PERTUMBUHAN TANAMAN DAN TEGAKAN TINGGAL
PADA TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF
Studi Kasus di Areal Kerja IUPHHK-HA PT Gunung Meranti
Provinsi Kalimantan Tengah
W A H Y U D I
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pertumbuhan Tanaman dan
Tegakan Tingga l pada Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif, Studi Kasus di
Areal Kerja IUPHHK-HA PT Gunung Meranti Provinsi Kalimantan Tengah
adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2011
ABSTRACT
WAHYUDI. Growth of Plantation and Residual Trees on the Intensified Indonesian Selective Cutting and Planting. Case Study in PT Gunung Meranti Forest Concession Area, Central Kalimantan Province. Under direction of ANDRY INDRAWAN, IRDIKA MANSUR and P RIJANTO PAMOENGKAS.
Low productivity of logs is one of serious prob lems in the natural production forest management. Forest productivity on PT Gunung Meranti forest concession was ranging from 22,41 to 34,56 m3 ha-1 only. Whether the Intensified Indonesian Selective Cutting and Planting (IISCP) system can improve forest productivity? The research was aimed to evaluate growth of plantation and residual trees and their productivity on the IISCP System. The research was conducted on research plots of IISCP in logged over forest of PT Gunung Meranti forest concession, Central Kalimantan Province. The research plots were involved two sub plots i.e. plantation sub plot and residual trees sub plot. Analysis of data used growth modelling for even-aged forest and all-aged forest, important value index, species diversity, richness and financial analysis. The result showed that mean annual increment of Shorea leprosula plantation at 2, 11 and 16 year old were 1,06 cm year-1; 1,22 cm year-1 and 1,31 cm year-1 in diameters, respectively. Based on even-aged forest modelling, the first cycles of Shorea leprosula plantations was 32 year in the 125,14 m3 ha-1 of logs (40 cm up of diameters), thereby these plantations could improve the natural forest productivity. Mean annual increment of residual trees was ranging from 0,21 to 0,76 cm year-1 in diameter and the best growth time at 30-40 cm of trees diameter. Based on all-aged forest modelling, the sustained first and second cycles of residual trees each were 26 year and 40 year. Structure and composition of residual trees on the logged over forest like the all-aged forest. Species diversity was moderate furthermore species richness was moderate to high. The dominant trees were Shorea spp, Diallium spp, Shorae laevis and Dipterocarpus spp. The IISCP system is applicable in the logged over forest with break-even point at 7 year in the Rp. 4,14 million of net present value.
WAHYUDI. Pertumbuhan Tanaman dan Tegakan Tinggal pada Tebang Pilih Tanam Indo nesia Intens if. Studi Kasus di Areal Kerja IUPHHK-HA PT Gunung Meranti, Provinsi Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh ANDRY INDRAWAN, IRDIKA MANSUR, da n PRIJANTO PAMOENGKAS.
Indo nesia dikenal sebagai negara dengan luas hutan tropis terluas ke-3 di dunia setelah Brasilia dan Zaire. Namun deforestasi dan degradasi hutan berjalan sangat cepat dengan kisaran 1,8 sampai 2,84 juta ha/th. Permasalahan penting lainnya adalah rendahnya produktifitas hutan, yaitu berkisar antara 0,25 sampai 1,4 m3/ha/th. Banyak sistem silvikultur yang telah diterapkan untuk mengelola hutan alam prod uksi, seperti Tebang Pilih Indonesia, Tebang Pilih Tanam Indonesia, Tebang Jalur Tanam Indonesia sampai pada Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), namun sistem-sistem tersebut belum ada yang menunjukkan hasil memuaskan. Belum pernah ada sistem yang mencapai satu siklus tebangnya namun telah diganti dengan sistem lainnya.
Harapan besar bertumpu pada sistem Tebang Pilih Tanam Indo nesia Intens if (TPTII) yang baru diterapkan secara bertahap sejak tahun 2005. Sistem ini memadukan teknik penanaman pengayaan pada sistem TPTI dan teknik penanaman dalam jalur pada sistem TPTJ sehingga regenerasi hutan dapat dimuliakan, dirawat dan diawasi secara intensif. Apaka h sistem ini mampu menjawab tantangan kelestarian hutan dan peningkatan produktifitas hutan? Untuk menjawab tantangan ini kita tidak bo leh menunggu satu siklus tebang (selama 30 tahun), sebab bila hal ini dilakukan maka dikhawatirkan kerusakan hutan akan terjadi selama puluhan tahun tanpa kita ketahui. Untuk itu diperlukan penelitian dan pemodelan dinamika tanaman dan tegakan tinggal pada sistem TPTII untuk memprediksi pertumbuhan dan hasil pada akhir daur.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pertumbuhan dan hasil terhadap tanaman meranti (Shorea leprosula) pada jalur tanam dan tegakan tinggal pada jalur antara sistem TPTII serta memprediksi produktifitas dan daurnya melalui mekanisme pemode lan dinamika tegakan. Untuk mendapatkan informasi yang lebih komprehensif maka dilakukan pengukuran terhadap struktur, komposisi, keanekaragaman dan kekayaan jenis tegakan tinggal dalam jalur antara. Penelitian ini juga mengevaluasi tingkat kelayakan usaha sistem TPTII, khususnya di IUPHHK PT Gunung Meranti.
sedangkan data penunjang untuk validasi mode l dinamika tegakan tingga l diambil dari hasil pengamatan pertumbuhan tegakan tinggal pada hutan bekas tebangan selama 7 tahun (1998 s/d 2005). Data penunjang dan asumsi-asumsi yang digunakan dalam pemodelan menggunakan data hasil penelitian di areal kerja PT Gunung Meranti serta data sekunder dari hasil penelitian di areal kerja IUPHHK-HA yang telah menerapkan sistem TPTII sejak awal, seperti PT Sari Bumi Kusuma, PT Sarpatim, P T Erna Djuliawati, PT Suka Jaya Makmur dan lain- lain. Hasil penelitian tanaman pada jalur tanam menunjukkan bahwa riap diameter tahunan rata-rata (MAI) tanaman Shorea leprosula dalam jalur tanam yang berumur 1, 2, 11 dan 16 tahun masing- masing sebesar 1,07 cm/th; 1,06 cm/th; 1,22 cm/th dan 1,31 cm/th. Melalui pemodelan menggunakan persamaan polinomial dapat diketahui bahwa tanaman meranti (Shorea leprosula) telah mencapai daur ke-1 pada umur 32 tahun (R2 > 95%) dengan potensi sebesar 136,72 m3/ha yang terdiri dari 125,14 m3/ha berdiameter 40 cm ke atas dan 11,58 m3/ha berdiameter 30-39 cm. Pencapaian kubikasi tanaman pada da ur ke-1 ini lebih besar dibanding kubikasi yang diperoleh dari hasil tebang penyiapan lahan sistem TPTII (limit diameter 40 cm ke atas) sebesar 22, 41 m3/ha atau dari sistem TPTI sebesar 34,56 m3/ha, sehingga hasil tanaman pada jalur tanam sistem TPTII mampu meningkatkan produktifitas hutan sebesar 458,41%.
Penyebaran diameter tanaman Shorea leprosula membentuk po la persamaan polinomial dengan grafik menyerupai lonceng (parabola terbalik). Dengan meningkatnya umur tanaman maka grafik lonceng semakin bergeser ke kanan yang menandaka n terjadi pertumbuhan namun po la penyebaran diamater masih sama seperti semula yang menyerupai pola hutan tanaman seumur (even-aged forest).
PT Gunung Meranti disarankan dapat mengembangkan jenis-jenis unggulan lain seperti Shorea parvifolia,S.johorensis da n S.platyclados supaya lebih resisten terhadap serangan hama dan penyakit, lebih fleksibel dalam memenuhi permintaan pasar yang selalu berubah, tercipta keunggulan komparatif dan meningkatkan keanekaragaman jenis tanpa mengurangi produktifitasnya.
Prediksi etat volume pada siklus ke-1 menggunakan siklus tebang 30 tahun dan 35 tahun sistem TPTII masing- masing sebesar 134.135,3 m3/th dan 160.530,3 m3/th dengan produktifitas masing- masing 128,36 m3/ha dan 179,36 m3/ha. Titik impas (break even point) kelayakan pengelolaan hutan alam produksi sistem TPTII dapat tercapai pada tahun ke-7 dengan nilai NPV Rp. 4.139.693,-/ha dan BCR 1,03. Titik impas kelayakan dapat dicapai pada tahun ke-3 apabila harga jual kayu bulat mencapai Rp. 1.500.000,- per m3. Unit manajemen yang melaksanakan pengelolaan hutan sistem TPTII selayaknya mendapat paket pinjaman dana (misalnya dari dana reboisasi) dengan bunga nol persen (0%) sampai tahun ke enam atau pinjaman dana dengan bunga 9% sampai tahun ke tujuh.
Berdasarkan hasil penelitian ini, produkt ifitas hutan pada siklus tebang ke-1 akan lebih besar apabila menggunakan siklus tebang 35 tahun dibanding siklus tebang 30 tahun dengan tingkat nyata. Dengan demikian siklus tebang sistem TPTII sebaiknya selama 35 tahun. Pada kawasan hutan produksi dengan kelerengan datar sampai landai serta pada hutan rawang dan semak belukar, jalur antara tetap difungsikan sebagai areal produksi, namun pada hutan produksi terbatas dengan kelerengan curam sampai sangat curam, jalur antara dapat dipertimbangkan untuk areal penelitian, konservasi sumber daya genetik, pemanfaatan hasil hutan non kayu seperti rotan, gaharu, minyak, tengkawang, bahan obat, senyawa kimia dan bioaktif serta menjaga tata air dan kesuburan tanah.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Unda ng
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
PADA TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF
Studi Kasus di Areal Kerja IUPHHK-HA PT Gunung Meranti
Provinsi Kalimantan Tengah
W A H Y U D I
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Silvikultur Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
di Areal Kerja IUPHHK - HA PT Gunung Meranti Provinsi Kalimantan Tengah
Oleh : W a h y u d i
NRP : E461070011
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ketua
Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S.
Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc.
Anggota Anggota
Dr.Ir.Prijanto Pamoengkas,M.Sc.F.Trop.
Mengetahui:
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Silvikultur Tropika
Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R., M.S. Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro,M.S.
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:
1. Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, M.S.
Bagian Perencanaan Hutan pada Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB
2. Dr. Ir. Basuki Wasis, M.S.
Bagian Tanah pada Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:
1. Dr. Ir. Hadi S. Pasaribu, M.Sc.
Staf ahli Menteri Kehutanan Republik Indonesia
2. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S.
Penelitian berjudul Pertumbuhan Tanaman dan Tegakan Tinggal pada
Teba ng Pilih Tanaman Indo nesia Intensif (TPTII), Studi Kasus di Areal Kerja
IUPHHK-HA PT Gunung Meranti Provinsi Kalimantan Tengah ini dibuat untuk
mengevaluasi perkembangan pelaksanaan TPTII di Indonesia sekaligus sebagai
syarat dalam penyelesaian studi program doktoral pada Program Pascasarjana di
Institut Pertanian Bogor. Topik ini dipilih karena TPTII masih relatif baru
diterapkan dan mengandung harapan besar untuk memperbaiki pengelolaan hutan
alam produksi di Indonesia.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S.
selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc. serta
Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, M.Sc.F.Trop. selaku anggota komisi pembimbing
yang telah memberi arahan serta bimbingan sejak awal hingga penyelesaian
penelitian ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Prof. Dr. Ir. Endang
Suhendang, M.S. dan Dr. Ir. Basuki Wasis, M.S. selaku penguji luar komisi pada
ujian tertutup; Dr.Ir.Hadi S. Pasaribu, M.Sc dan Prof.Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S.
selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka; Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. selaku
Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, M.S. selaku Wakil
Dekan Fakultas Kehutanan IPB dan Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R., M.S. selaku
Ketua Program Studi Silvikultur Trop ika IPB yang tur ut memberi masuka n untuk
perbaikan disertasi ini. Disamping itu, penulis menyampaikan penghargaan
kepada Pemerintah Republik Indonesia yang telah memberi beasiswa studi S3
melalui program BPPS serta orang tua, isteri dan anak-anakk u yang telah
memberi semangat dan dorongan belajar.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih perlu penyempurnaan. Namun
demikian penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri serta
para pihak yang bergerak di bidang kehutanan, khususnya para pengambil
kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan hutan alam produksi yang
menggunakan sistem TPTII.
Bogor, Januari 2011
Penulis dilahirkan di Jombang pada tanggal 13 Pebruari 1968 sebagai anak dari pasangan Konder Saranggono (alm) dan Siti Alimah. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat, lulus tahun 1992. Pada tahun 2004 penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Program Pascasarjana Unlam dan menamatkannya tahun 2006. Kesempatan untuk melanjutka n ke program doktor pada Program Studi (mayor) Silvikultur Tropika Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor diperoleh tahun 2007. Beasiswa pendidikan program doktor ini diperoleh dari program BPPS Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidika n Nasional.
Pada tahun 1992 penulis bekerja di Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu PT Gunung Meranti unit hutan alam dan hutan tanaman Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Pada tahun 2001 penulis diterima sebagai dosen tetap di Jur usan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya melalui program Ikatan Dinas.
Penulis pernah mengikuti berbagai kursus, seperti bioteknologi mikorisa, biodiversitas, Achievement Motivation Training, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Stasiun Pengamat Arus Sungai, Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, Pengelolaan PUP, community development, Emotion Spiritual Quotient dan lain-lain. Berbagai seminar dan sekolah tingkat nasional dan internasional pernah diikuti termasuk seminar internasional hutan tanaman, seminar internasional keanekaragaman jenis, international summer school tahun 2009 di Goettingen-Dresde n da n international summer school di Lombok tahun 2010. Organisasi yang pernah diikuti antara lain Himpunan Mahasiswa Islam, Masyarakat Peneliti Kayu Indo nesia, Persatuan Sarjana Kehutanan Indo nesia, German Alumni Forestry Network dan German Alumni Biodiversity Network.
Pada tahun 1996 penulis menikah dengan dr. Widi Utami dan dikaruniani putra bernama Muhammad Isa Mahendra yang lahir tahun 1997 dan Hana Maria Salsabila yang lahir tahun 2005.
Halaman
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 3
1.3 Status Penelitian dan Kerangka Pemikiran ... 4
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
1.5 Hipotesis ... 7
2 TINJAUAN PUSTAKA... 8
2.1 H utan Hujan Trop is ... 8
2.2 Perkembangan Sistem Silvikultur ... 13
2.2.1 Pengertian silvikultur ... 13
2.2.2 Perkembangan sistem silvikultur ... 15
2.2.3 S istem silvikultur TPTII... 18
2.3 Pertumbuhan dan Hasil ... 21
2.4 Pemodelan Dinamika Hutan... 25
2.4.1 Pengertian ... 25
2.4.2 Model pertumbuhan tegakan hutan ... 27
2.4.3 Ingrowth, upgrowth dan mortality ... 30
2.5 Analisis Fina nsial Proyek Pengusahaan Hutan ... 33
3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 36
3.1 Letak dan Luas ... 36
3.2 Penataan Areal Kerja... 37
3.3 Jenis Tanah ... 37
3.4 Topografi ... 39
3.5 P enutupan Vegetasi ... 39
3.6 Iklim ... 40
3.7 Sosial Ekonomi ... 41
4 METODE PENELITIAN ... 43
4.1 Lokasi Penelitian ... 43
4.2 Pengambilan Data ... 43
4.2.1 Pengambilan data tanaman... 43
4.2.2 Pengambilan data tegakan tinggal... 44
4.3.2 Analisis tegakan tinggal ... 49
4.3.3 A nalisis sensitifitas... 54
4.3.4. Evaluasi model ... 54
4.3.5 E tat luas dan etat volume ... 55
4.4.6 Analisis finansial ... 56
5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 58
5.1 Tanaman Meranti dalam Jalur Tanam... 58
5.1.1 Pertumbuhan tanaman meranti... 58
5.1.2 Pemilihan jenis tanaman... 61
5.1.3 Faktor lingkungan ... 63
5.1.4 D istribusi diameter tanaman meranti ... 68
5.1.5 Luas areal efektif tanaman ... 69
5.1.6 Model pertumbuhan dan hasil tanaman meranti ... 70
5.1.7. Daur tanaman meranti pada jalur tanam ... 81
5.2 Tegakan Tinggal dalam Jalur Antara ... 83
5.2.1 Pertumbuhan tegakan tinggal ... 83
5.2.2 Faktor lingkungan ... 86
5.2.3 Distribusi diameter pohon ... 88
5.2.4 Model pertumbuhan dan hasil tegaka n tinggal ... 89
5.2.5 Respon pengelolaan hutan dengan sistem TPTII pada tegakan tinggal di jalur antara ... 98
5.2.6 Evaluasi model ... 104
5.2.7 A nalisis sensitifitas... 104
5.3 Analisis Vegetasi Tegakan Tinggal... 105
5.3.1 Analisis vegetasi tingkat semai ... 106
5.3.2 Analisis vegetasi tingkat pancang ... 108
5.3.3 Analisis vegetasi tingkat tiang... 111
5.3.4 Analisis vegetasi tingkat pohon... 113
5.3.5 Perbandingan analisis vegetasi tingkat semai, pancang, tiang da n po hon ... 116
5.3.6 Analisis vegetasi kelompok jenis ... 119
5.4 Analisis Finansial Sistem TPTII di PT Gunung Meranti ... 123
5.4.1 Etat luas ... 123
5.4.2 Etat volume ... 125
5.4.3 Analisis finansial ... 131
6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 137
6.1 Kesimpulan... 137
6.2 Saran ... 137
DAFTAR PUSTAKA ... 139
1. Perbatasan areal kerja PT Gunung Meranti... 36
2. Penataan areal kerja PT Gunung Meranti ... 37
3. Daftar klasifikasi kelerengan lahan di areal PT Gunung Meranti ... 39
4. Kondisi pe nutupa n lahan di areal krja PT Gunung Meranti... 40
5. Data curah hujan di areal kerja PT Gunung Meranti ... 41
6. Luas desa da n jumlah pe nduduk d i Kecamatan Kapuas Hulu dan Sumber Barito Provinsi Kalimantan Tengah ... 42
7. Data pertumbuhan tanaman Shorea leprosula pada jalur tanam sistem TPTII di PT Gunung Meranti... 58
8. Jenis tanaman dipterocarpaceae yang disarankan untuk dikembangkan ... 62
9. Lima sub model persamaan tanaman berdasarkan riap... 75
10. Perbandinga n hasil prediksi diameter dan volume pada tiga model persamaan pertumbuhan tanaman Shorea leprosula... 77
11. Uji LSD volume tanaman pada tiga model persamaan pertumbuhan ... 78
12. Hasil prediksi diameter tanaman Shorea leprosula pada beberapa umur tanaman ... 79
13. Hasil prediksi volume tanaman Shorea leprosula pada beberapa umur tanaman ... 80
14. Sensitifitas parameter-parameter dalam model ... 83
15. MAI diameter pada empat kelompok jenis pohon di lokasi penelitian... 84
16. Sensitifitas parameter-parameter dalam model pertumbuhan tegaka n hutan... 104
17. Tiga jenis dominan tingkat semai pada hutan bekas tebangan Et+0... 107
18. Indek keanekaragaman jenis tingkat semai pada hutan bekas teba ngan Et+0... 108
19. Empa t jenis dominan tingkat pancang pada hutan bekas teba ngan Et+0 ... 109
20. Indek keanekaragaman jenis tingkat pancang pada hutan bekas teba ngan Et+0... 110
21. Tiga jenis dominan tingkat tiang pada hutan bekas teba ngan Et+0 ... 112
22. Indek keanekaragaman jenis tingkat tiang pada hutan bekas teba ngan Et+0... 112
24. Indek keanekaragaman jenis tingkat pohon pada hutan bekas
teba ngan Et+0... 116
25. Keanekaragaman jenis semai, pancang, tiang dan pohon
pada hutan bekas tebangan Et+0 ... 117
26. INP kelompok jenis pada hutan bekas tebangan Et+0 ... 120
27. Kerapatan semai, pancang, tiang dan pohon pada hutan bekas
tebangan Et+0 di lokasi penelitian dan beberapatempat lain ... 121
28. Perbandinga n etat volume siklus ke-1 dan ke-2 pada penerapan
siklus tebang 30 tahun dan 35 tahun ... 130
29. Standar biaya operasional lapangan sistem TPTII ... 131
30. Nilai NPV (Rp/ha) pada pengelolaan hutan sistem TPTII ... 133
31. Analisis sensitifitas pada harga jual ka yu bulat da n tingka t suku
1. Bagan alir perkembangan sistem silvikultur TPTII di Indonesia... 5
2. Kerangka pemikiran pengelolaan hutan dengan sistem silvikultur TPTII . 6 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan da n hasil pohon ... 21
4. Kurva pertumbuhan po hon (CAI dan MAI)... 24
5. Layout lokasi penelitian ... 44
6. Sub plot pengukuran pengukuran semai, pancang, tiang dan pohon ... 45
7. Layar densiometer (a) dan pengelompokan tingkat penutupan tajuk berdasarkan skala densiometer ... 46
8. Kurva sigmoid, M AI da n CAI po hon meranti... 61
9. Gambar tingkat penutupan tajuk dengan skor 51 berdasarkan skala densiometer ... 64
10. Dinamika struktur tanaman Shorea leprosula dalam jalur tanam ... 68
11. Proporsi luas areal efektif dan tidak efektif dalam jalur tanam... 70
12. Diagram umpan balik pertumbuhan tanaman Shorea leprosula ... 72
13. Pertumbuhan diameter Shorea leprosula menggunakan pola persamaan eksponensial ... 73
14. Pertumbuhan diameter Shorea leprosula menggunakan pola persamaan polinomial ... 74
15. Prediksi volume tanaman per ha pada tiga model persamaan... 78
16. Respon pertumbuhan volume tanaman Shorea leprosula terhadap pemanenan dengan asumsi terjadi penurunan kualitas tempat tumbuh siklus ke-2 ... 82
17. Pola penyebaran kecepatan pertumbuhan diameter pada empat kelompok po hon ... 85
18. Distribusi diameter empat kelompok pohon pada hutan bekas teba ngan Et+0... 88
19. Diagram umpan balik dinamika tegakan hutan ... 90
20. Model perkembangan tingkat semai setelah pemanenan ... 92
21. Model perkembangan tingkat pancang setelah pemanenan ... 92
22. Model perkembangan tingkat tiang setelah pemanenan ... 92
23. Model perkembangan tingkat pohon setelah pemanenan ... 93
PT Gunung Meranti... 100
26. Respon perkembangan kerapatan tingkat semai terhadap pemanenan jenis komersial ditebang sistem TPTII di areal
kerja PT Gunung Meranti... 101
27. Respon perkembangan kerapatan tingkat pancang terhadap pemanenan jenis komersial ditebang sistem TPTII di areal
kerja PT Gunung Meranti... 102
28. Respon perkembangan kerapatan tingkat tiang terhadap pemanenan jenis komersial ditebang sistem TPTII di areal
kerja PT Gunung Meranti... 102 29. Respon perkembangan kerapatan tingkat pohon terhadap
pemanenan jenis komersial ditebang sistem TPTII di areal
kerja PT Gunung Meranti... 103
30. INP jenis dominan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon ... 117
31. Perbandingan nilai keanekaragaman jenis pada hutan bekas tebangan Et+0 di PT Gunung Meranti, PT Ratah Timber Co dan PT Sari Bumi
Kusuma... 118
32. Perbandinga n pe nyeba ran po hon de ngan indikator kerapatan tingkat
semai, pancang, tiang dan pohon ... 122
33. Bagan alir penataan areal kerja PT Gunung Meranti ... 124
34. Model perkembangan tegakan tinggal pada jalur antara sistem
TPTII menggunakan fungsi kerapatan ... 127
35. Fluktuasi kerapa tan po hon masak tebang (N/ha) dalam kelas diameter
40-49 cm pada siklus tebang 30 tahun ... 128
36. Akumulasi kerapatan pohon masak tebang (N/ha) dalam kelas
diameter 40-49 cm pada siklus tebang 35 tahun ... 129
37. Nilai NPV (Rp/ha) pengelolaan hutan sistem TPTII pada saat harga jual kayu bulat berdiameter 40-49 cm dan 50 cm ke atas masing- masing sebesar Rp.1,15 juta per m3 dan Rp. 1,3 juta pe r m3 dengan
Halaman
1. Daftar nama jenis pohon di areal IUPHHK PT Gunung Meranti ... 153
2. Uji beda rata-rata terhadap riap diameter dan tinggi tanaman Shorea leprosula pada kelerengan datar- landa i (0%-15%) dan kelerengan agak curam-curam (15%-30%) ... 157
3. Skor penutupan tajuk pada jalur tanam dan jalur antara ... 158
4. Prediksi volume tanaman Shorea leprosula menggunakan tiga model persamaan pertumbuhan... 159
5. Indek nilai penting tingkat semai pada hutan bekas tebangan (Et+0) pada kelerengan datar- landai dan agak curam-curam ... 160
6. Indek nilai penting tingkat pancang pada hutan bekas tebangan (Et+0) pada kelerengan datar- landai dan agak curam-curam ... 161
7. Indek nilai penting tingkat tiang pada hutan bekas tebangan (Et+0) pada kelerengan datar- landai dan agak curam-curam ... 162
8. Indek nilai penting tingkat pohon pada hutan bekas tebangan (Et+0) pada kelerengan datar- landai dan agak curam-curam ... 163
9. Hasil anova dan uji LSD terhadap riap tahunan rata-rata kelompok meranti, d ipterocarp non meranti, komersial lain ditebang dan komersial lain tidak ditebang ... 164
10. Uji beda rata-rata terhadap riap diameter dan tinggi pohon pada kelerengan datar- landai (0%-15%) dan kelerengan agak curam-curam (15%-30%) ... 165
11. Persamaan dalam pemodelan pertumbuhan tanaman dan tegakan tinggal ... ` 166
12. Validasi model pertumbuhan tegakan hutan menggunakan data PUP TPTI selama 7 tahun ... 174
13. Sifat fisik da n kimia tanah pada lokasi penelitian... 175
14. Peta lokasi areal IUPHHK PT Gunung Meranti di Provins i Kalimantan Tengah ... 176
15. Peta lokasi penelitian di PT Gunung Meranti ... 177
16. Peta tanah di areal kerja IUPHHK PT Gunung Meranti ... 178
17. Peta agroklimat wilayah Kalimantan ... 179
1.1 Latar Belakang
Indo nesia merupaka n negara yang memiliki hutan trop ika terluas di dunia setelah
Brasilia di Amerika Selatan dan Zaire di Afrika sekaligus menyimpan
keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (Whitmore 1975; MacKinnon et al. 2000). Berdasarkan batas geografis, hutan tropika terletak antara 23½o LU sampai 23½o LS,
yang dicirikan dengan lanskap yang selalu hijau, intensitas cahaya matahari merata
sepanjang tahun serta curah hujan yang relatif tinggi. Namun demikian kondisi
sumberdaya hutan di Indonesia cenderung mengalami penurunan, baik kuantitas
(deforestation) maupun kualitasnya (forest degradation), seiring dengan perubahan lingkungan pada tingkat nasional maupun global. Laju deforestasi di Indonesia
sebesar 1,8 juta ha/th (1985-1997) dan meningkat menjadi 2,84 juta ha/th
(1997-2000) (Balitbanghut 2008).
Kerusakan hutan banyak disebabkan oleh meningkatkannya jumlah penduduk dan
kebutuhan hasil hutan kayu (Singh et al. 1995), penebangan liar (illegal logging), pertambangan liar (illegal minning ), perladangan berpindah, okupasi masyarakat, kebakaran hutan (Indrawan 2008, Wahyudi 2009b), perambahan dan konversi hutan,
pengelolaan hutan yang tidak baik (Wahjono & Anwar 2008) seperti pembalakan
yang melebihi batas kemampuan hutan untuk memulihkan diri (penebangan melebihi
riap hutan) dan tidak ada keseriusan untuk merehabilitasi hutan bekas tebangan
(Soekotjo 2009).
Sebagai perbandingan, pada tahun 1990 jumlah produksi kayu bulat Indonesia
sebesar 28 juta m3 yang berasal dari areal hutan produksi seluas 59,6 juta ha. Namun
pada tahun 2007 jumlah produksi menurun menjadi 9,1 juta m3 dari areal hutan
produksi seluas 27,8 juta ha (Soekotjo 2009). Penurunan produksi dan luas hutan ini
akan terus terjadi di masa datang apabila tidak ada pembenahan yang signifikan
terhadap sistem pengelolaan hutan produksi di Indonesia. Salah satu bentuk
pe mbe nahan yang seda ng dilakuka n ada lah pe nerapa n sistem silvikultur yang sesuai
dengan kondisi vegetasi dan lingkungannya sehingga mampu peningkatan
produktifitas hutan.
Pada awal tahun 70-an, hutan alam Indonesia masih terjaga dengan baik.
bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (dulu bernama Hak Pengusahaan
Hutan) sejak tahun 1972 menggunakan sistem silvikultur Tebang Pilih Indonesia
(TPI). Sistem silvikultur Teba ng Pilih Tanam Indo nesia (TPTI) diterapkan pada
tahun 1989 menggantikan sistem sebelumnya. Pada tahun 1993 mulai diujicobakan
sistem silvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) dalam skala penelitian.
Sistem ini kemudian berubah menjadi Tebang Jalur Tanam Konservasi (TJTK) dan
pada tahun 1997 berubah lagi menjadi sistem Hutan Tanaman Industri de ngan
Tebang Tanam Jalur (HTI-TTJ). Pada tahun 1998 sistem HTI-TTJ berubah menjadi
sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Pada tahun 2005 diterapkan sistem Tebang
Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dengan teknik yang mirip dengan sistem
TPTJ. Sistem TPTII mampu menggabungkan konsep penanaman/pengayaan pada
sistem TPTI dengan konsep penanaman dalam jalur tanam pada sistem TPTJ
sehingga kegiatan perawatan tanaman dapat lebih intensif dan mempermudah
pengawasan.
Sistem TPTII yang diterapkan pada hutan bekas tebangan dan hutan rawang
dipercaya dapat meningkatkan potensi hutan pada akhir daur sehingga prospek
pengusahaan hutan produksi menjadi lebih menarik (Soekotjo 2009). Menurut
Ditjen BPK (2005) tujuan umum teknik TPTII adalah membangun hutan tropis yang
lestari dan dinamis, yang dicirikan dengan selalu meningkatnya potensi dan fungsi
hutan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, dari satu rotasi tebang ke rotasi
tebang berikutnya. Sedangkan tujuan khusus untuk membangun hutan sebagai
transisi menuju hutan tanaman meranti dan untuk menjamin fungsi hutan yang
optimal. Namun demikian penelitian tentang pertumbuhan dan hasil (growth and yield) serta analisis finansial tanaman dalam jalur bersih serta tegakan tinggal dalam jalur antara masih belum banyak dilakukan. Prediksi pertumbuhan da n hasil
tanaman dalam jalur bersih serta tegakan tinggal pada jalur antara yang selalu
meningkat pada sistem TPTII harus didasari pada hasil penelitian yang baik dengan
memperhatikan faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pohon seperti
genetik, lingkungan dan teknik silvikultur.
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, faktor kelerengan datar sampai curam
tidak berpengaruh nyata terhadap riap tanaman Shorea leprosula dalam jalur tanam serta tegakan tingga l dalam jalur antara sistem TPTII, sehingga analisis pertumbuhan
dan hasil tanaman maupun tegakan tinggal dalam penelitian selanjutnya tidak
Pengelolaan hutan dengan sistem TPTII memerlukan daur (umur royek) yang
relatif lama sehingga investasi dan biaya kegiatan yang ditanam dapat membengkak
disebabkan akumulasi bunga selama daur. Sehubungan dengan hal tersebut, analisis
finansial pada sistem TPTII sebaiknya dilakukan pula menyertai analisis tanaman
dan tegakan tinggal agar para pihak (stakeholder), khususnya pihak pengusaha, dapat mengetahui tingkat kelayakan ekonomi pada usaha ini.
Perkembangan tanaman dan tegakan tinggal pada sistem silvikultur TPTII
sebaiknya segera dievaluasi dengan memanfaatkan hasil- hasil penelitian yang pernah
dan sedang dilakukan, khususnya pada kondisi tempat tumbuh yang relatif sama,
untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih tepat dan akurat terhadap tingkat
kelayakan sistem ini dalam menciptakan pengelolaan hutan lestari.
Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan (Dirjen
BPK) Departemen Kehutanan RI Nomor 41/VI- BPHA/2007, IUPHHK PT Gunung
Meranti merupakan salah satu perusahaan yang ditetapk an unt uk menerapka n sistem
TPTII di areal konsesinya sehingga penelitian untuk mengetahui perkembangan
tanaman dan tegakan tinggal pada sistem TPTII dapat dilakukan di tempat ini.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang dihadapi sektor kehutanan, setidaknya pada dua dasawarsa
terakhir, adalah tingginya laju deforestasi dan degradasi hutan serta rendahnya
produktifitas hutan alam produksi di Indo nesia. Laju deforestasi sebesar 1,8 juta
ha/th pada periode 1985-1997 dan meningkat menjadi 2,84 juta ha/th pada periode
1997-2000 (Balitbanghut 2008). Sampai tahun 2003 produktifitas hutan alam di
Indonesia hanya sebesar 1,1-1,4 m3/ha/th dan sampai tahun 2007 turun menjadi 0,46
m3/ha/th (Ditjen BPK 2010b). Menurut Suparna (2010) produktifitas hutan alam
tahun 2009 hanya 0,25 m3/ha/th.
Rendahnya produktifitas hutan alam menyebabkan iklim usaha pengelolaan hutan
alam produksi menjadi kurang menarik. Banyak pengusaha yang mengalihkan
bidang usahanya di luar sektor kehutanan ini. Hutan cenderung mengalami
degradasi dan kawasan hutan cenderung dikonversi (deforestasi) baik yang dilakukan
secara legal maupun illegal. Kondisi semacam ini tidak boleh dibiarkan
berlarut-larut namun harus segera dicarika n solus inya . Salah satu upa ya unt uk mengatasi
meningkatkan produktifitas hutan sekaligus dapat menjaga kualitas lingk ungan serta
memberi manfaat bagi kehidupan masyarakat.
Sistem silvikultur untuk pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia sering
mengalami perubahan meskipun pelaksanaannya belum mencapai satu siklus tebang.
Banyak yang meragukan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan sistem TPTI terutama
dari segi produktifitas, namun sistem ini masih dipertahankan karena dipercaya
mempunyai dampak lingkungan yang paling kecil, sambil menunggu munculnya
sistem silvikultur alternatif yang dapat memperbaiki kekurangan pada sistem
silvikultur sebelumnya dengan target utama tercapainya kelestarian hutan dengan
indikator kelestarian produksi, ekologi dan sosial. Apakah sistem TPTII mampu
menjawab tantangan ini?
1.3 Status Pe nelitian dan Ke rangka Pe mikiran
Menurut Mitlöhner (2009) dan Suhendang (2008) paradigma baru pengelolan
hutan saat ini adalah pendekatan pada bentuk hutan alam (close to the natural forest).
Coates dan Philip (1997) menambahkan bahwa penebangan hutan dalam bentuk
celah (gap) lebih sesuai dengan kondisi hutan alam karena menyerupai fenomena pohon atau ke lompok po hon yang mati (robo h) da n terjadi regenerasi da lam gap
tersebut. Sistem silvikultur yang sesuai dengan maksud tersebut adalah polycyclic system melalui sistem tebang pilih (selective cutting) baik dalam bentuk tebang individu seperti TPI dan TPTI atau tebang kelompok dalam bentuk rumpang atau
jalur (TPTII atau TPTJ). Sistem silvikultur TPTII mampu menggabungan antara
tebang individu dan tebang kelompok serta penerapan prinsip-prinsip tebang habis
dengan permudaan buatan (THPB) dalam satu kesatuan pengelolaan seperti terlihat
pada Gambar 1.
Kawasan hutan di Indonesia saat ini telah terfragmentasi menjadi beberapa tipe
penutupan lahan, seperti hutan primer, hutan sekunder, hutan rawang (low potential forest), hutan bekas penebangan liar, hutan bekas kebakaran, semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong (Indrawan 2008; Pasaribu 2008). Lanskap hutan
produksi yang berbentuk mosaik (Suhendang 2008) seperti ini sudah tidak
memungkinkan diterapkan sistem silvikultur tunggal (Pasaribu 2008).
Konsep pengelolaan hutan yang mendasarkan pada asumsi stabilitas jangka
pemikiran ini maka lahirlah konsep multiple patch design yang kemudian berkembang menjadi multisistem silvikultur (Multiple Silvicultural System). Menurut Indrawan (2008) multisistem silvikultur sudah saatnya diterapkan pada
hutan produksi agar setiap bagian hutan mendapatkan perlakuan silvikultur yang
sesuai dengan kondisinya.
Gambar 1. Bagan alir perkembangan sistem silvikultur di Indonesia
Kerangka pemikiran (logical framework) dibangun berdasarkan sejarah pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia beserta semua input da n output yang bekerja pada sistem silvikultur TPTII dengan sasaran akhir berupa kelayakan sistem
yang dicirikan melalui kelestarian produksi, ekologi dan sosial.
Fungsi Hutan (UU No.41/1999)
Hutan Hutan Hutan
Konservasi Lindung Produksi
Degradasi hutan Hutan terfragmentasi Deforestasi
Hutan Hutan Hutan potensi Semak dan Padang ilalang Lahan
primer sekunder rendah belukar (Imperata cylindrica) kritis
Mosaik lanskap Multisistem silvikultur
Uneven aged All-aged Polycyclic Monocyclic Even aged
forest forest System System forest
Tebang Tebang Tebang habis Tebang habis
Gamba r 2. Kerangka pemikiran pengelolaan hutan de ngan sistem silvikultur TPTII
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi pertumbuhan tanaman meranti
(Shorea leprosula) dalam jalur tanam dan tegakan tinggal dalam jalur antara sistem TPTII serta membangun model pertumbuhan dan hasil (growth and yield) untuk memprediksi produktifitas, daur dan siklus tebangnya. Beberapa tahapan penelitian
yang ingin dicapai adalah:
a. Mengeva luasi pertumbuhan tanaman meranti (Shorea leprosula) pada jalur tanam sistem TPTII da n memprediks i produktifitas dan daurnya
b. Mengeva luasi pertumbuhan tegakan tingga l pada jalur antara sistem TPTII dan
c. Mengeva luasi struktur, komposisi, keanekaragaman dan kekayaan jenis tegakan
tinggal dalam jalur antara
d. Mengeva luasi tingkat kelayakan usaha sistem TPTII, khususnya di areal kerja
IUPHHK PT Gunung Meranti.
Dengan tersedianya data perkembangan tanaman, tegakan tinggal, model
dinamika tegakan hutan serta analisis finansial pada sistem TPTII diharapkan dapat
mendukung kemajuan pelaksanaan sistem ini di Indo nesia. Stakeholder dapat menentukan potensi tanaman dan tegakan tinggal pada siklus tebang berikutnya
berdasarkan riap, struktur dan komposisi tegakan tinggal yang ada. Penelitian juga
memberi informasi tentang prospek pengusahaan hutan sehingga menciptakan
kepastian usaha dan menumbuhkan iklim yang kondusif bagi dunia usaha ke hutanan.
1.5 Hipotesis
a. Tanaman dalam jalur mampu meningkatkan produktifitas hutan pada da ur
pertama
b. Perkembangan tegakan tinggal ditentukan oleh struktur dan komposisinya dan
mencapai kelestarian produksi pada siklus 30 tahun
c. Struktur, komposisi, keanekaragaman dan kekayaan jenis pada tegakan tinggal
masih mengikuti karakteristik hutan semua umur (all-aged forest)
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 H utan Hujan Tropis
Bumi merupakan salah satu dari delapan planet yang mengorbit pada matahari.
Namun dari delapan planet tersebut, hanya bumi yang sangat istimewa dan
menakjubkan. Planet ini dikelilingi oleh atmosfir yang berfungsi sebagai cadangan
udara, pelindung dari sengatan matahari secara langsung serta menangkis
benda-benda dari luar angkasa yang memasuki bumi. Bumi juga dilengkapi lapisan tanah
dan air yang sangat baik untuk menopang semua kehidupan di bumi, termasuk
pertumbuhan vegetasi. Ekosistem bumi terbentuk dengan sangat beragam, komplek
dan sempurna. Menurut penelitian, kehidupan dibumi terbentuk sejak jaman pre cambrian-azoikum sekitar 3,2 milyar tahun yang lalu.
Salah satu komponen pe nting da lam menjaga kestabilan ekos istem di bumi adalah
hutan. Hutan merupaka n hampa ran vegetasi raksasa yang berperan sebagai
paru-paru (Soemarwoto 1991) karena mengeluarkan Oksigen (O2), menyerap
Karbondioksida (CO2) sekaligus menimbun karbon (C) dalam bentuk bahan organik
(Carbon pool). Penelitian terkini juga menyebutkan bahwa hutan dapat berperan sebagai jantung bumi yang dapat memompa udara yang mengandung uap air dari
lautan ke daratan.
Hutan hujan tropis mempunyai aktifitas dan kemampuan metabolisme yang jauh
lebih besar dibanding hutan di daerah sub tropis, temperate dan boreal karena
memperoleh sinar matahari penuh sepanjang tahun. Namun demikian, dengan
tingginya suhu da n curah hujan di daerah tropis menyebabkan proses pelapukan
(weathering), perombakan (decomposition), aliran permukaan, pencucian hara dan erosi juga semakin tinggi.
Fenomena inilah menyebabka n tanah di hutan tropika sangat peka terhadap
perubahan. Tanah marginal ini hanya menampung sedikit biomassa dibanding
dengan lapisan tanah di hutan tempe rate da n sekitarnya. Sebagian besar (sekitar ¾)
biomassa di hutan tropika terletak pada vegetasinya (MacKinnon et al. 2000). Serasah di lantai hutan yang cepat terurai akan diserap kembali oleh vegetasi untuk
menjalankan metabolisme, begitu seterusnya sehingga terbe ntuklah siklus hara
tertutup. Peneba ngan po hon-pohon dari hutan, seperti pada kegiatan eksploitasi
dan kebakaran hutan dapat membuka siklus hara tertut up dan menurunkan
kandungan biomassa dari ekosistem hutan hujan tropis.
Lanskap hutan hujan tropis biasanya didominasi oleh matrik hutan diselingi alur
memanjang berupa sungai (environment resources corridors) yang bercabang-cabang membentuk anak-anak sungai. Jaringan sungai dan anak sungai serta
jaringan jalan yang dibuat manusia (disturbance corridors) membentuk line corridors dengan berbagai ragam fungsi di dalamnya (Forman & Gordon 1986). Pada stream corridor biasanya ditemukan vegetasi tertentu yang relatif berbeda dengan jenis vegetasi di sebelahnya. Pada pohon tumbang atau areal eksploitasi
terbe ntuk disturbance patches yang rawan erosi namun cepat mengalami pemulihan (Farima 1998) . Hutan hujan tropis memiliki strata yang berlapis. Para ahli pada
umumnya membagi lima strata hutan tropis (Soerianegara & Indrawan 2005) yaitu:
a. Strata A merupakan lapisan paling atas sehingga tajuk pohon mendapatkan
cahaya matahari secara penuh baik dari atas atau samping. Strata ini didominasi
pohon-pohon besar seperti kempas (Koompassia exelca, K.malaccensis), meranti (Shorea pinanga, S.parvifolia, S.smithiana, S.spp), keruing (Dipterocarpus louwii, D.spp), kapur (Dryobalanops aromatica, D.spp), Ulin (Eusideroxylon zwagery) dan lain- lain.
b. Strata B merupaka n lapisan ke dua dimana tajuk po hon hanya mendapa tka n sinar
matahari dari atas. Pohon-pohon pengisi lapisan ini antara lain terentang
(Campnospermum spp), perupuk (Lophopetalum spp), bintangur (Calophyllum inophyllum), ke ranji (Diallium sp) dan lain- lain.
c. Strata C merupakan lapisan ke tiga dimana tajuk pohon hanya mendapatkan sinar
matahari dari celah-celah tajuk po hon yang lain. Pohon-pohon pengisi lapisan ini
antara lain jambuan (Syzigium sp), sintuk (Cinnanomum sp) dan lain- lain. Adakalanya jenis pohon pengisi lapisan A dan B masih berada pada lapisan C
dalam proses pertumbuhannya. Beberapa diantaranya berhasil lolos memasuki
strata B atau A, terutama ketika terjadi suksesi (ketika pohon tua telah tumbang).
Banyak d iantara po hon-pohon tersebut gagal memasuki lapisan di atasnya karena
belum mendapatkan ruang tumbuh. Kondisi hutan trop is yang sangat rapat dan
lebat menimbulkan efek persaingan tempat tumbuh yang tinggi.
d. Strata D merupakan lapisan ke empat dimana vegetasi hanya mendapatkan sinar
matahari dari pantulan tajuk pohon lain. Pengisi lapisan ini biasanya tingkat
Adakala permudaan Dipterocarpaceae mengalami dormansi karena tidak
mendapatkan ruang tumbuh, terutama sinar matahari, yang op timal untuk
perkembangannya.
e. Strata E merupakan lapisan ke lima yang didominasi tumbuhan bawah, herba,
perdu serta semai dari berbagai jenis.
Disamping mempunyai lima lapisan vegetasi, lantai hutan tropis masih
mempunyai lapisan serasah, humus dan top soil yang kaya bahan organik. Struktur
hutan tropis seperti ini telah menciptakan ekosistem yang komplek dan exclusive
dengan iklim mikro dan sistem siklus hara tetutup didalamnya. Masing- masing
pohon telah membentuk jaring pengaman unsur hara (nutrients safety net) untuk meningkatkan efisiensi penangkapan zat hara yang telah menjadi bentuk tersedia
(Kozlowski & Pallardy 1997 ; Oliver & Larson 1990) . Hijau dan lebatnya hutan
hujan tropis seakan-akan mencerminka n kesuburan tana h di sana, namun sebe narnya
hanya ilus trasi yang semu (MacKinnon et al. 2000).
Berbeda dengan daerah terbuka, curah hujan yang turun di hutan akan mengalami
beberapa proses (Lee 1990), yaitu:
a. Intersepsi (interception), yaitu bagian dari air hujan yang menguap kembali, baik pada saat hujan maupun setelah hujan, sebelum mencapai permukaan tanah. Air
ini biasanya terdapat di tajuk po hon, da han da n ranting.
b. Tranpirasi (transpiration) yaitu air yang menguap melalui permukaan tubuh tumbuhan setelah melalui proses metabolisme. Transpirasi paling banyak terjadi
pada daun yang kontak langsung dengan sinar matahari, sebagai respon untuk
mempertahankan diri dari panas dan kekeringan (dehidration).
c. Evaporasi (evaporation), yaitu air yang menguap kembali dari danau, waduk, sungai atau genangan air tanah.
d. Stem flow, yaitu bagian dari air hujan yang mengalir melalui daun, ranting dan cabang pohon kemudian mengalir ke bawah melalui batang pohon. Aliran batang
ini berjalan perlahan sampai ke permukaan tanah.
e. Through fall, yaitu bagian air hujan yang turun ke bawah melalui celah-celah tajuk atau da un po hon. Air hujan aka n tertahan pada tumbuhan bawah dan
serasah sebelum sampai ke tanah sehingga tidak sampai merusak struktur tanah.
Perakaran pohon di hutan tropis telah mengisi sebagian besar lapisan top soil.
Perakaran ini telah menciptakan rongga tanah sehingga terbentuk pori-pori pada
soil yang berisi perakaran tumbuhan juga menciptaka n eko sistem tersendiri.
Berbagai jenis mikroorganisme, cacing, serangga, rhizobium, mikor isadan lain- lain hidup dan berkembang biak di sana.
Air hujan yang turun di hutan hujan tropis sebagian besar berubah menjadi aliran
batang (stem flow) pada berbagai strata yang ada, sehingga ketika menyentuh lantai hutan tidak menimbulkan efek merusak pada tanah. Air hujan yang berada di lantai
hutan akan meresap ke dalam lapisan bahan organik, serasah dan humus, kemudian,
sebagian besar mengalami infiltrasi atau masuk ke dalam top soil tanah (mengisi kapasitas infiltrasi tanah). Apabila tanah telah mencapai titik jenuh, sebagian air
akan berubah menjadi aliran permukaan yang relatif jernih. Dengan demikian hutan
sangat berperan dalam proses hidroorologi karena dapat meminimalkan pencucian
zat hara, erosi, banjir dan longsor sehingga dapat menjaga ketersediaan air dan
kesuburan tanah.
Hutan hujan tropis menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.
Menurut Whitmore (1975), dalam hutan hujan tropis Asia Tenggara tersimpan 25-30
ribu jenis flora. Menurut MacKinnon et al. (2000), dalam hutan hujan tropis di Kalimantan terdapat 10.000-15.000 spesies berbunga, lebih dari 3.000 jenis pohon
berkayu termasuk 267 spesies Dipterocarpaceae. Pulau ini sekaya benua Afrika
meskipun luasnya 40 kali lebih kecil. Hutan tropis di Kalimantan mempunyai 34%
jenis endemik. Menurut Ashton (1982) dalam McKinnon et al. (2000), 58% dari seluruh jenis Dipterocarpaceae di Kalimantan adalah endemik. Pulau ini juga
mempunyai 2.000 jenis anggrek, 1.000 jenis pakis dan merupakan pusat jenis
kantong semar (Nepenthes). Suku ende mik Kalimantan yang terkenal adalah
Scyphostegiaceae (Ashton 1989 dalam MacKinnon et al. 2000).
Hutan hujan tropis di Kalimantan, Sumatera, Jawa dan Sulawesi masing- masing
menyimpan 222, 196, 183 dan 127 jenis mamalia. Dari jumlah tersebut, Kalimantan
mempunyai 44 jenis endemik dan Sumatera hanya 23 jenis endemik (Payne 1985
da lam MacKinnon et al. 2000). Hutan tropis Kalimantan juga mempunyai 13 jenis primata, 10 jenis celurut, 420 jenis burung tetap (37 jenis endemik), 166 jenis ular,
100 jenis amfibi, 394 jenis ikan air tawar (149 jenis endemik) dan lain- lain. Apabila
hutan hujan tropis sebagai habitat flora dan fauna tersebut telah rusak maka
sebagaian besar flora dan fauna tersebut juga musnah, khususnya yang endemik.
Hutan huj an trop is merupaka n hamparan pertumbuhan pohon-pohon yang sangat
komplek. Pohon dan vegetasi lainnya sebagai bagian dari komponen hutan
merupakan tumbuhan hijau yang dapat melakukan proses fotosintesa yang menyerap
karbondioksida (CO2) sehingga dapat mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di
udara sebagai penyebab efek pemanasan global. Proses fotosintesa dapat dituliskan
melalui persamaan reaksi sebagai berikut:
CO2 + H2O +
sinar matahari
Luas hutan di Indonesia sebelum tahun 80-an sebesar 164 juta ha atau 87,280%
dari luas daratan Indo nesia (Suratmo et al. 2003). Menurut Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) luas kawasan hutan Indo nesia tahun 1981 sebesar 144 juta ha
(Hani’in 1999), namun luasan ini mengalami penurunan menjadi 126,8 juta ha pada
tahun 2005 (Balitbanghut 2008) dengan komposisi hutan konservasi 23,2 juta ha,
hutan lindung 32,4 juta ha, hutan produksi terbatas 21,6 juta ha, hutan produksi tetap
35,6 juta ha dan hutan produksi konversi 14,0 juta ha. Dalam kawasan hutan
tersebut, luas areal yang berhutan hanya sebesar 64%, luas areal non hutan 29% dan
lain- lain (data tidak lengkap) 6%. Laju kerusakan hutan sebesar 1,8 juta ha per tahun
(1985-1997) dan meningkat menjadi 2,84 juta ha per tahun pada tahun 1997-2000
(Balitbanghut 2008). Pada saat ini hutan produksi telah banyak terfragmentasi
(Indrawan 2008) dan membentuk mosaik lanskap berupa hutan primer, hutan
sekunder, semak belukar dan tanah kosong (Pasaribu 2008, Suhendang 2008).
(C6H10O5)n + O2
kloropil
Dari persaman tersebut terlihat bahwa proses fotosintesa menyerap CO2 dan air
(H2O) dengan bantuan sinar matahari dalam media yang mengandung zat hijau daun
(chlorophyl) kemudian menghasilkan karbohidrat sebagai sumber energi dan cadangan karbon yang disimpan dalam tubuh tanaman dan oksigen (O2) yang
dihasilkan dari proses fotofosforilasi dari air.
Menurut UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan dibagi menjadi tiga
berdasarkan fungsinya, yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi
hasil hutan. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara
kesuburan tanah. Hutan ko nservasi ada lah ka wasan hut an de ngan ciri khas tertentu,
yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
2.2 Perkembanga n Sistem Silvikultur
2.2.1 Pengertian sistem silvikultur
Silvikultur adalah seni dan ilmu membangun dan memelihara hutan dengan
menerapkan ilmu silvika untuk memperoleh manfaat optimal. Menurut PP Nomor 6
tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta
Pemanfaatan Hutan, sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan mulai dari
memilih benih atau bibit, menyemai, menanam, memelihara tanaman dan memanen.
Didalam sistem silvikultur terdapat pengaturan mengenai kelas diameter atau kelas
umur, riap, kegiatan penanaman/ pengayaan (enrichment planting), pemangkasan
(pruning), penjarangan (thinning), siklus tebang, rotasi tebang serta informasi silvikultur jenis (Pasaribu 2008).
Menurut Ditjen PH (1993) sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana
mengenani pengelolan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan, pemeliharaan
tegakan hutan untuk menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya.
Sedangkan menurut Mattews (1992) dalam Mansur (2008) sistem silvikultur
merupakan proses pemeliharaan, pemanenan dan penggantian dengan tanaman baru
sehingga menghasilkan tegakan dengan bentuk yang berbeda. Pada hutan alam
produksi sistem silvikultur dimulai dari kegiatan pemanenan sedangkan pada hutan
tanaman dimulai dari kegiatan pembibitan dan perawatan tanaman. Dengan
demikian definisi sistem silvikultur dapat berbeda-beda, namun semuanya
mengandung tiga komponen utama, yaitu permudaan (regeneration), pemeliharaan
(tending) dan pemanenan (harvesting/removing) (Mansur 2008).
Sistem silvikultur yang diterapkan dalam unit manajemen dapat dibedakan
berdasarkan umur tegakan maupun sistem penebangan. Berdasarkan umur tegakan
terdiri dari sistem silvikultur untuk tegakan seumur (even-aged stands) seperti THPA dan THPB, sistem silvikultur untuk tegakan beberapa umur (uneven-aged stands)
dan tegaka n semua umur (all-aged stands) seperti tebang pilih individu (TPI, TPTI, Bina Pilih), kelompok melingkar (tebang rumpang) dan kelompok dalam jalur (TPTJ
dan TPTII). Berdasarkan sistem penebangan pohon terdiri dari sistem silvikultur
tebang pilih (selective cutting) dan sistem teba ng habis (clear cutting).
Menurut Manan (1995) dalam Indrawan (2008), sistem silvukultur dapat
a. Polycyclic system, yaitu jumlah penebangan (siklus tebang) yang lebih dari satu kali selama rotasi. Sistem TPI dan TPTI termasuk polycyclic system karena menggunakan dua kali siklus tebang (2x35 tahun) selama rotasi 70 tahun
b. Monocyclic system, yaitu jumlah pe nebangan (siklus teba ng) yang hanya seka li selama rotasi, seperti sistem THPA dan THPB.
Setelah berjalan lebih dari 20 tahun, banyak hutan alam produksi yang
mengalami fragmentasi (Indrawan 2008). Lanskap hutan hujan tropis telah
membentuk mosaik (Pasaribu 2008; Suhendang 2008) yang terdiri dari hutan primer,
hutan sekunder, hutan rawang, hutan bekas penebangan liar, hutan bekas kebakaran,
semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong. Pada kondisi seperti ini
penerapan multi sistem silvikultur menjadi keniscayaan agar setiap bagian hutan
mendapatkan perlakuan silvikultur yang sesuai dengan kondisi hutannya.
Menur ut Indrawan (2008 ) multisistem silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan
produksi lestari yang terdiri dua atau lebih sistem silvikultur yang diterapka n pada
suatu unit manajemen dan merupakan multi usaha dengan tujuan mempertahankan
dan meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat
mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi.
Suhendang (2008) menulis bahwa sistem silvikultur menurut Society of American Forester tahun 1998 adalah rangkaian perlakuan terencana terdiri dari kegiatan pemeliharaan, pemanenan dan pembangunan kembali tegakan. Skema penerapan
sistem silvikultur ada dua macam yaitu sistem silvikultur tunggal (single silvicultural system) dan sistem silvikultur jamak (multiple silvicultural system).
Teknik silvikultur adalah upaya mengintegrasikan atribut ekologi, ekonomi, sosial
dan administrasi menjadi pendekatan yang bulat dalam rangka mengelola dan
memanfaatkan sumber daya hutan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan
akan datang tanpa mengurangi kemampuan fungsi hutan (Soekotjo 2009). Teknik
silvikultur dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:
a. Teknik pengendalian struktur, komposisi, kerapatan, pertumbuhan dan rotasi
serta kombinasi antara spesies (genetik), manipulasi lingkungan dan
pengenda lian hama terpadu (integrated pest management). Teknik pengendalian ini diterapka n dalam TPTI Intensif.
b. Teknik perlindungan tempat tumbuh (agar permukaan tanah selalu tertutup
vegetasi sehingga stabil dan terjaga kesuburannya) dan pohon (dari hama,
c. Teknik pelayanan eksploitasi, pengelolaan dan pemanfaatan.
2.2.2 P erkembanga n sistem silvikultur di Indonesia
Sejarah perjalanan sistem silvikultur di Indonesia diawali dari Peraturan
Pemerintah Nomor 21 tahun 1970 (yang merupakan penjabaran dari UU Nomor 5
tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, UU Nomor 1 tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing dan UU Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri) yang menyebutkan bahwa hutan produksi dapat diusahakan dalam
bentuk Hak Pengusahaan Hutan.
Sistem silvikultur yang dipakai dalam mengelola hutan alam produksi adalah
Tebang Pilih Indonesia (TPI) berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Kehutanan Nomor
35/Kpts/DD/I/1972 tanggal 13 Maret 1972. Namun sistem ini mempunyai
kelemahan pada ketidakpastian besaran limit diameter serta jumlah pohon inti yang
harus ditinggalkan per ha.
Pada tahun 1980, Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan melakukan revisi
terhadap ketentuan limit diameter dan jumlah pohon inti menjadi Ø ≥ 25 cm
sebanyak 25 pohon per ha serta menambah ketentuan yang disesuaikan dengan
kondisi hutan eboni campuran dan ramin campuran. Pada tahun 1987 dibentuk tim
materi diskusi penyempurnaan pedoman TPI dari Badan Litbang Kehutanan,
Fakultas Kehutanan IPB dan Fakultas Kehutanan UGM.
Pergant ian sistem TPI menjadi Tebang Pilih Tanam Indo nesia (TPTI) dilakuka n
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts/II/1989 yang
dijabarkan dalam Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor
564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia. Alasan pergantian ini
antara lain untuk menyeimbangkan porsi kegitan pemungutan hasil (yang lebih
menonjol pada sistem TPI) dengan kegiatan pembinaan hutan agar tercapai
kelestarian hutan (Ditjen BPK 2005).
Pada tahun 1993 dilakukan revisi TPTI berdasarkan Keputusan Dirjen
Pengusahaan Hutan Nomor 151/Kpts/IV- BPHH/1993 yang memisahkan organisasi
pembinaan hutan dengan pemungutan hasil (produksi), alokasi anggaran kegiatan
pembinaan hutan yang memadai serta pergeseran beberapa tahapan kegiatan
pe mbinaan hut an.
Sistem tebang pilih (TPI maupun TPTI) masih mempunyai beberapa kelemahan
penanaman/pengayaan (enrichment/planting). Sistem ini juga tidak sesuai diterapkan pada hutan alam Duabanga moluccana di Nusa Tenggara Barat dan
Lophopetalum multinervium di Kalimantan Timur (Ditjen BPK 2005). Sistem TPTI dinilai kurang luwes dan bersifat kaku sehingga sangat sedikit bidang gerak bagi
tenaga kehutanan di lapangan (Suhendang 2008). Menurut Santoso (2008)
kelemahan sistem TPTI adalah:
a. Masih menggunakan asumsi riap 1 cm per tahun, padahal riap diameter pohon
sangat bervariasi tergantung jenis pohon dan kondisi tempat tumbuh
b. Penetapan siklus tebang yang sama untuk setiap kondisi tegakan hutan, yaitu 35
tahun. Seharus nya siklus teba ng ditentukan berdasarkan riap dan dinamika
strukt ur tegakan hutan
c. Penetapan etat volume berdasarkan volume tegakan tersedia (hasil survei) tanpa
memperhitungkan riap tegakan. Cara seperti ini hanya dapat dilakukan hutan
primer namun tidak bisa pada hutan sekunder.
Menurut Wahjono dan Anwar (2008) sistem TPTI hanya dapat diterapkan pada
areal yang berhutan potensial saja, sementara pada areal lain seperti hutan muda
(potensi < 20 m3 per ha), semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong tidak
bisa. Padahal kondisi hutan produksi saat ini sangat bervariasi. Kelemahan lain
sistem TPTI adalah rendahnya produktifitas hutan, yaitu kurang dari 1 m3 per ha per
tahun (Ditjen BPK 2010b).
Menurut Santoso et al. (2008) dengan meningkatnya laju degradasi hutan, rendahnya laju pembangunan hutan tanaman, masih rendahnya perekonomian
masyarakat di sekitar hutan dan meningkatnya kawasan hutan produksi yang tidak
dikelola dengan baik menunjukkan bahwa kinerja pemegang IUPHHK dengan
menerapkan satu sistem silvikultur TPTI belum memenuhi prinsip pengelolaan hutan
lestari.
Minimnya keberhasilan penerapan pengelolaan hutan lestari menyebabkan
kondisi hutan saat ini menyerupai mosaik, karena di dalam kawasan hutan alam
terdapat berbagai tipe penutupan lahan berupa areal terbuka, hutan alam kurang
produktif dan yang masih produktif . Upaya optimalisasi pengelolaan kawasan hutan
yang berbentuk mosaik adalah penerapan multisistem silvikultur (Indrawan 2008;
Santoso et al. 2008).
Menurut Pasaribu (2008) kondisi areal hutan produksi saat ini sudah tidak utuh
hutan, perubahan akibat ekses otonomi daerah serta pengaturan batas areal yang
mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Terfragmentasinya areal
hutan produksi (Suhendang 2008), meningkatnya laju kerusakan hutan (Indrawan
2008) serta rendahnya riap hutan bekas tebangan pada sistem TPTI (Ditjen BPK
2005, 2010b) telah memicu munculnya beberapa sistem silvikultur alternatif.
Menurut Suhendang (2008) paradikma baru pengelolan hutan saat ini adalah
pendekatan pada bentuk hutan alam (close to the natural forest). Menurut Mitlöhner (2009) close to nature forestry adalah upaya pengelolaan hutan alam dengan tetap mempertahankan lapisan strata hutan serta menjaga kelestarian lingkungan, seperti
iklim mikro, tanah, air dan keanekaragaman jenis.
Menurut Coates dan Philip (1997) penebangan hutan dengan sistem celah (gap)
lebih sesua i de ngan ko ndisi hutan alam karena menyerupa i fenomena po hon atau
kelompok pohon yang mati dalam hutan lalu terbentuk regenerasi alam yang baik.
Sistem gap termasuk sistem silvikultur untuk tegakan semua seumur (all-aged stands) dengan penebangan dalam kelompok pohon dalam bentuk gap melingkar (rumpang) atau memanjang (strips). Menurut Pasaribu (2008) teknik silvikultur tebang rumpang menunjukkan hasil yang baik pada kebun percobaan Badan Litbang
Kehutanan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, karena dalam rumpang telah
terjadi regenerasi alam dan membentuk tegakan seumur berlapis seperti tegakan
primer.
Penelitian sistem gap memanjang (strips) telah dilakukan pada beberapa IUPHHK sejak tahun 1993 dengan nama sistem silvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia
(TJTI) yang selanj utnya be ruba h menjadi Teba ng Jalur Tanam Konservasi (TJTK).
Prinsip sistem ini adalah membangun hutan tanaman diantara hutan alam dalam
bentuk jalur selebar 25 – 100 m. Hambatan pelaksanaan sistem ini adalah adanya PP
Nomor 21 tahun 1970 dan PP Nomor 7 tahun 1990 yang melarang pembangunan
hutan tanaman dalam kawasan pengelolaan hutan alam. Kendala ini mengakibatkan
munculnya keinginan untuk menggabungkan kedua PP tersebut. Sistem TJTK
akhi rnya beruba h menjadi sistem Hutan Tanaman Industri de ngan Teba ng Tanam
Jalur (HTI-TTJ) berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
435/Kpts-II/1997 yang dijabarkan dalam pedoman teknis berdasarkan Keputusan Dirjen
Pengusahaan Hutan Nomor 220/Kpts/IV-BPH/1997. Dalam sistem ini jalur tanam
selebar 10 meter. Interval penanaman 5 meter dan jarak antar jalur 25 meter,
sehingga membentuk jarak tanam 5 m x 25 m.
Sistem Hutan Tanaman Industri- Tebang Tanam Jalur (HTI-TTJ) kemudian
diganti menjadi sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) berdasarkan Keputusan
Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 55/Kpts/IV-BPH/1998. Evaluasi sistem TPTJ
menunjukka n hasil yang memuaskan, karena regenerasi terbentuk dengan baik dan
tegakan tinggal serta lingkungan dapat terjaga, sehingga TPTJ dimasukkan sebagai
salah satu sistem silvikultur untuk pengelolan hutan alam produksi berdasarkan
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 309/Kpts-II/1999. Namun pada tahun 2002
keputusan ini dibatalkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
10172/Kpts-II/2002 dan selanjutnya kembali pada sistem TPTI kecuali PT Sari Bumi Kusuma
(Surat Keputusan Menhutbun Nomor 201/Kpts-II/1998) dan PT Erna Juliawati (Surat
Keputusan Menhutbun Nomor 15/Kpts-II/1999).
Hasil yang memuaskan dari pelaksanaan TPTJ pada kedua IUPHHK tersebut
telah menginspirasi para pakar di perguruan tinggi untuk menyempurnakan sistem
silvikultur ini dengan menerapkan teknik silvikultur intensif (silin) melalui
penggunaan bibit unggul, teknik manipulasi lingkungan dan pengendalian hama
terpadu (integrated pest management). Sistem silvikultur hasil penyempurnaan tersebut adalah Tebang Pilih Tanam Indo nesia Intensif (TPTII) yang dikeluarkan
tahun 2005.
2.2.3 Sistem silvikutur TPTII
Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) merupakan kombinasi
sistem tebang pilih dengan limit diameter 40 cm ke atas dan tebang habis dengan
penanaman buatan dalam jalur tanam selebar 3 m. Jarak tanam dalam jalur 2,5 m
dengan lebar jalur antara 17 meter sehingga tanaman membentuk jarak tanam 2,5 m
x 20 m (Ditjen BPK 2005).
Sistem silvikultur yang menerapkan penanaman/pengayaan dalam jalur ini
pertama kali diperkenalkan oleh Aubreville di Afrika Barat dan Afrika Tengah dan
disempurnakan oleh Catinot. Penanaman dalam jalur memungkinkan terbentuk
regenerasi dan pertumbuhan pohon yang baik sebagai respon dari teknik silvikultur
berupa pembukaan kanopi tajuk sehingga intensitas cahaya lebih banyak (Mitlöhner
yang bersifat semi toleran dengan tetap menjaga kualitas tanah (Soekotjo & Subiakto
2005; Wahyudi 2009a).
Sejak tahun 2005 TPTII diujicobakan pada 6 IUPHHK berdasarkan Surat
Keputusan Dirjen BPK Nomor 77/VI-BPHA/2005 tanggal 3 Mei 2005 dan pada
tahun 2007 dikembangkan pada 25 IUPHHK berdasarkan Surat Keputusan Dirjen
BPK Nomor 41/VI-BPHA/2007 tanggal 10 April 2007, termasuk di dalamnya
IUPHHK PT Gunung Meranti. Pedoman teknis sistem TPTII berdasarkan
Keputusan Dirjen BPK Nomor SK. 226/VI-BPHA/2005 tanggal 1 September 2005.
Sistem TPTII bertujuan membangun hutan tropis lestari dinamis, yang dicirikan
dengan selalu meningkatnya potensi dan fungsi hutan, baik dari segi kuantitas
maupun kualitas dari satu rotasi tebang ke rotasi tebang berikutnya. Sedangkan
tujuan khusus penerapan sistem ini adalah membangun hutan sebagai transisi menuju
hutan tanaman meranti dan unt uk menjamin fungsi hutan yang optimal (Ditjen BPK
2005).
Penerapan sistem TPTII tahap ke-2 pada 25 IUPHHK model hanya dilakukan
pada 10% dari luas areal pengelolaan, selebihnya masih menggunakan sistem TPTI.
Dengan demikian dalam satu unit pengelolaan hutan dapat menerapka n dua sistem
silvikultur, dan hal ini merupakan wujud penggunaan multisistem silvikultur.
Keniscayaan ini telah diatur dalam PP Nomor 6 tahun 2007 jo. Nomor 3 tahun 2008
pasal 34 dan 38 yang menyatakan bahwa “Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan
alam pada hutan produksi dapat dilakukan denga n satu atau lebih sistem silvikultur,
sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan atau lingkungannya“. Saat ini,
penerapan multisistem silvikultur pada hutan alam produksi yang telah berbentuk
mosaik merupakan suatu keharusan untuk meningkatkan produktifitas serta menjaga
kepastian dan keutuhan kawasan hutan produksi.
Menurut Ditjen BPK (2005) dan Soekotjo (2009) pengelolaan hutan dengan
sistem TPTII dengan jumlah bibit 200 batang per hektar seluas minimal 1000 hektar
per tahun selama 30 tahun akan dihasilkan luasan 30.000 hektar, dijamin dapat
menjadi areal pengelolaan hutan yang lestari. Denga n asumsi diameter pohon tebang
rata-rata 50 cm per 30 tahun sebanyak 160 pohon per hektar, akan dihasilkan
standing stock sebanyak 400 m3 per hektar, belum termasuk tegakan sisa yang masih dapat dimanfaatkan.
Dengan meningkatnya produktifitas hutan, maka luas areal hutan alam yang