• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

2) Asumsi mengg unakan siklus tebang 35 tahun

Dengan asumsi menggunakan siklus tebang 35 tahun, didapatkan etat luas sebesar 895 ha, dan komposisi pohon yang ditebang juga dari kelompok jenis meranti dan dipterocarp non meranti berdiameter 40 cm ke atas maka diperoleh etat volume pada periode 2007-2041 sebesar 20.056,35 m3/tahun yang terdiri dari 322,22 m3/tahun berdiameter 40-49 cm dan 19.734,14 m3/tahun berdiameter 50 cm ke atas, sedangkan hasil tanaman belum ada.

Pada siklus tebang 35 tahun mengalami penurunan etat volume disebabkan penurunnya etat luas dari 1.045 ha/th menjadi hanya 895 ha/th, namun produktifitas masih sama yaitu 22,41 m3/ha (PT GM 2008, 2009).

b. Etat volume siklus ke-1

Menurut Vanclay (1995, 2001) pemodelan perkembangan tegakan tinggal dapat dilakukan melalui pendekatan kerapatan tegakan tinggal. Dasar penyusunan model ini adalah pengaruh kerapatan (N/ha) dan luas bidang dasar per ha (B/ha) terhadap pertumbuhan dan perkembangan pohon-pohon dalam hutan dengan asumsi bahwa makin tinggi kerapatan tegakan maka semakin rendah pertumbuhan pohon karena efek persaingan yang berdampak pada ingrowth, upgrowth dan moratlity pada masing- masing tingkat pertumbuhan.

Tingkat tiang dan pohon diperkirakan dapat menimbulkan efek persaingan tempat tumbuh yang signifikans terhadap tegakan tinggal pada semua tingkat pertumbuhan karena telah mempunyai dimensi yang besar serta jangkauan perakaran dan tajuk yang luas, dibanding tingkat pancang dan semai. Oleh karena itu efek persaingan yang disebabkan kerapatan tingkat semai dan pancang dapat diabaikan. Pada penelitian ini pengukuran diameter dan tinggi tingkat tiang dan pohon dilakukan dengan intensitas sampling 100% (metode sensus) sehingga perhitungan luas bidang dasar tegakan dapat dilakukan dengan keakuratan yang tinggi.

Untuk memprediksi potensi pohon masak tebang (jumlah dan volume per ha) pada siklus tebang ke-1 dengan asumsi menggunakan siklus tebang 30 tahun dan 35 digunakan perangkat lunak Stella 9.0.2 dengan parameter ingrowth, upgrowth dan

mortality yang diolah menggunakan data hasil pengukuran tegakan tinggal selama empat periode, yaitu tahun 2007, 2008, 2009 dan 2010. Pemodelan ini menggunakan fungs i kerapa tan tegaka n yang dicerminka n oleh jumlah po hon (N) per ha da n luas bidang dasar (B) per ha. Pertumbuhan tegakan tinggal dicerminkan melalui ingrowth

dan upgrowth dan kematian pohon disebabkan oleh efek tebangan. Kematian alami tingkat tiang dan pohon disebabkan efek persaingan dicerminkan melalui mortality

yang muncul setiap tahun. Persamaan pemodelan dinamika tegakan hutan dapat dilihat pada Lampiran 11.

Pemod elan menggunakan skema diagram alir dimulai dari kelas diameter 10-19 cm (tingkat tiang), 20-29 cm, 30-39 cm dan 40 cm ke atas seperti terlihat pada Gambar 34. Model yang dihasilkan mempunyai mean absolute percentage error

Keterangan:

UpG : upgrowth

M : mortality

CE : efek tebang

N : kerapatan (pohon/ha) B : luas bidang dasar (m2/ha) Vol : volume (m3/ha)

Gambar 34. Model perkembangan tegakan hutan pada jalur antara sistem TPTII menggunakan fungsi kerapatan

1) Asumsi mengg unakan siklus tebang 30 tahun

Hasil pemodelan menggunakan siklus tebang 30 tahun menunjukkan adanya fluktuasi potensi tegakan pada saat penebangan dan masa jeda. Setelah penebangan siklus ke-1 (0 tahun), siklus ke-2 (30 tahun), siklus ke-3 (60 tahun) dan siklus ke-4 (90 tahun) kerapatan pohon masak tebang (N/ha) yang dapat ditebang menjadi kosong (nol), kemudian terisi kembali secara berangsur-angsur sampai siklus tebang berikutnya. Gambar 35 menunjukkan fluktuasi kerapatan pohon masak tebang (N/ha) untuk ke las diameter 40-49 cm.

Pada Gambar 35 terlihat bahwa pada siklus ke-1 diperoleh penambahan pohon masak tebang kelompok meranti, dipterocarp non meranti, rimba campuran, kayu indah dan komersial lain berdiameter 40-49 cm masing- masing sebanyak 1,43 phn/ha; 2,83 phn/ha; 0,80 phn/ha; 0,81 phn/ha; 0,73 phn/ha dan untuk siklus ke-2 diperoleh penambahan masing- masing sebanyak 2,89 phn/ha; 2,99 phn/ha; 0,8

St1019 Ingrowth M1019 N St2029 UpG1 UpG2 M2029 UpG3 St3039 St40up M3039 M40up B CE1019 B B B N B N40up Cut40 Vol40up TabVol

phn/ha; 0,8 phn/ha dan 0,73 phn/ha, demikian seterusnya. Total kerapatan pohon masak tebang (Ntotal/ha) yang dapat ditebang merupakan penjumlahan dari kelas diameter 40-49 cm, 50-59 cm dan 60 cm ke atas.

Gambar 35. Fluktuasi kerapatan pohon masak tebang (N/ha) dalam kelas diameter 40-49 cm pada siklus tebang 30 tahun

Kerapatan pohon masak tebang (N/ha) yang didapatkan dari hasil pemodelan selanjutnya dikonversi dalam bentuk volume (V/ha) menggunakan tabel volume lokal serta dikalikan faktor eksploitasi (FE) dan faktor pengaman (FP) sebesar 0,5655 (Wahyudi & Matthews 1996). Etat volume didapatkan dengan mengalikan volume per ha dengan etat luasnya, dimana etat luas siklus ke-1 dan seterusnya merupakan 0,85% dari etat luas asal.

Hasil pemodelan menunjukkan bahwa etat volume pada siklus ke-1 (2036-2065) sebesar 20.146,72 m3/tahun yang terdiri dari 3.926,3 m3/tahun berdiameter 40-49 cm dan 16.220,42 m3/tahun berdiameter 50 cm ke atas. Hasil tanaman Shorea leprosula

berdiameter 20 cm ke atas dari jalur tanam sebesar 113.988,6 m3/tahun (Tabel 13) sehingga jumlah seluruhnya menjadi 134.135,3 m3/th.

Berdasarkan perhitungan di atas maka produktifitas hutan pada sistem TPTII menggunakan daur 30 tahun meningkat dari 34,56 m3/ha (PT GM 2009) menjadi 128,36 m3/ha (=134.135,3 m3/th : 1.045 ha/th) atau mengalami peningkatan sebesar 271,41 %. 1 2:0 4 1 8 A pr 2 01 P ag e 7 0 .00 2 2.7 5 4 5.5 0 6 8.2 5 9 1.0 0 Y ea rs 1 : 1 : 1 : 2 : 2 : 2 : 3 : 3 : 3 : 4 : 4 : 4 : 5 : 5 : 5 : 0 1 0 2 0 0 2 4 0 1 2 0 0 1 0 4 8

1 : S t40 4 9[M e ra n ti] 2 : S t40 4 9[… on Me ra nti ]3 : S t40 4 9[R Ca m pu ran ]4 : S t40 4 9[K a yu Ind a h]5 : S t40 4 9[… ersi a l L a in ]

1 1 1 1 2 2 2 2 3 3 3 3 4 4 4 4 5 5 5 5 30 60

Apabila pemanfaatan tanaman Shorea leprosula hanya dilakukan pada pohon berdiameter 40 cm ke atas, maka diperoleh hasil tanaman sebesar 46.763,7 m3/th, sehingga produktifitas hutan pada sistem TPTII meningkat dari 34,56 m3/ha (PT GM 2009) menjadi 64,03 m3/ha atau mengalami peningkatan sebesar 85,27 %.

2) Asumsi mengg unakan siklus tebang 35 tahun

Dengan cara yang sama dengan perhitungan di atas, hasil pemodelan dinamika tegakan hutan menggunakan siklus tebang 35 tahun diperoleh prediksi etat volume pada siklus ke-1 (2042-2076) dari tegakan tinggal pada jalur antara sebesar 19.621,4 m3/tahun yang terdiri dari 3.898,4 m3/tahun berdiameter 40-49 cm dan 15.723,0 m3/tahun berdiameter 50 cm ke atas. Hasil tanaman Shorea leprosula berdiameter 20 cm ke atas dari jalur tanam sebesar 140.908,8 m3/tahun (Tabel 13) sehingga jumlah seluruhnya menjadi 160.530,3 m3/th.

Gambar 36 menunjukkan akumulasi jumlah pohon masak tebang (N/ha) pada siklus ke-2 , 3 dan 4 dengan interval 35 tahun pada kelas diameter 40-49 cm, sebagai salah satu ouput pemodelan.

Gambar 36. Akumulasi kerapatan pohon masak tebang (N/ha) dalam kelas diameter 40-49 cm pada siklus 35 tahun

Berdasarkan perhitungan di atas maka produktifitas hutan pada sistem TPTII menggunakan daur 35 tahun meningkat dari 34,56 m3/ha (PT GM 2009) menjadi 18:52 18 Apr 2010 Page 1 0.00 26.50 53.00 79.50 106.00 Y ears 1: 1: 1: 2: 2: 2: 3: 3: 3: 4: 4: 4: 5: 5: 5: 0 10 20 0 3 5 0 2 3 0 5 10

1: N4049[Meranti] 2: N4049[…on Meranti] 3: N4049[R Campuran] 4: N4049[Kay u Indah] 5: N4049[K…rsial Lain]

1 1 1 1 2 2 2 2 3 3 3 3 4 4 4 4 5 5 5 5 35 70

179,36 m3/ha (=160.530,3 m3/th : 895 ha) atau mengalami peningkatan sebesar 418,98 %.

Apabila pemanfaatan tanaman Shorea leprosula hanya dilakukan pada pohon berdiameter 40 cm ke atas, maka diperoleh hasil tanaman sebesar 127.636,0 m3/ha, sehingga produktifitas hutan pada sistem TPTII meningkat dari 34,56 m3/ha (PT GM 2009) menjadi 164,53 m3/ha atau mengalami peningkatan sebesar 376,07 %.

Berdasarkan hasil uji t terhadap potensi tebangan (m3/tahun) sistem TPTII pada siklus tebang 30 tahun dan 35 tahun periode siklus ke-2 diperoleh nilai t hitung sebesar -23,76 sedangkan nilai t tabel (α/2: 0,025)= 2,04 sehingga t hitung < - t tabel, maka kedua potensi tersebut berbeda nyata (terima H1), sehingga potensi pohon tebang pada siklus tebang 35 tahun berbeda nyata (lebih banyak) dibanding pada siklus tebang 30 tahun.

Tabel 28. Perbandingan etat volume siklus ke-0 dan ke-1 pada penerapan siklus tebang 30 tahun dan 35 tahun sistem TPTII di PT Gunung Meranti

Pada pemodelan dinamika tegakan tinggal untuk memperoleh siklus tebang yang lestari (Gambar 28) diperoleh siklus tebang ke-1 selama 26 tahun dan siklus tebang ke-2 selama 40. Pemodelan tersebut dibuat berdasarkan komposisi dan struktur vegetasi yang mengacu pada ke lestarian prod uks i hasil hut an ka yu perusahaan. Apabila siklus ke-2 diperpanjang menjadi 35 tahun maka akan diperoleh volume produksi yang lebih banyak melalui peningkatan produktifitas hutan tanpa merusak kondisi tegakan tinggal. Kelebihan penggunakan siklus tebang 35 tahun lainnya adalah dapat memanfaatkan hasil tanaman Shorea leprosula yang telah mencapai diameter 50 cm ke atas dengan nilai jual yang lebih tinggi.

Daur Jalur antara Jalur tanam Jumlah

Periode (Th) Etat luas D:40-49 cm D:50 cm up Etat luas D:20-39 cmD:40 cm up D:50 cm up pohon

(ha/th) (m3/th) (m3/th) (ha/th) (m3/th) (m3/th) (m3/th) (m3/th)

Siklus 30 1045 376,2 23.041,5 1045 - - - 23.417,76

ke-0 35 895 322,2 19.734,4 895 - - - 20.056,62

Siklus 30 888 3.926,3 16.220,4 1045 67224,9 46763,7 0 134.135,32

5.4.3 Analisis finansial

a. Asumsi dan standar biaya

Analisis finansial yang dilakukan menggunakan asumsi serta sensitifitas sebagai berikut:

1). Harga jual kayu kayu bulat kelompok meranti berdiameter 40-49 cm sebesar Rp. 1.150.000,- / m3 dan berdiameter 50 cm ke atas sebesar Rp. 1.300.000,- /m3 (harga rata-rata tahun 2009-2010)

2) Harga jual kayu bulat dan biaya operasional tidak mengalami kenaikan sampai akhir daur

3) Harga jual ka yu bulat turun menjadi Rp. 1.100.000,-/ m3 dan naik menjadi Rp. 1.500.000,-/ m3

4) Suku bunga ba nk (bank loan) sebesar 0%, 6%, 9% dan 12%.

5) Tarif PSDH sebesar Rp. 60.000,- /m3 untuk kelompok meranti dan Rp. 80.000,-/m3 untuk kelompok kayu indah.

6) Tarif DR sebesar USD 16 / m3

7) Iuran pihak ke-3 (dulu retribusi daerah) Rp. 10.000,-/m3.

Analisis finansial dalam penelitian ini menggunakan standar biaya PT.Gunung Meranti yang mengacu pada ketentuan teknis pelaksanaan TPTII, dengan komponen kegiatan teknis TPTII seperti penataan dan perisalahan hutan, pembibitan, pembuatan jalur tanam, penanaman, pemeliharaan (penyulaman, penyiangan, pemulsaan, pemupukan) pembebasan dan penjarangan. Standar biaya kegiatan operasional teknis pembuatan tanaman sistem TPTII di PT Gunung Meranti disajikan dalam Tabel 29.

Tabel 29. Standar biaya operasional teknis lapangan sistem TPTII

No Kegiatan teknis Satuan Biaya (Rp) Keterangan

1 Penataan areal ha 7.000

2 Risalah hutan ha 113.750

3 Pembibitan btg 700

4 Pembuatan jalur tanam dan ajir m 1.370

5 Penanaman

a. Lubang tanam dan mulsa btg 1.188

b. Penanaman btg 588

6 Pemeliharaan

a. Penyiangan dan pemulsaan btg 500

b. Penyulaman (20% tanaman) btg 500

7 Pembebasan m 500

Sumber: PT GM (2008a)

Disamping biaya-biaya di atas, komponen biaya produksi langsung maupun tidak langsung lainnya meliputi biaya administrasi umum tata usaha kayu, investasi alat berat, investasi bangunan, penyusutan, gaji dan upah, insentif, pajak, kewajiban sosial, lingkungan dan biaya operasional tebang penyiapan lahan.

b. Analisis finansial penge lolan hutan sistem TPTII

Berdasarkan hasil analisis finansial terhadap semua komponen penerimaan (yang berasal dari penjualan kayu bulat serta nilai sisa unit) serta semua komponen pengeluaran dengan asumsi kegiatan ini dikerjakan unit manajemen baru, dapat diketahui bahwa pada suku bunga 9% (kisaran bunga bank saat ini) dan harga jual kayu bulat berdiameter 40-49 cm sebesar Rp. 1.150.000,-/m3 dan berdiameter 50 cm ke atas sebesar Rp. Rp. 1.300.000,-/m3 (harga awal tahun 2010) kegiatan pengusahaan hutan sistem TPTII mencapai titik impas (breakeven point) atau baru

menguntungkan setelah tahun ke-7, dengan nilai keuntungan sebesar Rp. 4.139.693,-/ha, sedangkan pada suku bunga 0%, 6% dan 12% titik impas baru

dapat dicapai masing- masing pada tahun ke-6, ke-6 dan ke-7 dengan nilai keuntungan yang berbeda.

Pencapaian titik impas (breakeven point) ke layaka n usaha ini ditandai dengan nilai BCR ≥ 1 dan nilai NPV > 0.

Gambaran selengkapnya tentang analisis finansial ini dapat dilihat pada Tabel 30. Berdasarkan tabel tersebut waktu pencapaian titik impas dan nilai keuntungan bersih pengelolaan hutan dalam rangka penerapan sistem TPTII sudah tercapai sebelum mencapai siklus ke-1.

Gambaran lebih jelas tentang pencapaian waktu titik impas dan kelayakan usaha pengelolaan hutan sistem TPTII pada tingkat suku bunga 0%, 6%, 9% dan 12% dapat dilihat pada Gambar 37. Garis yang telah mencapai sumbu x (axis) atau berada pada posisi sumbu y (ordinat) sama dengan nol adalah saat pencapaian titik impas. Semakin tinggi ordinat suatu garis menunjukkan semakin besar keuntungan yang diperoleh.

Tabel 30. Nilai NPV dan BCR pada pengelolaan hutan sistem TPTII

Gambar 37. Nilai NPV (Rp/ha) pengelolaan hutan sistem TPTII pada saat harga kayu bulat meranti berdiameter 40-49 cm dan 50 cm ke atas masing-masing sebesar Rp. 1,15 juta per m3 dan Rp. 1,3 juta per m3 dengan tingkat suku bunga 0%, 6%, 9% dan 12%.

Pengelolaan hutan sistem TPTII saat ini banyak dilakukan unit manajemen yang telah berjalan dengan sistem TPTI. Kegiatan yang bersifat multisistem silvikultur ini dapat melakukan subsidi silang dari kegiatan yang satu dengan kegiatan lainnya sehingga mampu mempertinggi efisiensi.

Tahun Suku bunga 0% Suku bunga 6% Suku bunga 9% Suku bunga 12%

ke NPV BCR NPV BCR NPV BCR NPV BCR 1 -53.114.251 0,35 -53.114.251 0,35 -53.114.251 0,35 -53.114.251 0,35 5 -9.564.693 0,94 -10.346.571 0,93 -10.776.947 0,92 -11.220.217 0,91 6 3.390.717 1,02 108.464 1,00 -1.253.487 0,99 -2.467.484 0,98 7 13.185.257 1,07 6.701.817 1,04 4.139.693 1,03 1.923.552 1,01 10 16.328.284 1,06 9.307.157 1,04 6.394.017 1,03 3.819.509 1,02 15 41.128.712 1,10 23.086.416 1,08 16.718.882 1,07 11.572.728 1,05 20 58.730.515 1,12 29.639.858 1,10 20.802.335 1,08 14.202.557 1,07 25 56.728.857 1,15 24.096.579 1,11 16.016.178 1,10 10.535.639 1,08 30 107.046.380 1,19 37.396.643 1,14 23.297.030 1,11 14.640.183 1,09 -80.000.000 -60.000.000 -40.000.000 -20.000.000 0 20.000.000 40.000.000 60.000.000 80.000.000 100.000.000 120.000.000 1 5 6 7 10 15 20 25 30 Tahun N P V ( R p/ ha)

Unit manajemen yang telah berjalan mempunyai sarana dan prasarana serta investasi awal berupa unit operasional produksi dan bangunan pendukung (perkantoran, perumahan, gudang, bengkel, dapur umum, pos jaga dan lain- lain) serta ditopang oleh kegiatan yang telah berjalan sebelumnya seperti PMDH dan biaya sosial, perijinan dan tata batas, tenaga teknis, tenaga lapangan (buruh) dan lain-lain.

Sebuah unit pengelolaan hutan baru yang menerapkan sistem TPTII tidak mungkin hanya melakukan kegiatan operasional TPTII saja, seperti tebang penyiapan lahan, pembibitan, penanaman jalur dan pemeliharaan, namun juga harus melengkapi berbagai sarana dan prasaran penunjang termasuk kegiatan lain seperti disyaratkan dalam berbagai peraturan yang ada dalam rangka memenuhi ketentuan kriteria dan indikator pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) yang meliputi aspek prasyarat, produksi, ekologi dan sosial. Inilah yang menyebabkan usaha baru di bidang pengelolaan hutan sistem TPTII tidak langsung menguntungkan, melainkan harus menunggu sampai beberapa tahun, kecuali adanya subsidi silang dari kegiatan yang telah berjalan. Lamanya waktu menunggu dipengaruhi oleh potensi kayu yang dapat dimanfaatkan, harga kayu, tingkat suku bunga serta biaya operasional. Makin tinggi potensi tegakan hutan yang diperuntukan bagi pengelolaan sistem TPTII makin pendek waktu menunggunya dan semakin jauh lokasi IUPHHK dengan industri pengolahan kayu makin tinggi biaya yang dikeluarkan.

Pengelolaan hutan sistem TPTII sudah dapat memberi keuntungan selama siklus ke-0 karena memanfaatkan hasil tebang penyiapan lahan. Pengelolaan hutan sistem TPTII pada areal yang tidak memberi hasil tebang penyiapan lahan mempunyai titik impas (breakeven point) di atas waktu siklus tebangnya (di atas 30 tahun atau 35 tahun). Secara ekonomi kondisi seperti ini sangat sulit untuk dikerjakan kecuali ada kebijakan khusus, seperti bantuan dana dari pemerintah, paket reboisasi dan penghijauan yang tidak dikenakan status IUPHHK sehingga tidak ada kewajiban seperti yang disyaratkan da lam suatu IUPHHK.

Salah satu komponen yang dapat meningkatkan status kelayakan usaha pada pengelolaan hutan sistem TPTII ini adalah mengoptimalkan pemanfaatan potensi kayu yang masak tebang pada kegiatan tebang penyiapan lahan serta upaya peningkatan harga jual kayu bulat. Selama kurun waktu 20 tahun terakhir, harga kayu bulat masih dibawah harga kelayakan usaha pengelolaan hutan alam sehingga

kerusakan hutan cenderung meningkat disebabkan minimnya dana pembinaan pasca penebangan (Handadari 2005).

Harga jual kayu bulat sebelum tahun 2005 masih di bawah Rp. 600 ribu per m3 bahkan sempat anjlok pada harga Rp. 200 ribu per m3. Sejak tahun 2005 harga kayu bulat mulai naik sejalan dengan makin gencarnya pemberantasan illegal logging, namun harga tersebut tidak pernah melebihi Rp. 1.500.000,- per m3.

Tabel 31. Analisis sensitifitas harga kayu bulat dan tingkat suku bunga untuk menenetuka n titik impas dan waktu layak usaha

Berdasarkan hasil analisis sensitifitas menggunakan beberapa variasi harga jual kayu bulat serta tingkat suku bunga, seperti ditunjukkan pada Tabel 31, dapat dilihat bahwa apabila harga kayu bulat sebesar Rp. 1.300.000,- per m3 maka akan mencapai titik impas dan memberikan kelayakan usaha pada tahun ke-6 pada tingkat suku bunga 0% dan 6% dan pada tahun ke-7 pada tingkat suku bunga 9% dan 12%. Sedangkan pada harga kayu bulat Rp 1.200.000,- per m3 baru mencapai titik impas dan memberikan kelayakan usaha pada tahun ke-11 apabila tingkat suku bunga 0%, pada tahun ke-16 apabila tingkat suku bunga 6%, pada tahun ke-17 apabila tingkat suku bunga 9% dan pada tahun ke-26 apabila tingkat suku bunga 12%.

Apabila harga jual kayu bulat sebesar Rp. 1.500.000,- per m3 dapat memberikan titik impas dan kelayakan usaha pada tahun ke-3 pada berbagai tingkat suku bunga

Harga log Waktu Indikator Tingkat suku bunga

per m3 (Rp) layak (tahun) 0% 6% 9% 12%

11 NPV 1.000.977 BCR 1,00 16 NPV 2.064.372 1.200.000 BCR 1,00 17 NPV 354.553 BCR 1,00 26 NPV 39.723 BCR 1,00 6 NPV 3.653.587 333.290 1.300.000 BCR 1,03 1,00 7 NPV 4.409.715 2.173.940 BCR 1,03 1,02 1.500.000 3 NPV 4.965.644 2.570.707 1.501.484 506.557 BCR 1,06 1,03 1,02 1,01

yang terjadi, bahkan pada tingkat suku bunga 12% masih memberikan keuntungan sebesar Rp. 506.557,- /ha pada tahun ke-3.

Harga kayu bulat sebesar Rp. 1.500.000,- per m3 atau lebih masih memungk inkan untuk dicapai dengan cara meningkatkan pemberantasan illegal logging dan mafia kehut anan, pe negaka n hukum, pe ngaturan tata usaha ka yu yang lebih baik (Handadari 2005) serta penerapan reduced impact logging (Wahyudi 2008).

Menurut Nugroho (2002) harga jual kayu bulat di Malaysia telah mencapai USD200-USD250 per m3 atau sekitar Rp. 1.900.000,- Rp. 2.375.000,- per m3 (kurs Rp. 9.500 per USD). Apabila harga jual kayu bulat di Indonesia dapat menyamai harga kayu bulat di Malaysia maka iklim usaha kehutanan di Indonesia akan semakin menarik dan kelestarian hutan alam produksi akan semakin cepat menjadi kenyataan karena tersedia dana yang cukup untuk pe mbinaan hutan.

Apabila harga jual kayu bulat masih belum dapat beranjak dari kisaran harga Rp. 1.300.000,- per m3, maka berdasarkan hasil penelitian ini dapat direkomendasikan bahwa unit manajemen yang melakukan pengelolaan hutan sistem TPTII selayaknya mendapat paket pinjaman dana (misalnya dari dana reboisasi) dengan bunga 6% dengan bantuan biaya penanaman sampai tahun ke-6 atau pinjaman dana dengan bunga 9% dengan bantuan biaya penanaman sampai tahun ke-7 . Apabila pemerintah (Dephut) masih belum bersedia mengucurkan dana bantuan untuk kegiatan pengelolaan hutan sistem TPTII, pemerintah hendaknya menyakinkan dunia usaha perbankkan agar bersedia mengucurkan dana pinjaman pada proyek pengusahaan hutan ini atau dibentuk bank pertanian yang memahami dunia usaha kehutanan yang berumur panjang dan resiko relatif besar.