• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Arsitektur Hijau Desa Adat Penglipuran Bali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Arsitektur Hijau Desa Adat Penglipuran Bali"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN ARSITEKTUR HIJAU

DESA ADAT PENGLIPURAN BALI

NIKKO DWIJAYASASTRA

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Arsitektur Hijau Desa Adat Penglipuran Bali adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

NIKKO DWIJAYASASTRA. Kajian Arsitektur Hijau Desa Adat Penglipuran Bali. Dibimbing oleh FITRIYAH NURUL H UTAMI.

Arsitektur hijau merupakan salah satu jawaban dari permasalahan lingkungan global yang tengah terjadi. Hal ini telah dimulai oleh masyarakat masa lalu. Salah satu contohnya ialah budaya arsitektur dan penataan lanskap pada masyarakat tradisional Desa Adat Penglipuran. Terdapat standar penilaian tingkat hijau yang dikeluarkan oleh United States Green Building Council, yaitu Leadership in Energy and Environmental Design (LEED). Kajian ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan menganalisis konsep arsitektur hijau pada tatanan lanskap juga arsitektural Desa Adat Penglipuran serta mengukur tingkat hijau desa menggunakan LEED for Neighborhood Development. Penelitian ini dilakukan pada Desa Adat Penglipuran yang terletak pada dataran tinggi Kabupaten Bangli, Provinsi Bali dengan tahapan inventarisasi, analisis dan penilaian berdasarkan LEED for Neighborhood Development, sintesis, dan rekomendasi. Berdasarkan observasi, wawancara, dan studi literatur, desa ini memiliki tatanan lanskap, pola permukiman, dan arsitektur yang utuh hingga sekarang. Desa Adat Penglipuran memperoleh tingkat Silver berdasarkan penilaian LEED for Neighborhood Development. Hal ini menguatkan bahwa kearifan lokal masyarakat Desa Adat Penglipuran telah menerapkan konsep arsitektur hijau sejak dahulu.

Kata kunci: arsitektur hijau, tingkat hijau, LEED, kearifan lokal

ABSTRACT

NIKKO DWIJAYASASTRA. Green Architecture Study of Penglipuran Traditional Village in Bali. Supervised by FITRIYAH NURUL H UTAMI.

Green architecture is one of the solution for global environment problems that were happening. This have been initiated by past communities. One example is landscape and architecture culture in Penglipuran Traditional Village. There is a green level rating system by United States Green Building Council, which name is Leadership in Energy and Environmental Design (LEED). The objectives of this study were to identified and analyzed green architecture concept in Penglipuran Traditional Village landscape also architecture, and determined the green level of Penglipuran Traditional Village using LEED for Neighborhood Development. The Research activities carried out at Penglipuran Traditional Village which is located in Bangli District plateau, Province of Bali through the phases of inventory, analysis and assessment by LEED for Neighborhood Development, synthesis, and also recommendation. Based on observation, interview, and literature it have a landscape, settlement pattern, and architecture that hadn't been changed until now. Penglipuran Traditional Village acquired a Silver level by LEED for Neighborhood Development. This is confirmed that local wisdom of Penglipuran Traditional Village communities had implemented the concept of green architecture since first.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2013

KAJIAN ARSITEKTUR HIJAU

DESA ADAT PENGLIPURAN BALI

(6)
(7)

Judul Penelitian : Kajian Arsitektur Hijau Desa Adat Penglipuran Bali Nama : Nikko Dwijayasastra

NIM : A44090003

Disetujui oleh

Fitriyah Nurul H Utami, ST MT Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Nurisjah, MSLA Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan anugerahNya sehingga karya ilmiah yang berjudul "Kajian Arsitektur Hijau Desa Adat Penglipuran Bali" dapat diselesaikan. Penelitian dilakukan dari bulan Maret-Mei 2013 pada Desa Adat Penglipuran, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Fitriyah Nurul H Utami, ST MT selaku dosen pembimbing atas bimbingan, masukan, dan arahannya selama persiapan penelitian hingga penyusunan karya ilmiah ini. Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Wayan Supat selaku Ketua Adat Desa Penglipuran serta masyarakat Desa Adat Penglipuran, yang telah membantu selama pengumpulan data. Terima kasih kepada Bapak Tri Harso Karyono atas bantuannya dalam pemahaman mengenai arsitektur hijau. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Papa, Mama, Kakak, Alwin, Theresia, Djajasastra, dan Dalung atas semangat dan doanya. Terima kasih pula kepada seluruh keluarga besar Arsitektur Lanskap angkatan 46 serta segenap pihak yang telah membantu dan mendukung terselesaikannya karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Tujuan Penelitian 2

1.3 Manfaat Penelitian 2

1.4 Kerangka Pikir Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

2.1 Latar Belakang Arsitektur Hijau 4

2.2 Arsitektur Hijau 4

2.3 Standar Pengukuran Arsitektur Hijau 5

2.4 Arsitektur Tradisional di Indonesia 8

2.5 Masyarakat dan Budaya Arsitektur Bali 8

2.6 Tata Ruang Desa Penglipuran 10

3 METODOLOGI 12

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 12

3.2 Metode Penelitian 13

3.3 Batasan Penelitian 19

4 KONDISI UMUM DESA PENGLIPURAN 20

4.1 Aspek Fisik 20

4.2 Aspek Sejarah 21

4.2 Aspek Sosial dan Budaya 22

4.3 Aspek Ekonomi 23

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 24

5.1 Lanskap dan Arsitektur Desa Adat Penglipuran 24 5.2 Identifikasi dan Analisis Konsep Arsitektur Hijau 28 5.2.1 Pemilihan Tapak dan Penghubung 28

5.2.2 Desain dan Pola Permukiman 36

(10)

5.3.1 Pemilihan Tapak dan Penghubung 51

5.3.2 Desain dan Pola Permukiman 52

5.3.3 Teknologi dan Konstruksi Hijau 54

5.3.4 Tingkat Hijau Lanskap Desa Adat Penglipuran 55

5.4 Rekomendasi 57

6 SIMPULAN DAN SARAN 60 6.1 Simpulan 61 6.2 Saran 61 DAFTAR PUSTAKA 62 LAMPIRAN 64

(11)

DAFTAR TABEL

1 Parameter LEED for neighborhood development rating system 6

2 Jenis, bentuk, cara pengambilan, dan sumber data yang akan diambil 14

3 Kriteria LEED for neighborhood development rating system yang digunakan 15

4 Penggunaan lahan Desa Adat Penglipuran 20

5 Jumlah penduduk desa berdasarkan kelompok umur 23

6 Proporsi penduduk berdasarkan mata pencaharian 23

7 Penilaian berdasarkan parameter pemilihan tapak dan penghubung 51

8 Penilaian berdasarkan parameter desain dan pola permukiman 52

9 Penilaian berdasarkan parameter teknologi dan konstruksi hijau 54

10 Tingkat hijau Desa Adat Penglipuran 55

(12)

31 Letak ruang terbuka desa dan empat sampel rumah tinggal 42

32 Lapangan untuk berolahraga 43

33 Bale Banjar dan area terbuka di sekitarnya 43

34 Taman makam pahlawan 43

35 Pekarangan pada kavling rumah tinggal 44

36 Rumah tinggal pada luar area inti desa 45

37 Kayu bakar sebagai bahan bakar pada dapur tradisional 46

38 Pengelolaan limbah cair pada keempat sampel rumah tinggal 47

39 Tempat sampah akhir Desa Adat Penglipuran 47

40 a. Pura pada rumah tinggal b. Angkul-angkul salah satu sampel 48

41 a. Bale saka enem pada sampel rumah nomor 4 b. Dapur tradisional 49

42 Bangunan rumah tinggal dengan ornamen khas Bali 49

43 Material-material yang digunakan pada fasilitas umum dan elemen keras lainnya 50

44 Model lanskap Desa Adat Penglipuran dengan prinsip arsitektur hijau 58

45 Konsep warna Nawa Sanga 59

46 a. alur energi biogas b. struktur biogas 59

47 Model pola pekarangan rumah tinggal Desa Adat Penglipuran 60

DAFTAR LAMPIRAN

1 Standar Penilaian LEED for Neighborhood Development Rating System 2007 64

(13)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pesatnya perkembangan teknologi membawa perubahan besar dalam dunia arsitektur Indonesia. Terdapat kekeliruan pemahaman antara arsitektur dan teknologi. Pekerjaan arsitektur tidak lagi mempertimbangkan arah mata angin, arah datangnya sinar matahari, posisi bangunan terhadap angin dan matahari, suhu, serta kondisi awal tapak. Penggunaan air conditioner (AC), pemborosan energi, ketidaktepatan material bangunan, peningkatan jumlah limbah, dan perubahan fisik lahan secara ekstrim menjadi hal umum bagi pembangunan kini (Karyono 2010). Pembangunan yang eksploitatif tersebut melahirkan dampak berbahaya bagi lingkungan dan kehidupan manusia. Pembangunan yang tidak mempedulikan kondisi iklim dan lingkungan tersebut berimplikasi terhadap banyaknya gas rumah kaca yang dilepas ke atmosfir sebagai penyebab pemanasan global. Lingkungan alam, seperti daerah-daerah aliran sungai, area resapan air hujan, ruang terbuka hijau, serta keanekaragaman hayati mengalami penurunan kualitas dan kuantitas. Hal tersebut melahirkan berbagai upaya untuk menghasilkan solusi yang tepat bagi permasalahan lingkungan.

Konsep arsitektur hijau menjadi salah satu jawaban yang tepat dari fenomena yang terjadi. Menggunakan seminimal mungkin bahan non-renewable dan pencemar lingkungan serta menanamkan ide berkelanjutan dalam perencanaan menjadi konsep dalam arsitektur hijau. Arsitektur hijau juga menciptakan keselarasan antara penataan ruang dalam (interior), bentuk muka bangunan, dan ruang luar (eksterior). Digunakannya bahan dan material ramah lingkungan serta keselarasan, arsitektur hijau dapat meminimalisir dampak kerusakan dan membantu memperbaiki keadaan iklim global. Sejumlah lembaga di dunia melakukan pengukuran implementasi arsitektur hijau dalam realitas bangunan dan lingkungan. Salah satu standar pengukuran dikembangkan oleh U.S. Green Building Council (USGBC), yaitu Leadership in Energy and Environmental Design (LEED) (Barliana MS et al. 2012). Standar pengukuran arsitektur hijau kini dimiliki oleh banyak negara lain termasuk Indonesia dengan Greenship yang dikeluarkan oleh Green Building Council Indonesia (GBCI).

Budaya masyarakat masa lalu telah melakukan konsep arsitektur hijau dan bersahabat dengan lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Pemilihan tapak yang tepat sehingga pemukiman tradisional dapat bertahan sampai ratusan tahun tanpa mendapat gangguan bencana alam seperti tanah longsor, banjir, gempa, letusan gunung dan lainnya. Material dan bahan bangunan dipilih dari lingkungan tempat tinggal yang kemudian disesuaikan dengan iklim setempat. Bentuk atau arsitektur rumah tinggal masyarakat pada masa lalu juga menyesuaikan dengan kondisi iklim setempat. Masyarakat pada masa lalu memiliki kepercayaan dan tradisi yang menjunjung tinggi alam tempat tinggal mereka sehingga mereka tidak akan merusak dan mengeksploitasi alam secara berlebihan.

(14)

2

masyarakat tradisional Bali yang sarat keagamaan tersebut. Kebudayaan Bali merupakan kebudayaan yang berwajah natural dan berjiwa ritual. Jiwa ritual dipengaruhi oleh sistem religi Hindu yang datang dari India. Hal ini sangat mempengaruhi pembentukan elemen-elemen arsitekturnya. Setiap corak, ruang, elemen, dan ragam hias memiliki filosofi yang pada hakikatnya merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap alam dan Pencipta. Seperti ketentuan yang telah diatur didalam lontar Asta Dewa dan Asta Kosala/Kosali dimana setiap material dan bahan konstruksi berasal dari alam, contohnya kayu, ijuk, alang-alang, batu alam, dan sebagainya. Salah satu desa adat tradisional Bali yang masih sarat akan tradisi dan ritual dalam tatanan lanskap dan arsitektural adalah Desa Adat Penglipuran.

Desa Adat Penglipuran adalah salah satu desa tua di Bali atau sering disebut Bali Aga atau Bali Mula. Desa ini memiliki budaya dan tradisi khas yang tetap terpelihara dengan baik sampai saat ini. Budaya dan tradisi khas tersebut ialah pola tata ruang dan arsitektur bangunan (Astuti 2002). Budaya lain yang juga menonjol dari desa ini, yaitu awig-awig (peraturan adat) tentang pemeliharaan lingkungan, sistem pembuangan limbah, pemilihan material bangunan, juga tata lanskap. Material pada setiap rumah berupa tanah atau bambu untuk tembok dan bambu untuk atap (Arrafiani 2012). Penilaian prinsip arsitektur hijau pada budaya masyarakat tradisional Desa Adat Penglipuran akan dilakukan sehingga dapat mempelajari dan melestarikan arsitektur hijau serta kearifan lokal yang ada.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. mengidentifikasi dan menganalisis konsep arsitektur hijau pada tatanan lanskap serta arsitektural Desa Adat Penglipuran,

2. mengukur tingkat hijau dari lanskap Desa Adat Penglipuran menggunakan LEED for Neighborhood Development Rating System, dan

3. memberikan rekomendasi bagi desa berdasarkan hasil pengukuran tingkat hijau untuk menjaga dan melestarikan nilai hijau dari tatanan lanskap Desa Adat Penglipuran.

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah:

1. membantu Desa Adat Penglipuran dalam mempertahankan dan mengembangkan prinsip-prinsip hijau yang telah ada pada desa,

2. menjadi bahan referensi arsitektur hijau yang dapat diterapkan pemerintah pada pembangunan permukiman hingga perkotaan,

3. memberikan masukan bagi para akademisi dan praktisi di bidang arsitektur hijau dalam membentuk standar penilaian arsitektur hijau terutama untuk permukiman tradisional di Indonesia,

(15)

3

1.4 Kerangka Pikir Penelitian

Desa Adat Penglipuran merupakan sebuah lanskap tradisional yang memiliki prinsip ekologis dalam adat dan budaya masyarakatnya. Arsitektur hijau sendiri memiliki parameter dalam pengukuran tingkat hijau. Kedua hal tersebut dikaitkan sehingga didapatkan prinsip-prinsip arsitektur hijau dalam lanskap Desa Penglipuran Bali. Prinsip tersebut diperoleh melalui studi pustaka, wawancara, dan survei lapang yang kemudian dilakukan suatu penilaian dengan melihat 3 parameter dalam LEED for Neighborhood Development Rating System. Hasil dari penilaian tersebut berupa tingkat hijau lanskap Desa Adat Penglipuran. Tingkat hijau yang diperoleh akan diketahui kelebihan dan kekurangan/kelemahan dari desa tersebut terutama dalam prinsip-prinsip arsitektur hijau. Hal-hal yang menjadi kekurangan/kelemahan tersebut akan dijadikan rekomendasi yang dapat menjaga dan meningkatkan tingkat hijau dari Desa Adat Penglipuran. Proses berfikir pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Lanskap Tradisional Desa Penglipuran Bali Arsitektur Hijau

Prinsip-prinsip Ekologis Masyarakat Tradisional Desa Panglipuran Bali

Studi Pustaka Wawancara Masyarakat / Pakar Survei Lapang

Prinsip-prinsip Arsitektur Hijau dalam Lanskap Tradisional Desa Penglipuran Bali

Tingkat Hijau Lanskap Desa Penglipuran Bali berdasarkan LEED for Neighbourhood Development Rating System Parameter

Arsitektur Hijau

Rekomendasi bagi Desa Penglipuran Bali dalam menjaga dan meningkatkan tingkat hijaunya

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

Tradisional Desa Adat Penglipuran

Adat Penglipuran menurut LEED for Neighborhood Development Adat Penglipuran

Tingkat Hijau Lanskap Desa Adat Penglipuran berdasarkan LEED for Neighborhood Development Rating System

(16)

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Latar Belakang Arsitektur Hijau

Vitruvius dalam bukunya Ten Books on Architecture terjemahan Morris H. Morgan (1960) menyatakan bahwa arsitektur harus memenuhi tiga unsur, yaitu Firmitas (ketahanan), Utilitas (kegunaan), dan Venustas (keindahan). Membuat karya yang kokoh dan indah berarti kita menciptakan karya seni murni seperti patung, dan bila kita membuat karya yang hanya fungsional dan kokoh, maka kita menciptakan bangunan. Karya arsitektur harus memenuhi ketiga unsur diatas atau penambahan unsur keindahan pada sebuah bangunan. Hal tersebut yang menjadi konsep perkembangan arsitektur klasik. Kehidupan, bentuk aktivitas, ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang sehingga membawa pertambahan terhadap sumber energi sampai pada penggunaan bahan bakar minyak, listrik, dan nuklir. Ketergantungan bangunan terhadap penggunaan energi semakin tinggi ketika arsitek membuat bangunan tinggi yang harus dilengkapi dengan mesin angkut vertikal (elevator), pompa air, mesin pendingin ruangan, dan lainnya. Penggunaan energi besar-besaran merupakan suatu faktor yang selalu melekat dalam karya arsitektur (Karyono 2010).

Embargo minyak terhadap Blok Barat (Amerika dan sekutunya di Eropa Barat) oleh negara Arab pada tahun 1973 menyebabkan krisis energi pada negara-negara barat. Hal tersebut membawa perubahan besar dalam dunia arsitektur. Para arsitek di negara Barat mulai sadar betapa pentingnya energi bagi dunia arsitektur. Komisi PBB untuk lingkungan dan pembangunan membuat suatu deklarasi yang dikenal dengan Brundtland report yang di dalamnya mendefinisikan tentang Pembangunan Berkelanjutan (Karyono 2010). Menurut World Commision and Environment Development (WCED) (1987) dalam Pranoto (2008), Pembangunan Berkelanjutan adalah “the development which meets the needs of present, without compromising the ability of future generation to meet with their own needs”. Pernyataan tersebut bertujuan agar sebuah desain berkelanjutan dapat meminimalisasi dampak negatif terhadap sumberdaya sosial, ekonomi, dan ekologi.

Dalam mencapai kondisi berkelanjutan tersebut muncullah pemikiran-pemikiran dan pendekatan-pendekatan baru dalam desain diantaranya desain ekologis (ecological design), desain berkelanjutan secara ekologis (ecologically sustainable design), desain hijau (green design), dan lainnya adalah istilah-istilah yang menggambarkan penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam merancang bangunan maupun lanskap (Kibert 2008).

2.2 Arsitektur Hijau

(17)

5 Robert dan Brenda Vale (1991) mengatakan bahwa pendekatan hijau untuk lingkungan binaan melibatkan pendekatan holistik dengan desain bangunan, semua sumber daya yang masuk pada sebuah gedung akan menjadi material, bahan bakar, atau kontribusi pengguna yang perlu untuk dipertimbangkan jika arsitektur berkelanjutan dibuat untuk kesehatan manusia. Pendapat Sim Van Der Ryn dan Calthorpe (1996) menjelaskan bahwa kita harus dapat memasukkan sebuah pemahaman ekologi yang mendalam pada suatu desain dari produk, bangunan, dan lanskap.

Menurut Brenda dan Robert Vale (1991), terdapat 6 prinsip dasar dalam perencanaan Green Architecture:

1. Conserving energy, yang berarti sebuah karya arsitektur seharusnya didesain atau dibangun dengan pertimbangan yang meminimalisir penggunaan bahan bakar fosil.

2. Working with climate, suatu karya arsitektur seharusnya didesain untuk bekerja baik dengan iklim dan sumber daya energi alam.

3. Minimizing new resources, suatu karya arsitektur seharusnya didesain untuk meminimalisir penggunaan sumber daya dan pada akhir penggunaan dapat dimanfaatkan untuk keperluan lainnya.

4. Respect for users, arsitektur hijau mempertimbangkan kepentingan manusia yang terlibat didalamnya.

5. Respect for site, suatu karya arsitektur didesain dengan meminimalisir perusakan alam.

6. Holism, semua prinsip diatas harus menyeluruh dijadikan sebagai pendekatan dalam membangun sebuah lingkungan.

2.3 Standar Pengukuran Arsitektur Hijau

Tingkat kehijauan suatu bangunan atau kawasan harus dapat diposisikan dalam tingkat yang dapat dimengerti atau diukur oleh suatu acuan (standar) tertentu. Karyono (2010) menjabarkan beberapa alat ukur atau standar yang telah banyak dirumuskan di negara-negara maju, yaitu:

1. BREEAM (Building Research Establishment’s Environmental Assessment Method). BREEAM merupakan acuan penilaian tingkat hijau tertua di dunia. Parameter yang dinilai BREEAM meliputi 10 aspek, yaitu manajemen, kesehatan dan kualitas hidup, energi, transportasi, air, material, limbah, tata guna lahan dan ekologi, polusi, dan inovasi. Standar ini memberikan lima kategori hasil penilaian, yaitu Pass, Good, Very Good, Excellent, dan Outstanding.

(18)

6

Tabel 1 Parameter LEED for Neighborhood Development Rating System (Pengembangan Lingkungan Perumahan)

Rating Nilai Maksimum

1. Smart Location & Linkage

a. Brownfield Redevelopment 2

b. High Priority Brownfield Redevelopment 1

c. Preffered Locations 10

d. Reduced Automobile Dependence 8

e. Bicycle Network 1

f. Housing and Jobs Proximity 3

g. School Proximity 1

h. Steep Slope Protection 1

i. Site Design for Habitat or Wetland Conservation 1

j. Restoration of Habitat or Wetland 1

k. Conservation Management of Habitat or Wetlands 1

2. Neighborhood Pattern & Design

a. Compact Development 7

b. Diversity of Uses 4

c. Diversity of Housing Types 3

d. Affordable Rental Housing 2

e. Affordable For-Sale Housing 2

f. Reducing Parking Footprint 2

g. Walkable Streets 8

h. Street Network 2

i. Transit facilities 1

j. Transportation Demand Management 2

k. Access to Surrounding Vicinity 1

l. Access to Public Spaces 1

m.Access to the Active Space 1

n. Universal Accessibility 1

o. Community Outreach and Involvement 1

p. Food Production 1

3. Green Construction and Technology

a. Certified Green Building 3

b. Energy Efficiency in Building 3

c. Reduced Water Use 3

d. Building Reuse and Adaptive Reuse 2

e. Reuse of Historic Building 1

f. Minimize Site Disturbance through Site Design 1

g. Minimize Site Disturbance during Construction 1

h. Contaminant Reduction 1

i. Stormwater Management 5

(19)

7

3. Green Star (Standar Bangunan Hijau Australia). Standar penilaian Green Star dicetuskan oleh Green Building Council Australia (GBCA) tahun 2002. Penilaian ini membagi bangunan ke dalam sejumlah tipe, yakni bangunan hunian, kesehatan, perbelanjaan, pendidikan, perkantoran baru, dan perkantoran eksisting.

4. Green Mark (Standar Bangunan Hijau Singapura). Green Mark dikeluarkan oleh Building Council Association (BCA) Singapura pada tahun 2005. Standar ini memberikan penilaian terhadap sejumlah tipe bangunan dan proyek, yakni bangunan hunian, non-hunian, bangunan eksisting, interior bangunan kantor, bangunan menapak tanah, infrastruktur, dan taman baru/lama. Parameter yang dipakai adalah efisiensi penggunaan energi, efisiensi penggunaan air, perlindungan terhadap lingkungan, kualitas fisik ruang dalam, aspek hijau lainnya dan inovasi desain. Bangunan yang dinilai dengan BCA Green Mark diberi predikat tersertifikasi emas, emas plus, dan platinum.

5. Greenship (Standar Bangunan Hijau Indonesia). Greenship merupakan standar bangunan hijau yang dikembangkan oleh Green Building Council Indonesia (GBCI). Green Building Council Indonesia menyusun standar bangunan hijau dengan tujuh aspek yang menjadi penilaian, yaitu ketepatan pengembangan tapak, efisiensi energi, penghematan air, sumber material, kesehatan serta kenyamanan ruang dalam, dan kondisi lingkungan bangunan.

Tabel 1 Parameter LEED for Neighborhood Development Rating System (lanjutan)

Rating

3. Green Construction and Technology 1

a. Solar Orientation 1

b. On-Site Energy Generation 1

c. On-Site Renewable Energy Sources 1

d. District Heating and Cooling 1

e. Infrastructure Energy Efficiency 1

f. Wastewater Management 1

g. Recycle Content in Infrastructure 1

h. Construction Waste Management 1

i. Comprehensive Waste Management 1

j. Light Pollution Reduction 1

4. Innovation and Design Process

a. Innovation and Exemplary Performance 5

b. LEED Accredited Professional 1

Total 106

(20)

8

2.4 Arsitektur Tradisional di Indonesia

Wiranto (1999) mengatakan bahwa kebudayaan Indonesia bukan sesuatu yang padu dan bulat tetapi tersusun dari berbagai rona elemen budaya yang bervariasi. Perjalanan sejarah Indonesia yang panjang membentuk sistem kebudayaan yang berlapis-lapis. Empat lapis kebudayaan Indonesia tersebut, yakni kebudayaan Indonesia asli, kebudayaan India, kebudayaan Arab-Islam, dan kebudayaan modern Eropa-Amerika. Salah satu bentuk budaya hasil dari perjalanan waktu dan keunikan tempat adalah arsitektur tradisional.

Menurut Prijotomo & Sulistyowati (2009), istilah ‘Arsitektur Tradisional Indonesia’ merupakan istilah yang diberikan oleh ilmuwan dan penulis kolonial Belanda di zaman sebelum perang dunia dua. Sebutan yang berasal dari kata Belanda ‘traditioneele architectuur’ itu diberikan bagi karya-karya arsitektur asli daerah di Indonesia dengan beberapa alasan. Alasan pertama adalah untuk membedakan jenis arsitektur yang timbul, berkembang dan merupakan karakteristik suku-suku bangsa di Indonesia dari jenis arsitektur yang tumbuh atas dasar perkembangan arsitektur di Eropa, khususnya Belanda. Alasan kedua adalah karena masyarakat asli Indonesia masih mempertahankan bentuk arsitekturnya sebagai warisan dari generasi ke generasi tanpa menunjukkan adanya perubahan mendasar.

2.5 Masyarakat dan Budaya Arsitektur Bali

Masyarakat Bali menerapkan sendi-sendi agama, adat istiadat, kepercayaan, dan religi dalam segala aspek kehidupan sehari-hari, termasuk juga dalam budaya arsitektur mereka. Penerapan sendi-sendi agama, adat istiadat, kepercayaan, dan religi masyarakat tradisional Bali pada arsitektur mereka, terangkum dalam kaidah dasar arsitektur tradisional Bali atau yang biasa dikenal dengan Asta Kosala Kosali. Oleh Budihardjo (1991) kaidah ini dikonsepsikan menjadi tujuh kaidah dasar arsitektur tradisional Bali.

2.5.1 Hirarki Ruang

(21)

9

2.5.2 Orientasi Kosmologi

Pada pembentukan ruang, konsep Tri Angga maupun Tri Loka digunakan sebagai dasar konsep tata ruang secara vertikal, dimana daerah tertinggi memiliki nilai Utama dan daerah terendah bernilai Nista, sedangkan diantaranya bernilai Madya. Secara horizontal, pembentukan ruang menggunakan konsep turunan Tri Angga dan Tri Loka, konsep Nawa Sanga yang membagi ruang menjadi 9 orientasi, yaitu 8 arah mata angin dan satu titik pusat atau Puseh.

2.5.3 Keseimbangan Kosmologi

Agama Hindu sebagai kepercayaan hampir semua penduduk Bali, mengajarkan umatnya untuk hidup harmonis dengan alam semesta dan segala isinya yang tersirat dalam konsep manik ring cucupu. Di dalam konsep ini, seluruh kehidupan dan keadaan alam semesta yang terdiri dari lima unsur pembentuk (Panca Mahabhuta), yaitu cairan, sinar, angin, udara, tanah, dan zat padat, masing-masing memiliki nilai yang berlawanan (Rwa Bhineda). Hal ini juga diterapkan pada arsitektur tradisional Bali.

2.5.4 Ukuran Tubuh Manusia

Keunikan lain dari arsitektur tradisional Bali adalah masyarakat Bali menentukan ukuran-ukuran bangunan mereka berdasarkan ukuran dari bagian tubuh mereka, seperti tangan jari, telapak kaki, dan sebagainya. Dengan menerapkan ukuran bagian dari tubuh mereka pada ukuran-ukuran bangunan, ruang hidup mereka menyesuaikan dengan proporsi dan skala mereka yang hidup disana, sehingga tercapai kenyamanan didalamnya.

Gambar 2 Hierarki ruang secara vertikal dan horizontal (Budihardjo, 1991)

(22)

10

2.5.5 Konsep Open Air

Massa bangunan arsitektur tradisional Bali cenderung terdiri dari unit-unit bangunan terpisah dengan lahan terbuka sebagai elemen penghubung. Konsep open air ini juga dinilai cocok untuk menghadapi kondisi fisik alam Bali yang beriklim tropis.

2.5.6 Kejelasan Struktur

Struktur pada bangunan diperlihatkan secara eksplisit, menjelaskan bagaimana metode struktur bekerja. Konsep ini menampakkan kejujuran dan keteraturan pada setiap struktur.

2.5.7 Kejujuran Material

Arsitektur tradisional Bali menampilkan material bangunan dengan semua karakter asli secara jujur seperti apa yang terlihat pada alam sebagai suatu cara untuk mencapai keharmonisan.

2.6 Tata Ruang Desa Penglipuran

Dwijendra (2009) menyatakan bahwa falsafah hubungan yang selaras antara alam dan manusia, dan kearifan manusia yang mendayagunakan alam dapat membentuk suatu ruang kehidupan yang seimbang antara buana agung dan buana alit yang diwujudkan dalam konsep Tri Hita Karana (Parahyangan, Pawongan, Palemahan). Konsep ini terlihat jelas dan dijabarkan dalam tata letak dalam desa ini. Pola desa yang terbentuk tak lepas dari pengaruh kepercayaan yang dianut masyarakat Penglipuran yang dibawa leluhurnya, yaitu dari Desa Bayung Gede. Pola tersebut terbagi dalam 2 bagian sebagai berikut:

(23)

11

Data monografi Desa Adat Penglipuran 2001 menyatakan bahwa pola penataan ruang dan tata letak bangunan tradisional di Penglipuran menggunakan pola dasar Nawa Sanga, yaitu penggabungan orientasi antara gunung dan laut serta terhadap peredaran matahari. Ciri yang menonjol adalah As Utara Selatan (Kaja-Kelod dengan Axis Linier). Axis ini juga berfungsi sebagai ruang terbuka untuk kegiatan bersama. Ruang terbuka membagi desa menjadi dua bagian Barat-Timur (Kauh-Kangin). Ruang terbuka Desa Penglipuran menanjak kearah gunung (utara) dimana terdapat bangunan suci yang berorientasi kepada Gunung Batur.

Masyarakat Desa Penglipuran yang keseluruhannya beragama Hindu ini memiliki tata ruang desa yang khas, dengan konsep Tri Mandala, dimana arah timur laut merupakan Utama Mandala atau tempat paling suci untuk bangunan pura, Madya Mandala untuk aktivitas keluarga sehari-hari dan tempat tinggal, dan Nista Mandala di bagian selatan untuk kuburan warga. Pola tata ruang pekarangan sangat jelas pada rumah keluarga di jejer barat, dimana bagian depan merupakan Utama Mandala, bagian tengah merupakan Madya Mandala, dan bagian belakang merupakan Nista Mandala, terdapat kamar kecil, kandang ternak, tempat sampah, dan lainnya (Astuti 2002).

(24)

12

3 METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Adat Penglipuran yang secara administratif terletak di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali (Gambar 6). Waktu penelitian di lapang dilakukan selama dua bulan, pada bulan Maret dan April 2013. Pengolahan data dilakukan pada bulan Mei dan Juni 2013.

(25)

13

3.2 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui tahapan inventarisasi, analisis dan penilaian berdasarkan LEED for Neighborhood Development Rating System, serta sintesis. Adapun penjelasan mengenai tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Inventarisasi atau pengumpulan data dengan metode survei. Data yang

dikumpulkan meliputi pemilihan tapak, desain dan pola permukiman, dan teknologi konstruksi hijau (Tabel 2). Data didapatkan melalui observasi lapang, wawancara, dan studi pustaka. Observasi lapang dilakukan untuk mengetahui kondisi eksisting Desa Adat Penglipuran yang menjadi objek secara spasial. Pengambilan data mengenai kondisi rumah tinggal dalam area inti desa dilakukan dengan menentukan sampel rumah tinggal secara acak pada pemukiman bagian barat dan timur yang memiliki fisik berbeda. Pemukiman pada inti desa juga terbagi oleh sirkulasi menjadi bagian utara dan selatan. Sampel yang diambil berjumlah 4 rumah secara acak, yang masing-masing mewakili setiap bagian pada area inti desa (Gambar 7).

(26)

14

Wawancara dilakukan secara langsung kepada Ketua Adat Desa Penglipuran, Kepala Lingkungan Desa Penglipuran, dan 2 tokoh masyarakat Desa Adat Penglipuran. Dalam wawancara responden sebagai narasumber harus benar-benar bebas dari pengaruh luar (Sugiyono 2007) dan responden tidak mengetahui bahwa selama percakapan secara informal tersebut bertujuan untuk pengumpulan data. Studi pustaka dilakukan dengan mengumpulkan data-data sekunder dari dokumen desa, hasil penelitian lain, dan instansi pemerintah setempat. Mencari informasi dan data dari literatur yang terkait tentang Desa Adat Penglipuran dan arsitektur hijau.

2. Analisis dan penilaian berdasarkan LEED for Neighborhood Development Rating System (USGBC 2007) dilakukan dengan metode skoring dari parameter-parameter yang diukur didalamnya. Parameter yang dinilai, meliputi smart location and linkage (pemilihan tapak dan penghubung), Neighborhood pattern and design (desain dan pola permukiman), green construction and technology (teknologi dan konstruksi hijau). Kriteria-kriteria yang digunakan sebagai dasar penilaian tercantum pada Tabel 3. Tabel 2 Jenis, bentuk, cara pengambilan, dan sumber data yang akan diambil

Jenis Data Bentuk Data Cara

Pengambilan Sumber

1. Pemilihan tapak dan penghubung a. Kondisi awal tapak, kondisi

lingkungan sekitar tapak, tata guna lahan, rekayasa lanskap, topografi, aksesibilitas desa, persebaran

vegetasi dan satwa, kondisi badan air, pengelolaan habitat lokal

Peta, foto, teks Survei, studi pustaka,

2. Desain dan pola permukiman a. Kepadatan rumah tinggal, peruntukan

rumah tinggal, letak fasilitas publik sekitar desa

b. Fasilitas parkir, pola sirkulasi, kondisi fisik jalan

c. Luas dan jarak ruang terbuka dari rumah tinggal, fasilitas jalan dan transportasi, partisipasi masyarakat dalam pembangunan, letak pasar tradisional dan lahan pertanian

Peta, foto, teks

3. Teknologi dan konstruksi hijau a. Sistem & pengelolaan air irigasi,

penggunaan kembali bangunan tidak terpakai, rehabilitasi cagar budaya, pemeliharaan tapak terkontaminasi, sumber energi alternatif, infrastruktur hemat energi, pengelolaan limbah (cair dan padat), material pada

(27)

15 Tabel 3 Kriteria LEED for Neighborhood Development Rating System yang digunakan

Rating Tolok Ukur

Nilai Evaluasi Nilai Nilai

Maksimum

1. Smart Location & Linkage 21

Brownfield Redevelopment

Pemukiman berada pada tapak yang terkontaminasi oleh polusi (udara, tanah, air), dan harus melakukan pemulihan atau remediasi untuk penggunaan di masa yang akan datang.

2 2

Preffered Locations

Pemukiman berada pada tapak dimana 75% dari luasnya telah terbangun (adanya konstruksi awal, paving, dan rekayasa lanskap) (10 poin), atau

Pemukiman berada pada tapak dimana 25% dari luasnya telah terbangun (adanya konstruksi awal, paving, dan rekayasa lanskap) (5 poin).

5-10 10

Reduced Automobile Dependence

Sejumlah 50% dari rumah tinggal dan tempat bekerja berada pada jarak 400 meter dari halte angkutan umum.

1 1

Bicycle Network Memiliki jalur khusus sepeda yang menghubungkan permukiman dan tempat bekerja terdekat, dan fasilitas parkir sepeda pada bangunan yang bukan rumah tinggal.

1 1

Housing and Jobs Proximity

Sejumlah 25% tempat bekerja penduduk terletak pada jarak 800 meter dari 50%

rumah tinggal pada permukiman. 3 3

School Proximity Pemukiman berada dalam jarak 800

meter dari sekolah terdekat. 1 1

Steep Slope Protection

Minimum dalam melakukan pengubahan

bentuk lahan (slope protection) (<15%) 1 1

Site Design for Habitat or Wetland Conservation

Tidak mengganggu habitat spesies dilindungi jika terdapat pada tapak atau membuat penyangga disekitarnya, atau melakukan perlindungan terhadap badan air yang terdapat pada tapak (jika terdapat badan air pada tapak).

1 1

Restoration of Habitat or Wetland

Menggunakan tanaman lokal, atau memulihkan habitat lokal atau badan air pada tapak seluas minimal 10% area terbangun.

(28)

16

Tabel 3 Kriteria LEED for Neighborhood Development Rating System yang digunakan (lanjutan)

Rating Tolok Ukur

Nilai Evaluasi Nilai Nilai

Maksimum

1. Smart Location & Linkage 1

Conservation Management of Habitat or Wetlands

Membuat rencana pengelolaan jangka panjang untuk konservasi habitat lokal (pada tapak dengan habitat lokal dilindungi) atau membuat rencana pengelolaan jangka panjang untuk konservasi badan air (pada tapak dengan badan air).

1 1

2. Neighborhood Pattern & Design 14

Compact Development

Kepadatan pemukiman memenuhi nilai dibawah ini (DU/acre):

Diversity of Uses Sejumlah 50% unit rumah tinggal berada dalam jarak 800 meter dari 2 (1 poin), 4 (2 poin), 7 (3 poin), dan 10 (4 poin) tempat-tempat publik berikut (list of diverse uses):

a. Bank

b. Toko kebutuhan sehari-hari c. Fasilitas rekreasi outdoor

d. Perpustakaan

e. Rumah Sakit atau Puskesmas f. Apotek

Memenuhi angka Simpson Diversity Index (1-Σ(n/N)2) sebesar:

a. 0.5-0.6 (1 poin) b. 0.6-0.7 (2 poin) c. > 0.7 (3poin)

n: jumlah DU dengan satu kepala keluarga

N: jumlah DU dengan >1 kepala keluarga

(29)

17 Tabel 3 Kriteria LEED for Neighborhood Development Rating System yang

digunakan (lanjutan)

Rating Tolok Ukur

Nilai Evaluasi Nilai Nilai

Maksimum

2. Neighborhood Pattern & Design 20

Reducing Parking Footprint

Menempatkan seluruh fasilitas parkir pada bagian samping atau belakang bangunan, dan membiarkan bagian depan bangunan bebas dari fasilitas tersebut.

2 2

Walkable Streets Fasad bangunan menghadap ke fasilitas publik seperti jalan, plaza, dan taman (4 poin). Lebar pedestrian minimal 1.2 meter (4 poin) atau jalan yang ada pada area pemukiman dikhususkan untuk kecepatan kendaraan maksimum 20 km/jam (4 poin).

4-8 8

Street Network Terdapat pedestrian yang

menghubungkan setiap bagian cul-des-sacs dari pemukiman.

2 2

Transit Facilities Terdapat halte angkutan umum setengah tertutup dengan atap dan minimal sebuah bangku pada bagian terluar pemukiman.

1 1

Transportation Demand Management

Terdapat fasilitas transportasi publik

dari pemukiman menuju pusat kota. 1 1

Access to Surrounding Vicinity

Terdapat minimal satu buah fasilitas jalan penyebrangan setiap 250 m pada jalan yang dilalui kendaraan bermotor dalam area pemukiman.

1 1

Access to Public Spaces

Terdapat ruang terbuka (taman atau plaza) sebagai area publik dengan luas minimal 600 m2 dan berada pada jarak maksimal 300 meter dari rumah tinggal.

1 1

Access to Active Spaces

Terdapat ruang terbuka untuk

berolahraga atau kegiatan aktif dengan jarak 800 meter dari rumah tinggal.

1 1

Universal Accessibility

Pedestrian pemukiman dapat dilalui

oleh penduduk segala usia dan cacat. 1 1

Community Outreach and Involvement

Melibatkan masyarakat setempat dalam melakukan pembangunan pemukiman

yang ada. 1 1

Food Production Terdapat budidaya pertanian penduduk asli atau pasar tradisional dengan jarak

(30)

18

Tabel 3 Kriteria LEED for Neighborhood Development Rating System yang digunakan (lanjutan)

Rating Tolok Ukur

Nilai Evaluasi Nilai Nilai

Maksimum

3. Green Construction and Technology 12

Reduced Water Use

Menggunakan air tangkapan hujan atau olahan air buangan untuk kebutuhan irigasi. dan pekarangan tidak

membutuhkan sistem irigasi permanen.

1 1

Building Reuse and Adaptive Reuse

Menggunakan kembali bangunan yang tidak terpakai untuk peruntukan lainnya dan melakukan perbaikan 50% dari struktur eksisting bangunan.

1 1

Reuse of Historic Building

Melakukan rehabilitasi bangunan cagar budaya yang telah ditetapkan oleh pemerintah. dilakukan pada area yang sebelumnya telah terbangun dan tidak merusak lingkungan alami yang ada.

1 1

Contaminant Reduction

Melakukan pemeliharaan berkelanjutan pada tapak yang terkontaminasi (Brownfield Redevelopment).

1 1

Heat Island Reduction

Pada area terbuka (pedestrian, parkir) menggunakan material dengan nilai SRI maksimal 29 atau menempatkan fasilitas parkir pada area ternaungi (pohon, bawah tanah) dan

50% bangunan permukiman menggunakan atap hijau (vegetasi)

1 1

On-Site

Renewable Energy Sources

Terdapat sumber energi alternatif ramah lingkungan seperti solar, angin, biomasa, panas bumi, dan lainnya.

1 1

Infrastructure Energy Efficiency

Terdapat lampu taman, lampu jalan, pompa air, dan infrastruktur lainnya yang hemat energi (mereduksi 15% energi).

1 1

Wastewater Management

Terdapat pengelolaan air buangan untuk digunakan kembali sebesar 50% dari jumlah total air buangan.

1 1

Recycle Content in Infrastructure

Menggunakan material yang dapat didaur ulang pada jalan, area parkir, pedestrian, dan elemen keras lainnya.

1 1

Construction Waste Management

Menggunakan kembali/mendaur ulang kurang lebih 50% puing atau sisa konstruksi yang tidak beracun.

1 1

Comprehensive Waste

Management

Terdapat tempat pembuangan khusus untuk sampah berbahaya atau beracun. Terdapat tempat pemisahan dan pembuangan sampah yang dapat didaur ulang kembali serta pengomposan.

(31)

19 3. Sintesis merupakan tahapan pengolahan hasil analisis dan penilaian berdasarkan LEED for Neighborhood Development Rating System. Tahap ini dilakukan penjumlahan semua nilai skoring untuk didapatkan suatu tingkat hijau dari lanskap Desa Adat Penglipuran. Kemudian dari tingkat hijau dan penilaian tersebut akan dirumuskan rekomendasi bagi Desa Adat Penglipuran guna menjaga dan meningkatkan tingkat hijau desa tersebut.

3.3 Batasan Penelitian

(32)

20

4 KONDISI UMUM DESA PENGLIPURAN

4.1 Aspek Fisik

4.1.1 Geografis

Desa Adat Penglipuran termasuk dalam batas administratif pemerintahan wilayah Desa Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Desa Adat Penglipuran memiliki luas wilayah 113 Ha yang terdiri dari pekarangan, hutan bambu, hutan vegetasi lainnya, lahan pertanian, dan permukiman. Desa Adat Penglipuran terletak 5,5 km sebelah utara Kota Bangli, serta memiliki batas-batas fisik wilayah sebagai berikut:

Utara : Desa Adat Kayang Timur : Desa Adat Kubu Selatan : Desa Adat Gunaksa

Barat : Desa Adat Cekeng, Sungai Sangsang

Sungai Sangsang yang terdapat pada sebelah barat desa memiliki tebing yang curam dan air yang bersih mengalir dari utara ke selatan. Sungai ini masih dimanfaatkan penduduk sekitarnya sebagai pemandian umum, juga sebagai sumber air ketika air PDAM sedang mati. Jarak tempuh dari Desa Adat Penglipuran menuju sungai tersebut kurang lebih 750 meter (Pemkab Bangli 2010).

4.1.2 Topografi

Desa Adat Penglipuran terletak pada ketinggian 500-600 m diatas permukaan laut, sehingga termasuk wilayah dataran tinggi. Permukaan tanah pada desa mempunyai perbedaan tinggi 5-15 m. Jenis tanah berupa lempung berpasir berwarna kemerahan (latosol). Terletak pada dataran tinggi yang berlereng membuat daerah sekitar desa ini banyak dikelilingi kondisi tanah yang curam dan berupa hutan. Desa ini memanjang dari utara hingga ke selatan dengan kontur yang menurun (Dwijendra 2003).

4.1.3 Tata Guna Lahan

Tata guna lahan di Desa Adat Penglipuran dilandasi oleh filosofi Tri Angga, yaitu Hulu (kepala), Antara (badan), Teben (kaki) yang sekaligus menjadi tata nilai utama, madya, dan nista (Tri Mandala). Penggunaan lahan pada zona Hulu secara dominan berupa tempat suci/laba pura dan hutan. Zona Antara berisikan permukiman, fasilitas umum, tegalan, dan hutan. Zona Teben secara dominan berupa pemakaman, tegalan, dan hutan (Gambar 8). Berdasarkan catatan Statistik Lingkungan Penglipuran, penggunaan lahan desa sebagai berikut:

Tabel 4 Penggunaan lahan Desa Penglipuran

No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha)

1 Permukiman dan fasilitas umum 5.6

2 Tegalan 56

(33)

21

4.1.4 Iklim

Ditinjau dari segi iklim, Desa Adat Penglipuran memiliki suhu berkisar antara 18-32 C dan curah hujan rata-rata berkisar 2000-2500 mm/tahun. Curah hujan tertinggi terjadi bulan Desember-Maret dan terendah pada bulan Agustus (BPS Pemkab Bangli 2008). Pada tahun 2009 Desa Adat Penglipuran memiliki curah hujan rata-rata sebesar 2573 mm/tahun, suhu rata-rata mencapai 29 C dengan kelembaban udara mencapai 85% (BPS Pemkab Bangli 2010).

4.2 Aspek Sejarah

Desa Adat Penglipuran secara pasti tidak diketahui kapan pertama kali ditempati. Masyarakat mengakui bahwa desa ini terbentuk pada jaman Kerajaan Bangli yang dimana Kota Bangli sendiri saat ini sudah berusia kurang lebih 793 tahun (Dwijendra 2009).

Kata Penglipuran sendiri memiliki dua arti berbeda yang diakui oleh masyarakat dan pemuka adat setempat. Arti yang pertama berasal dari kata lipur yang berarti menghibur. Pondok di hutan sebagai tempat untuk menghibur hati

(34)

22

sembari bekerja di ladang yang kemudian menjadi sebuah desa Penglipuran. Arti kedua berasal dari pengeling pura, sebuah tempat suci untuk mengenang leluhur. Konon masyarakat Penglipuran pernah bertempur mewakili Kerajaan Bangli melawan Kerajaan Gianyar sehingga dihadiahkan sebuah tanah oleh Raja Bangli yang lokasinya sekarang adalah Desa Penglipuran (Dwijendra 2009).

Desa Adat Penglipuran merupakan sebuah desa yang tidak terkena pengaruh besar pada masa Hindu-Majapahit karena letaknya yang jauh dari pusat kekuasaan Samprangan-Gianyar. Padmasana sebagai wujud fisik dan simbol pemersatu umat Hindu yang saat itu terpecah dalam kasta, baru diterima oleh masyarakat Penglipuran pada tahun 1930. Rumah-rumah tinggal pada Desa Adat Penglipuran belum semua memiliki padmasana sampai saat ini (Bagus 1979). Desa Adat Penglipuran mulai ditetapkan sebagai Desa Wisata oleh Pemerintah Daerah Bali pada tahun 1992 (Astuti 2002).

4.2 Aspek Sosial dan Budaya

Data tahun 2008 diketahui bahwa jumlah penduduk Penglipuran sejumlah 219 KK atau 920 jiwa. Proporsi penduduk laki-laki dan perempuan terbilang sama, yaitu penduduk laki-laki berjumlah 468 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah 452 jiwa (Tabel 5). Dari tabel tersebut dapat dilihat proporsi penduduk Desa Adat Penglipuran didominasi oleh kelompok umur 19 tahun keatas yang mencapai 75.5%, sehingga sebagian besar penduduk Desa Adat Penglipuran sudah dalam usia dewasa dan tidak berada dalam jenjang pendidikan dasar (BPS Pemkab Bangli 2008).

Desa Adat Penglipuran merupakan sebuah desa adat sehingga memiliki hak otonomi, yang berarti memiliki kontribusi besar dalam membantu pemerintah baik fisik maupun nonfisik. Krama (masyarakat) Desa Adat Penglipuran terdiri atas 2 jenis, yaitu krama pengarep, dan krama pengerob.

Keluarga pengarep merupakan keluarga yang memiliki tanggung jawab terhadap pembangunan fisik dan menyungsung Pura Kahyangan Tiga. Awig-awig atau peraturan adat desa telah menetapkan bahwa Desa Adat Penglipuran memiliki 76 unit kavling Karang Ayahan Desa dan masing-masing kavling terdapat satu keluarga pengarep. Krama pengarep memiliki kedudukan paling menonjol dalam suatu keluarga dan dipilih melalui musyawarah keluarga. Kewajiban dari krama pengarep adalah ngayah (gotong royong dalam upacara), sembahyang, menyungsung pura dan aset-aset desa adat, serta membayar iuran.

(35)

23 Masyarakat mengelola wilayah desa mereka secara tradisi turun temurun, sehingga tidak boleh diperjualbelikan dan hanya diwariskan pada anak laki-laki yang disetujui keluarga. Bagi yang tidak memiliki anak laki-laki dapat menunjuk anak dari keluarga besar mereka maupun yang disepakati oleh sistem komunitas dan keberadaannya. Melakukan poligami tidak diijinkan bagi penduduk desa ini, hal ini merupakan satu-satunya tradisi yang masih tetap dipertahankan desa sejak dahulu. Selain merupakan sebuah peraturan adat desa setempat, hal tersebut juga bertujuan untuk mengendalikan perkembangan penduduk. Hukuman atau sangsi bagi yang melanggar peraturan adat tersebut akan dikucilkan ke sebuah area khusus yang disebut karang memadu, sampai saat ini area tersebut belum pernah dihuni oleh penduduk desa.

4.3 Aspek Ekonomi

Penduduk Desa Adat Penglipuran sebagian besar berprofesi sebagai petani. Profesi lain yang terdapat pada desa adalah peternak, pedagang, pengrajin, buruh, tukang, PNS, TNI AD, dan lainnya (Tabel 6).

Penduduk Desa Adat Penglipuran yang bermatapencaharian sebagai petani memiliki proporsi 25% dari jumlah penduduk. Komoditi pertanian yang dihasilkan dari desa berupa kelapa, bambu, salak, kopi, singkong, jagung, dan ubi jalar. Hasil pertanian tersebut hanya dipasarkan hingga tingkat kecamatan saja karena terbilang usaha pertanian skala kecil. Hasil ternak berupa ayam potong pada desa ini terbilang cukup baik sehingga banyak perusahaan swasta yang memberikan modal pada peternak di desa ini.

Tabel 6 Proporsi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian No Mata Pencaharian Jumlah Presentase (%)

1 Petani 115 25

Sumber: BPS Pemkab Bangli (2008)

Tabel 5 Jumlah Penduduk Desa Berdasarkan Kelompok Umur No Kelompok Umur (tahun) Jumlah

1 0-3 51

(36)

24

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Lanskap dan Arsitektur Desa Adat Penglipuran

Desa Adat Penglipuran terbagi atas tiga zona besar (hulu, antara, dan teben) yang memanjang dari utara sampai selatan termasuk dalam desa dengan pola linier. Sumbu linier pertama terlihat jelas berupa ruang terbuka dan jalan pada bagian tengah desa yang memanjang dari arah utara hingga selatan desa (vertikal). Sumbu linier ini membagi desa menjadi dua bagian besar, yaitu barat dan timur (horizontal). Sumbu linier kedua merupakan pola memanjang (arah barat-timur) dari kavling rumah tinggal pada area inti desa. Ruang terbuka di tengah dan kavling rumah tinggal ini merupakan perwujudan dari pola dasar Nawa Sanga (Gambar 9).

Pola linier desa ini mendapat aksen dengan mengikuti arah gunung dan laut sehingga menjadikan Desa Adat Penglipuran memiliki tempat tertinggi pada bagian utara (gunung) dan terendah pada bagian selatan (laut). Pada ujung utara (kaja/hulu/utama) terdapat Pura Puseh Desa (tempat memuja Dewa Brahma

(37)

25 sebagai manifestasi Tuhan selaku pencipta) dan Pura Penataran (tempat memuja Dewa Wisnu sebagai manifestasi Tuhan selaku pemelihara) serta hutan bambu sebagai area laba pura (lahan yang hasilnya khusus diperuntukkan untuk kepentingan pura/ibadah/suci). Bagian utara ini merupakan tempat paling suci pada desa. Bagian tengah desa (madya/antara) merupakan area pemukiman inti desa dimana terdapat kebun atau tegalan, balai desa atau balai banjar, dan kavling rumah tinggal yang memanjang dari arah barat sampai timur. Bagian ujung selatan (Nista/Teben) yang merupakan tempat terendah pada desa terdapat kuburan desa, Pura Dalem (tempat memuja Dewa Ciwa sebagai manifestasi Tuhan selaku pelebur), Taman Makam Pahlawan (monumen perjuangan untuk mengenang leluhur), sekolah dasar, kandang ternak (ayam, sapi, dan babi) dan tegalan (Gambar 9). Sirkulasi Desa Adat Penglipuran terbagi menjadi dua, yaitu sirkulasi khusus pejalan kaki dan sirkulasi untuk kendaraan bermotor. Jalan yang mengikuti pola linier pada bagian tengah desa merupakan sirkulasi khusus pejalan kaki dan menjadi jalur utama desa yang berupa jalur pedestrian. Jalur pedestrian ini memanjang pada bagian inti desa dari utara hingga selatan. Sirkulasi untuk kendaraan bermotor melingkari bagian terluar inti desa yang biasa disebut oleh masyarakat desa sebagai jalan lingkar. Setiap kavling rumah tinggal pada area inti desa terhubung pada jalan lingkar ini.

Pola Desa Adat Penglipuran selain terbagi menjadi tiga bagian (utama/suci, madya, nista) dapat terlihat dari letak hutan serta tegalan yang berada pada bagian terluar area inti desa. Hutan dan tegalan ini seakan-akan membentengi area inti desa dari lingkungan luar dan menjadi batas terluar desa. Sebuah jalan berukuran 4 meter menghubungkan pintu masuk desa dengan jalan kolektor pada Kelurahan Kubu.

(38)

26

guna bangunan. Kavling rumah beserta lahan garapan tidak diijinkan untuk dibangun diluar ketentuan adat dan awig-awig sehingga tidak mungkin untuk diperjualbelikan.

Bangunan rumah tinggal, dapur tradisional, dan lainnya memiliki arsitektur khas tradisional Bali daerah pegunungan dengan atap lancip (kemiringan 45%), berdinding pendek dan berdiri diatas umpak atau pondasi batu padas. Material bangunan memakai bahan alami yang ada disekitar desa, yaitu batu dan tanah lempung untuk pondasi atau lantai, kayu dan bambu untuk bahan konstruksi, struktur dinding, dan atap (Gambar 11). Seluruh bangunan terlihat hampir serupa, mencerminkan kesederhanaan, dan keserasian alam dan lingkungan. Penggunaan ornamen-ornamen khas Bali terlihat menonjol pada bangunan tempat suci sedangkan pada bangunan rumah tinggal hampir tidak terdapat ornamen yang berarti. Bahan dan material bangunan ditampilkan apa adanya dengan jujur dan serasi dengan alam yang merupakan prinsip arsitektural tradisional Bali.

Hasil observasi keempat sampel kavling rumah tinggal pada area inti desa menunjukkan pola rumah tinggal yang serupa pada keempatnya. Susunan dan letak bangunan-bangunannya tidak berbeda satu sama lain. Tempat suci di bagian timur laut, dapur tradisional di utara, bale saka enem di selatan, dan loji di sebelah barat. Pola tersebut selalu terlihat sama pada keempat sampel rumah tinggal sedangkan pada zona nista yang seharusnya sebagai tempat ternak, MCK, dan tempat sampah tersebut terlihat telah berdiri bangunan-bangunan rumah tinggal dan garasi kendaraan yang berbeda-beda setiap sampelnya. Perbedaan kemampuan ekonomi keluarga yang tinggal pada masing-masing kavling sampel rumah tinggal tersebut menimbulkan adanya perbedaan penggunaan material serta ornamen tradisional pada bangunan-bangunan rumah tinggal yang terletak pada zona nista yang telah mengalami perubahan bentuk fungsi (Gambar 12).

Gambar 10 Sketsa pola rumah tinggal Desa Adat Penglipuran

(39)

27

(40)

28

5.2 Identifikasi dan Analisis Konsep Arsitektur Hijau

5.2.1 Pemilihan Tapak dan Penghubung

Aspek pemilihan tapak dan penghubung menjelaskan kearifan yang digunakan masyarakat penglipuran dalam menentukan lokasi tapak desa dan membangun Desa Adat Penglipuran. Penentuan lokasi juga memperhatikan hubungan tapak dengan lingkungan sekitanya. Identifikasi konsep arsitektur hijau desa pada aspek ini akan dilihat dalam hal berikut ini: kondisi awal desa dan perkembangannya, kondisi lingkungan sekitar desa, rekayasa lanskap, aksesibilitas desa, tanaman lokal, kondisi badan air, dan pengelolaan habitat lokal.

5.2.1.1 Kondisi Awal Desa dan Perkembangannya

Desa Adat Penglipuran awalnya merupakan tempat peristirahatan di tengah hutan bagi prajurit Kerajaan Bangli yang berasal dari Desa Bayung Gede. Letak tapak desa yang dekat dengan pusat Kota Bangli menjadikan tapak ini dihuni oleh prajurit yang berasal dari wilayah pegunungan di utara (Desa Bayung Gede). Hutan bambu yang luas menjadi alasan untuk membuat tempat tinggal pada tapak ini. Masyarakat tradisional pada saat itu menggunakan bambu sebagai bahan utama rumah tinggal. Bentuk penataan desa saat itu mengadopsi konsep dari Desa Bayung Gede.

Desa Adat Penglipuran mulanya hanya berupa barisan pekarangan dan rumah tradisional di sepanjang poros utama desa yang masing-masing memiliki luas sama yaitu sikut satak (250 m2). Wilayah lainnya masih merupakan kawasan tak terbangun berupa hutan dan tegalan (Gambar 13). Perkembangan permukiman pada zona terluar mulai terjadi pada awal tahun 1980 dimana perkembangan permukiman tersebut melebar ke arah barat dan timur namum tetap sepanjang akses linier utara-selatan. Perkembangan yang lebih pesat terjadi pada bagian timur desa karena letaknya dekat dengan akses jalan menuju pusat Kota Bangli. Sebuah jalan lingkar yang mengelilingi desa dibangun pada akhir tahun 1980 untuk mengantisipasi perkembangan permukiman yang semakin terus melebar. Jumlah penduduk yang terus meningkat tidak dapat ditampung oleh kawasan permukiman inti sehingga banyak permukiman yang muncul di sepanjang jalan lingkar desa hingga ke bagian selatan. Permukiman modern dengan penggunaan ganda (sarana tinggal dan komersial) mulai muncul juga di sepanjang jalan lingkar tersebut pada awal tahun 2000 (Gambar 14).

(41)

29

5.2.1.2 Kondisi Lingkungan Sekitar Desa

Desa Adat Penglipuran terhubung dengan jalan kolektor menuju pusat Kota Bangli sehingga memudahkan akses penduduk desa menuju kota yang berjarak kurang lebih 5 km (Gambar 15). Hasil observasi lapang menunjukkan bahwa secara garis besar areal Desa Penglipuran terbagi atas tiga bagian besar, yaitu area permukiman / hunian penduduk yang terletak di tengah-tengah, area pertanian berupa tegalan (kebun dan ladang), dan area hutan bambu maupun hutan alami. Area pertanian banyak terdapat pada bagian tengah dan selatan desa diluar area inti desa. Alih fungsi lahan sawah untuk ditanami cengkeh pada saat dahulu membuat masyarakat tidak dapat menanami lahan dengan padi kembali. Pada saat ini warga menanami lahan mereka dengan tanaman seperti singkong, jagung, ubi jalar, kopi, dan kelapa. Lahan pertanian terdapat pada area yang relatif datar sedangkan area yang memiliki kemiringan tinggi berupa hutan alami dan hutan bambu yang terdapat pada bagian utara desa. Pura Penataran pada bagian paling utara desa yang berbatasan langsung dengan jalan lingkar dan hutan bambu. Beberapa fasilitas umum atau publik terdapat pada desa ini, seperti Sekolah Dasar, lapangan terbuka, Bale banjar/bale desa, dan taman makam pahlawan. Akses menuju fasilitas-fasilitas publik tersebut terbilang baik dan dekat sehingga dapat dicapai hanya dengan berjalan kaki. Selain berfungsi sebagai tempat tinggal, beberapa rumah pada area permukiman memiliki fungsi komersial seperti menjual barang-barang keperluan sehari-hari hingga makanan khas desa ini.

(42)

30

Pada area pertanian (tegalan) selain kebun dan ladang juga terdapat kandang ternak. Ternak yang banyak dihasilkan di desa ini ialah ayam potong. Kandang ayam potong terletak pada bagian selatan dekat dengan jalan lingkar desa. Fasilitas Agro Tourism juga terdapat di sebelah selatan desa pada area ini.

(43)

31

5.2.1.3 Rekayasa Lanskap

Letak Desa Adat Penglipuran yang berada dekat dengan wilayah pegunungan menyebabkan bentuk lahan desa ini berlereng menurun ke arah selatan dengan kemiringan rata-rata antara 10-45% dengan jenis tanah lempung berpasir, sehingga sangat cocok untuk area pertanian (Hudyana 2002). Hal tersebut menjadi indikator bahwa dalam perkembangan area ini hingga menjadi sebuah desa yang memiliki jumlah penduduk tinggi telah dilakukan rekayasa atau perubahan bentuk lahan untuk menjadi area terbangun.

Kepala Lingkungan Desa Adat Penglipuran, Ketua Adat, dan masyarakat setempat mengatakan bahwa warga desa sejak dahulu telah melakukan pengubahan bentuk lahan tersebut sehingga wilayah yang dahulunya didominasi oleh hutan bambu tersebut dapat dijadikan area permukiman warga. Namun pengubahan bentuk lahan tersebut dilakukan dengan kaidah-kaidah adat yang leluhur mereka percayai dapat menjaga kelestarian lingkungan disektarnya. Salah satunya dengan melakukan rekayasa secara terasering atau berundag-undag dengan arah tegak lurus lereng khusus pada wilayah permukiman.

Pengubahan bentuk lahan tersebut dilakukan seminimal mungkin pada area terbangun saja dan tidak mengganggu lingkungan alami yang secara adat mereka pelihara untuk keberlangsungan ekologis desa mereka. Mereka percaya bahwa dengan melakukan terasering tegak lurus arah lereng juga dapat mencegah bencana alam seperti longsor dan erosi. Hasil observasi lapang menunjukkan bentuk kontur dari area inti permukiman desa pada Gambar 17.

Area yang diarsir merupakan area terbangun yang telah dilakukan pengubahan bentuk lahan secara terasering tersebut. Bagian luarnya dikelilingi tegalan, hutan bambu, dan hutan alami yang tidak diubah bentukan lahannya. Area terbangun tersebut terdiri dari permukiman warga, jalan desa, pura, dan fasilitas umum dengan luas 13.64% (15,28 Ha) dari luas seluruhnya.

Gambar 16 Pola berundag-undag pada permukiman desa

(44)

32

5.2.1.4 Aksesibilitas Desa

Berdasarkan data Statistik Lingkungan Penglipuran (2008), profesi petani (25%), pengrajin (22%), dan tukang (10%) memiliki presentase yang besar dibanding dengan yang lain. Hasil observasi dan wawancara dengan kepala adat desa menunjukkan bahwa setiap warga mempunyai lahan pertanian di dalam area Desa Adat Penglipuran. Profesi pengrajin yang dimaksud adalah pengrajin bambu yang dilakukan oleh para ibu rumah tangga dan dilakukan pada rumah tinggal masing-masing. Hasil kerajinan bambu dijual di dalam desa dan di Kota Bangli. Warga yang berprofesi sebagai tukang bangunan sebagian besar bekerja di dalam desa sendiri. Mereka dipekerjakan untuk melakukan pekerjaan pembangunan desa.

Akses menuju tempat pekerjaan bagi profesi petani, pengrajin, dan tukang tergolong dekat dan dapat dicapai dengan berjalan kaki karena masih berada dalam area desa mereka sendiri. Lokasi pekerjaan bagi profesi PNS (8%), TNI (1%), dan Swasta (4%) berada di luar area desa dan pusat Kota Bangli. Akses Desa Adat Penglipuran menuju area luar desa dan pusat Kota Bangli tidak dilalui

(45)

33 oleh angkutan umum sehingga warga desa harus menggunakan kendaran seperti sepeda motor untuk mencapainya. Desa Adat Penglipuran memiliki satu Sekolah Dasar pada bagian selatan desa yang berjarak 450 m dari area permukiman sehingga dapat ditempuh dengan berjalan kaki.

Beberapa warga desa melakukan aktivitas bekerja mereka menggunakan sepeda. Namun Desa Adat Penglipuran sendiri belum memiliki jalur khusus sepeda dan fasilitas parkir sepeda.

5.2.1.5 Tanaman Lokal Desa Penglipuran

Kabupaten Bangli dapat dikatakan sebagai salah satu kabupaten di Bali yang kaya akan varietas bambu. Subur (2003) menyatakan bahwa di Desa Penglipuran saja terdapat 15 jenis bambu sedangkan menurut Lugrayasa et al. (2003) menyatakan di Kabupaten Bangli telah diinventarisasi dan dapat dikumpulkan sebanyak 18 nomor bambu. Fungsi dan kegunaan bambu sangat beragam baik sebagai bahan bangunan, bahan baku industri kerajinan, sarana upacara adat, bahan makanan, bahan baku serat, tanaman penahan erosi, dan konservasi tanah dan air serta masih banyak yang lainnya. Desa Penglipuran sendiri memiliki hutan bambu seluas 37.7 Ha (Hudyana 2002). Terdapat 2 spesies bambu yang teridentifikasi berasal dari Desa Penglipuran sendiri, yaitu Gigantochloa aya Widjaja & Astuti yang dikenal dengan nama jajang aya dan Gigantochloa taluh Widjaja & Astuti yang dikenal pula dengan nama jajang taluh oleh penduduk setempat. Bambu tersebut ditemukan pada hutan bambu sebelah utara desa (Widjaja et al. 2004) (Gambar 19).

Gambar 19 Gigantochloa aya Widjaja & Astuti (kiri) dan Gigantochloa taluh Widjaja & Astuti (kanan) (Widjaja et.al. 2004)

(46)

34

Berdasarkan wawancara dengan Ketua Adat Penglipuran dan studi pustaka, tanaman lokal yang terdapat pada Desa Adat Penglipuran hanyalah kedua jenis bambu dari marga Gigantochloa tersebut. Namun terdapat tanaman kopi khas daerah Bangli yang ditanam di Desa Penglipuran yang disebut oleh masyarakat setempat sebagai Kopi Kopyol Bali. Kopi Kopyol Bali sebenarnya merupakan kopi jenis arabika sehingga bukan merupakan tanaman spesies lokal dari daerah ini (Gambar 20).

Hasil observasi lapang menunjukkan bahwa setiap rumah tinggal pada area permukiman desa memiliki minimal satu buah pohon kamboja. Bunga dari pohon ini dimanfaatkan oleh masyarakat Bali dan juga warga desa untuk keperluan upacara dan ibadah mereka. Bentuk percabangan yang unik, ukuran batang yang besar, dan bunga yang banyak menjadikan kamboja di daerah Bali ini khas atau berbeda dari kamboja di daerah lain (Gambar 21).

5.2.1.6 Kondisi Badan Air

Sebuah sungai mengalir melewati area perbatasan Desa Adat Penglipuran dengan Desa Cekeng pada bagian timur. Masyarakat menyebut sungai ini dengan nama Sungai Sangsang. Hasil observasi dan wawancara dengan Ketua Adat Penglipuran menunjukkan bahwa badan air yang terdapat pada desa hanyalah sungai ini. Terletak pada area berlereng, curam, dan dalam sehingga dari titik pengamatan tidak terlihat dengan jelas keseluruhan bagian sungai (Gambar 22). Menurut informasi dari Ketua Adat Penglipuran dan masyarakat desa, sungai ini

Gambar 20 Kopi Kopyol Bali (Dinas Perkebunan Bali 2011)

(47)

35 memiliki air yang masih bersih dan dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari. Namun karena sungai ini terletak pada lereng yang curam, masyarakat desa jarang memanfaatkan sungai ini. Masyarakat desa menggunakan PAM sebagai sumber air bersih mereka. Peraturan adat desa melarang warganya membuang sampah dan limbah apapun pada sungai ini karena badan air ataupun sumber air merupakan benda yang disucikan.

5.2.1.7 Pengelolaan Habitat Lokal

Menurut Alikodra (2002), habitat adalah suatu kesatuan dari faktor fisik maupun biotik yang digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup dari makhluk hidup di dalamnya. Habitat lokal yang dimaksudkan ialah habitat yang didalamnya terdapat spesies lokal Desa Adat Penglipuran. Hutan Bambu merupakan habitat lokal dari desa ini, dimana terdapat spesies Gigantochloa aya Widjaja & Astuti dan Gigantochloa taluh Widjaja & Astuti.

Seluruh Penduduk Desa Adat Penglipuran beragama Hindu dan berpegang teguh pada tradisi yang mereka warisi secara turun temurun. Peraturan adat atau yang biasa disebut awig-awig menerangkan bagaimana berperilaku terhadap lingkungan alam (tumbuhan dan satwa). Informasi mengenai isi awig-awig yang menerangkan tentang memelihara lingkungan didapat dari wawancara dengan Ketua Adat Penglipuran, antara lain dapat diringkas sebagai berikut:

1. Alam (Bhuana Agung) dan diri manusia (Bhuana Alit) adalah analog. Alam dan Manusia terbentuk dari unsur-unsur yang sama yang disebut dengan Panca Maha Bhuta, yaitu apah (zat cair), pertiwi (zat padat), bayu (gas), teja (energi), dan akasa (ruang atau media). Berdasarkan keyakinan tersebut muncul pemahaman tentang Tattwamasi (aku adalah engkau) yang juga berlaku terhadap manusia dengan segala isi alam. Apapun yang diperlakukan manusia terhadap alam maka alampun akan memperlakukan manusia dengan cara yang sama.

2. Hubungan manusia dengan alam diibaratkan bagai hubungan janin dengan ibunya yang lazim diistilahkan dengan manik ing cacupu (janin dalam rahim). Kalau saja manusia mau menyadari kodratnya sesungguhnya alam telah menyediakan kebutuhan yang secukupnya.

3. Menebang bambu (keperluan sehari-hari, adat, dan industri) hanya diijinkan pada hari tertentu menurut wariga (perhitungan tentang baik-buruknya hari). 4. Sebagian besar dari luas hutan bambu yang ada dikelola langsung dibawah Desa Adat sebagai Laba Pura. Sisanya dikelola oleh setiap penduduk dengan status nanggap atau hak pakai.

(48)

36

5. Hutan bambu tidak diijinkan diubah fungsinya menjadi lahan pertanian, area terbangun, ataupun fungsi lainnya. Apabila dalam keadaan harus melalui musyawarah adat bersama warga.

6. Seluruh makhluk hidup yang terdapat di dalam hutan bambu tersebut tidak diijinkan untuk diburu atau dibunuh.

7. Warga yang tidak mematuhi peraturan adat tersebut akan mendapat sanksi sosial berupa pengucilan.

5.2.2 Desain dan Pola Permukiman

Aspek desain dan pola permukiman menjelaskan budaya dan nilai-nilai yang terdapat dalam pengaturan ruang Desa Adat Penglipuran. Desa Adat Penglipuran yang merupakan salah satu desa tradisional menunjukkan pengaruh pengaturan ruang yang mereka miliki terhadap keberlanjutan desa. Hal tersebut mengindikasikan adanya konsep arsitektur hijau di dalamnya. Identifikasi konsep arsitektur hijau desa pada aspek ini akan dilihat dalam hal berikut ini: kepadatan rumah tinggal, peruntukan rumah tinggal, letak fsilitas publik, fasilitas parkir, pola sirkulasi desa, kondisi fisik jalan, dan letak ruang terbuka serta pasar tradisional.

5.2.2.1 Kepadatan Rumah Tinggal

Berdasarkan data observasi lapang, luas area inti permukiman Desa Adat Penglipuran adalah sebesar 8.14 Ha (20.12 acre). Luasan tersebut mencakup 76 kavling rumah tinggal dan 1 kavling karang memadu yang berada pada poros utama jalan desa dikurangi dengan luas jalan dan luas area selain 77 kavling rumah tinggal. Kepadatan rumah tinggal merupakan seberapa besar jumlah area yang digunakan untuk sebuah rumah tinggal. Nilai kepadatan rumah tinggal didapatkan dari perbandingan antara luasan tersebut dengan jumlah dwelling unit yang dalam hal ini berupa 76 kavling rumah tinggal. Nilai kepadatan rumah tinggal dari area inti Desa Adat Penglipuran sebesar 3.78 DU/acre

Gambar

Tabel 3  Kriteria LEED for Neighborhood Development Rating System yang
Gambar 8  Tata guna lahan Desa Adat Penglipuran
Gambar 9  Karakteristik lanskap Desa Adat Penglipuran
Gambar 12  Pola rumah tinggal pada keempat sampel
+7

Referensi

Dokumen terkait

Desa Adat Penglatan memiliki 2 (dua) Banjar Adat yaitu Banjar Adat Kelodan dan Banjar Adat Kajanan. Setiap Banjar Adat dipimpim oleh Kelian Banjar Adat. Sarana Prasarana

Berkaitan dengan otonomi desa adat, permasalahan yang dihadapi adalah : (1) Dualisme pemerintah desa, (2) Belum jelasnya tata hubungan Kabupaten-Desa Adat, (3) Dualisme hukum

Selain itu, akibat dari penerapan konsep sumbu bumi dan sumbu matahari pada tatanan permukiman desa adat nya, maka morfologi Desa Adat Penglipuran berbentuk

b. Tahapan Penetapan Kelyang Desa dan Prajuru Desa Adat dalam Paruman Desa sebagai Lembaga Pengambil Keputusan Desa Adat. 2) Musyawarah Ngadegang calon sebagaimana

Secara simbolis pola tata ruang Desa Adat Penglipuran secara makro dibagi menjadi tiga ruang dengan tingkat kesucian yang berbeda ( Konsep Tri Mandala ), yaitu : 1). Utama Mandala

Namun belakangan ini muncul kekhawatiran terhadap kelanjutan perkembangan pariwisata di desa Penglipuran, eksistensi bangunan rumah tradisonal penduduk sudah mulai terancam

Desa dalam pengertian desa adat, mengacu kepada kelompok tradisional dengan dasar ikatan adat istiadat, dan terikat oleh adanya tiga pura utama yang disebut Kahyangan Tiga

2018 Sebagaimana diatur dalam Peda No.4 Thn 2019 tentang Desa Adat di Bali, Pasal 1, Desa Adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan