LINGKUNGAN KELUARGA, SEKOLAH
DAN KREATIVITAS ANAK PADA SEKOLAH DASAR
KONVENSIONAL DAN PROGRESIF DI KOTA DEPOK
NURUL ISTIANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Lingkungan Keluarga, Sekolah dan Kreativitas Anak Pada Sekolah Dasar Konvensional dan Progresif Di Kota Depok adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun di perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dalam maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2013
Nurul Istiana
Sekolah Dasar Konvensional dan Progresif Di Kota Depok. Dibimbing oleh RATNA MEGAWANGI dan EUIS SUNARTI.
Perubahan yang begitu cepat dalam arus informasi dan teknologi merupakan tantangan yang harus dihadapi suatu bangsa untuk mampu bertahan dan bersaing dengan bangsa lainnya. Untuk menghadapi tantangan itu dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas, yang mampu beradaptasi, dan mampu memecahkan persoalan hidup dengan berbagai cara yang kreatif sehingga setiap individu dapat tetap survive di era globalisasi ini. Pada dasarnya setiap individu memiliki sikap dan perilaku kreatif yang dipengaruhi oleh lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan sekolah. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan kreativitas seseorang di lingkungan keluarga maupun sekolah. Lingkungan keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pendidikan anak yang berkaitan dengan pola asuh, interaksi, dukungan, kemandirian, orientasi tugas, orientasi keberhasilan, agama dan budaya serta komitmen terhadap peraturan bersama. Lingkungan sekolah adalah tempat dimana anak belajar bersosialisasi, menemukan dan mendapatkan pengetahuan serta pengalamannya. Sekolah perlu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan yang dapat membangun rasa keingintahuan anak untuk terus belajar menemukan pengetahuannya secara langsung dan bermakna. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan lingkungan keluarga, sekolah, dan kreativitas anak serta untuk menganalisis pengaruh lingkungan keluarga dan sekolah terhadap kreativitas anak di sekolah dasarkonvensional danprogresif
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study yang dilakukan di empat sekolah di Kota Depok yakni satu sekolah negeri unggulan dan tiga sekolah swasta. Penentuan sekolah dipilih secara sengaja (purposive) kemudian ke empat sekolah dipisahkan ke dalam dua tipe sekolah yaitu sekolah konvensional dan sekolah progresif. Populasi contoh dalam penelitian ini adalah siswa kelas 4 dan 5 SD yang kemudian dari masing-masing sekolah dipilih secara acak sebanyak 30 anak, sehingga jumlah keseluruhan contoh adalah 120 anak. Data primer yang dikumpulkan berupa data karakteristik anak, karakteristik keluarga dan karakteristik sekolah. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang sebelumnya telah diuji coba dengan nilai alpha cronbach berkisar antara 0.67 sampai dengan 0.85 untuk instrumen yang digunakan. Data sekunder didapat dari sekolah dan Dinas Pendidikan Kota Depok yang terdiri dari data siswa dan data umum sekolah. Data disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara deskriptif. Untuk analisis uji beda digunakan independent t test, uji korelasi digunakan spearman correlation. Untuk melihat faktor yang berpengaruh pada kreativitas digunakan ANCOVA dan tingkat kreativitas figural dan verbal dilakukan langsung oleh psikolog.
lapangan olah raga, WC dan ruang UKS dimiliki oleh kedua sekolah. Guru di sekolah progresif rata-rata berusia lebih muda yakni 28.42 tahun dan di sekolah konvensional adalah 38.42 tahun. Guru di sekolah konvensional sebagian besar adalah sarjana kependidikan sementara guru di sekolah progresif sarjana non kependidikan.
Tidak ditemukan adanya perbedaan antara lingkungan keluarga di sekolah konvensional dengan sekolah progresif, artinya bahwa baik keluarga di sekolah konvensional maupun keluarga di sekolah progresif memberi ruang dan kualitas yang sama pada pengembangan kreativitas anak, melalui hubungan keluarga, pertumbuhan pribadi serta pemeliharaan sistem keluarga. Berbeda dengan lingkungan keluarga, pada lingkungan sekolah ditemukan adanya perbedaan yang nyata antara lingkungan sekolah konvensional dengan sekolah progresif. Lingkungan sekolah progresif lebih mendukung terjalinnya hubungan antara guru dengan siswa terutama dalam hal kerjasama dan pengembangan pertumbuhan pribadi seperti mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah, melakukan percobaan dan mengambil resiko. Manajemen kelas dan pembelajaran di sekolah progresif juga lebih baik seperti diikutsertakannya siswa dalam pembuatan peraturan kelas, bebas mengeluarkan pendapat atau ide dan melakukan kegiatan pembelajaran dengan praktek langsung sesuai dengan keinginan siswa. Tingkat kreativitas figural dan verbal contoh dari sekolah progresif memiliki skor lebih tinggi dari pada contoh sekolah konvensional. Hasil uji ANCOVA menunjukkan bahwa nilai adjusted R square pada tingkat kreativitas figural adalah 0.168 atau 16.8 persen kreativitas figural dipengaruhi oleh usia anak dan tipe sekolah sementara pada tingkat kreativitas verbal sebesar 0.152 atau 15.2 persen kreativitas verbal dipengaruhi oleh lingkungan sekolah dan pendapatan total keluarga.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kreativitas figural dan tingkat kreativitas verbal tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh lingkungan keluarga namun lingkungan sekolah dan tipe sekolah memiliki peran yang lebih besar dalam pengembangan kreativitas anak kelas 4 dan 5 SD. Dengan mengetahui bahwa kreativitas menjadi hal yang penting dalam mempersiapkan anak-anak yang tangguh dan kreatif maka disarankan bagi orang tua untuk memilih sekolah yang lebih memperhatikan pengembangan kreativitas bagi anak. Guru dan sekolah yang merencanakan untuk melakukan perubahan dari sistem pendidikan konvensional menuju sistem pendidikan progresif dapat melakukan pembinaan/ pelatihan yang berhubungan dengan metode pembelajaran kreatif, manajemen kelas, dan suasana belajar yang menyenangkan. Bagi peneliti yang akan melakukan penelitian sejenis, perlu mengkaji lebih dalam faktor lain yang mempengaruhi kreativitas anak terutama yang berhubungan dengan kondisi emosi atau sikap anak ketika diteliti. Bagi pemerintah terutama Departemen Pendidikan Nasional, perlu mengkaji kurikulum yang memberikan porsi lebih banyak bagi pengembangan kemandirian dan kreativitas siswa.
NURUL ISTIANA. Family Environment, Schools and Children's Creativity In Conventional and Progressive Primary School in Depok. Supervised BY RATNA MEGAWANGI and EUIS SUNARTI .
Rapid changes in the flow of information and technology is a challenge that must be faced by a nation to survive and compete with other nations. To face these challenges qualified human resources are required, which must be able to adapt, and be able to solve the problems of life with a variety of creative ways so that each individual can survive in this globalization era. Naturally, each individual have a creative attitude and behavior which were influenced by both the family environment and school environment. Education is one of the factors that can affect the development of one's creativity in family environment and school environment. Family environment is first and foremost a place for the education of children with regard to parenting, interaction, support, independence, task orientation, success orientation, religion and culture, and commitment to common rules. While the school is a place where children learn to socialize, discover and gain knowledge and experience. Schools need to create a fun learning environment that can build a child 's curiosity to keep learning and to directly find meaningful knowledge. This study aimed to analyze the differences between family environment, school environment and creativity, as well as to analyze the influence of family environment and school environment to the creativity of children in progressive and conventional primary school.
This study uses cross-sectional design study conducted in four schools in Depok, one prominent state schools and three private schools. The schools were purposively selected (purposive sampling), the sample schools were then separated into two types of schools, namely conventional schools and progressive school. The population of samples in this study were students in the fourth and fifth grade and then from each school as many as 30 children were randomly selected, bringing a total sample of 120 children. Primary data were collected in the form of children characteristics, family characteristics and school characteristics data. Primary data were collected using a questionnaire that had been tested, with Cronbach alpha values ranged from 0.67 to 0.85 for the instruments used. Secondary data obtained from the schools and the Education Department of Depok consisting of student and general school data. The data were presented in tables and analyzed descriptively. For the difference testing analysis, independent t test was used, Spearman correlation test was used for testing correlation. To see the factors that affect the creativity ANCOVA was used, while
to determine the sample’s level of creativity figural and verbal creativity tests
were directly conducted by professional psychologist using reliable and valid standardized testing tools.
The results showed that the samples are in the range of 9 to 11 years of age, there are more girls than boys and nearly half of the samples are 10 years old.
Teachers in the progressive schools on average were younger i.e 28.42 years than the teachers in the conventional schools i.e 38.42 years. Most of teachers in conventional schools are undergraduates in educational discipline, while most of teachers in progressive schools are undergraduates with non-educational backgrounds.
There was no significant difference between family environment of the conventional schools and the progressive schools. Family environment of the conventional as well as progressive schools give the same space and quality for
the development of children’s creativity by maintaining family relationships,
supporting personal growth as well as maintaining and keeping the family system. Unlike the family environment, there were significant differences between the school environment of the progressive and the conventional school. The school environment of the progressive schools were found to be more supportive for the development of relationships between teachers and students especially in terms of
cooperation, as well as support for the development of student’s personal growth
such as developing skills for problem solving, experimenting and risk taking. School learning activities and classroom management are also better in the progressive schools such as engaging students in making class rules, giving more freedom for voicing opinions or ideas, and hands-on learning activities based on the students interests. The results of the figural and verbal creativity tests showed that samples from progressive schools scores higher than that of the conventional schools. ANCOVA test results demonstrate that the adjusted R square value of figural creativity level is 0.168 which means that 16.8 percent figural creativity is influenced by the child's age and the type of school while the number for the verbal creativity is 0.152 which means that 15.2 percent verbal creativity is influenced by the school environment and total family income.
From the results of this study, it is indicated that the level of figural and verbal creativity levels are not entirely influenced by the family environment but the school environment whereas the type of school have a greater role in the development of creativity of children in the fourth and fifth grade. Knowing that creativity is becoming increasingly important for preparing the children future, it is advisable for parents to choose schools that pay more attention to the development of creativity for children. Teachers and schools planning to make a change from the conventional system towards a progressive system may need to develop coaching/training associated with creative teaching methods, classroom managements and fun learning environment. For researchers who will conduct similar research, it is necessary to examine other factors that may affect the creativity of children, especially those related to the child's emotional state or attitude while they are being observed. For the government, especially the Ministry of National Education, there is a need to examine alternative educational system which will give more emphasis for the development of students’ self -reliance and creativity.
Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentinganm pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
ANAK PADA SEKOLAH DASAR KONVENSIONAL DAN
PROGRESIF DI KOTA DEPOK
NURUL ISTIANA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NIM : I25100091
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr Ir Ratna Megawangi, MSc Prof Dr Ir Euis Sunarti, MS
Ketua Anggota
Diketahui oleh
Koordinator Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Keluarga dan
Perkembangan Anak
Dr Ir Herien Puspitawati, MSc,MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi sekaligus tesis ini. Mulai dari penyusunan sampai dengan penyelesaian tesis ini tentu tidak terlepas dari dorongan semangat dan sumbangan pemikiran dari berbagai pihak. Oleh karena itu ucapan terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada :
1. Dr Ir Ratna Megawangi, MSc dan Prof Dr Ir Euis Sunarti, MS, selaku komisi pembimbing atas bimbingan, waktu, saran, masukan, ilmu yang diberikan selama penyusunan tesis ini dan dukungannya untuk terus menyemangati penulis.
2. Dr Ir Diah Krisnatuti atas kesediaan dan waktu untuk menjadi penguji pada ujian sidang tesis serta Dr Ir Dwi Hastuti, MSc selaku wakil PS-IKA atas masukannya serta Dr Herien Puspitawati, MSc,MSc dan seluruh pengajar IKA
3. Seluruh keluarga, terutama suami yang memberikan waktu, kesempatan, bimbingan, saran, masukan dan selalu mendukung langkah penulis selama penulis belajar dan menyelesaikan studi ini, serta anak-anakku tercinta (Yasmin Nadia dan Muhamad Arya Guntara) yang selalu memberi pelukan dan sayang.
4. Bapak Sinwari Natakusumah, Ibu Martini Dewi (Alm), Bapak Mudjiman Soemodihardjo dan Ibu Legina, orangtua penulis yang selalu mendukung dan memberi semangat untuk menyelesaikan studi.
5. Kakakku yang sama-sama berjuang menyelesaikan tesis, adik (Asri dan Ibnu) terimakasih untuk persahabatannya
6. Rekan-rekan di TK Seruni, atas segala pengertian, dukungan yang penuh semangat dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi
7. Teman-teman IKA angkatan 2010 (Siti Hidayah, Ria Magdalena Pasaribu, Retno Kumoro, Edianna P Mayangsari, Diana Berlianti, Dian Anggraeni, Hani Maria, Mitha Pramintari, Zulfia Novit, Riza, Tita Hasanah, Andri) dan Kenty Martiastuti untuk dukungannya
Semoga tesis ini dapat bermanfaat.
Bogor, Oktober 2013
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan masalah 2
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
TINJAUAN PUSTAKA 5
Keluarga 5
Pendekatan teori struktural fungsional 5
Pendekatan teori ekologi 7
Lingkungan keluarga 9
Sekolah 12
Pendekatan teori perkembangan anak 15
Pendidikan 16
Sekolah konvensional 18
Sekolah progresif 18
Kreativitas 19
KERANGKA PEMIKIRAN 23
METODE PENELITIAN 26
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian 26
Penarikan Contoh 27
Jenis dan cara pengambilan data 27
Pengolahan dan analisis data 29
Definisi operasional 31
HASIL DAN PEMBAHASAN 33
Keadaan umum lokasi penelitian 33
Karakteristik contoh 34
Karakteristik keluarga 35
Karakteristik sekolah 38
Lingkungan keluarga 40
Lingkungan sekolah 45
Kreativitas 51
Hubungan variabel penelitian dengan kreativitas 53 Faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas 55
Pembahasan Umum 56
SIMPULAN DAN SARAN 57
DAFTAR PUSTAKA 59
xii
1 Perbedaan sekolah konvensional dan sekolah progresif 19
2 Jenis dan cara pengumpulan data 28
3 Nilai alpha cronbach instrument penelitian yang digunakan 28
4 Jenis data penelitian 29
5 Keadaan umum sekolah 34
6 Sebaran contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin
dan perbedaannya antar tipe sekolah (%) 35
7 Sebaran orang tua contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin
dan perbedaannya antar tipe sekolah (%) 36 8 Sebaran orang tua contoh berdasarkan tingkat pendidikan
dan perbedaannya antar tipe sekolah (%) 37 9 Hasil uji beda orangtua contoh berdasarkan usia, jenis
Kelamin dan tingkat pendidikan 37
10 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan total keluarga
dan perbedaannya antar tipe sekolah 38
11 Sebaran rata-rata usia guru (tahun), jenis kelamin dan
perbedaannya antar tipe sekolah(%) 39
12 Sebaran pendidikan guru dan hasil uji beda antar tipe sekolah 39 13 Sebaran fasilitas yang memotivasi kreativitas berdasarkan
tipe sekolah 40
14 Sebaran contoh menurut komponen lingkungan keluarga
dimensi hubungan keluarga berdasarkan tipe sekolah (%) 41 15 Sebaran rataan dan hasil uji beda dimensi hubungan keluarga
berdasarkan tipe sekolah 42
16 Sebaran contoh menurut komponen lingkungan keluarga
dimensi pertumbuhan pribadi berdasarkan tipe sekolah 42 17 Sebaran rataan dan hasil uji beda dimensi pertumbuhan
pribadi berdasarkan tipe sekolah 43
18 Sebaran contoh menurut komponen lingkungan keluarga
dimensi pemeliharaan sistem berdasarkan tipe sekolah (%) 44 19 Sebaran rataan dan hasil uji beda dimensi pemeliharaan sistem
Berdasarkan tipe sekolah 44
20 Sebaran rataan dan hasil uji beda lingkungan keluarga
berdasarkan tipe sekolah 45
21 Sebaran contoh komponen lingkungan sekolah dimensi
hubungan guru-siswa berdasarkan tipe sekolah 46 22 Sebaran rataan dan hasil uji beda lingkungan sekolah-dimensi
hubungan guru-siswa berdasarkan tipe sekolah 46 23 Sebaran contoh komponen lingkungan sekolah dimensi
pertumbuhan pribadi berdasarkan tipe sekolah (%) 47 24 Sebaran rataan dan hasil uji beda lingkungan sekolah-dimensi
pertumbuhan pribadi berdasarkan tipe sekolah 48 25 Sebaran contoh komponen lingkungan sekolah dimensi
manajemen kelas berdasarkan tipe sekolah (%) 48 26 Sebaran rataan dan hasil uji beda lingkungan sekolah-dimensi
xiii
berdasarkan tipe sekolah 50
29 Sebaran contoh tingkat kreativitas figural berdasarkan tipe
Sekolah 51
30 Sebaran contoh tingkat kreativitas verbal berdasarkan tipe
Sekolah 51
31 Sebaran rataan dan hasil uji beda tingkat kreativitas figural
dan tingkat kreativitas verbal berdasarkan tipe sekolah 52 32 Sebaran rataan lingkungan keluarga, sekolah, kreativitas
figural dan kreativitas verbal berdasarkan tipe sekolah 52 33 Hasil uji hubungan antar variabel dan koefisien korelasi 54 34 Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kreativitas figural
dan tingkat kreativitas verbal 55
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Hubungan perkembangan anak dengan lingkungannya 8 2 Kerangka pemikiran lingkungan keluarga, sekolah
dan kreativitas anak 25
3 Tehnik penarikan sampel 27
4 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kreativitas figural dan
tingkat kreativitas verbal antar tipe sekolah 52
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan masalah 2
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
TINJAUAN PUSTAKA 5
Keluarga 5
Pendekatan teori struktural fungsional 5
Pendekatan teori ekologi 7
Lingkungan keluarga 9
Sekolah 12
Pendekatan teori perkembangan anak 15
Pendidikan 16
Sekolah konvensional 18
Sekolah progresif 18
Kreativitas 19
KERANGKA PEMIKIRAN 23
METODE PENELITIAN 26
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian 26
Penarikan Contoh 27
Jenis dan cara pengambilan data 27
Pengolahan dan analisis data 29
Definisi operasional 31
HASIL DAN PEMBAHASAN 33
Keadaan umum lokasi penelitian 33
Karakteristik contoh 34
Karakteristik keluarga 35
Karakteristik sekolah 38
Lingkungan keluarga 40
Lingkungan sekolah 45
Kreativitas 51
Hubungan variabel penelitian dengan kreativitas 53 Faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas 55
Pembahasan Umum 56
SIMPULAN DAN SARAN 57
DAFTAR PUSTAKA 59
xii
1 Perbedaan sekolah konvensional dan sekolah progresif 19
2 Jenis dan cara pengumpulan data 28
3 Nilai alpha cronbach instrument penelitian yang digunakan 28
4 Jenis data penelitian 29
5 Keadaan umum sekolah 34
6 Sebaran contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin
dan perbedaannya antar tipe sekolah (%) 35
7 Sebaran orang tua contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin
dan perbedaannya antar tipe sekolah (%) 36 8 Sebaran orang tua contoh berdasarkan tingkat pendidikan
dan perbedaannya antar tipe sekolah (%) 37 9 Hasil uji beda orangtua contoh berdasarkan usia, jenis
Kelamin dan tingkat pendidikan 37
10 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan total keluarga
dan perbedaannya antar tipe sekolah 38
11 Sebaran rata-rata usia guru (tahun), jenis kelamin dan
perbedaannya antar tipe sekolah(%) 39
12 Sebaran pendidikan guru dan hasil uji beda antar tipe sekolah 39 13 Sebaran fasilitas yang memotivasi kreativitas berdasarkan
tipe sekolah 40
14 Sebaran contoh menurut komponen lingkungan keluarga
dimensi hubungan keluarga berdasarkan tipe sekolah (%) 41 15 Sebaran rataan dan hasil uji beda dimensi hubungan keluarga
berdasarkan tipe sekolah 42
16 Sebaran contoh menurut komponen lingkungan keluarga
dimensi pertumbuhan pribadi berdasarkan tipe sekolah 42 17 Sebaran rataan dan hasil uji beda dimensi pertumbuhan
pribadi berdasarkan tipe sekolah 43
18 Sebaran contoh menurut komponen lingkungan keluarga
dimensi pemeliharaan sistem berdasarkan tipe sekolah (%) 44 19 Sebaran rataan dan hasil uji beda dimensi pemeliharaan sistem
Berdasarkan tipe sekolah 44
20 Sebaran rataan dan hasil uji beda lingkungan keluarga
berdasarkan tipe sekolah 45
21 Sebaran contoh komponen lingkungan sekolah dimensi
hubungan guru-siswa berdasarkan tipe sekolah 46 22 Sebaran rataan dan hasil uji beda lingkungan sekolah-dimensi
hubungan guru-siswa berdasarkan tipe sekolah 46 23 Sebaran contoh komponen lingkungan sekolah dimensi
pertumbuhan pribadi berdasarkan tipe sekolah (%) 47 24 Sebaran rataan dan hasil uji beda lingkungan sekolah-dimensi
pertumbuhan pribadi berdasarkan tipe sekolah 48 25 Sebaran contoh komponen lingkungan sekolah dimensi
manajemen kelas berdasarkan tipe sekolah (%) 48 26 Sebaran rataan dan hasil uji beda lingkungan sekolah-dimensi
xiii
berdasarkan tipe sekolah 50
29 Sebaran contoh tingkat kreativitas figural berdasarkan tipe
Sekolah 51
30 Sebaran contoh tingkat kreativitas verbal berdasarkan tipe
Sekolah 51
31 Sebaran rataan dan hasil uji beda tingkat kreativitas figural
dan tingkat kreativitas verbal berdasarkan tipe sekolah 52 32 Sebaran rataan lingkungan keluarga, sekolah, kreativitas
figural dan kreativitas verbal berdasarkan tipe sekolah 52 33 Hasil uji hubungan antar variabel dan koefisien korelasi 54 34 Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kreativitas figural
dan tingkat kreativitas verbal 55
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Hubungan perkembangan anak dengan lingkungannya 8 2 Kerangka pemikiran lingkungan keluarga, sekolah
dan kreativitas anak 25
3 Tehnik penarikan sampel 27
4 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kreativitas figural dan
tingkat kreativitas verbal antar tipe sekolah 52
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perubahan yang begitu cepat dalam arus informasi dan teknologi merupakan tantangan yang harus dihadapi dalam segala aspek kehidupan bangsa untuk mampu bertahan dan bersaing dengan bangsa lainnya. Untuk menghadapi tantangan di era globalisasi saat ini dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas yang memiliki kemampuan cepat beradaptasi, cepat berpikir mencari solusi, dan imajinatif serta penuh ide untuk dapat mengembangkan strategi/design/inovasi baru (Megawangi, et.al. 2010). Kemampuan beradaptasi dan berpikir tingkat tinggi dalam menghadapi problema yang semakin kompleks dapat dilakukan dengan membentuk cara baru atau mengubah cara lama, yang menurut Munandar (2009) disebut sebagai cara kreatif. Melalui cara yang kreatif diharapkan setiap individu mampu bertahan mengikuti perubahan, mampu memproduksi gagasan baru yang melibatkan pembentukan pola-pola baru dengan mengkombinasikan pengalaman masa lalu yang dihubungkan dengan situasi saat ini yang memungkinkan setiap individu dapat meningkatkan kualitas hidupnya (Hurlock 1993). Pada dasarnya setiap individu memiliki sikap dan perilaku kreatif yang merupakan hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya yang berlangsung secara terus-menerus (Munandar, 2009). Salah satu pengembangan sikap dan perilaku kreatif dapat dilakukan melalui pendidikan di rumah maupun di sekolah karena pendidikan memiliki tujuan untuk menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa(GBHN 1999).
kemasyarakatan dan kebangsaan”. Menurut Supriadi (1994) sistem pendidikan belum sepenuhnya mendukung berkembangnya daya kreativitas dan kemandirian anak, karena orientasinya masih lebih mengarah pada pendidikan “akademik -membentuk manusia untuk menjadi pintar di sekolah saja” dan “Industri tenaga kerja–menjadi pekerja bukan manusia Indonesia seutuhnya” (Munandar 2009). Pendidikan di Indonesia lebih mengutamakan pada pemikiran reproduktif, hafalan, dan mencari satu jawaban yang benar terhadap soal-soal yang diberikan dan masih bertujuan untuk memenuhi kelulusan Ujian Nasional saja, sementara proses pemikiran yang tinggi termasuk berpikir kreatif hampir tidak pernah diajarkan, anak tidak diberikan kesempatan untuk berpikir divergen dan kreatif (Munandar 1999).
Pendidikan di sekolah yang mengekang tumbuhnya kreativitas menurut John Dewey dikarenakan proses pembelajaran yang dilakukan dalam suasana yang kurang menyenangkan, adanya pemberian tugas (PR) yang cukup banyak, hafalan dan driling yang berlebihan serta tidak diberikannya kesempatan untuk menjawab atau berpikir yang berbeda (kreatif). Tipe sekolah dengan sistem pendidikan ini digolongkan ke dalam pendidikan mainstream atau konvensional dan sudah berjalan lama sehingga memerlukan waktu yang cukup panjang untuk melakukan perubahan. Anak didik yang dihasilkan dari pendidikan ini adalah anak didik yang memiliki kemampuan sesuai dengan apa yang diajarkan di sekolahnya saja namun tidak berdaya ketika dituntut pada kemampuan lain untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan. Sebaliknya tipe sekolah yang memberi keleluasaan, kebebasan dan kesempatan kepada anak untuk memecahkan masalahnya sendiri atau secara berkelompok, berani mengeluarkan ide-ide baru, memiliki metode belajar yang mudah dan bermakna serta kurikulum yang dibuat secara terpadu dalam berbagai kegiatan digolongkan ke dalam pendidikan progresif.
Melihat permasalahan yang ada di lingkungan keluarga dan sistem pendidikan di Indonesia yang masih jauh dari kesiapan kita dalam menghadapi tantangan globalisasi abad 21, maka kreativitas menjadi sebuah kompetensi yang sangat diperlukan oleh setiap individu untuk mampu beradaptasi dengan berbagai tuntutan zaman yang selalu terus berubah. Ketidakmampuan berkreativitas dapat menyebabkan tertinggalnya kita dari orang lain, tergeser, tidak mampu memecahkan masalah yang semakin kompleks dan bahkan tidak menghasilkan apa-apa.
Rumusan Masalah
sebesar 55,5 juta orang atau 49,21 persen dimana para lulusan tersebut bekerja sebagai buruh, tenaga kasar atau pekerja serabutan. Jika sumber daya manusia Indonesia dengan lulusan pendidikan yang lebih tinggi dan bekerja pada tempat yang lebih baik, kemungkinan dapat mengurangi jumlah penduduk miskin yang berjumlah 12,49 persen atau sekitar 30 juta jiwa dari kurang lebih 230 juta penduduk Indonesia pada tahun 2011.
Kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas menjadi hal yang utama dalam menghadapi era globalisasi saat ini, karena dengan kualitas sumber daya manusia yang memiliki keunggulan komparatif dalam sektor creative economy maka suatu bangsa akan menguasai masa depan (Megawangi 2010). Sementara kualitas sumber daya manusia Indonesia masih menjadi kendala, ini dibuktikan dengan Higher Order Thinking Skill (HOTS) atau kemampuan berpikir tingkat tinggi orang Indonesia menurut data TIMMS (Megawangi 2010) ternyata paling rendah, jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya. Rendahnya kemampuan berpikir tersebut, terlihat pada kurang dimilikinya sikap dan pribadi kreatif individu seperti ketidakmampuan individu dalam memecahkan masalah, lebih mudah menyerah dan tidak mampu menghadapi tantangan dalam hidupnya. Penyebab rendahnya kualitas sumber daya manusia dan rendahnya kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah buruknya sistem pendidikan di sekolah dan rendahnya kualitas pengasuhan di lingkungan keluarga yang memberi dampak bagi individu sehingga tidak memiliki sikap dan pribadi kreatif. Hal ini mungkin terjadi karena orang tua dan guru tidak memahami makna serta pentingnya kreativitas bagi masa depan anak. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu, terutama bagi pembangunan bangsa dan Negara (Munandar 2009). Pengembangan kurikulum ditingkat satuan pendidikan (KTSP) sebenarnya telah memberikan ruang kepada guru dan sekolah untuk melakukan pengajaran sesuai dengan kebutuhan, kompetensi, usia dan kemandirian anak sehingga diharapkan dapat membantu meningkatkan kreativitas anak. Namun kurikulum yang dapat dikembangkan di sekolah untuk mendukung kreativitas anak belum sepenuhnya dilaksanakan, hal ini tergambar pada Global Creativity Index atau indeks kreativitas global (2011), jika dibandingkan dengan negara maju dan berkembang lainnya, Indonesia berada pada kategori tidak kreatif yakni berada di peringkat 81 dari 82 negara.
dan Supriadi (1994) menemukan bahwa ada hubungan latar belakang keluarga, tingkat pendidikan orang tua, pola asuh dengan peningkatan bakat dan kinerja kreatif anak. Kreativitas diduga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia meskipun tidak dengan waktu yang singkat namun memerlukan waktu yang cukup panjang dan berproses, salah satunya adalah melalui pendidikan baik pendidikan informal di rumah maupun pendidikan formal di sekolah (Munandar, 2009).
Melihat pentingnya kreativitas bagi masa depan dan perlu untuk ditumbuh kembangkan sejak dini baik dalam lingkungan keluarga dan sekolah, maka peneliti mengangkat permasalahan kreativitas pada anak yang duduk dibangku sekolah dasar kelas 4 dan 5 di empat sekolah yang berada di Kota Depok Provinsi Jawa Barat. Secara garis besar, permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini, antara lain :
1. Bagaimanakah karakteristik anak, karakteristik keluarga, karakteristik sekolah, lingkungan keluarga, dan lingkungan sekolah ?
2. Adakah perbedaan lingkungan keluarga, sekolah, dan kreativitas anak di sekolah dasarkonvensionaldanprogresifdi Kota Depok?
3. Apakah terdapat pengaruh lingkungan keluarga dan sekolah terhadap kreativitas anak di sekolah dasarkonvensionaldanprogresifdi Kota Depok?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Lingkungan Keluarga, Sekolah dan Kreativitas Anak Pada Sekolah Dasar Konvensional dan Progresifdi Kota Depok.
Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian adalah :
1. Menganalisis karakteristik anak, karakteristik keluarga, karakteristik sekolah, lingkungan keluarga, dan sekolah
2. Menganalisis perbedaan lingkungan keluarga, sekolah, dan kreativitas anak di sekolah dasarkonvensionaldanprogresif di kota Depok
3. Menganalisis pengaruh lingkungan keluarga dan sekolah terhadap kreativitas anak di sekolah dasarkonvensional danprogresifdi kota Depok
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes RI 1998). Dalam Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009, adalah bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah anaknya, atau dan anaknya. Keluarga juga diartikan sebagai kumpulan beberapa orang yang karena terikat oleh satu turunan lalu mengerti dan merasa berdiri sebagai satu gabungan yang hakiki, esensial, dan berkehendak bersama-sama memperteguh gabungan itu untuk memuliakan masing-masing anggotanya (Ki Hajar Dewantara).
Keluarga menurut Sunarti (2008) merupakan institusi pertama dan utama pembangunan sumber daya manusia. Pertama adalah karena dalam keluargalah, seorang individu tumbuh berkembang, dimana tingkat pertumbuhan dan perkembangan tersebut menentukan kualitas individu yang kelak akan menjadi pemimpin masyarakat bahkan pemimpin Negara. Alasan kedua adalah karena di keluargalah aktivitas utama kehidupan seorang individu berlangsung. Oleh sebab itu penting kehidupan keluarga memiliki nilai-nilai seperti cinta dan kasih sayang, komitmen, tanggungjawab, saling menghormati dan kebersamaan serta komunikasi sehingga keluarga menjadi tempat yang terbaik bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang dengan optimal (Megawangi dan Sunarti 2003).
Keluarga sebagai lembaga pendidik yang pertama dan utama, berlangsung secara wajar dan informal, yang memberikan sumbangan mental dan fisik terhadap hidupnya (Sadulloh 2009). Sementara Drijarkara menyatakan bahwa keluarga secara perlahan membentuk konsepsi tentang pribadinya dan memiliki tanggungjawab dalam pendidikan untuk memanusiakan, membudayakan dan menanamkan nilai-nilai terhadap anak-anaknya (dalam Sadulloh 2009). Oleh karena itu keluarga memegang peranan penting dalam mencetak generasi dengan sumber daya manusia yang berkualitas yang tercerminkan pada perilaku dan perkembangan anak.
Pendekatan Teori Stuktural Fungsional
untuk menganalisis peran keluarga agar dapat berfungsi dengan baik dan menjaga keutuhan keluarga dan masyarakat.
Dalam menjalankan kelangsungan hidup keluarga, anggota keluarga memiliki tugas dan fungsinya sesuai dengan struktur keluarga yang ada dan berkaitan dengan pencapaian tujuan, integritas, dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga (Megawangi 1999). Fungsi keluarga menurut Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 1994 (BKKBN 1996) meliputi fungsi pemenuhan kebutuhan fisik dan non fisik yang terdiri dari keagamaan, sosial, budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosialisasi, pendidikan, ekonomi, dan pembinaan lingkungan. Sementara Resolusi Majelis Umum PBB menguraikan fungsi utama keluarga adalah “keluarga sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya dimasyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera”.
Saat ini fungsi keluarga mulai bergeser sejalan dengan meningkatnya orang tua yang bekerja di luar rumah dan perubahan jaman kearah yang lebih modern akan mempengaruhi institusi keluarga. Menurut Megawangi dan Sunarti (2003) dampak perubahan jaman itu sudah terlihat dengan adanya pergeseran nilai-nilai keluarga dimana cinta berubah menjadi situasional, komitmen dan tanggung jawab berkurang, terutama terhadap pengasuhan anak. Secara fisik anak mendapatkan kebutuhannya seperti makanan sehat dan bergizi, bersosialisasi dengan lingkungannya, namun dari sisi psikologis anak kurang menemukan fungsi afektif yang berhubungan dengan perasaan-perasaan bahagia, sedih atau rasa aman (Friedman 1998). Oleh karena itu keluarga harus menciptakan kondisi yang sehat, yang memiliki pembagian peran dan fungsi yang jelas dimana fungsi tersebut memiliki pola dalam struktur hirarkis yang harmonis dan komitmen dalam menjalankan fungsi dan tugasnya (Puspitawati 2000).
Pentingnya keberfungsian sebuah keluarga dalam menjalankan tugasnya merupakan hal penting dalam menjaga keutuhan keluarga tersebut. Bahwa suami dan istri perlu benar-benar memahami kedudukannya di dalam unit keluarga. Suami istri yang ikut terlibat dalam urusan rumah tangga akan lebih mampu mengatasi demokrasi-demokrasi yang terjadi di rumah tangga terutama ketika anak-anak mulai bersekolah dan dewasa (Supriyanti 2002). Dari hasil penelitian Gronseth ditemukan bahwa orang tua yang bersama-sama mengambil bagian dalam mengasuh anaknya menghasilkan kemampuan diri anak menjadi lebih tinggi, lebih matang, mudah bergaul, dan mampu menghadapi berbagai masalah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa anak-anak yang orang tuanya terlibat dalam kegiatan sekolah selama tiga tahun atau lebih menghasilkan prestasi belajar anak yang lebih baik khususnya keterlibatan ayah daripada keterlibatan ibunya di sekolah (McBride et al.. 2005).
mengatasi kesulitan hidup. Dengan demikian memperjelas bahwa fungsi pendidikan merupakan bagian penting dalam keluarga mengingat lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama yang mendukung proses tumbuh kembang anak. Fungsi pendidikan bagi anak akan dilanjutkan di lingkungan sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu tanggungjawab pendidikan anak terletak pada kerjasama antara keluarga, sekolah dan masyarakat yang mempunyai peranan serta pengaruh yang besar dalam menuntun perkembangan anak untuk menjadi manusia dewasa.
Fungsi keluarga tidak akan pernah lepas dari pengaruh budaya, norma dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat itu bahkan peran keluarga dalam pendidikan, sosialisasi, dan penanaman nilai kepada anak adalah sangat besar (Megawangi 2010). Dengan demikian seluruh anggota keluarga harus dapat menjalankan tugas sesuai fungsinya dengan baik, sehingga akan tercipta keluarga yang kokoh. Menurut Megawangi dan Sunarti (2003) dengan terciptanya keluarga yang kokoh akan tercipta generasi-generasi penerus yang berkualitas, berkarakter kuat, sehingga menjadi pelaku-pelaku kehidupan masyarakat yang akhirnya membawa kejayaan sebuah bangsa.
Pendekatan Teori Ekologi
Lingkungan disekitar keluarga akan sangat mempengaruhi kekuatan keluarga dalam mempertahankan diri. Perubahan yang begitu cepat di era globalisasi saat ini, menurut Khairuddin (1985) dan Lenski & Lenski (1987) memberi dampak pada perubahan dalam keluarga dan masyarakat. Keluarga menjadi tidak stabil dan berada pada masa transisi menuju keseimbangan yang baru. Hal ini menjadi perhatian bagi setiap keluarga untuk mampu mempertahankan diri dan memecahkan masalah yang dihadapinya karena keluarga merupakan lembaga sosial terkecil yang menyangkut hubungan antar pribadi dan hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya, maka keluarga sangat bergantung dengan lingkungan disekitarnya dan keluarga juga mempengaruhi lingkungan sekitarnya (Puspitawati 2012).
(3) Eksosistem adalah lingkungan dimana anak tidak berpartisipasi aktif secara langsung tetapi lingkungan tersebut mempengaruhi anak, seperti lingkungan keluarga besar, pekerjaan orang tua, atau tempat kerja orang tua; (4) Makrosistem adalah lingkungan yang semakin luas yang meliputi struktur sosial budaya, gaya hidup dan masyarakat tempat anak berada;
(5) Kronosistem menunjukan derajat kestabilan dan perubahan dalam dunia misalnya perubahan komposisi keluarga hingga perubahan dalam lingkup yang lebih besar seperti peperangan, mobilitas kelas sosial. Berikut ini adalah gambar 1 yang menunjukkan hubungan perkembangan anak dalam sistem lingkungannya.
Gambar 1 Hubungan perkembangan anak dengan lingkungannya (Model ekologi dari Bronfenbrenner 1981)
Keluarga terutama orang tua memiliki tugas dan peran untuk mempersiapkan individu dalam menghadapi dua hal yakni stabilitas dan perubahan. Stabilitas, berarti bahwa keluarga meneruskan nilai-nilai budaya dan moral, tingkah laku, sikap dan peran individu dalam masyarakat. Sementara perubahan, berarti bahwa keluarga juga harus mempersiapkan individu untuk berubah menjadi individu dewasa yang berkompeten dan bertanggung jawab dalam masyarakat. Sekolah dan masyarakat juga merupakan sebuah sistem dapat mempengaruhi individu dalam mengembangkan diri, sikap dan perilakunya. Lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan masyarakat hendaknya dapat memberikan keamanan dan kebebasan psikologis bagi individu untuk mampu mengungkapkan dan mewujudkan diri (Rogers, 1982) serta mempersiapkan individu-individu yang mampu menghadapi tantangan dengan kreatif. Menurut Munandar (2009) kreativitas dapat dikembangkan dengan memberikan kebebasan kepada individu untuk mengekspresikan dirinya secara kreatif. Proses pengembangan kreativitas akan terjadi dengan sendirinya pada lingkungan yang memiliki iklim menunjang, menerima dan menghargai individu.
Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang dikenal oleh individu dalam proses sosialisasinya. Dukungan keluarga merupakan bantuan yang dapat diberikan kepada anggota keluarga lain berupa barang, jasa, informasi dan nasehat, yang membuat penerima dukungan akan merasa disayang, dihargai dan tentram (Taylor 1995). Rodi dan Salovey (dalam Munandar 2009) mengungkapkan bahwa keluarga dan perkawinan adalah sumber dukungan sosial yang paling penting bagi perkembangan anak dan mendorong individu berkembang kreativitasnya sementara dukungan sosial menurut Dunst & Trivette (1988) baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kesejahteraan orang tua, integritas keluarga, interaksi orang tua-anak, serta perkembangan dan perilaku anak. Dukungan keluarga yang mendorong tumbuh kembang anak melalui pemberian kepercayaan, berbagi ide, dukungan orang tua, pengasuhan, kasih sayang dan interaksi yang baik antar anggota keluarga lainnya terutama saudara kandung. Menurut Hurlock (1982) bahwa pengembangan kreativitas perlu dikembangkan sejak kecil dalam lingkungan keluarga karena kehidupan anak yang pertama dalam keluarga cenderung bertahan dan mempengaruhi sikap serta perilaku anak sepanjang hidupnya.
lebih baik pada berbagai tugas. Lingkungan yang kaya stimulasi dalam keluarga sangat penting untuk setiap anak sehingga anak menjadi lebih optimis dalam membangun kecerdasan sosial dan kognitifnya. Menurut Hurlock (1978) iklim dan suasana rumah dalam lingkungan keluarga dipengaruhi oleh afeksi, respon kerjasama, dan toleransi antar anggota keluarga. Lingkungan keluarga terbukti mendukung kreativitas anak, terutama pada anak yang tinggal dalam keluarga yang mendukung dan terorganisir sehingga anak mengalami peningkatan kepercayaan diri, memiliki kompetensi sosial, lebih mandiri dan mampu menyelesaikan masalah dengan berbagai cara sehingga anak mengalami penurunan kecemasan (Moos & Moos 2002).
Lingkungan keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kreativitas anak. Seiring dengan hasil penelitian Teale mengenai keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak-anaknya cukup mempengaruhi kreativitas dan prestasi belajar anak. Latar belakang pendidikan orang tua dan status ekonomi keluarga juga sebagian besar berkontribusi terhadap lingkungan rumah yang mereka sediakan untuk anak-anak mereka. Orang tua memiliki pengaruh yang sangat besar pada pendidikan anak-anak untuk beberapa alasan. Alasan pertama bahwa orang tua merupakan guru pertama bagi anak. Alasan kedua bahwa orang tua dengan latar belakang pendidikan yang baik yang diberikan oleh orang tuanya dulu memiliki waktu yang jauh lebih mudah dalam mempersiapkan anak untuk sekolah dibandingkan dengan orang tua yang kurang mendapat didikan orang tua ketika kecilnya. Pendidikan yang diterima anak sangat tergantung pada pendidikan yang orang tua mereka terima ketika mereka masih anak-anak. Pendidikan orang tua memberikan dukungan yang positif terhadap kreativitas anak. Semakin tinggi pendidikan orang tua semakin baik prestasi anak terutama pendidikan ibu yang berhubungan positif dengan prestasi anak daripada pendidikan ayah (Munandar 2009). Sejalan dengan hasil penelitian Dacey (1989) bahwa anak kreatif mempunyai rasa identifikasi yang kuat dengan ibu mereka bahkan ibu mempunyai peranan utama dalam pengembangan kreativitas keluarganya. Anak kreatif menurut Supriadi (1994) tumbuh dari keluarga yang orang tuanya berpendidikan tinggi dan berpenghasilan baik, karena orang tua ini memiliki pengalaman yang bermakna yang kaya dalam hidupnya, lebih unggul dan memiliki iklim kehidupan yang baik.
Penelitian Dacey (1989) menunjukkan bahwa keluarga dari anak kreatif sangat jauh berbeda dengan keluarga biasa lainnya. Keluarga dari anak kreatif memperlihatkan suatu karakteristik tersendiri, yaitu : (1) Orang tua sangat mendukung anak untuk mengembangkan minat, bakat dan potensi kreatifnya. (2) Orang tua dari anak kreatif tidak terlalu banyak ikut campur dalam kegiatan anak, tidak bertindak otoriter, terlalu mengawasi atau membatasi kegiatan anaknya. Mereka tidak terlalu permisif tetapi juga tidak terlalu otoriter (3) Orang tua menunjukkan tingkat humor yang tinggi dan ikut berperan aktif dalam proses kreatif anaknya. (4) Orang tua mendorong anak untuk tidak mudah putus asa dan mendorong kerja keras dalam proses kreatif anaknya. (5) Orang tua dari anak kreatif sangat perhatian dan terlibat langsung dalam pendidikan anaknya.
(relationship), dimensi perkembangan pribadi (personal growth) dan dimensi pemeliharan sistem (system maintenance). Dimensi hubungan keluarga (relationship) merupakan evaluasi lingkungan keluarga dalam hal hubungan antar anggota keluarga yang terdiri dari 3 sub skalayaitu : (1) kohesi (cohesion) adalah tingkat komitmen dan dukungan anggota keluarga satu kepada anggota keluarga lainnya seperti membicarakan masalah yg dihadapi, atau membuat kegiatan bersama; (b) ekspresif (expressiveness) adalah sejauh mana anggota keluarga didorong untuk mengungkapkan perasaan mereka secara langsung, seperti saling menjaga perasaan, bebas mengeluarkan pendapat, mudah mengekspresikan diri dan mudah untuk menyampaikan keinginan; (c) demokrasi (democracy) adalah persamaan hak bagi anggota keluarga untuk berpendapat, mengambil keputusan serta menyelesaikan masalah secara bersama.
Dimensi pertumbuhan pribadi (Personal Growth) terdiri dari : (a) kebebasan atau kemandirian (independent), menilai sejauh mana anggota keluarga yang tegas, mandiri dan mampu membuat keputusannya sendiri seperti semua anggota keluarga memiliki tugas rumah, keluarga mendukung untuk mandiri, bebas melakukan kegiatan sesuai dengan hobi, dan berani mengemukakan pendapat; (b) orientasi keberhasilan (achievement orientation), mencerminkan berapa banyak kegiatan yang dibuat dalam rangka mencapai prestasi atau persaingan seperti berusaha untuk mengerjakan dengan baik, menjadi yang lebih baik merupakan hal yang penting atau keluarga mendorong untuk mendapatkan juara/berprestasi; (c) orientasi intelektual dan budaya (intelectual-cultural orientation), mengukur tingkat minat dalam kegiatan seni dan budaya, seperti pergi ke tempat-tempat yang sesuai dengan hobi, mengikuti kegiatan-kegiatan seni budaya atau berdiskusi tentang berita-berita yang berkaitan dengan kegiatan kreatif; (d) orientasi rekreasi (active-recreational orientation), mengukur jumlah partisipasi dalam kegiatan sosial dan mengisi waktu untuk rekreasi (kegiatan bersama), seperti menghabiskan akhir pekan bersama, menerima kunjungan teman kerumah, berkunjung ke tempat yang dapat menciptakan ide kreatif dan pergi berekreasi; (e) orientasi agama (moral-religion emhasis), menekankan pada masalah etika dan agama serta nilai-nilai moral, seperti mengunjungi tempat ibadah, meyakini agama, melakukan hal yang sesuai dengan ajaran agama.
Dimensi pemeliharaan sistem (system maintenance) terdiri dari : (a) organisasi (organization) yakni seberapa banyak perencanaan yang dimasukkan ke dalam kegiatan keluarga dan dipertanggung jawabkan, seperti kegiatan keluarga dibuat dan direncanakan terlebih dahulu, kondisi rumah dalam keadaan rapih, bersih mudah untuk menemukan barang serta tepat waktu merupakan hal yang penting; (b) kontrol (control) atau pengawasan yakni seberapa banyak aturan dan prosedur yang digunakan untuk menjalankan kehidupan keluarga seperti peraturan yang dibuat dan ditaati bersama, dan masing-masing anggota memiliki hak yang sama dalam pengambilan keputusan.
melakukan kegiatan-kegiatan tanpa suasana penilaian. Interaksi antara orang tua dan anak yang dapat menghambat berkembangnya kreativitas dikemukakan oleh Torrance (1981) disebabkan oleh : (1) terlalu dini untuk mengeliminasi fantasi anak; (2) membatasi rasa ingin tahu anak; (3) terlalu menekankan peran berdasarkan perbedaan jenis kelamin (sexual roles); (4) terlalu banyak melarang anak; (5) terlalu menekankan kepada anak agar memiliki rasa malu; (6) terlalu menekankan pada keterampilan verbal tertentu; (7) sering memberikan kritik yang bersifat destruktif.
Sekolah
Kamrani (dalam Syafrudin 2008) menyatakan bahwa “Pendidikan keluarga betul-betul menjadi basis bagi pendidikan di sekolah dan masyarakat, sehingga sekolah dan masyarakat hanyalah bagian pelimpahan dan tanggungjawab sebuah keluarga”. Meskipun orang tua memberi pengaruh utama dan sumber daya utama bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, namun orang tua bukan satu-satunya pengaruh yang membentuk perilaku anak. Pengaruh lingkungan seperti teman sebaya, tetangga, media massa serta sekolah juga merupakan tempat yang akan mendukung pembentukan diri anak. Sekolah adalah lembaga yang diberi kepercayaan oleh orang tua untuk mengembangkan potensi anak. Sekolah diharapkan memberi pendidikan dan pengajaran yang diperlukan oleh anak sebagai bekal dikemudian hari. Menurut Bandura (1997) lingkungan sekolah yang baik mendorong pertumbuhan psikologis dan memberikan kontribusi pada kualitas hidup. Dengan demikian sekolah selain tempat mendidik, mengajar juga memiliki tanggungjawab untuk menciptakan lingkungan yang berkualitas seperti memberikan kenyamanan, keamanan, kebebasan dan pemerataan pengetahuan bagi siswanya serta melatih anak menjadi kreatif dan mandiri agar siap menghadapi semua perubahan di masa depan.
Lingkungan sekolah sebagai tempat dimana anak belajar banyak hal, termasuk bagaimana anak mendapatkan dan membangun pengalaman pengetahuannya. Dave (1963) mendefinisikan lingkungan pendidikan sebagai "kondisi, proses dan rangsangan psikologis" yang mempengaruhi pencapaian pendidikan anak. Pentingnya lingkungan sekolah, menurut Bandura (1997) karena sekolah adalah tempat dimana anak mengembangkan kompetensi kognitif dan mengakuisisi pengetahuan serta keterampilan dalam memecahkan masalah agar dapat berpartisipasi secara efektif dimasyarakat dan selalu berlandaskan pada tujuan pendidikan seperti yang tercantum dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa ”Pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
kreatif, pendapat tersebut sejalan dengan beberapa hasil penelitian mengenai kreativitas (Evita Adnan 1995; Cropley 2001; Wijaya 1991), sikap guru dan prestasi belajar anak menunjukkan kebermaknaan antara kreativitas guru dengan prestasi belajar siswa sekolah dasar. Guru yang kreatif memiliki ciri-ciri perilaku kreatif (Munandar 1999) antara lain : memiliki rasa ingin tahu, mau bekerja keras, berani, memaksimalkan kemampuan intelektualnya, mandiri, dinamis, penuh inovasi/gagasan dan daya cipta, bersedia menerima informasi, menghubungkan ide dan pengalaman yang diperoleh dari berbagai sumber yang berbeda, serta cenderung menampilkan berbagai alternatif terhadap subyek tertentu. Guru yang kreatif akan memprioritaskan metode dan teknik yang mendukung berkembangnya kreativitas seperti keterampilan dalam merancang pembelajaran, membuat pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban terbuka, membuat pembelajaran yang dapat melibatkan keaktifan siswa, mengembangkan sikap kerjasama antar siswa serta memiliki kemampuan menganalisa jawaban-jawaban siswa dan mengaransemen berbagai sumber dan fasilitas yang tersedia untuk dimanfaatkan siswa dalam belajar. Namun kreativitas guru masih menjadi salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia yakni rendahnya kreativitas guru, sementara kreativitas guru dalam proses belajar mengajar mempunyai peran penting dalam meningkatkan mutu hasil belajar siswa dan menciptakan siswa yang kreatif (Wijaya 1991).
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan anak, dan guru diberikan keleluasaan untuk mengembangkannya kedalam kegiatan belajar mengajar yang menyenangkan, sesuai dengan kompetensi anak, kesiapan belajar anak, kemampuan fisik dan kognitif anak. pengembangannya diserahkan kepada sekolah dengan menyesuaikan pada kebutuhan sekolah itu sendiri. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus Kurikulum pembelajaran di sekolah saat ini masih jauh dari kurikulum yang dapat mendukung kreativitas anak, hal ini dikarenakan sekolah lebih mementingkan potensi akademik, nilai dan lulus Ujian Nasional. Kurikulum dan penciptaan pembelajaran yang active learning memungkinkan pengembangan sikap dan perilaku kreatif anak, seperti memberikan kebebasan pada anak untuk mengerjakan tugasnya sendiri, memecahkan masalah, belajar secara berkelompok.
yang memungkinkan pengetahuan (Knowledge), keterampilan (skills), sifat alamiah (dispositions) dan perasaan (feelings) bekerja dengan baik (Megawangi 2010).
Fasilitas juga dapat mempengaruhi kreativitas anak, membantu pelaksanaan tugas di sekolah, membantu kegiatan belajar anak, menurut Arter (1998) fasilitas juga mendukung kelengkapan sumber dan kenyamanan lingkungan. Lingkungan fisik berupa barang, sarana dan prasarana serta kelengkapan sumber belajar akan mempengaruhi upaya peningkatan hasil belajar siswa. Belajar yang baik menurut Gie (2002) hendaknya didukung oleh ketersediaan fasilitas belajar yang memadai seperti : tempat belajar, alat tulis, buku-buku, penerangan yang cukup dan kelengkapan peralatan praktek, perpustakaan, lapangan olahraga, ruang-ruang praktek (ruang bahasa, ruang komputer, ruang kearsipan, ruang kegiatan ekstra kurikuler dan sebagainya).
Pendekatan yang telah digunakan dibeberapa penelitian yang berhubungan dengan lingkungan sekolah, salah satunya adalah pendekatan dimensi yang dikembangkan oleh Moos & Trickett (1974) dan Moos (1979) yakni School Environment Scale (SES) atau skala lingkungan sekolah, Classroom Environment Scale (CES) atau skala lingkungan kelas serta pendekatan yang dikembangkan oleh Frasser (1990) yaitu Individual Classroom Environment Questionare (ICEQ)
atau kuesioner individu skala lingkungan kelas yang menjadi landasan penelitian ini. Pendekatan ini terbagi menjadi 3 dimensi yakni : dimensi hubungan (relationship), dimensi pertumbuhan pribadi (personal growth) dan dimensi sistem pemeliharaan (system maintenance).
Dimensi hubungan guru-siswa (relationship) adalah keterlibatan guru dengan siswa yang saling mendukung dan membantu, serta mengekspresikan kemampuan mereka secara bebas terbuka. Moos mengatakan bahwa dimensi ini mencakup aspek afektif dari interaksi antara guru dengan anak didik. Skala yang termasuk dalam dimensi ini diantaranya adalah : (a) interaksi hubungan guru-siswa yakni timbal balik positif yang bersifat edukatif yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah disepakati bersama secara efektif. Dimensi hubungan termasuk bagaimana hubungan antar siswa yang baik, saling mengenal, bekerjasama, berartisipasi dalam kegiatan-kegiatan dan aktif dalam memberikan pendapat; (b) dukungan guru, seperti guru memberikan bantuan, mendorong siswa untuk menemukan ide-ide baru, memuji hasil karya siswa dan memberikan rasa nyaman terutama ketika siswa mengalami kesulitan; (c) kerjasama adalah keinginan siswa untuk bekerja sama dengan orang lain secara kooperatif dan menjadi bagian dari kelompok melalui kegiatan berdiskusi, mendiskusikan ide-ide kegiatan dan saling memberi semangat.
menyelesaikan tugas baik sendiri maupun berkelompok serta berusaha menyelesaikannya; (c) berani mengambil resiko adalah berani memulai sesuatu yang serba tidak pasti dan penuh resiko, seperti berani mencoba melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya dan menemukan masalah meskipun dengan hal yang berbeda.
Dimensi manajemen kelas (class management) membicarakan sejauh mana lingkungan sekolah mendukung harapan, memperbaiki kontrol dan merespon perubahan melalui peraturan dan pengaturan kelas. Skala-skala lingkungan sekolah yang termasuk dalam dimensi ini antara lain : (a) organisasi kelas adalah suatu pola hubungan siswa di bawah pengarahan guru untuk mengejar tujuan bersama, seperti mengatur ruang kelas sehingga kelas dapat menjadi tempat untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman belajar; (b) peraturan yakni sesuatu yang disepakati dan mengikat sekelompok orang/lembaga dalam rangka mencapai suatu tujuan dalam hidup bersama, seperti membuat peraturan kelas bersama dan mematuhinya.
Pendekatan Teori Perkembangan Anak
Piaget (1970) mengemukakan bahwa setiap individu akan mengalami tahap perkembangan yang sama dan tidak ada perbedaan antara bangsa satu dengan bangsa lainnya namun bersifat universal. Tahap-tahap perkembangan dimulai sejak masa prenatal, bayi, anak, remaja, dewasa, dan kematian yang disetiap tahapnya berupaya untuk mengoptimalkan potensi-potensinya dengan sebaik-baiknya. Tahap-tahap perkembangan menurut Piaget berhubungan erat dengan tahap perkembangan kognitif seperti pada usia 0 – 6 bulan adalah masa reflex, 6 – 18 bulan adalah masa sensori-motorik, 18 bulan – 5 tahun adalah masa pre-operasional, 6 – 12 tahun adalah masa operasi konkrit dan 13 tahun ke atas masa operasi formal.
Pada penelitian ini anak yang menjadi objek penelitian adalah anak usia sekolah dasar yang berusia 10 – 11 tahun atau berada di kelas 4 dan 5 SD yang menurut beberapa ahli seperti ; (1) Piaget menyatakan bahwa anak diusia ini berada di tahap operasional konkrit yakni sudah mampu melakukan tugas-tugas kognitif seperti matematika; (2) Sigmund Freud menyatakan anak diusia ini berada ditahap laten yakni masa tenang dan nyaman dalam mengembangkan potensi intelektual maupun sosialisasinya; (3) Erik Erikson menyatakan anak diusia ini berada pada masa industri yakni mulai mengembangkan kepribadian seperti pembentukan konsep diri fisik, sosial dan akademik, harga diri, percaya diri dan efikasi diri. Anak diusia ini sudah mengalami proses kematangan sosial, mental, psikologis dan moral (Harris dan Liebert 1992; Santrock 1997).
dimasa lalu, kini dan mendatang. Menurut Cropley (1999), terdapat 3 tahapan perkembangan kreativitas diantaranya :
a. Tahap Prekonvensional (Preconventional phase)
Tahap ini terjadi pada usia enam sampai delapan tahun. Pada tahap ini, individu menunjukkan spontanitas dan emosional dalam menghasilkan suatu karya, yang kemudian mengarah kepada hasil yang aestetik dan menyenangkan. Individu menghasilkan sesuatu yang baru tanpa memperhatikan aturan dan batasan dari luar.
b. Tahap Konvensional (Conventional phase)
Tahap ini berlangsung pada usia sembilan sampai dua belas tahun. Pada tahap ini kemampuan berpikir seseorang dibatasi oleh aturan-aturan yang ada sehingga karya yang dihasilkan menjadi kaku. Selain itu, pada tahap ini kemampuan kritis dan evaluatif juga berkembang.
c. Tahap Poskonvensional (Postconventional phase)
Tahap ini berlangsung pada usia dua belas sampai dewasa. Pada tahap ini, individu sudah mampu menghasilkan karya-karya baru yang telah disesuaikan dengan batasan-batasan eksternal dan nilai-nilai konvensional yang ada di lingkungan.
Beberapa faktor yang memungkinkan berkembangnya kreativitas antara lain adalah : (1) anak sudah mulai mampu menampilkan operasi-operasi mental ; (2) anak mulai mampu berpikir logis dalam bentuk sederhana; (3) anak mulai berkembang kemampuannya untuk memelihara identitas diri; (4) konsep tentang ruang sudah semakin meluas; (5) anak sudah menyadari akan adanya masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang; (6) anak sudah mampu mengimajinasikan sesuatu, meskipun biasanya masih memerlukan bantuan objek-objek konkret.
Pendidikan
Pendidikan merupakan usaha yang sengaja secara sadar dan terencana untuk membantu meningkatkan perkembangan potensi dan kemampuan anak agar bermanfaat bagi kepentingan hidupnya sebagai seorang individu dan sebagai warga negara/masyarakat (Branata 1988). Pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, hal ini karena pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan bukanlah hal mudah dan sederhana, karena selain sifatnya yang kompleks, dinamis dan kontekstual, pendidikan merupakan wahana untuk pembentukan diri seseorang secara keseluruhan. Peranan pendidikan dalam pembentukan diri (Umiarso 2010) meliputi aspek pengembangan kognitif berupa keterampilan akademik (membaca dan matematika) dan keterampilan berfikir (kemampuan memecahkan masalah), sementara pengembangan aspek sosial interpersonal memungkinkan individu dapat bekerja dan hidup dalam kelompok secara kreatif, inisiatif, dan empati.
dan tenaga kependidikan lainnya. sehingga sekolah dapat membentuk manusia yang mampu menghadapi masa depan dengan kreatif. Menurut Henderson (1959) bahwa pendidikan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perkembangan, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial, lingkungan fisik dan berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir.
Pendidikan di Indonesia dicanangkan dalam program wajib belajar 9 tahun yakni sekolah dasar 6 tahun dengan rentang usia 7 sampai 12 tahun dilanjutkan dengan sekolah menengah pertama 3 tahun dengan rentang usia 13 sampai 15 tahun. Program pemerintah berikutnya adalah mencanangkan wajib belajar 12 tahun yakni dengan menambahkan 3 tahun di sekolah menengah atas dengan rentang usia 16 sampai 18 tahun. Pemerintah meluncurkan program sekolah gratis dengan harapan seluruh anak di Indonesia dapat menggunakan haknya dalam pendidikan, karena melalui pendidikan, kualitas sumber daya manusia Indonesia diharapkan dapat meningkat. Dalam PP No 19/2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan disebutkan dalam pasal 19 sampai dengan 22 Tentang Standar Proses Pendidikan, bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Adanya keteladanan pendidik, adanya perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran. Berdasarkan standar yang ditetapkan di atas, maka proses pembelajaran yang dilakukan antara siswa dengan pendidik sudah harus meninggalkan cara-cara dan model yang konvensional sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien.
Sekolah Konvensional
Sekolah konvensional adalah sekolah yang memiliki metode pendidikan dengan cara-cara lama (Megawangi et al. 2010). Menurut Dewey 1997; Weng 2000; Chandler 1998; kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan di sekolah konvensional bersifat satu arah, artinya selama proses belajar mengajar berlangsung siswa bersikap pasif (mendengarkan) sementara guru yang aktif (mengajar). Magnesen (dalam DePorter et al. 2007) menyatakan bahwa jika pada proses belajar mengajar, siswa hanya mendengarkan saja maka sebenarnya siswa hanya mampu menyerap 20 persen materi yang diberikan oleh guru.
Konsep belajar sekolah konvensional adalah siswa belajar dengan cara mengingat atau menghafal tanpa memahami makna akan apa yang dihafalkan tersebut. Menurut Bloom, proses mengingat atau menghafal berada pada lapisan berpikir yang paling bawah dari taksonomi Bloom (Megawangi et al. 2010). Pembelajaran, pemberian tugas, hafalan/drilling dan pekerjaan rumah lebih berorientasi untuk mendapatkan nilai dan lulus ujian nasional. Materi pembelajaran tidak terintegrasi antar satu pelajaran dengan pelajaran lainnya sehingga materi yang diberikan tidak mendalam. Tidak terintegrasinya pembelajaran menurut Megawangi menjadikan siswa tidak dapat melihat keterkaitan materi satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya bahkan siswa tidak mengerti apa relevansinya dengan kehidupan nyata. Penilaian atas hasil kerja anak diberikan dalam bentuk angka, laporan perkembangan anak diberikan dalam bentuk rangking. Pajangan hasil kerja anak sebagai sebuah penghargaan dan prestasi sangat sedikit sekali dipajangkan bahkan jika adapun bukan yang up to date.
Sekolah Progresif
Tabel 1 Perbedaan sekolah konvensional dan sekolah progresif
Sekolah Konvensional Sekolah Progresif
Kegiatan belajar berpusat pada guru Kegiatan belajar berpusat pada anak Jumlah siswa per kelas lebih besar Jumlah siswa per kelas lebih kecil Kurikulum terpisah (mata pelajaran
Belajar dengan pengulangan Belajar dengan berbagai kegiatan
Konsep disajikan sebagai fakta untuk
Kreativitas menurut Mackinnon (1970) adalah kemampuan untuk menciptakan dan mengekspresikan seluruh potensi unik dari individu. Mackinnon dan Taylor (1988); Mooney 1963 (dalam Munandar 1988) menyarankan untuk melihat kreativitas dari empat aspek yaitu : pribadi kreatif, proses kreatif, situasi kreatif dan produk kreatif. Situasi kreatif dapat pula adalah sebagai faktor pendorong kreatif. Sementara Roger (1982) mengemukakan bahwa kreativitas sudah merupakan suatu kebutuhan sosial dari orang-orang yang kreatif. Roger melontarkan berbagai kritik terhadap apa yang terjadi yang menghambat kreativitas. Salah satunya adalah pendidikan, Rogers menyatakan bahwa pendidikan cenderung merubah sikap konformis, stereotip individu bukan pemikir yang bebas kreatif. Dari kritik tersebut jelas bahwa pendidikan yang ada termasuk pendidikan di Indonesia belum membentuk anak didik menjadi seorang yang kreatif.