2 TINJAUAN PUSTAKA
2.3 Pertumbuhan dan Has il
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil (growth and yield) po hon ada lah genetik (Finkeldey 1989; Hani’in 1999; Kumar & Matthias 2004; Na’iem & Pamuji 2006), lingkungan atau tempat tumbuh (Fisher & Binkley 2000; Kozlow ski & Pallardy 1997; Soekotjo 1995) dan teknik silvikultur (Coates & Philip 1997; Halle et al. 1978; Pasaribu 2008; Santoso et al. 2008). Bagan alir faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil pohon terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil po hon
Sistem silvikultur biasanya mengandung beberapa teknik silvikultur serta serangkaian perlakuan yang harus diberikan pada tanaman atau tegakan. Para praktisi dapat mengembangkan dan merekayasa teknik silvikultur dalam ruang lingkungan sistem yang masih dipe rke nanka n. Pengendalian hama da n penyakit tanaman merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari teknik silvikultur. Belakangan berkembangan teknik pengendalian hama terpadu (Integrated Pest
Sistem silvikultur Iklim A
Teknik silvikultur Iklim B
Pengendalian Iklim C hama terpadu Metabolisme Udara Arsitek pohon Cahaya Suhu Tekstur tanah Struktur tanah Anakan alam KTK Keasaman tanah
Tegakan benih Mineral tanah
Iklim mikro
Kebun benih Mikroorganisme
Mikoriza
a bit of blood Rhizobium
Tree superior Biomassa
Pemuliaan pohon Genetik Lingkungan Silvikultur Iklim Tanah Arah lereng Ketinggian Kelerengan Sifat fisik Sifat kimia Biologi tanah Pencucian Erosi Unsur hara Arsitek akar Kerapatan Pertumbuhan dan Hasil Presipitasi Cahaya Suhu udara Kelembaban Angin Letak geografi Fotosintesis Air tanah Katalisator Serapan hara
Management) yang menekankan pada teknik pengendalian hama yang ramah lingkungan menggunakan predator, parasit hama dan meningkatkan kualitas (kesehatan) po hon (biocontrol).
Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil pohon adalah iklim dan tanah. Faktor iklim banyak ditent uka n oleh curah huj an, intensitas cahaya, suhu, kelembaban, kecepatan angin dan letak geografis. Sedangkan faktor tanah banyak dipengaruhi oleh sifat kimia, fisika dan biologi tanah serta ketinggian, kelerengan dan arah lereng.
Faktor bawaan atau genetik po hon memegang perana n cukup pe nting da lam mengontrol pertumbuhan pohon. Penggunaan bibit unggul hasil pemuliaan tanaman diperkirakan dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil hingga 2-4 kali (Danida & Dephut 2001). Karakteristik genetik dalam suatu spesies berhubungan erat dengan perilaku sel, arsitektur pohon dan akar, hormon, zat pengatur tumbuh dan tingkat pembentukan serat (Kozlowski & Pallardy 1994; Landsberg 1986). Upa ya untuk meningkatkan kualitas genetik benih dan bibit tanaman hutan hingga saat ini masih mengandalkan pada tegakan benih dan kebun benih.
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.10/Menhut-II/2007 tanggal 13 Maret 2007, tegakan benih teridentifikasi adalah sumber benih dengan kualitas rata-rata yang digunakan untuk menghasilkan benih dan lokasinya dapat diidentifikasikan dengan tepat. Sedangkan tegakan benih terseleksi adalah sumber benih dengan pohon fenotipa bagus yang mempunyai sifat penting antara lain batang lurus, tidak cacat dan percabangan ringan.
Tegaka n benih (seed stand) adalah areal tegakan yang dipilih untuk menghasilkan benih dan bibit berkualitas tinggi melalui pohon-po hon induk yang terdapat di dalamnya. Penunjukkan tegakan benih juga didasarkan pada kemampuan berbuah pohon induk untuk dapat menyuplai benih dan bibit bagi keperluan persemaian dan penanaman. Tegakan benih dalam IUPHHK dikenal dengan nama Areal Sumber Daya Genetik (ASDG), diwajibkan dibuat seluas 100 ha dalam setiap 5 blok kerja tahunan (dulu bernama blok RKL) sehingga secara keseluruhan, setiap IUPHHK wajib mempunyai 700 ha ASDG (PT GM 2008a).
Tegakan benih yang telah dikelola dengan baik serta mempunyai sekat isolasi yang memisahkan dengan tegakan lain dapat menjadi kebun benih. Dengan program pemuliaan pohon seperti ini diharapka n kualitas tegakan hutan akan semakin meningkat melalui kegiatan penanaman dan pengayaan menggunakan bibit unggul
yang dilakukan setiap tahun. Pemilihan pohon induk dalam tegakan benih menggunakan kriteria antara lain sebagai pohon peninggi, mempunyai diameter paling besar diantara yang lain, bebas cabang yang tinggi, bentuk batang lurus dan silindris, bentuk tajuk silindris dan seimbang, riap tinggi dan bebas dari hama dan penyakit (Hani’in 1999; Soekotjo 2009).
Menurut Soekotjo (1995) variabel yang mempengaruhi riap tanaman adalah jenis, sumber benih, jenis yang dimuliakan, manipulasi atribut lingkungan, teknik silvikultur yang dipakai serta kelas diameter. Pemilihan jenis yang tepat untuk tujuan budidaya sangat berpengaruh terhadap nilai yang dihasilkan. Jenis unggul hasil pemuliaan pohon mempunyai riap yang lebih besar (inherent growth rate). Pada kelas diameter yang berbeda, meskipun pada pohon yang sama, dapat mempunyai riap yang berbeda (reit of growth). Pada lokasi yang berbeda, meskipun jenisnya sama, dapat mempunyai riap yang berbeda pula. Sebagai contoh, pe nelitian pertumbuhan meranti di hutan Semengoh (Serawak) menunjukkan bahwa Shorea stenoptera mempunyai riap 79% lebih besar dibanding Shorea pinanga pada kondisi lingkungan yang sama. Dan pe nanaman Shorea macrophylla di Kalbar menunjukkan riap yang lebih besar dibandingkan penanaman di Kalsel.
Dengan demikian, menurut Soekotjo (1995) informasi tentang riap harus dilengkapi dengan data inherent growth dan reit of growth dan infor masi da ta riap bersifat spesifik untuk setiap tempat tumbuh sehingga tidak dapat digunakan untuk memprediksi riap tanaman sejenis pada tempat yang berbeda.
Pertumbuhan atau riap (increment) adalah pertambahan tumbuh tanaman, baik pertumbuhan diameter, tinggi, volume, jumlah daun, berat bersih dan lain- lain da lam satuan waktu tertentu. Menurut Bettinger et al. (2009) dan Nyland (1996) pertumbuhan pohon dapat digambarkan sebagai riap tahunan berjalan (curren annual increment=CAI) dan riap tahunan rata-rata (mean annual increment=MAI). CAI menunjukkan pertumbuhan tanaman setiap tahun, sedangkan MAI menunjukkan pertumbuhan rata-rata da lam waktu tertentu, yang dihitung berdasarkan data terakhir dibagi dengan umur. Akumulasi pertumbuhan, CAI dan MAI digambarkan dalam bentuk grafik untuk menentukan daur tanaman. Daur tanaman sebaiknya ditentukan pada saat kurva MAI bertemu dengan CAI, setidaknya pada tahap ke-2. Pada tahap ke-3 tanaman sudah tidak memberi pertambahan pertumbuhan. Kurva pertumbuhan tanaman dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Kurva pertumbuhan po hon (CAI dan MAI)
Menurut Ditjen BPK (2005) dan Soekotjo (2009) pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTII dengan jumlah bibit 200 batang per hektar akan dihasilka n standing stock sebanyak 400 m3/ha setelah 30 tahun dari pohon berdiameter 50. Asumsi tersebut menyatakan bahwa MAI diameter tanaman meranti (Shorea leprosula, S.johorensis, S.platyclados, S.macrophylla, S.parfivolia, S.selanica dan S.smithiana) pada jalur bersih sistem TPTII sebesar 1,67 cm/ th atau 13,33 m3 /ha/th. Sementara itu, data lain menunjukkan bahwa MAI diameter Shorea platyclados di Sumatera Utara sebesar 1,32 cm /th (Ditjen Hut 1980) dan Shorea leprosula, S. ovalis serta S. parvifolia sebesar 10 m3/ha/th (Hutan Industri 1958 dalam Manan 1995).
Soekotjo (1995) yang mengutip riap beberapa tanaman Shorea spp di komplek hutan Semengoh (Serawak) menyatakan bahwa Shorea pinanga umur 38 tahun yang ditanam dengan jarak 4,5 m x 4,5 m mempunyai diameter 31,35 cm dengan kisaran riap diameter 0,49 - 1,24 cm /th. Shorea splendica umur 35 tahun yang ditanam dengan jarak 3,6 m x 3,6 m mempunyai diameter 31,62 cm dengan kisaran riap diameter 0,53 - 1,39 cm /th. Shorea stenoptera umur 34 tahun yang ditanam dengan jarak 3,5 m x 3,6 m mempunyai kisaran riap diameter 0,53 - 1,39 cm /th. Meskipun tidak menyebutkan data kuantitatif, Soekotjo (1995) menyebutkan bahwa pertumbuhan Shorea macrophylla di Kalbar lebih tinggi dibanding di Kalsel dan seba liknya Shorea stenoptera di Kalsel tumbuh lebih baik dibanding di Kalbar.
Akumulasi pertumbuhan
CAI Pertumbuhan
MAI
Tahap ke-1 Tahap ke-2 Tahap ke-3 Waktu
Data pertumbuhan da n hasil (growth and yield) tanaman meranti sangat bervariasi. Penelitian yang lebih mendalam terhadap faktor-faktor yang mempe ngaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman perlu dilakukan agar data riap tegakan dan prediksi hasil yang diperoleh lebih akurat, spesifik dan komprehensip dalam setiap kondisi tempat tumbuh dan teknik silvikultur. Dengan demikian riap tanaman meranti dalam jalur bersih sistem TPTII dipengaruhi oleh jenis pohon, genetik, sistem dan teknik silvikultur, rekayasa lingkungan dan pengendalian hama terpadu.
Tingkat penerapan teknik silvikultur dipengaruhi oleh kondisi tempat tumbuh atau lingkungan di sekitarnya. Salah satu faktor yang membentuk kondisi tempat tumbuh adalah kelerengan (slope) karena berkaitan erat dengan pencucian hara (leaching) dan erosi yang disebabkan aliran permukaan sehingga dapat mengurangi ketersediaan unsur hara bagi tanaman (Fisher & Dan-Bink ley 2000; Siswomartono 1989; Soemarwoto 1991). Makin tinggi tingkat kelerengan makin rendah kapasitas infiltrasi tanah karena makin tinggi aliran permukaan sehingga dapat mempengaruhi ketersediaan air tanah (Lee 1990). Kerapatan, arsitek akar dan ketahanan fisik tanaman juga dapat dipengaruhi oleh kelerengan. Diperkirakan faktor kelerengan dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan tanaman dan turut menentukan hasil yang akan diperoleh pada akhir rotasi.