• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1.3 Faktor lingkungan

Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman meranti (Shorea leprosula) dapat dikelompokka n menjadi dua, yaitu faktor iklim dan faktor tanah (Fisher & Binkley 2000; Kozlowski & Pallardy 1997; Nair 1993). Faktor iklim terdiri dari curah hujan, cahaya, suhu, kelembaban, angin dan letak geografi berdasarkan garis lintang (geographic latitude). Sedangkan faktor tanah terdiri dari kelerengan (slope), aspek (aspect), ketinggian (altitute), drainase, sifat fisik, kimia dan biologi tanah.

a. Kelerengan

Hasil analisis data pertumbuhan tanaman Shorea leprosula pada kelerengan datar-sedang (0%-15%) dan kelerengan agak curam-curam (15%-30%) ternyata tidak berbeda nyata (terima H0) yang ditunjukkan oleh nilai t hitung untuk uji diameter dan tinggi masing- masing hanya sebesar 0,36 dan 0,56 yang lebih kecil dibanding nilai t tabel sebesar 12,71 (Lampiran 2). Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan diameter maupun tinggi tanaman meranti relatif seragam pada semua lokasi penelitian, baik pada kelerengan datar- landai maupun agak curam-curam.

Fakta tersebut mengindikasikan bahwa tingkat kesuburan tanah pada jalur tanam dengan kelerengan agak curam sampai curam masih terjaga dengan baik. Lapisan serasah serta humus masih banyak terdapat dilantai hutan sehingga masih dapat mempertahanka n kesuburan tanah da n mendukung pertumbuhan tanaman secara optimal. Keadaan ini juga didukung oleh kegiatan pemulsaan yang dilakukan perusahaan pada kegiatan perawatan tanaman. Pemulsaan dikerjakan dengan cara menabur humus dan serasah yang didapatkan dari lantai hutan yang tertutup ke tempat tanaman dalam jalur tanam yang relatif terbuka.

b. I ntensitas cahaya

Hasil pengukuran tingkat penutupan tajuk pada jalur tanam menggunakan densiometer (Stuckle et al. 2001) berkisar antara 25-65 densiometer scale (ds) pada kelerengan datar- landai dan 35-60 ds pada kelerengan agak curam-curam. Dengan demikian tingkat penutupan tajuk pada jalur tanam di lokasi penelitian berada pada kelompok penutupan tajuk 1 (1-25 ds), 2 (26-50 ds) dan 3 (51-75 ds) namun rata-rata berada dalam kelompok penutupan tajuk 3 dengan skor 52,1 ds pada kelerengan

datar- landai dan skor 55 ds pada kelerengan agak curam-curam. Gambaran tingkat penutupan tajuk dengan skor 51 ds di jalur tanam terlihat pada Gambar 9 dan data selengkapnya hasil pengukuran tingkat pembukaan kanopi pada jalur tanam dan jalur antara disajikan pada Lampiran 3.

Gambar 9. Gambaran tingkat penutupan tajuk dengan skor 51 berdasarkan skala densiometer (ds). Jalur tanam lebar 3 m (a) tampak horisontal (b) tampak vertikal

Dengan memperhatikan skala densiometer antara 0 (terbuka penuh) sampai 96 (tertutup rapat), maka areal penelitian pada kelerengan datar- landai mempunyai intensitas cahaya sekitar 32,3% sampai 73,96% atau rata-rata 45,73% sedangkan pada kelerengan agak curam-curam mempunyai intensitas cahaya sekitar 37,5% sampai 63,54% atau rata-rata 42,71%. Dengan demikian pembuatan jalur selebar 3 meter dalam sistem TPTII telah menciptakan ruang tumbuh bagi tanaman Shorea leprosula dengan intensitas cahaya rata-rata 44,22%. Kegiatan pembebasan vertikal masih diperlukan untuk memberi ruang tumbuh yang lebih baik bagi pertumbuhan tanaman. Menurut petunjuk teknis sistem TPTII (Ditjen BPK 2005), pembebasan vertikal masih diperlukan sampai tanaman berumur 3 tahun dan penjarangan dilakukan pada saat tanaman berumur 5 dan 10 tahun.

Kegiatan pembebasan disamping dapat mempercepat pertumbuhan tanaman juga mempengaruhi arsitek tanaman. Menurut Soekotjo (2009) tegakan yang terlalu rapat menyebabkan perlambatan pertumbuhan diameter sehingga tumbuhan nampak kurus (tinggi) dan sebaliknya apabila terlalu jarang maka pertumbuhan diameter akan dominan sehingga tumbuhan nampak gemuk (pendek). Kegiatan pembebasan sangat diperlukan untuk memberi ruang tumbuh yang optimal bagi pertumbuhan dan menjaga kualitas batang tanaman.

Sampai saat ini belum ada tabel tegakan untuk tanaman meranti, khususnya di tanah marginal (podsolik merah kuning). Apabila kegiatan penanaman meranti telah banyak dilakukan dan telah mencapai daurnya, maka peluang untuk menyusun tabel tegakan meranti sangat terbuka lebar, sehingga akan membantu dalam proses pembangunan hutan tanaman meranti yang lebih baik.

Ketersediaan cahaya adalah faktor pembatas yang paling utama dalam pertumbuhan permudaan Dipterocarpaceae di lantai hutan. Kanopi hutan yang sangat rapat menyebabkan permudaan tingkat semai, mengalami staknasi pertumbuhan (MacKinnon et al. 2000). Menurut Mori (2001) dan Romell (2007), pertumbuhan tanaman dalam jalur tanam lebih banyak disebab faktor cahaya yang berasal dari pembukaan jalur, disamping faktor lain yang menyertai sebagai efek dari pembukaan jalur tersebut, seperti suhu dan kelembaban. Namun perlu diwaspadai efek kenaikan suhu terhadap akumulasi bahan organik dalam jalur tanam, karena menurut Kikuchi (1996), suhu udara yang meningkat akan mengurangi kandung bahan organik. Faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah sifat fisik, k imia dan biologi tanah.

Tanaman Shorea leprosula dalam jalur tanam disamping telah mendapatkan cahaya dari pembukaan jalur, juga diberi perlakuan berupa pendangiran dan pemulsaan setiap 6 bulan (sampai berumur 4 tahun) da n penyulaman dilakukan pada tahun pertama dan kedua. Kegiatan pembebasan dilakukan tahun ke-1 dan ke-3 dan pada tahun ke-5 dan ke-10 direncanakan akan dilakukan kegiatan penjarangan. Pembebasan yang dilakukan secara bertahap bertujuan untuk mempertahankan tingkat penutupan tajuk dengan intensitas cahaya yang optimal untuk pertumbuhan tanaman.

c. Tanah

Jenis tanah di lokasi penelitian adalah podsolik merah kuning (PMK) dengan tekstur geluh, lempung pasiran (sandy clay loam) pada permukaan (lapisan A) dan lempung (caly) pada lapisan AB dan B. Sedangkan struktur tanah berbentuk gumpal dengan agregat kurang stabil dan pada lapisan bawah (AB dan B) mempunyai permeabilitas yang rendah. Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah disajikan dalam Lampiran 13.

Tanah PMK termasuk mineral masam dan bermasalah di Indonesia (Sutedjo & Kartasapoetra 1991). Tanah PMK mempunyai ciri utama sebagai berikut:

1) Terbentuk pada daerah dengan curah hujan antara 2.500 hingga 3.000 mm tiap tahun dengan bulan kering lebig dari 3 bulan.

2) Terhampar pada lanskap tua bergelombang hingga berbukit dan berada pada ketinggian lebih dari 25 m diatas permukaan laut.

3) Tekstur tanah adalah liat, struktur blok di lapisan bawah, konsistensi teguh, serta dijumpai adanya plintit serta konkresi besi.

4) Kemasaman tanah umumnya tinggi dengan pH kurang dari 5,5. 5) Kadar bahan organik berkisar dari rendah hingga sedang.

6) Kapasitas tukar kation umumnya kurang dari 24 me/100g liat dan kejenuhan basa kurang dari 35 %.

7) Permeabilitas lambat sampai baik da n sangat peka terhadap erosi.

Tanah PMK disamping mempunyai pH dan kadar hara NPK yang rendah, kadar almunium dapat dipertukarkan cukup tinggi dapat menjadi faktor pembatas dan racun bagi tanaman. Fosfor yang ada didalam tanah atau yang ditambahkan dalam bentuk pupuk akan segera diikat oleh Al menjadi bentuk P yang tidak larut dan tidak tersedia bagi tanaman. Masalah lain yang ditemukan pada tanah PMK adalah rendahnya unsur-unsur hara penting serta kapasitas memegang air yang rendah. Perba ika n kesuburan podsolik merah kuning dapat dilakukan melalui pangapuran. Menur ut McKinnon et al. (2000) tanah PMK di Kalimantan tergolong tanah marginal yang memiliki kesuburan dan pH tanah yang rendah dengan kandungan Fe and Al yang relatif tinggi sehingga keberadaan P menjadi tidak tersedia.

Berdasarkan hasil analisis sifat fisik tanah pada horison A (kedalaman sampai 25 m) kandungan liat pada jalur tanam sebesar 28,93% dan jalur antara sebesar 32,06%. Dengan asumsi semua liat termasuk monmorilonit, maka kemampuan tanah di jalur tanam untuk menyimpan bahan organik (BO) sebesar 57.860 kg BO/ha dan pada tanah di jalur antara sebesar 64.120 kg BO/ha. Dengan demikian tekstur tanah, terutama liat, telah mengalami sedikit perubahan yang dapat mengganggu kemampuannya menahan bahan organik. Tanah di jalur antara masih terlindungi dengan baik dibanding tanah pada jalur tanam yang telah mengalami pembukaan tajuk. Kandungan ba han or ganik pada tanah di jalur antara lebih tinggi, yaitu 35,77% dibanding tanah di jalur tanam sebesar 21,57% atau mengalami penurunan sebesar 39,69%. Penurunan yang besar ini disebabkan oleh pembukaan tajuk di jalur tanam yang menyebabkan berkurangnya lapisan serasah dan humus di lantai hutan

serta kenaikan suhu udara, karena menurut Kikuchi (1996) suhu udara yang meningkat akan berdampak pada penurunan kandung bahan organik.

Kapasitas tukar kation pada tanah di jalur antara juga lebih tinggi, sebesar 13,26 me/100 gr, dibanding tanah di jalur tanam sebesar 6,5 me/100 gr. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa kandungan unsur hara tersedia dalam tanah di jalur antara lebih baik dibanding tanah di jalur tanam. Namun yang perlu diperhatikan adalah kejenuhan basa yang mengindikasikan ketersediaan unsur-unsur basa yang diperlukan tanaman, seperti Ca, Mg, K dan Na. Meskipun tidak berbeda cukup jauh, namun secara umum kandungan N, P, K, Na, Fe, Mn, Zn pada tanah di jalur antara lebih besar diba nding tanah di jalur tanam namun. Kandungan Ca dan Mg pada kedua lokasi tersebut juga tidak jauh berbeda meskipun kelihatan lebih besar pada jalur antara. Sebagai contoh pada horison A, kandungan Mg pada tanah di jalur antara dan jalur tanam tidak berbeda, yaitu sebesar 0,41 me/100 gr atau sebesar 99,67 kg Mg/ ha.

Mengingat analisis kimia tanah ini hanya dilakukan satu kali maka belum dapat dijadikan indikator kecenderungan perubahan sifat kimia tanah, khususnya pada jalur tanam. Pada penelitian selanjutnya sangat diharapkan adanya analisis kimia tanah lanjutan pada lokasi yang sama untuk mengetahui arah perubahannya dalam rangka memperbaiki pengelolaan tempat tumbuh untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang dikembangkan dalam jalur tanam secara lestari dan lebih produktif. Sebagai bahan acuan, menurut Pamoengkas (2006) kondisi hutan di areal penanaman dalam jalur tanam telah menunjukkan kecenderungan perbaikan kualitas tanah setelah 3 sampai 4 tahun.

Salah satu resiko yang akan dijumpai pada pembukaan tajuk di jalur antara adalah peningkatan erosi. Menurut Ditjen BPK (2010b) pada sistem TPTJ tingkat erosi pada jalur antara rata-rata sebesar 15,75 ton/ha/th dan pada jalur tanam rata-rata sebesar 23,62 ton/ha/th dan keduanya masih berada dalam katagori ringan (Ditjen BPK 2010b).

Upaya untuk memperbaiki sifat kimia tanah dilakukan dengan cara pemulsaan, yaitu mengembalikan humus ke dalam lubang tanam serta menutup permukaan tanah di sekitar tanaman dengan serasah dan humus yang tersedia di kanan dan kiri jalur. Kegiatan ini dilakukan setiap 6 bulan sekali selama 4 tahun ditambah kegiatan pendangiran, penyulaman dan pembebasan.

Secara umum kondisi kesesuaian lahan pada areal kerja IUPHHK PT Gunung Meranti berada dalam kisaran S2, S3 dan N yang berarti semua lahan tersebut mempunyai faktor pembatas namun masih cocok untuk tanaman keras dengan memberi sejumlah input (PT GM 2008a). Lahan S2 berarti cukup sesuai (moderatly

suitable). Lahan ini mempunyai pembatas yang cukup untuk mempertahankan

tingkat pengelolaan yang diberika n. Lahan S3 berarti hampir sesuai (marginally suitable). Lahan ini mempunyai fakor pembatas yang berat untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang diberikan. Pembatas akan mengurangi produksi sehingga dapat meningkatkan masukan (input) yang diperlukan. Lahan N berarti tidak sesuai pada saat ini (currently non suitable). Lahan ini mempunyai pembatas yang sangat berat tetapi masih dapat diatasi atau diperbaiki dengan tingkat penge lolaan tertentu dan de ngan biaya rasional.