2 TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Perkembanga n Sistem Silvikultur
2.2.2 P erkembanga n sistem silvikultur di Indonesia
Sejarah perjalanan sistem silvikultur di Indonesia diawali dari Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1970 (yang merupakan penjabaran dari UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, UU Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri) yang menyebutkan bahwa hutan produksi dapat diusahakan dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan.
Sistem silvikultur yang dipakai dalam mengelola hutan alam produksi adalah Tebang Pilih Indonesia (TPI) berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Kehutanan Nomor 35/Kpts/DD/I/1972 tanggal 13 Maret 1972. Namun sistem ini mempunyai kelemahan pada ketidakpastian besaran limit diameter serta jumlah pohon inti yang harus ditinggalkan per ha.
Pada tahun 1980, Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan melakukan revisi terhadap ketentuan limit diameter dan jumlah pohon inti menjadi Ø ≥ 25 cm
sebanyak 25 pohon per ha serta menambah ketentuan yang disesuaikan dengan kondisi hutan eboni campuran dan ramin campuran. Pada tahun 1987 dibentuk tim materi diskusi penyempurnaan pedoman TPI dari Badan Litbang Kehutanan, Fakultas Kehutanan IPB dan Fakultas Kehutanan UGM.
Pergant ian sistem TPI menjadi Tebang Pilih Tanam Indo nesia (TPTI) dilakuka n berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts/II/1989 yang dijabarkan dalam Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia. Alasan pergantian ini antara lain untuk menyeimbangkan porsi kegitan pemungutan hasil (yang lebih menonjol pada sistem TPI) dengan kegiatan pembinaan hutan agar tercapai kelestarian hutan (Ditjen BPK 2005).
Pada tahun 1993 dilakukan revisi TPTI berdasarkan Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 151/Kpts/IV- BPHH/1993 yang memisahkan organisasi pembinaan hutan dengan pemungutan hasil (produksi), alokasi anggaran kegiatan pembinaan hutan yang memadai serta pergeseran beberapa tahapan kegiatan pe mbinaan hut an.
Sistem tebang pilih (TPI maupun TPTI) masih mempunyai beberapa kelemahan antara lain sulit mengontrol hasil kegiatan pembinaan hutan, terutama hasil
penanaman/pengayaan (enrichment/planting). Sistem ini juga tidak sesuai diterapkan pada hutan alam Duabanga moluccana di Nusa Tenggara Barat dan
Lophopetalum multinervium di Kalimantan Timur (Ditjen BPK 2005). Sistem TPTI dinilai kurang luwes dan bersifat kaku sehingga sangat sedikit bidang gerak bagi tenaga kehutanan di lapangan (Suhendang 2008). Menurut Santoso (2008) kelemahan sistem TPTI adalah:
a. Masih menggunakan asumsi riap 1 cm per tahun, padahal riap diameter pohon sangat bervariasi tergantung jenis pohon dan kondisi tempat tumbuh
b. Penetapan siklus tebang yang sama untuk setiap kondisi tegakan hutan, yaitu 35 tahun. Seharus nya siklus teba ng ditentukan berdasarkan riap dan dinamika strukt ur tegakan hutan
c. Penetapan etat volume berdasarkan volume tegakan tersedia (hasil survei) tanpa memperhitungkan riap tegakan. Cara seperti ini hanya dapat dilakukan hutan primer namun tidak bisa pada hutan sekunder.
Menurut Wahjono dan Anwar (2008) sistem TPTI hanya dapat diterapkan pada areal yang berhutan potensial saja, sementara pada areal lain seperti hutan muda (potensi < 20 m3 per ha), semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong tidak bisa. Padahal kondisi hutan produksi saat ini sangat bervariasi. Kelemahan lain sistem TPTI adalah rendahnya produktifitas hutan, yaitu kurang dari 1 m3 per ha per tahun (Ditjen BPK 2010b).
Menurut Santoso et al. (2008) dengan meningkatnya laju degradasi hutan, rendahnya laju pembangunan hutan tanaman, masih rendahnya perekonomian masyarakat di sekitar hutan dan meningkatnya kawasan hutan produksi yang tidak dikelola dengan baik menunjukkan bahwa kinerja pemegang IUPHHK dengan menerapkan satu sistem silvikultur TPTI belum memenuhi prinsip pengelolaan hutan lestari.
Minimnya keberhasilan penerapan pengelolaan hutan lestari menyebabkan kondisi hutan saat ini menyerupai mosaik, karena di dalam kawasan hutan alam terdapat berbagai tipe penutupan lahan berupa areal terbuka, hutan alam kurang produktif dan yang masih produktif . Upaya optimalisasi pengelolaan kawasan hutan yang berbentuk mosaik adalah penerapan multisistem silvikultur (Indrawan 2008; Santoso et al. 2008).
Menurut Pasaribu (2008) kondisi areal hutan produksi saat ini sudah tidak utuh lagi yang disebabkan penataan ruang untuk pembangunan non kehutanan, kebakaran
hutan, perubahan akibat ekses otonomi daerah serta pengaturan batas areal yang mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Terfragmentasinya areal hutan produksi (Suhendang 2008), meningkatnya laju kerusakan hutan (Indrawan 2008) serta rendahnya riap hutan bekas tebangan pada sistem TPTI (Ditjen BPK 2005, 2010b) telah memicu munculnya beberapa sistem silvikultur alternatif.
Menurut Suhendang (2008) paradikma baru pengelolan hutan saat ini adalah pendekatan pada bentuk hutan alam (close to the natural forest). Menurut Mitlöhner (2009) close to nature forestry adalah upaya pengelolaan hutan alam dengan tetap mempertahankan lapisan strata hutan serta menjaga kelestarian lingkungan, seperti iklim mikro, tanah, air dan keanekaragaman jenis.
Menurut Coates dan Philip (1997) penebangan hutan dengan sistem celah (gap)
lebih sesua i de ngan ko ndisi hutan alam karena menyerupa i fenomena po hon atau kelompok pohon yang mati dalam hutan lalu terbentuk regenerasi alam yang baik. Sistem gap termasuk sistem silvikultur untuk tegakan semua seumur (all-aged
stands) dengan penebangan dalam kelompok pohon dalam bentuk gap melingkar
(rumpang) atau memanjang (strips). Menurut Pasaribu (2008) teknik silvikultur tebang rumpang menunjukkan hasil yang baik pada kebun percobaan Badan Litbang Kehutanan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, karena dalam rumpang telah terjadi regenerasi alam dan membentuk tegakan seumur berlapis seperti tegakan primer.
Penelitian sistem gap memanjang (strips) telah dilakukan pada beberapa IUPHHK sejak tahun 1993 dengan nama sistem silvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) yang selanj utnya be ruba h menjadi Teba ng Jalur Tanam Konservasi (TJTK). Prinsip sistem ini adalah membangun hutan tanaman diantara hutan alam dalam bentuk jalur selebar 25 – 100 m. Hambatan pelaksanaan sistem ini adalah adanya PP Nomor 21 tahun 1970 dan PP Nomor 7 tahun 1990 yang melarang pembangunan hutan tanaman dalam kawasan pengelolaan hutan alam. Kendala ini mengakibatkan munculnya keinginan untuk menggabungkan kedua PP tersebut. Sistem TJTK akhi rnya beruba h menjadi sistem Hutan Tanaman Industri de ngan Teba ng Tanam Jalur (HTI-TTJ) berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 435/Kpts-II/1997 yang dijabarkan dalam pedoman teknis berdasarkan Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 220/Kpts/IV-BPH/1997. Dalam sistem ini jalur tanam dipersempit menjadi 3 meter namun dilakukan pembuatan jalur bebas naungan
selebar 10 meter. Interval penanaman 5 meter dan jarak antar jalur 25 meter, sehingga membentuk jarak tanam 5 m x 25 m.
Sistem Hutan Tanaman Industri- Tebang Tanam Jalur (HTI-TTJ) kemudian diganti menjadi sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) berdasarkan Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 55/Kpts/IV-BPH/1998. Evaluasi sistem TPTJ menunjukka n hasil yang memuaskan, karena regenerasi terbentuk dengan baik dan tegakan tinggal serta lingkungan dapat terjaga, sehingga TPTJ dimasukkan sebagai salah satu sistem silvikultur untuk pengelolan hutan alam produksi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 309/Kpts-II/1999. Namun pada tahun 2002 keputusan ini dibatalkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10172/Kpts-II/2002 dan selanjutnya kembali pada sistem TPTI kecuali PT Sari Bumi Kusuma (Surat Keputusan Menhutbun Nomor 201/Kpts-II/1998) dan PT Erna Juliawati (Surat Keputusan Menhutbun Nomor 15/Kpts-II/1999).
Hasil yang memuaskan dari pelaksanaan TPTJ pada kedua IUPHHK tersebut telah menginspirasi para pakar di perguruan tinggi untuk menyempurnakan sistem silvikultur ini dengan menerapkan teknik silvikultur intensif (silin) melalui penggunaan bibit unggul, teknik manipulasi lingkungan dan pengendalian hama terpadu (integrated pest management). Sistem silvikultur hasil penyempurnaan tersebut adalah Tebang Pilih Tanam Indo nesia Intensif (TPTII) yang dikeluarkan tahun 2005.