• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Dampak Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya Terhadap PDRB, Tenaga Kerja, dan Kemiskinan di Provinsi Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Dampak Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya Terhadap PDRB, Tenaga Kerja, dan Kemiskinan di Provinsi Jawa Barat"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

TERHADAP PDRB, TENAGA KERJA, DAN KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA BARAT

OLEH

SISKA PERMATA INDAH H14070055

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(2)

SISKA PERMATA INDAH, H14070055, Analisis Dampak Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya Terhadap PDRB, Tenaga Kerja, dan Kemiskinan di Jawa Barat. (dibimbing oleh SRI HARTOYO).

Kebijakan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001 bertujuan untuk mendorong perekonomian daerah dan mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah di Indonesia. Dengan kebijakan desentralisasi fiskal dimana pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengatur keuangannya sendiri diharapkan memberi pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan ekonomi, tenaga kerja, dan kemiskinan yang populer disebut triple track strategy (pro growth, pro job, dan pro poor). Upaya yang dilakukan pemerintah dalam mencapai tujuannya adalah dengan meningkatkan pendapatan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah.

Peningkatan pendapatan daerah dan besarnya dana transfer dari pemerintah pusat pada masa otonomi daerah tidak menjamin pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena hasil dari kebijakan desentralisasi fiskal tergantung pada implementasi daerah masing-masing. Oleh karena itu penelitian ini memiliki dua tujuan utama, yaitu menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap PDRB, tenaga kerja, dan kemiskinan di Jawa Barat yang ditunjukkan oleh variabel dummy dan menganalisis dampak pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan di Jawa Barat.

Penelitian ini menggunakan data time series Provinsi Jawa Barat dalam kurun waktu 1993 hingga 2009. Data diperoleh dari Badan Pusat Statistika (BPS) Jawa Barat, Bank Indonesia, penelitian-penelitian terdahulu, dan instansi-instansi terkait. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis kuantitatif dengan menggunakan metode 2 Stage Least Square (2SLS) terhadap persamaan simultan.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa variabel dummy desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap PDRB dan tenaga kerja pada taraf nyata 10 persen. Berdasarkan hasil estimasi model persamaan simultan terlihat faktor-faktor yang memengaruhi PDRB Jawa Barat adalah modal pemerintah yang terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Transfer (DAFER), Investasi (INV), tingkat keterbukaan daerah (XM), Tenaga Kerja (L), variabel dummy desentralisasi fiskal dankrisis ekonomi.

(3)

elastisitas 0,26 yang berarti bahwa setiap peningkatan investasi sebesar 1 persen maka akan mampu meningkatkan PDRB sebesar 0,26 persen dengan asumsi ceteris paribus. Oleh karena itu, pemerintah harus mampu menciptakan iklim investasi yang kondusif agar banyak investor yang tertarik menanamkan modalnya di Jawa Barat. Tenga kerja di Jawa Barat signifikan meningkatkan PDRB dengan nilai koefisien 0,29. Selain itu, tingkat keterbukaan daerah yang ditunjukkan oleh nilai ekspor dan impor signifikan meningkatkan PDRB dengan elastisitas sebesar 0,31.

Sedangkan peubah dummy krisis ekonomi (D2) signifikan memberi dampak negatif terhadap PDRB dengan nilai elastisitas -0,7. Hal ini menggambarkan dahsyatnya guncangan ekonomi yang diakibatkan krisis global pada tahun 1997.

Sementara itu, beberapa faktor yang memengaruhi tenaga kerja adalah upah (W), pendidikan (PEND), pengeluaran pemerintah (G), Investasi (INV), dan dummy krisis ekonomi. Upah signifikan mengurangi kesempatan kerja dengan nilai elastisitas sebesar -0,16. Hasil ini sesuai dengan teori permintaan tenaga kerja dimana setiap kenaikan upah akan mengurangi penggunaan tenaga kerja. Selain itu, pendidikan yang diwakili oleh persentase penduduk dengan tingkat pendidikan di atas SMA signifikan dengan nilai elastisitas 0,009. Pengeluaran pemerintah signifikan meningkatkan tenaga kerja dengan elastisitas 0,20. Secara teori, semakin besar anggaran pemerintah diharapkan dapat mempercepat dan meningkatkan pelayanan publik serta perbaikan infrastruktur.

(4)

TERHADAP PDRB, TENAGA KERJA, DAN KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA BARAT

Oleh

SISKA PERMATA INDAH H14070055

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(5)

Pengaruhnya Terhadap PDRB, Tenaga Kerja, dan Kemiskinan di Provinsi Jawa Barat

Nama Mahasiswa : Siska Permata Indah Nomor Induk Mahasiswa : H14070055

Menyetujui Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S 19500209 198203 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr. Dedi Budiman Hakim 1964410 22 1989031003

(6)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, September 2011

(7)

Penulis bernama Siska Permata Indah dilahirkan di Cianjur pada

tanggal 21 Januari 1989 dari pasangan H.Nunung Sadikin dan Hj. Betty

Srihartati. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis

menempuh pendidikan Sekolah Dasar Negeri (SDN) Ibu Dewi 2 Cianjur,

kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1

Cianjur, dan lulus dari Sekolah Menengah Umum Negeri (SMAN) 1 Cianjur

pada 2007.

Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui

jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor) yang pada

akhirnya masuk ke Fakultas Ekonomi dan Manajemen, dengan jurusan

Departemen Ilmu Ekonomi. Pada masa perkuliahan, penulis tergabung dalam

organisasi SES-C IPB sebagai anggota divisi eksternal dan aktif dalam

mengikuti kepanitiaan dalam acara yang diselenggarakan departemen maupun

fakultas. Penulis pernah menjadi panitia Banking Goes To Campus (2008),

(8)

DAFTAR ISI

2.1.1. Konsep dan Pengertian Kebijakan Desentralisasi Fiskal ... 8

2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi ...10

2.1.3. Tenaga Kerja ...11

2.1.4. Kemiskinan ...11

2.1.5. Fungsi Produksi Cobb Douglas ...12

2.2. Kaitan Pertumbuhan Dengan Desentralisasi Fiskal ...13

2.3. Tinjauan Penelitian Terdahulu ...14

2.4. Kerangka Pemikiran Konseptual ...15

(9)

4.1. Perkembangan Ekonomi dan Keuangan Daerah ...22

4.2. Perkembangan Investasi di Jawa Barat ...26

4.3. Gambaran Tingkat Keterbukaan Daerah ...28

4.4. Kondisi Ketenagakerjaan dan Upah di Jawa Barat ...29

4.5. Kondisi Pendidikan di Jawa Barat ...33

4.6. Kondisi Kemiskinan di Jawa Barat ...35

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ...37

5.1. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Tenaga Kerja, dan Kemiskinan di Provinsi Jawa Barat ...37

5.1.1. Analisis Model PDRB Jawa Barat Tahun 1993-2009 ...37

5.1.2. Analisis Model Tenaga Kerja di Jawa Barat Tahun 1993-2009 ...40

5.1.3. Analisis Model Kemiskinan di Jawa Barat Tahun 1993-2009 ...45

5.2. Permasalahan dalam Penerapan Desentralisasi Fiskal ...47

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...49

6.1. Kesimpulan ...49

6.2. Saran ...49

DAFTAR PUSTAKA ... 51

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Hal 3.1. Pengujian Order ... 1 4.1. Perkembangan PDRB Riil Jawa Barat dan Laju

Pertumbuhan Ekonomi Tahun 1993-2009 ... 22 4.2. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jawa Barat Berdasarkan

Lapangan Usaha Tahun 2004–2006 (Trilyun Rupiah ... 24 4.3. Realisasi Belanja Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2002-2009 ... 26 4.4. Realisasi Investasi PMA dan PMDN di Jawa Barat Periode

Tahun 1993-2009 ... ... 27 4.5. Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Provinsi Jawa Barat

Tahun 2004-2009 ... 28 4.6. Tabel Penduduk Usia Kerja (PUK) Menurut Kelompok Umur

dan Jenis Kelamin di Jawa Barat Tahun 2009 ... 29 4.7. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Provinsi Jawa Barat

Tahun 2001-2009 ... 31 4.8. Pengangguran Terbuka di Jawa Barat Tahun 1993-2009 ... 32 4.9. Persentase Penduduk 10 Tahun ke atas Menurut Jenjang Pendidikan

yang Ditamatkan di Jawa Barat Tahun 1993-2009 ... 34 5.1. Hasil Pendugaan Parameter Model Terhadap PDRB Jawa Barat

Tahun 1993-2009 ... 38 5.2. Hasil Pendugaan Parameter Model Terhadap Tenaga Kerja di

Jawa Barat Tahun 1993-2009 ... 41 5.3. Hasil Pendugaan Parameter Model Terhadap Kemiskinan di

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Hal 4.1. Laju Inflasi Tiga Kota di Jawa Barat Tahun 2002-2007 ... 25 4.2. Perkembangan Upah Minimum Regional Provinsi Jawa Barat

Tahun 1993-2009 ... 33 4.3. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Jawa Barat

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

1. Perkembangan Garis Kemiskinan menurut Provinsi dan Daerah Tahun 2002-2008.

2. Tingkat Kesempatan Kerja Provinsi-Provinsi di Indonesia Tahun 1993-2008.

(13)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada dasarnya suatu pemerintahan memiliki tujuan utama yaitu

meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyatnya. Fokus utama pemerintah dalam

mencapai tujuan tersebut adalah meningkatkan perekonomian yang diukur dengan

besarnya pendapatan daerah. Semakin besar pendapatan daerah maka pemerintah

memiliki dana yang besar untuk membiayai kegiatan pembangunan dan

meningkatkan layanan kepada masyarakat. Keadaan perekonomian juga sering

menjadi titik acuan dalam menilai kinerja pemerintah yang berkuasa di jamannya.

Dengan demikian perekonomian merupakan hal yang sangat penting bagi

keberlangsungan suatu pemerintahan.

Pada masa sebelum pelaksanaan otonomi daerah tahun 2001, Indonesia

menganut sistem pemerintahan yang sentralistik. Pemerintah pusat memiliki peran

yang dominan dalam menentukan keputusan termasuk dalam hal perekonomian

daerah. Sebagian besar pembiayaan pembangunan daerah ditentukan oleh

pemerintah pusat. Hal ini menciptakan ketergantungan pemerintah daerah

terhadap pemerintah pusat dan melahirkan ketimpangan pembangunan antar

daerah di indonesia. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut

pemerintah pusat menerapkan kebijakan baru dimana pemerintah daerah memiliki

kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Kebijakan itu dikenal

(14)

Kebijakan desentralisasi fiskal merupakan suatu gebrakan yang dilakukan

pemerintah pusat di bidang keuangan pada masa otonomi daerah. Kebijakan ini

ditetapkan sesuai dengan UU No.22 dan No.25 Tahun 1999 yang kemudian

direvisi menjadi UU No. 32 dan 33 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan

Perimbangan Keuangan Pusat Daerah. Undang-undang ini merefleksikan

pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah serta memberikan

kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menggali potensi sumberdaya

keuangan di daerahnya. Walaupun dasar hukum kebijakan ini dikeluarkan tahun

1999 akan tetapi secara ril masa otonomi daerah dimulai dari tahun 2001.

Dengan dilaksanakanannya desentralisasi fiskal tidak berarti pemerintah

daerah dapat secara penuh lepas dari aturan pemerintah pusat. Daerah-daerah

otonom masih berada dalam satu kesatuan wilayah Republik Indonesia sehingga

tetap mempunyai tanggung jawab dalam melaksanakan tugas pembangunan yang

diberikan oleh pemerintah pusat. Tanggung jawab tersebut tentu saja dibarengi

dengan pembiayaan dan bantuan dari pemerintah pusat berupa dana transfer.

Dana transfer serta dana otonomi khusus meningkat sangat pesat dalam

tiga tahun terakhir, yaitu dari hanya Rp.153,4 triliun pada tahun 2005 menjadi

Rp.220 triliun pada 2006 atau meningkat 43 persen, dan pada tahun 2007

mencapai Rp.258,8 triliun atau meningkat 17,6 persen. Jumlah tersebut meliputi

sepertiga dari seluruh total APBN Indonesia tahun 2007. (Suparno, 2010)

Jawa Barat merupakan provinsi di Indonesia yang memiliki jumlah

penduduk terbanyak, yaitu sekitar 38.9 juta jiwa. Bagian barat laut provinsi Jawa

(15)

negara Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat terbilang pesat. Pada tahun

2003 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Barat mencapai Rp.220,965

milyar menyumbang 14-15 persen dari total PDB nasional, angka tertinggi bagi

sebuah Provinsi. (Bank Indonesia)

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa tujuan utama suatu

pemerintahan adalah mensejahterakan rakyat. Maka setiap kebijakan yang

dicanangkan pemerintah tidak hanya mempertimbangkan dari sisi keuangan saja

tetapi juga seharusnya mampu mengurangi pengangguran dan kemiskinan atau

yang sering disebut triple track strategy (pro growth, pro job, dan pro poor).

Keputusan pemerintah pusat melimpahkan wewenang kepada pemerintah

daerah dalam hal mengatur rumah tangganya sendiri memiliki tujuan untuk

mendorong perekonomian daerah dan mengurangi ketimpangan yang terjadi

antar daerah di Indonesia. Akan tetapi tingkat keberhasilan kebijakan tersebut

tergantung dari implementasi daerah masing-masing.

Peningkatan pendapatan daerah dan besarnya dana transfer pada masa

otonomi daerah seharusnya berkorelasi positif dengan tujuan utama pemerintah,

yaitu kesejahteraan rakyat. Hal tersebut dapat terlihat melalui pertumbuhan

ekonomi apakah mampu mengurangi pengangguran dan kemiskinan di daerahnya

atau tidak. Oleh karena itu, isu mengenai pelaksanaan desentralisasi fiskal dan

(16)

1.2. Rumusan Masalah

Implementasi kebijakan desentralisasi fiskal seharusnya memberikan

perubahan dalam struktur keuangan daerah. Pemberian dana perimbangan

keuangan daerah sesuai dengan UU No. 32 dan 33 Tahun 2004 disertai

kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola hasil sumberdayanya

diharapkan dapat meningkatkan perhatian pemerintah daerah kepada

masyarakatnya. Kebijakan tersebut seyogyanya juga berdampak tidak hanya

dalam peningkatan kinerja perekonomian daerah tetapi juga terhadap peningkatan

kesejahteraan masyarakat.

Kewenangan yang diberikan pemerintah pusat bukan hanya merupakan

kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri tetapi juga

merupakan amanat pembangunan. Pemerintah daerah diharapkan dapat menggali

potensi-potensi keuangan yang dimiliki daerahnya untuk meningkatkan

Pendapatan Asli Daerah. Sehingga ketergantungan pemerintah daerah terhadap

pemerintah pusat dapat diminimalisir.

Desentralisasi fiskal membuat pemerintah daerah lebih kreatif dalam

mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan daerahnya disamping dana

bantuan pembangunan yang diberikan pemerintah pusat. Akan tetapi, besarnya

pendapatan daerah dan dana transfer yang besar juga akan berdampak terhadap

penggunaan anggaran secara tidak efisien. Pemerintah daerah idealnya dapat

menggunakan dana tersebut dengan prioritas kepentingan dan aspirasi rakyat.

Kinerja perekonomian dan potensi keuangan daerah tidak hanya

(17)

faktor-faktor lain. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang yang telah

diuraikan maka pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi,

tenaga kerja dan kemiskinan di Jawa Barat?

2. Bagaimanakah dampak pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan di Jawa

Barat?

1.3. Tujuan Penelitian

Dengan merujuk pada latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka

tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi

tenaga kerja, dan kemiskinan di Jawa Barat.

2. Menganalisis dampak pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan di Jawa

Barat.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Bagi Peneliti, diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan

mengenai kinerja keuangan daerah dan masalah ketimpangan yang ada di

Jawa Barat.

2. Bagi pemerintah, sebagai pelaksana otonomi daerah dan pemegang

(18)

menjadi bahan informasi tambahan dan pertimbangan dalam mengambil

keputusan dalam mengatasi masalah ketimpangan pendapatan.

3. Bagi Masyarakat, mahasiswa, maupun peneliti selanjutnya yang tertarik

dengan topik terkait agar dapat dijadikan rujukan serta tambahan

informasi.

1.5. Ruang lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan terhadap kondisi Provinsi Jawa Barat secara

umum dari tahun 1993 hingga tahun 2009. Data yang digunakan merupakan data

provinsi sehingga Kabupaten/Kota yang mekar pada rentang waktu penelitian

tidak diagregasikan. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini

didasarkan pada fungsi produksi Cobb Douglass dan ditambah variabel-variabel

lain yang berkaitan. Untuk menyeimbangkan level data, maka data-data yang

berhubungan dengan harga distandarkan menggunakan tahun dasar 2007 (deflasi).

Perekonomian daerah dalam penelitian ini adalah perekonomian terbuka dengan

memasukkan variabel ekspor dan impor sebagai indikator keterbukaan daerah.

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Konsep dan Teori

2.1.1. Konsep dan Pengertian Desentalisasi Fiskal

Desentralisasi fiskal merupakan upaya pemerintah dalam rangka

membentuk daerah yang otonom dengan mewujudkan ketahanan fiskal yang

berkelanjutan. Pemerintah pusat memberikan kewenangan dan tanggung jawab

kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumber-sumber keuangan daerahnya

yang dapat digunakan dalam pembiayaan pembangunan dan menyediakan

layanan publik bagi masayarakatnya.

Pelimpahan kewenangan diikuti dengan pemberian stimulus fiskal

terhadap aktivitas perekonomian daerah yang bertujuan untuk menciptakan

pemerataan kemampuan keuangan antar daerah. Stimulus fiskal ini berupa

pemberian subsidi/bantuan maupun pinjaman dari pemerintah pusat yang berasal

dari APBN. Pengertian desentralisasi fiskal ini dijelaskan dalam UU No. 25

Tahun 1999 yang berisi tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat

dan daerah. (Irdhania, 2009).

Secara umum konsep desentralisasi dibagi menjadi desentralisasi politik

(political decentralization), desentralisasi administratif (administrative

decentralization), dan desentralisasi fiskal (fiscal decentralization). Desentralisasi politik merupakan suatu bentuk pelimpahan kewenangan kepada pemerintah

daerah menyangkut aspek pengambilan keputusan dan berbagai peraturan daerah.

(20)

Desentralisasi administratif merupakan pelimpahan kewenangan yang

dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan

sumber-sumber keuangan untuk menyediakan layanan publik dalam berbagai tingkat

pemerintahan. Sedangkan desentralisasi fiskal adalah pelimpahan kewenangan

kepada pemerintah daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerah

sekaligus hak menerima transfer dana atau bantuan pemerintah pusat.

Seperti yang tercantum dalam UU No.32 dan No.33 Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan daerah bahwa kebutuhan

DAU oleh suatu daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan

menggunakan pendekatan konsep fiscal gap, dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan atas kebutuhan daerah (fiscal needs) dengan potensi daerah (fiscal capacity). Dengan demikian, DAU digunakan untuk menutup celah yang

terjadi karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang

ada. (Hasugian, 2006).

Desentralisasi fiskal menjadi suatu hal yang sangat penting dalam masa

otonomi daerah karena dengan kewenangan yang diberikan maka pemerintah

daerah dapat dengan bebas menentukan kebijakan-kebijakan fiskal yang dapat

meningkatkan pendapatan daerah. Salah satu jalan yang sering dilakukan

pemerintah daerah untuk mendongkrak pendapatannya adalah dengan

meningkatkan pajak dan menarik retribusi daerah. (Suparno, 2010).

(21)

2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan

yang berkesinambungan dari suatu kondisi perekonomian menuju keadaan yang

lebih baik. Teori pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai penjelasan

mengenai faktor-faktor yang menentukan kenaikan output per kapita dalam jangka panjang dan penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama

lain, sehingga terjadi proses pertumbuhan. (Todaro et all, 2006).

Dalam penelitian ini, konsep pertumbuhan bukanlah gambaran ekonomi

suatu daerah pada satu waktu tetapi merupakan suatu proses berkesinambungan

sehingga indikator yang digunakan adalah PDRB perkapita sejak tahun 1993

hingga 2009.

Secara garis besar PDRB dikelompokkan menjadi beberapa sektor, yaitu:

1. Sektor primer yaitu sektor yang tidak mengolah bahan baku melainkan hanya

mendayagunakan sumber-sumber alam seperti tanah dan deposit di dalamnya,

yaitu sektor pertanian, pertambangan, dan penggalian.

2. Sektor sekunder yaitu sektor yang mengolah bahan baku baik yang berasal

dari sektor primer maupun sektor sekunder sendiri menjadi barang lain yang

memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi. Sektor ini mencakup sektor

industri pengolahan, listrik, gas, air bersih, dan sektor kontruksi.

3. Sektor tersier atau dikenal sebagai sektor jasa yaitu sektor-sektor yang tidak

memproduksi secara fisik melainkan dalam bentuk jasa yaitu sektor

(22)

lembaga keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta sektor jasa-jasa

lainnya

2.1.3. Tenaga Kerja

Tenaga kerja dapat dibedakan menjadi dua yaitu pekerja dan penganggur.

Pekerja adalah orang-orang yang mempunyai pekerjaan, mencakup orang yang

memang sedang bekerja, dan orang yang mempunyai pekerjaan namun untuk

sementara waktu tidak bekerja. Sedangkan pengangguran adalah orang yang tidak

mempunyai pekerjaan. (Dumairy, 1996).

Pengangguran merupakan masalah makroekonomi dan selalu menjadi

tugas yang harus diselesaikan oleh setiap pemerintahan. Pada dasarnya

pengangguran dapat diartikan sebagai penduduk usia produktif yang tidak

mendapatkan kesempatan kerja. Dari segi produktivitas, penduduk usia kerja yang

paling optimal menghasilkan output produksi adalah penduduk pada rentang umur

15-64 tahun. (BPS, 2009).

2.1.4. Kemiskinan

Konsep kemiskinan merupakan cerminan harapan dan aspirasi masyarakat

secara keseluruhan mengenai apa yang dipandang sebagai standar hidup minimum

yang dapat diterima. Kemiskinan dapat didefinisikan sebagai ketiadaan makanan

dalam jumlah minimum, rumah, dan pakaian yang dibutuhkan untuk

(23)

Menurut Badan Pusat Statistika, miskin didefinisikan sebagai kondisi

kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seseorang atau rumah tangga

sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal. Sementara menurut World

Bank Institute kemiskinan merupakan suatu ketidakcukupan/kekurangan

(deprivation) akan aset-aset penting dan peluang-peluang dimana setiap manusia berhak memperolehnya.

2.1.5. Fungsi Produksi Cobb-Douglas

Paul Douglas seorang senator Amerika Serikat (1966) dan Charles Cobb,

seorang ahli matematika yang telah merumuskan fungsi produksi Cobb-Douglas.

Mereka menemukan sebuah fakta bahwa ketika perekonomian mengalami

pertumbuhan yang mengesankan, pendapatan total pekerja dan pendapatan total

pemilik pemilik total tumbuh pada tingkat yang nyaris sama. (Mankiw, 2003)

Douglas mengatakan bahwa fenomena tersebut harus dijelaskan oleh suatu

fungsi produksi yang mempunyai unsur-unsur pendapatan modal dan pendapatan

tenaga kerja, maka diketahui fungsi produksi Cobb-Douglas sebagai berikut: Y˗ F(K,L) = AKαL1...(2.4)

Dimana A adalah parameter yang lebih besar dari nol yang mengukur

produktivitas teknologi yang ada.

Fungsi produksi Cobb-Douglas memiliki skala hasil yang konstan, jika

modal dan tenaga kerja meningkat dalam proporsi yang sama maka output akan

(24)

Adapun fungsi produk marjinal (MPL) dan produk marginal modal (MPK)

dalam fungsi produksi Cobb-Douglas adalah sebagai berikut:

MPL = (1-α) AKαL-α ...(2.5) MPK = αAKα-1

L1-α ...(2.6)

Kenaikan dalam jumlah modal meningkatkan MPL dan mengurangi MPK.

Demikian pula kenaikan dalam jumlah tenaga kerja mengurangi MPL dan

meningkatkan MPK. Perkembangan teknologi akan meningkatkan parameter A

membuat produk marjinal kedua faktor produksi naik secara proporsional.

(Mankiw, 2003).

2.2. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Desentralisasi Fiskal Pada dasarnya kebijakan desentralisasi fiskal dirancang untuk

meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui efisiensi alokasi sumber daya. Hal

ini karena pemerintah daerah lebih mengenal potensi keuangan daerahnya

dibandingkan pemerintah pusat. Selain itu, pemerintah daerah lebih mengetahui

kebutuhan masyarakatnya sehingga diharapkan dapat memberikan pelayanan dan

penyediaan barang-barang publik dengan optimal.

Esensi mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan

desentralisasi fiskal setidaknya mempunyai tiga pertimbangan. Pertama,

pertumbuhan dilihat sebagai sesuatu yang objektif dari desentralisasi fiskal dan

efisiensi dalam alokasi sumberdaya sektor publik. Kedua, secara eksplisit bahwa

pemerintah berusaha untuk mengadopsi berbagai kebijakan untuk mendorong ke

(25)

relatif lebih mudah untuk diukur dan diinterpretasikan dibanding

indikator-indikator lainnya. (Suparno, 2010).

2.3. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Retnosari (2006) menganalisis mengenai pengaruh ketimpangan distribusi

pendapatan terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Penelitian ini hanya

melihat dampak dari distribusi pendapatan terhadap pertumbuhan ekonomi dalam

kurun waktu 2002-2004 dan metode yang digunakan adalah metode regresi

tunggal OLS (Ordinary Least Square) sehingga hasil yang didapat hanya mampu

menjelaskan hubungan searah.

Studi yang dilakukan Hasugian (2006) mengenai dampak desentralisasi

fiskal terhadap kinerja keuangan daerah dan kemiskinan di Kabupaten dan Kota

Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa tingkat kemandirian daerah semakin

rendah setelah implementasi kebijakan desentralisasi fiskal. Penelitian ini

menggunakan panel data kabupaten dan kota se-provinsi Jawa Barat untuk tahun

1998-2004 dengan metode deskriptif dan analisis regresi dengan metode

pendugaan Ordinary Least Square (OLS) terhadap data panel.

Penelitian yang dilakukan oleh Irdhania (2009) mengenai dampak

desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian dan potensi keuangan di

Kabupaten Bogor dengan menggunakan metode simultan pada variabel-variabel

PDRB, Konsumsi, Investasi, dan Pengeluaran pemerintah, menyimpulkan bahwa

penerapan desentralisasi fiskal memberikan dampak yang positif pada kinerja

(26)

Penelitian Suparno (2010) mengenai desentralisasi fiskal dan pengaruhnya

terhadap perekonomian di Indonesia menggunakan metode regresi panel data

terhadap data seluruh provinsi di Indonesia. Dalam penelitian yang dilakukan oleh

Suparno terdiri dari tiga persamaan yaitu pertumbuhan ekonomi, tenaga kerja, dan

kemiskinan yang masing-masing terpisah dan tidak menghubungkan keterkaitan

antar ketiga variabel tersebut. Oleh karena itu, dalam skripsi ini untuk dapat

melihat keterkaitan antar variabel tersebut digunakan metode persamaan simultan.

2.5. Kerangka Pemikiran Konseptual

Melalui kebijakan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah diberi

kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Hal ini dilakukan karena

pemerintah daerah dinilai lebih mengenal kondisi dan potensi daerahnya sehingga

diharapkan mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Selain

meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dengan adanya kebijakan desentralisasi

fiskal pemerintah daerah diharapkan mampu meningkatkan kesempatan kerja,

mengurangi pengangguran, dan kemiskinan.

Model yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pengembangan

dari fungsi produksi Cobb-Douglas (persamaan 3.1). Kapital dalam fungsi

produksi terdiri dari modal swasta dan modal pemerintah (pengeluaran publik).

Modal pemerintah terdiri dari dua level pemerintah yaitu pemerintah pusat dan

(27)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder

berupa data time series tahun 1993 sampai tahun 2009. Data diperoleh dari berbagai sumber antara lain Badan Pusat Statistika (BPS) Pusat, BPS Provinsi

Jawa Barat, Dinas Pendapatan Jawa Barat, Bank Indonesia, dan

penelitian-penelitian terdahulu. Data yang tercakup dalam penelitian-penelitian ini adalah Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB), APBD, ketenagakerjaan, angka kemiskinan,

jumlah penduduk, dan pendidikan di Jawa Barat.

3.2. Metode Analisis 3.2.1. Analisis Deskriptif

Metode deskriptif merupakan metode yang berkaitan dengan pengumpulan

data dan penyajian suatu data sehingga memberikan informasi yang berguna.

Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menginterpretasikan

data-data kuantitatif secara ringkas dan sederhana. Proses analisis deskriptif dalam

penelitian ini menggunakan alat analisis bantuan berupa software yaitu Microsoft Exel 2007.

3.2.2. Model Ekonometrika

Menurut Gujarati (2004) analisis dengan model ekonometrika terdiri dari

(28)

desentralisasi dalam penelitian ini dibangun dengan model ekonometrika karena

model ini lebih fleksibel dalam membangun hubungan antara peubah-ubahnya.

Kelebihan model ekonometrika adalah dapat memasukkan persamaan-persamaan

untuk mengestimasikan perubahan peubah lain, model dapat dimodifikasi dan jika

terdapat permasalahan yang tidak dapat diselesaikan maka persamaan baru dapat

ditambahkan kedalam model.

Model persamaan simultan baik digunakan untuk mengestimasi variabel

yang diduga saling mempengaruhi satu sama lain. Ciri yang paling menonjol

dalam persamaan simultan adalah variabel tak bebas dalam satu persamaan

mungkin muncul sebagai variabel bebas dalam persamaan lain dalam sistem.

3.3. Konstruksi Model

Model yang digunakan merupakan pengembangan dari fungsi produksi

Cobb-Douglas, yaitu:

Yt = KtαLt ... (3.1) Kapital dalam fungsi produksi terdiri dari modal swasta dan modal

pemerintah (pengeluaran publik). Modal pemerintah terdiri dari dua level

pemerintah yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pengeluaran

pemerintah pusat dapat diartikan dalam bentuk sumbangan dan bantuan kepada

pemerintah daerah. Sedangkan pengeluaran pemerintah daerah diasumsikan

sebagai pengeluaran yang dianggarkan dari pos Pendapatan Asli Daerah.

Komponen yang masuk ke dalam pos sumbangan dan bantuan kepada

pemerintah daerah adalah dana perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil

(29)

Sementara pengeluaran pemerintah daerah yang berasal dari pos Pendapatan Asli

Daerah adalah pajak daerah, retribusi daerah, laba BUMD, dan lain-lain

pendapatan yang sah.

Berdasarkan uraian di atas, maka model penelitian yang dibangun adalah

model persamaan simultan yang terdiri dari tiga persamaan strukturak yaitu model

PDRB, tenaga kerja, dan kemiskinan dengan 3 variabel endogen dan 11 variabel

eksogen, adalah sebagai berikut;

 LogY= α0 + α1 LogPADt+ α2 LogDAFERt+ α3 LogINVt + α4 LogXMt + α5

LogPOPt + α6 LogLt + α7D1t + α8D2t + Ut ... (3.2)

Parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut: α1, α2, α3, α4, α6, α7 > 0 ; α5, α8 < 0

 LogL= 0+ 1 LogWt+ 2Pendt + 3 LogGt + 4D1t+ 5D2t + Ut ... (3.3)

Parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut:

2, 3, 4 > 0 ; 1, 5 < 0

 LogPM= 0+ 1 LogYt + 2 LogPOPt + 3INFt + 4D2t + Ut ... (3.4)

Parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut:

2 , 3 , 54 > 0 ; 1 < 0

Keterangan :

Yt : Nilai PDRB Riil tahun 2007 (juta rupiah) tahun t

PADt : Pendapatan Asli Daerah riil (juta rupiah) tahun t

DAFERt : Dana Transfer riil (juta rupiah) tahun t

(30)

XMt : Ekspor+Impor riil (juta rupiah) tahun t

POPt : Populasi Jawa Barat tahun t

Lt : Tenaga kerja yang bekerja (orang) di Provinsi Jawa Barat tahun t

INFt : Inflasi (persen) Jawa Barat tahun t

Pendt : Tingkat pendidikan (diproksi dengan persentase jumlah murid

berpendidikan SMA ke atas) di Provinsi Jawa Barat tahun t

Wt : Upah riil (rupiah) Provinsi Jawa Barat tahun t

Gt : Total pengeluaran pemerintah riil (juta rupiah) tahun t

PMt : Jumlah penduduk miskin (orang) di Provinsi Jawa Barat tahun t

D1t : Dummy desentralisasi fiskal tahun t

Dengan 0 : sebelum desetralisasi fiskal (1993-2000)

1: setelah desentralisasi fiskal (2001-2009)

D2t : Dummy Krisis Ekonomi tahun 1997-1998

Dengan 0 : sebelum krisis ekonomi (1993-1996)

1 : setelah krisis ekonomi (1997-2009)

3.4. Pengujian Model

Dalam model ekonometrika sistem persamaan simultan diperlukan

beberapa pengujian model yang penting yakni sebagai berikut :

1. Uji Kesesuaian Model

a. Uji Koefisien Determinasi (R2)

Presentase variasi total peubah tidak bebas yang disebabkan oleh peubah bebas

(31)

R2 ≥ 1). Jika nilainya mendekati 1, maka terdapat hubungan yang erat antara

peubah bebas dengan peubah tak bebas. Namun jika nilainya 0 maka tidak ada

hubungan antara peubah bebas dengan peubah tak bebas.

b. P-Value

Pengaruh masing-masing peubah bebas terhadap peubah tak bebas dapat

dilihat dengan menggunakan nilai P-Value. Tingkat kesalahan yang ditolerir adalah 10 persen (α = 0,10). Jika nilai P-Value lebih besar daripada nilai α maka

peubah bebas tidak berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas. Namun, jika

nilai P-Value lebih kecil daripada α maka peubah bebas berpengaruh nyata

terhadap peubah tak nyata.

2. Pengujian Autokorelasi

Autokorelasi terjadi jika error dari periode waktu (time series) yang berbeda saling berkorelasi. Autokorelasi membuat estimasi standar eror dan varian

koefisien regresi yang diperoleh akan underestimate. Autokorelasi akan menyebabkan model menjadi tidak efisien tetapi masih tidak bias dan konsisten.

Uji yang biasanya digunakan untuk mendeteksi adanya autokorelasi adalah uji

Durbin-Watson.

3.5. Identifikasi Model

Dalam melakukan pendugaan parameter, suatu persamaan di dalam model

simultan harus teridentifikasi. Kondisi yang harus dipenuhi agar suatu model

dapat diidentifikasi adalah :

(32)

dimana :

K = Total variabel dalam model (variabel endogen dan variabel predeterminan )

M = Jumlah variabel endogen dan eksogen yang dimasukkan dalam suatu

persamaan tertentu dalam model.

G = Total persamaan (jumlah variabel endogen)

Apabila K-M sama dengan G-1 maka suatu persamaan di dalam model dikatakan

teridentifikasi secara tepat (exactly Identified); jika K-M lebih kecil dari G-1,

maka persamaan dikatakan tidak teridentifikasi (underidentified);sedangkan jika K-M lebih besar dari G-1 maka persamaan tersebut dikatakan teridentifikasi

berlebih (overidentified). Apabila suatu persamaan simultan dalam kondisi exactly identified, maka metode pendugaan yang tepat digunakan adalah Indirect Least Square (ILS). Apabila suatu persamaan simultan dalam kondisi overidentified,

maka metode pendugaan yang tepat digunakan adalah Two Stage Least Square (2SLS). Sedangkan jika persamaan simultan tidak teridentifikasi maka tidak dapat

diduga.

Model dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian dalam

penelitian ini dibangun dari tiga persamaan struktural. Dalam identifikasi model

secara keseluruhan perlu syarat bahwa model harus bersifat lengkap dan setiap

persamaan dalam model harus teridentifikasi. Model persamaan simultan

dikatakan lengkap apabila mengandung banyaknya persamaan bebas

sekurang-kurangnya peubah endogen dalam sistem.

Pada pengujian order di Tabel 3.1. terlihat bahwa 3 persamaan struktural

(33)

memenuhi syarat dalam model persamaan simultan dan dapat dilakukan

pendugaan. Metode pendugaan yang paling tepat untuk persamaan simultan dalam

penelitian ini adalah Two Stage Least Square (2SLS). Tabel 3.1. Pengujian Order

Persamaan K-M <, >, = G-1 Identified

(3.2) 5 > 2 Over identified

(3.3) 9 > 2 Over identified

(34)

IV. GAMBARAN UMUM

4.1. Perkembangan Ekonomi Jawa Barat

Salah satu indikator yang sering digunakan dalam mengukur pertumbuhan

ekonomi adalah PDRB. Pada kurun waktu analisis, yaitu 1993 hingga 2009,

PDRB Jawa Barat mengalami peningkatan kecuali pada tahun 1998 dimana

terjadi krisis ekonomi yang mengguncang hampir seluruh negara di Asia termasuk

Indonesia.

Tabel 4.1. Perkembangan PDRB Riil Jawa Barat dan Laju Pertumbuhan Ekonomi Tahun 1993-2009

Tahun PDRB (Miliar) Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)

(35)

Tabel 4.1. menunjukkan perkembangan PDRB Jawa Barat sejak tahun

1993 hingga 2009. Hampir tidak terlihat perubahan yang signifikan terhadap

pertumbuhan PDRB Jawa Barat sebelum dan sesudah dilaksanakannya

desentralisasi fiskal. Sebelum masa desentralisasi fiskal, rata-rata pertumbuhan

PDRB per tahun adalah sebesar Rp.5,21 triliun dan setelah desentralisasi fiskal

dilaksanakan pada tahun 2001, rata-rata pertumbuhan PDRB Jawa Barat yaitu

sebesar Rp. 4,37 triliun.

Dampak krisis ekonomi pada tahun 1997 sangat terasa bagi perekonomian

Jawa Barat. Hal ini terlihat dari merosotnya PDRB per kapita Jawa Barat hingga

Rp.15 triliun pada tahun 1998 dan laju pertumbuhan ekonomi pada masa itu

sebesar-17,77 persen. Proses recovery pasca krisis dimulai sejak tahun 2000 dengan pertumbuhan PDRB yang kembali positif walaupun tidak sebesar

tahun-tahun sebelumnya.

Mengawali tahun 1999, pertumbuhan ekonomi Jawa Barat mengalami

peningkatan dengan laju pertumbuhan 2,3 persen. Kondisi ini mampu

dipertahankan dalam periode 2001-2004 sehingga keadaan perekonomian saat itu

dapat dikatakan stabil. Pada tahun 2005, laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat

berada pada angka 4,22 persen dan naik hingga mencapai 6,02 persen pada tahun

berikutnya. Tahun 2007 pertumbuhan ekonomi 6,48 persen dan turun menjadi

5,83 persen pada tahun 2008. Keadaan tersebut dinilai cukup bagus mengingat

terjadinya krisis ekonomi global pada pertengahan 2007. Badan Keuangan Dunia

(IMF) bahkan memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia hanya 3,7 persen. Di

(36)

Tabel 4.2. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Lapangan Usaha Tahun 2007–2009 (Trilyun Rupiah)

Lapangan Usaha 2007 2008 2009

Sumber : Jawa Barat Dalam Angka tahun 2007-2009

Adapun sektor yang paling besar memberikan kontribusi terhadap PDRB

adalah sektor sekunder (industri, listrik, gas, air, dan bangunan). Pada tahun 2007

sektor sekunder mampu menyumbang Rp. 46,62 trilyun sedangkan tahun 2008

sebesar Rp. 53,06 triliun atau mengalami peningkatan yaitu sebesar Rp. 6,44

triliun. Tahun 2009 sektor sekunder memberikan kontribusi sebesar Rp. 54,68

triliun atau meningkatb 1,62 dari tahun sebelumnya.

Kondisi perekonomian Jawa Barat dapat pula dilihat dari laju inflasi

daerah. Inflasi menggambarkan kondisi makro perekonomian suatu daerah karena

dapat memengaruhi daya beli masyarakat dan pola investasi. Semakin tinggi

tingkat inflasi maka daya beli masyarakat akan menurun dan investasi akan

(37)

Pada tahun 2009 dari 7 kota di Jawa Barat yang dipantau tingkat

inflasinya, Kota Tasikmalaya tercatat inflasinya paling tinggi, yaitu sebesar 4,17

persen disusul Kota Cirebon 4,11 persen. Sedangkan tingkat inflasi paling rendah

yaitu Kota Sukabumi sebesar 3,49 persen.

Sumber : Jawa Barat Dalam Angka 2008

Gambar 4.1. Laju Inflasi Tiga Kota di Jawa Barat Tahun 2002-2007

Laju inflasi Jawa Barat tahun 2002-2007 yang diwakili oleh tiga kota

menunjukkan tren yang berfluktuasi. Pada tahun 2005 terjadi peningkatan inflasi

yang cukup tinggi hingga berada di atas level 15%.

Selain itu, gambaran pengeluaran pemerintah yang terdapat dalam realisasi

APBD dalam Kajian Regional Provinsi Jawa Barat sebelum desentralisasi fiskal

(1997-2000) dan setelah desentralisasi fiskal (2005-2009) yang dikeluarkan Bank

Indonesia (Tabel 4.3) menunjukkan peningkatan. Rata-rata proporsi belanja tidak

(38)

tahun 1997 belanja tidak langsung sebesar Rp.987,39 miliar atau 68,51 persen dan

meningkat menjadi Rp.1.532,71 miliar atau 68,72 persen dari keseluruhan belanja

pemerintah tahun 1998. Tahun 1999 proporsi anggaran belanja tidak langsung

naik menjadi 71,06 persen dan 74,84 persen pada tahun berikutnya. Sedangkan

pada tahun 2006 proporsi belanja tidak langsung sebesar 69,45 persen dan

meningkat pada tahun 2008 menjadi 71,29 persen. Dalam APDB 2009 Provinsi

Jawa Barat untuk anggaran belanja tidak langsung sebesar Rp.5.388,57 miliar atau

65,20 persen.

Tabel 4.3. Realisasi Belanja Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 1997-2009

Tahun

Sumber : Kajian Regional Provinsi Jawa Barat tahun 1997-2009

4.2. Perkembangan Investasi di Jawa Barat

Investasi dapat pula disebut sebagai akumulasi modal (capital

(39)

yang dimiliki mampu menarik investor baik dalam maupun luar negeri untuk

menanamkan modalnya di Jawa Barat.

Pada awal tahun 90-an terjadi kenaikan investasi yang cukup signifikan

(Tabel 4.4). Hal itu disebabkan perekonomian mulai meningkat dengan berdirinya

industri-industri pengolahan. Pada akhir tahun 1997 terjadi goncangan ekonomi

yang menyebabkan para investor beramai-ramai menarik dana dari Indonesia.

Bahkan pemilik modal dalam negeri pun ikut mengalihkan modalnya ke luar

negeri. Hilangnya kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya ke dalam

negeri membuat investasi di Jawa Barat semakin menurun sejak tahun 1998.

(40)

Penurunan investasi yang terjadi pada tahun 1998 terjadi pada sektor

utama, yaitu pertanian, industri perumahan, dan jasa terutama sektor industri dan

jasa yang telah mengalami kemerosotan sejak awal krisis pada tahun 1997.

Dampak krisis ekonomi masih dirasakan hingga tahun 1999, pertumbuhan

investasi Jawa Barat negatif 24,5 persen. Sejak tahun 2000, Jawa Barat mulai

pulih dari keterpurukannya terbukti dengan meningkatnya pertumbuhan investasi

menjadi 61,77 persen.

Pada periode tiga tahun terakhir penelitian, investasi Jawa Barat

cenderung menurun. Perubahan ini terjadi sebagai akibat adanya gejolak politik

karena mendekati Pemilu sehingga berpengaruh terhadap penanaman modal

investasi di Jawa Barat. Pada tahun 2009, investasi hanya naik pada angka 2,06

persen.

4.3. Gambaran Tingkat Keterbukaan Daerah

Dalam teori export base dikemukakan pentingnya peranan sektor ekspor. Ide dasar dari teori export base ini tidak hanya mencakup besarnya volume eksport dari suatu daerah tetapi juga diperhitungkan besarnya volume impor ke

daerah tersebut. Dalam hal ini, kegiatan ekspor memperlihatkan kemampuan

suatu daerah dalam menghasilkan suatu produk yang diekspor, sedangkan impor

memperlihatkan teknologi baru dari suatu daerah/negara lain yang akan

mengefisienkan proses produksi.

Tabel 4.5. menunjukkan perkembangan nilai ekspor dan impor Provinsi

(41)

sebesar Rp.114 ,87 triliun dan impor sebesar Rp.90,75 triliun. Tahun 2005 nilai

ekspor meningkat menjadi Rp.147,4 triliun dan nilai impor Rp.130,65 triliun.

Nilai ekspor dan impor pengalami penurunan pada tahun 2008 yang disebabkan

oleh krisis ekonomi global yang terjadi pada pertengahan tahun 2007.

Tabel 4.5. Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2009 (Miliar Rupiah)

Sumber: Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2004-2009

4.4. Kondisi Ketenagakerjaan dan Upah di Jawa Barat

Proporsi penduduk bekerja menurut lapangan pekerjaan merupakan salah

satu indikator yang digunakan untuk melihat potensi sektor perekonomian dalam

menyerap tenaga kerja. Indikator tersebut juga digunakan sebagai salah satu

ukuran untuk menunjukkan struktur perekonomian suatu wilayah. Dari 5 lapangan

usaha terbesar di Jawa Barat terdapat 4 sektor lapangan usaha yang kini menjadi

sektor usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Kontribusi dari keempat

sektor ini masing-masing adalah sektor pertanian (25,03%), sektor industri

(18,60%), sektor perdagangan (25,01%), dan sektor jasa (15,53%). Sedangkan

sisanya sebesar 15,82% penduduk bekerja terserap di berbagai lapangan usaha

seperti pertambangan, listrik, gas, air, transportasi, akomodasi, keuangan, dan

(42)

sektor yang banyak menyerap tenaga kerja Jawa Barat dari sektor pertanian ke

sektor industri, perdagangan, dan jasa.

Pertumbuhan penduduk usia kerja di Jawa Barat terus mengalami

peningkatan dari tahun ke tahun. Dari total penduduk usia kerja di Jawa Barat

pada tahun 2009, sebanyak 28.270.131 orang penduduk berada pada rentang

15-64 tahun, dan kurang dari 2 juta orang (6,34%) penduduk berada pada rentang

usia non-produktif. (Tabel 4.6.)

Tabel 4.6. Tabel Penduduk Usia Kerja (PUK) Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Jawa Barat Tahun 2009

Kelompok Umur Jenis Kelamin Total

Laki-laki Perempuan

15-19 2.137.279 2.099.030 4.236.309

20-24 1.592.903 1.648.816 3.241.719

25-29 1.871.189 1.961.028 3.832.217

30-34 1.819.052 1.879.633 3.698.685

35-39 1.624.295 1.695.085 3.319.380

40-44 1.554.835 1.424.557 2.979.392

45-49 1.252.299 1.176.029 2.428.328

50-54 1.037.000 937.004 1.974.004

55-59 769.842 702.876 1.472.718

60-64 577.000 510.379 1.087.379

65-69 383.101 380.968 764.069

70-74 285.880 306.708 592.588

75+ 259.414 295.987 555.401

Jumlah 15.164.089 15.018.100 30.182.189

Sumber : Jawa Barat Dalam Angka tahun 2009

Pada Tabel 4.7 dapat dilihat perkembangan jumlah tenaga kerja di Jawa

Barat sejak tahun 2001 dimana awal dari kebijakan desentralisasi fiskal hingga

tahun 2009. Pada tahun 2002 jumlah tenaga kerja justru berkurang 81.681 jiwa.

Hal ini mengindikasikan bahwa dampak dari krisis ekonomi tahun 1997 masih

(43)

jumlah tenaga kerja menjadi 14,61 juta jiwa. Tahun 2005 jumlah tenaga kerja

kembali meningkat namun hanya sebesar 10,34 ribu jiwa dari tahun sebelumnya.

Kenaikan jumlah tenaga kerja yang cukup besar terjadi pada tahun 2009 yaitu

meningkat sebesar 1,9 juta jiwa dari tahun sebelumnya.

Jumlah tenaga kerja di provinsi Jawa Barat memang mengalami kenaikan

setiap tahunnya namun belum mampu mengurangi jumlah pengangguran. Kondisi

pengangguran terbuka ini merefleksikan bahwa peningkatan kesempatan kerja di

Jawa Barat belum sebanding dengan angkatan kerja sehingga masih banyak orang

yang tidak mempunyai pekerjaan. Pengangguran terbuka dapat pula wujud dari

kegiatan ekonomi yang menurun dan kemajuan teknologi yang mengurangi

penggunaan tenaga kerja.

Tabel 4.7. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2009 (Orang)

Tahun Tenaga kerja yang bekerja Perubahan (%)

1993 13.876.496 -

(44)

Perkembangan jumlah pengangguran terbuka di Jawa Barat sejak tahun

1993 hingga 2009 dapat dilihat pada Tabel 4.8. Memasuki era 90-an banyak sekali

transmigran yang melakukan transmigrasi ke Pulau Jawa karena Pulau Jawa

dianggap kondusif untuk membuka peluang bisnis. Banyaknya para transmigran

di Pulau Jawa khususnya Jawa Barat juga ikut penyumbang angka pengangguran.

Pada tahun 1998 terjadi ledakan pengangguran yaitu sekitar 44,44 persen akibat

krisis ekonomi. Banyak pekerja yang terkena PHK akibat perusahaan tidak

mampu mempertahannya usahanya. Setelah itu merupakan masa recovery dimana perusahaan mulai memperbaiki kondisi usahanya sehingga pengangguran

menurun.

Tabel 4.8. Pengangguran Terbuka di Jawa Barat Tahun 1993-2009

Tahun Jumlah Pengangguran % Perubahan Pengangguran

1993 561.564 27,27

(45)

Pemerintah dalam upayanya meningkatkan kesejahteraan rakyat

menetapkan batasan upah minimum bagi para pekerja. Kondisi Upah Minimum

Provinsi Jawa Barat (UMP) meningkat setiap tahunnya seperti yang terlihat pada

Gambar 4.1. Kenaikan pada UMP dimaksudkan agar kualitas hidup dari para

pekerja meningkat sekaligus melindungi mereka dari tekanan perusahaan. Pada

tahun 1993 upah riil Provinsi Jawa Barat adalah sekitar Rp.102 ribu dan terus

meningkat hingga Rp.587 ribu pada tahun 2009.

Sumber : Data Sosial Ekonomi Jawa Barat tahun 1993-2009

Gambar 4.1. Perkembangan Upah Minimum Provinsi Jawa Barat Tahun 1993-2009

4.5. Kondisi Pendidikan di Jawa Barat

Pendidikan merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam

pembangunan. Dengan pendidikan maka akan tercipta sumberdaya-sumberdaya

manusia yang bermutu yang akan menjadi lokomotif dalam proses pembangunan

(46)

pemerintah. Hal ini terlihat dari kebijakan-kebijakan di bidang pendidikan yang

diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, diantaranya dengan program

wajib belajar 9 tahun dan meningkatnya anggaran pendidikan sebesar 20 persen

dari total APBN.

Tabel 4.9 memperlihatkan kondisi pendidikan masyarakat Jawa Barat

tahun 1997 hingga 2008. Pendidikan di Jawa Barat masih di dominasi oleh

lulusan Sekolah Dasar dengan rata-rata persentase di atas 30 persen setiap

tahunnya. Persentase penduduk dengan pendidikan di atas SMA masih terbilang

rendah yaitu rata-rata berada di bawah 20 persen. Keadaan ini mengindikasikan

bahwa sumber daya manusia yang berpendidikan harus ditingkatkan.

Tabel 4.9. Persentase Penduduk 10 Tahun ke atas Menurut Jenjang

(47)

Pada tahun 1997 jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas dengan jenjang

pendidikan SD sebesar 39,05 persen, SMP 13,01 persen, SMA 12,29 persen, dan

Perguruan Tinggi sebesar 2,71 persen. Persentase penduduk yang hanya

menamatkan sekolah sampai tingkat SD menurun dari tahun ke tahun. Sebaliknya,

persentase jumlah penduduk dengan jenjang pendidikan SMA ke atas semakin

meningkat. Pada tahun 2008, persentase penduduk dengan jenjang pendidikan SD

turun menjadi 29,55 persen, sedangkan persentase penduduk dengan pendidikan

SMA dan Perguruan Tinggi meningkat masing-masing sebesar 27,80 persen dan

8,28 persen. Hal ini sejalan dengan program pemerintah dalam mencerdaskan

bangsa yaitu pendidikan wajib 9 tahun. Dengan semakin tingginya tingkat

pendidikan masyarakat diharapkan mampu menciptakan SDM yang berkualitas

sehingga dapat diberdayakan untuk membangun negeri

4.6. Kondisi Kemiskinan di Jawa Barat

Jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh garis kemiskinan karena

penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki pengeluaran per kapita per

bulan di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan data BPS, garis kemiskinan terus

mengalami peningkatan, yaitu pada tahun 2005 sebesar Rp.133.701 dan pada

(48)

Sumber : BPS Jawa Barat

Gambar 4.2. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Jawa Barat Tahun 1993-2009

Gambar 4.2. menunjukkan perkembangan jumlah penduduk miskin yang

ada di Jawa Barat dari tahun 1993-2007. Terjadi lonjakan yang sangat tinggi pada

tahun 1997-1998 yang merupakan imbas dari krisis ekonomi pada tahun yang

bersangkutan. Jutaan orang mendadak jatuh miskin karena tidak mampu

mempertahankan usahanya pada masa krisis. Pada tahun 2000 jumlah penduduk

miskin berkurang bersamaan dengan proses recovery. Namun kembali meningkat pada tahun 2001. Tahun 2007 jumlah penduduk miskin berjumlah sekitar 5,4 juta

orang, meningkat 0,32 juta orang dari tahun 2005 yang berjumlah 5,14 juta orang.

Begitu pula apabila dibandingkan dengan total penduduk, persentase penduduk

miskin pada tahun 2007 mengalami peningkatan dari 13,15 persen menjadi 13,56

(49)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Tenaga Kerja, dan Kemiskinan di Provinsi Jawa Barat

Hasil estimasi model ekonometrika yang terdiri dari tiga persamaan

struktural secara umum menunjukkan hasil yang baik. Parameter estimasi

sebagian besar telah sesuai dengan teori walaupun ada beberapa yang berbeda

dengan dugaan awal penelitian. Evaluasi hasil secara statistika juga menunjukkan

hasil yang baik, yaitu nilai R-Square lebih dari 0,50 sehingga model telah mampu

menjelaskan keragaman masalah dengan baik. Nilai DW berkisar antara 1,43-2,57

sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi. Secara garis besar variabel-variabel

penjelas yang dimasukkan ke dalam persamaan signifikan pada taraf nyata α<10

persen dan mampu menjelaskan variabel tak bebasnya.

5.1.1. Analisis Model Pertumbuhan Ekonomi

Hasil estimasi model persamaan simultan terhadap pertumbuhan ekonomi

menunjukkan bahwa model yang dibangun signifikan pada taraf nyata 10 persen

dan mampu menjelaskan permasalahan dengan sangat baik. Hal ini terlihat dari

nilai R-squared-nya yaitu sebesar 0,948 yang berarti bahwa model telah mampu menjelaskan keragaman masalah sebesar 94,8 persen dan sisanya dijelaskan oleh

(50)

Tabel 5.1. Hasil Pendugaan Parameter Model Terhadap PDRB Jawa Barat Tahun 1993-2009

Variabel Koefisien Prob

Intercept 1,430309 0,0764

LOG PAD(Pendapatan Asli Daerah) 0,470523 0,0298

LOG DAFER (Dana Transfer) 0,130422 0,0137

LOG INV (Investasi) 0,268646 0,0640

LOG XM (Ekspor dan Impor) 0,319150 0,0740

LOH POP (Populasi) -1,91563 0,1550

LOG Tenaga Kerja (L) 0,290510 0,0688

D1 (Dummy Desentralisasi) 0,083664 0,0955

D2 (Dummy Krisis Ekonomi) -0,529118 0,0392

Berdasarkan hasil estimasi terhadap model pertumbuhan ekonomi terlihat

bahwa variabel modal pemerintah yang terdiri dari PAD dan Dana Transfer

terbukti signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Hal ini

karena PAD dan Dana Perimbangan merupakan sumber utama pendapatan daerah.

Semakin besar pendapatan daerah maka pemerintah dapat menggunakan dana

tersebut untuk membiayai kegiatan pembangunan dan menyediakan fasilitas

publik untuk masyarakatnya.

Variabel PAD memiliki nilai elastisitas sebesar 0,47 yang berarti bahwa

setiap kenaikan 1 persen pada PAD akan meningkatkan PDRB sebesar 0,47

persen, ceteris paribus. Dana perimbangan yang juga merupakan pembentuk modal pemerintah signifikan meningkatkan PDRB Jawa Barat dengan nilai

(51)

perimbangan sebesar 1 persen maka akan meningkatkan PDRB sebesar 0,13

persen.

Variabel investasi swasta signifikan dan berpengaruh positif terhadap

PDRB Jawa Barat dengan nilai elastisitas 0,27. Hal ini bermakna bahwa setiap

kenaikan investasi sebesar 1 persen maka akan menyebabkan PDRB naik 0,27

persen. Fakta ini sesuai dengan teori ekonomi Keynes yang menyebutkan bahwa

invetasi meningkatkan output total (agregat expenditure).

Dari hasil estimasi variabel keterbukaan daerah yang diwakili dengan

ekspor dan impor signifikan memengaruhi PDRB Jawa Barat. Dari hasil estimasi

diperoleh bahwa setiap terjadi peningkatan ekspor dan impor sebesar 1 persen

maka akan mampu meningkatkan output (PDRB) sebesar 0,31 persen, ceteris paribus.

Berdasarkan hasil pendugaan diketahui variabel tenaga kerja (L)

meningkatkan PDRB Jawa Barat dengan nilai koefisien 0,2 yang berarti bahwa

setiap kenaikan tenaga kerja 1 persen akan mampu meningkatkan PDRB sebesar

0,2 persen. Hal ini karena tenaga kerja merupakan sumberdaya manusia yang

melakukan kegiatan ekonomi. Sehingga semakin banyak manusia yang

diberdayakan maka akan mempercepat roda perekonomian. Namun, peningkatan

kuantitas dari tenaga kerja juga harus diikuti oleh kualitas yang baik pula.

Peubah dummy desentralisasi fiskal signifikan terhadap PDRB Jawa Barat pada taraf nyata 10 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa penerapan kebijakan

desentralisasi fiskal di Jawa Barat sejak tahun 2001 mampu meningkatkan PDRB.

(52)

diamati. Dalam Media Otonomi (2009), sebagian ekonom mensinyalir bahwa

kecilnya pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi

disebabkan karena moment pelaksanaan desentralisasi fiskal yang bersamaan

dengan masa pemulihan ekonomi pasca krisis ekonomi tahun 1998. Karena pada

permulaan desentralisasi fiskal perekonomian Indonesia baru pada tahap recovery sehingga imbas dari krisis masih terasa ketika diterapkannya otonomi daerah.

Selain itu, sebagian lain mengatakan bahwa di era desentralisasi, banyak daerah

yang kurang siap baik SDM dan kapabilitas pemerintahnya dalam pengelolaan

keuangan dan pembangunan. Hal ini terlihat dari opini Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK) atas laporan keuangan daerah sejak 2004 hingga 2007 yang

menunjukkan temuan yang mengecewakan.

Dalam penelitian Suparno (2010), pengaruh dari desentralisasi fiskal juga

dipengaruhi faktor lain seperti kinerja dari aparat pemerintah dan tidak efisiennya

pengelolaan keuangan serta alokasi dana sebagai imbas dari besarnya dana

transfer yang berlebihan.

Sementara itu, peubah dummy krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 dan pertengahan tahun 2007 signifikan pada taraf nyata 10% dan

berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat.

5.1.2. Analisis Model Tenaga Kerja

Hasil estimasi model persamaan simultan terhadap tenaga kerja

menunjukkan bahwa model yang dibangun signifikan pada taraf nyata 10 persen

(53)

nilai R-squared-nya yaitu sebesar 0,901 yang berarti bahwa model telah mampu menjelaskan keragaman masalah sebesar 90,1 persen dan sisanya dijelaskan oleh

variabel-variabel di luar model. Hasil pengolahan dengan menggunakan SAS.9.1.3 secara lengkap dapat dilihat di Lampiran 2.

Tabel 5.2. Hasil Pendugaan Parameter Model Terhadap Tenaga Kerja di Jawa Barat Tahun 1993-2009

Variabel Koefisien Prob

Intercept 14,13741 <,0001

LOG W (Upah) -0,166272 0,0022

PEND (Pendidikan) 0,009185 0,0048

LOG G (Pengeluaran Pemerintah) 0,20475 0,0663

LOG INV (Investasi) 0,03691 0,0983

D1 (Dummy Desentralisasi) -0,01524 0,4181

D2 (Dummy Krisis Ekonomi) -0,17004 0,0004

Hasil analisis memperlihatkan bahwa variabel upah (W), Pendidikan,

pengeluaran pemerintah, investasi, dan dummy krisis ekonomi signifikan pada taraf nyata 10 persen. Sedangkan variabel dummy desentralisasi fiskal tidak signifikan memengaruhi kesempatan kerja yang diwakili dengan jumlah tenaga

kerja.

Variabel upah dalam hasil estimasi berpengaruh mengurangi tenaga kerja

dengan nilai koefisien sebesar 0,16. Hal ini berarti bahwa setiap terjadi kenaikan

upah sebesar 1 persen maka kesempatan kerja berkurang sebesar 0,16 persen.

(54)

pekerja (labour cost) terhadap seluruh biaya produksi (total cost). Peningkatan upah menyebabkan peningkatan biaya produksi, sehingga pengusaha akan

mengkompensasinya dengan mengurangi jumlah tenaga kerja agar total cost-nya tetap. Dalam jangka pendek peningkatan upah akan menurunkan permintaan

terhadap tenaga kerja.

Tujuan utama dari perusahaan adalah memaksimalkan profit. Sehingga apabila upah tenaga kerja meningkat dan dinilai akan mengurangi laba maka

perusahaan cenderung akan mengganti input yang relatif lebih murah. Selain itu,

peningkatan upah juga akan meningkatkan biaya marginal perusahaan.

Sumber: Mankiw, 2003

Gambar 5.1. Kurva Permintaan Tenaga Kerja

Gambar 5.1. menunjukkan kura permintaan terhadap tenaga kerja. Titik

keseimbangan awal adalah A dengan upah W1 dan tenaga kerja sebanyak L1.

(55)

permintaan terhadap tenaga kerja akan berkurang ke L2. Hal ini merupakan

sesuatu yang wajar dilakukan oleh perusahaan untuk mempertahankan

keuntungannya dan merubah produksinya menjadi padat modal.

.Variabel pendidikan yang diwakili oleh rasio penduduk yang

menyelesaikan pendidikan SMA ke atas menunjukkan pengaruh yang positif

terhadap tenaga kerja dengan nilai koefisien 0,009. Berarti apabila terjadi

kenaikan pada jumlah penduduk yang menyelesaikan pendidikan di atas SMA

maka akan mampu meningkatkan kesempatan kerja sebesar 0,009 persen. Hal ini

dapat dimengerti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka

kesempatan kerja pun akan semakin meningkat karena pendidikan merupakan

salah satu indikator dalam menilai kualitas dari sumber daya manusia. Sehingga

banyak perusahaan yang menetapkan standar minimum pendidikan untuk dapat

bekerja di perusahaannya.

Peubah pengeluaran pemerintah secara total terbukti signifikan untuk

meningkatkan kesempatan kerja. Dari hasil estimasi pada model didapat bahwa

setiap peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 1 persen akan mampu

meningkatkan kesempatan kerja sebesar 0,02 persen di daerah yang bersangkutan

dengan asumsi ceteris paribus.

Semakin tinggi pengeluaran pemerintah diharapkan dapat meningkatkan

pelayanan publik dan mendorong investasi sehingga perekonomian semakin maju.

Selain itu, pengeluaran pemerintah yang dimanfaatkan untuk mengerjakan

proyek-proyek baru yang padat karya secara langsung akan menyerap tenaga

(56)

Variabel modal swasta (investasi) berpengaruh signifikan meningkatkan

tenaga kerja dengan nilai koefisien sebesar 0,003. Hal ini berarti setiap kenaikan

investasi sebesar 1 persen maka akan meningkatkan kesempatan kerja sebesar

0,003 persen. Investasi swasta menciptakan lahan usaha baru dan proyek-proyek

yang dikerjakan memerlukan sumber daya manusia untuk mengerjakannya

sehingga akan menyerap banyak tenaga kerja dan membuka lebih banyak

kesempatan kerja bagi masyarakat. Nilai koefisien investasi yang kecil

kemungkinan disebabkan pengaruh dari teknologi.

Variabel dummy desentralisasi fiskal tidak signifikan pada taraf nyata 10

persen. Hal ini kemungkinan karena tingkat lapangan kerja yang tercipta selama

ini masih belum sebanding dengan peningkatan jumlah angkatan kerja sehingga

tingkat pengangguran masih tinggi (Tabel 4.8). Hasil analisis ini didukung oleh

penelitian yang dilakukan oleh Suparno (2010) bahwa pertumbuhan ekonomi

Indonesia baru mampu menyerap tenaga kerja sebesar 1,2 hingga 1,8 juta

pertahun. Sedangkan angkatan kerja (dari tahun 2001-2008) rata-rata mencapai

1,9 juta orang sehingga penambahan lapangan pekerjaan belum mampu menyerap

seluruh tenaga kerja baru di pasar kerja sehingga menciptakan pengangguran.

Variabel dummy krisis ekonomi signifikan berpengaruh negatif terhadap tenaga kerja. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 dan tahun 2007

mengurangi kesempatan kerja. Pada krisis tahun 1997 terjadi booming pengangguran, yaitu sebesar 44,44 persen akibat banyaknya perusahaan yang

tidak mampu bertahan dari terjangan krisis ekonomi global saat itu. Tahun 1996

(57)

menjadi hampir 1,2 juta jiwa tahun berikutnya. Tahun 1998 jumlah pengangguran

Hasil analisis ekonometrika yang diperoleh dirangkum pada Tabel 5.3

(hasil analisis model ekonometrika lengkap dapat dilihat di Lampiran 3). Hasil

analisis menunjukkan bahwa hampir seluruh koefisien signifikan pada taraf nyata

10% kecuali Inflasi (INF) yang tidak signifikan pada taraf nyata 10 persen. Selain

itu, model ini mampu menjelaskan keragaman masalah dengan cukup baik. Hal

ini terlihat dari nilai koefisien determinasi (R-Square) sebesar 0,76.

Tabel 5.3. Hasil Pendugaan Parameter Model Terhadap Kemiskinan di Jawa Barat Tahun 1993-2009

Variabel Koefisien Prob

Intercept -33,5629 0,0212

LOG Y (Pertumbuhan Ekonomi) -0,045917 0,0005

LOG POP (Populasi) 0,237791 0,0003

INF (Inflasi) 0,601152 0,1224

D2 (Dummy Krisis Ekonomi) 0,428741 0,0023

Dari hasil analisis diketahui variabel PDRB (Y) signifikan mengurangi

Gambar

Tabel 3.1. Pengujian Order
Tabel 4.1.
Tabel 4.1. menunjukkan perkembangan PDRB Jawa Barat sejak tahun
Tabel 4.2.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan dapat mengerti, memahami dan menjelaskan berbagai macam sudut pandang yang dapat dipakai untuk menganalisis keputusan bisnis

X : perlakuan (treatment) pada kelas eksperimen, yaitu perlakuan dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbantuan simulasi komputer. Alasan peneliti menggunakan

Renja Disosnakertrans Banyuwangi Tahun 2014 15 Langkah-langkah untuk mengatasi faktor-faktor yang menyebabkan secara implikatif pada Renstra SKPD adalah mengadakan

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pelatihan berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan bagian produksi PT Bumi Menara Internusa. Hasil analisis regresi linier

Tujuan Khusus dan urgensi penelitian ini adalah untuk, memberikan sumbangan terhadap perkembangan keilmuan, khususnya untuk bidang ilmu pendidikan, terutama mengenai

Pada penelitian ini bertujuan untuk merancang suatu aplikasi mobile sistem informasi layanan kesehatan berbasis android yang dapat memberikan informasi layanan

Sample dalam penelitian ini sebanyak 141 KK diambil secara “Purposive Sampling”.Jenis penelitian ini adalah observasi dengan pendekatan deskriptif atau survei ke

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilakukan dengan subjek siswa kelas IV SDN 3 Siwalempu melalui strategi belajar peta konsep, diperoleh