PEMERIKSAAN PROTEIN, KOLESTEROL DAN LAKTAT DEHIDROGENASE CAIRAN PLEURA SEBAGAI PARAMETER
DALAM MEMBEDAKAN
EFUSI PLEURA TRANSUDAT DAN EKSUDAT
TESIS
GUNTUR MULIA JENDRY GINTING NIM: 117041084
PROGRAM MAGISTER KLINIK SPESIALIS ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PEMERIKSAAN PROTEIN, KOLESTEROL DAN LAKTAT
DEHIDROGENASE CAIRAN PLEURA SEBAGAI PARAMETER DALAM MEMBEDAKAN
EFUSI PLEURA TRANSUDAT DAN EKSUDAT
TESIS
Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang
Ilmu Penyakit Dalam / M.Ked (PD) pada Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
GUNTUR MULIA JENDRY GINTING 117041084
PROGRAM MAGISTER KLINIK SPESIALIS ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Telah diuji pada Tanggal: 9 Juli 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Gontar Alamsyah Siregar SpPD-KGEH
Anggota : Prof. Dr. Haris Hasan SpPD, SpJP (K)
Dr. Leonardo B. Dairi SpPD-KGEH
Dr. Armon Rahimi SpPD-KPTI
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah penulis nyatakan dengan benar
Nama : Guntur Mulia Jendry Ginting
NIM : 117041084
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda
tangan di bawah ini:
Nama : Guntur Mulia Jendry Ginting
NIM : 117041084
Program Studi : Magister Kedokteran Klinik
Konsentrasi : Ilmu Penyakit Dalam
Jenis Karya : Tesis
Demi pengembanga ilmu pengetahuan, mennyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas tesis yang saya berjudul:
PEMERIKSAAN PROTEIN, KOLESTEROL DAN LAKTAT
DEHIDROGENASE CAIRAN PLEURA SEBAGAI PARAMETER DALAM MEMBEDAKAN EFUSI PLEURA TRANSUDAT DAN EKSUDAT
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Non-eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih
media/formatkan, mengelola dalam bentuk database merawat dan
mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya
Dibuat di : Medan
Pada Tanggal :
Judul Tesis : Pemeriksaan Protein, Kolesterol dan Laktat
Dehidrogenase Cairan Pleura sebagai Parameter dalam Membedakan Efusi Pleura Transudat dan Eksudat
Nama Mahasiswa : Guntur Mulia Jendry Ginting Nomor Induk Mahasiswa : 117041084
Program Magister : Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi : Penyakit Dalam
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Alwinsyah Abidin SpPD-KP Dr. E. N Keliat SpPD-KP
Ketua Program Studi Ketua TKP-PPDS
Dr. Zainal Safri SpPD, SpJP
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur yang tak terhingga senantiasa penulis panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta
telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
penulisan tesis ini.
Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan tugas akhir pendidikan
Magister Kedokteran Klinik Ilmu Penyakit Dalam di FK-USU / RSUP H. Adam
Malik Medan.
Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala
kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak
di masa yang akan datang.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan rasa hormat,
penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dekan Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A. Siregar SpPD-KGEH yang telah memberikan izin dan menerima penulis untuk mengikuti Program Magister Ilmu Penyakit Dalam di FK USU.
2. Dr. Salli Roseffi Nasution SpPD-KGH dan dr. Refli Hasan SpPD, Sp.JP(K) selaku Kepala dan Sekretaris Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah
memberikan bantuan dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini.
3. Dr. Zainal Safri SpPD, SpJP selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam FK-USU yang telah banyak membantu
dalam menyelesaikan tesis ini.
4. Pembimbing Dr. Alwinsyah Abidin SpPD-KP dan Dr. Ermanta Ngirim Keliat SpPD-KP yang telah memberikan bimbingan, bantuan serta saran-saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan
penyelesaian tesis ini.
SpPD-KR, Prof. Dr. Bachtiar Fanani Lubis SpPD-KHOM, Prof. Dr. Habibah Hanum SpPD-KPsi, Prof. Dr. Azhar Tanjung SpPD-KP-KAI-SpMK, Prof. Dr. Sutomo Kasiman SpPD-KKV, Prof. Dr. Azmi S. Kar SpPD-KHOM, Prof. Dr. Lukman Hakim Zain SpPD-KGEH, Prof. Dr. M Yusuf Nasution SpPD-KGH, Prof. Dr. Abdul Majid SpPD-KKV, Prof. Dr. Gontar Alamsyah SpPD-KGEH, Prof. Dr. Haris Hasan SpPD, Sp.JP (K), Prof. DR. Dr. Harun Al Rasyid SpPD-KGK
SpPD, Dr. Radar Radius Tarigan SpPD, Dr Wika Lubis SpPD, dan
Dr. Riri Andri Muzasti Sp.PD.
7. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan dan RSU dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan fasilitas dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada penulis dalam menjalani pendidikan
8. Rektor Universitas Sumatera Utara serta Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis
Ilmu Penyakit Ddalam di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
9. Drs. Abdul Jalil Amri Arma M.Kes yang sudah membantu penulis dalam membuat analisa statistik dalam penelitian ini.
10.Prof. Dr. Habibah Hanum, Kpsi, Dr. Josia Ginting SpPD-KPTI, dan Dr. Radar Radius Tarigan SpPD yang telah memberikan rekomendasi kepada penulis untuk mengikuti ujian masuk PPDS Ilmu
Penyakit Dalam
11.Bupati Kabupaten Labuhan Batu Dr. Tigor Panusunan Siregar SpPD, Kepala Dinas Kesehatan Labuhan Batu, Direktur RSU Rantau Prapat, serta Kepala Puskesmas Kec. Negeri Lama yang telah mendukung saya dalam mengikuti pendidikan spesialis Penyakit Dalam
ini.
12.Seluruh rekan-rekan anggota dan pengurus Ikatan Keluarga Asisten Ahli
Penyakit Dalam (IKAAPDA) di USU, dan teman-teman seangkatan
penulis: dr. Hardi E. Sibagariang, dr. Ade Andriany, dr. Ayu Nurul Zakiah, dr. Ari Sudibrata, dr. Memorison Tarigan, dr. Fiblia, dr. Ahsan Tanio Daulay, dr. Dwi Bayu Wikarta serta dr. Jarmila Elmaco
atas dukungannya dengan persahabatan, kerja sama serta berbagi dalam
suka dan duka dalam menjalani kehidupan sebagai residen.
Efzah, yang telah membantu peneliti dalam pengumpulan sampel penelitian.
14.Kepada Syarifuddin Abdullah, Leli H. Nasution, Erjan Ginting, Tika, Fitri, Deni, Wanti, serta semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam terlaksananya penelitian serta penulisan tesis ini.
15.Seluruh perawat/paramedik di berbagai tempat di mana penulis pernah bertugas selama pendidika, terima kasih atas bantuan dan kerjasama yang
baik selama ini
16.Para Pasien yang telah bersedia ikut dalam penelitian ini sehingga penulisan tesis ini dapat terwujud.
Sembah sujud dan terima kasih tak terhingga penulis haturkan kepada
kedua orang tua penulis, Ayahanda Jaya Lintar Ginting dan Ibunda Melinda br. Situmorang atas segala jerih payah, pengorbanan, dan kasih sayang tulus telah melahirkan, membesarkan, mendidik, mendoakan tanpa henti, memberikan
dukungan moril dan materiil, serta mendorong penulis dalam berjuang. Semoga
Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan kesehatan, rahmat, dan
karunia-Nya. Terima kasih pula kepada Ayah Mertua penulis Drs. Waldiger Pakpahan MM dan Ibu Mertua Hertha br Nainggolan atas segala dukungan moril dan meteriil serta dorongan semangat yang telah diberikan kepada penulis. Terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Istri tercinta, dr. Selastri Agnes Pakpahan
serta kedua anak-anak penulis Jesslyn Elnina Syalomita br Ginting dan Glenn Elnino Ginting yang dengan setia telah mendampingi penulis selama masa pendidikan, memberikan keindahan dalam hari-hari penulis khususnya selama
dalam pendidikan serta motivasi besar untuk menyelesaikan tulisan ini. Terima
kasih pula untuk Saudara/i penulis Topan Obaja Putra Ginting S.STP, M.SP, Guruh N.M. Ginting A.Md, Monalisa Rebina br Ginting serta segenap keluarga besar penulis yang telah memberikan bantuan moril, semangat dan doa
tanpa pamrih selama pendidikan.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis sampaikan pula terima
telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung selama pendidikan
maupun dalam penyelesaian tesis ini.
Semoga Tuhan Yang maha Esa senantiasa memberikan limpahan rahmat
dan karunia-Nya kepada kita semua dan semoga penelitian ini dapat bermanfaat
bagi kita dan masyarakat.
Medan, Juli 2014
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan Pembimbing i
Kata Pengantar ii
Daftar isi vii
Daftar Tabel xi
Daftar Gambar xii
Daftar Sigkatan dan Tanda xiii
Abstrak xiv
Bab 1. Pendahuluan 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 6
1.3. Hipotesis Penelitian 7
1.4. Tujuan Penelitian 7
1.4.1. Tujuan Umum 7
1.4.2. Tujuan Khusus 7
1.5. Manfaat Penelitian 8
Bab 2.Tinjauan Pustaka 9
2.1. Efusi Pleura 9
2.2. Epidemiologi 9
2.3. Etiologi dan Patofisiologi 10
2.3.1. Transudat 14
2.4. Prognosis 16
2.5. Gambaran Klinis 17
2.6. Pemeriksaan Penunjang 19
2.6.1. Pemeriksaan Pencitraan Radiologis 19
2.6.2. Pemeriksaan Cairan Pleura 20
2.6.3. Evaluasi terhadap Efusi Eksudatif 23
2.7. Penatalaksanaan 26
2.7.1. Efusi Parapneumonik 27
2.7.2. Efusi Pleura Maligna 27
2.7.3. Pleuritis Tuberkulosa 28
2.7.4. Intervensi Bedah 28
2.7.5. Torasentesis Terapeutik 29
2.7.6. Pipa Torakostomi 30
2.8. Kerangka Konseptual 30
Bab 3. Metodologi Penelitian 31
3.1. Desain Penelitian 31
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 31
3.3. Populasi Penelitian 31
3.4. Sampel Penelitian 31
3.4.1. Cara Pengambilan Sampel Penelitian 31
3.4.2. Besar Sampel 32
3.5. Kriteria Penelitian 32
3.5.2. Kriteria Ekslusi 33
3.6. Identifikasi Variabel 33
3.6.1. Variabel Bebas 33
3.6.2. Variabel Terikat 34
3.7. Definisi Operasional 34
3.8. Cara Kerja 35
3.9 Masalah Etika (Ethical Clearance) dan Persetujuan Setelah
Penjelasan (Informed Consent) 37
3.10. Rencana Pengolahan dan Analisis Data 37
3.11. Kerangka Kerja 40
Bab 4. Hasil Penelitian 41
4.1. Karakteristik Subyek Penelitian 41
4.2. Perbandingan Berbagai Kriteria Kombinasi Parameter 44
Bab 5. Pembahasan 46
Bab 6. Kesimpulan dan Saran 48
6.1. Kesimpulan 48
6.2. Saran 48
Daftar Pustaka 50
Lampiran:
1. Master Tabel
2. Hasil Statistik
3. Lembaran Penjelasan Kepada Subyek Penelitian
5. Data Peserta Penelitian
6. Persetujuan Komite Etik
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Definisi operasional 34
Tabel 4.1. Karakteristik subyek penelitian 41
Tabel 4.2. Etiologi eksudat dan transudat 43
Tabel 4.3. Pengukuran parameter LDH-P, P-P, dan K-P 45
Tabel 4.4 Perbandingan nilai diagnostik berbagai kriteria
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Skema yang memperlihatkan proses sirkulasi normal
cairan pleura 9
Gambar 2.2. Algoritma evaluasi pasien dengan efusi pleura 21
Gambar 2.3 Berbagai uji diagnostik cairan pleura 25
Gambar 4.1. Distribusi jenis cairan pleura berdasarkan diagnosis etiologi 42
Gambar 4.2. Distribusi diagnosa klinis akhir efusi pleura secara
DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA
USG : Ultrasonografi
HDL : High Density Lipoprotein
LDH : Laktat dehidrogenase
LDL : Low Density Lipoprotein
NPV : Negative Predictive Value
PPV : Positive Predictive Value
ROC : Receiver Operating Characteristic
PEMERIKSAAN PROTEIN, KOLESTEROL DAN LAKTAT DEHIDROGENASE CAIRAN PLEURA SEBAGAI PARAMETER
DALAM MEMBEDAKAN EFUSI PLEURA TRANSUDAT DAN EKSUDAT
Guntur M. J. Ginting, Alwinsyah Abidin, Ermanta Ngirim Keliat Divisi Pulmonologi & Alergi Imunologi - Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan
ABSTRAK
Latar Belakang: Membedakan jenis cairan pleura apakah eksudat ataupun transudat penting dalam penjajakan dan pengobatan efusi pleura selanjutnya. Laktat dehidrogenase, protein dan kolesterol belakangan ini semakin sering diteliti untuk tujuan tersebut. Namun selama ini belum ada studi yang mengevaluasi kekuatan diagnostik kombinasi dari ketiga prameter diatas.
Tujuan: Mengevaluasi manfaat dari beberapa parameter yakni protein (P-P), laktat dehidrogenase (LDH-P) dan kolesterol cairan pleura (K-P) baik dalam bentuk parameter tunggal maupun kombinasi untuk memdedakan antara cairan pleura eksudat dan transudat.
Metode: Enam puluh enam kasus efusi pleura di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik sejak Januari hingga Mei 2014 dibagi menjadi kelompok yakni eksudat (10) dan transudat (56) berdasarkan diagnosa klinis akhir. Selanjutnya dilakukan perbandingan antara ketiga parameter cairan pleura diatas dengan diagnosa klinis akhir untuk mengetahui kekuatan masing-masing kriteria diagnostik baik tunggal maupun dalam bentuk kombinasi untuk membedakan antara transudat dan eksudat pada cairan pleura.
Hasil: Seluruh parameter baik tunggal maupun kombinasi secara statistik berbeda signifikan antara eksudat dan transudat. Namun kriteria kombinasi dua atau lebih dari tiga parameter (LDH-P, P-P dan K-P) unggul dalam tingkat akurasi (92,4%), sensitivitas (94,6%) serta nilai prediksi negatif (75%) dibandingkan kriteria diagnostik lainnya.
Kesimpulan: Studiini menunjukkan bahwa kriteria kombinasi dua atau lebih dari tiga parameter (LDH-P, P-P dan K-P) dapat membedakan antara eksudat dan transudat pada cairan efusi pleura lebih baik dibanding kriteria lainnya.
MEASUREMENT OF PLEURAL FLUID PROTEIN, CHOLESTEROL AND LACTATE DEHYDROGENASE AS THE PARAMETER IN DIFFERENTIATING EXUDATIVE AND TRANSUDATIVE PLEURAL
EFFUSION
Guntur M. J. Ginting, Alwinsyah Abidin, Ermanta Ngirim Keliat Division of Pulmonology & Alergy Immunology
Departement of Internal Medicine
Faculty of Medicine University of Sumatera Utara Medan
ABSTRACT
Backgroud: Differentiating exudative and transudative pleural effusion is essential for further appropriate workup and treatment. Many studies have evaluated pleural fluid lactate dehydrogenase (pLDH), protein (pProt) and cholesterol (pChol) for that purpose. Previously however, there is no study has shown the strength of diagnostic combination from those three parameters
Objective: To evaluate the benefit of three pleural fluid parameters pLDH, pProt and pChol both in single or combination form for differentiating exudative and transudative pleural effusion.
Methods: Sixty six cases of pleural effusion at Adam Malik Central Hospital from January-Mei 2014 were divided into exudate (56) and transudate group (10) based on their definite clinical diagnosis. Furthermore, comparations were made between all parameters in single and combination form to evaluate the strength between those criteria in order to differentiate between exudate and transudate pleural fluid.
Results: All parameters both in single or combination form were statistically different (p < 0,05) between exudate and transudate. However, the combination of two or more from three parameters (pLDH+pProt / pLDH+pChol / pProt+pChol / pLDH+pProt+pChol) were found superior in accuracy (92,4%), sensitivity (94,6%), and NPV (75%) compare to others.
Conclusion: This study found that combination of two or more from three parameters (pLDH, pProt and pChol) has superiority in differentiating exudate and transudate pleural fluid.
PEMERIKSAAN PROTEIN, KOLESTEROL DAN LAKTAT DEHIDROGENASE CAIRAN PLEURA SEBAGAI PARAMETER
DALAM MEMBEDAKAN EFUSI PLEURA TRANSUDAT DAN EKSUDAT
Guntur M. J. Ginting, Alwinsyah Abidin, Ermanta Ngirim Keliat Divisi Pulmonologi & Alergi Imunologi - Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan
ABSTRAK
Latar Belakang: Membedakan jenis cairan pleura apakah eksudat ataupun transudat penting dalam penjajakan dan pengobatan efusi pleura selanjutnya. Laktat dehidrogenase, protein dan kolesterol belakangan ini semakin sering diteliti untuk tujuan tersebut. Namun selama ini belum ada studi yang mengevaluasi kekuatan diagnostik kombinasi dari ketiga prameter diatas.
Tujuan: Mengevaluasi manfaat dari beberapa parameter yakni protein (P-P), laktat dehidrogenase (LDH-P) dan kolesterol cairan pleura (K-P) baik dalam bentuk parameter tunggal maupun kombinasi untuk memdedakan antara cairan pleura eksudat dan transudat.
Metode: Enam puluh enam kasus efusi pleura di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik sejak Januari hingga Mei 2014 dibagi menjadi kelompok yakni eksudat (10) dan transudat (56) berdasarkan diagnosa klinis akhir. Selanjutnya dilakukan perbandingan antara ketiga parameter cairan pleura diatas dengan diagnosa klinis akhir untuk mengetahui kekuatan masing-masing kriteria diagnostik baik tunggal maupun dalam bentuk kombinasi untuk membedakan antara transudat dan eksudat pada cairan pleura.
Hasil: Seluruh parameter baik tunggal maupun kombinasi secara statistik berbeda signifikan antara eksudat dan transudat. Namun kriteria kombinasi dua atau lebih dari tiga parameter (LDH-P, P-P dan K-P) unggul dalam tingkat akurasi (92,4%), sensitivitas (94,6%) serta nilai prediksi negatif (75%) dibandingkan kriteria diagnostik lainnya.
Kesimpulan: Studiini menunjukkan bahwa kriteria kombinasi dua atau lebih dari tiga parameter (LDH-P, P-P dan K-P) dapat membedakan antara eksudat dan transudat pada cairan efusi pleura lebih baik dibanding kriteria lainnya.
MEASUREMENT OF PLEURAL FLUID PROTEIN, CHOLESTEROL AND LACTATE DEHYDROGENASE AS THE PARAMETER IN DIFFERENTIATING EXUDATIVE AND TRANSUDATIVE PLEURAL
EFFUSION
Guntur M. J. Ginting, Alwinsyah Abidin, Ermanta Ngirim Keliat Division of Pulmonology & Alergy Immunology
Departement of Internal Medicine
Faculty of Medicine University of Sumatera Utara Medan
ABSTRACT
Backgroud: Differentiating exudative and transudative pleural effusion is essential for further appropriate workup and treatment. Many studies have evaluated pleural fluid lactate dehydrogenase (pLDH), protein (pProt) and cholesterol (pChol) for that purpose. Previously however, there is no study has shown the strength of diagnostic combination from those three parameters
Objective: To evaluate the benefit of three pleural fluid parameters pLDH, pProt and pChol both in single or combination form for differentiating exudative and transudative pleural effusion.
Methods: Sixty six cases of pleural effusion at Adam Malik Central Hospital from January-Mei 2014 were divided into exudate (56) and transudate group (10) based on their definite clinical diagnosis. Furthermore, comparations were made between all parameters in single and combination form to evaluate the strength between those criteria in order to differentiate between exudate and transudate pleural fluid.
Results: All parameters both in single or combination form were statistically different (p < 0,05) between exudate and transudate. However, the combination of two or more from three parameters (pLDH+pProt / pLDH+pChol / pProt+pChol / pLDH+pProt+pChol) were found superior in accuracy (92,4%), sensitivity (94,6%), and NPV (75%) compare to others.
Conclusion: This study found that combination of two or more from three parameters (pLDH, pProt and pChol) has superiority in differentiating exudate and transudate pleural fluid.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Efusi pleura merupakan suatu keadaan yang cukup sering dijumpai. Angka
kejadiannya secara internasional diperkirakan lebih dari 3000 orang dalam 1 juta
populasi tiap tahun. Di Amerika, dijumpai 1,5 juta kasus efusi pleura setiap
tahunnya.1,2 Sedangkan di Indonesia sendiri, Berdasarkan catatan medik Rumah
Sakit Dokter Kariadi Semarang, prevalensi penderita efusi pleura semakin
bertambah setiap tahunnya yaitu terdapat 133 penderita pada tahun 2001.3 Tobing
EMS. dalam penelitiannya tahun 2011 mendapati kasus efusi pleura dalam
setahun di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik berjumlah 136 dimana
laki-laki lebih banyak dari perempuan (65,4% vs 34,6%), sedangkan etiologi
tersering adalah tuberkulosis (44,2%) diikuti tumor paru (29,4%).4 Ada lebih dari
55 penyebab efusi pleura yang telah dicatat. Sedangkan insidensi berdasarkan
penyebabnya sendiri bervariasi bergantung dari area demografik serta
geografisnya.1,2
Menilai jenis efusi pleura, apakah transudat atau eksudat merupakan
langkah awal yang penting dalam menentukan etiologi efusi pleura itu sendiri.5,6
Meskipun pemeriksaan klinis dan radiologis dapat memberikan petunjuk tentang
etiologi efusi pleura, namun kebanyakan kasus perlu dievaluasi dengan
torasentesis.7 Suatu keadaan efusi pleura yang tidak memungkinkan dilakukan
diaspirasi [ketebalannya <10 mm pada pemeriksaan USG (ultrasonografi) atau
pemeriksaan foto toraks lateral dekubitus] atau jika efusi pleura yang disebabkan
oleh gagal jantung kongestif (terutama jika efusi bilateral dan mengalami
perbaikan dengan diuresis), riwayat pembedahan abdominal dan riwayat post
partum. Namun begitupun, torasentesis dapat juga diindikasikan pada
keadaan-keadaan diatas jika pasien mengalami perburukan.7 Setelah sampel cairan pleura
diambil, maka harus ditentukan apakah cairan tersebut merupakan cairan
transudatif (akibat peningkatan tekanan hidrostatis) ataukah eksudatif (akibat
peningkatan permeabilitas pleura dan pembuluh darah). Jika ternyata hasilnya
adalah transudat, maka kemungkinan penyebabnya relatif lebih sedikit, oleh
karenanya tidak perlu dilakukan prosedur diagnostik yang lebih jauh lagi terhadap
cairan pleura tersebut. Namun jika hasilnya adalah eksudat, ada banyak
kemungkinan penyebab yang mendasarinya sehingga pemeriksaan diagnostik
selanjutnya perlu dilakukan.7
Studi-studi yang mula-mula dilakukan mencoba menguji nilai diagnostik
adalah dari berat jenis serta protein dari cairan pleura untuk menentukan jenis
efusi eksudatif.5 Studi berikutnya oleh Light dkk. (1972) melaporkan bahwa
cairan pleura eksudatif setidaknya memenuhi salah satu dari kriteria berikut yakni,
rasio protein pada cairan pleura dibanding serum > 0,5, rasio laktat dehidrogenase
(LDH) cairan pleura dibanding serum > 0,6 dan kadar LDH cairan pleura > 2/3
batas atas LDH serum.5,8 Parameter ini disebut sebagai kriteria Light et al. Studi
ini memperlihatkan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi yakni
memiliki spesifisitas antara 70-86%. Selain itu peneliti lain juga menemukan
bahwa 25% cairan pleura transudat teridentifikasi sebagai cairan eksudat
berdasarkan kriteria Light. Hal ini terjadi pada kasus efusi pleura yang disebabkan
oleh gagal jantung yang telah mendapat terapi diuretik sebelumnya, dimana
ternyata pada keadaan ini kadar protein di cairan pleura dapat meningkat.8
Valdes L dkk. (1991) dalam penelitiannya mendapatkan sensitivitas dan
spesifisitas pemeriksaan kolesterol pleura untuk membedakan eksudat dan
transudat yakni berturut-turut sebesar 91% dan 100%, dengan positive predictive
value (PPV) 100%. Sedangkan rasio kolesterol pleura dan serum memiliki
sensitivitas dan spesifisitas sebesar 92,5% dan 87,6%. Kedua pemeriksaan diatas
memiliki tingat kesalahan yang lebih sedikit dibanding parameter Light. Baik
dalam penelitian ini maupun penelitian lainnya menemukan bahwa sensitivitas
dan spesifisitas kriteria Light tidak sebaik yang dilaporkan oleh Light dkk.9
Kolesterol merupakan parameter yang paling terakhir muncul dalam
penilaian cairan pleura. Kolesterol cairan pleura kemungkinan berasal dari sel-sel
yang mengalami degenerasi serta kebocoran vaskular sebagai akibat peningkatan
permeabilitas. Meskipun saat ini belum diketahui dengan pasti bagaimana
kolesterol cairan pleura eksudatif bisa meningkat, namun ada dua hal yang saat ini
mungkin dapat menjelaskan peristiwa tersebut. Yang pertama, kolesterol disintesa
oleh sel-sel pleura itu sendiri yang bertujuan untuk kebutuhan sel tersebut dalam
jumlah yang disesuaikan dengan kebutuhan. Keseimbangannya dalam sirkulasi
diatur secara dinamis oleh high density lipoprotein (HDL) dan low density
di dalamnya terjadi degenerasi leukosit dan eritrosit. Yang kedua, kolesterol
pleura berasal dari plasma, sehingga jika terjadi peningkatan permeabilitas kapiler
pleura pada pasien dengan tipe cairan eksudat, maka kolesterol plasma dapat
masuk dapat rongga pleura.8
Pada tahun 1995, Costa M dkk. melaporkan bahwa pemeriksaan gabungan
LDH dan kolesterol cairan pleura memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang sama
dengan hasil terbaik dari kriteria Light yakni 99% dan 98% (sedangkan dalam
penelitian ini didapati bahwa spesifisitas kriteria Light hanya 82% saja). Namun
dalam penelitian ini cut off LDH yang digunakan untuk eksudat adalah > 200 IU
atau 2/3 batas atas nilai normal LDH serum. Sementara Heffner dkk (1996)
melaporkan bahwa cut off LDH > 0,45 dari batas atas nilai LDH serum normal
lebih baik berdasarkan kurva receiver operating characteristic (ROC) daripada
cut off sebelumnya yakni LDH > 200 IU ataupun LDH > 2/3 (0,6) dari batas atas
nilai LDH serum normal. Dalam penelitiannya, Heffner juga melaporkan bahwa
dari antara parameter pemeriksaan yang tidak memerlukan pengambilan sampel
darah secara bersamaan, sensitivitas protein cairan pleura merupakan yang paling
baik (91,5%). Dalam laporan Costa M dkk, disebutkan pula bahwa spesifisitas
pemeriksaan kolesterol cairan pleura dalam membedakan transudat dan eksudat
adalah sebesar 100%.5,10
Dalam sebuah meta-analisis, Heffner dkk. (1997) mengidentifikasi bahwa
cairan pleura jenis eksudat setidaknya memenuhi 1 dari kriteria dibawah ini :
(i) Protein cairan pleura > 2,9 gm/dL
(iii) LDH cairan pleura > 2/3 batas atas kadar LDH serum 8
Penelitian oleh Hamal AB dkk. (2012) menemukan bahwa sensitivitas,
spesifisitas dan PPV pemeriksaan kolesterol cairan pleura lebih baik dalam
membedakan transudat dan eksudat dibandingkan dengan parameter Light yakni
berturut-turut 97,7%, 100% dan 100%. Dari penelitian ini didapati pula
pemeriksaan LDH pleura memiliki sensitivitas dan negative predictive value
(NPV) yang paling tinggi yakni berturut-turut 100% dan 100%. Namun sayang
spesifisitasnya hanya 57,8% dengan PPV 84,3%.8
Dari beberapa penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan akurasi
terbaik dalam membedakan cairan efusi pleura ternyata memberikan hasil yang
bervariasi dari satu penelitian terhadap yang lain, namun dapat dilihat bahwa dari
seluruh parameter yang ada, terdapat 3 parameter yang memiliki keunggulan
dalam hal pengambilan sampel dan nilai akurasi yakni : protein, laktat
dehidrogenase dan kolesterol. Ketiga parameter ini tidak memerlukan
pengambilan sampel darah secara bersamaan dengan pengambilan sampel cairan
efusi pleura sehingga lebih efisien. Selain itu, tingkat akurasinya dalam berbagai
penelitian juga lebih baik secara signifikan dibanding parameter yang
menggunakan rasio cairan pleura dan serum. Menggunakan parameter tunggal dan
kombinasi memiliki keuntungan dan kerugiannya masing-masing. Parameter
tunggal dapat meningkatkan sensitivitas sedangkan parameter kombinasi dapat
meningkatkan spesifisitas namun dapat mengurangi sensitivitasnya. Heffner dkk
(1996) dalam penelitiannya melaporkan bahwa tes berpasangan baik duplet
tunggal. Namun hingga saat ini belum ada penelitian yang mencoba membuat
parameter gabungan dalam bentuk dua dari tiga kombinasi hasil pemeriksaan.
Cara ini mungkin dapat minimalisasi kekurangan parameter tunggal dan
parameter kombinasi tanpa mengurangi keunggulan dari masing-masing
metode.5,8,9,10,11,12
Saat ini, parameter Light masih merupakan standar baku dalam praktek
klinis.13 Bahkan pemeriksaan kolesterol pleura belum lazim dimasukkan dalam
pemeriksaan / analisa rutin cairan pleura. Penelitian untuk menguji tingkat
sensitivitas dan spesifisitas ketiga parameter (protein, LDH dan kolesterol) cairan
pleura baik secara tunggal maupun kombinasi untuk membedakan antara
transudat dan eksudat belum banyak dilakukan. Di Indonesia sendiri penelitian
seperti ini belum pernah dilakukan.
1.2. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah keakuratan diagnostik dari beberapa parameter yakni
protein, LDH dan kolesterol cairan pleura baik dalam bentuk
parameter tunggal, kombinasi dua dan tiga parameter sekaligus serta
kombinasi dua dari tiga parameter untuk membedakan antara transudat
dan eksudat pada cairan efusi pleura?
2. Apakah keakuratan diagnostik kombinasi dua atau lebih dari tiga
dengan parameter tunggal ataupun kombinasi dua atau tiga parameter
sebagai parameter diagnostik untuk membedakan antara transudat dan
eksudat pada cairan efusi pleura?
1.3. Hipotesis
keakuratan diagnostik kombinasi dua atau lebih dari tiga parameter
(protein, LDH dan kolesterol) lebih baik dibandingkan dengan parameter tunggal
ataupun kombinasi dua atau tiga parameter sekaligus sebagai parameter
diagnostik untuk membedakan antara transudat dan eksudat pada cairan efusi
pleura
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan umum
Membedakan cairan efusi pleura transudat dan eksudat
1.4.2. Tujuan khusus
1. Memperoleh nilai protein, kolesterol dan LDH cairan pleura pada
pasien-pasien efusi pleura.
2. Mengevaluasi dan membandingkan keakuratan diagnostik dari
beberapa parameter yakni protein, LDH dan kolesterol cairan pleura
baik dalam bentuk parameter tunggal, kombinasi dua atau tiga
parameter sekaligus serta kombinasi dua atau lebih dari tiga parameter
pleura melalui sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value,
negative predictive value serta akurasi.
1.5. Manfaat Penelitian
Diharapkan dengan mengetahui keakuratan diagnostik kombinasi dua dari
tiga parameter (protein, LDH dan kolesterol) maka pemeriksaan ini mungkin
dapat dipakai sebagai parameter/metode diagnostik yang lebih akurat, lebih
mudah, lebih efisien dan lebih hemat biaya dalam membedakan transudat dan
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Efusi Pleura
Efusi pleura merupakan akumulasi cairan abnormal pada rongga pleura.7
Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan produksi cairan ataupun berkurangnya
absorbsi.14 Efusi pleura merupakan manifestasi penyakit pada pleura yang paling
sering dengan etiologi yang bermacam-macam mulai dari kardiopulmoner,
inflamasi, hingga keganasan yang harus segera dievaluasi dan diterapi.14
2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, 1,5 juta kasus efusi pleura terjadi tiap tahunnya.14
Sementara pada populasi umum secara internasional, diperkirakan tiap 1 juta
orang, 3000 orang terdiagnosa efusi pleura.1 Secara keseluruhan, insidensi efusi
pleura sama antara pria dan wanita. Namun terdapat perbedaan pada kasus-kasus
tertentu dimana penyakit dasarnya dipengaruhi oleh jenis kelamin. Misalnya,
hampir dua pertiga kasus efusi pleura maligna terjadi pada wanita. Dalam hal ini
efusi pleura maligna paling sering disebabkan oleh kanker payudara dan
keganasan ginekologi. Sama halnya dengan efusi pleura yang berhubungan
dengan sistemic lupus erytematosus, dimana hal ini lebih sering dijumpai pada
wanita. Di Amerika Serikat, efusi pleura yang berhubungan dengan mesotelioma
maligna lebih tinggi pada pria. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingginya
insidensinya lebih tinggi pada pria dimana alkoholisme merupakan etiologi
utamanya. Efusi rheumatoid juga ditemukan lebih banyak pada pria daripada
wanita. Efusi pleura kebanyakan terjadi pada usia dewasa. Namun demikian, efusi
pleura belakangan ini cenderung meningkat pada anak-anak dengan penyebab
tersering adalah pneumonia.14
2.3. Etiologi Dan Patofisiologi
Rongga pleura normal berisi cairan dalam jumlah yang relatif sedikit yakni
0,1 – 0,2 mL/kgbb pada tiap sisinya.7 Fungsinya adalah untuk memfasilitasi
pergerakan kembang kempis paru selama proses pernafasan.1 Cairan pleura
diproduksi dan dieliminasi dalam jumlah yang seimbang. Jumlah cairan pleura
yang diproduksi normalnya adalah 17 mL/hari dengan kapasitas absorbsi
maksimal drainase sistem limfatik sebesar 0,2-0,3 mL/kgbb/jam. Cairan ini
memiliki konsentrasi protein lebih rendah dibanding pembuluh limfe paru dan
perifer.1,7,15
Cairan dalam rongga pleura dipertahankan oleh keseimbangan tekanan
hidrostatik, tekanan onkotik pada pembuluh darah parietal dan viseral serta
kemampuan drainase limfatik (gambar 2.1). Efusi pleura terjadi sebagai akibat
Gambar 2.1. Skema yang memperlihatkan proses sirkulasi normal cairan pleura. Terlihat bahwa cairan pleura berasal dari pembuluh darah sistemik pada membran pleura parietal dan viseral (ditunjukkan pada panah yang terputus-putus). Pembuluh darah pleura parietal (mikrovaskular interkostal) merupakan terpenting pada sistem ini sebab pembuluh darah ini paling dekat dengan rongga pleura dan memiliki tekanan filtrasi yang lebih tinggi daripada mikrovaskuler bronkial pada pleura viseral. Cairan pleura awalnya akan absorbsi kembali oleh mikrovaskuler, sisanya akan dikeluarkan dari rongga pleura melalui saluran limfatik pada pleura parietal (panah utuh). Dikutip dari: Broaddus VC. 2009. Mechanisms of pleural liquid accumulation in disease. Uptodate.
Persamaan yang menunjukkan hubungan keseimbangan antara tekanan
hidrostatik dan onkotik adalah sebagai berikut : Q = k x [(Pmv – Ppmv) – s (nmv
– npmv)]. Pada persamaan ini, Q merupakan tekanan filtrasi, k merupakan
koefisien filtrasi, Pmv dan Ppmv merupakan tekanan hidrostatik pada ruang
mikrovaskular dan perimikrovaskular. s merupakan koefisien refleksi bagi total
protein mulai dari skor 0 (permeabel penuh) hingga 1 (tidak permeabel). nmv dan
npmv menyatakan tekanan osmotik protein cairan di mikrovaskular dan
perimikrovaskular. Pada keadaan normal, cairan yang difiltrasi jumlahnya sedikit
Adapun gambaran normal cairan pleura adalah sebagai berikut
• Jernih, karena merupakan hasil ultrafiltrasi plasma darah yang berasal
dari pleura parietalis
• pH 7,60-7,64
• Kandungan protein kurang dari 2% (1-2 g/dL)
• Kadungan sel darah putih < 1000 /m3
• Kadar glukosa serupa dengan plasma
• Kadar LDH (laktat dehidrogenase) < 50% dari plasma.14
Efusi pleura merupakan suatu indikator adanya suatu penyakit dasar baik
itu pulmoner maupun non pulmoner, akut maupun kronis. Penyebab efusi pleura
tersering adalah gagal jantung kongestif (penyebab dari sepertiga efusi pleura dan
merupakan penyebab efusi pleura tersering), pneumonia, keganasan serta emboli
paru.1,14,17 Berikut ini merupakan mekanisme-mekanisme terjadinya efusi pleura :
1. Adanya perubahan permeabilitas membran pleura (misalnya :
inflamasi, keganasan, emboli paru)
2. Berkurangnya tekanan onkotik intravaskular (misalnya :
hipoalbuminemia, sirosis)
3. Meningkatnya permeabilitas pembuluh darah atau kerusakan
pembuluh darah (misalnya : trauma, keganasan, inflamasi, infeksi,
infark pulmoner, hipersensitivitas obat, uremia, pankreatitis)
4. Meningkatnya tekanan hidrostatik pembuluh darah pada sirkulasi
sistemik dan atau sirkulasi sirkulasi paru (misalnya : gagal jantung
5. Berkurangnya tekanan pada rongga pleura sehingga menyebabkan
terhambatnya ekspansi paru (misalnya : atelektasis ekstensif,
mesotelioma)
6. Berkurangnya sebagaian kemampuan drainase limfatik atau bahkan
dapat terjadi blokade total, dalam hal ini termasuk pula obstruksi
ataupun ruptur duktus torasikus (misalnya : keganasan, trauma)
7. Meningkatnya cairan peritoneal, yang disertai oleh migrasi sepanjang
diafragma melalui jalur limfatik ataupun defek struktural. (misalnya :
sirosis, dialisa peritoneal)
8. Berpindahnya cairan dari edema paru melalui pleura viseral
9. Meningkatnya tekanan onkotik dalam cairan pleura secara persisten
dari efusi pleura yang telah ada sebelumnya sehingga menyebabkan
akumulasi cairan lebih banyak lagi.14
Sebagai akibat dari terbentuknya efusi adalah diafragma menjadi semakin
datar atau bahkan dapat mengalami inversi, disosiasi mekanis pleura viseral dan
parietal, serta defek ventilasi restriktif.14
Efusi pleura secara umum diklasifikasikan sebagai transudat dan eksudat,
bergantung dari mekanisme terbentuknya serta profil kimia cairan efusi tersebut.
Cairan transudat dihasilkan dari ketidakseimbangan antara tekanan hidrostatik
dan onkotik, sementara eksudat dihasilkan oleh proses inflamasi pleura ataupun
akibat berkurangnya kemampuan drainase limfatik. Pada kasus-kasus tertentu,
2.3.1. Transudat
Efusi pleura transudatif terjadi jika terdapat perubahan dalam tekanan
hidrostatik dan onkotik pada membran pleura, misalnya jumlah cairan yang
dihasilkan melebihi jumlah cairan yang dapat diabsorbsi. Pada keadaan ini,
endotel pembuluh darah paru dalam kondisi yang normal, dimana fungsi filtrasi
masih normal pula sehingga kandungan sel dan dan protein pada cairan efusi
transudat lebih rendah. Jika masalah utama yang menyebabkannya dapat diatasi
maka efusi pleura dapat sembuh tanpa adanya masalah yang lebih lanjut.17 Selain
itu, efusi pleura transudat juga dapat terjadi akibat migrasi cairan yang berasal dari
peritoneum, bisa pula iatrogenik sebagai komplikasi dari pemasangan kateter vena
sentra dan pipa nasogastrik.14 Penyebab-penyebab efusi pleura transudat relatif
lebih sedikit yakni :
• Gagal jantung kongestif
• Sirosis (hepatik hidrotoraks)
• Atelektasis – yang bisa disebabkan oleh keganasan atau emboli paru
• Hipoalbuminemia
• Sindroma nefrotik
• Dialisis peritoneal
• Miksedema
• Perikarditis konstriktif
• Urinotoraks – biasanya akibat obstuktif uropathy
• Kebocoran cairan serebrospinal ke rongga pleura
• Migrasi kateter vena sentral ke ekstravaskular
• Glisinotoraks – sebuah komplikasi yang jarang akibat irigasi kandung
kemih dengan larutan glisin 1,5% yang dilakukan setelah pembedahan
urologi.14
2.3.2. Eksudat
Efusi pleura eksudat dihasilkan oleh berbagai proses/kondisi inflamasi dan
biasanya diperlukan evaluasi dan penanganan yang lebih luas dari efusi transudat.
Cairan eksudat dapat terbentuk sebagai akibat dari proses inflamasi paru ataupun
pleura, gangguan drainase limfatik pada rongga pleura, pergerakan cairan eksudat
dari rongga peritoneal melalui diafragma, perubahan permeabilitas membran
pleura, serta peningkatan permeabilitas dinding kapiler atau kerusakan pembuluh
darah. Adapun penyebab-penyebab terbentuknya cairan eksudat antara lain :
• Parapneumonia
• Keganasan (paling sering, kanker paru atau kanker payudara, limfoma,
leukemia, sedangkan yang lebih jarang, kanker ovarium, kanker
lambung, sarkoma serta melanoma)
• Emboli paru
• Penyakit-penyakit jaringan ikat-pembuluh darah (artritis reumatoid,
sistemic lupus erythematosus)
• Tuberkulosis
• Pankreatitis
• Trauma
• Perforasi esofageal
• Pleuritis akibat radiasi
• Sarkoidosis
• Infeksi jamur
• Pseudokista pankreas
• Abses intraabdominal
• Paska pembedahan pintas jatung
• Penyakit perikardial
• Sindrom Meig (neoplasma jinak pelvis disertai asites dan efusi pleura)
• Sindrom hiperstimulasi ovarian
• Penyakit pleura yang diinduksi oleh obat
• Sindrom yellow nail (kuku kuning, limfedema, efusi pleura)
• Uremia
• Chylothorax (suatu kondisi akut dengan peningkatan kadar trigilerida
pada cairan pleura)
• Pseudochylotoraks (suatu kondisi kronis dengan peningkatan kadar
kolesterol cairan pleura)
• Fistulasi (ventrikulopleural, billiopleural, gastropleural).14
2.4. Prognosis
Prognosis efusi pleura bervariasi dan bergantung dari etiologi yang
mendasarinya, derajat keparahan saat pasien masuk, serta analisa biokimia cairan
rendah untuk terjadinya komplikasi. Pasien pneumonia yang disertai dengan efusi
memiliki prognosa yang lebih buruk ketimbang pasien dengan pneumonia saja.
Namun begitupun, jika efusi parapneumonia ditangani secara cepat dan tepat,
biasanya akan sembuh tanpa sekuele yang signifikan. Namun jika tidak ditangani
dengan tepat, dapat berlanjut menjadi empiema, fibrosis konstriktiva hingga
sepsis.14
Efusi pleura maligna merupakan pertanda prognosis yang sangat buruk,
dengan median harapan hidup 4 bulan dan rerata harapan hidup 1 tahun. Pada
pria hal ini paling sering disebabkan oleh keganasan paru, sedangkan pada wanita
lebih sering karena keganasan pada payudara. Median angka harapan hidup adalah
3-12 bulan bergantung dari jenis keganasannya. Efusi yang lebih respon terhadap
kemoterapi seperti limfoma dan kanker payudara memiliki harapan hidup yang
lebih baik dibandingkan kanker paru dan mesotelioma. Analisa sel dan analisa
biokimia cairan pleura juga dapat menentukan prognosa. Misalnya cairan pleura
dengan pH yang lebih rendah biasanya berkaitan dengan massa keadaan tumor
yang lebih berat dan prognosa yang lebih buruk.14
2.5. Gambaran Klinis
Efek yang ditimbulkan oleh akumulasi cairan di rongga pleura bergantung
pada jumlah dan penyebabnya. Efusi dalam jumlah yang kecil sering tidak
bergejala. Bahkan efusi dengan jumlah yang besar namun proses akumulasinya
berlangsung perlahan hanya menimbulkan sedikit atau bahkan tidak menimbulkan
gejala yang muncul berupa gejala pleuritis pada saat awal proses dan gejala dapat
menghilang jika telah terjadi akumulasi cairan. Gejala yang biasanya muncul pada
efusi pleura yang jumlahnya cukup besar yakni : nafas terasa pendek hingga sesak
nafas yang nyata dan progresif, kemudian dapat timbul nyeri khas pleuritik pada
area yang terlibat, khususnya jika penyebabnya adalah keganasan. Nyeri dada
meningkatkan kemungkinan suatu efusi eksudat misalnya infeksi, mesotelioma
atau infark pulmoner. Batuk kering berulang juga sering muncul, khususnya jika
cairan terakumulasi dalam jumlah yang banyak secara tiba-tiba. Batuk yang lebih
berat dan atau disertai sputum atau darah dapat merupakan tanda dari penyakit
dasarnya seperti pneumonia atau lesi endobronkial. Riwayat penyakit pasien juga
perlu ditanyakan misalnya apakah pada pasien terdapat hepatitis kronis, sirosis
hepatis, pankreatitis, riwayat pembedahan tulang belakang, riwayat keganasan,
dll. Riwayat pekerjaan seperti paparan yang lama terhadap asbestos dimana hal ini
dapat meningkatkan resiko mesotelioma. Selain itu perlu juga ditanyakan
obat-obat yang selama ini dikonsumsi pasien.14,18
Hasil pemeriksaan fisik juga tergantung dari luas dan lokasi dari efusi.
Temuan pemeriksaan fisik tidak didapati sebelum efusi mencapai volume 300
mL. Gangguan pergerakan toraks, fremitus melemah, suara beda pada perkusi
toraks, egofoni, serta suara nafas yang melemah hingga menghilang biasanya
dapat ditemukan. Friction rub pada pleura juga dapat ditemukan. Cairan efusi
yang masif (> 1000 mL) dapat mendorong mediastinum ke sisi kontralateral.
Efusi yang sedikit secara pemeriksaan fisik kadang sulit dibedakan dengan
dalam pemeriksaan fisik dapat membantu penilaian yang lebih baik sebab efusi
dapat bergerak berpindah tempat sesuai dengan posisi pasien. Pemeriksaan fisik
yang sesuai dengan penyakit dasar juga dapat ditemukan misalnya, edema perifer,
distensi vena leher, S3 gallop pada gagal jantung kongestif. Edema juga dapat
muncul pada sindroma nefrotik serta penyakit perikardial. Ascites mungkin
menandakan suatu penyakit hati, sedangkan jika ditemukan limfadenopati atau
massa yang dapat diraba mungkin merupakan suatu keganasan.14,18
2.6. Pemeriksaan Penunjang
2.6.1 Pemeriksaan pencitraan radiologis
Evaluasi efusi pleura dimulai dari pemeriksaan imejing untuk menilai
jumlah cairan, distribusi dan aksesibilitasnya serta kemungkinan adanya
abnormalitas intratorakal yang berkaitan dengan efusi pleura tersebut.7
Pemeriksaan foto toraks posteroanterior (PA) dan lateral sampai saat ini
masih merupakan yang paling diperlukan untuk mengetahui adanya efusi pleura
pada awal diagnosa. Pada posisi tegak, akan terlihat akumulasi cairan yang
menyebabkan hemitoraks tampak lebih tinggi, kubah diafragma tampak lebih ke
lateral, serta sudut kostofrenikus yang menjadi tumpul. Untuk foto toraks PA
setidaknya butuh 175-250 mL cairan yang terkumpul sebelumnya agar dapat
terlihat di foto toraks PA. Sementara foto toraks lateral dekubitus dapat
mendeteksi efusi pleura dalam jumlah yang lebih kecil yakni 5 mL. jika pada foto
lateral dekubitus ditemukan ketebalan efusi 1 cm maka jumlah cairan telah
torakosentesis. Namun pada efusi loculated temuan diatas mungkin tidak
dijumpai. Pada posisi supine, efusi pleura yang sedang hingga masif dapat
memperlihatkan suatu peningkatan densitas yang homogen yang menyebar pada
bagian bawah paru, selain itu dapat pula terlihat elevasi hemidiafragma, disposisi
kubah diafragma pada daerah lateral.7,14
Tomografi komputer (CT-scan) dengan kontras harus dilakukan pada efusi
pleura yang tidak terdiagnosa jika memang sebelumnya belum pernah
dilakukan.14
2.6.2. Pemeriksaan cairan pleura
Analisa cairan pleura merupakan suatu sarana yang sangat memudahkan
untuk mendiagnosa penyebab dari efusi tersebut. Prosedur torakosentesis
sederhana dapat dilakukan secara bedside sehingga memungkinkan cairan pleura
dapat segera diambil, dilihat secara makroskopik maupun mikroskopik, serta
dianalisa.15
Indikasi tindakan torasentesis diagnostik adalah pada kasus baru efusi
pleura atau jika etiologinya tidak jelas dimana cairan yang terkumpul telah cukup
banyak untuk diaspirasi yakni dengan ketebalan 10 mm pada pemeriksaan
ultrasonografi toraks atau foto lateral dekubitus (gambar 2.2). Observasi saja
diindikasikan jika efusi yang terjadi diyakini akibat dari gagal jantung kongestif,
pleurisi viral, atau akibat pembedahan torak dan abdomen sebelumnya. Namun,
jika pada keadaan ini jika dijumpai adanya hal-hal berikut yakni (1) pasien
terjadi unilateral atau bilateral namun dengan ukuran yang jelas berbeda, (3) tidak
ditemukan kardiomegali, (4) efusi tidak respon dengan terapi gagal jantung.14,19
Langkah diagnostik pertama dalam analisa cairan pleura adalah
membedakan antara transudat dan eksudat. Hal ini diperlukan untuk
menyederhanakan kemungkinan-kemungkinan etiologi sebelum akhirnya dicapai
kesimpulan etiologi yang benar. Selain itu, langkah ini juga dapat menentukan
apakah perlu untuk melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap efusi pleura untuk
memastikan diagnosa.14,21
Ada beberapa paramater yang saat ini dapat dipakai untuk membedakan
antara transudat dan eksudat, namun dari keseluruhan parameter tersebut tidak ada
yang memiliki akurasi 100%. Pada awalnya, kadar total protein dalam cairan
pleura dipakai untuk membedakan jenis cairan pleura dimana jika kadar protein
cairan pleura > 3 g/dL maka cairan tersebut merupakan eksudat sedangkan < 3
g/dL merupakan transudat. Namun menurut Meslom (1979), metode ini salah
mengklasifikasikan baik transudat maupun eksudat sebesar 30%. Sementara itu,
Light dkk. (1972) menyatakan bahwa cairan eksudat harus memenuhi 1 atau lebih
kriteria berikut ini : (1) rasio protein cairan pleura dan serum > 0,5 ; (2) Rasio
LDH cairan pleura dan serum > 0,6 ; (3) LDH cairan pleura lebih besar dari dua
pertiga batas atas nilai normal LDH serum. Sensitivitas dan spesifisitas dari
paramater ini pada awalnya dilaporkan cukup tinggi yakni 99% dan 98%. Namun
belakangan angka ini ternyata berubah khususnya pada spesifisitasnya yakni
hanya berkisar 70-86% saja. Hal ini juga sejalan dengan beberapa penelitian yang
terkait (Peterman, 1984 ; Burges,, 1995 ; Assi, 1998 ; Gasquez, 1998). Pada tahun
1995, Costa M dkk. melaporkan bahwa pemeriksaan gabungan LDH dan
hasil terbaik dari kriteria Light yakni 99% dan 98% (sedangkan dalam penelitian
ini didapati bahwa spesifisitas kriteria Light hanya 82% saja). Namun dalam
penelitian ini cut off LDH yang digunakan untuk eksudat adalah > 200 IU.
Sementara Heffner dkk (1996) melaporkan bahwa cut off LDH > 0,45 dari batas
atas nilai LDH serum normal lebih baik berdasarkan kurva ROC daripada cut off
sebelumnya yakni LDH > 200 IU ataupun LDH > 2/3 (0,6) dari batas atas nilai
LDH serum normal. Dalam laporan Costa M dkk, disebutkan pula bahwa
spesifisitas pemeriksaan kolesterol cairan pleura dalam membedakan transudat
dan eksudat adalah sebesar 100%. Penelitian oleh Hamal dkk. (2012) melaporkan
pemeriksaan kolesterol cairan pleura memiliki sensitivitas, spesifisitas, nilai
prediksi positif (PPV) dan nilai prediksi negatif (NPV) berturut-turut 97,7% ;
100% ; 100% dan 95% dalam membedakan eksudat dan transudat. Sementara itu,
pemeriksaan LDH cairan pleura (LDH-P) memiliki nilai berdasarkan urutan
sebelumnya yakni sebesar 100% ; 57,8% ; 84,3% ; serta 100%. Kedua
pemeriksaan ini (LDH-P dan K-P) memiliki kelebihan yakni tidak perlu
pengambilan darah dan cairan pleura secara simultan. Terdapat pula
parameter-parameter lain yang dapat digunakan dalam penilaian efusi pleura seperti rasio
albumin pleura/serum, rasio kolesterol pleura/serum serta rasio bilirubin
pleura/serum, namun parameter-parameter yang disebutkan terakhir tidak
memberi hasil yang lebih memuaskan.5,8,10,21
2.6.3. Evaluasi terhadap efusi eksudatif
Penjajakan lebih lanjut diperlukan pada efusi pleura eksudatif bergantung
hitung jumlah dan jenis sel, pengecatan dan pembiakan kuman, pemeriksaan
kadar gula dan kadar LDH, analisa sitologi, serta uji diagnostik tuberkulosis pada
cairan pleura.20
Jika pada pemeriksaan hitung jumlah dan jenis sel pada cairan pleura
ditemukan predominasi sel netrofil ( > 50% dari seluruh sel) maka kemungkinan
sedang terjadi proses akut pada pleura. Hal ini dapat terjadi pada keadaan : efusi
parapneumonia, emboli paru serta pankreatitis. Namun hal yang sama tidak
ditemukan pada efusi maligna dan efusi akibat tuberkulosis. Sementara jika sel
didominasi oleh jenis mononuklear, maka hal tersebut menandakan adanya proses
kronis. Jika dijumpai sel limfosit ( > 85%) dalam jumlah yang besar maka
keganasan atau tuberkulosis mungkin saja menjadi penyebab. Namun hal ini dapat
terjadi juga pada efusi pleura paska pembedahan pintas jantung. Jika dominasinya
selnya adalah eosinofil (pleural fluid eosinophilia/PFE) ( > 10%) maka
kemungkinannya terdapat darah atau udara dalam rongga pleura. Namun dapat
pula berkaitan dengan reaksi terhadap obat, infeksi parasit, jamur, kriptokokus
atau efusi akibat keganasan dan tuberkulosis yang mengalami torasentesis
berulang. Jika ditemukan mesotelioma > 5% dari seluruh sel berinti, maka
kemungkinan tuberkulosis menjadi semakin kecil. Dan Jika jumlah sel mesotelial
sangat banyak dijumpai maka kemungkinannya adalah emboli paru.14,20
Pengecatan Gram dan kultur cairan pleura terhadap bakteri aerob dan
anaerob akan memberikan hasil identifikasi kuman terhadap efusi pleura akibat
infeksi. Secara umum tingkat keberhasilan kultur kuman dari cairan pleura adalah
anaerob. Untuk meningkatkan keberhasilan kultur, khususnya patogen anaerob,
maka inokulasi dilakukan sesegera mungkin (sesaat setelah sampel diambil) pada
media agar darah. Pemeriksaan lain yang spesifik untuk evaluasi terhadap efusi
Gambar 2.3. Berbagai uji diagnostik cairan pleura. Dikutip dari: Porcel JM, Light RW. 2006. Diagnostic approach to pleural effusion in adults. American family physician, vol 73, no 7.
2.7. Penatalaksanaan
Efusi transudatif biasanya ditangani dengan mengobati penyakit dasarnya.
Namun demikian, efusi pleura yang masif, baik transudat maupun eksudat dapat
menyebabkan gejala respiratori berat. Dalam keadaan ini, meskipun etiologi dan
penanganan penyakit dasarnya telah dipastikan, drainase efusi perlu dilakukan
untuk memperbaiki keadaan umum pasien. Penanganan efusi eksudatif
bergantung pada etiologi yang mendasarinya. tiga etiologi utama yang paling
sering dijumpai pada efusi eksudatif adalah pneumonia, keganasan dan
tuberkulosis. Parapneumonia yang mengalami komplikasi dan empiema harus
rekurensi. Beberapa obat-obatan diketahui dapat menyebabkan efusi pleura yang
bersifat transudatif. Hal ini perlu diketahui secara dini untuk menghindari
prosedur diagnostik lain yang tidak perlu.14
2.7.1. Efusi parapneumonik
Dari seluruh efusi pleura eksudatif, efusi pleura parapneumonik secara
khusus mendapat prioritas utama untuk sesegera mungkin didiagnosa dan
penanganan berupa drainase meskipun antibiotik empiris telah diberikan. Hal ini
disebabkan karena efusi pleura yang terinfeksi dapat mengalami koagulasi secara
cepat dan membentuk lapisan fibrous sehingga nantinya memerlukan tindakan
bedah untuk dekortikasi. Adapun indikasi torakosentesis urgensi pada efusi
parapneumonia antara lain : (1) cairan purulen ; (2) pH cairan pleura < 7,2 ; (3)
efusi terlokulasi ; (4) dijumpai bakteri pada pewarnaan Gram atau pada biakan.
Pasien yang tidak memenuhi kriteria diatas harus menunjukkan perbaikan dengan
terapi antibiotik yang sesuai dan diberikan selama 1 minggu.14
2.7.2. Efusi pleura maligna
Efusi pleura merupakan suatu pertanda kondisi yang berat dengan harapan
hidup kurang dari 1 tahun. Pada beberapa pasien, drainase cairan efusi pleura
dalam jumlah yang banyak dapat mengurangi gejala yang disebabkan oleh distorsi
diafragma dan dinding toraks oleh cairan efusi. Jenis efusi ini biasanya sering
berulang sehingga perlu dilakukan torakosentesis berulang, pleurodesis atau
pemasangan kateter yang menetap sehingga pasien dapat mengeluarkan cairan
masif sehingga jaringan paru mengalami pendesakan, maka pemasangan kateter
yang menetap merupakan pilihan utama. Namun jika tidak ada pendesakan
terhadap paru, maka pilihan lain yang dapat digunakan adalah pleurodesis (pleural
sklerosis). Dari sebuah penelitian non-randomized oleh Fysh ET dkk (2012)
didapati bahwa 34 pasien yang memilih menggunakan kateter menetap secara
signifikan lebih cepat pulang dari rumah sakit, lebih jarang mengalami rekurensi
efusi, dan lebih cepat memperoleh perbaikan kualitas hidup dibanding 31 pasien
lainnya yang memilih tindakan pleurodesis.14
2.7.3. Pleuritis tuberkulosa
Hal yang khas dari efusi yang disebabkan oleh tuberkulosa adalah sifatnya
yang dapat sembuh sendiri. Namun demikian, 65% pasien dengan pleuritis
tuberkulosa primer mengalami reaktivasi dalam 5 tahun. Oleh karena itu
pemberian obat antituberkulosis biasanya akan dimulai sebelum hasil kultur
diperoleh jika keadaan klinis mendukung, dan hasil analisa cairan pleura
menunjukkan suatu eksudat yang tidak dapat dijelaskan atau dengan cairan efusi
limfositik serta tes tuberkulin positif.14
2.7.4. Intervensi bedah
Intervensi bedah paling sering diperlukan dalam penanganan efusi
parapneumonia yang tidak dapat didrainase secara adekuat dengan jarum biasa
ataupun dengan kateter ukuran kecil. Torakoskopi dengan tuntunan video
bermanfaat untuk dapat memvisualisasi dan biopsi pleura secara langsung untuk
mendiagnosa efusi eksudatif secara lebih baik. Tindakan dekortikasi bermanfaat
mengalami penebalan. Pemasangan pintasan pleuroperitoneal merupakan salah
satu pilihan dalam penanganan efusi pleura yang mengalami rekurensi,
simtomatik, dan kebanyakan hal ini dijumpai pada efusi pleura maligna, namun
digunakan pula pada efusi chylous. Namun sayangnya jalur pintasan sering
mengalami disfungsi sehingga sering diperlukan pembedahan untuk perbaikan.
Tindakan bedah juga diperlukan untuk kasus-kasus jarang seperti defek diafragma
pada pasien dengan ascites, serta untuk mengikat duktus torasikus untuk
mencegah reakumulasi efusi chylous. Disiplin ilmu lain yang mungkin terlibat
dalam penanganan efusi pleura antara lain : pulmonologis, radiologi intervensi,
serta bedah toraks bergantung pada lokasi efusi dan kondisi klinis. 14
2.7.5. Torasentesis terapeutik
Torasentesis teraputik betujuan untuk mengeluarkan cairan dalam jumlah
yang banyak pada efusi pleura untuk mengurangi sesak dan menghambat proses
inflamasi yang sedang berlangsung dan juga fibrosis pada efusi parapneumonia.
Tiga hal berikut penting untuk diperhatikan dalam prosedur torasentesis yakni, (1)
gunakan kateter berukuran kecil atau kateter yang didesain khusus untuk drainase
cairan dan upayakan jangan menggunakan jarum untuk menghindari
pneumotoraks. (2) monitoring oksigenasi ketat selama dan setelah tindakan perlu
dilakukan untuk memantau oksigenasi arterial yang dapat saja memburuk akibat
perubahan perfusi dan ventilasi selama proses re-ekspansi paru. (3) Usahakan
cairan yang diambil tidak terlalu banyak aqgar tidak terjadi edema paru dan
pneumotoraks. Biasanya 400-500 cc cairan yang dikeluarkan telah memberikan
direkomendasikan dalam sekali prosedur torakosentesis adalah 1-1,5 L. Batuk
sering terjadi pada proses torasentesis. Hal ini sering terjadi dan tidak merupakan
indikasi untuk menghentikan prosedur kecuali pasien merasa sangat tidak
nyaman. 14
2.7.6. Pipa Torakostomi
Pipa torakostomi diindikasikan pada efusi yang lebih masif dan efusi
parapneumonia yang terkomplikasi ataupun empiema.14
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi observasional dengan metode pengumpulan
data secara potong lintang.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan mulai bulan Januari
sampai dengan Mei 2014
3.3. Populasi Penelitian
Populasi terjangkau penelitian ini adalah pasien-pasien yang didiagnosa
efusi pleura yang dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan mulai bulan Januari
sampai dengan Mei 2014. Penelitian dihentikan bila jumlah sampel minimal
tercapai.
3.4. Sampel Penelitian
3.4.1. Cara pengambilan sampel penelitian
Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif terhadap semua populasi
3.4.2. Besar sampel
Digunakan rumus besar sampel untuk uji diagnostik dengan menggunakan
rumus uji hipotesis proporsi tunggal. Besar sampel ditentukan dengan rumus:22
� ≥ ��(1−�2)��0
�� : perkiraan proporsi efusi pleura pada populasi umum
yang diteliti
Menurut rumus diatas maka diperlukan sampel minimal sebanyak : 63 sampel.
3.5. Kriteria Penelitian 3.5.1. Kriteria Inklusi
1. Usia > 16 tahun
2. Pasien bersedia mengikuti penelitian dan dibuktikan dengan
3. Pasien dengan diagnosa klinis yang definitif dimana efusi pleura
dikonfirmasi dengan foto rontgen toraks.
3.5.2. Kriteria Eksklusi
1. Pasien yang tidak bersedia ikut berpartisipasi dalam penelitian
2. Usia < 16 tahun
3. Diagnosa penyebab efusi pleura pada pasien tidak jelas
3.6. Identifikasi Variabel 3.6.1. Variabel Bebas
1. Protein pleura (P-P)
2. Laktat dehidrogenase pleura (LDH-P)
3. Kolesterol Pleura (K-P)
4. Protein + Laktat dehidrogenase pleura (P-P + LDH-P)
5. Protein + Kolesterol pleura (P-P + K-P)
6. Laktat dehidrogenase + Kolesterol pleura (LDH-P + K-P)
7. Protein + Laktat dehidrogenase + Kolesterol pleura ( P-P + LDH-P +
K-P)
8. Protein + Laktat dehidrogenase pleura (P-P + LDH-P) atau Protein +
Kolesterol pleura (P-P + K-P) atau Laktat dehidrogenase + Kolesterol
pleura (LDH-P + K-P) atau Protein + Laktat dehidrogenase +
3.6.2. Variabel Terikat
Cairan pleura eksudat
3.7. Definisi Operasional
Tabel 3.1. Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional
1 Efusi Pleura akumulasi cairan abnormal pada rongga pleura
2 Efusi pleura
transudat
Efusi pleura yang dihasilkan dari
ketidakseimbangan antara tekanan hidrostatik
dan onkotik
3 Efusi pleura
eksudat
Efusi pleura yang dihasilkan oleh proses
inflamasi pleura ataupun akibat berkurangnya
kemampuan drainase limfatik
4 Protein Sebuah kelompok molekul organik yang
terdiri dari nitrogen, karbon, hidrogen,
oksigen, dan sulfur.4
5 Laktat
dehidrogenase
Merupakan sebuah enzim dari kelas
oksireduktase yang mengkatalisasi reduksi
piruvat menjadi (S)-laktat dengan
menggunakan NADH (nicotinamide adenine
dinucleotide hydrogen) sebagai donor
6 Kolesterol Merupakan sterol pada eukariotik yang
berperan sebagai prekursor asam empedu dan
hormon steroid serta merupakan bagian pokok
dari membran sel yang memungkinkan adanya
kemampuan sel yang dapat berubah-ubah
bentuk serta sifat permeabilitasnya.23
3.8. Cara Kerja
Seluruh subjek penelitian dimintai persetujuan secara tertulis tentang
kesedian mengikuti penelitian (informed consent). Setelah dilakukan pemeriksaan
klinis lengkap (anamnesis dan pemeriksaan fisik), dilakukan pemeriksaan foto
toraks untuk melokalisasi efusi pleura. Tapping untuk diagnostik dilakukan pada
semua kasus, hal ini dilakukan dilakukan dengan mengambil cairan pleura
sebanyak 20 mL dengan menggunakan jarum suntik pada daerah dada bagian
belakang bergantung dari lokasi cairan efusi setelah sebelumnya terlebih dahulu
dilakukan tindakan pembersihan kuman dan pembiusan lokal. Luka bekas
penusukan akan ditutup dengan kasa steril. Selanjutnya cairan tersebut akan
diperiksa di laboratorium patologi klinik RS. H. Adam Malik. Kadang-kadang
diperlukan juga bantuan pemeriksaan ultrasonografi toraks untuk membantu
memastikan lokasi cairan. Pada seluruh sampel cairan pleura dilakukan
pemeriksaan hitung jenis sel, protein, glukosa, LDH, kolesterol, pembiakan
kuman, pengecatan kuman tahan asam, serta pemeriksaan sitologi. Pemeriksaan
bronkoskopi, serta sitologi aspirasi jarum halus juga dilakukan untuk menentukan
etiologi efusi pleura jika diperlukan sesuai indikasi.
Jika diagnosa klinis telah didapat, maka parameter cairan pleura dianalisa
terhadap diagnosis tersebut. Hal-hal dibawah ini digunakan sebagai bukti terhadap
suatu diagnosis etiologi :
1. Gagal jantung kongestif : jika ditemukan gambaran klinis yang sesuai
(meningkatnya tekanan vena jugularis, takikardia serta gallop
ventrikular) dengan kardiomegali atau adanya disfungsi kardiak pada
pemeriksaan ekokardiografi
2. Penyakit ginjal : peningkatan kadar urea (>20 mmol/L) atau kreatinin
>167 mikromol/L dengan gejala dan tanda-tanda overload cairan
3. Keganasan : disertai dengan bukti pemeriksaan sitologi atau histologi
adanya tumor maligna dan tidak ada kondisi lain yang berhubungan
dengan efusi pleura
4. Sirosis hati : dijumpai hasil yang sesuai pada pemeriksaan
ultrasonografi atau tomografi komputer disamping juga klinis dan
bukti laboratorium yang memperlihatkan adanya kerusakan hati dan
hipertensi portal
5. Efusi infektif : adanya bukti infeksi yang jelas (biakan kuman positif),
meningkatnya CRP (C-reactive protein) atau leukositosis, atau hasil
positif pada pemeriksaan pengecatan sputum
Efusi yang berkatian dengan gagal jantung kongestif, hipoalbuminemia,
diklasifikasikan sebagai eksudat. Maka, dalam penelitian ini efusi pleura
diklasifikasikan menjadi transudat dan eksudat berdasarkan diagnosis etiologi,
nilai protein cairan pleura (cut off yang untuk eksudat adalah >2,9 g/dL), nilai
kolesterol cairan pleura (cut off yang digunakan untuk eksudat adalah >1,16
mmol/L atau >45 mg/dL, sebagaimana yang dilaporkan oleh Heffner dkk. 2002)
serta nilai LDH cairan pleura (cut off yang digunakan untuk eksudat >0,45 batas
atas kadar LDH normal serum).14
3.9 Masalah Etika (Ethical Clearance) dan Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)
Penelitian dilakukan setelah mendapat persetujuan (ethical clearance)
dari komite Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara Medan. Seluruh pasien yang bersedia ikut dalam penelitian ini
memberikan informed consent secara tertulis. Dalam memberikan persetujuan
tersebut pasien sebelumnya telah diberitahu akan makna, manfaat dan
kemungkinan efek samping yang tidak menyenangkan yang mungkin bisa
terjadi.
3.10 Rencana Pengolahan dan Analisis Data
Analisa data dilakukan menggunakan software SPSS (Statistical Package
for Social Sciences, Chicago, IL, USA) Versi 17.0 untuk Windows. Analisa data
untuk menentukan Sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value, negative
Eksudat
(+) (-)
P-P (+) a b
(-) c d
Eksudat
(+) (-)
LDH-P (+) a b
(-) c d
Eksudat
(+) (-)
K-P (+) a b
(-) c d
Eksudat
(+) (-)
P-P + LDH-P (+) a b