal dari alam meningkat (Balitro 2003).

(17)

yang dikandung buah cabe jawa antara lain adalah beberapa jenis alkaloid di samping senyawa lain dan minyak atsiri. Alkaloid utama yang terdapat di dalam buah cabe jawa adalah piperin (3%), di samping itu terdapat dienamida, guinensia, pipersida, piridina, protein, karbohidrat, gliserida, tanin, dan lain-lain (Balitro 2003).

Melihat peluang kebutuhan untuk dalam negeri dan ekspor yang semakin meningkat maka tanaman ini dapat dijadikan sebagai pilihan komoditas yang berpotensi dan diharapkan menjadi kegiatan usahatani di daerah yang mempunyai ekologi sesuai dengan syarat tumbuh tanaman ini sehingga tanaman ini dapat diharapkan menjadi komoditas unggulan suatu daerah.

Menurut Sjamsuhidajat dan Nurendah (1992), terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kandungan zat kimia dalam tanaman antara lain habitat, pemupukan dan umur tanaman. Darusman et al. (2003) menambahkan bahwa bahan bioaktif tanaman dikendalikan oleh kemampuan metabolisme tanaman yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.

Tanaman cabe jawa umumnya dibudidayakan tidak sebagai tanaman utama sehingga teknologi budidayanya kurang optimal (Soleh et al. 2001; Soleh 2003). Saat ini penelitian cabe jawa hanya sampai pada pembibitan, oleh karena itu pengkajian di lapangan sangat diperlukan antara lain dikaitkan dengan kebiasaan tumbuhnya di bawah tegakan tanaman tahunan (kondisi ternaungi). Naungan diduga akan mempengaruhi karakter morfologi, fisiologi maupun kandungan bioaktif daun, buah, akar atau bagian tanaman lainnya

Pengaruh naungan kemungkinan akan memberikan pengaruh yang berbeda untuk jenis/aksesi cabe jawa yang berbeda. Hasil penelitian Rachmawaty (2005), menunjukkan bahwa perlakuan jenis pegagan yang berbeda memberikan pengaruh nyata sampai sangat nyata terhadap peubah panjang tangkai daun, jumlah daun, anakan, dan panjang stolon, serta tidak berbeda nyata pada bobot basah dan kering daun, serta pada bobot panen.

(18)

berpengaruh terhadap fisiologi tanaman, dapat merubah penampilan fenotip tanaman (Rostianaet al.2003).

Di Indonesia cabe jawa banyak ditemukan terutama di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara dan Kalimantan. Daerah sentra produksi utamanya adalah Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep), Lamongan dan Lampung. Sampai saat ini belum diketahui apakah karakteristik tanaman yang dibudidayakan tersebut sama atau tidak (Rostiana et al. 1994). Perlu dilakukan pengamatan untuk memastikan sifat pembeda dari masing-masing aksesi dikaitkan dengan faktor intensitas naungan, sehingga melalui penelitian ini dilakukan pengkajian sifat morfologi, fisiologi dan bahan bioaktif, namun karena keterbatasan waktu penelitian hanya sampai pada pertumbuhan vegetatif dan analisis bioaktif daun.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh intensitas naungan terhadap karakter morfologi tanaman, fisiologi dan bahan bioaktif daun dua aksesi tanaman cabe jawa.

Hipotesa

- Intensitas naungan tertentu menghasilkan karakter morfologi tanaman, fisiologi dan bahan bioaktif terbaik pada daun cabe jawa.

- Aksesi cabe jawa tertentu menghasilkan karakter morfologi tanaman, fisiologi dan bahan bioaktif terbaik pada daun cabe jawa.

(19)
(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Daerah Asal dan Penyebaran

Cabe jawa atau lada panjang (Piper retrofractum Vahl.), dikenal juga dengan nama cabe jamu (Balitro 2004). Nama daerah cabe jawa adalah campli puta (Aceh), lada panjang (Minang), cabe jamu/cabe sula (Jawa Barat), cabe jamo/cabe onggu (Madura), cabe (Jawa Tengah/Jawa Timur/umum) (Balitro 2003).

Selain di Indonesia jenis tanaman ini dapat tumbuh di kawasan Indochina, Thailand sampai bagian Selatan Asia Tenggara (Balitro 2004). Awalnya penanaman cabe jawa hanya terkonsentrasi di Jawa, namun saat ini tanaman cabe jawa banyak ditanam di berbagai daerah, di antaranya Jawa, Madura, Lampung, Sulawesi dan Ambon (Rukmana 2006).

Botani dan Morfologi

Cabe jawa (Piper retrofractum Vahl; long pepper) termasuk famili Piperaceae yang tumbuh merambat seperti lada. Karakteristik morfologi tanaman cabe jawa mirip dengan tanaman lada. Menurut Dirjenbun (2007) tanaman cabe jawa mempunyai dua jenis akar, yaitu akar utama berada di dalam tanah yang berfungsi untuk menyerap unsur hara dan air dari dalam tanah, dan akar lekat yang berfungsi untuk melekatkan batang sehingga tanaman dapat memanjat.

Menurut Balitro (2003) ciri tanaman cabe jawa di antaranya adalah sebagai berikut :

- Buah muda berwarna hijau, setelah cukup tua berwarna kuning gading dan setelah tua berwarna merah.

- Daun berbentuk bundar telur sampai lonjong, dari pangkal daun bentuk jantung membundar dan ujungnya meruncing.

(21)

batang yang keluar dari pangkal batang yang menjalar di permukaan tanah.

- Batang yang telah tua berkayu, berwarna hijau tua. - Buah berbentuk silinder, pendek-panjang.

Direktorat Budidaya Tanaman Rempah dan Obat (2007) menambahkan ciri-ciri morfologi cabe jawa sebagai berikut :

- Daun berbentuk bulat telur sampai lonjong, tunggal berseling, pangkal tumpul, ujung meruncing, bertulang menyirip terdiri dari 3–5 pasang, permukaan daun bagian atas licin dan bagian bawah berbintik, daun muda berwarna hijau muda kekuningan dan daun tua berwarna hijau tua mengkilap, lebar daun dapat mencapai 5–10 cm serta panjang 14–19 cm. Panjang tangkai daun antara 1.5–2.5 cm.

- Bunga majemuk, berkelamin tunggal. Bunga majemuk tersebut tersusun dalam bentuk bulir. Panjang tangkai bunga tersebut dapat mencapai 0.5 –2.0 cm. Benang sari berjumlah 2–3 buah, tangkai sari pendek, dan berwarna kuning. Putik berjumlah 2–3 buah dan berwarna hijau kekuningan.

- Buah cabe jawa berbentuk silinder, berukuran 4–6 cm. Buah muda berwarna hijau, setelah cukup tua berwarna kuning gading dan setelah masak akan berwarna merah

- Batang berupa sulur, berbuku-buku, dan bentuk silindris. Batang muda berwarna hijau agak lunak, sedangkan batang tua berwarna cokelat dan berkayu agak keras. Diameter batang dapat mencapai 4–6 cm. Panjang ruas batang atau jarak antar buku mencapai 5–12 cm. Panjang sulur atau tinggi tanaman dapat mencapai 8–10 m. Setiap ruas akan tumbuh akar lekat, kadang-kadang juga tumbuh daun dan cabang. Batang utama yang memanjat ini juga disebut sulur panjat. Cabang tumbuh dari buku batang utama. Cabang-cabang yang keluar dari batang utama juga disebut cabang atau sulur buah karena dari sulur ini akan keluar buah. Sulur buah ini tumbuh mendatar dan tidak memiliki akar lekat.

(22)

dari dalam tanah. Akar lekat berada di atas permukaan tanah yang berfungsi untuk melekatkan batang sehingga tanaman dapat memanjat.

Khasiat dan Manfaat

Penggunaan cabe jawa dalam bentuk simplisia termasuk dalam 10 besar bahan baku yang diserap oleh industri obat tradisional, dan menempati peringkat ke-enam, yaitu 9.5% dari total simplisia. Pemakaian simplisia ini menunjukkan adanya peningkatan rata-rata per tahun 20.81% dalam kurun waktu 1985-1990 (Januwati et al. 2000). Kebutuhan cabe jawa berdasarkan ragam penggunaan (khasiat obat) adalah 47.73% (Kemala et al. 2003). Cabe jawa merupakan salah satu dari 9 tanaman unggulan Badan Pengawasan Obat dan Makanan dan dikelompokkan sebagai tanaman berkhasiat afrodisiak (Sampurno 2003).

Cabe jawa merupakan salah satu jenis tanaman budidaya yang diketahui memiliki efek stimulan terhadap sel-sel syaraf sehingga meningkatkan stamina tubuh. Efek hormonal atau non hormonal dari tumbuhan seperti itu dikenal sebagai afrodisiak. Secara umum kandungan senyawa tumbuhan yang memiliki efek afrodisiak adalah turunan steroid, saponin, alkaloid, tannin dan senyawa lain yang dapat melancarkan peredaran darah (Anwar 2001). Buah cabe jawa mengandung minyak atsiri, piperina, piperidina, asam palmitat, asam tetrahidropiperat, undecylenyl 3-4 methylenedioxy benzene, N-isobutyl decatrans-2 trans-4 dienamida, sesamin, eikosadienamida, eikosatrienamida, guinensia, oktadekadienamida, protein, karbohidrat, gliserida, tannin, kariofelina (Aliadi et al. 1996; Depkes 1977; Hargono 1992; Kardono 1992). Diduga bahan bioaktif yang berkhasiat afrodisiak di dalam buah cabe jawa adalah piperin.

(23)

Yuniarti (2008) dan Muslihah (2007) juga menambahkan bahwa buah cabe jawa bermanfaat untuk mengobati kejang perut, muntah-muntah, perut kembung, mulas, sukar buang air besar, disentri, diare, sakit kepala, sakit gigi, batuk, demam, sukar melahirkan, hidung berlendir, dan tekanan darah rendah. Bagian akar dari cabe jawa berfungsi untuk mengobati perut kembung, pencernaan terganggu, tidak dapat hamil karena rahim dingin, membersihkan rahim setelah melahirkan, badan terasa lemah, dan stroke. Bagian daun cabe jawa berfungsi untuk mengobati kejang perut dan sakit gigi.

Lingkungan Tumbuh Tanaman

Tanaman cabe jawa dapat tumbuh baik pada ketinggian 1-600 m dpl, dari daerah pantai sampai di kaki perbukitan. Suhu yang cocok berkisar antara 20ºC (minimum) dan 34ºC (maksimum). Kisaran suhu terbaik adalah 23-32ºC dengan suhu rata-rata siang hari 29ºC dan mempunyai derajat kelembaban dengan kisaran 60– 80%. Cabe jawa menghendaki daerah dengan curah hujan antara 1500–3000 mm/tahun. Tidak terdapat bulan-bulan kering dengan curah hujan < 60 mm/bulan, karena pertumbuhan tanaman dapat tertekan dan menjadi layu (Balitro 2003; Dirjenbun-Deptan 2009). Cabe jawa dapat tumbuh pada lahan terbuka atau pada lahan agak terlindung (radiasi surya 50-75%) (Dirjenbun 2009).

Tanaman cabe jawa dapat tumbuh dengan baik pada jenis tanah Andosol, Latosol, Grumosol, Regosol, dan Podsolik; tekstur liat yang mengandung pasir, subur, gembur, porous, drainase yang baik dengan kemasaman tanah (pH) antara 5.5 –7.0. Tempat tumbuh tanaman merambat pada tembok, pagar, pohon lain, atau rambatan yang dibuat khusus. Cabe jawa cocok ditanam di tanah yang tidak lembab dan banyak mengandung pasir ( Balitro 2003).

(24)

dengan memakai berbagai pohon panjat yang ditanam di sepanjang galengan atau batas petakan kebun dalam pola budidaya tumpangsari. Namun akhir-akhir ini telah banyak diusahakan penanaman secara khusus monokultur. Petani di Jawa Timur, seperti di daerah Madura dan Kabupaten Lamongan menanam cabe jawa pada galengan/guludan dan pembatas dengan jarak yang cukup lebar, dengan maksud agar petani dapat menanam palawija pada musim penghujan sebagai tanaman tumpangsari dengan tanaman cabe jawa (Bermawieet al.2007).

Januwati dan Yuhono (2003) menyatakan bahwa di Tawangmangu, Jawa Tengah misalnya, cabe jawa tidak dapat berbuah dengan sempurna dan cenderung menghasilkan daun daripada buah. Di Wonogiri-Jateng tanaman asli Indonesia ini menghasilkan daun dan buah yang kecil-kecil. Sebaliknya, di Madura-Jatim cabe yang tidak pedas ini membentuk buah dengan ukuran yang lebih besar. Menurut Purbani dan Puspita (2006), Madura adalah tempat ideal bagi pertumbuhan cabe jawa, karena kondisi lingkungannya, baik suhu maupun tanah di sana, dirasa paling cocok. Saat ini daerah pengembangan cabe jawa meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung.

Naungan

Tanaman memerlukan intensitas cahaya dalam jumlah yang berbeda-beda. Tanaman yang memerlukan cahaya dalam jumlah sedikit memerlukan adanya naungan. Menurut Rezkiyanti (2000), naungan dilakukan untuk mengurangi intensitas cahaya yang sampai pada tanaman dan berfungsi untuk menghindari dari terpaan air hujan secara langsung pada tanaman saat musim hujan. Selain itu naungan juga berfungsi untuk memodifikasi lingkungan mikro, yaitu dengan mengurangi atau menurunkan kualitas dan kuantitas faktor-faktor lingkungan yang ada di sekitar tanaman.

Pertumbuhan suatu tanaman di bawah kondisi yang kurang optimum

menunjukkan adanya penurunan kemampuan tumbuh dan berproduksi pada

tanaman tertentu. Kondisi tersebut menyebabkan perlunya tambahan masukan

yang dapat mendukung pertumbuhan dan hasil tanaman yaitu dengan pemberian

pupuk alami. Industri obat masih mensyaratkan penanaman tanaman obat

(25)

Cabe jawa memerlukan naungan dan tempat rambatan berupa pohon

panjat. Pengaruh naungan terhadap karakter morfologi, fisiologi dan produksi

bahan bioaktif cabe jawa dapat dicari dengan suatu pendekatan, mempelajari

pengaruh naungan terhadap jenis tanaman obat lainnya yang sama-sama toleran

atau memerlukan naungan.

Januwati dan Muhammad (1992) menyatakan bahwa salah satu jenis

tanaman obat yang toleran terhadap naungan adalah pegagan. Perbedaan jumlah

daun pegagan yang tumbuh di bawah naungan dipengaruhi oleh adanya perbedaan

intensitas cahaya yang diperoleh sehingga energi foton yang dibutuhkan untuk

proses fotosintesis menjadi berkurang. Laju fotosintesis berkurang mengakibatkan

fotosintat yang dihasilkan berkurang sehingga pertumbuhan vegetatif terutama

pertumbuhan daun terhambat. Dwijoseputro (1980) menambahkan bahwa tingkat

naungan yang ekstrim untuk tanaman tertentu bisa mengakibatkan kematian

jaringan tanaman dan diikuti kematian tanaman itu sendiri.

Semakin tinggi tingkat naungan maka semakin besar luas daun yang

merupakan salah satu mekanisme adaptasi tanaman terhadap cekaman intensitas

cahaya rendah yang berfungsi untuk memperbesar area penangkapan cahaya. Hale

dan Orcutt (1987) mengemukakan bahwa tanaman beradaptasi terhadap cekaman

naungan melalui dua cara yaitu dengan peningkatan luas daun sebagai

photosynthetic area dan pengurangan jumlah cahaya yang ditransmisikan dan

yang direfleksikan.

Fitter dan Hay (1998) serta Taiz dan Zeiger (2002) menyatakan bahwa

daun tanaman yang ternaungi menjadi lebih tipis dibanding daun tanaman yang

tidak ternaungi, disebabkan oleh pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil.

Sugito (1999) menyatakan bahwa daun yang tipis dimaksudkan agar lebih banyak

radiasi matahari yang dapat diteruskan ke bawah sehingga distribusi cahaya

merata sampai pada bagian daun bagian bawah. Penurunan tebal daun diiringi

dengan pelebaran atau penambahan luas daun dimaksudkan agar penerimaan

cahaya matahari lebih banyak.

Misalnya pada tanaman pegagan dapat tumbuh dengan baik di tempat

dengan naungan yang cukup. Pada kondisi tersebut, tanaman akan tumbuh

(26)

tempat terbuka. Apabila pegagan tumbuh pada tempat yang terlalu kurang cahaya

helaian daun akan menipis dan warnanya memucat (Januwati dan Muhammad

1992). Tanaman ini juga dapat tumbuh baik dengan intensitas cahaya 30–40 %,

sehingga dapat dikembangkan sebagai tanaman sela musiman maupun tahunan

(Januwati dan Yusron 2004).

Semakin tinggi tingkat naungan yang diberikan maka tanaman akan

melakukan adaptasi atau penghindaran terhadap cekaman naungan dengan cara

meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya tiap unit area fotosintetik. Adaptasi

yang dilakukan tanaman adalah dengan meningkatkan jumlah klorofil per unit

luas daun dan rasio klorofil b/a (Levitt 1980). Hale dan Orcutt (1987) menyatakan

bahwa efisiensi penangkapan cahaya tergantung pada jumlah klorofil per unit luas

daun, untuk sebagian tanaman tetap konstan terhadap cakupan intensitas cahaya

yang luas. Pembentukan klorofil pada daun yang ternaungi dipengaruhi antara

lain oleh cahaya, karbohidrat dalam bentuk gula serta komponen utama

pembentuk klorofil yaitu unsur N dan Mg (Dwijoseputro 1980).

Lada tergolong satu famili dengan cabe jawa, yaitu famili Piperaceae. Oleh karena itu cabe jawa memiliki sifat morfologi dan fisiologi yang menyerupai lada. Syarat tumbuh dan teknologi budidaya tanaman cabe jawa dapat menggunakan pendekatan menggunakan syarat tumbuh dan teknologi budidaya lada, baik lada merambat maupun lada perdu, karena kedua lada tersebut memiliki syarat tumbuh tanaman yang sama.

(27)

Berdasarkan kebutuhan intensitas radiasi surya, tanaman lada perdu sebaiknya dikembangkan di bawah tegakan tanaman tahunan yang dapat meloloskan radiasi surya 50-75%. Di antara tanaman tahunan tersebut, kelapa merupakan tanaman yang sangat berpotensi dan sering dipolatanamkan dengan lada perdu. Hal ini disebabkan terdapat kesesuaian lingkungan antara prasyarat tumbuh tanaman kelapa dan kondisi lahan di bawahnya dengan prasyarat tumbuh tanaman lada perdu. Pengembangan tanaman lada perdu di bawah tegakan tanaman tahunan juga dapat menekan tingkat kematian tanaman akibat cekaman lingkungan. Hasil penelitian Wahid et al. (1995) menunjukkan bahwa akibat tingkat cekaman air tanaman lada perdu yang ditanam di bawah tegakan kelapa mencapai 28.9%, sedangkan secara monokultur 34.1%.

Tanaman tahunan lainnya yang cukup berpotensi untuk dipolatanamkan dengan tanaman lada perdu adalah sengon (Paraserianthes falcataria). Disamping tanaman sengon memiliki bintil akar yang dapat mengikat nitrogen bebas, hasil pengamatan Pramudya (2000) menunjukkan bahwa rata-rata intersepsi radiasi surya pada tanaman sengon berbagai umur yang ditanam dengan jarak lebih dari 3 m x 3 m dapat mencapai 49.92%, artinya tanaman sengon masih dapat meloloskan intensitas radiasi surya sebesar 50.08%. Rata-rata suhu dan kelembaban udara pada areal pertanaman sengon tersebut masing-masing mencapai 7.92oC dan 79.17%, artinya iklim mikro, di bawah tegakan sengon yang ditanam dengan jarak lebih dari 3 m x 3 m masih sesuai dengan prasyarat tumbuh lada perdu.

Awad et al. (2001) menyatakan bahwa cahaya pada kondisi naungan memiliki kandungan sinar UV-A, biru, hijau dan sinar merah yang sedikit, namun kaya akan sinar infra merah. Hal ini berpengaruh terhadap produksi bahan bioaktif yang terkandung pada tanaman.

Aksesi

(28)

dengan warna bervariasi dan mutu berlainan. Cabe jawa dari Kabupaten Sumenep memiliki kandungan minyak 1.56-1.66% (Rostiana et al. 1994; Yuliani et al. 2001).

Hasil eksplorasi tahun 2003 menunjukkan bahwa kandungan piperin, oleoresin dan minyak atsiri aksesi cabe jawa yang berhasil dikumpulkan dari beberapa sentra produksi juga berbeda-beda. Kadar piperin tertinggi (17.24%) diperoleh pada aksesi asal Bali, dengan bentuk buah lonjong, pipih dan kecil serta berwarna kuning. sedangkan kadar minyak atsiri tertinggi(1.40%) diperoleh dari aksesi asal Pamekasan, Cabe jawa yang berasal dari Sumenep menunjukkan kadar oleoresin tertinggi, yaitu 6.10% (Rostiana et al. 2003). Dengan demikian perbedaan komponen produksi dari masing-masing tipe cabe jawa yang tersebar di sentra produksi belum diketahui dengan jelas. Sampai saat ini belum diketahui apakah karakteristik tanaman yang dibudidayakan tersebut sama atau tidak (Rostianaet al.1994).

(29)
(30)

METODOLOGI

Tempat dan Waktu

Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Sawah Baru, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada bulan Juni 2009 sampai dengan Pebruari 2010. Analisis hara tanah dan hara daun dilakukan di Balai Penelitian Tanah, Bogor. Analisis anatomi daun dilakukan di Laboratorium Ekofisiologi, analisis kandungan klorofil dilakukan di Laboratorium Spectrophotometry, dan bahan bioaktif dilakukan secara kualitatif di Laboratorium Micro Technique, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Percobaan ini mempergunakan bibit dua aksesi cabe jawa (Lampung dan Madura), pohon glirisidia sebagai tanaman panjat, pupuk kandang, urea, SP18 dan KCl, paranet intensitas naungan 25 dan 55%, bahan kimia untuk uji klorofil dan bioaktif daun cabe jawa. Peralatan yang digunakan antara lain timbangan, oven, kamera, spektrofotometer, mikroskop listrik, waterbath, alat-alat laboratorium untuk analisis kimia dan alat penunjang lainnya. Pohon glirisidia sebagai tanaman panjat, tanaman cabe jawa serta buah cabe jawa dapat dilihat pada Gambar 1.

(a) (b) (c)

Gambar 1 Pohon glirisidia sebagai tanaman panjat (a), tanaman cabe jawa (b) dan buah cabe jawa kering (c).

Metode Percobaan

(31)

percobaan pada Lampiran 1. Petak utama terdiri atas tiga taraf intensitas naungan yaitu 0, 25 dan 55%. Anak petak terdiri dari dua aksesi yaitu Lampung dan Madura. Terdapat 6 kombinasi perlakuan, setiap perlakuan diulang 3 kali, ulangan terpisah dari taraf naungan, sehingga diperoleh 18 unit percobaan. Setiap unit percobaan terdiri dari 5 tanaman.

Model statistika untuk rancangan petak terpisah adalah sebagai berikut : Yijk= µ + αi+Kk+δik+βj+(αβ)ij+εijk

keterangan :

Yijk = nilai pengamatan pada perlakuan petak utama ke-i, anak petak ke-j, ulangan ke-k

µ = nilai rata-rata umum

αi = pengaruh perlakuan intensitas naungan taraf ke-i (i = 1, 2, 3).

Kk = pengaruh ulangan ke-k (k = 1, 2, 3)

δik = galat petak utama (intensitas naungan)

βj = pengaruh perlakuan aksesi taraf ke-j (j = 1, 2)

(αβ)ij= interaksi antara perlakuan petak utama ke-i dengan anak petak ke-j

εijk = galat anak petak (asal bibit)

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf nyata 5 atau 10%.

Pelaksanaan Penelitian

(32)

Penanaman. Bibit cabe jawa ditanam pada lubang tanam dengan menimbun campuran tanah dan pupuk kandang, jarak 20 cm dengan kemiringan 45° menghadap pohon panjat. Tanaman cabe jawa dan pohon panjat berada di bawah paranet sesuai perlakuan.

Pemeliharaan. Pemeliharaan tanaman yang dilakukan selama percobaan meliputi penyulaman, pengairan, penyiangan, pemupukan susulan dan pengendalian hama penyakit, pemangkasan tanaman panjat. Penyulaman dilakukan pada umur 2-4 minggu setelah tanam dengan menggunakan bibit seumur. Pengairan dilakukan dengan cara penyiraman dengan melihat kondisi kebutuhan tanaman. Penyiangan dilakukan sesuai dengan keadaan gulma di lapangan, biasanya frekuensinya antara 4-6 minggu. Pemupukan susulan dimulai saat berumur 2-3 bulan setelah dipindah ke kebun dengan 25-40 g urea, 20-50 g SP 18 dan 10-25 g KCl /tanaman/tahun, sesuai dengan anjuran dari Balitro (2004). Pengendalian hama penyakit dilakukan pada saat terlihat ada serangan yang membahayakan tanaman. Pemangkasan pohon panjat dengan cara mengurangi jumlah daun dan membuang semua cabang sekunder yang tumbuh.

Pengamatan

Peubah yang diamati adalah komponen pertumbuhan vegetatif tanaman (karakter morfologi). Komponen vegetatif yang diamati yaitu tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang primer, jumlah cabang sekunder, serta panjang dan lebar daun terbesar.

(33)

Morfologi Tanaman

Tinggi tanaman (cm). Pengukuran tinggi tanaman dilakukan setiap 2 minggu sekali dengan cara mengukur dari pangkal sampai titik tumbuh yang terletak di ujung batang tanaman.

Jumlah daun. Perhitungan jumlah daun dilakukan setiap 2 minggu sekali dengan cara menghitung jumlah daun yang keluar dari batang tanaman.

Panjang dan lebar daun terbesar (cm). Pengukuran panjang dan lebar daun terbesar dilakukan setiap 2 minggu sekali dengan cara memilih daun terbesar dari tanaman tersebut dan mengukur panjang dan lebar daunnya.

Jumlah cabang primer. Perhitungan jumlah cabang primer dilakukan setiap 2 minngu sekali dengan cara menghitung jumlah cabang yang keluar dari batang utama.

Jumlah cabang sekunder. Perhitungan jumlah cabang sekunder dilakukan setiap 2 minggu sekali dengan cara menghitung jumlah cabang yang keluar dari ketiak daun.

Fisiologi Tanaman

Tinggi dan lebar sel palisade (nm). Pengukuran tinggi dan lebar sel palisade dilakukan dengan cara mengiris tipis daun secara melintang, kemudian mengukur tinggi dan lebar sel palisade di bawah mikroskop listrik.

Tinggi dan lebar sel bunga karang (nm). Pengukuran tinggi dan lebar sel bunga karang dilakukan dengan cara mengiris tipis daun secara melintang, kemudian mengukur tinggi dan lebar sel bunga karang di bawah mikroskop listrik. Ketebalan daun (nm). Pengukuran ketebalan daun dilakukan dengan cara mengiris tipis daun secara melintang, kemudian mengukur ketebalan daun di bawah mikroskop listrik.

(34)

jumlah stomata Kerapatan stomata =

luas bidang pandang

Apabila : Diameter bidang pandang = 5 x 10-1= 0.5 mm. Luas bidang pandang = ¼ xη x d2

= ¼ x 3.14 x 0.52 = 0.19625 mm2.

(Keterangan : η = 3,14; d = diameter bidang pandang).

Serapan hara. Serapan hara dilakukan untuk mengetahui jumlah suatu hara yang diserap oleh tanaman. Serapan hara dihitung dengan rumus :

Serapan hara = kadar hara daun x bobot daun Bobot daun = jumlah daun x bobot kering 1 daun

Analisis klorofil. Analisis klorofil dilakukan untuk mengetahui kandungan klorofil a dan b sehingga dapat menentukan rasio klorofil b/a. Metode analisis yang digunakan adalah modifikasi dari Arnon (1949). Contoh daun segar dihaluskan, selanjutnya 50 mg contoh tersebut ditambah dengan 2 ml aseton 80% dan disentrifuge. Ekstraksi diulang sampai tidak terbentuk warna. Volume ekstrak yang terkumpul kemudian ditera sampai 10 ml. Penentuan kadar klorofil (mg/mg) dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 645 nm (klorofil a) dan 663 nm (klorofil b).

Analisis Kandungan Bioaktif Daun

Analisis kandungan bioaktif daun dilakukan secara kualitatif, untuk menganalisis kandungan alkaloid, triterpenoid/steroid, saponin, flavonoid dan tanin. Analisis data dilakukan pada skor kandungan bioaktif masing-masing jenis. Identifikasi kandungan bahan bioaktif (Tunggal, 2004)

- Pembuatan ekstrak : contoh daun kering dihaluskan, selanjutnya 10 g contoh tersebut direndam dalam metanol selama 24 jam pada suhu kamar. Ekstrak kemudian disaring dan diuapkan dengan alat rotavapor (suhu 300C) hingga didapatkan residunya.

(35)

Larutan bening dipipet dan dimasukkan ke dalam 2 tabung reaksi, selanjutnya masing-masing diberi beberapa tetes reagen Dragendorf dan Mayer. Uji alkaloid positif bila dihasilkan endapan warna jingga dengan reagen Dragendorf dan warna putih kekuningan dengan reagen Mayer. - Pengujian triterpenoid : 2 mg residu kering dilarutkan dalam dietil eter

sampai larut. Fraksi yang larut dalam dietil eter ditambah dengan pereaksi Liebermann-Buchard (3 tetes asam asetat anhidrat + 1 tetes H2SO4pekat).

Uji steroid positif jika timbul warna hijau; sedangkan triterpenoid ditandai dengan adanya warna merah atau ungu.

- Pengujian saponin, flavonoid dan tanin : 2 mg residu kering ditambah dengan aquades secukupnya, kemudian dipisahkan 3 ml filtrat ke dalam 3 tabung reaksi.

1. Tabung pertama ditambah dengan logam Mg, beberapa HCl pekat dan larutan amil alkohol, kemudian dikocok. Uji flavonoid positif ditunjukkan dengan timbulnya warna kuning kemerahan.

2. Tabung kedua dikocok secara vertikal, dan bila timbul busa yang stabil setinggi ± 1 cm selama 10 menit menandakan uji saponin positif.

3. Tabung ketiga ditambah dengan FeCl3 1% bila menghasilkan

warna biru-hitam menandakan uji tanin positif.

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

Berdasarkan hasil analisis tanah yang dilakukan di Balai Penelitian Tanah, Bogor, lahan percobaan lapang tergolong masam dengan pH H2O sebesar 4.6

(Lampiran 3), kandungan hara mikro seperti Fe, Zn, Cu, Mn sangat tinggi. Hara P pada tanah masam diikat kuat oleh hara mikro tersebut atau diikat oleh tanah liat, demikian pula hara N dan K, menjadikan unsur hara tersebut kurang atau tidak tersedia bagi tanaman. Lahan percobaan tergolong bertekstur liat karena kandungan liatnya lebih dari 30%, yaitu kandungan liat sebesar 58%. Kapasitas Tukar Kation (KTK) lahan tersebut tergolong rendah yaitu 15.08 cmol/kg sehingga kekuatan mengikat unsur H, N, K, Ca, dan Mg juga rendah.

Pemberian pupuk dasar berupa pupuk kandang, urea, SP 36 dan KCl pada awal penanaman serta pupuk tambahan urea dan KCl mempengaruhi sifat kimia tanah. Hasil analisis tanah setelah percobaan menunjukkan bahwa yang memperlihatkan peningkatan hara hanya unsur P (Lampiran 4).

Penanaman bibit cabe jawa di lapangan dilakukan awal musim kemarau yaitu bulan Juni 2009 dan berakhir bulan Pebruari 2010. Saat penanaman awal bulan Juni 2009 jumlah hari hujan sedang yaitu 18 hari hujan atau dengan curah hujan 338 mm/bulan. Pada bulan selanjutnya Juli, Agustus, September jumlah hari hujan dan curah hujan sedang sampai dengan rendah 131, 33 dan 157 mm/bulan (Lampiran 5), sehingga dilakukan penyiraman untuk menjaga agar tanaman memperoleh air yang cukup selama pertumbuhannya. Penanaman awal musim kemarau ini menyebabkan banyak tanaman yang mati, sehingga dilakukan penyulaman.

Hama yang menyerang cabe jawa selama percobaan lapang adalah belalang, siput, dan kutu daun (Myzus persicae). Intensitas serangan hama tersebut relatif sedikit, akibat yang ditimbulkan tidak mengganggu pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

(37)

(Gambar 2). Penyakit busuk pangkal batang merupakan penyakit utama tanaman cabe jawa, timbul di musim penghujan terutama pada tanaman yang berdrainase kurang baik. Penyakit ini menyerang mulai dari pembibitan sampai tanaman produktif pada seluruh bagian tanaman. Tanaman yang terserang penyakit busuk pangkal batang menunjukkan gejala luar seluruh daun menjadi layu, kering dan akhirnya mati. Serangan P. capsici pada daun menyebabkan gejala bercak pada bagian tengah atau tepi daun (Gambar 2). Tepi bercak berwarna hitam bergerigi seperti renda, tampak jelas bila gejala masih segar, tidak tampak bila daun telah mengering atau pada gejala lanjut (Manohara 2005).

Penyakit yang disebabkan oleh nematoda (Radhopholus similis) menginfeksi cabe jawa lewat akar tanaman. Tanaman cabe jawa yang terserang nematoda mudah terinfeksi jamur F. oxysporum (Salim, 1994). Gejala tanaman yang terserang nematoda adalah terhambatnya pertumbuhan, kemudian secara bertahap warna daun dan dahan berubah warna kekuning-kuningan. Perubahan warna ini dimulai dari bagian bawah kemudian menjalar ke bagian atas, tetapi kadang-kadang terlihat proses menguningnya secara serentak (Gambar 2). R. similis pada tanaman cabe jawa menyebabkan daun terdapat bercak-bercak kuning, daun lebih kecil, lebih tebal dari ukuran normal, dan rapuh sehingga daun cepat rontok (Supriadi dan Sukamto 2005).

(a) (b) (c)

Gambar 2 Tanaman cabe jawa yang terkena penyakit busuk pangkal batang (a), bercak daun (b), serta nemetoda dan patogenF. oxysporum(c).

Hasil Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam

(38)

morfologi tanaman, fisiologi dan skor kandungan bioaktif daun yang diamati, kecuali pada kandungan K daun dan alkaloid daun.

Aksesi tanaman nyata pada beberapa karakter morfologi tanaman (jumlah daun 14 MST, panjang dan lebar daun terbesar 26 MST, jumlah cabang primer 20 MST). Aksesi juga mempunyai perbedaan nyata pada karakter fisiologi daun (lebar sel palisade, kandungan klorofil a, klorofil total dan rasio klorofil b/a).

Interaksi antara perlakuan naungan dan aksesi tanaman berpengaruh nyata pada jumlah cabang primer pada semua umur pengamatan, jumlah cabang sekunder 14 MST dan rasio klorofil b/a.

Tabel 1 Rekapitulasi hasil sidik ragam pengaruh taraf naungan dan aksesi tanaman cabe jawa terhadap peubah yang diamati

Perlakuan Pengamatan ke- Perlakuan

Taraf naungan Aksesi Interaksi KK%

Morfologi tanaman :

Tinggi tanaman 14 MST tn tn tn 7.88 20 MST tn tn tn 11.27 26 MST tn tn tn 11.09 32 MST tn tn tn 8.99

Jumlah daun 14 MST tn ** tn 10.00

20 MST tn tn tn 13.92

26 MST tn tn tn 15.37 32 MST tn tn tn 12.99

Panjang daun 14 MST tn tn tn 18.28

20 MST tn tn tn 16.04

26 MST tn ** tn 9.89

32 MST tn tn tn 8.88

Lebar daun 14 MST tn tn tn 13.15

20 MST tn tn tn 14.10

26 MST tn * tn 10.10

32 MST tn tn tn 14.63

Σ Cabang primer 14MST tn tn * 14.56

20 MST tn * ** 12.94

26 MST tn tn * 18.42 32 MST tn tn * 16.32

Σ Cabang sekunder 14MST tn tn * 34.42

(39)

Tabel 1 Lanjutan

Perlakuan Pengamatan ke- Perlakuan

Taraf naungan Aksesi Interaksi KK%

bunga karang 32 MST tn tn tn 11.66

Tebal daun 32 MST tn tn tn 1.33

Kerapatan stomata 32 MST tn tn tn 16.73

Kadar hara, serapan hara dan bobot kering daun : Kadar hara daun

Nitrogen 32 MST tn tn tn 12.07

Fosfor 32 MST tn tn tn 10.88

Kalium 32 MST * tn tn 10.87

Mg 32 MST tn tn tn 21.41

Serapan hara daun

Nitrogen 32 MST tn tn tn 14.57

Fosfor 32 MST tn tn tn 26.98

Kalium 32 MST tn tn tn 31.91

Mg 32 MST tn tn tn 30.53

Bobot kering daun 32 MST tn tn tn 29.46

Klorofil

Klorofil a 32 MST tn * tn 12.33

Klorofil b 32 MST tn tn tn 11.40

Klorofil b/a 32 MST tn ** * 3.65

Klorofil total 32 MST tn * tn 11.93

____________________________________________________________________

Steroid 32 MST tn tn tn 10.86

____________________________________________________________________ Keterangan: tn = tidak berbeda nyata pada uji F taraf 10%

(40)

Pengaruh Intensitas Naungan dan Aksesi Tanaman terhadap Karakter Morfologi Tanaman

Tinggi Tanaman, Panjang dan Lebar Daun Terbesar

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan naungan tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, panjang dan lebar daun terbesar. Aksesi mempunyai perbedaan nyata pada panjang dan lebar daun terbesar umur pengamatan 26 MST, yaitu panjang dan lebar daun terbesar pada aksesi Madura nyata lebih besar daripada aksesi Lampung (Tabel 2). Hal ini mungkin dari sifat genetik aksesi tersebut, yaitu daun aksesi Madura lebih besar daripada aksesi Lampung. Tidak terdapat pengaruh interaksi pada kedua perlakuan tersebut terhadap tinggi tanaman, panjang dan lebar daun terbesar.

Tabel 2 Karakter morfologi tanaman cabe jawa pada berbagai intensitas naungan dan aksesi tanaman

- Panjang daun terbesar (cm)

---3.75 3.92 4.32 4.39

3.85 4.02 3.94 4.41

4.15 4.01 3.77 4.01

3.85 3.94 3.90b 4.14 3.97 4.03 4.11a 4.40

-- Lebar daun terbesar (cm)

---2.84 2.92 3.11 3.23

2.84 3.04 3.00 3.41

2.81 3.02 3.27 3.44

2.85 2.97 3.04b 3.30

(41)

Jumlah Daun.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jumlah daun pada berbagai umur pengamatan tidak berbeda antara perlakuan taraf naungan dan aksesi serta tidak terdapat interaksi antara keduanya. Peningkatan intensitas naungan tidak menyebabkan perbedaan nyata terhadap jumlah daun dibandingkan dengan tanpa naungan (Tabel 3).

Peningkatan intensitas naungan pada aksesi Lampung cenderung meningkatkan jumlah daun pada semua umur pengamatan, tetapi pada aksesi Madura cenderung menurun. Perlakuan aksesi tanaman pada awal pengamatan (14 MST), jumlah daun pada aksesi Lampung nyata lebih banyak daripada aksesi Madura, kecenderungan ini terjadi sampai akhir pengamatan (32 MST).

(42)

Jumlah Cabang Primer

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jumlah cabang primer dipengaruhi oleh interaksi antara perlakuan taraf naungan dan aksesi tanaman. Pengaruh naungan terhadap jumlah cabang primer berbeda untuk aksesi Lampung dan Madura. Peningkatan intensitas naungan meningkatkan jumlah cabang primer pada aksesi Lampung, sebaliknya pada aksesi Madura jumlah cabang primer cenderung berkurang dengan meningkatnya intensitas naungan (Tabel 4). Jumlah cabang primer terbanyak pada berbagai umur pengamatan terdapat pada aksesi Lampung dengan taraf naungan 55%, terendah pada aksesi Madura dengan taraf naungan 55%.

Tabel 4 Jumlah cabang primer pada interaksi perlakuan intensitas naungan dan aksesi tanaman cabe jawa

(43)

Jumlah Cabang Sekunder

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jumlah cabang sekunder tidak berbeda antara perlakuan intensitas naungan dan aksesi tanaman secara tunggal, tetapi dipengaruhi oleh interaksi kedua perlakuan tersebut pada umur pengamatan 14 MST. Tabel 5 memperlihatkan bahwa aksesi Lampung perlakuan tanpa naungan pada saat umur 14 MST, memiliki jumlah cabang sekunder tertinggi dan berbeda nyata dengan semua kombinasi perlakuan lainnya. Jumlah cabang sekunder terendah terdapat pada interaksi aksesi Madura dengan intensitas naungan 55%.

Tabel 5 Pengaruh intensitas naungan dan aksesi terhadap jumlah cabang sekunder tanaman cabe jawa

(44)

Semakin bertambahnya umur tanaman pada aksesi Lampung dan Madura, dengan peningkatan intensitas naungan cenderung meningkatkan jumlah cabang sekunder. Jika dilihat dari hasil pengamatan dengan bertambahnya umur tanaman pada aksesi Madura cenderung tidak banyak membentuk cabang sekunder tambahan. Lain halnya dengan aksesi Lampung, dengan bertambahnya umur tanaman cenderung menghasilkan penambahan percabangan baik primer maupun sekunder. Hal ini mungkin dari kedua aksesi tanaman ini mempunyai kemampuan adaptasi yang berbeda pada kondisi iklim di Bogor.

Pengaruh Intensitas Naungan dan Aksesi Tanaman terhadap Karakter Fisiologi Daun

Stomata, Mesofil dan Tebal Daun

Hasil sidik ragam perlakuan taraf naungan, dan aksesi tanaman cabe jawa serta interaksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah stomata, mesofil, dan tebal daun, kecuali pada perlakuan aksesi tanaman yang memperlihatkan pengaruh nyata terhadap lebar sel palisade. Aksesi Madura mempunyai lebar sel palisade nyata lebih besar daripada aksesi Lampung. Peningkatan intensitas naungan cenderung meningkatkan lebar sel palisade, dan tebal daun, tetapi cenderung menurunkan kerapatan stomata, tinggi sel palisade, tinggi dan lebar sel bunga karang (Tabel 6).

Tabel 6 Kerapatan stomata, mesofil, dan tebal daun tanaman cabe jawa pada berbagai intensitas naungan dan aksesi tanaman

Perlakuan

Parameter

Kerapatan Tinggi sel Lebar sel Tinggi sel Lebar sel Tebal stomata palisade palisade bunga karang bunga karang daun

Taraf Naungan 123.14 39573.02 10864.50 37339.26 36201.66 185964.69 121.73 39407.31 11773.38 38285.46 33080.25 211667.68 105.59 35699.17 11691.26 34414.03 30660.05 207537.43

(45)

Kadar Hara, Bobot Kering dan Serapan Hara Daun

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan taraf naungan, aksesi, dan interaksi antara kedua perlakuan tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap kadar hara, bobot kering serta serapan hara daun, kecuali pada taraf naungan memperlihatkan pengaruh nyata terhadap kadar hara K. Tabel 7 menunjukkan bahwa taraf naungan 25 dan 55% mempengaruhi kadar hara K daun yang secara nyata meningkat lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa naungan.

Tabel 7 Pengaruh intensitas naungan dan aksesi terhadap bobot kering, kadar hara, dan serapan hara daun cabe jawa

Perlakuan

Bobot Kering Kadar Hara Serapan Hara

(g/tanaman) (%) (mg/tanaman)

Rata-rata Rata-rata Rata-rata Lampung Madura Lampung Madura Lampung Madura

Taraf Naungan 0.21 0.21 0.21 5.32 9.47 7.40 0.20 0.21 0.21 7.95 7.47 7.71 0.19 0.20 0.19 9.67 5.62 7.65 0.20 0.21 7.65 7.52 0.46 0.41 0.44 22.66 11.58 17.12 0.51 0.48 19.30 17.72

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 10%.

(46)

aksesi Madura terjadi penurunan bobot kering daun sehingga serapan hara N, P, K dan Mg juga menurun.

Aksesi Lampung dengan penambahan naungan cenderung menunjukkan serapan hara yang lebih tinggi meskipun hasil analisis tanah kandungan N, P, K, Mg setelah percobaan tidak ada kecenderungan menurun (Lampiran 4), sebaliknya serapan hara pada aksesi Madura cenderung menurun karena naungan dan hasil analisis tanah kandungan N, P, K, Mg setelah percobaan juga menurun.

Klorofil

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan intensitas naungan tidak berpengaruh nyata terhadap berbagai peubah kandungan klorofil. Pemberian naungan pada kedua aksesi cabe jawa ini cenderung meningkatkan kandungan klorofil a, b dan klorofil total. Perlakuan aksesi berpengaruh nyata terhadap kandungan klorofil a, rasio klorofil b/a dan klorofil total, dan pengaruh interaksi nyata pada rasio klorofil b/a (Tabel 8).

Kandungan klorofil a, total klorofil dan rasio klorofil b/a pada aksesi Lampung nyata lebih tinggi dibandingkan dengan aksesi Madura. Diduga ada kaitan antara kandungan klorofil dengan serapan hara daun, terutama hara N dan Mg sebagai unsur utama pembentuk klorofil daun. Serapan hara N dan Mg daun pada aksesi Lampung cenderung lebih tinggi daripada aksesi Madura (Tabel 7), sehingga kandungan klorofil daun aksesi Lampung menjadi lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury dan Ross (!969), bahwa Mg adalah unsur inti pembentuk klorofil bersama N yang terdapat dalam plastid serta aktivator dalam banyak reaksi enzimatik.

(47)

Tabel 8 Pengaruh intensitas naungan dan aksesi terhadap klorofil daun cabe

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 10%.

Pengaruh Intensitas Naungan dan Aksesi Tanaman terhadap Skor Kandungan Bahan Bioaktif Daun

Hasil sidik ragam faktor tunggal taraf naungan berpengaruh nyata terhadap skor kandungan alkaloid daun cabe jawa, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap skor kandungan steroid. Aksesi tanaman tidak berbeda nyata pada skor kandungan alkaloid dan steroid, serta tidak terdapat pengaruh interaksi antara kedua perlakuan terhadap skor kandungan kedua bahan bioaktif tersebut.

(48)

aksesi Lampung cenderung meningkatkan skor kandungan alkaloid dan bobot kering daun, tetapi sebaliknya pada aksesi Madura.

Tabel 9 Pengaruh intensitas naungan dan aksesi terhadap skor kandungan bahan bioaktif dan bobot kering daun cabe jawa

Perlakuan

- Bobot kering daun (g/tanaman) ---2.47 4.66 3.57

4.39 3.39 3.89

5.16 2.87 4.02

4.01 3.64

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.

Skor kandungan alkaloid pada intensitas naungan 55% dan tanpa naungan (0%) nyata lebih tinggi daripada intensitas naungan 25%. Skor kandungan alkaloid diuji secara kualitatif, dan angka >3 pada semua hasil uji alkaloid ini menandakan bahwa skor kandungan alkaloid daun cabe jawa terletak pada kisaran kuat sampai sangat kuat (Lampiran 4). Naungan cenderung menurunkan skor kandungan steroid pada kedua aksesi.

(49)

Deskripsi tanaman cabe jawa dari hasil menggabungkan semua peubah karakter morfologi dan skor kandungan bahan bioaktif daun dapat dilihat pada Lampiran 6.

Pembahasan

Pengaruh Intensitas Naungan dan Aksesi Tanaman terhadap Karakter Morfologi Tanaman

Tinggi Tanaman, Panjang dan Lebar Daun Terbesar

Peningkatan intensitas naungan pada aksesi Madura tidak meningkatkan tinggi tanaman (Tabel 2), mungkin disebabkan selama penelitian terdapat gangguan penyakit terutama busuk pangkal batang. Penyakit ini menyebabkan batang tanaman aksesi Madura di berbagai bagian busuk atau kering atau bahkan mati, sehingga menyebabkan penurunan tinggi tanaman. Peningkatan intensitas naungan pada aksesi Lampung cenderung meningkatkan tinggi tanaman, walaupun aksesi ini juga terserang penyakit busuk pangkal batang, tetapi relatif lebih tahan dibandingkan aksesi Madura.

Tidak tampak adanya peningkatan pada panjang daun terbesar akibat naungan, tetapi pada lebar daun terbesar cenderung meningkat terutama saat akhir pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan luas daun terutama disebabkan oleh peningkatan lebar daun. Hale dan Orcutt (1987) menyatakan bahwa adaptasi tanaman terhadap naungan dilakukan dengan meningkatkan luas daun dan mengurangi jumlah cahaya yang diteruskan dan dipantulkan daun, sehingga daun tersebut menjadi lebih tipis dan luas.

Panjang dan lebar daun terbesar aksesi Madura pada beberapa umur pengamatan cenderung lebih besar daripada aksesi Lampung. Hal ini mungkin akibat sifat genetik dari kedua aksesi tersebut.

Jumlah Daun

(50)

fotosintat bersih dan laju pertumbuhan vegetatif terhambat dan jumlah daun tanaman menjadi berkurang. Salisbury dan Ross (1995) menambahkan bahwa tanaman yang ternaungi mengalami proses respirasi dan fotosintesis yang lambat, sehingga mengakibatkan pertumbuhan yang lambat. Percobaan yang telah dilakukan memperlihatkan bahwa pada tanaman cabe jawa aksesi Lampung dapat beradaptasi pada kondisi ternaungi.

Lebih sedikitnya jumlah daun aksesi Madura daripada aksesi Lampung, selain disebabkan perbedaan toleransi terhadap naungan, juga mungkin disebabkan oleh kepekaan terhadap penyakit. Aksesi Madura selama penelitian ini lebih rentan terhadap serangan penyakit kuning yang disebabkan oleh nematoda yang mengakibatkan daun dan batang berwarna kuning yang akhirnya rontok. Oleh karena itu jumlah daun aksesi Madura di akhir pengamatan menjadi turun drastis.

Jumlah Cabang Primer dan Cabang Sekunder

Peningkatan intensitas naungan pada aksesi Lampung dengan bertambahnya umur tanaman cenderung menghasilkan penambahan percabangan baik primer maupun sekunder, tetapi peningkatan intensitas naungan pada aksesi Madura menyebabkan penurunan jumlah cabang primer meski sedikit meningkatkan jumlah cabang sekunder (Tabel 4 dan 5).

Hal ini berbeda dengan pernyataan Salisbury dan Ross (1995) bahwa penurunan jumlah cabang tumbuhan pada kondisi ternaungi karena tumbuhan menggunakan energi lebih banyak untuk menaikkan apeks batangnya menuju puncak kanopi. Percobaan yang telah dilakukan memperlihatkan bahwa aksesi Lampung diduga cukup toleran terhadap naungan sehingga pembentukan cabang primer maupun sekunder tidak terganggu, tidak demikian halnya dengan aksesi Madura.

Pengaruh Intensitas Naungan dan Aksesi Tanaman terhadap Karakter Fisiologi Daun

Stomata, Mesofil dan Tebal Daun

(51)

berusaha lebih efisien dalam menggunakan energinya antara lain dengan mengurangi laju transpirasi dengan cara mengurangi kerapatan stomata daun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Logan et al. (1999) bahwa pada intensitas cahaya rendah akan terjadi penurunan laju transpirasi, sehingga tanaman mengadaptasikan diri dengan cara menurunkan kerapatan stomata. Intensitas cahaya rendah akan terjadi pengurangan jumlah stomata.

Peningkatan intensitas naungan cenderung menyebabkan meningkatnya tebal daun. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Levitt (1980) bahwa pada mekanisme penghindaran, tanaman akan meningkatkan luas area penangkapan cahaya per unit area fotosintetik, melalui pengurangan cahaya yang ditransmisikan dan yang direfleksikan. Fitter dan Hay (1998) serta Taiz dan Zeiger (2002) menambahkan bahwa daun tanaman yang ternaungi menjadi lebih tipis dibanding daun tanaman yang tidak ternaungi, disebabkan oleh pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil.

Kadar Hara, Bobot Kering dan Serapan Hara Daun

Peningkatan intensitas naungan nyata meningkatkan kadar hara K dalam daun cabe jawa, namun cenderung menurunkan kadar hara Mg daun meskipun tidak nyata (Tabel 7). Hal ini mungkin disebabkan perubahan keseimbangan unsur N, P, K dan Mg. Ologunde dan Sarensen (1982) meneliti pengaruh keseimbangan K dan Mg dan mendapatkan bahwa pemberian K dengan kadar yang tinggi atau pemupukan Ca yang banyak akan mengurangi konsentrasi Mg dalam tanaman. Pasricha (1985) mengemukakan bahwa pemberian Mg yang berlebihan mengakibatkan K dan Ca akan tertekan karena Mg dengan K dan Ca saling antagonistik.

Magnesium dalam tanaman sebagian besar terkonsentrasi pada molekul klorofil dan senyawa organik dalam biji, sisanya berfungsi sebagai aktivator dalam reaksi-reaksi ensimatik dan proses biokimia lainnya (Noggle dan Frits 1979). Proporsi Mg yang terdapat dalam klorofil terhadap total Mg tanaman berbeda-beda tergantung jenis tanaman, kondisi lingkungan tumbuh, fase pertumbuhan dan aktivitas metabolisme tanaman.

(52)

Intensitas naungan cenderung meningkatkan bobot kering daun pada aksesi Lampung, sehingga serapan hara N, P, K dan Mg daun juga meningkat, tetapi sebaliknya yang terjadi pada aksesi Madura.

Peningkatan intensitas naungan cenderung meningkatkan serapan hara N, P, K, Mg daun aksesi Lampung namun menurunkan serapan hara tersebut pada aksesi Madura. Meskipun demikian ada ketidaksesuaian antara kondisi tersebut dengan kadar hara dalam tanah setelah percobaan (Lampiran 4). Tingginya serapan hara pada aksesi Lampung tidak menyebabkan rendahnya kadar hara dalam tanah. Hal ini menunjukkan bahwa aksesi Lampung lebih efisien dalam penyerapan hara dan toleran terhadap kondisi naungan.

Meningkatnya serapan N karena pemberian naungan untuk tanaman cabe jawa aksesi Lampung sesuai dengan hasil penelitian Syakir (1990) bahwa peningkatan intensitas naungan pada tanaman lada menyebabkan penurunan banyaknya energi radiasi surya yang diikuti dengan penurunan suhu udara dan suhu tanah serta meningkatkan kelembaban tanah dan kelembaban udara, sehingga menyebabkan serapan hara terutama hara N meningkat. Perbedaan serapan hara berdasarkan toleransi klon juga ditunjukkan oleh Djukri dan Purwoko (2003) bahwa naungan pada tanaman talas menyebabkan penurunan kadar N daun klon peka (25.0%) sedikit lebih besar dibandingkan dengan klon toleran (23.6%). Kemungkinan klon toleran dalam menggunakan nitrogen difokuskan pada sintesis klorofil a dan b, sehingga kadar klorofil a dan b meningkat lebih banyak pada klon toleran (39.3% dan 49.1%) dibandingkan dengan klon peka (31.0% dan 37.8%). Nitrogen erat kaitannya dengan sintesis klorofil (Salisbury dan Ross 1992) dan sintesis protein maupun enzim (Schaffer 1996). Enzim (rubisco) berperan sebagai katalisator dalam fiksasi CO

2 yang

dibutuhkan tanaman untuk fotosintesis (Salisbury dan Ross 1992 ; Schaffer 1996). Penurunan kadar nitrogen tanaman berpengaruh terhadap fotosintesis baik lewat kandungan klorofil maupun enzim fotosintetik sehingga menurunkan fotosintat yang terbentuk.

Klorofil

(53)

bentuk adaptasi tanaman terhadap naungan, dengan peningkatan klorofil diharapkan laju fotosintesis dapat dipertahankan. Sesuai dengan pendapat Levitt (1980) semakin tinggi tingkat naungan yang diberikan tanaman akan melakukan adaptasi atau penghindaran terhadap cekaman naungan dengan cara meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya tiap unit area fotosintetik. Adaptasi yang dilakukan tanaman adalah dengan meningkatkan jumlah klorofil per unit luas daun dan rasio klorofil b/a.

Hidema et al. (1992) menambahkan bahwa peningkatan kandungan klorofil a dan b karena adanya naungan menyebabkan kemampuan dalam menangkap energi radiasi cahaya klon toleran lebih efisien dibandingkan dengan klon peka, sehingga fotosintesis klon toleran lebih tinggi dibandingkan dengan klon peka. Klorofil a dan b berperan dalam proses fotosintesis tanaman. Klorofil b berfungsi sebagai antena fotosintetik yang mengumpulkan cahaya, kemudian ditransfer ke pusat reaksi. Peningkatan kandungan klorofil b pada kondisi ternaungi berkaitan dengan peningkatan protein klorofil sehingga akan meningkatkan efisiensi fungsi antena fotosintetik.

Selanjutnya Taiz dan Zeiger (1991) menyatakan bahwa pusat reaksi tersusun dari klorofil a. Energi cahaya akan diubah menjadi energi kimia di pusat reaksi yang kemudian dapat digunakan untuk proses reduksi dalam fotosintesis. Menurut Johnston dan Onwueme (1996), peningkatan kadar klorofil a dan b merupakan bukti kemampuan tanaman toleran naungan untuk tumbuh di bawah kondisi cahaya rendah. Sahardi (2000) menambahkan bahwa bukti ini merupakan salah satu bentuk mekanisme toleransi terhadap naungan.

(54)

Perbedaan aksesi tanaman memperlihatkan bahwa kandungan klorofil a, klorofil total dan rasio klorofil b/a aksesi Lampung nyata lebih besar daripada aksesi Madura. Kandungan klorofil yang nyata lebih tinggi ini membuktikan bahwa aksesi Lampung termasuk tanaman toleran terhadap naungan.

Pengaruh Intensitas Naungan dan Aksesi Tanaman terhadap Kandungan Bahan Bioaktif Daun

Hasil uji kualitatif bahan bioaktif tanaman memperlihatkan bahwa daun cabe jawa mengandung alkaloid dan steroid, tetapi tidak mengandung flavonoid, triterpenoid, saponin dan tannin. Bahkan hasil uji kualitatif skor kandungan alkaloid memperlihatkan kisaran angka kuat sampai dengan sangat kuat. Meski tidak nyata, peningkatan intensitas naungan cenderung menurunkan skor kandungan steroid daun cabe jawa. Skor kandungan alkaloid dan bobot kering daun pada aksesi Lampung cenderung meningkat, tetapi pada aksesi Madura cenderung menurun karena pengaruh naungan. Naungan dengan intensitas 25% nyata menyebabkan penurunan skor kandungan alkaloid daun, sedangkan intensitas naungan 55% menyebabkan skor kandungan alkaloid sama dengan perlakuan tanpa naungan (Tabel 9). Peningkatan naungan menyebabkan serapan hara Mg daun menurun (Tabel 7), dan menyebabkan ketersediaan N tanaman cenderung digunakan untuk memproduksi alkaloid daripada melakukan metabolisme primer.

Menurut Taiz dan Zeiger (2002), alkaloid dapat disintesis dengan sejumlah kecil N dengan komponen rangka karbon yang berasal dari lintasan terpen. Alkaloid diproduksi tanaman untuk melindungi dirinya dari herbivora. Barlog (2002), menyatakan bahwa peranan N dalam meningkatkan kandungan alkaloid tergantung pada kandungan Mg. Jika Mg terdapat pada jumlah yang tinggi dalam pupuk yang mengandung N maka kandungan alkaloid mengalami penurunan karena tanaman giat melakukan metabolisme primer. Iranbakhsh (2007) menambahkan pengaruh berbagai konsentrasi KNO3 pada biosintesis alkaloid

(55)

dilakukan, bahwa pada kandungan Mg daun yang rendah, produksi alkaloid daun mengalami peningkatan.

A

ksesi tanaman terhadap skor kandungan alkaloid menunjukkan kekuatan

yang sama antara aksesi Lampung dan Madura, tetapi skor kandungan steroid aksesi Madura lebih tinggi 125.2% daripada aksesi Lampung.

(56)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

- Secara statistik pengaruh naungan dan aksesi tanaman sampai 32 MST pada kondisi iklim di Bogor umumnya tidak nyata terhadap peubah yang diamati, namun ada indikasi bahwa aksesi Lampung dapat ditanam dengan naungan sampai 55%, sedangkan aksesi Madura tidak cocok diberi naungan.

-

Hasil uji kualitatif bioaktif menunjukkan bahwa daun cabe jawa mengandung alkaloid dan steroid.

Saran

(57)
(58)

DAFTAR PUSTAKA

Aliadi A, Sudibyo B, Hargono D, Farouk, Sidik, Sutaryadi, Pramono S. 1996. Tanaman obat pilihan. Yayasan Sidowayah. Jakarta. hlm 42-45.

Anwar NS. 2001. Manfaat obat tradisional sebagai afrodisiak serta dampak positifnya untuk menjaga stamina.Makalah Pada Seminar Setengah Hari “ Menguak Manfaat Herbal bagi Vitalitas Seksual”. Jakarta. 13 Oktober 2001. 8 hlm..

Arnon DL. 1949. Cooper enzymes in isolated chloroplast, polyphenol oxidase in Beta vulgaris.Plant Physiol. 24:1-15.

Awad MA, Patricia SW, de Pager A. 2001. Effects of light on flavonoid and chlorogenic acid concentrations in theskin of ‘Jonagold’ apples.Sci. Hort. 88:289-298.

Bajguz A, Tretyn A. 2003. The chemical characteristic and distribution of brassinosteroids in plants. Phytochemistry. 62:1027-1046.

Balitro. 2003. Budidaya cabe jawa. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. 15 hlm.

________. 2004. SPO Budidaya cabe jawa, mengkudu, jambu biji dan salam. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. 15 hlm.

Barlog P. 2002. Effect of magnesium and nitrogenous fertilizers on the growth and alkaloid compound in Lupinus angustifolius L. Aust. J. Agric. Res. 53:671-676.

Bermawie N, Kristina NN, Rizal M, Mauludi L, Wahyono TE. 2009. Standar mutu tanaman obat. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Badan Litbang Pertanian. Bogor. 20 hlm.

Depkes RI. 1977. Materia medika Indonesia jilid 1. Depkes RI. Jakarta. hlm 80-84.

Direktorat Budidaya Tanaman Rempah dan Penyegar. 2007. Mengenal lebih jauh cabe jawa. http://id.wikipedia.org/wiki/cabe_jawa. Direktori html. [21 Maret 2007].

Dirjenbun. 2009. Cabe jamu. Direktorat Budidaya Tanaman Rempah dan Obat.

http://ditjenbun.deptan.go.id/budtanreyar/index.php. Direktori html. [29

Gambar

Gambar 1 Pohon glirisidia sebagai tanaman panjat (a), tanaman cabe jawa (b)
Gambar 2 Tanaman cabe jawa yang terkena penyakit busuk pangkal batang (a),
Tabel 1 Rekapitulasi hasil sidik ragam pengaruh taraf naungan dan aksesitanaman cabe jawa terhadap peubah yang diamati
Tabel 1 Lanjutan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat kontribusi yang signifikan antara supervisi pengajaran, pelatihan, dan pengalaman kerja

Meskipun demikian, dengan pertimban- gan hubungan antara anak angkat dan orang tua angkatnya yang sudah sangat akrab dan juga jasa-jasa yang diberikan kepada keluarga, hukum

(3) Menganalisis dan menguji interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan kemampuan pemecahan masalah terhadap hasil belajar matematika. Tehnik pengambilan sampel dengan

Sehingga peneliti melanjutkan ke siklus II, Pada siklus II nilai kognitif peserta didik mengalami peningkatan 86, 67 %, hal ini dikarenakan peserta didik telah memahami

Bagaimana ekspresi yang diberikan anak ibu/bapak ketika diberi saran atau pendapat?. Anaknya nerima aja sih soalnya kan dia yang minta saran sama orangtuanya

Dalam acara grand final RBTV singing contes 2005 / selain penampilan para peserta lomba / juga. dimeriahkan oleh artis-artis OM Kalingga / seperti / Messy Ardiva / Ella Maharani /

1) Ketika tingkat suku bunga mengalami kenaikan, maka bank mengalami kenaikan pendapatan bunga dengan persentase yang lebih besar dibanding dengan persentase kenaikan

16 Saya merasa puas karena saya diberi kesempatan untuk memberikan masukan dalam penyusunan prosedur operasional kerja yang akan dilaksanakan 17 Saya merasa puas dengan