• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5) Pe modelan pertumbuhan tanaman Shorea leprosula

5.2 Tegakan Tinggal dalam Jalur Antara

5.2.4 Model pertumbuhan dan has il tegakan tinggal

Simulasi terhadap parameter-parameter vegetasi dan lingkungan serta interaksi antara keduanya dapat dipergunakan untuk menentukan siklus tebang yang sesuai dengan kondisi hutan. Kerangka pemikiran dalam pemodelan dinamika tegakan hutan berpedoman pada aspek kelestarian, baik kelestarian hutan maupun kelestraian produksi. Siklus tebang sebaiknya ditetapkan berdasarkan aspek kelestarian yang dicirikan dengan pulihnya struktur dan komposisi tegakan serta tercapainya volume produksi seperti semula (sebelum ditebang).

a. Batasan model dan formulasi diagram umpan balik

Sistem silvikultur TPTII mempunyai dua lokasi pengelolaan, yaitu jalur tanam dengan sistem tebang habis permudaan buatan dan jalur antara dengan sistem tebang pilih. Sistem tebang pilih (selective cutting) dijalanka n de ngan meneba ng po hon-pohon komersial dengan limit diameter 40 cm ke atas, kemudian membuat jalur tanam dengan lebar 3 meter melalui tebang habis (clear cutting). Pada siklus ke-2, tegakan tinggal hanya berada pada areal seluas 85% (=17/20 x100%) dari areal semula (siklus ke-1) karena telah terdapat jalur tanam sebesar 15%.

Kel meranti : N =193,59e-0,0551DBH ……… R2= 0,9630

Kel dipt non meranti : N =90,055e-0,0674DBH ……… R2= 0,8903

Kel kom lain ditebang : N =27,091e-0,0523DBH ……… R2= 0,8023

Pemodelan menggunakan diagram aliran stok berupa kerapatan pohon (N/ha) yang diawali dari pohon berdiameter 10-19 cm (tingkat tiang). Kerapatan tiang (kelas diameter 10-19 cm) mendapat input berupa ingrowth dari tingkat pancang dan tingkat pancang dari semai sedangkan output-nya berupa ke matian (mortality) yang disebabkan oleh efek tebangan maupun persaingan alami yang merupakan fungsi dari kerapatan semua tegakan. Makin tinggi kerapatan tegakan maka semakin rendah pertumbuhannya. Namun demikian baik ingrowth maupun upgrowth sangat ditentukan oleh pertumbuhan po hon itu sendiri. Diagram umpan balik dinamika tegakan tinggal dapat dilihat pada Gambar 19.

Gambar 19. Diagram umpan balik dinamika tegakan hutan

Pertumbuhan po hon mendapa tka n input dari uns ur hara da n cahaya. Kematian pohon dapat menambah unsur hara da lam tanah. Kerapa tan po hon-pohon besar akan menaungi dan mengurangi intensitas cahaya yang diterima pohon-po hon yang lebih kecil, termasuk tingkat semai dan pancang, sehingga makin rapat tegakan hutan maka maka semakin kecil peluang terjadinya ingrowth maupun upgrowth menuju kelas diameter di atasnya yang merupakan penjelmaan dari pertumbuhan pohon itu sendiri. Kerapatan masak tebang (D≥40 cm) Kerapatan pohon D:30-39 cm Kerapatan semai Kerapatan pancang Kerapatan pohon D:20-29 cm Kerapatan tiang D:10-19 cm Laju tebangan Mati alam Diameter masak tebang Riap Serasah Hara tanah Biji dan tunas Ingrowth Upgrowth Upgrowth Upgrowth Intensitas Cahaya Curah hujan + + + + + + + + -+ -+ + Ingrowth + Mati efek tbg -+ +

Menurut Indrawan (2000), produksi biji merupakan awal dari aliran stock yang dimulai dari tingkat semai. Biji yang dihasilkan oleh pohon berkembang menjadi semai dan semai akan menjadi pancang dan seterusnya dengan faktor pembatas berupa kelembaban, makin lembab areal makin tinggi prosentase perkecambahannya. Namun dalam perkembangan selanjutnya, keberadaan permudaan ini sangat dipengaruhi oleh kerapatan tegakan itu sendiri (Favrichon & Kim 1998; Vanclay 1995, 2001) sehingga semakin rapat tegakan hutan semakin tinggi laju kematiannya.

b. Diskripsi model pada diag ram alir

Pemodelan perkembangan tegakan tinggal dapat dilakukan pada setiap tingkat pertumbuhan semai, pancang, tiang, pohon dan pohon masak tebang melalui skema diagram alir (Indrawan 2003a, 2003b). Input data dapat menggunakan data primer hasil pengukuran pada plot penelitian maupun data sekunder hasil penelitian pihak lain da n studi pustaka.

Dalam penelitian ini data primer berupa riap tingkat tiang, pohon (diameter 20-39 cm) dan pohon masak tebang (diameter 40 cm ke atas) yang diolah menjadi persamaan ingrowth, upgrowth da n mortality serta data kerapatan untuk tingkat semai dan pancang.

Gambar 20 menunjukkan diagram alir perkembangan tingkat semai, dimana kerapatan semai tergantung pada semai yang masuk dan keluar. Jumlah semai yang masuk (ingrowth) dipengaruhi oleh jumlah semai yang berkecambah dan kondisi kelembaban. Proses perkecambahan akan berjalan normal bila berada pada kelembaban yang cukup tinggi. Semai yang keluar disebabkan proses perpindahan dari tingkat semai ke tingkat pancang (upgrowth) dan karena kematian, baik kematian alami maupun akibat pemanenan kayu (Indrawan, 2003a).

Gambar 21 menunjukkan diagram alir perkembangan tingkat pancang, dimana kerapatannya dipengaruhi oleh pancang yang masuk (ingrowth) dan pancang yang keluar, baik karena proses perpindahan menuju tingkat tiang (upgrowth) maupun kematian alami dan kematian akibat efek tebangan (Indrawan 2003a).

Gambar 22 menunjukkan diagram alir perkembangan tingkat tiang, dimana kerapatannya dipengaruhi oleh tiang yang masuk (ingrowth) da n tiang yang ke luar, baik karena proses perpindahan menuju tingkat pohon (upgrowth) maupun kematian alami dan kematian akibat efek tebangan (Indrawan 2003a).

Gambar 20. Model perkembangan tingkat semai setelah penebangan

Gambar 21. Model perkembangan tingkat pancang setelah penebangan

Gambar 22. Model perkembangan tingkat tiang setelah penebangan

Kerapatan semai Mati semai Upgrowth semai Ingrowth semai Prosen Upgrowth semai Mati alami Prosen mati akibat logging Laju tebangan Ef ek kelembaban Kelembaban Peny edia semai Kerapatan pancang Mati pancang Upgrowth pancang Ingrowth pancang Prosen Upgrowth pancang Mati alami Prosen mati akibat logging Laju tebangan Upgrowth semai Kerapatan tiang Mati tiang Upgrowth tiang Ingrowth tiang Prosen Upgrowth tiang Mati alami Prosen mati akibat logging Laju tebangan Upgrowth pancang

Gambar 23 menunjukkan diagram alir perkembangan tingkat pohon (diameter 20-39 cm), dimana kerapatannya dipengaruhi oleh pohon yang masuk (ingrowth) dan pohon yang keluar, baik karena proses perpindahan menuju tingkat pohon masak tebang (upgrowth) (diameter 40 cm ke atas) maupun kematian alami dan kematian akibat efek tebangan (Indrawan 2003a).

Gambar 23. Model perkembangan tingkat pohon setelah penebangan

Gambar 24 menunjukkan diagram alir perkembangan tingkat pohon masak tebang (diameter 40 cm ke atas), dimana kerapatannya dipengaruhi oleh pohon (diameter 20-39 cm) yang masuk dan pohon masak tebang yang keluar disebabkan kematian alami dan kematian akibat penebangan dengan adanya laju penebangan pohon masak tebang (Indrawan 2003 a).

Gambar 24. Model perkembangan tingkat pohon masak tebang Kerapatan pohon Mati pohon Upgrowth pohon Ingrowth pohon Peluang phn pindah Mati alami Prosen mati akibat logging Laju tebangan Upgrowth tiang Kerapatan pohon MT Mati pohon MT Laju tebangan Ingrowth pohon MT Peluang phn pindah Mati alami Prosen mati akibat logging Prosen tebangan Upgrowth pohon

c. Persamaan ingrowth, upgrowth dan mortality

1) Ingrowth

Ingrowth disini adalah perpindahan tingkat pancang menuju tingkat tiang sebagai respon dari pertumbuhan tingkat pancang dan kerapatan tegakan secara keseluruhan. Persamaan ingrowth diolah melalu data hasil pengukuran sebanyak empat kali. Dalam merancang pemodelan dinamika hutan, ingrowth merupakan fungsi dari luas bidang dasar tegakan (B) dan kerapatan (N) (Buongiorno & Michie 1980; Coates 2002 dalam Fyllas 2010; Vancly 2001). Persamaan ingrowth yang mencerminka n perpindahan dari tingkat pancang ke dalam tingkat tiang dalam waktu satu tahun adalah seba gai berikut:

Kelompok meranti………. ig=12,3906-0,3198N+0,3947B R2= 0,5470

Kelompok dipterocarp non meranti... ig= 2,7261+0,0289N-0,1396B R2= 0,2201

Kelompok komersial lain... ig= 76,2581-0,4653N-1,6808B R2= 0,7686

dimana: ig= ingrowth, N= kerapatan (phn/ha), B= luas bidang dasar (m2/ha)

Pengelompokkan jenis pohon menjadi tiga kelompok seperti tersebut di atas telah banyak dilakukan para peneliti hutan alam seperti Favrichon dan Kim (1998), Rombe (1981) dan lain- lain. Mudah dipahami bahwa semakin detail pengelompokkan jenis maka semakin baik hasil yang didapatkan, namun cara ini sering kali menyulitkan dalam memperoleh konstanta yang lebih representatif.

Berdasarkan persamaan ingrowth di atas, dapat diketahui bahwa fungsi ingrowth

pada kelompok meranti berbanding terbalik dengan kerapatan tegakan (N) yang mengindikasikan ba hwa semakin rapat kondisi tegakan semakin kecil peluang terjadi

ingrowth pada kelompok jenis ini. Pada penelitian ini ingrowth berupa perpindahan dari tingkat pancang ke dalam tingkat tiang dan pada fase ini kelompok jenis meranti sangat memerlukan ketersediaan cahaya yang optimal.

Kelompok dipterocarp non meranti berbanding terbalik dengan aspek luas bidang dasar (B) karena luas bidang dasar pada dasarnya merepresentasikan kerapatan tegakan, makin tinggi kerapatan tegakan makin besar nilai luas bidang dasarnya. Fenomena yang sama juga terjadi pada kelompok rimba campuran dan kayu indah.

Pada kelompok komersial lain terjadi fenomena yang lebih jelas bahwa fungsi

ingrowth berbanding terbalik dengan kerapatan tegakan yang dicerminkan dalam bentuk jumlah pohon per ha (N) dan luas bidang dasar (B) dengan koefisien determinasi 76,86%.

Nilai koefisien determinasi, yang menunjukkan besarnya variasi kerapatan tegakan (N) dan luas bidang dasar (B) dalam menerangkan peubah ingrowth, pada penelitian ini berkisar antara 22,01% sampai 76,86%. Variasi komponen lain dapat berasal dari indek kualitas tapak (Vanclay 1989 dalam Vanclay 2001), indek fotosintesis (McMurtrie et al. 1990), lapisan kanopi tajuk (Bossel & Krieger 1991) dan lain- lain. Namun sejalan dengan pendapat Vanclay (1995), bahwa hambatan dalam pemodelan hutan tropis campuran (mixed tropical forest) terletak pada keterbatasan data pendukung untuk menentukan kualitas tapak, aspek fisiologis, ekologis dan interaksi ekosistem yang komplek.

Upaya menuangkan dinamika ekosistem hutan tropis yang komplek ke dalam sebuah model masih memerlukan penelitian yang lebih mendalam dengan menggabungkan semua fungsi yang terkait. Hingga saat ini pemodelan dinamika hutan masih menggunakan beberapa komponen dasar seperti riap, kerapatan, luas bidang dasar, disturbance dan lain- lain. Hal inilah yang menyebabkan nilai koefisien determinasi pada setiap persamaan ingrowth (da n juga upgrowth da n mortality) selalu berada pada kisaran rendah sampai sedang. Sebagai perbandingan, nilai koefisien determinasi persamaan ingrowth yang ditemukan oleh Buongior no et al. (1995) sebesar 37%-47%, Volin and Buongiorno (1996) sebesar 44-53%, Favrichon and Kim (1998) sebesar 4%-10% dan Labetubun (2004) sebesar 17,9% -42,7% .

2) Upgrowth

Definisi upgrowth dapat diberikan sebagai peluang pohon yang hidup dalam kelas diameter tertentu yang pindah ke dalam kelas diameter di atasnya dalam waktu satu tahun. Upgrowth merupakan fungsi dari nilai tengah diameter (D) dan luas bidang dasar (B) (Buongiorno et al. 1995, Favrichon 1998, Favrichon & Kim 1998, Fyllas et al. 2010, Vanclay 1995).

Persamaan upgrowth dalam pe nelitian ini dibagi dalam tiga kelompok jenis, yaitu meranti, dipterocarp non meranti serta komersial lain, sebagai berikut:

Kelompok meranti:

Kelompok dipterocarp non meranti:

ug= 0,5764+0,0048D-0,00066D2+0,00000736D3-0,00023B R2= 0,3680 Kelompok ko mersial lain

ug= 7,1901-0,4323D+0,0088D2-0,000059D3-0,00075B R2= 0,9231 dimana: ug=upgrowth, D= diameter (cm), B=luas bidang dasar (m2/ha)

Berdasarkan persamaan di atas, dapat diketahui bahwa upgrowth pada semua kelompok jenis berbanding terbalik dengan fungsi luas bidang dasar (B) yang mengindikasikan bahwa semakin rapat kondisi tegakan maka semakin kecil peluang terjadi upgrowth pada semua jenis pohon diberbagai tingkatan. Pada penelitian ini

upgrowth berupa perpindahan dari kelas diameter 20-29 cm ke 30-39 cm ke 40-49 cm ke 50-59 cm ke 60 cm up. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa semua pohon dalam tegakan hutan sangat memerlukan ruang tumbuh yang optimal untuk pertumbuhannya.

Nilai koefisien determinasi, yang menunjukkan besarnya variasi diameter (D) dan luas bidang dasar (B) dalam menerangkan peubah upgrowth, pada penelitian ini berkisar antara 36,8%% sampai 92,31%. Sebagaimana yang terjadi pada ingrowth, variasi komponen lain dapat berasal dari indek kualitas tapak, indek fotosintesis, lapisan kanopi tajuk dan lain- lain. Belum banyak penelitian yang mengungkapkan secara lengkap aspek kualitas tapak, fisiologis, ekologis dan interaksi ekosistem yang komplek dalam hutan tropis sehingga besaran variabel fungsi yang diperlukan dalam pemodelan masih sangat terbatas.

Koefisien determinasi pada kelompok komersial lain dalam penelitian ini sangat besar, yaitu 92,31% sehingga persamaan upgrowth yang terbentuk dapat menerangka n dinamika hutan tropis secara lebih baik. Beberapa penelitian upgrowth

masih memberikan nilai koe fisien determinasi yang relatif kecil, seperti pada penelitian Buongiorno et al. (1995) sebesar 1,3%-40%; Volin and Buongiorno (1996) sebesar 6%-14%; Favrichon (1998) sebesar 5%-22% ; Favrichon and Kim (1998) sebesar 57%-71% dan Labetubun (2004) sebesar 10,7% -14,6%.

Menurut Suhendang (1998), rendahnya nilai koefisien determinasi di hutan alam disebabkan tidak terkendalinya pengaruh berbagai faktor lingkungan yang ada, baik bersifat hayati (asosiasi berbagai jenis pohon berkayu dan non kayu serta kehidupan lain dalam hutan) maupun non hayati (faktor edapis/tapak dan klimatis) serta interaksi diantara faktor- faktor tersebut.

3) Mortality

Mortality adalah banyaknya pohon yang mati dalam tegakan hutan dalam satuan waktu tertentu. Dalam penelitian ini, mortality berarti jumlah pohon yang mati dalam kelompok jenis dan kelas diameter tertentu selama satu tahun. Kematian pohon dalam hutan yang dikelola dapat disebabkan faktor alam dan faktor

disturbance, seperti efek penebangan, sehingga sulit mengaitkan kematian pohon dalam hutan seperti ini hanya sekedar dari faktor alam saja. Berdasarkan hasil penelitian Elias (1997) dan Sist and Bertault (1998) bahwa tingkat kerusakan tegakan tinggal, yang dapat bermuara pada kematian, sangat berkaitan dengan intensitas peneba ngan yang dilakuka n. Kematian catastropic (pencurian kayu, kebakaran dll) tidak diperhitungan dalam persamaan yang akan dibuat.

Para peneliti hutan sering menuliskan persamaan kematian pohon hanya dari besaran pohon yang mati dalam kelompok jenis dan kelas diameter tertentu selama kurun waktu satu tahun (Favr ichon 1998; Labetubun 2004). Favrichon and Kim (1998) hanya menentukan mortality berdasarkan prosentase kematian pohon dan dianggap konstan setiap tahun. Peneliti yang lain masih memasukkan komponen kerapatan hutan sebagai faktor yang mempengaruhi mortality. Perbedaan metode penent uan mortality sangat ditentuka n oleh ko ndisi hutan yang ada dengan mempertimbangkan nilai koefisien determinasinya. Metode pembuatan persamaan

mortality dalam penelitian ini mengacu pada Favrichon (1998) dan Labetubun (2004) dengan hasil seba gai berikut :

Kelompok meranti:

m= 1,2667-0,0891D+0,0022D2-0,000018D3 R2= 0,4577 Kelompok dipterocarp non meranti:

m= 2,0775-0,1111D+0,00186D2-0,0000091D3 R2= 0,4745 Kelompok ko mersial lain

m= 5,1179-0,2896D+0,0057D2-0,000038D3 R2= 0,4779 dimana: m=mortality, D= diameter (cm)

Nilai koefisien determinasi dalam persamaan mortality ini berkisar antara 45,77% sampai 47,79% sehingga hanya besaran itulah yang mampu memberi informasi tingkat kematian pohon dalam hutan berdasarkan kelas diameternya. Faktor-faktor lain yang masih belum terakumulasi dalam persamaan ini, seperti hama penyakit, gulma, faktor edapis dan iklim mikro. Terdapat kecenderungan bahwa semakin besar

diameter pohon maka semakin tinggi peluang untuk mati. Fenomena ini dapat membatasi keberadaan pohon sampai mencapai diameter yang tidak terbatas. Nilai koefisien determinasi pada persamaan mortality yang didapatkan beberapa peneliti lain sebesar 4%-79% (Favrichon 1998) dan 12,4%-29,6% (Labetubun 2004). Dengan metode yang agak berbeda, beberapa peneliti mendapatkan nilai koefisien determinasi sebesar 7% (Buongiorno et al. 1995) dan 2%-3% (Volin & Buongiorno 1996).

5.2.5 Respon penge lolaa n hutan denga n sistem TPTII pada tegakan tinggal di