• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5) Pe modelan pertumbuhan tanaman Shorea leprosula

5.2 Tegakan Tinggal dalam Jalur Antara

5.2.5 Respon penge lolaa n hutan denga n sistem TPTII pada tegakan tinggal di jalur antara

Sistem silvikultur TPTII mempunyai dua areal pengelolaan yang berbeda namun tetap menjadi satu kesatuan ekosistem. Areal pengelolaan pertama berupa tanaman yang terdapat dalam jalur tanam selebar 3 meter dan areal pengelolaan kedua berupa tegakan tinggal dalam jalur antara (jalur konservasi) selebar 17 meter yang terdiri dari tingkat semai, tingkat pancang, tingkat tiang, tiang pohon dan tingkat pohon masak tebang.

Pemanen kayu pada kegiatan tebang penyiapan lahan dilakukan dengan batas diameter 40 cm ke atas disusul pembuatan jalur tanam selebar 3 meter. Kegiatan tersebut telah menimbulkan dampak pada perkembangan tegakan tinggal berupa kematian akibat penebangan serta perubahan lingkungan. Dengan asumsi adanya kegiatan pemanenan kembali pada jalur antara dengan batas diameter 40 cm ke atas, maka dengan menggunakan asumsi-asumsi berdasarkan data primer hasil pengukuran pada plot penelitian serta dibantu data sekunder hasil penelitian pihak lain dan studi pustaka didapatkan respon tegakan tinggal terhadap kegiatan sistem TPTII ini.

Pemodelan tegakan tinggal untuk tingkat pohon masak teba ng (diameter 40 cm ke atas) berguna untuk memprediksi siklus tebang yang sesuai dengan kondisi hutan atau telah pulihnya struktur dan kompos isi jenis serta kembalinya potensi hutan seperti semula, sesuai jatah tebangan tahunan (annual allowable cut) yang wajar, misalnya dengan berpedoman pada ketentuan jumlah pohon inti sebanyak 25 pohon per ha atau pada potensi hutan sebelum penebangan yang diperoleh dari hasil ITSP yang merupaka n cermina n kondisi hutan klimak (virgin forest).

Pemod elan tegakan tinggal dalam jalur antara menggunakan asumsi tidak ada kegiatan pembinaan hutan, seperti pembebasan (libering), penanaman pengayaan

(enrichment planting) dan penjarangan (thinning). Tegakan tinggal tingkat semai, pancang, tiang dan pohon dalam jalur antara tumbuh secara alami melalui mekanisme suksesi.

Syarat kelayakan pengelolaan hutan mengacu pada jumlah pohon masak tebang minimal yang boleh ditebang per hektar yang harus terdapat pada areal yang dikelola agar dapat memberikan keuntungan secara finansial (Suhendang 1985). Salah satu indikator pengelolaan hutan alam produksi lestari adalah terciptanya tingkat pemanenan lestari untuk setiap jenis hasil hutan kayu dan nir kayu pada setiap tipe ekosistem (SK Menhut Nomor 4795/Kpts-II/2002 tentang Kriteria dan Indikator Pengelolan Hutan Alam Produksi Lestari Lestari: Kriteria 2, indikator 2.2.).

Model perkembangan kerapatan pohon masak tebang pada jalur antara sistem TPTII disusun berdasarkan dinamika tegakan sebagai fungsi dari kerapatan tegakan secara keseluruhan yang dicerminkan melalui dinamika jumlah pohon per ha dan luas bidang dasar per ha, dengan asumsi makin rapat tegakan hutan maka semakin besar persaingan tempat tumbuh sehingga semakin kecil pertumbuhan pohon. Pertumbuhan pohon dapat dicerminkan melalui perpindahan diameter pohon menuju kelas diameter di atasnya (upgrowth).

Berdasarkan hasil simulasi menggunakan diagram alir perkembangan pohon masak tebang, diperoleh gambaran wakt u siklus tebang yang sesuai dengan kondisi hutan, dimana struktur dan komposisi pohon tebang telah kembali seperti semula. Penetapan siklus tebang yang sesuai dengan kondisi hutan dapat menciptakan kelestarian hutan dan kelestraian produksi dalam jangka panjang.

Hasil pemodelan menunjukkan bahwa siklus tebang tegakan hutan pada jalur antara sistem TPTII adalah 26 tahun pada siklus ke-1 dan 40 tahun pada siklus ke-2. Pada Gambar 25 terlihat bahwa penurunan grafik pada siklus ke-1 terjadi pada tahun ke-26 dan penurunan pada siklus ke-2 terjadi pada tahun ke-66. Selisih antara 66 dan 26 adalah 40 yang menunjukkan waktu siklus ke-2. Berdasarkan perbandingan data aktual dan hasil pemodelan, maka mean absolute percentage error (MAPE) mode l perkembangan kerapatan pohon masak tebang ini mempunyai tingkat kesalahan 22,60 %.

Gambar 25. Respon perkembangan kerapatan pohon masak tebang terhadap pemanenan jenis komersial ditebang sistem TPTII di areal kerja PT Gunung Meranti

Penambahan waktu pada siklus tebang ke-2 selama 14 tahun dari siklus tebang ke-1 menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan kualitas tempat tumbuh yang disebabkan adanya biomassa yang diangkut keluar dari ekosistem hutan melalui kegiatan penebangan pohon. Input unsur hara dari mineral tanah, curah hujan dan hasil penguraian bahan organik di lantai hutan masih belum mampu menciptakan kelestarian produksi dalam waktu yang sama seperti sebelumnya.

Etat luas PT Gunung Meranti rata-rata sebesar 1.235 ha/th dengan jumlah produksi kayu bulat pada 20 tahun terakhir (sejak tahun 1989/1990 sampai 2009) rata-rata 34,56 m3/ha/th atau 5,1 pohon/ha/th. Berdasarkan data ini dapat diketahui bahwa produktifitas hutan di PT Gunung Meranti hanya 0,45 m3/ha/th. Menurut Ditjen BPK (2010b), sampai tahun 2003 produktifitas hut an alam di Indo nesia hanya sebesar 1,1-1,4 m3/ha/th dan sampai tahun 2007 turun menjadi 0,46 m3/ha/th. Menurut Suparna (2010) produktifitas hutan alam tahun 2009 hanya 0,25 m3/ha/th. Pada siklus tebang ke-2 perusahaan mendapatkan jatah teba ngan dari jalur antara dengan luas 85% dari jatah tebangan tahunan ditambah hasil produksi tanaman meranti (Shorea leprosula) yang berasal dari jalur tanam. Sistem TPTII merupakan upaya terkini yang dilakukan pakar kehutanan di Indonesia untuk meningkatkan produktifitas hutan alam produksi agar mampu bersaing dengan sektor usaha lainnya. Sistem tebang pilih (selective cutting) yang masih diadops i sistem TPTII merupakan keunggulan yang tidak dapat ditandingi oleh sektor manapun juga, karena

Respon kerapatan pohon masak tebang (MT) Page 1 0.00 14.00 28.00 42.00 56.00 70.00 Y ears 1: 1: 1: 0 15 30 1: Kerapatan MT 1 1 1 1 1

didalamnya masih menyi mpa n ratusan ribu keanekaragaman hayati, flora da n fauna, serta tetap menjaga fungsi hidroorologi dan cadangan karbon yang potensial. Oleh karena itu meskipun produktifitasnya relatif rendah namun masih mempunyai keunggulan lain, baik yang dapat dirasakan langsung maupun tidak langsung.

Kegiatan pemanenan kayu sistem TPTII juga berdampak pada tegakan tinggal. Berdasarkan pemodelan menggunakan data primer dan sekunder dari hasil penelitian pihak lain serta studi pustaka (Appanah 1990, Elias et al. 1997, Indrawan 2000, Sist & Bertault 1998 dan Whitmore 1975) diperoleh gambaran respon perkembangan tegakan tinggal tingkat semai, pancang, tiang dan pohon inti (diameter 20-39 cm) seperti terlihat pada Gambar 26, 27, 28 dan 29. Persamaan serta nilai yang digunakan untuk membentuk model persamaan ini dapat dilihat pada Lampiran 11. Permudaan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon (diameter 20-39 cm) mengalami penurunan setelah kegiatan penebangan dilakukan. Permudaan yang mati akibat penebangan akan segera diganti oleh permudaan lainnya. Permudaan yang cacat dan dalam proses kematian akibat penebangan juga masuk dalam dinamika pemodelan yang dicerminkan melalui kematian permudaan akibat penebangan dan mati alami setiap tahunnya. Tingkat kecepatan pemulihan kerapatan permudaan sangat tergantung pada intensitas penebangan serta struktur dan komposisi tegakan tinggal yang bersangkutan.

Gambar 26. Respon perkembangan kerapatan tingkat semai terhadap pemanenan jenis komersial ditebang di areal kerja PT Gunung Meranti

6:52 21 Okt 2010 Respon tingkat semai terhadap pemanenan

Page 1 0.00 17.50 35.00 52.50 70.00 Y ears 1: 1: 1: 0 15000 30000 1: K Semai 1 1 1 1

Gambar 27. Respon perkembangan kerapatan tingkat pancang terhadap pemanenan jenis komersial ditebang di areal kerja PT Gunung Meranti

Model perkembangan kerapatan tingkat semai dan pancang terhadap pemanenan jenis komersial ditebang seperti terlihat pada Gambar 26 dan Gambar 27 mempunyai

mean absolute percentage error (MAPE) masing- masing sebesar 36,60% dan

21,39%. Dengan demikian model tersebut masih layak dipakai karena mempunyai keakuratan yang cukup tinggi .

Gambar 28. Respon perkembangan kerapatan tingkat tiang terhadap pemanenan jenis komersial ditebang di areal kerja PT Gunung Meranti

7:40 21 Okt 2010 Respon tingkat pancang terhadap pemanenan

Page 1 0.00 17.50 35.00 52.50 70.00 Y ears 1: 1: 1: 0 3000 6000 1: Kerapatan Pancang 1 1 1 1 8:59 21 Okt 2010 Respon tingkat tiang terhadap pemanenan

Page 1 1.00 18.25 35.50 52.75 70.00 Y ears 1: 1: 1: 0 250 500 1: Kerapatan tiang 1 1 1 1

Gambar 29. Respon perkembangan kerapatan tingkat pohon (diameter 20-39 cm)

terhadap pemanenan jenis komersial ditebang di areal kerja PT Gunung Meranti

Model perkembangan kerapatan tingkat tiang dan pohon (diameter 20-39 cm) terhadap pemanenan jenis komersial ditebang seperti terlihat pada Gambar 28 dan Gambar 29 mempunyai mean absolute percentage error (MAPE) masing- masing sebesar 71,9% dan 43,51%. Dengan demikian model tingkat tiang belum menunjukkan akurasi yang tinggi dalam memprediksi dinamika kerapatan dan model tingkat pohon masih dapat dipakai karena mempunyai keakuratan yang cukup.

Tingginya tingkat kesalahan pada model tingkat tiang diduga disebabkan pendeknya rentang kelas diameter tingka t tiang, yaitu hanya 10-20 cm bila dibandingkan rentang kelas diameter tingkat pohon, dari 20-39 cm, sehingga kerapatan vegetasi penyusun tingkat tiang relatif lebih sedikit dibanding tingkat pohon apalagi bila dibandingkan tingkat semai dan pancang. Permudaan pancang besar yang telah mencapai diameter 9,9 cm atau pohon kecil berdiameter 20,1 cm sudah tidak lagi menjadi bagian dari tingkat tiang.

Respon tegakan tinggal mengikuti perubahan yang terjadi akibat penebangan jenis komersial. Pada saat mencapai siklus tebang ke-1, yaitu 26 tahun, terjadi penurunan jumlah permudaan tingkat semai, pancang, tiang dan po hon namun secara bertahap akan pulih kembali. Selama tidak ada kegiatan penebangan liar atau gangguan lainnya, maka struktur dan komposisi tegakan tinggal dapat digambarkan dalam model dan berkembang sesuai dengan yang diharapkan.

9:07 21 Okt 2010 Respon tingkat pohon terhadap pemanenan

Page 1 1.00 18.25 35.50 52.75 70.00 Y ears 1: 1: 1: 0 100 200 1: K Phn 1 1 1 1

5.2.6 Evaluasi model

Untuk mengetahui keakuratan model yang dihasilkan dilakukan evaluasi atas model dengan cara membandingkan hasil proyeksi struktur dan komposisi tegakan pada model (expected) dengan data dinamika struktur dan komposisi tegakan hasil pengukuran langsung di lapangan (observed). Dalam penelitian ini data dinamika struktur dan komposisi tegakan hutan (observed) merupakan data hasil pengukuran Petak Ukur Permanen pada blok sistem TPTI selama 7 tahun, yaitu antara tahun 1998 sampai 2005.

Evaluasi model dilakukan terhadap struktur dan komposisi pohon masak tebang menggunakan uji Chi Kwadrat dan menghasilkan nilai χ2 hitung sebesar 11,94 yang lebih kecil dibanding χ2 tabel 0,95 sebesar 35,2 (terima H0) sehingga model yang dihasilkan dapat dihandalkan (dapat digunakan). Perhitungan selengkapnya tersaji dalam Lampiran 12.

5.2.7 Analisis sensitifitas

Berdasarkan hasil simulasi pada beberapa parameter penentu dan dengan memperhatikan grafik dan besaran hasil analisis didapatkan besaran parameter indikator. Apabila nilai parameter indikator tidak jauh berbeda dengan nilai semula, maka parameter penentu tersebut dikatakan tidak sensitif. Apabila hasil simulasi pada beberapa parameter penentu menyebabkan perubahan yang signifikans terhadap parameter indikator maka parameter penentu tersebut dikatakan sensitif. Hasil simulasi dengan beberapa parameter penentu disajikan dalam Tabel 16.

Tabel 16. Sensitifitas parameter-parameter dalam model dinamika tegakan hutan

Ingrowth sangat mempengaruhi kerapatan tiang (diameter 10-19 cm) karena stocknya tumbuh dari persamaan ingrowth yang telah dibuat. Namun pengaruh

No Parameter penentu Parameter indikator

KT (D:10-19) KP (D:20-29) KP (D:30-39) KP (D:40-40) KP (D:50-59) KP (D:60 up) Siklus Tbg 1 Ingrowth s ts ts ts ts ts ts 2 Upgrowth ts ts s ts ts s 3 Mortality ts ts ts s ts ts ts 4 Riap ts ts s ts ts s 5 Kerapatan (phn/ha) s s s s s s s 6 LBD (m2/ha) s s s s s s s 7 Intensitas tebang ts ts ts ts ts ts ts 8 KMT ts ts ts s ts ts s

ingrowth semakin tidak signifikans pada kerapatan pohon di atasnya. Keberadaan

upgrowth ternyata tidak berpengaruh pada kerapatan pohon yang ada kecuali pada tingkat pohon berdiameter 40-49 cm serta siklus tebangnya. Mortality tidak signifikans berpengaruh kecuali pada pohon berdiameter 40-49.

Riap sebagai dasar pembentukan ingrowth dan upgrowth hanya signifikans mempengaruhi kerapatan pohon berdiameter 40-49 cm dan siklus tebang. Kerapatan pohon (N/ha) dan luas bidang dasar (m2/ha) cukup berpengaruh terhadap semua parameter indikator. Karena model ini sangat menekankan aspek kerapatan untuk mengontrol dinamika hutan. Intensitas tebang membawa efek pada kematian permudaan namun keberadaannya kurang signifikans bersama dengan mortality. Kerapatan pohon masak tebang berpengaruh pada kerapatan pohon berdiameter 40-49 cm serta siklus tebang, karena waktu siklus tebang sangat ditentukan oleh pencapaian kerapatan pohon masak tebang. Makin banyak target (N/ha) yang ditetapkan maka semakin panjang siklus tebangnya.