TERHADAP PDRB, TENAGA KERJA, DAN KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA BARAT
OLEH
SISKA PERMATA INDAH H14070055
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
SISKA PERMATA INDAH, H14070055, Analisis Dampak Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya Terhadap PDRB, Tenaga Kerja, dan Kemiskinan di Jawa Barat. (dibimbing oleh SRI HARTOYO).
Kebijakan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001 bertujuan untuk mendorong perekonomian daerah dan mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah di Indonesia. Dengan kebijakan desentralisasi fiskal dimana pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengatur keuangannya sendiri diharapkan memberi pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan ekonomi, tenaga kerja, dan kemiskinan yang populer disebut triple track strategy (pro growth, pro job, dan pro poor). Upaya yang dilakukan pemerintah dalam mencapai tujuannya adalah dengan meningkatkan pendapatan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah.
Peningkatan pendapatan daerah dan besarnya dana transfer dari pemerintah pusat pada masa otonomi daerah tidak menjamin pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena hasil dari kebijakan desentralisasi fiskal tergantung pada implementasi daerah masing-masing. Oleh karena itu penelitian ini memiliki dua tujuan utama, yaitu menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap PDRB, tenaga kerja, dan kemiskinan di Jawa Barat yang ditunjukkan oleh variabel dummy dan menganalisis dampak pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan di Jawa Barat.
Penelitian ini menggunakan data time series Provinsi Jawa Barat dalam kurun waktu 1993 hingga 2009. Data diperoleh dari Badan Pusat Statistika (BPS) Jawa Barat, Bank Indonesia, penelitian-penelitian terdahulu, dan instansi-instansi terkait. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis kuantitatif dengan menggunakan metode 2 Stage Least Square (2SLS) terhadap persamaan simultan.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa variabel dummy desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap PDRB dan tenaga kerja pada taraf nyata 10 persen. Berdasarkan hasil estimasi model persamaan simultan terlihat faktor-faktor yang memengaruhi PDRB Jawa Barat adalah modal pemerintah yang terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Transfer (DAFER), Investasi (INV), tingkat keterbukaan daerah (XM), Tenaga Kerja (L), variabel dummy desentralisasi fiskal dankrisis ekonomi.
elastisitas 0,26 yang berarti bahwa setiap peningkatan investasi sebesar 1 persen maka akan mampu meningkatkan PDRB sebesar 0,26 persen dengan asumsi ceteris paribus. Oleh karena itu, pemerintah harus mampu menciptakan iklim investasi yang kondusif agar banyak investor yang tertarik menanamkan modalnya di Jawa Barat. Tenga kerja di Jawa Barat signifikan meningkatkan PDRB dengan nilai koefisien 0,29. Selain itu, tingkat keterbukaan daerah yang ditunjukkan oleh nilai ekspor dan impor signifikan meningkatkan PDRB dengan elastisitas sebesar 0,31.
Sedangkan peubah dummy krisis ekonomi (D2) signifikan memberi dampak negatif terhadap PDRB dengan nilai elastisitas -0,7. Hal ini menggambarkan dahsyatnya guncangan ekonomi yang diakibatkan krisis global pada tahun 1997.
Sementara itu, beberapa faktor yang memengaruhi tenaga kerja adalah upah (W), pendidikan (PEND), pengeluaran pemerintah (G), Investasi (INV), dan dummy krisis ekonomi. Upah signifikan mengurangi kesempatan kerja dengan nilai elastisitas sebesar -0,16. Hasil ini sesuai dengan teori permintaan tenaga kerja dimana setiap kenaikan upah akan mengurangi penggunaan tenaga kerja. Selain itu, pendidikan yang diwakili oleh persentase penduduk dengan tingkat pendidikan di atas SMA signifikan dengan nilai elastisitas 0,009. Pengeluaran pemerintah signifikan meningkatkan tenaga kerja dengan elastisitas 0,20. Secara teori, semakin besar anggaran pemerintah diharapkan dapat mempercepat dan meningkatkan pelayanan publik serta perbaikan infrastruktur.
TERHADAP PDRB, TENAGA KERJA, DAN KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA BARAT
Oleh
SISKA PERMATA INDAH H14070055
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
Pengaruhnya Terhadap PDRB, Tenaga Kerja, dan Kemiskinan di Provinsi Jawa Barat
Nama Mahasiswa : Siska Permata Indah Nomor Induk Mahasiswa : H14070055
Menyetujui Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S 19500209 198203 1 002
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
Dr. Dedi Budiman Hakim 1964410 22 1989031003
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2011
Penulis bernama Siska Permata Indah dilahirkan di Cianjur pada
tanggal 21 Januari 1989 dari pasangan H.Nunung Sadikin dan Hj. Betty
Srihartati. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis
menempuh pendidikan Sekolah Dasar Negeri (SDN) Ibu Dewi 2 Cianjur,
kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1
Cianjur, dan lulus dari Sekolah Menengah Umum Negeri (SMAN) 1 Cianjur
pada 2007.
Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui
jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor) yang pada
akhirnya masuk ke Fakultas Ekonomi dan Manajemen, dengan jurusan
Departemen Ilmu Ekonomi. Pada masa perkuliahan, penulis tergabung dalam
organisasi SES-C IPB sebagai anggota divisi eksternal dan aktif dalam
mengikuti kepanitiaan dalam acara yang diselenggarakan departemen maupun
fakultas. Penulis pernah menjadi panitia Banking Goes To Campus (2008),
DAFTAR ISI
2.1.1. Konsep dan Pengertian Kebijakan Desentralisasi Fiskal ... 8
2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi ...10
2.1.3. Tenaga Kerja ...11
2.1.4. Kemiskinan ...11
2.1.5. Fungsi Produksi Cobb Douglas ...12
2.2. Kaitan Pertumbuhan Dengan Desentralisasi Fiskal ...13
2.3. Tinjauan Penelitian Terdahulu ...14
2.4. Kerangka Pemikiran Konseptual ...15
4.1. Perkembangan Ekonomi dan Keuangan Daerah ...22
4.2. Perkembangan Investasi di Jawa Barat ...26
4.3. Gambaran Tingkat Keterbukaan Daerah ...28
4.4. Kondisi Ketenagakerjaan dan Upah di Jawa Barat ...29
4.5. Kondisi Pendidikan di Jawa Barat ...33
4.6. Kondisi Kemiskinan di Jawa Barat ...35
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ...37
5.1. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Tenaga Kerja, dan Kemiskinan di Provinsi Jawa Barat ...37
5.1.1. Analisis Model PDRB Jawa Barat Tahun 1993-2009 ...37
5.1.2. Analisis Model Tenaga Kerja di Jawa Barat Tahun 1993-2009 ...40
5.1.3. Analisis Model Kemiskinan di Jawa Barat Tahun 1993-2009 ...45
5.2. Permasalahan dalam Penerapan Desentralisasi Fiskal ...47
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...49
6.1. Kesimpulan ...49
6.2. Saran ...49
DAFTAR PUSTAKA ... 51
DAFTAR TABEL
Nomor Hal 3.1. Pengujian Order ... 1 4.1. Perkembangan PDRB Riil Jawa Barat dan Laju
Pertumbuhan Ekonomi Tahun 1993-2009 ... 22 4.2. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jawa Barat Berdasarkan
Lapangan Usaha Tahun 2004–2006 (Trilyun Rupiah ... 24 4.3. Realisasi Belanja Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2002-2009 ... 26 4.4. Realisasi Investasi PMA dan PMDN di Jawa Barat Periode
Tahun 1993-2009 ... ... 27 4.5. Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Provinsi Jawa Barat
Tahun 2004-2009 ... 28 4.6. Tabel Penduduk Usia Kerja (PUK) Menurut Kelompok Umur
dan Jenis Kelamin di Jawa Barat Tahun 2009 ... 29 4.7. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Provinsi Jawa Barat
Tahun 2001-2009 ... 31 4.8. Pengangguran Terbuka di Jawa Barat Tahun 1993-2009 ... 32 4.9. Persentase Penduduk 10 Tahun ke atas Menurut Jenjang Pendidikan
yang Ditamatkan di Jawa Barat Tahun 1993-2009 ... 34 5.1. Hasil Pendugaan Parameter Model Terhadap PDRB Jawa Barat
Tahun 1993-2009 ... 38 5.2. Hasil Pendugaan Parameter Model Terhadap Tenaga Kerja di
Jawa Barat Tahun 1993-2009 ... 41 5.3. Hasil Pendugaan Parameter Model Terhadap Kemiskinan di
DAFTAR GAMBAR
Nomor Hal 4.1. Laju Inflasi Tiga Kota di Jawa Barat Tahun 2002-2007 ... 25 4.2. Perkembangan Upah Minimum Regional Provinsi Jawa Barat
Tahun 1993-2009 ... 33 4.3. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Jawa Barat
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
1. Perkembangan Garis Kemiskinan menurut Provinsi dan Daerah Tahun 2002-2008.
2. Tingkat Kesempatan Kerja Provinsi-Provinsi di Indonesia Tahun 1993-2008.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada dasarnya suatu pemerintahan memiliki tujuan utama yaitu
meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyatnya. Fokus utama pemerintah dalam
mencapai tujuan tersebut adalah meningkatkan perekonomian yang diukur dengan
besarnya pendapatan daerah. Semakin besar pendapatan daerah maka pemerintah
memiliki dana yang besar untuk membiayai kegiatan pembangunan dan
meningkatkan layanan kepada masyarakat. Keadaan perekonomian juga sering
menjadi titik acuan dalam menilai kinerja pemerintah yang berkuasa di jamannya.
Dengan demikian perekonomian merupakan hal yang sangat penting bagi
keberlangsungan suatu pemerintahan.
Pada masa sebelum pelaksanaan otonomi daerah tahun 2001, Indonesia
menganut sistem pemerintahan yang sentralistik. Pemerintah pusat memiliki peran
yang dominan dalam menentukan keputusan termasuk dalam hal perekonomian
daerah. Sebagian besar pembiayaan pembangunan daerah ditentukan oleh
pemerintah pusat. Hal ini menciptakan ketergantungan pemerintah daerah
terhadap pemerintah pusat dan melahirkan ketimpangan pembangunan antar
daerah di indonesia. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut
pemerintah pusat menerapkan kebijakan baru dimana pemerintah daerah memiliki
kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Kebijakan itu dikenal
Kebijakan desentralisasi fiskal merupakan suatu gebrakan yang dilakukan
pemerintah pusat di bidang keuangan pada masa otonomi daerah. Kebijakan ini
ditetapkan sesuai dengan UU No.22 dan No.25 Tahun 1999 yang kemudian
direvisi menjadi UU No. 32 dan 33 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan
Perimbangan Keuangan Pusat Daerah. Undang-undang ini merefleksikan
pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah serta memberikan
kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menggali potensi sumberdaya
keuangan di daerahnya. Walaupun dasar hukum kebijakan ini dikeluarkan tahun
1999 akan tetapi secara ril masa otonomi daerah dimulai dari tahun 2001.
Dengan dilaksanakanannya desentralisasi fiskal tidak berarti pemerintah
daerah dapat secara penuh lepas dari aturan pemerintah pusat. Daerah-daerah
otonom masih berada dalam satu kesatuan wilayah Republik Indonesia sehingga
tetap mempunyai tanggung jawab dalam melaksanakan tugas pembangunan yang
diberikan oleh pemerintah pusat. Tanggung jawab tersebut tentu saja dibarengi
dengan pembiayaan dan bantuan dari pemerintah pusat berupa dana transfer.
Dana transfer serta dana otonomi khusus meningkat sangat pesat dalam
tiga tahun terakhir, yaitu dari hanya Rp.153,4 triliun pada tahun 2005 menjadi
Rp.220 triliun pada 2006 atau meningkat 43 persen, dan pada tahun 2007
mencapai Rp.258,8 triliun atau meningkat 17,6 persen. Jumlah tersebut meliputi
sepertiga dari seluruh total APBN Indonesia tahun 2007. (Suparno, 2010)
Jawa Barat merupakan provinsi di Indonesia yang memiliki jumlah
penduduk terbanyak, yaitu sekitar 38.9 juta jiwa. Bagian barat laut provinsi Jawa
negara Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat terbilang pesat. Pada tahun
2003 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Barat mencapai Rp.220,965
milyar menyumbang 14-15 persen dari total PDB nasional, angka tertinggi bagi
sebuah Provinsi. (Bank Indonesia)
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa tujuan utama suatu
pemerintahan adalah mensejahterakan rakyat. Maka setiap kebijakan yang
dicanangkan pemerintah tidak hanya mempertimbangkan dari sisi keuangan saja
tetapi juga seharusnya mampu mengurangi pengangguran dan kemiskinan atau
yang sering disebut triple track strategy (pro growth, pro job, dan pro poor).
Keputusan pemerintah pusat melimpahkan wewenang kepada pemerintah
daerah dalam hal mengatur rumah tangganya sendiri memiliki tujuan untuk
mendorong perekonomian daerah dan mengurangi ketimpangan yang terjadi
antar daerah di Indonesia. Akan tetapi tingkat keberhasilan kebijakan tersebut
tergantung dari implementasi daerah masing-masing.
Peningkatan pendapatan daerah dan besarnya dana transfer pada masa
otonomi daerah seharusnya berkorelasi positif dengan tujuan utama pemerintah,
yaitu kesejahteraan rakyat. Hal tersebut dapat terlihat melalui pertumbuhan
ekonomi apakah mampu mengurangi pengangguran dan kemiskinan di daerahnya
atau tidak. Oleh karena itu, isu mengenai pelaksanaan desentralisasi fiskal dan
1.2. Rumusan Masalah
Implementasi kebijakan desentralisasi fiskal seharusnya memberikan
perubahan dalam struktur keuangan daerah. Pemberian dana perimbangan
keuangan daerah sesuai dengan UU No. 32 dan 33 Tahun 2004 disertai
kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola hasil sumberdayanya
diharapkan dapat meningkatkan perhatian pemerintah daerah kepada
masyarakatnya. Kebijakan tersebut seyogyanya juga berdampak tidak hanya
dalam peningkatan kinerja perekonomian daerah tetapi juga terhadap peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Kewenangan yang diberikan pemerintah pusat bukan hanya merupakan
kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri tetapi juga
merupakan amanat pembangunan. Pemerintah daerah diharapkan dapat menggali
potensi-potensi keuangan yang dimiliki daerahnya untuk meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah. Sehingga ketergantungan pemerintah daerah terhadap
pemerintah pusat dapat diminimalisir.
Desentralisasi fiskal membuat pemerintah daerah lebih kreatif dalam
mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan daerahnya disamping dana
bantuan pembangunan yang diberikan pemerintah pusat. Akan tetapi, besarnya
pendapatan daerah dan dana transfer yang besar juga akan berdampak terhadap
penggunaan anggaran secara tidak efisien. Pemerintah daerah idealnya dapat
menggunakan dana tersebut dengan prioritas kepentingan dan aspirasi rakyat.
Kinerja perekonomian dan potensi keuangan daerah tidak hanya
faktor-faktor lain. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan maka pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi,
tenaga kerja dan kemiskinan di Jawa Barat?
2. Bagaimanakah dampak pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan di Jawa
Barat?
1.3. Tujuan Penelitian
Dengan merujuk pada latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka
tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi
tenaga kerja, dan kemiskinan di Jawa Barat.
2. Menganalisis dampak pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan di Jawa
Barat.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi Peneliti, diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan
mengenai kinerja keuangan daerah dan masalah ketimpangan yang ada di
Jawa Barat.
2. Bagi pemerintah, sebagai pelaksana otonomi daerah dan pemegang
menjadi bahan informasi tambahan dan pertimbangan dalam mengambil
keputusan dalam mengatasi masalah ketimpangan pendapatan.
3. Bagi Masyarakat, mahasiswa, maupun peneliti selanjutnya yang tertarik
dengan topik terkait agar dapat dijadikan rujukan serta tambahan
informasi.
1.5. Ruang lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan terhadap kondisi Provinsi Jawa Barat secara
umum dari tahun 1993 hingga tahun 2009. Data yang digunakan merupakan data
provinsi sehingga Kabupaten/Kota yang mekar pada rentang waktu penelitian
tidak diagregasikan. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini
didasarkan pada fungsi produksi Cobb Douglass dan ditambah variabel-variabel
lain yang berkaitan. Untuk menyeimbangkan level data, maka data-data yang
berhubungan dengan harga distandarkan menggunakan tahun dasar 2007 (deflasi).
Perekonomian daerah dalam penelitian ini adalah perekonomian terbuka dengan
memasukkan variabel ekspor dan impor sebagai indikator keterbukaan daerah.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Konsep dan Teori
2.1.1. Konsep dan Pengertian Desentalisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal merupakan upaya pemerintah dalam rangka
membentuk daerah yang otonom dengan mewujudkan ketahanan fiskal yang
berkelanjutan. Pemerintah pusat memberikan kewenangan dan tanggung jawab
kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumber-sumber keuangan daerahnya
yang dapat digunakan dalam pembiayaan pembangunan dan menyediakan
layanan publik bagi masayarakatnya.
Pelimpahan kewenangan diikuti dengan pemberian stimulus fiskal
terhadap aktivitas perekonomian daerah yang bertujuan untuk menciptakan
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah. Stimulus fiskal ini berupa
pemberian subsidi/bantuan maupun pinjaman dari pemerintah pusat yang berasal
dari APBN. Pengertian desentralisasi fiskal ini dijelaskan dalam UU No. 25
Tahun 1999 yang berisi tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dan daerah. (Irdhania, 2009).
Secara umum konsep desentralisasi dibagi menjadi desentralisasi politik
(political decentralization), desentralisasi administratif (administrative
decentralization), dan desentralisasi fiskal (fiscal decentralization). Desentralisasi politik merupakan suatu bentuk pelimpahan kewenangan kepada pemerintah
daerah menyangkut aspek pengambilan keputusan dan berbagai peraturan daerah.
Desentralisasi administratif merupakan pelimpahan kewenangan yang
dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan
sumber-sumber keuangan untuk menyediakan layanan publik dalam berbagai tingkat
pemerintahan. Sedangkan desentralisasi fiskal adalah pelimpahan kewenangan
kepada pemerintah daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerah
sekaligus hak menerima transfer dana atau bantuan pemerintah pusat.
Seperti yang tercantum dalam UU No.32 dan No.33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan daerah bahwa kebutuhan
DAU oleh suatu daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan
menggunakan pendekatan konsep fiscal gap, dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan atas kebutuhan daerah (fiscal needs) dengan potensi daerah (fiscal capacity). Dengan demikian, DAU digunakan untuk menutup celah yang
terjadi karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang
ada. (Hasugian, 2006).
Desentralisasi fiskal menjadi suatu hal yang sangat penting dalam masa
otonomi daerah karena dengan kewenangan yang diberikan maka pemerintah
daerah dapat dengan bebas menentukan kebijakan-kebijakan fiskal yang dapat
meningkatkan pendapatan daerah. Salah satu jalan yang sering dilakukan
pemerintah daerah untuk mendongkrak pendapatannya adalah dengan
meningkatkan pajak dan menarik retribusi daerah. (Suparno, 2010).
2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan
yang berkesinambungan dari suatu kondisi perekonomian menuju keadaan yang
lebih baik. Teori pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai penjelasan
mengenai faktor-faktor yang menentukan kenaikan output per kapita dalam jangka panjang dan penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama
lain, sehingga terjadi proses pertumbuhan. (Todaro et all, 2006).
Dalam penelitian ini, konsep pertumbuhan bukanlah gambaran ekonomi
suatu daerah pada satu waktu tetapi merupakan suatu proses berkesinambungan
sehingga indikator yang digunakan adalah PDRB perkapita sejak tahun 1993
hingga 2009.
Secara garis besar PDRB dikelompokkan menjadi beberapa sektor, yaitu:
1. Sektor primer yaitu sektor yang tidak mengolah bahan baku melainkan hanya
mendayagunakan sumber-sumber alam seperti tanah dan deposit di dalamnya,
yaitu sektor pertanian, pertambangan, dan penggalian.
2. Sektor sekunder yaitu sektor yang mengolah bahan baku baik yang berasal
dari sektor primer maupun sektor sekunder sendiri menjadi barang lain yang
memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi. Sektor ini mencakup sektor
industri pengolahan, listrik, gas, air bersih, dan sektor kontruksi.
3. Sektor tersier atau dikenal sebagai sektor jasa yaitu sektor-sektor yang tidak
memproduksi secara fisik melainkan dalam bentuk jasa yaitu sektor
lembaga keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta sektor jasa-jasa
lainnya
2.1.3. Tenaga Kerja
Tenaga kerja dapat dibedakan menjadi dua yaitu pekerja dan penganggur.
Pekerja adalah orang-orang yang mempunyai pekerjaan, mencakup orang yang
memang sedang bekerja, dan orang yang mempunyai pekerjaan namun untuk
sementara waktu tidak bekerja. Sedangkan pengangguran adalah orang yang tidak
mempunyai pekerjaan. (Dumairy, 1996).
Pengangguran merupakan masalah makroekonomi dan selalu menjadi
tugas yang harus diselesaikan oleh setiap pemerintahan. Pada dasarnya
pengangguran dapat diartikan sebagai penduduk usia produktif yang tidak
mendapatkan kesempatan kerja. Dari segi produktivitas, penduduk usia kerja yang
paling optimal menghasilkan output produksi adalah penduduk pada rentang umur
15-64 tahun. (BPS, 2009).
2.1.4. Kemiskinan
Konsep kemiskinan merupakan cerminan harapan dan aspirasi masyarakat
secara keseluruhan mengenai apa yang dipandang sebagai standar hidup minimum
yang dapat diterima. Kemiskinan dapat didefinisikan sebagai ketiadaan makanan
dalam jumlah minimum, rumah, dan pakaian yang dibutuhkan untuk
Menurut Badan Pusat Statistika, miskin didefinisikan sebagai kondisi
kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seseorang atau rumah tangga
sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal. Sementara menurut World
Bank Institute kemiskinan merupakan suatu ketidakcukupan/kekurangan
(deprivation) akan aset-aset penting dan peluang-peluang dimana setiap manusia berhak memperolehnya.
2.1.5. Fungsi Produksi Cobb-Douglas
Paul Douglas seorang senator Amerika Serikat (1966) dan Charles Cobb,
seorang ahli matematika yang telah merumuskan fungsi produksi Cobb-Douglas.
Mereka menemukan sebuah fakta bahwa ketika perekonomian mengalami
pertumbuhan yang mengesankan, pendapatan total pekerja dan pendapatan total
pemilik pemilik total tumbuh pada tingkat yang nyaris sama. (Mankiw, 2003)
Douglas mengatakan bahwa fenomena tersebut harus dijelaskan oleh suatu
fungsi produksi yang mempunyai unsur-unsur pendapatan modal dan pendapatan
tenaga kerja, maka diketahui fungsi produksi Cobb-Douglas sebagai berikut: Y˗ F(K,L) = AKαL1...(2.4)
Dimana A adalah parameter yang lebih besar dari nol yang mengukur
produktivitas teknologi yang ada.
Fungsi produksi Cobb-Douglas memiliki skala hasil yang konstan, jika
modal dan tenaga kerja meningkat dalam proporsi yang sama maka output akan
Adapun fungsi produk marjinal (MPL) dan produk marginal modal (MPK)
dalam fungsi produksi Cobb-Douglas adalah sebagai berikut:
MPL = (1-α) AKαL-α ...(2.5) MPK = αAKα-1
L1-α ...(2.6)
Kenaikan dalam jumlah modal meningkatkan MPL dan mengurangi MPK.
Demikian pula kenaikan dalam jumlah tenaga kerja mengurangi MPL dan
meningkatkan MPK. Perkembangan teknologi akan meningkatkan parameter A
membuat produk marjinal kedua faktor produksi naik secara proporsional.
(Mankiw, 2003).
2.2. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Desentralisasi Fiskal Pada dasarnya kebijakan desentralisasi fiskal dirancang untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui efisiensi alokasi sumber daya. Hal
ini karena pemerintah daerah lebih mengenal potensi keuangan daerahnya
dibandingkan pemerintah pusat. Selain itu, pemerintah daerah lebih mengetahui
kebutuhan masyarakatnya sehingga diharapkan dapat memberikan pelayanan dan
penyediaan barang-barang publik dengan optimal.
Esensi mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan
desentralisasi fiskal setidaknya mempunyai tiga pertimbangan. Pertama,
pertumbuhan dilihat sebagai sesuatu yang objektif dari desentralisasi fiskal dan
efisiensi dalam alokasi sumberdaya sektor publik. Kedua, secara eksplisit bahwa
pemerintah berusaha untuk mengadopsi berbagai kebijakan untuk mendorong ke
relatif lebih mudah untuk diukur dan diinterpretasikan dibanding
indikator-indikator lainnya. (Suparno, 2010).
2.3. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Retnosari (2006) menganalisis mengenai pengaruh ketimpangan distribusi
pendapatan terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Penelitian ini hanya
melihat dampak dari distribusi pendapatan terhadap pertumbuhan ekonomi dalam
kurun waktu 2002-2004 dan metode yang digunakan adalah metode regresi
tunggal OLS (Ordinary Least Square) sehingga hasil yang didapat hanya mampu
menjelaskan hubungan searah.
Studi yang dilakukan Hasugian (2006) mengenai dampak desentralisasi
fiskal terhadap kinerja keuangan daerah dan kemiskinan di Kabupaten dan Kota
Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa tingkat kemandirian daerah semakin
rendah setelah implementasi kebijakan desentralisasi fiskal. Penelitian ini
menggunakan panel data kabupaten dan kota se-provinsi Jawa Barat untuk tahun
1998-2004 dengan metode deskriptif dan analisis regresi dengan metode
pendugaan Ordinary Least Square (OLS) terhadap data panel.
Penelitian yang dilakukan oleh Irdhania (2009) mengenai dampak
desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian dan potensi keuangan di
Kabupaten Bogor dengan menggunakan metode simultan pada variabel-variabel
PDRB, Konsumsi, Investasi, dan Pengeluaran pemerintah, menyimpulkan bahwa
penerapan desentralisasi fiskal memberikan dampak yang positif pada kinerja
Penelitian Suparno (2010) mengenai desentralisasi fiskal dan pengaruhnya
terhadap perekonomian di Indonesia menggunakan metode regresi panel data
terhadap data seluruh provinsi di Indonesia. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Suparno terdiri dari tiga persamaan yaitu pertumbuhan ekonomi, tenaga kerja, dan
kemiskinan yang masing-masing terpisah dan tidak menghubungkan keterkaitan
antar ketiga variabel tersebut. Oleh karena itu, dalam skripsi ini untuk dapat
melihat keterkaitan antar variabel tersebut digunakan metode persamaan simultan.
2.5. Kerangka Pemikiran Konseptual
Melalui kebijakan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah diberi
kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Hal ini dilakukan karena
pemerintah daerah dinilai lebih mengenal kondisi dan potensi daerahnya sehingga
diharapkan mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Selain
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dengan adanya kebijakan desentralisasi
fiskal pemerintah daerah diharapkan mampu meningkatkan kesempatan kerja,
mengurangi pengangguran, dan kemiskinan.
Model yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pengembangan
dari fungsi produksi Cobb-Douglas (persamaan 3.1). Kapital dalam fungsi
produksi terdiri dari modal swasta dan modal pemerintah (pengeluaran publik).
Modal pemerintah terdiri dari dua level pemerintah yaitu pemerintah pusat dan
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
berupa data time series tahun 1993 sampai tahun 2009. Data diperoleh dari berbagai sumber antara lain Badan Pusat Statistika (BPS) Pusat, BPS Provinsi
Jawa Barat, Dinas Pendapatan Jawa Barat, Bank Indonesia, dan
penelitian-penelitian terdahulu. Data yang tercakup dalam penelitian-penelitian ini adalah Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB), APBD, ketenagakerjaan, angka kemiskinan,
jumlah penduduk, dan pendidikan di Jawa Barat.
3.2. Metode Analisis 3.2.1. Analisis Deskriptif
Metode deskriptif merupakan metode yang berkaitan dengan pengumpulan
data dan penyajian suatu data sehingga memberikan informasi yang berguna.
Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menginterpretasikan
data-data kuantitatif secara ringkas dan sederhana. Proses analisis deskriptif dalam
penelitian ini menggunakan alat analisis bantuan berupa software yaitu Microsoft Exel 2007.
3.2.2. Model Ekonometrika
Menurut Gujarati (2004) analisis dengan model ekonometrika terdiri dari
desentralisasi dalam penelitian ini dibangun dengan model ekonometrika karena
model ini lebih fleksibel dalam membangun hubungan antara peubah-ubahnya.
Kelebihan model ekonometrika adalah dapat memasukkan persamaan-persamaan
untuk mengestimasikan perubahan peubah lain, model dapat dimodifikasi dan jika
terdapat permasalahan yang tidak dapat diselesaikan maka persamaan baru dapat
ditambahkan kedalam model.
Model persamaan simultan baik digunakan untuk mengestimasi variabel
yang diduga saling mempengaruhi satu sama lain. Ciri yang paling menonjol
dalam persamaan simultan adalah variabel tak bebas dalam satu persamaan
mungkin muncul sebagai variabel bebas dalam persamaan lain dalam sistem.
3.3. Konstruksi Model
Model yang digunakan merupakan pengembangan dari fungsi produksi
Cobb-Douglas, yaitu:
Yt = KtαLt ... (3.1) Kapital dalam fungsi produksi terdiri dari modal swasta dan modal
pemerintah (pengeluaran publik). Modal pemerintah terdiri dari dua level
pemerintah yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pengeluaran
pemerintah pusat dapat diartikan dalam bentuk sumbangan dan bantuan kepada
pemerintah daerah. Sedangkan pengeluaran pemerintah daerah diasumsikan
sebagai pengeluaran yang dianggarkan dari pos Pendapatan Asli Daerah.
Komponen yang masuk ke dalam pos sumbangan dan bantuan kepada
pemerintah daerah adalah dana perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil
Sementara pengeluaran pemerintah daerah yang berasal dari pos Pendapatan Asli
Daerah adalah pajak daerah, retribusi daerah, laba BUMD, dan lain-lain
pendapatan yang sah.
Berdasarkan uraian di atas, maka model penelitian yang dibangun adalah
model persamaan simultan yang terdiri dari tiga persamaan strukturak yaitu model
PDRB, tenaga kerja, dan kemiskinan dengan 3 variabel endogen dan 11 variabel
eksogen, adalah sebagai berikut;
LogY= α0 + α1 LogPADt+ α2 LogDAFERt+ α3 LogINVt + α4 LogXMt + α5
LogPOPt + α6 LogLt + α7D1t + α8D2t + Ut ... (3.2)
Parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut: α1, α2, α3, α4, α6, α7 > 0 ; α5, α8 < 0
LogL= 0+ 1 LogWt+ 2Pendt + 3 LogGt + 4D1t+ 5D2t + Ut ... (3.3)
Parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut:
2, 3, 4 > 0 ; 1, 5 < 0
LogPM= 0+ 1 LogYt + 2 LogPOPt + 3INFt + 4D2t + Ut ... (3.4)
Parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut:
2 , 3 , 54 > 0 ; 1 < 0
Keterangan :
Yt : Nilai PDRB Riil tahun 2007 (juta rupiah) tahun t
PADt : Pendapatan Asli Daerah riil (juta rupiah) tahun t
DAFERt : Dana Transfer riil (juta rupiah) tahun t
XMt : Ekspor+Impor riil (juta rupiah) tahun t
POPt : Populasi Jawa Barat tahun t
Lt : Tenaga kerja yang bekerja (orang) di Provinsi Jawa Barat tahun t
INFt : Inflasi (persen) Jawa Barat tahun t
Pendt : Tingkat pendidikan (diproksi dengan persentase jumlah murid
berpendidikan SMA ke atas) di Provinsi Jawa Barat tahun t
Wt : Upah riil (rupiah) Provinsi Jawa Barat tahun t
Gt : Total pengeluaran pemerintah riil (juta rupiah) tahun t
PMt : Jumlah penduduk miskin (orang) di Provinsi Jawa Barat tahun t
D1t : Dummy desentralisasi fiskal tahun t
Dengan 0 : sebelum desetralisasi fiskal (1993-2000)
1: setelah desentralisasi fiskal (2001-2009)
D2t : Dummy Krisis Ekonomi tahun 1997-1998
Dengan 0 : sebelum krisis ekonomi (1993-1996)
1 : setelah krisis ekonomi (1997-2009)
3.4. Pengujian Model
Dalam model ekonometrika sistem persamaan simultan diperlukan
beberapa pengujian model yang penting yakni sebagai berikut :
1. Uji Kesesuaian Model
a. Uji Koefisien Determinasi (R2)
Presentase variasi total peubah tidak bebas yang disebabkan oleh peubah bebas
R2 ≥ 1). Jika nilainya mendekati 1, maka terdapat hubungan yang erat antara
peubah bebas dengan peubah tak bebas. Namun jika nilainya 0 maka tidak ada
hubungan antara peubah bebas dengan peubah tak bebas.
b. P-Value
Pengaruh masing-masing peubah bebas terhadap peubah tak bebas dapat
dilihat dengan menggunakan nilai P-Value. Tingkat kesalahan yang ditolerir adalah 10 persen (α = 0,10). Jika nilai P-Value lebih besar daripada nilai α maka
peubah bebas tidak berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas. Namun, jika
nilai P-Value lebih kecil daripada α maka peubah bebas berpengaruh nyata
terhadap peubah tak nyata.
2. Pengujian Autokorelasi
Autokorelasi terjadi jika error dari periode waktu (time series) yang berbeda saling berkorelasi. Autokorelasi membuat estimasi standar eror dan varian
koefisien regresi yang diperoleh akan underestimate. Autokorelasi akan menyebabkan model menjadi tidak efisien tetapi masih tidak bias dan konsisten.
Uji yang biasanya digunakan untuk mendeteksi adanya autokorelasi adalah uji
Durbin-Watson.
3.5. Identifikasi Model
Dalam melakukan pendugaan parameter, suatu persamaan di dalam model
simultan harus teridentifikasi. Kondisi yang harus dipenuhi agar suatu model
dapat diidentifikasi adalah :
dimana :
K = Total variabel dalam model (variabel endogen dan variabel predeterminan )
M = Jumlah variabel endogen dan eksogen yang dimasukkan dalam suatu
persamaan tertentu dalam model.
G = Total persamaan (jumlah variabel endogen)
Apabila K-M sama dengan G-1 maka suatu persamaan di dalam model dikatakan
teridentifikasi secara tepat (exactly Identified); jika K-M lebih kecil dari G-1,
maka persamaan dikatakan tidak teridentifikasi (underidentified);sedangkan jika K-M lebih besar dari G-1 maka persamaan tersebut dikatakan teridentifikasi
berlebih (overidentified). Apabila suatu persamaan simultan dalam kondisi exactly identified, maka metode pendugaan yang tepat digunakan adalah Indirect Least Square (ILS). Apabila suatu persamaan simultan dalam kondisi overidentified,
maka metode pendugaan yang tepat digunakan adalah Two Stage Least Square (2SLS). Sedangkan jika persamaan simultan tidak teridentifikasi maka tidak dapat
diduga.
Model dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian dalam
penelitian ini dibangun dari tiga persamaan struktural. Dalam identifikasi model
secara keseluruhan perlu syarat bahwa model harus bersifat lengkap dan setiap
persamaan dalam model harus teridentifikasi. Model persamaan simultan
dikatakan lengkap apabila mengandung banyaknya persamaan bebas
sekurang-kurangnya peubah endogen dalam sistem.
Pada pengujian order di Tabel 3.1. terlihat bahwa 3 persamaan struktural
memenuhi syarat dalam model persamaan simultan dan dapat dilakukan
pendugaan. Metode pendugaan yang paling tepat untuk persamaan simultan dalam
penelitian ini adalah Two Stage Least Square (2SLS). Tabel 3.1. Pengujian Order
Persamaan K-M <, >, = G-1 Identified
(3.2) 5 > 2 Over identified
(3.3) 9 > 2 Over identified
IV. GAMBARAN UMUM
4.1. Perkembangan Ekonomi Jawa Barat
Salah satu indikator yang sering digunakan dalam mengukur pertumbuhan
ekonomi adalah PDRB. Pada kurun waktu analisis, yaitu 1993 hingga 2009,
PDRB Jawa Barat mengalami peningkatan kecuali pada tahun 1998 dimana
terjadi krisis ekonomi yang mengguncang hampir seluruh negara di Asia termasuk
Indonesia.
Tabel 4.1. Perkembangan PDRB Riil Jawa Barat dan Laju Pertumbuhan Ekonomi Tahun 1993-2009
Tahun PDRB (Miliar) Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)
Tabel 4.1. menunjukkan perkembangan PDRB Jawa Barat sejak tahun
1993 hingga 2009. Hampir tidak terlihat perubahan yang signifikan terhadap
pertumbuhan PDRB Jawa Barat sebelum dan sesudah dilaksanakannya
desentralisasi fiskal. Sebelum masa desentralisasi fiskal, rata-rata pertumbuhan
PDRB per tahun adalah sebesar Rp.5,21 triliun dan setelah desentralisasi fiskal
dilaksanakan pada tahun 2001, rata-rata pertumbuhan PDRB Jawa Barat yaitu
sebesar Rp. 4,37 triliun.
Dampak krisis ekonomi pada tahun 1997 sangat terasa bagi perekonomian
Jawa Barat. Hal ini terlihat dari merosotnya PDRB per kapita Jawa Barat hingga
Rp.15 triliun pada tahun 1998 dan laju pertumbuhan ekonomi pada masa itu
sebesar-17,77 persen. Proses recovery pasca krisis dimulai sejak tahun 2000 dengan pertumbuhan PDRB yang kembali positif walaupun tidak sebesar
tahun-tahun sebelumnya.
Mengawali tahun 1999, pertumbuhan ekonomi Jawa Barat mengalami
peningkatan dengan laju pertumbuhan 2,3 persen. Kondisi ini mampu
dipertahankan dalam periode 2001-2004 sehingga keadaan perekonomian saat itu
dapat dikatakan stabil. Pada tahun 2005, laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat
berada pada angka 4,22 persen dan naik hingga mencapai 6,02 persen pada tahun
berikutnya. Tahun 2007 pertumbuhan ekonomi 6,48 persen dan turun menjadi
5,83 persen pada tahun 2008. Keadaan tersebut dinilai cukup bagus mengingat
terjadinya krisis ekonomi global pada pertengahan 2007. Badan Keuangan Dunia
(IMF) bahkan memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia hanya 3,7 persen. Di
Tabel 4.2. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Lapangan Usaha Tahun 2007–2009 (Trilyun Rupiah)
Lapangan Usaha 2007 2008 2009
Sumber : Jawa Barat Dalam Angka tahun 2007-2009
Adapun sektor yang paling besar memberikan kontribusi terhadap PDRB
adalah sektor sekunder (industri, listrik, gas, air, dan bangunan). Pada tahun 2007
sektor sekunder mampu menyumbang Rp. 46,62 trilyun sedangkan tahun 2008
sebesar Rp. 53,06 triliun atau mengalami peningkatan yaitu sebesar Rp. 6,44
triliun. Tahun 2009 sektor sekunder memberikan kontribusi sebesar Rp. 54,68
triliun atau meningkatb 1,62 dari tahun sebelumnya.
Kondisi perekonomian Jawa Barat dapat pula dilihat dari laju inflasi
daerah. Inflasi menggambarkan kondisi makro perekonomian suatu daerah karena
dapat memengaruhi daya beli masyarakat dan pola investasi. Semakin tinggi
tingkat inflasi maka daya beli masyarakat akan menurun dan investasi akan
Pada tahun 2009 dari 7 kota di Jawa Barat yang dipantau tingkat
inflasinya, Kota Tasikmalaya tercatat inflasinya paling tinggi, yaitu sebesar 4,17
persen disusul Kota Cirebon 4,11 persen. Sedangkan tingkat inflasi paling rendah
yaitu Kota Sukabumi sebesar 3,49 persen.
Sumber : Jawa Barat Dalam Angka 2008
Gambar 4.1. Laju Inflasi Tiga Kota di Jawa Barat Tahun 2002-2007
Laju inflasi Jawa Barat tahun 2002-2007 yang diwakili oleh tiga kota
menunjukkan tren yang berfluktuasi. Pada tahun 2005 terjadi peningkatan inflasi
yang cukup tinggi hingga berada di atas level 15%.
Selain itu, gambaran pengeluaran pemerintah yang terdapat dalam realisasi
APBD dalam Kajian Regional Provinsi Jawa Barat sebelum desentralisasi fiskal
(1997-2000) dan setelah desentralisasi fiskal (2005-2009) yang dikeluarkan Bank
Indonesia (Tabel 4.3) menunjukkan peningkatan. Rata-rata proporsi belanja tidak
tahun 1997 belanja tidak langsung sebesar Rp.987,39 miliar atau 68,51 persen dan
meningkat menjadi Rp.1.532,71 miliar atau 68,72 persen dari keseluruhan belanja
pemerintah tahun 1998. Tahun 1999 proporsi anggaran belanja tidak langsung
naik menjadi 71,06 persen dan 74,84 persen pada tahun berikutnya. Sedangkan
pada tahun 2006 proporsi belanja tidak langsung sebesar 69,45 persen dan
meningkat pada tahun 2008 menjadi 71,29 persen. Dalam APDB 2009 Provinsi
Jawa Barat untuk anggaran belanja tidak langsung sebesar Rp.5.388,57 miliar atau
65,20 persen.
Tabel 4.3. Realisasi Belanja Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 1997-2009
Tahun
Sumber : Kajian Regional Provinsi Jawa Barat tahun 1997-2009
4.2. Perkembangan Investasi di Jawa Barat
Investasi dapat pula disebut sebagai akumulasi modal (capital
yang dimiliki mampu menarik investor baik dalam maupun luar negeri untuk
menanamkan modalnya di Jawa Barat.
Pada awal tahun 90-an terjadi kenaikan investasi yang cukup signifikan
(Tabel 4.4). Hal itu disebabkan perekonomian mulai meningkat dengan berdirinya
industri-industri pengolahan. Pada akhir tahun 1997 terjadi goncangan ekonomi
yang menyebabkan para investor beramai-ramai menarik dana dari Indonesia.
Bahkan pemilik modal dalam negeri pun ikut mengalihkan modalnya ke luar
negeri. Hilangnya kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya ke dalam
negeri membuat investasi di Jawa Barat semakin menurun sejak tahun 1998.
Penurunan investasi yang terjadi pada tahun 1998 terjadi pada sektor
utama, yaitu pertanian, industri perumahan, dan jasa terutama sektor industri dan
jasa yang telah mengalami kemerosotan sejak awal krisis pada tahun 1997.
Dampak krisis ekonomi masih dirasakan hingga tahun 1999, pertumbuhan
investasi Jawa Barat negatif 24,5 persen. Sejak tahun 2000, Jawa Barat mulai
pulih dari keterpurukannya terbukti dengan meningkatnya pertumbuhan investasi
menjadi 61,77 persen.
Pada periode tiga tahun terakhir penelitian, investasi Jawa Barat
cenderung menurun. Perubahan ini terjadi sebagai akibat adanya gejolak politik
karena mendekati Pemilu sehingga berpengaruh terhadap penanaman modal
investasi di Jawa Barat. Pada tahun 2009, investasi hanya naik pada angka 2,06
persen.
4.3. Gambaran Tingkat Keterbukaan Daerah
Dalam teori export base dikemukakan pentingnya peranan sektor ekspor. Ide dasar dari teori export base ini tidak hanya mencakup besarnya volume eksport dari suatu daerah tetapi juga diperhitungkan besarnya volume impor ke
daerah tersebut. Dalam hal ini, kegiatan ekspor memperlihatkan kemampuan
suatu daerah dalam menghasilkan suatu produk yang diekspor, sedangkan impor
memperlihatkan teknologi baru dari suatu daerah/negara lain yang akan
mengefisienkan proses produksi.
Tabel 4.5. menunjukkan perkembangan nilai ekspor dan impor Provinsi
sebesar Rp.114 ,87 triliun dan impor sebesar Rp.90,75 triliun. Tahun 2005 nilai
ekspor meningkat menjadi Rp.147,4 triliun dan nilai impor Rp.130,65 triliun.
Nilai ekspor dan impor pengalami penurunan pada tahun 2008 yang disebabkan
oleh krisis ekonomi global yang terjadi pada pertengahan tahun 2007.
Tabel 4.5. Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2009 (Miliar Rupiah)
Sumber: Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2004-2009
4.4. Kondisi Ketenagakerjaan dan Upah di Jawa Barat
Proporsi penduduk bekerja menurut lapangan pekerjaan merupakan salah
satu indikator yang digunakan untuk melihat potensi sektor perekonomian dalam
menyerap tenaga kerja. Indikator tersebut juga digunakan sebagai salah satu
ukuran untuk menunjukkan struktur perekonomian suatu wilayah. Dari 5 lapangan
usaha terbesar di Jawa Barat terdapat 4 sektor lapangan usaha yang kini menjadi
sektor usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Kontribusi dari keempat
sektor ini masing-masing adalah sektor pertanian (25,03%), sektor industri
(18,60%), sektor perdagangan (25,01%), dan sektor jasa (15,53%). Sedangkan
sisanya sebesar 15,82% penduduk bekerja terserap di berbagai lapangan usaha
seperti pertambangan, listrik, gas, air, transportasi, akomodasi, keuangan, dan
sektor yang banyak menyerap tenaga kerja Jawa Barat dari sektor pertanian ke
sektor industri, perdagangan, dan jasa.
Pertumbuhan penduduk usia kerja di Jawa Barat terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Dari total penduduk usia kerja di Jawa Barat
pada tahun 2009, sebanyak 28.270.131 orang penduduk berada pada rentang
15-64 tahun, dan kurang dari 2 juta orang (6,34%) penduduk berada pada rentang
usia non-produktif. (Tabel 4.6.)
Tabel 4.6. Tabel Penduduk Usia Kerja (PUK) Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Jawa Barat Tahun 2009
Kelompok Umur Jenis Kelamin Total
Laki-laki Perempuan
15-19 2.137.279 2.099.030 4.236.309
20-24 1.592.903 1.648.816 3.241.719
25-29 1.871.189 1.961.028 3.832.217
30-34 1.819.052 1.879.633 3.698.685
35-39 1.624.295 1.695.085 3.319.380
40-44 1.554.835 1.424.557 2.979.392
45-49 1.252.299 1.176.029 2.428.328
50-54 1.037.000 937.004 1.974.004
55-59 769.842 702.876 1.472.718
60-64 577.000 510.379 1.087.379
65-69 383.101 380.968 764.069
70-74 285.880 306.708 592.588
75+ 259.414 295.987 555.401
Jumlah 15.164.089 15.018.100 30.182.189
Sumber : Jawa Barat Dalam Angka tahun 2009
Pada Tabel 4.7 dapat dilihat perkembangan jumlah tenaga kerja di Jawa
Barat sejak tahun 2001 dimana awal dari kebijakan desentralisasi fiskal hingga
tahun 2009. Pada tahun 2002 jumlah tenaga kerja justru berkurang 81.681 jiwa.
Hal ini mengindikasikan bahwa dampak dari krisis ekonomi tahun 1997 masih
jumlah tenaga kerja menjadi 14,61 juta jiwa. Tahun 2005 jumlah tenaga kerja
kembali meningkat namun hanya sebesar 10,34 ribu jiwa dari tahun sebelumnya.
Kenaikan jumlah tenaga kerja yang cukup besar terjadi pada tahun 2009 yaitu
meningkat sebesar 1,9 juta jiwa dari tahun sebelumnya.
Jumlah tenaga kerja di provinsi Jawa Barat memang mengalami kenaikan
setiap tahunnya namun belum mampu mengurangi jumlah pengangguran. Kondisi
pengangguran terbuka ini merefleksikan bahwa peningkatan kesempatan kerja di
Jawa Barat belum sebanding dengan angkatan kerja sehingga masih banyak orang
yang tidak mempunyai pekerjaan. Pengangguran terbuka dapat pula wujud dari
kegiatan ekonomi yang menurun dan kemajuan teknologi yang mengurangi
penggunaan tenaga kerja.
Tabel 4.7. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2009 (Orang)
Tahun Tenaga kerja yang bekerja Perubahan (%)
1993 13.876.496 -
Perkembangan jumlah pengangguran terbuka di Jawa Barat sejak tahun
1993 hingga 2009 dapat dilihat pada Tabel 4.8. Memasuki era 90-an banyak sekali
transmigran yang melakukan transmigrasi ke Pulau Jawa karena Pulau Jawa
dianggap kondusif untuk membuka peluang bisnis. Banyaknya para transmigran
di Pulau Jawa khususnya Jawa Barat juga ikut penyumbang angka pengangguran.
Pada tahun 1998 terjadi ledakan pengangguran yaitu sekitar 44,44 persen akibat
krisis ekonomi. Banyak pekerja yang terkena PHK akibat perusahaan tidak
mampu mempertahannya usahanya. Setelah itu merupakan masa recovery dimana perusahaan mulai memperbaiki kondisi usahanya sehingga pengangguran
menurun.
Tabel 4.8. Pengangguran Terbuka di Jawa Barat Tahun 1993-2009
Tahun Jumlah Pengangguran % Perubahan Pengangguran
1993 561.564 27,27
Pemerintah dalam upayanya meningkatkan kesejahteraan rakyat
menetapkan batasan upah minimum bagi para pekerja. Kondisi Upah Minimum
Provinsi Jawa Barat (UMP) meningkat setiap tahunnya seperti yang terlihat pada
Gambar 4.1. Kenaikan pada UMP dimaksudkan agar kualitas hidup dari para
pekerja meningkat sekaligus melindungi mereka dari tekanan perusahaan. Pada
tahun 1993 upah riil Provinsi Jawa Barat adalah sekitar Rp.102 ribu dan terus
meningkat hingga Rp.587 ribu pada tahun 2009.
Sumber : Data Sosial Ekonomi Jawa Barat tahun 1993-2009
Gambar 4.1. Perkembangan Upah Minimum Provinsi Jawa Barat Tahun 1993-2009
4.5. Kondisi Pendidikan di Jawa Barat
Pendidikan merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam
pembangunan. Dengan pendidikan maka akan tercipta sumberdaya-sumberdaya
manusia yang bermutu yang akan menjadi lokomotif dalam proses pembangunan
pemerintah. Hal ini terlihat dari kebijakan-kebijakan di bidang pendidikan yang
diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, diantaranya dengan program
wajib belajar 9 tahun dan meningkatnya anggaran pendidikan sebesar 20 persen
dari total APBN.
Tabel 4.9 memperlihatkan kondisi pendidikan masyarakat Jawa Barat
tahun 1997 hingga 2008. Pendidikan di Jawa Barat masih di dominasi oleh
lulusan Sekolah Dasar dengan rata-rata persentase di atas 30 persen setiap
tahunnya. Persentase penduduk dengan pendidikan di atas SMA masih terbilang
rendah yaitu rata-rata berada di bawah 20 persen. Keadaan ini mengindikasikan
bahwa sumber daya manusia yang berpendidikan harus ditingkatkan.
Tabel 4.9. Persentase Penduduk 10 Tahun ke atas Menurut Jenjang
Pada tahun 1997 jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas dengan jenjang
pendidikan SD sebesar 39,05 persen, SMP 13,01 persen, SMA 12,29 persen, dan
Perguruan Tinggi sebesar 2,71 persen. Persentase penduduk yang hanya
menamatkan sekolah sampai tingkat SD menurun dari tahun ke tahun. Sebaliknya,
persentase jumlah penduduk dengan jenjang pendidikan SMA ke atas semakin
meningkat. Pada tahun 2008, persentase penduduk dengan jenjang pendidikan SD
turun menjadi 29,55 persen, sedangkan persentase penduduk dengan pendidikan
SMA dan Perguruan Tinggi meningkat masing-masing sebesar 27,80 persen dan
8,28 persen. Hal ini sejalan dengan program pemerintah dalam mencerdaskan
bangsa yaitu pendidikan wajib 9 tahun. Dengan semakin tingginya tingkat
pendidikan masyarakat diharapkan mampu menciptakan SDM yang berkualitas
sehingga dapat diberdayakan untuk membangun negeri
4.6. Kondisi Kemiskinan di Jawa Barat
Jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh garis kemiskinan karena
penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki pengeluaran per kapita per
bulan di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan data BPS, garis kemiskinan terus
mengalami peningkatan, yaitu pada tahun 2005 sebesar Rp.133.701 dan pada
Sumber : BPS Jawa Barat
Gambar 4.2. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Jawa Barat Tahun 1993-2009
Gambar 4.2. menunjukkan perkembangan jumlah penduduk miskin yang
ada di Jawa Barat dari tahun 1993-2007. Terjadi lonjakan yang sangat tinggi pada
tahun 1997-1998 yang merupakan imbas dari krisis ekonomi pada tahun yang
bersangkutan. Jutaan orang mendadak jatuh miskin karena tidak mampu
mempertahankan usahanya pada masa krisis. Pada tahun 2000 jumlah penduduk
miskin berkurang bersamaan dengan proses recovery. Namun kembali meningkat pada tahun 2001. Tahun 2007 jumlah penduduk miskin berjumlah sekitar 5,4 juta
orang, meningkat 0,32 juta orang dari tahun 2005 yang berjumlah 5,14 juta orang.
Begitu pula apabila dibandingkan dengan total penduduk, persentase penduduk
miskin pada tahun 2007 mengalami peningkatan dari 13,15 persen menjadi 13,56
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Tenaga Kerja, dan Kemiskinan di Provinsi Jawa Barat
Hasil estimasi model ekonometrika yang terdiri dari tiga persamaan
struktural secara umum menunjukkan hasil yang baik. Parameter estimasi
sebagian besar telah sesuai dengan teori walaupun ada beberapa yang berbeda
dengan dugaan awal penelitian. Evaluasi hasil secara statistika juga menunjukkan
hasil yang baik, yaitu nilai R-Square lebih dari 0,50 sehingga model telah mampu
menjelaskan keragaman masalah dengan baik. Nilai DW berkisar antara 1,43-2,57
sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi. Secara garis besar variabel-variabel
penjelas yang dimasukkan ke dalam persamaan signifikan pada taraf nyata α<10
persen dan mampu menjelaskan variabel tak bebasnya.
5.1.1. Analisis Model Pertumbuhan Ekonomi
Hasil estimasi model persamaan simultan terhadap pertumbuhan ekonomi
menunjukkan bahwa model yang dibangun signifikan pada taraf nyata 10 persen
dan mampu menjelaskan permasalahan dengan sangat baik. Hal ini terlihat dari
nilai R-squared-nya yaitu sebesar 0,948 yang berarti bahwa model telah mampu menjelaskan keragaman masalah sebesar 94,8 persen dan sisanya dijelaskan oleh
Tabel 5.1. Hasil Pendugaan Parameter Model Terhadap PDRB Jawa Barat Tahun 1993-2009
Variabel Koefisien Prob
Intercept 1,430309 0,0764
LOG PAD(Pendapatan Asli Daerah) 0,470523 0,0298
LOG DAFER (Dana Transfer) 0,130422 0,0137
LOG INV (Investasi) 0,268646 0,0640
LOG XM (Ekspor dan Impor) 0,319150 0,0740
LOH POP (Populasi) -1,91563 0,1550
LOG Tenaga Kerja (L) 0,290510 0,0688
D1 (Dummy Desentralisasi) 0,083664 0,0955
D2 (Dummy Krisis Ekonomi) -0,529118 0,0392
Berdasarkan hasil estimasi terhadap model pertumbuhan ekonomi terlihat
bahwa variabel modal pemerintah yang terdiri dari PAD dan Dana Transfer
terbukti signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Hal ini
karena PAD dan Dana Perimbangan merupakan sumber utama pendapatan daerah.
Semakin besar pendapatan daerah maka pemerintah dapat menggunakan dana
tersebut untuk membiayai kegiatan pembangunan dan menyediakan fasilitas
publik untuk masyarakatnya.
Variabel PAD memiliki nilai elastisitas sebesar 0,47 yang berarti bahwa
setiap kenaikan 1 persen pada PAD akan meningkatkan PDRB sebesar 0,47
persen, ceteris paribus. Dana perimbangan yang juga merupakan pembentuk modal pemerintah signifikan meningkatkan PDRB Jawa Barat dengan nilai
perimbangan sebesar 1 persen maka akan meningkatkan PDRB sebesar 0,13
persen.
Variabel investasi swasta signifikan dan berpengaruh positif terhadap
PDRB Jawa Barat dengan nilai elastisitas 0,27. Hal ini bermakna bahwa setiap
kenaikan investasi sebesar 1 persen maka akan menyebabkan PDRB naik 0,27
persen. Fakta ini sesuai dengan teori ekonomi Keynes yang menyebutkan bahwa
invetasi meningkatkan output total (agregat expenditure).
Dari hasil estimasi variabel keterbukaan daerah yang diwakili dengan
ekspor dan impor signifikan memengaruhi PDRB Jawa Barat. Dari hasil estimasi
diperoleh bahwa setiap terjadi peningkatan ekspor dan impor sebesar 1 persen
maka akan mampu meningkatkan output (PDRB) sebesar 0,31 persen, ceteris paribus.
Berdasarkan hasil pendugaan diketahui variabel tenaga kerja (L)
meningkatkan PDRB Jawa Barat dengan nilai koefisien 0,2 yang berarti bahwa
setiap kenaikan tenaga kerja 1 persen akan mampu meningkatkan PDRB sebesar
0,2 persen. Hal ini karena tenaga kerja merupakan sumberdaya manusia yang
melakukan kegiatan ekonomi. Sehingga semakin banyak manusia yang
diberdayakan maka akan mempercepat roda perekonomian. Namun, peningkatan
kuantitas dari tenaga kerja juga harus diikuti oleh kualitas yang baik pula.
Peubah dummy desentralisasi fiskal signifikan terhadap PDRB Jawa Barat pada taraf nyata 10 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa penerapan kebijakan
desentralisasi fiskal di Jawa Barat sejak tahun 2001 mampu meningkatkan PDRB.
diamati. Dalam Media Otonomi (2009), sebagian ekonom mensinyalir bahwa
kecilnya pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi
disebabkan karena moment pelaksanaan desentralisasi fiskal yang bersamaan
dengan masa pemulihan ekonomi pasca krisis ekonomi tahun 1998. Karena pada
permulaan desentralisasi fiskal perekonomian Indonesia baru pada tahap recovery sehingga imbas dari krisis masih terasa ketika diterapkannya otonomi daerah.
Selain itu, sebagian lain mengatakan bahwa di era desentralisasi, banyak daerah
yang kurang siap baik SDM dan kapabilitas pemerintahnya dalam pengelolaan
keuangan dan pembangunan. Hal ini terlihat dari opini Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) atas laporan keuangan daerah sejak 2004 hingga 2007 yang
menunjukkan temuan yang mengecewakan.
Dalam penelitian Suparno (2010), pengaruh dari desentralisasi fiskal juga
dipengaruhi faktor lain seperti kinerja dari aparat pemerintah dan tidak efisiennya
pengelolaan keuangan serta alokasi dana sebagai imbas dari besarnya dana
transfer yang berlebihan.
Sementara itu, peubah dummy krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 dan pertengahan tahun 2007 signifikan pada taraf nyata 10% dan
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat.
5.1.2. Analisis Model Tenaga Kerja
Hasil estimasi model persamaan simultan terhadap tenaga kerja
menunjukkan bahwa model yang dibangun signifikan pada taraf nyata 10 persen
nilai R-squared-nya yaitu sebesar 0,901 yang berarti bahwa model telah mampu menjelaskan keragaman masalah sebesar 90,1 persen dan sisanya dijelaskan oleh
variabel-variabel di luar model. Hasil pengolahan dengan menggunakan SAS.9.1.3 secara lengkap dapat dilihat di Lampiran 2.
Tabel 5.2. Hasil Pendugaan Parameter Model Terhadap Tenaga Kerja di Jawa Barat Tahun 1993-2009
Variabel Koefisien Prob
Intercept 14,13741 <,0001
LOG W (Upah) -0,166272 0,0022
PEND (Pendidikan) 0,009185 0,0048
LOG G (Pengeluaran Pemerintah) 0,20475 0,0663
LOG INV (Investasi) 0,03691 0,0983
D1 (Dummy Desentralisasi) -0,01524 0,4181
D2 (Dummy Krisis Ekonomi) -0,17004 0,0004
Hasil analisis memperlihatkan bahwa variabel upah (W), Pendidikan,
pengeluaran pemerintah, investasi, dan dummy krisis ekonomi signifikan pada taraf nyata 10 persen. Sedangkan variabel dummy desentralisasi fiskal tidak signifikan memengaruhi kesempatan kerja yang diwakili dengan jumlah tenaga
kerja.
Variabel upah dalam hasil estimasi berpengaruh mengurangi tenaga kerja
dengan nilai koefisien sebesar 0,16. Hal ini berarti bahwa setiap terjadi kenaikan
upah sebesar 1 persen maka kesempatan kerja berkurang sebesar 0,16 persen.
pekerja (labour cost) terhadap seluruh biaya produksi (total cost). Peningkatan upah menyebabkan peningkatan biaya produksi, sehingga pengusaha akan
mengkompensasinya dengan mengurangi jumlah tenaga kerja agar total cost-nya tetap. Dalam jangka pendek peningkatan upah akan menurunkan permintaan
terhadap tenaga kerja.
Tujuan utama dari perusahaan adalah memaksimalkan profit. Sehingga apabila upah tenaga kerja meningkat dan dinilai akan mengurangi laba maka
perusahaan cenderung akan mengganti input yang relatif lebih murah. Selain itu,
peningkatan upah juga akan meningkatkan biaya marginal perusahaan.
Sumber: Mankiw, 2003
Gambar 5.1. Kurva Permintaan Tenaga Kerja
Gambar 5.1. menunjukkan kura permintaan terhadap tenaga kerja. Titik
keseimbangan awal adalah A dengan upah W1 dan tenaga kerja sebanyak L1.
permintaan terhadap tenaga kerja akan berkurang ke L2. Hal ini merupakan
sesuatu yang wajar dilakukan oleh perusahaan untuk mempertahankan
keuntungannya dan merubah produksinya menjadi padat modal.
.Variabel pendidikan yang diwakili oleh rasio penduduk yang
menyelesaikan pendidikan SMA ke atas menunjukkan pengaruh yang positif
terhadap tenaga kerja dengan nilai koefisien 0,009. Berarti apabila terjadi
kenaikan pada jumlah penduduk yang menyelesaikan pendidikan di atas SMA
maka akan mampu meningkatkan kesempatan kerja sebesar 0,009 persen. Hal ini
dapat dimengerti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka
kesempatan kerja pun akan semakin meningkat karena pendidikan merupakan
salah satu indikator dalam menilai kualitas dari sumber daya manusia. Sehingga
banyak perusahaan yang menetapkan standar minimum pendidikan untuk dapat
bekerja di perusahaannya.
Peubah pengeluaran pemerintah secara total terbukti signifikan untuk
meningkatkan kesempatan kerja. Dari hasil estimasi pada model didapat bahwa
setiap peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 1 persen akan mampu
meningkatkan kesempatan kerja sebesar 0,02 persen di daerah yang bersangkutan
dengan asumsi ceteris paribus.
Semakin tinggi pengeluaran pemerintah diharapkan dapat meningkatkan
pelayanan publik dan mendorong investasi sehingga perekonomian semakin maju.
Selain itu, pengeluaran pemerintah yang dimanfaatkan untuk mengerjakan
proyek-proyek baru yang padat karya secara langsung akan menyerap tenaga
Variabel modal swasta (investasi) berpengaruh signifikan meningkatkan
tenaga kerja dengan nilai koefisien sebesar 0,003. Hal ini berarti setiap kenaikan
investasi sebesar 1 persen maka akan meningkatkan kesempatan kerja sebesar
0,003 persen. Investasi swasta menciptakan lahan usaha baru dan proyek-proyek
yang dikerjakan memerlukan sumber daya manusia untuk mengerjakannya
sehingga akan menyerap banyak tenaga kerja dan membuka lebih banyak
kesempatan kerja bagi masyarakat. Nilai koefisien investasi yang kecil
kemungkinan disebabkan pengaruh dari teknologi.
Variabel dummy desentralisasi fiskal tidak signifikan pada taraf nyata 10
persen. Hal ini kemungkinan karena tingkat lapangan kerja yang tercipta selama
ini masih belum sebanding dengan peningkatan jumlah angkatan kerja sehingga
tingkat pengangguran masih tinggi (Tabel 4.8). Hasil analisis ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Suparno (2010) bahwa pertumbuhan ekonomi
Indonesia baru mampu menyerap tenaga kerja sebesar 1,2 hingga 1,8 juta
pertahun. Sedangkan angkatan kerja (dari tahun 2001-2008) rata-rata mencapai
1,9 juta orang sehingga penambahan lapangan pekerjaan belum mampu menyerap
seluruh tenaga kerja baru di pasar kerja sehingga menciptakan pengangguran.
Variabel dummy krisis ekonomi signifikan berpengaruh negatif terhadap tenaga kerja. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 dan tahun 2007
mengurangi kesempatan kerja. Pada krisis tahun 1997 terjadi booming pengangguran, yaitu sebesar 44,44 persen akibat banyaknya perusahaan yang
tidak mampu bertahan dari terjangan krisis ekonomi global saat itu. Tahun 1996
menjadi hampir 1,2 juta jiwa tahun berikutnya. Tahun 1998 jumlah pengangguran
Hasil analisis ekonometrika yang diperoleh dirangkum pada Tabel 5.3
(hasil analisis model ekonometrika lengkap dapat dilihat di Lampiran 3). Hasil
analisis menunjukkan bahwa hampir seluruh koefisien signifikan pada taraf nyata
10% kecuali Inflasi (INF) yang tidak signifikan pada taraf nyata 10 persen. Selain
itu, model ini mampu menjelaskan keragaman masalah dengan cukup baik. Hal
ini terlihat dari nilai koefisien determinasi (R-Square) sebesar 0,76.
Tabel 5.3. Hasil Pendugaan Parameter Model Terhadap Kemiskinan di Jawa Barat Tahun 1993-2009
Variabel Koefisien Prob
Intercept -33,5629 0,0212
LOG Y (Pertumbuhan Ekonomi) -0,045917 0,0005
LOG POP (Populasi) 0,237791 0,0003
INF (Inflasi) 0,601152 0,1224
D2 (Dummy Krisis Ekonomi) 0,428741 0,0023
Dari hasil analisis diketahui variabel PDRB (Y) signifikan mengurangi