• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemeriksaan Protein, Kolesterol dan Laktat Dehidrogenase Cairan Pleura sebagai Parameter dalam Membedakan Efusi Pleura Transudat dan Eksudat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemeriksaan Protein, Kolesterol dan Laktat Dehidrogenase Cairan Pleura sebagai Parameter dalam Membedakan Efusi Pleura Transudat dan Eksudat"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

PEMERIKSAAN PROTEIN, KOLESTEROL DAN LAKTAT DEHIDROGENASE CAIRAN PLEURA SEBAGAI PARAMETER

DALAM MEMBEDAKAN

EFUSI PLEURA TRANSUDAT DAN EKSUDAT

TESIS

GUNTUR MULIA JENDRY GINTING NIM: 117041084

PROGRAM MAGISTER KLINIK SPESIALIS ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PEMERIKSAAN PROTEIN, KOLESTEROL DAN LAKTAT

DEHIDROGENASE CAIRAN PLEURA SEBAGAI PARAMETER DALAM MEMBEDAKAN

EFUSI PLEURA TRANSUDAT DAN EKSUDAT

TESIS

Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang

Ilmu Penyakit Dalam / M.Ked (PD) pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

GUNTUR MULIA JENDRY GINTING 117041084

PROGRAM MAGISTER KLINIK SPESIALIS ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Telah diuji pada Tanggal: 9 Juli 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Gontar Alamsyah Siregar SpPD-KGEH

Anggota : Prof. Dr. Haris Hasan SpPD, SpJP (K)

Dr. Leonardo B. Dairi SpPD-KGEH

Dr. Armon Rahimi SpPD-KPTI

(4)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah penulis nyatakan dengan benar

Nama : Guntur Mulia Jendry Ginting

NIM : 117041084

(5)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda

tangan di bawah ini:

Nama : Guntur Mulia Jendry Ginting

NIM : 117041084

Program Studi : Magister Kedokteran Klinik

Konsentrasi : Ilmu Penyakit Dalam

Jenis Karya : Tesis

Demi pengembanga ilmu pengetahuan, mennyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas tesis yang saya berjudul:

PEMERIKSAAN PROTEIN, KOLESTEROL DAN LAKTAT

DEHIDROGENASE CAIRAN PLEURA SEBAGAI PARAMETER DALAM MEMBEDAKAN EFUSI PLEURA TRANSUDAT DAN EKSUDAT

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

Non-eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih

media/formatkan, mengelola dalam bentuk database merawat dan

mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap

mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di : Medan

Pada Tanggal :

(6)
(7)

Judul Tesis : Pemeriksaan Protein, Kolesterol dan Laktat

Dehidrogenase Cairan Pleura sebagai Parameter dalam Membedakan Efusi Pleura Transudat dan Eksudat

Nama Mahasiswa : Guntur Mulia Jendry Ginting Nomor Induk Mahasiswa : 117041084

Program Magister : Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi : Penyakit Dalam

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Alwinsyah Abidin SpPD-KP Dr. E. N Keliat SpPD-KP

Ketua Program Studi Ketua TKP-PPDS

Dr. Zainal Safri SpPD, SpJP

Tanggal Lulus :

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tak terhingga senantiasa penulis panjatkan kehadirat

Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta

telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan

penulisan tesis ini.

Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan tugas akhir pendidikan

Magister Kedokteran Klinik Ilmu Penyakit Dalam di FK-USU / RSUP H. Adam

Malik Medan.

Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari

kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala

kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak

di masa yang akan datang.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan rasa hormat,

penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dekan Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A. Siregar SpPD-KGEH yang telah memberikan izin dan menerima penulis untuk mengikuti Program Magister Ilmu Penyakit Dalam di FK USU.

2. Dr. Salli Roseffi Nasution SpPD-KGH dan dr. Refli Hasan SpPD, Sp.JP(K) selaku Kepala dan Sekretaris Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah

memberikan bantuan dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini.

3. Dr. Zainal Safri SpPD, SpJP selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam FK-USU yang telah banyak membantu

dalam menyelesaikan tesis ini.

4. Pembimbing Dr. Alwinsyah Abidin SpPD-KP dan Dr. Ermanta Ngirim Keliat SpPD-KP yang telah memberikan bimbingan, bantuan serta saran-saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan

penyelesaian tesis ini.

(9)

SpPD-KR, Prof. Dr. Bachtiar Fanani Lubis SpPD-KHOM, Prof. Dr. Habibah Hanum SpPD-KPsi, Prof. Dr. Azhar Tanjung SpPD-KP-KAI-SpMK, Prof. Dr. Sutomo Kasiman SpPD-KKV, Prof. Dr. Azmi S. Kar SpPD-KHOM, Prof. Dr. Lukman Hakim Zain SpPD-KGEH, Prof. Dr. M Yusuf Nasution SpPD-KGH, Prof. Dr. Abdul Majid SpPD-KKV, Prof. Dr. Gontar Alamsyah SpPD-KGEH, Prof. Dr. Haris Hasan SpPD, Sp.JP (K), Prof. DR. Dr. Harun Al Rasyid SpPD-KGK

(10)

SpPD, Dr. Radar Radius Tarigan SpPD, Dr Wika Lubis SpPD, dan

Dr. Riri Andri Muzasti Sp.PD.

7. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan dan RSU dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan fasilitas dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada penulis dalam menjalani pendidikan

8. Rektor Universitas Sumatera Utara serta Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis

Ilmu Penyakit Ddalam di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

9. Drs. Abdul Jalil Amri Arma M.Kes yang sudah membantu penulis dalam membuat analisa statistik dalam penelitian ini.

10.Prof. Dr. Habibah Hanum, Kpsi, Dr. Josia Ginting SpPD-KPTI, dan Dr. Radar Radius Tarigan SpPD yang telah memberikan rekomendasi kepada penulis untuk mengikuti ujian masuk PPDS Ilmu

Penyakit Dalam

11.Bupati Kabupaten Labuhan Batu Dr. Tigor Panusunan Siregar SpPD, Kepala Dinas Kesehatan Labuhan Batu, Direktur RSU Rantau Prapat, serta Kepala Puskesmas Kec. Negeri Lama yang telah mendukung saya dalam mengikuti pendidikan spesialis Penyakit Dalam

ini.

12.Seluruh rekan-rekan anggota dan pengurus Ikatan Keluarga Asisten Ahli

Penyakit Dalam (IKAAPDA) di USU, dan teman-teman seangkatan

penulis: dr. Hardi E. Sibagariang, dr. Ade Andriany, dr. Ayu Nurul Zakiah, dr. Ari Sudibrata, dr. Memorison Tarigan, dr. Fiblia, dr. Ahsan Tanio Daulay, dr. Dwi Bayu Wikarta serta dr. Jarmila Elmaco

atas dukungannya dengan persahabatan, kerja sama serta berbagi dalam

suka dan duka dalam menjalani kehidupan sebagai residen.

(11)

Efzah, yang telah membantu peneliti dalam pengumpulan sampel penelitian.

14.Kepada Syarifuddin Abdullah, Leli H. Nasution, Erjan Ginting, Tika, Fitri, Deni, Wanti, serta semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam terlaksananya penelitian serta penulisan tesis ini.

15.Seluruh perawat/paramedik di berbagai tempat di mana penulis pernah bertugas selama pendidika, terima kasih atas bantuan dan kerjasama yang

baik selama ini

16.Para Pasien yang telah bersedia ikut dalam penelitian ini sehingga penulisan tesis ini dapat terwujud.

Sembah sujud dan terima kasih tak terhingga penulis haturkan kepada

kedua orang tua penulis, Ayahanda Jaya Lintar Ginting dan Ibunda Melinda br. Situmorang atas segala jerih payah, pengorbanan, dan kasih sayang tulus telah melahirkan, membesarkan, mendidik, mendoakan tanpa henti, memberikan

dukungan moril dan materiil, serta mendorong penulis dalam berjuang. Semoga

Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan kesehatan, rahmat, dan

karunia-Nya. Terima kasih pula kepada Ayah Mertua penulis Drs. Waldiger Pakpahan MM dan Ibu Mertua Hertha br Nainggolan atas segala dukungan moril dan meteriil serta dorongan semangat yang telah diberikan kepada penulis. Terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada Istri tercinta, dr. Selastri Agnes Pakpahan

serta kedua anak-anak penulis Jesslyn Elnina Syalomita br Ginting dan Glenn Elnino Ginting yang dengan setia telah mendampingi penulis selama masa pendidikan, memberikan keindahan dalam hari-hari penulis khususnya selama

dalam pendidikan serta motivasi besar untuk menyelesaikan tulisan ini. Terima

kasih pula untuk Saudara/i penulis Topan Obaja Putra Ginting S.STP, M.SP, Guruh N.M. Ginting A.Md, Monalisa Rebina br Ginting serta segenap keluarga besar penulis yang telah memberikan bantuan moril, semangat dan doa

tanpa pamrih selama pendidikan.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis sampaikan pula terima

(12)

telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung selama pendidikan

maupun dalam penyelesaian tesis ini.

Semoga Tuhan Yang maha Esa senantiasa memberikan limpahan rahmat

dan karunia-Nya kepada kita semua dan semoga penelitian ini dapat bermanfaat

bagi kita dan masyarakat.

Medan, Juli 2014

(13)

DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan Pembimbing i

Kata Pengantar ii

Daftar isi vii

Daftar Tabel xi

Daftar Gambar xii

Daftar Sigkatan dan Tanda xiii

Abstrak xiv

Bab 1. Pendahuluan 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 6

1.3. Hipotesis Penelitian 7

1.4. Tujuan Penelitian 7

1.4.1. Tujuan Umum 7

1.4.2. Tujuan Khusus 7

1.5. Manfaat Penelitian 8

Bab 2.Tinjauan Pustaka 9

2.1. Efusi Pleura 9

2.2. Epidemiologi 9

2.3. Etiologi dan Patofisiologi 10

2.3.1. Transudat 14

(14)

2.4. Prognosis 16

2.5. Gambaran Klinis 17

2.6. Pemeriksaan Penunjang 19

2.6.1. Pemeriksaan Pencitraan Radiologis 19

2.6.2. Pemeriksaan Cairan Pleura 20

2.6.3. Evaluasi terhadap Efusi Eksudatif 23

2.7. Penatalaksanaan 26

2.7.1. Efusi Parapneumonik 27

2.7.2. Efusi Pleura Maligna 27

2.7.3. Pleuritis Tuberkulosa 28

2.7.4. Intervensi Bedah 28

2.7.5. Torasentesis Terapeutik 29

2.7.6. Pipa Torakostomi 30

2.8. Kerangka Konseptual 30

Bab 3. Metodologi Penelitian 31

3.1. Desain Penelitian 31

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 31

3.3. Populasi Penelitian 31

3.4. Sampel Penelitian 31

3.4.1. Cara Pengambilan Sampel Penelitian 31

3.4.2. Besar Sampel 32

3.5. Kriteria Penelitian 32

(15)

3.5.2. Kriteria Ekslusi 33

3.6. Identifikasi Variabel 33

3.6.1. Variabel Bebas 33

3.6.2. Variabel Terikat 34

3.7. Definisi Operasional 34

3.8. Cara Kerja 35

3.9 Masalah Etika (Ethical Clearance) dan Persetujuan Setelah

Penjelasan (Informed Consent) 37

3.10. Rencana Pengolahan dan Analisis Data 37

3.11. Kerangka Kerja 40

Bab 4. Hasil Penelitian 41

4.1. Karakteristik Subyek Penelitian 41

4.2. Perbandingan Berbagai Kriteria Kombinasi Parameter 44

Bab 5. Pembahasan 46

Bab 6. Kesimpulan dan Saran 48

6.1. Kesimpulan 48

6.2. Saran 48

Daftar Pustaka 50

Lampiran:

1. Master Tabel

2. Hasil Statistik

3. Lembaran Penjelasan Kepada Subyek Penelitian

(16)

5. Data Peserta Penelitian

6. Persetujuan Komite Etik

(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Definisi operasional 34

Tabel 4.1. Karakteristik subyek penelitian 41

Tabel 4.2. Etiologi eksudat dan transudat 43

Tabel 4.3. Pengukuran parameter LDH-P, P-P, dan K-P 45

Tabel 4.4 Perbandingan nilai diagnostik berbagai kriteria

(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Skema yang memperlihatkan proses sirkulasi normal

cairan pleura 9

Gambar 2.2. Algoritma evaluasi pasien dengan efusi pleura 21

Gambar 2.3 Berbagai uji diagnostik cairan pleura 25

Gambar 4.1. Distribusi jenis cairan pleura berdasarkan diagnosis etiologi 42

Gambar 4.2. Distribusi diagnosa klinis akhir efusi pleura secara

(19)

DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA

USG : Ultrasonografi

HDL : High Density Lipoprotein

LDH : Laktat dehidrogenase

LDL : Low Density Lipoprotein

NPV : Negative Predictive Value

PPV : Positive Predictive Value

ROC : Receiver Operating Characteristic

(20)

PEMERIKSAAN PROTEIN, KOLESTEROL DAN LAKTAT DEHIDROGENASE CAIRAN PLEURA SEBAGAI PARAMETER

DALAM MEMBEDAKAN EFUSI PLEURA TRANSUDAT DAN EKSUDAT

Guntur M. J. Ginting, Alwinsyah Abidin, Ermanta Ngirim Keliat Divisi Pulmonologi & Alergi Imunologi - Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan

ABSTRAK

Latar Belakang: Membedakan jenis cairan pleura apakah eksudat ataupun transudat penting dalam penjajakan dan pengobatan efusi pleura selanjutnya. Laktat dehidrogenase, protein dan kolesterol belakangan ini semakin sering diteliti untuk tujuan tersebut. Namun selama ini belum ada studi yang mengevaluasi kekuatan diagnostik kombinasi dari ketiga prameter diatas.

Tujuan: Mengevaluasi manfaat dari beberapa parameter yakni protein (P-P), laktat dehidrogenase (LDH-P) dan kolesterol cairan pleura (K-P) baik dalam bentuk parameter tunggal maupun kombinasi untuk memdedakan antara cairan pleura eksudat dan transudat.

Metode: Enam puluh enam kasus efusi pleura di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik sejak Januari hingga Mei 2014 dibagi menjadi kelompok yakni eksudat (10) dan transudat (56) berdasarkan diagnosa klinis akhir. Selanjutnya dilakukan perbandingan antara ketiga parameter cairan pleura diatas dengan diagnosa klinis akhir untuk mengetahui kekuatan masing-masing kriteria diagnostik baik tunggal maupun dalam bentuk kombinasi untuk membedakan antara transudat dan eksudat pada cairan pleura.

Hasil: Seluruh parameter baik tunggal maupun kombinasi secara statistik berbeda signifikan antara eksudat dan transudat. Namun kriteria kombinasi dua atau lebih dari tiga parameter (LDH-P, P-P dan K-P) unggul dalam tingkat akurasi (92,4%), sensitivitas (94,6%) serta nilai prediksi negatif (75%) dibandingkan kriteria diagnostik lainnya.

Kesimpulan: Studiini menunjukkan bahwa kriteria kombinasi dua atau lebih dari tiga parameter (LDH-P, P-P dan K-P) dapat membedakan antara eksudat dan transudat pada cairan efusi pleura lebih baik dibanding kriteria lainnya.

(21)

MEASUREMENT OF PLEURAL FLUID PROTEIN, CHOLESTEROL AND LACTATE DEHYDROGENASE AS THE PARAMETER IN DIFFERENTIATING EXUDATIVE AND TRANSUDATIVE PLEURAL

EFFUSION

Guntur M. J. Ginting, Alwinsyah Abidin, Ermanta Ngirim Keliat Division of Pulmonology & Alergy Immunology

Departement of Internal Medicine

Faculty of Medicine University of Sumatera Utara Medan

ABSTRACT

Backgroud: Differentiating exudative and transudative pleural effusion is essential for further appropriate workup and treatment. Many studies have evaluated pleural fluid lactate dehydrogenase (pLDH), protein (pProt) and cholesterol (pChol) for that purpose. Previously however, there is no study has shown the strength of diagnostic combination from those three parameters

Objective: To evaluate the benefit of three pleural fluid parameters pLDH, pProt and pChol both in single or combination form for differentiating exudative and transudative pleural effusion.

Methods: Sixty six cases of pleural effusion at Adam Malik Central Hospital from January-Mei 2014 were divided into exudate (56) and transudate group (10) based on their definite clinical diagnosis. Furthermore, comparations were made between all parameters in single and combination form to evaluate the strength between those criteria in order to differentiate between exudate and transudate pleural fluid.

Results: All parameters both in single or combination form were statistically different (p < 0,05) between exudate and transudate. However, the combination of two or more from three parameters (pLDH+pProt / pLDH+pChol / pProt+pChol / pLDH+pProt+pChol) were found superior in accuracy (92,4%), sensitivity (94,6%), and NPV (75%) compare to others.

Conclusion: This study found that combination of two or more from three parameters (pLDH, pProt and pChol) has superiority in differentiating exudate and transudate pleural fluid.

(22)

PEMERIKSAAN PROTEIN, KOLESTEROL DAN LAKTAT DEHIDROGENASE CAIRAN PLEURA SEBAGAI PARAMETER

DALAM MEMBEDAKAN EFUSI PLEURA TRANSUDAT DAN EKSUDAT

Guntur M. J. Ginting, Alwinsyah Abidin, Ermanta Ngirim Keliat Divisi Pulmonologi & Alergi Imunologi - Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan

ABSTRAK

Latar Belakang: Membedakan jenis cairan pleura apakah eksudat ataupun transudat penting dalam penjajakan dan pengobatan efusi pleura selanjutnya. Laktat dehidrogenase, protein dan kolesterol belakangan ini semakin sering diteliti untuk tujuan tersebut. Namun selama ini belum ada studi yang mengevaluasi kekuatan diagnostik kombinasi dari ketiga prameter diatas.

Tujuan: Mengevaluasi manfaat dari beberapa parameter yakni protein (P-P), laktat dehidrogenase (LDH-P) dan kolesterol cairan pleura (K-P) baik dalam bentuk parameter tunggal maupun kombinasi untuk memdedakan antara cairan pleura eksudat dan transudat.

Metode: Enam puluh enam kasus efusi pleura di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik sejak Januari hingga Mei 2014 dibagi menjadi kelompok yakni eksudat (10) dan transudat (56) berdasarkan diagnosa klinis akhir. Selanjutnya dilakukan perbandingan antara ketiga parameter cairan pleura diatas dengan diagnosa klinis akhir untuk mengetahui kekuatan masing-masing kriteria diagnostik baik tunggal maupun dalam bentuk kombinasi untuk membedakan antara transudat dan eksudat pada cairan pleura.

Hasil: Seluruh parameter baik tunggal maupun kombinasi secara statistik berbeda signifikan antara eksudat dan transudat. Namun kriteria kombinasi dua atau lebih dari tiga parameter (LDH-P, P-P dan K-P) unggul dalam tingkat akurasi (92,4%), sensitivitas (94,6%) serta nilai prediksi negatif (75%) dibandingkan kriteria diagnostik lainnya.

Kesimpulan: Studiini menunjukkan bahwa kriteria kombinasi dua atau lebih dari tiga parameter (LDH-P, P-P dan K-P) dapat membedakan antara eksudat dan transudat pada cairan efusi pleura lebih baik dibanding kriteria lainnya.

(23)

MEASUREMENT OF PLEURAL FLUID PROTEIN, CHOLESTEROL AND LACTATE DEHYDROGENASE AS THE PARAMETER IN DIFFERENTIATING EXUDATIVE AND TRANSUDATIVE PLEURAL

EFFUSION

Guntur M. J. Ginting, Alwinsyah Abidin, Ermanta Ngirim Keliat Division of Pulmonology & Alergy Immunology

Departement of Internal Medicine

Faculty of Medicine University of Sumatera Utara Medan

ABSTRACT

Backgroud: Differentiating exudative and transudative pleural effusion is essential for further appropriate workup and treatment. Many studies have evaluated pleural fluid lactate dehydrogenase (pLDH), protein (pProt) and cholesterol (pChol) for that purpose. Previously however, there is no study has shown the strength of diagnostic combination from those three parameters

Objective: To evaluate the benefit of three pleural fluid parameters pLDH, pProt and pChol both in single or combination form for differentiating exudative and transudative pleural effusion.

Methods: Sixty six cases of pleural effusion at Adam Malik Central Hospital from January-Mei 2014 were divided into exudate (56) and transudate group (10) based on their definite clinical diagnosis. Furthermore, comparations were made between all parameters in single and combination form to evaluate the strength between those criteria in order to differentiate between exudate and transudate pleural fluid.

Results: All parameters both in single or combination form were statistically different (p < 0,05) between exudate and transudate. However, the combination of two or more from three parameters (pLDH+pProt / pLDH+pChol / pProt+pChol / pLDH+pProt+pChol) were found superior in accuracy (92,4%), sensitivity (94,6%), and NPV (75%) compare to others.

Conclusion: This study found that combination of two or more from three parameters (pLDH, pProt and pChol) has superiority in differentiating exudate and transudate pleural fluid.

(24)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Efusi pleura merupakan suatu keadaan yang cukup sering dijumpai. Angka

kejadiannya secara internasional diperkirakan lebih dari 3000 orang dalam 1 juta

populasi tiap tahun. Di Amerika, dijumpai 1,5 juta kasus efusi pleura setiap

tahunnya.1,2 Sedangkan di Indonesia sendiri, Berdasarkan catatan medik Rumah

Sakit Dokter Kariadi Semarang, prevalensi penderita efusi pleura semakin

bertambah setiap tahunnya yaitu terdapat 133 penderita pada tahun 2001.3 Tobing

EMS. dalam penelitiannya tahun 2011 mendapati kasus efusi pleura dalam

setahun di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik berjumlah 136 dimana

laki-laki lebih banyak dari perempuan (65,4% vs 34,6%), sedangkan etiologi

tersering adalah tuberkulosis (44,2%) diikuti tumor paru (29,4%).4 Ada lebih dari

55 penyebab efusi pleura yang telah dicatat. Sedangkan insidensi berdasarkan

penyebabnya sendiri bervariasi bergantung dari area demografik serta

geografisnya.1,2

Menilai jenis efusi pleura, apakah transudat atau eksudat merupakan

langkah awal yang penting dalam menentukan etiologi efusi pleura itu sendiri.5,6

Meskipun pemeriksaan klinis dan radiologis dapat memberikan petunjuk tentang

etiologi efusi pleura, namun kebanyakan kasus perlu dievaluasi dengan

torasentesis.7 Suatu keadaan efusi pleura yang tidak memungkinkan dilakukan

(25)

diaspirasi [ketebalannya <10 mm pada pemeriksaan USG (ultrasonografi) atau

pemeriksaan foto toraks lateral dekubitus] atau jika efusi pleura yang disebabkan

oleh gagal jantung kongestif (terutama jika efusi bilateral dan mengalami

perbaikan dengan diuresis), riwayat pembedahan abdominal dan riwayat post

partum. Namun begitupun, torasentesis dapat juga diindikasikan pada

keadaan-keadaan diatas jika pasien mengalami perburukan.7 Setelah sampel cairan pleura

diambil, maka harus ditentukan apakah cairan tersebut merupakan cairan

transudatif (akibat peningkatan tekanan hidrostatis) ataukah eksudatif (akibat

peningkatan permeabilitas pleura dan pembuluh darah). Jika ternyata hasilnya

adalah transudat, maka kemungkinan penyebabnya relatif lebih sedikit, oleh

karenanya tidak perlu dilakukan prosedur diagnostik yang lebih jauh lagi terhadap

cairan pleura tersebut. Namun jika hasilnya adalah eksudat, ada banyak

kemungkinan penyebab yang mendasarinya sehingga pemeriksaan diagnostik

selanjutnya perlu dilakukan.7

Studi-studi yang mula-mula dilakukan mencoba menguji nilai diagnostik

adalah dari berat jenis serta protein dari cairan pleura untuk menentukan jenis

efusi eksudatif.5 Studi berikutnya oleh Light dkk. (1972) melaporkan bahwa

cairan pleura eksudatif setidaknya memenuhi salah satu dari kriteria berikut yakni,

rasio protein pada cairan pleura dibanding serum > 0,5, rasio laktat dehidrogenase

(LDH) cairan pleura dibanding serum > 0,6 dan kadar LDH cairan pleura > 2/3

batas atas LDH serum.5,8 Parameter ini disebut sebagai kriteria Light et al. Studi

ini memperlihatkan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi yakni

(26)

memiliki spesifisitas antara 70-86%. Selain itu peneliti lain juga menemukan

bahwa 25% cairan pleura transudat teridentifikasi sebagai cairan eksudat

berdasarkan kriteria Light. Hal ini terjadi pada kasus efusi pleura yang disebabkan

oleh gagal jantung yang telah mendapat terapi diuretik sebelumnya, dimana

ternyata pada keadaan ini kadar protein di cairan pleura dapat meningkat.8

Valdes L dkk. (1991) dalam penelitiannya mendapatkan sensitivitas dan

spesifisitas pemeriksaan kolesterol pleura untuk membedakan eksudat dan

transudat yakni berturut-turut sebesar 91% dan 100%, dengan positive predictive

value (PPV) 100%. Sedangkan rasio kolesterol pleura dan serum memiliki

sensitivitas dan spesifisitas sebesar 92,5% dan 87,6%. Kedua pemeriksaan diatas

memiliki tingat kesalahan yang lebih sedikit dibanding parameter Light. Baik

dalam penelitian ini maupun penelitian lainnya menemukan bahwa sensitivitas

dan spesifisitas kriteria Light tidak sebaik yang dilaporkan oleh Light dkk.9

Kolesterol merupakan parameter yang paling terakhir muncul dalam

penilaian cairan pleura. Kolesterol cairan pleura kemungkinan berasal dari sel-sel

yang mengalami degenerasi serta kebocoran vaskular sebagai akibat peningkatan

permeabilitas. Meskipun saat ini belum diketahui dengan pasti bagaimana

kolesterol cairan pleura eksudatif bisa meningkat, namun ada dua hal yang saat ini

mungkin dapat menjelaskan peristiwa tersebut. Yang pertama, kolesterol disintesa

oleh sel-sel pleura itu sendiri yang bertujuan untuk kebutuhan sel tersebut dalam

jumlah yang disesuaikan dengan kebutuhan. Keseimbangannya dalam sirkulasi

diatur secara dinamis oleh high density lipoprotein (HDL) dan low density

(27)

di dalamnya terjadi degenerasi leukosit dan eritrosit. Yang kedua, kolesterol

pleura berasal dari plasma, sehingga jika terjadi peningkatan permeabilitas kapiler

pleura pada pasien dengan tipe cairan eksudat, maka kolesterol plasma dapat

masuk dapat rongga pleura.8

Pada tahun 1995, Costa M dkk. melaporkan bahwa pemeriksaan gabungan

LDH dan kolesterol cairan pleura memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang sama

dengan hasil terbaik dari kriteria Light yakni 99% dan 98% (sedangkan dalam

penelitian ini didapati bahwa spesifisitas kriteria Light hanya 82% saja). Namun

dalam penelitian ini cut off LDH yang digunakan untuk eksudat adalah > 200 IU

atau 2/3 batas atas nilai normal LDH serum. Sementara Heffner dkk (1996)

melaporkan bahwa cut off LDH > 0,45 dari batas atas nilai LDH serum normal

lebih baik berdasarkan kurva receiver operating characteristic (ROC) daripada

cut off sebelumnya yakni LDH > 200 IU ataupun LDH > 2/3 (0,6) dari batas atas

nilai LDH serum normal. Dalam penelitiannya, Heffner juga melaporkan bahwa

dari antara parameter pemeriksaan yang tidak memerlukan pengambilan sampel

darah secara bersamaan, sensitivitas protein cairan pleura merupakan yang paling

baik (91,5%). Dalam laporan Costa M dkk, disebutkan pula bahwa spesifisitas

pemeriksaan kolesterol cairan pleura dalam membedakan transudat dan eksudat

adalah sebesar 100%.5,10

Dalam sebuah meta-analisis, Heffner dkk. (1997) mengidentifikasi bahwa

cairan pleura jenis eksudat setidaknya memenuhi 1 dari kriteria dibawah ini :

(i) Protein cairan pleura > 2,9 gm/dL

(28)

(iii) LDH cairan pleura > 2/3 batas atas kadar LDH serum 8

Penelitian oleh Hamal AB dkk. (2012) menemukan bahwa sensitivitas,

spesifisitas dan PPV pemeriksaan kolesterol cairan pleura lebih baik dalam

membedakan transudat dan eksudat dibandingkan dengan parameter Light yakni

berturut-turut 97,7%, 100% dan 100%. Dari penelitian ini didapati pula

pemeriksaan LDH pleura memiliki sensitivitas dan negative predictive value

(NPV) yang paling tinggi yakni berturut-turut 100% dan 100%. Namun sayang

spesifisitasnya hanya 57,8% dengan PPV 84,3%.8

Dari beberapa penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan akurasi

terbaik dalam membedakan cairan efusi pleura ternyata memberikan hasil yang

bervariasi dari satu penelitian terhadap yang lain, namun dapat dilihat bahwa dari

seluruh parameter yang ada, terdapat 3 parameter yang memiliki keunggulan

dalam hal pengambilan sampel dan nilai akurasi yakni : protein, laktat

dehidrogenase dan kolesterol. Ketiga parameter ini tidak memerlukan

pengambilan sampel darah secara bersamaan dengan pengambilan sampel cairan

efusi pleura sehingga lebih efisien. Selain itu, tingkat akurasinya dalam berbagai

penelitian juga lebih baik secara signifikan dibanding parameter yang

menggunakan rasio cairan pleura dan serum. Menggunakan parameter tunggal dan

kombinasi memiliki keuntungan dan kerugiannya masing-masing. Parameter

tunggal dapat meningkatkan sensitivitas sedangkan parameter kombinasi dapat

meningkatkan spesifisitas namun dapat mengurangi sensitivitasnya. Heffner dkk

(1996) dalam penelitiannya melaporkan bahwa tes berpasangan baik duplet

(29)

tunggal. Namun hingga saat ini belum ada penelitian yang mencoba membuat

parameter gabungan dalam bentuk dua dari tiga kombinasi hasil pemeriksaan.

Cara ini mungkin dapat minimalisasi kekurangan parameter tunggal dan

parameter kombinasi tanpa mengurangi keunggulan dari masing-masing

metode.5,8,9,10,11,12

Saat ini, parameter Light masih merupakan standar baku dalam praktek

klinis.13 Bahkan pemeriksaan kolesterol pleura belum lazim dimasukkan dalam

pemeriksaan / analisa rutin cairan pleura. Penelitian untuk menguji tingkat

sensitivitas dan spesifisitas ketiga parameter (protein, LDH dan kolesterol) cairan

pleura baik secara tunggal maupun kombinasi untuk membedakan antara

transudat dan eksudat belum banyak dilakukan. Di Indonesia sendiri penelitian

seperti ini belum pernah dilakukan.

1.2. Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah

penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah keakuratan diagnostik dari beberapa parameter yakni

protein, LDH dan kolesterol cairan pleura baik dalam bentuk

parameter tunggal, kombinasi dua dan tiga parameter sekaligus serta

kombinasi dua dari tiga parameter untuk membedakan antara transudat

dan eksudat pada cairan efusi pleura?

2. Apakah keakuratan diagnostik kombinasi dua atau lebih dari tiga

(30)

dengan parameter tunggal ataupun kombinasi dua atau tiga parameter

sebagai parameter diagnostik untuk membedakan antara transudat dan

eksudat pada cairan efusi pleura?

1.3. Hipotesis

keakuratan diagnostik kombinasi dua atau lebih dari tiga parameter

(protein, LDH dan kolesterol) lebih baik dibandingkan dengan parameter tunggal

ataupun kombinasi dua atau tiga parameter sekaligus sebagai parameter

diagnostik untuk membedakan antara transudat dan eksudat pada cairan efusi

pleura

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan umum

Membedakan cairan efusi pleura transudat dan eksudat

1.4.2. Tujuan khusus

1. Memperoleh nilai protein, kolesterol dan LDH cairan pleura pada

pasien-pasien efusi pleura.

2. Mengevaluasi dan membandingkan keakuratan diagnostik dari

beberapa parameter yakni protein, LDH dan kolesterol cairan pleura

baik dalam bentuk parameter tunggal, kombinasi dua atau tiga

parameter sekaligus serta kombinasi dua atau lebih dari tiga parameter

(31)

pleura melalui sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value,

negative predictive value serta akurasi.

1.5. Manfaat Penelitian

Diharapkan dengan mengetahui keakuratan diagnostik kombinasi dua dari

tiga parameter (protein, LDH dan kolesterol) maka pemeriksaan ini mungkin

dapat dipakai sebagai parameter/metode diagnostik yang lebih akurat, lebih

mudah, lebih efisien dan lebih hemat biaya dalam membedakan transudat dan

(32)

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Efusi Pleura

Efusi pleura merupakan akumulasi cairan abnormal pada rongga pleura.7

Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan produksi cairan ataupun berkurangnya

absorbsi.14 Efusi pleura merupakan manifestasi penyakit pada pleura yang paling

sering dengan etiologi yang bermacam-macam mulai dari kardiopulmoner,

inflamasi, hingga keganasan yang harus segera dievaluasi dan diterapi.14

2.2 Epidemiologi

Di Amerika Serikat, 1,5 juta kasus efusi pleura terjadi tiap tahunnya.14

Sementara pada populasi umum secara internasional, diperkirakan tiap 1 juta

orang, 3000 orang terdiagnosa efusi pleura.1 Secara keseluruhan, insidensi efusi

pleura sama antara pria dan wanita. Namun terdapat perbedaan pada kasus-kasus

tertentu dimana penyakit dasarnya dipengaruhi oleh jenis kelamin. Misalnya,

hampir dua pertiga kasus efusi pleura maligna terjadi pada wanita. Dalam hal ini

efusi pleura maligna paling sering disebabkan oleh kanker payudara dan

keganasan ginekologi. Sama halnya dengan efusi pleura yang berhubungan

dengan sistemic lupus erytematosus, dimana hal ini lebih sering dijumpai pada

wanita. Di Amerika Serikat, efusi pleura yang berhubungan dengan mesotelioma

maligna lebih tinggi pada pria. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingginya

(33)

insidensinya lebih tinggi pada pria dimana alkoholisme merupakan etiologi

utamanya. Efusi rheumatoid juga ditemukan lebih banyak pada pria daripada

wanita. Efusi pleura kebanyakan terjadi pada usia dewasa. Namun demikian, efusi

pleura belakangan ini cenderung meningkat pada anak-anak dengan penyebab

tersering adalah pneumonia.14

2.3. Etiologi Dan Patofisiologi

Rongga pleura normal berisi cairan dalam jumlah yang relatif sedikit yakni

0,1 – 0,2 mL/kgbb pada tiap sisinya.7 Fungsinya adalah untuk memfasilitasi

pergerakan kembang kempis paru selama proses pernafasan.1 Cairan pleura

diproduksi dan dieliminasi dalam jumlah yang seimbang. Jumlah cairan pleura

yang diproduksi normalnya adalah 17 mL/hari dengan kapasitas absorbsi

maksimal drainase sistem limfatik sebesar 0,2-0,3 mL/kgbb/jam. Cairan ini

memiliki konsentrasi protein lebih rendah dibanding pembuluh limfe paru dan

perifer.1,7,15

Cairan dalam rongga pleura dipertahankan oleh keseimbangan tekanan

hidrostatik, tekanan onkotik pada pembuluh darah parietal dan viseral serta

kemampuan drainase limfatik (gambar 2.1). Efusi pleura terjadi sebagai akibat

(34)

Gambar 2.1. Skema yang memperlihatkan proses sirkulasi normal cairan pleura. Terlihat bahwa cairan pleura berasal dari pembuluh darah sistemik pada membran pleura parietal dan viseral (ditunjukkan pada panah yang terputus-putus). Pembuluh darah pleura parietal (mikrovaskular interkostal) merupakan terpenting pada sistem ini sebab pembuluh darah ini paling dekat dengan rongga pleura dan memiliki tekanan filtrasi yang lebih tinggi daripada mikrovaskuler bronkial pada pleura viseral. Cairan pleura awalnya akan absorbsi kembali oleh mikrovaskuler, sisanya akan dikeluarkan dari rongga pleura melalui saluran limfatik pada pleura parietal (panah utuh). Dikutip dari: Broaddus VC. 2009. Mechanisms of pleural liquid accumulation in disease. Uptodate.

Persamaan yang menunjukkan hubungan keseimbangan antara tekanan

hidrostatik dan onkotik adalah sebagai berikut : Q = k x [(Pmv – Ppmv) – s (nmv

– npmv)]. Pada persamaan ini, Q merupakan tekanan filtrasi, k merupakan

koefisien filtrasi, Pmv dan Ppmv merupakan tekanan hidrostatik pada ruang

mikrovaskular dan perimikrovaskular. s merupakan koefisien refleksi bagi total

protein mulai dari skor 0 (permeabel penuh) hingga 1 (tidak permeabel). nmv dan

npmv menyatakan tekanan osmotik protein cairan di mikrovaskular dan

perimikrovaskular. Pada keadaan normal, cairan yang difiltrasi jumlahnya sedikit

(35)

Adapun gambaran normal cairan pleura adalah sebagai berikut

• Jernih, karena merupakan hasil ultrafiltrasi plasma darah yang berasal

dari pleura parietalis

• pH 7,60-7,64

• Kandungan protein kurang dari 2% (1-2 g/dL)

• Kadungan sel darah putih < 1000 /m3

• Kadar glukosa serupa dengan plasma

• Kadar LDH (laktat dehidrogenase) < 50% dari plasma.14

Efusi pleura merupakan suatu indikator adanya suatu penyakit dasar baik

itu pulmoner maupun non pulmoner, akut maupun kronis. Penyebab efusi pleura

tersering adalah gagal jantung kongestif (penyebab dari sepertiga efusi pleura dan

merupakan penyebab efusi pleura tersering), pneumonia, keganasan serta emboli

paru.1,14,17 Berikut ini merupakan mekanisme-mekanisme terjadinya efusi pleura :

1. Adanya perubahan permeabilitas membran pleura (misalnya :

inflamasi, keganasan, emboli paru)

2. Berkurangnya tekanan onkotik intravaskular (misalnya :

hipoalbuminemia, sirosis)

3. Meningkatnya permeabilitas pembuluh darah atau kerusakan

pembuluh darah (misalnya : trauma, keganasan, inflamasi, infeksi,

infark pulmoner, hipersensitivitas obat, uremia, pankreatitis)

4. Meningkatnya tekanan hidrostatik pembuluh darah pada sirkulasi

sistemik dan atau sirkulasi sirkulasi paru (misalnya : gagal jantung

(36)

5. Berkurangnya tekanan pada rongga pleura sehingga menyebabkan

terhambatnya ekspansi paru (misalnya : atelektasis ekstensif,

mesotelioma)

6. Berkurangnya sebagaian kemampuan drainase limfatik atau bahkan

dapat terjadi blokade total, dalam hal ini termasuk pula obstruksi

ataupun ruptur duktus torasikus (misalnya : keganasan, trauma)

7. Meningkatnya cairan peritoneal, yang disertai oleh migrasi sepanjang

diafragma melalui jalur limfatik ataupun defek struktural. (misalnya :

sirosis, dialisa peritoneal)

8. Berpindahnya cairan dari edema paru melalui pleura viseral

9. Meningkatnya tekanan onkotik dalam cairan pleura secara persisten

dari efusi pleura yang telah ada sebelumnya sehingga menyebabkan

akumulasi cairan lebih banyak lagi.14

Sebagai akibat dari terbentuknya efusi adalah diafragma menjadi semakin

datar atau bahkan dapat mengalami inversi, disosiasi mekanis pleura viseral dan

parietal, serta defek ventilasi restriktif.14

Efusi pleura secara umum diklasifikasikan sebagai transudat dan eksudat,

bergantung dari mekanisme terbentuknya serta profil kimia cairan efusi tersebut.

Cairan transudat dihasilkan dari ketidakseimbangan antara tekanan hidrostatik

dan onkotik, sementara eksudat dihasilkan oleh proses inflamasi pleura ataupun

akibat berkurangnya kemampuan drainase limfatik. Pada kasus-kasus tertentu,

(37)

2.3.1. Transudat

Efusi pleura transudatif terjadi jika terdapat perubahan dalam tekanan

hidrostatik dan onkotik pada membran pleura, misalnya jumlah cairan yang

dihasilkan melebihi jumlah cairan yang dapat diabsorbsi. Pada keadaan ini,

endotel pembuluh darah paru dalam kondisi yang normal, dimana fungsi filtrasi

masih normal pula sehingga kandungan sel dan dan protein pada cairan efusi

transudat lebih rendah. Jika masalah utama yang menyebabkannya dapat diatasi

maka efusi pleura dapat sembuh tanpa adanya masalah yang lebih lanjut.17 Selain

itu, efusi pleura transudat juga dapat terjadi akibat migrasi cairan yang berasal dari

peritoneum, bisa pula iatrogenik sebagai komplikasi dari pemasangan kateter vena

sentra dan pipa nasogastrik.14 Penyebab-penyebab efusi pleura transudat relatif

lebih sedikit yakni :

• Gagal jantung kongestif

• Sirosis (hepatik hidrotoraks)

• Atelektasis – yang bisa disebabkan oleh keganasan atau emboli paru

• Hipoalbuminemia

• Sindroma nefrotik

• Dialisis peritoneal

• Miksedema

• Perikarditis konstriktif

• Urinotoraks – biasanya akibat obstuktif uropathy

• Kebocoran cairan serebrospinal ke rongga pleura

(38)

• Migrasi kateter vena sentral ke ekstravaskular

• Glisinotoraks – sebuah komplikasi yang jarang akibat irigasi kandung

kemih dengan larutan glisin 1,5% yang dilakukan setelah pembedahan

urologi.14

2.3.2. Eksudat

Efusi pleura eksudat dihasilkan oleh berbagai proses/kondisi inflamasi dan

biasanya diperlukan evaluasi dan penanganan yang lebih luas dari efusi transudat.

Cairan eksudat dapat terbentuk sebagai akibat dari proses inflamasi paru ataupun

pleura, gangguan drainase limfatik pada rongga pleura, pergerakan cairan eksudat

dari rongga peritoneal melalui diafragma, perubahan permeabilitas membran

pleura, serta peningkatan permeabilitas dinding kapiler atau kerusakan pembuluh

darah. Adapun penyebab-penyebab terbentuknya cairan eksudat antara lain :

• Parapneumonia

• Keganasan (paling sering, kanker paru atau kanker payudara, limfoma,

leukemia, sedangkan yang lebih jarang, kanker ovarium, kanker

lambung, sarkoma serta melanoma)

• Emboli paru

• Penyakit-penyakit jaringan ikat-pembuluh darah (artritis reumatoid,

sistemic lupus erythematosus)

• Tuberkulosis

• Pankreatitis

• Trauma

(39)

• Perforasi esofageal

• Pleuritis akibat radiasi

• Sarkoidosis

• Infeksi jamur

• Pseudokista pankreas

• Abses intraabdominal

• Paska pembedahan pintas jatung

• Penyakit perikardial

• Sindrom Meig (neoplasma jinak pelvis disertai asites dan efusi pleura)

• Sindrom hiperstimulasi ovarian

• Penyakit pleura yang diinduksi oleh obat

• Sindrom yellow nail (kuku kuning, limfedema, efusi pleura)

• Uremia

Chylothorax (suatu kondisi akut dengan peningkatan kadar trigilerida

pada cairan pleura)

Pseudochylotoraks (suatu kondisi kronis dengan peningkatan kadar

kolesterol cairan pleura)

• Fistulasi (ventrikulopleural, billiopleural, gastropleural).14

2.4. Prognosis

Prognosis efusi pleura bervariasi dan bergantung dari etiologi yang

mendasarinya, derajat keparahan saat pasien masuk, serta analisa biokimia cairan

(40)

rendah untuk terjadinya komplikasi. Pasien pneumonia yang disertai dengan efusi

memiliki prognosa yang lebih buruk ketimbang pasien dengan pneumonia saja.

Namun begitupun, jika efusi parapneumonia ditangani secara cepat dan tepat,

biasanya akan sembuh tanpa sekuele yang signifikan. Namun jika tidak ditangani

dengan tepat, dapat berlanjut menjadi empiema, fibrosis konstriktiva hingga

sepsis.14

Efusi pleura maligna merupakan pertanda prognosis yang sangat buruk,

dengan median harapan hidup 4 bulan dan rerata harapan hidup 1 tahun. Pada

pria hal ini paling sering disebabkan oleh keganasan paru, sedangkan pada wanita

lebih sering karena keganasan pada payudara. Median angka harapan hidup adalah

3-12 bulan bergantung dari jenis keganasannya. Efusi yang lebih respon terhadap

kemoterapi seperti limfoma dan kanker payudara memiliki harapan hidup yang

lebih baik dibandingkan kanker paru dan mesotelioma. Analisa sel dan analisa

biokimia cairan pleura juga dapat menentukan prognosa. Misalnya cairan pleura

dengan pH yang lebih rendah biasanya berkaitan dengan massa keadaan tumor

yang lebih berat dan prognosa yang lebih buruk.14

2.5. Gambaran Klinis

Efek yang ditimbulkan oleh akumulasi cairan di rongga pleura bergantung

pada jumlah dan penyebabnya. Efusi dalam jumlah yang kecil sering tidak

bergejala. Bahkan efusi dengan jumlah yang besar namun proses akumulasinya

berlangsung perlahan hanya menimbulkan sedikit atau bahkan tidak menimbulkan

(41)

gejala yang muncul berupa gejala pleuritis pada saat awal proses dan gejala dapat

menghilang jika telah terjadi akumulasi cairan. Gejala yang biasanya muncul pada

efusi pleura yang jumlahnya cukup besar yakni : nafas terasa pendek hingga sesak

nafas yang nyata dan progresif, kemudian dapat timbul nyeri khas pleuritik pada

area yang terlibat, khususnya jika penyebabnya adalah keganasan. Nyeri dada

meningkatkan kemungkinan suatu efusi eksudat misalnya infeksi, mesotelioma

atau infark pulmoner. Batuk kering berulang juga sering muncul, khususnya jika

cairan terakumulasi dalam jumlah yang banyak secara tiba-tiba. Batuk yang lebih

berat dan atau disertai sputum atau darah dapat merupakan tanda dari penyakit

dasarnya seperti pneumonia atau lesi endobronkial. Riwayat penyakit pasien juga

perlu ditanyakan misalnya apakah pada pasien terdapat hepatitis kronis, sirosis

hepatis, pankreatitis, riwayat pembedahan tulang belakang, riwayat keganasan,

dll. Riwayat pekerjaan seperti paparan yang lama terhadap asbestos dimana hal ini

dapat meningkatkan resiko mesotelioma. Selain itu perlu juga ditanyakan

obat-obat yang selama ini dikonsumsi pasien.14,18

Hasil pemeriksaan fisik juga tergantung dari luas dan lokasi dari efusi.

Temuan pemeriksaan fisik tidak didapati sebelum efusi mencapai volume 300

mL. Gangguan pergerakan toraks, fremitus melemah, suara beda pada perkusi

toraks, egofoni, serta suara nafas yang melemah hingga menghilang biasanya

dapat ditemukan. Friction rub pada pleura juga dapat ditemukan. Cairan efusi

yang masif (> 1000 mL) dapat mendorong mediastinum ke sisi kontralateral.

Efusi yang sedikit secara pemeriksaan fisik kadang sulit dibedakan dengan

(42)

dalam pemeriksaan fisik dapat membantu penilaian yang lebih baik sebab efusi

dapat bergerak berpindah tempat sesuai dengan posisi pasien. Pemeriksaan fisik

yang sesuai dengan penyakit dasar juga dapat ditemukan misalnya, edema perifer,

distensi vena leher, S3 gallop pada gagal jantung kongestif. Edema juga dapat

muncul pada sindroma nefrotik serta penyakit perikardial. Ascites mungkin

menandakan suatu penyakit hati, sedangkan jika ditemukan limfadenopati atau

massa yang dapat diraba mungkin merupakan suatu keganasan.14,18

2.6. Pemeriksaan Penunjang

2.6.1 Pemeriksaan pencitraan radiologis

Evaluasi efusi pleura dimulai dari pemeriksaan imejing untuk menilai

jumlah cairan, distribusi dan aksesibilitasnya serta kemungkinan adanya

abnormalitas intratorakal yang berkaitan dengan efusi pleura tersebut.7

Pemeriksaan foto toraks posteroanterior (PA) dan lateral sampai saat ini

masih merupakan yang paling diperlukan untuk mengetahui adanya efusi pleura

pada awal diagnosa. Pada posisi tegak, akan terlihat akumulasi cairan yang

menyebabkan hemitoraks tampak lebih tinggi, kubah diafragma tampak lebih ke

lateral, serta sudut kostofrenikus yang menjadi tumpul. Untuk foto toraks PA

setidaknya butuh 175-250 mL cairan yang terkumpul sebelumnya agar dapat

terlihat di foto toraks PA. Sementara foto toraks lateral dekubitus dapat

mendeteksi efusi pleura dalam jumlah yang lebih kecil yakni 5 mL. jika pada foto

lateral dekubitus ditemukan ketebalan efusi 1 cm maka jumlah cairan telah

(43)

torakosentesis. Namun pada efusi loculated temuan diatas mungkin tidak

dijumpai. Pada posisi supine, efusi pleura yang sedang hingga masif dapat

memperlihatkan suatu peningkatan densitas yang homogen yang menyebar pada

bagian bawah paru, selain itu dapat pula terlihat elevasi hemidiafragma, disposisi

kubah diafragma pada daerah lateral.7,14

Tomografi komputer (CT-scan) dengan kontras harus dilakukan pada efusi

pleura yang tidak terdiagnosa jika memang sebelumnya belum pernah

dilakukan.14

2.6.2. Pemeriksaan cairan pleura

Analisa cairan pleura merupakan suatu sarana yang sangat memudahkan

untuk mendiagnosa penyebab dari efusi tersebut. Prosedur torakosentesis

sederhana dapat dilakukan secara bedside sehingga memungkinkan cairan pleura

dapat segera diambil, dilihat secara makroskopik maupun mikroskopik, serta

dianalisa.15

Indikasi tindakan torasentesis diagnostik adalah pada kasus baru efusi

pleura atau jika etiologinya tidak jelas dimana cairan yang terkumpul telah cukup

banyak untuk diaspirasi yakni dengan ketebalan 10 mm pada pemeriksaan

ultrasonografi toraks atau foto lateral dekubitus (gambar 2.2). Observasi saja

diindikasikan jika efusi yang terjadi diyakini akibat dari gagal jantung kongestif,

pleurisi viral, atau akibat pembedahan torak dan abdomen sebelumnya. Namun,

jika pada keadaan ini jika dijumpai adanya hal-hal berikut yakni (1) pasien

(44)

terjadi unilateral atau bilateral namun dengan ukuran yang jelas berbeda, (3) tidak

ditemukan kardiomegali, (4) efusi tidak respon dengan terapi gagal jantung.14,19

(45)

Langkah diagnostik pertama dalam analisa cairan pleura adalah

membedakan antara transudat dan eksudat. Hal ini diperlukan untuk

menyederhanakan kemungkinan-kemungkinan etiologi sebelum akhirnya dicapai

kesimpulan etiologi yang benar. Selain itu, langkah ini juga dapat menentukan

apakah perlu untuk melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap efusi pleura untuk

memastikan diagnosa.14,21

Ada beberapa paramater yang saat ini dapat dipakai untuk membedakan

antara transudat dan eksudat, namun dari keseluruhan parameter tersebut tidak ada

yang memiliki akurasi 100%. Pada awalnya, kadar total protein dalam cairan

pleura dipakai untuk membedakan jenis cairan pleura dimana jika kadar protein

cairan pleura > 3 g/dL maka cairan tersebut merupakan eksudat sedangkan < 3

g/dL merupakan transudat. Namun menurut Meslom (1979), metode ini salah

mengklasifikasikan baik transudat maupun eksudat sebesar 30%. Sementara itu,

Light dkk. (1972) menyatakan bahwa cairan eksudat harus memenuhi 1 atau lebih

kriteria berikut ini : (1) rasio protein cairan pleura dan serum > 0,5 ; (2) Rasio

LDH cairan pleura dan serum > 0,6 ; (3) LDH cairan pleura lebih besar dari dua

pertiga batas atas nilai normal LDH serum. Sensitivitas dan spesifisitas dari

paramater ini pada awalnya dilaporkan cukup tinggi yakni 99% dan 98%. Namun

belakangan angka ini ternyata berubah khususnya pada spesifisitasnya yakni

hanya berkisar 70-86% saja. Hal ini juga sejalan dengan beberapa penelitian yang

terkait (Peterman, 1984 ; Burges,, 1995 ; Assi, 1998 ; Gasquez, 1998). Pada tahun

1995, Costa M dkk. melaporkan bahwa pemeriksaan gabungan LDH dan

(46)

hasil terbaik dari kriteria Light yakni 99% dan 98% (sedangkan dalam penelitian

ini didapati bahwa spesifisitas kriteria Light hanya 82% saja). Namun dalam

penelitian ini cut off LDH yang digunakan untuk eksudat adalah > 200 IU.

Sementara Heffner dkk (1996) melaporkan bahwa cut off LDH > 0,45 dari batas

atas nilai LDH serum normal lebih baik berdasarkan kurva ROC daripada cut off

sebelumnya yakni LDH > 200 IU ataupun LDH > 2/3 (0,6) dari batas atas nilai

LDH serum normal. Dalam laporan Costa M dkk, disebutkan pula bahwa

spesifisitas pemeriksaan kolesterol cairan pleura dalam membedakan transudat

dan eksudat adalah sebesar 100%. Penelitian oleh Hamal dkk. (2012) melaporkan

pemeriksaan kolesterol cairan pleura memiliki sensitivitas, spesifisitas, nilai

prediksi positif (PPV) dan nilai prediksi negatif (NPV) berturut-turut 97,7% ;

100% ; 100% dan 95% dalam membedakan eksudat dan transudat. Sementara itu,

pemeriksaan LDH cairan pleura (LDH-P) memiliki nilai berdasarkan urutan

sebelumnya yakni sebesar 100% ; 57,8% ; 84,3% ; serta 100%. Kedua

pemeriksaan ini (LDH-P dan K-P) memiliki kelebihan yakni tidak perlu

pengambilan darah dan cairan pleura secara simultan. Terdapat pula

parameter-parameter lain yang dapat digunakan dalam penilaian efusi pleura seperti rasio

albumin pleura/serum, rasio kolesterol pleura/serum serta rasio bilirubin

pleura/serum, namun parameter-parameter yang disebutkan terakhir tidak

memberi hasil yang lebih memuaskan.5,8,10,21

2.6.3. Evaluasi terhadap efusi eksudatif

Penjajakan lebih lanjut diperlukan pada efusi pleura eksudatif bergantung

(47)

hitung jumlah dan jenis sel, pengecatan dan pembiakan kuman, pemeriksaan

kadar gula dan kadar LDH, analisa sitologi, serta uji diagnostik tuberkulosis pada

cairan pleura.20

Jika pada pemeriksaan hitung jumlah dan jenis sel pada cairan pleura

ditemukan predominasi sel netrofil ( > 50% dari seluruh sel) maka kemungkinan

sedang terjadi proses akut pada pleura. Hal ini dapat terjadi pada keadaan : efusi

parapneumonia, emboli paru serta pankreatitis. Namun hal yang sama tidak

ditemukan pada efusi maligna dan efusi akibat tuberkulosis. Sementara jika sel

didominasi oleh jenis mononuklear, maka hal tersebut menandakan adanya proses

kronis. Jika dijumpai sel limfosit ( > 85%) dalam jumlah yang besar maka

keganasan atau tuberkulosis mungkin saja menjadi penyebab. Namun hal ini dapat

terjadi juga pada efusi pleura paska pembedahan pintas jantung. Jika dominasinya

selnya adalah eosinofil (pleural fluid eosinophilia/PFE) ( > 10%) maka

kemungkinannya terdapat darah atau udara dalam rongga pleura. Namun dapat

pula berkaitan dengan reaksi terhadap obat, infeksi parasit, jamur, kriptokokus

atau efusi akibat keganasan dan tuberkulosis yang mengalami torasentesis

berulang. Jika ditemukan mesotelioma > 5% dari seluruh sel berinti, maka

kemungkinan tuberkulosis menjadi semakin kecil. Dan Jika jumlah sel mesotelial

sangat banyak dijumpai maka kemungkinannya adalah emboli paru.14,20

Pengecatan Gram dan kultur cairan pleura terhadap bakteri aerob dan

anaerob akan memberikan hasil identifikasi kuman terhadap efusi pleura akibat

infeksi. Secara umum tingkat keberhasilan kultur kuman dari cairan pleura adalah

(48)

anaerob. Untuk meningkatkan keberhasilan kultur, khususnya patogen anaerob,

maka inokulasi dilakukan sesegera mungkin (sesaat setelah sampel diambil) pada

media agar darah. Pemeriksaan lain yang spesifik untuk evaluasi terhadap efusi

(49)

Gambar 2.3. Berbagai uji diagnostik cairan pleura. Dikutip dari: Porcel JM, Light RW. 2006. Diagnostic approach to pleural effusion in adults. American family physician, vol 73, no 7.

2.7. Penatalaksanaan

Efusi transudatif biasanya ditangani dengan mengobati penyakit dasarnya.

Namun demikian, efusi pleura yang masif, baik transudat maupun eksudat dapat

menyebabkan gejala respiratori berat. Dalam keadaan ini, meskipun etiologi dan

penanganan penyakit dasarnya telah dipastikan, drainase efusi perlu dilakukan

untuk memperbaiki keadaan umum pasien. Penanganan efusi eksudatif

bergantung pada etiologi yang mendasarinya. tiga etiologi utama yang paling

sering dijumpai pada efusi eksudatif adalah pneumonia, keganasan dan

tuberkulosis. Parapneumonia yang mengalami komplikasi dan empiema harus

(50)

rekurensi. Beberapa obat-obatan diketahui dapat menyebabkan efusi pleura yang

bersifat transudatif. Hal ini perlu diketahui secara dini untuk menghindari

prosedur diagnostik lain yang tidak perlu.14

2.7.1. Efusi parapneumonik

Dari seluruh efusi pleura eksudatif, efusi pleura parapneumonik secara

khusus mendapat prioritas utama untuk sesegera mungkin didiagnosa dan

penanganan berupa drainase meskipun antibiotik empiris telah diberikan. Hal ini

disebabkan karena efusi pleura yang terinfeksi dapat mengalami koagulasi secara

cepat dan membentuk lapisan fibrous sehingga nantinya memerlukan tindakan

bedah untuk dekortikasi. Adapun indikasi torakosentesis urgensi pada efusi

parapneumonia antara lain : (1) cairan purulen ; (2) pH cairan pleura < 7,2 ; (3)

efusi terlokulasi ; (4) dijumpai bakteri pada pewarnaan Gram atau pada biakan.

Pasien yang tidak memenuhi kriteria diatas harus menunjukkan perbaikan dengan

terapi antibiotik yang sesuai dan diberikan selama 1 minggu.14

2.7.2. Efusi pleura maligna

Efusi pleura merupakan suatu pertanda kondisi yang berat dengan harapan

hidup kurang dari 1 tahun. Pada beberapa pasien, drainase cairan efusi pleura

dalam jumlah yang banyak dapat mengurangi gejala yang disebabkan oleh distorsi

diafragma dan dinding toraks oleh cairan efusi. Jenis efusi ini biasanya sering

berulang sehingga perlu dilakukan torakosentesis berulang, pleurodesis atau

pemasangan kateter yang menetap sehingga pasien dapat mengeluarkan cairan

(51)

masif sehingga jaringan paru mengalami pendesakan, maka pemasangan kateter

yang menetap merupakan pilihan utama. Namun jika tidak ada pendesakan

terhadap paru, maka pilihan lain yang dapat digunakan adalah pleurodesis (pleural

sklerosis). Dari sebuah penelitian non-randomized oleh Fysh ET dkk (2012)

didapati bahwa 34 pasien yang memilih menggunakan kateter menetap secara

signifikan lebih cepat pulang dari rumah sakit, lebih jarang mengalami rekurensi

efusi, dan lebih cepat memperoleh perbaikan kualitas hidup dibanding 31 pasien

lainnya yang memilih tindakan pleurodesis.14

2.7.3. Pleuritis tuberkulosa

Hal yang khas dari efusi yang disebabkan oleh tuberkulosa adalah sifatnya

yang dapat sembuh sendiri. Namun demikian, 65% pasien dengan pleuritis

tuberkulosa primer mengalami reaktivasi dalam 5 tahun. Oleh karena itu

pemberian obat antituberkulosis biasanya akan dimulai sebelum hasil kultur

diperoleh jika keadaan klinis mendukung, dan hasil analisa cairan pleura

menunjukkan suatu eksudat yang tidak dapat dijelaskan atau dengan cairan efusi

limfositik serta tes tuberkulin positif.14

2.7.4. Intervensi bedah

Intervensi bedah paling sering diperlukan dalam penanganan efusi

parapneumonia yang tidak dapat didrainase secara adekuat dengan jarum biasa

ataupun dengan kateter ukuran kecil. Torakoskopi dengan tuntunan video

bermanfaat untuk dapat memvisualisasi dan biopsi pleura secara langsung untuk

mendiagnosa efusi eksudatif secara lebih baik. Tindakan dekortikasi bermanfaat

(52)

mengalami penebalan. Pemasangan pintasan pleuroperitoneal merupakan salah

satu pilihan dalam penanganan efusi pleura yang mengalami rekurensi,

simtomatik, dan kebanyakan hal ini dijumpai pada efusi pleura maligna, namun

digunakan pula pada efusi chylous. Namun sayangnya jalur pintasan sering

mengalami disfungsi sehingga sering diperlukan pembedahan untuk perbaikan.

Tindakan bedah juga diperlukan untuk kasus-kasus jarang seperti defek diafragma

pada pasien dengan ascites, serta untuk mengikat duktus torasikus untuk

mencegah reakumulasi efusi chylous. Disiplin ilmu lain yang mungkin terlibat

dalam penanganan efusi pleura antara lain : pulmonologis, radiologi intervensi,

serta bedah toraks bergantung pada lokasi efusi dan kondisi klinis. 14

2.7.5. Torasentesis terapeutik

Torasentesis teraputik betujuan untuk mengeluarkan cairan dalam jumlah

yang banyak pada efusi pleura untuk mengurangi sesak dan menghambat proses

inflamasi yang sedang berlangsung dan juga fibrosis pada efusi parapneumonia.

Tiga hal berikut penting untuk diperhatikan dalam prosedur torasentesis yakni, (1)

gunakan kateter berukuran kecil atau kateter yang didesain khusus untuk drainase

cairan dan upayakan jangan menggunakan jarum untuk menghindari

pneumotoraks. (2) monitoring oksigenasi ketat selama dan setelah tindakan perlu

dilakukan untuk memantau oksigenasi arterial yang dapat saja memburuk akibat

perubahan perfusi dan ventilasi selama proses re-ekspansi paru. (3) Usahakan

cairan yang diambil tidak terlalu banyak aqgar tidak terjadi edema paru dan

pneumotoraks. Biasanya 400-500 cc cairan yang dikeluarkan telah memberikan

(53)

direkomendasikan dalam sekali prosedur torakosentesis adalah 1-1,5 L. Batuk

sering terjadi pada proses torasentesis. Hal ini sering terjadi dan tidak merupakan

indikasi untuk menghentikan prosedur kecuali pasien merasa sangat tidak

nyaman. 14

2.7.6. Pipa Torakostomi

Pipa torakostomi diindikasikan pada efusi yang lebih masif dan efusi

parapneumonia yang terkomplikasi ataupun empiema.14

(54)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan studi observasional dengan metode pengumpulan

data secara potong lintang.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan mulai bulan Januari

sampai dengan Mei 2014

3.3. Populasi Penelitian

Populasi terjangkau penelitian ini adalah pasien-pasien yang didiagnosa

efusi pleura yang dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan mulai bulan Januari

sampai dengan Mei 2014. Penelitian dihentikan bila jumlah sampel minimal

tercapai.

3.4. Sampel Penelitian

3.4.1. Cara pengambilan sampel penelitian

Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif terhadap semua populasi

(55)

3.4.2. Besar sampel

Digunakan rumus besar sampel untuk uji diagnostik dengan menggunakan

rumus uji hipotesis proporsi tunggal. Besar sampel ditentukan dengan rumus:22

� ≥ ��(1−�2)��0

�� : perkiraan proporsi efusi pleura pada populasi umum

yang diteliti

Menurut rumus diatas maka diperlukan sampel minimal sebanyak : 63 sampel.

3.5. Kriteria Penelitian 3.5.1. Kriteria Inklusi

1. Usia > 16 tahun

2. Pasien bersedia mengikuti penelitian dan dibuktikan dengan

(56)

3. Pasien dengan diagnosa klinis yang definitif dimana efusi pleura

dikonfirmasi dengan foto rontgen toraks.

3.5.2. Kriteria Eksklusi

1. Pasien yang tidak bersedia ikut berpartisipasi dalam penelitian

2. Usia < 16 tahun

3. Diagnosa penyebab efusi pleura pada pasien tidak jelas

3.6. Identifikasi Variabel 3.6.1. Variabel Bebas

1. Protein pleura (P-P)

2. Laktat dehidrogenase pleura (LDH-P)

3. Kolesterol Pleura (K-P)

4. Protein + Laktat dehidrogenase pleura (P-P + LDH-P)

5. Protein + Kolesterol pleura (P-P + K-P)

6. Laktat dehidrogenase + Kolesterol pleura (LDH-P + K-P)

7. Protein + Laktat dehidrogenase + Kolesterol pleura ( P-P + LDH-P +

K-P)

8. Protein + Laktat dehidrogenase pleura (P-P + LDH-P) atau Protein +

Kolesterol pleura (P-P + K-P) atau Laktat dehidrogenase + Kolesterol

pleura (LDH-P + K-P) atau Protein + Laktat dehidrogenase +

(57)

3.6.2. Variabel Terikat

Cairan pleura eksudat

3.7. Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional

1 Efusi Pleura akumulasi cairan abnormal pada rongga pleura

2 Efusi pleura

transudat

Efusi pleura yang dihasilkan dari

ketidakseimbangan antara tekanan hidrostatik

dan onkotik

3 Efusi pleura

eksudat

Efusi pleura yang dihasilkan oleh proses

inflamasi pleura ataupun akibat berkurangnya

kemampuan drainase limfatik

4 Protein Sebuah kelompok molekul organik yang

terdiri dari nitrogen, karbon, hidrogen,

oksigen, dan sulfur.4

5 Laktat

dehidrogenase

Merupakan sebuah enzim dari kelas

oksireduktase yang mengkatalisasi reduksi

piruvat menjadi (S)-laktat dengan

menggunakan NADH (nicotinamide adenine

dinucleotide hydrogen) sebagai donor

(58)

6 Kolesterol Merupakan sterol pada eukariotik yang

berperan sebagai prekursor asam empedu dan

hormon steroid serta merupakan bagian pokok

dari membran sel yang memungkinkan adanya

kemampuan sel yang dapat berubah-ubah

bentuk serta sifat permeabilitasnya.23

3.8. Cara Kerja

Seluruh subjek penelitian dimintai persetujuan secara tertulis tentang

kesedian mengikuti penelitian (informed consent). Setelah dilakukan pemeriksaan

klinis lengkap (anamnesis dan pemeriksaan fisik), dilakukan pemeriksaan foto

toraks untuk melokalisasi efusi pleura. Tapping untuk diagnostik dilakukan pada

semua kasus, hal ini dilakukan dilakukan dengan mengambil cairan pleura

sebanyak 20 mL dengan menggunakan jarum suntik pada daerah dada bagian

belakang bergantung dari lokasi cairan efusi setelah sebelumnya terlebih dahulu

dilakukan tindakan pembersihan kuman dan pembiusan lokal. Luka bekas

penusukan akan ditutup dengan kasa steril. Selanjutnya cairan tersebut akan

diperiksa di laboratorium patologi klinik RS. H. Adam Malik. Kadang-kadang

diperlukan juga bantuan pemeriksaan ultrasonografi toraks untuk membantu

memastikan lokasi cairan. Pada seluruh sampel cairan pleura dilakukan

pemeriksaan hitung jenis sel, protein, glukosa, LDH, kolesterol, pembiakan

kuman, pengecatan kuman tahan asam, serta pemeriksaan sitologi. Pemeriksaan

(59)

bronkoskopi, serta sitologi aspirasi jarum halus juga dilakukan untuk menentukan

etiologi efusi pleura jika diperlukan sesuai indikasi.

Jika diagnosa klinis telah didapat, maka parameter cairan pleura dianalisa

terhadap diagnosis tersebut. Hal-hal dibawah ini digunakan sebagai bukti terhadap

suatu diagnosis etiologi :

1. Gagal jantung kongestif : jika ditemukan gambaran klinis yang sesuai

(meningkatnya tekanan vena jugularis, takikardia serta gallop

ventrikular) dengan kardiomegali atau adanya disfungsi kardiak pada

pemeriksaan ekokardiografi

2. Penyakit ginjal : peningkatan kadar urea (>20 mmol/L) atau kreatinin

>167 mikromol/L dengan gejala dan tanda-tanda overload cairan

3. Keganasan : disertai dengan bukti pemeriksaan sitologi atau histologi

adanya tumor maligna dan tidak ada kondisi lain yang berhubungan

dengan efusi pleura

4. Sirosis hati : dijumpai hasil yang sesuai pada pemeriksaan

ultrasonografi atau tomografi komputer disamping juga klinis dan

bukti laboratorium yang memperlihatkan adanya kerusakan hati dan

hipertensi portal

5. Efusi infektif : adanya bukti infeksi yang jelas (biakan kuman positif),

meningkatnya CRP (C-reactive protein) atau leukositosis, atau hasil

positif pada pemeriksaan pengecatan sputum

Efusi yang berkatian dengan gagal jantung kongestif, hipoalbuminemia,

(60)

diklasifikasikan sebagai eksudat. Maka, dalam penelitian ini efusi pleura

diklasifikasikan menjadi transudat dan eksudat berdasarkan diagnosis etiologi,

nilai protein cairan pleura (cut off yang untuk eksudat adalah >2,9 g/dL), nilai

kolesterol cairan pleura (cut off yang digunakan untuk eksudat adalah >1,16

mmol/L atau >45 mg/dL, sebagaimana yang dilaporkan oleh Heffner dkk. 2002)

serta nilai LDH cairan pleura (cut off yang digunakan untuk eksudat >0,45 batas

atas kadar LDH normal serum).14

3.9 Masalah Etika (Ethical Clearance) dan Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)

Penelitian dilakukan setelah mendapat persetujuan (ethical clearance)

dari komite Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara Medan. Seluruh pasien yang bersedia ikut dalam penelitian ini

memberikan informed consent secara tertulis. Dalam memberikan persetujuan

tersebut pasien sebelumnya telah diberitahu akan makna, manfaat dan

kemungkinan efek samping yang tidak menyenangkan yang mungkin bisa

terjadi.

3.10 Rencana Pengolahan dan Analisis Data

Analisa data dilakukan menggunakan software SPSS (Statistical Package

for Social Sciences, Chicago, IL, USA) Versi 17.0 untuk Windows. Analisa data

untuk menentukan Sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value, negative

(61)

Eksudat

(+) (-)

P-P (+) a b

(-) c d

Eksudat

(+) (-)

LDH-P (+) a b

(-) c d

Eksudat

(+) (-)

K-P (+) a b

(-) c d

Eksudat

(+) (-)

P-P + LDH-P (+) a b

Gambar

Gambar 2.1. Skema yang memperlihatkan proses sirkulasi normal cairan pleura. Terlihat bahwa
Gambar 2.2. effusion. New england journal medicine, vol 346, no 25.Algoritma evaluasi pasien dengan efusi pleura
Tabel 3.1. Definisi Operasional
Tabel 4.1. Karakteristik subyek penelitian
+4

Referensi

Dokumen terkait