KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT
UNTUK MEMPERTAHANKAN EMBARGO EKONOMI
TERHADAP KUBA PASCA NORMALISASI
HUBUNGAN KEDUA NEGARA
“United State’s Policy on Maintaining Economic Embargo on Cuba after Normalization of Relationship Between the Two Countries”
SKRIPSI
(Dikumpulkan Sebagai Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)
Disusun oleh : NIKEN LARASATI
20130510080
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
i
KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT
UNTUK MEMPERTAHANKAN EMBARGO EKONOMI
TERHADAP KUBA PASCA NORMALISASI
HUBUNGAN KEDUA NEGARA
“United State’s Policy on Maintaining Economic Embargo on Cuba after
Normalization of Relationship Between the Two Countries”
SKRIPSI
(Dikumpulkan Sebagai Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)
Disusun oleh : NIKEN LARASATI
20130510080
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
ii SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Saya yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : Niken Larasati
NIM : 20130510080
Judul Skripsi : Kebijakan Amerika Serikat untuk Mempertahankan
Embargo Ekonomi Terhadap Kuba Pasca Normalisasi Hubungan Kedua Negara
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi saya ini adalah asli dan belum pernah
diajukan untuk mendapatkan gelar akademik sarjana di Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta maupun di perguruan tinggi lainnya.
Dalam skripsi saya ini, tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan
sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama dan dicantumkan dalam
daftar pustaka.
Pernyataan ini saya buat dengan sungguh-sungguh dan apabila di kemudian
hari terdapat ketidaksesuaian dengan pernyataan ini, maka saya bersedia menerima
sanksi akademik sesuai dengan aturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.
Yogyakarta, 7 April 2017
iii Sebagai balasan untuk cinta dari
iv
“Tidak ada hasil yang mengkhianati usaha.”
v KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah saya ucapkan kehadirat Tuhan Semesta Alam,
Allah SWT yang telah melimpahkankan rahmat serta karunia-Nya sehingga saya
akhirnya dapat menyelesaikan penulisan skripsi berjudul “Kebijakan Amerika
Serikat untuk Mempertahankan Embargo Ekonomi terhadap Kuba Pasca Normalisasi Hubungan Kedua Negara” ini dengan lancar. Sholawat serta salam
semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun
kita menuju masa pencerahan.
Skripsi ini merupakan sebuah bentuk tanggung jawab yang saya ajukan
untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) dari
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Selain itu, penulisan skripsi ini juga menjadi sebuah upaya bagi diri saya pribadi
untuk dapat ikut aktif berkontribusi dalam perkembangan analisa ilmu hubungan
internasional, utamanya di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Proses penulisan skripsi ini, tentu tidak terlepas dari bantuan, bimbingan,
maupun dukungan yang berasal dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan
ketulusan hati saya hendak mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Sumber utama kekuatan saya sampai kapan pun, Mama dan Bapak, yang
telah mencurahkan seluruh cinta, kasih sayang, dan doa tulus yang tak
vi 2. Kedua saudara perempuan yang tidak pernah bisa terganti, Mbak Indri
dan Dek Esti, yang selalu ada untuk saya dalam keadaan suka maupun
duka.
3. Ibu Ratih Herningtyas, S.IP, M.A selaku dosen pembimbing skripsi
yang dengan sangat sabar memberikan bimbingan dan motivasi selama
proses penulisan skripsi ini.
4. Seluruh dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta yang telah berkenan memberikan ilmu
yang tidak ternilai harganya selama saya menempuh pendidikan di
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.
5. Sahabat-sahabat tercinta sumber kebahagiaan yang telah menjadi
pendamping dalam perjalanan yang panjang ini : Anang Wahid Efendi,
Irma Joanita, Siti Widyastuti Noor, Galuh Octania, Hikmawan Firdaus,
Uul Amalia, serta sahabat-sahabat lainnya yang tidak dapat saya
sebutkan satu per satu.
6. Keluarga besar KOMAHI UMY, terutama rekan-rekan X-CABENET
KHIDMAT, POWER of KOMAHI, dan keluarga Divisi Pengembangan
Wacana.
7. Nauval Andi Hakim, Elitasari Apriani, serta keluarga besar Debaters
UMY yang telah menjadi sahabat di medan juang serta telah
vii “out of the box but still feed the logical hunger” yang pada akhirnya
sangat membantu dalam proses penyusunan skripsi ini.
8. Keluarga 018 yang tidak pernah berhenti memberikan dukungan dan
motivasi meskipun harus terpisahkan oleh jarak.
9. Pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu-per-satu yang tentunya
turut memberikan kontribusi dukungan dalam kelancaran penulisan
skripsi ini.
Sebagai seorang manusia biasa, tentunya saya selaku penulis tidak bisa
menampik bahwa masih terdapat banyak sekali kekurangan dalam penyusunan
skripsi ini. Oleh karena itu dengan sangat terbuka, saya mengharapkan adanya kritik
dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak. Pada akhirnya, dengan
diselesaikannya penulisan skripsi ini, saya berharap bahwa apa yang menjadi
pembahasan dalam skripsi “Kebijakan Amerika Serikat untuk Mempertahankan
Embargo Ekonomi terhadap Kuba Pasca Normalisasi Hubungan Kedua Negara” dapat bermanfaat dan menjadi kontribusi dalam pengembangan ilmu
hubungan internasional.
Yogyakarta, 7 April 2017
Penulis
viii
1. Konsep Politik Luar Negeri...
ix G. Batasan Masalah...
H. Sistematika Penulisan...
Bab II Dinamika Hubungan Bilateral Amerika Serikat dengan Kuba sebelum Terjadinya Upaya Normalisasi... A. Sejarah Hubungan Amerika Serikat dengan Kuba...
1. Perang Spanyol – Amerika Serikat... 2. Platt Amendment : Momentum Penarikan Pasukan
Amerika Serikat dari Kuba...
3. Kedekatan Hubungan Amerika Serikat dengan Kuba..
B. Konfrontasi dalam Hubungan Bilateral Amerika Serikat
dengan Kuba...
1. Kedekatan Kuba dengan Uni Soviet...
2. Nasionalisasi Aset Amerika Serikat di Kuba...
a. Embargo Ekonomi Amerika Serikat...
b. Pelarangan Lalu Lintas Perjalanan dan Remitansi
3. Invasi Teluk Babi...
4. Krisis Misil Kuba...
Bab III Normalisasi Hubungan Bilateral Amerika Serikat dengan Kuba... A. Upaya Normalisasi Hubungan Bilateral Amerika Serikat
dengan Kuba...
1. Inisiasi Upaya Normalisasi...
x b. Era Presiden Barack Obama...
2. Proses Normalisasi...
a. Pertukaran Tawanan Amerika Serikat dengan
Kuba...
b. Penghapusan Kuba dari Daftar Negara Sponsor
Terorisme Internasional...
c. Pembukaan Kedutaan Besar...
B. Dinamika Hubungan Bilateral Amerika Serikat dengan
Kuba Pasca Upaya Normalisasi...
1. Pemberlakuan Kebijakan Lalu Lintas Perjalanan dan
Finansial...
2. Kerjasama Bilateral antara Amerika Serikat dengan
Kuba...
C. Status Embargo Ekonomi Pasca Upaya Normalisasi...
Bab IV Alasan yang Melatarbelakangi Keputusan Amerika Serikat Mempertahankan Embargo Ekonomi terhadap Kuba Pasca Upaya Normalisasi... A. Status Embargo Ekonomi Pasca Upaya Normalisasi : Dua
Perspektif Berbeda...
1. Perspektif Presiden Barack Obama...
a. Embargo Ekonomi Menjadi Barier Normalisasi
xi b. Ketifakefektifan Fungsi Embargo Ekonomi
Amerika Serikat terhadap Kuba...
2. Perspektif Kongres Amerika Serikat...
a. Kuba Belum Memenuhi Syarat Pencabutan
Embargo...
1. Adanya Perlindungan Hak Asasi Manusia dan
Pengimplementasian Demokrasi...
2. Memenuhi Klaim Aset Amerika Serikat...
b. Mencabut Embargo Dapat Membahayakan Posisi
Politik Amerika Serikat terhadap Kuba...
B. Posisi Kekuatan Komisi Hubungan Internasional Kongres
Amerika Serikat dalam Mempertahankan Embargo
Ekonomi...
1. Helms – Burton Act 1996 : Kekuatan Absolut Kongres
atas Ketetapan Embargo Ekonomi...
2. Pertimbangan Kuat Politisi Terhormat Komisi
Hubungan Internasional Kongres Amerika Serikat...
xii DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Daftar 20 Korporasi Amerika Serikat yang Menjadi Target
Normalisasi Kuba Normalisasi Hubungan Bilateral Amerika
Serikat dengan Kuba...
Tabel 2.2 Daftar Pelaksanaan Serangan Bom oleh Amerika Serikat di
Kuba... 34
xiii DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kenampakan Foto Situs Misil Uni Soviet di Kuba yang
Diambil oleh Pesawat U-2 Spy...
Gambar 3.1 Prosentase Dukungan Kongres terhadap Inisiasi Upaya
Normalisasi dengan Kuba...
Gambar 3.2 Prosentase Respon Masyarakat Amerika Serikat terhadap
Upaya Normalisasi...
Gambar 3.3 Prosentase Respon Masyarakat Amerika Serikat Terhadap
Proposal Pencabutan Embargo... 50
60
61
xiv DAFTAR BAGAN
Bagan 4.1 Proses Legislasi dalam Senat Amerika Serikat...
Bagan 4.2 Komponen Pemerintahan Amerika Serikat yang Terlibat dalam
Penentuan Kebijakan Embargo Pasca Normalisasi... 112
ABSTRAK
Keberadaan embargo ekonomi Amerika Serikat terhadap Kuba yang masih
bertahan pasca suksesnya upaya normalisasi hubungan bilateral kedua negara telah
menjadi sebuah fenomena anomali yang turut mewarnai dinamika hubungan di
antara Amerika Serikat dengan Kuba. Skripsi ini akan membahas tentang mengapa
Amerika Serikat memutuskan untuk tetap mempertahankan embargo ekonominya
meskipun upaya normalisasi hubungan bilateral kedua negara sukses berjalan
dengan signifikan. Penentuan kebijakan dipertahankannya embargo ekonomi pasca
normalisasi ini melibatkan adanya proses politik birokratik di antara Presiden
Barack Obama dan Komisi Hubungan Internasional Senat Amerika Serikat, di
mana hanya ada satu pihak yang pada akhirnya unggul dalam proses politik
birokratik tersebut dan dapat memproyeksikan pandangannya sebagai kebijakan
status embargo ekonomi pasca normalisasi.
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai dua negara yang secara geografis saling berdekatan, Amerika
Serikat dan Kuba tentu telah sedikit banyak menjalani dinamika hubungan bilateral.
Tercatat dalam sejarah bahwa Amerika Serikat adalah pihak yang mengambil alih
Kuba dari penjajahan Spanyol melalui Treaty of Parispada bulan Desember 1898.
Pada tanggal 20 Mei 1902, Amerika Serikat memutuskan untuk memberikan
kemerdekaan kepada Kuba dengan menarik pasukan militernya dari wilayah Kuba
(Central Intelligence Agency, 2016). Pemberian kemerdekaan kepada Kuba
tersebut dilakukan dengan syarat Kuba bersedia memberikan hak intervensi kepada
Amerika Serikat untuk ikut campur dalam urusan dalam negeri Kuba, sebagaimana
yang tercantum dalam the Platt Amendment poin III dan poin VII :
“III. That the government of Cuba consents that the United States may exercise the right to intervene for the preservation of Cuban independence, the maintenance of a government adequate for the protection of life, property, and individual liberty, and for discharging the obligations with the respect to Cuba imposed by the treaty of Paris on the United States, now to be assumed and undertaken by the government of Cuba.” (Ourdocument.gov, t.thn.)
“VII. That to enable the United States to maintain the independence of Cuba, and to protect the people thereof, as well as for its own defense, the government of Cuba will sell or lease to the United States lands necessary for coaling or naval stations at certain specified points to be agreed upon with the President of the United States.” (Ourdocument.gov, t.thn.)
Sejak disepakatinya perjanjian tersebut, Amerika Serikat dan Kuba menjadi
2 negara yang baru merdeka dari penjajahan Spanyol tersebut. Amerika Serikat sering
kali membantu Kuba untuk menghambat pergerakan pemberontakan di Kuba.
Amerika Serikat juga banyak menanamkan investasi-investasi dalam jumlah besar
untuk membantu perkembangan perekonomian Kuba (Suddath, 2009). Kedekatan
ini terjalin selama 57 tahun hingga pada periode kedua dari Fulgencio Batista. Akan
tetapi pasca meletusnya Revolusi Kuba dan naiknya Fidel Castro menjadi presiden
Kuba pada tahun 1959, Kuba justru menjadi lebih mendekatkan diri kepada Uni
Soviet yang dianggapnya sebagai saudara sesama komunis, baik di bidang politik,
sosial, maupun ekonomi. Kuba pun secara ekstrem melakukan nasionalisasi
terhadap korporasi Amerika Serikat di Kuba dan menaikkan pajak barang import
bagi Amerika Serikat (Council of Foreign Relations, t.thn.). Dengan beralihnya
keberpihakan Kuba ini, Amerika Serikat merasa adanya pengkhianatan atas
jasa-jasa yang telah diberikan Amerika Serikat untuk Kuba selama 57 tahun, terlebih
lagi ketika Amerika Serikat sudah menganggap Uni Soviet sebagai ancaman bagi
negaranya sejak lama. Tentu hal-hal tersebut menjadi pemicu bagi Amerika Serikat
untuk segera mengambil tindakan. Pada tahun 1960, Amerika Serikat mengambil
keputusan untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Kuba sebagai respon
dari beralihnya keberpihakan Kuba yang lebih condong ke Uni Soviet (BBC News,
2012). Selain pemutusan hubungan bilateral tersebut, Amerika Serikat juga mulai
memberlakukan embargo ekonomi terhadap Kuba. Embargo ekonomi terhadap
Kuba merupakan respon keras Amerika Serikat akan tindakan ekstrem Kuba yang
menasionalisasikan seluruh aset Amerika Serikat di Kuba. Embargo ekonomi ini
3 Amerika Serikat dengan Kuba dalam bentuk apapun, termasuk pada pelarangan
perjalanan (travel restriction) dari Amerika Serikat ke Kuba maupun sebaliknya
(Council of Foreign Relations, t.thn.). Embargo ekonomi Amerika Serikat terhadap
Kuba dicetuskan pertama kali oleh Presiden Eisenhower pada tahun 1960 dan
semakin diperketat di bawah rezim pemerintahan Presiden John F. Kennedy
tertanggal 7 Februari 1962 (Suddath, 2009).
Tentu tindakan pemutusan hubungan bilateral antara Amerika Serikat dan
Kuba serta dijatuhkannya embargo ekonomi terhadap Kuba mendatangkan
konsekuensi-konsekuensi tertentu. Sejak Amerika Serikat memutuskan untuk
mengisolasi Kuba, hubungan kedua negara yang telah lama terjalin dengan baik
berubah derastis menjadi sangat dingin. Embargo ekonomi juga menimbulkan
konsekuensi berupa tidak ada satupun komoditas dagang Amerika Serikat yang
masuk ke Kuba dan begitu pula sebaliknya. Hal ini kemudian berimbas pada
menurunnya pasokan bahan pangan dan obat-obatan ke Kuba yang mayoritas
sebelumnya disuplai oleh Amerika Serikat. Terjadi pula penurunan angka ekspor
gula Kuba akibat dari tidak bisa masuknya komoditas unggulan Kuba tersebut ke
Amerika Serikat. Perjalanan warga negara dari Amerika Serikat ke Kuba maupun
dari Kuba ke Amerika Serikat juga menjadi sangat ketat dan dibatasi.
Pasca diputusnya hubungan diplomatik kedua negara, Amerika Serikat dan
Kuba tak pernah lepas dari dinamika hubungan bilateral yang panas. Amerika
Serikat dan Kuba menggunakan Switzerland dan Cekoslovakia sebagai mediator
setiap kali kedua negara membutuhkan komunikasi (Suddath, 2009). Selain itu
4 Fidel Castro oleh Amerika Serikat di sepanjang tahun 1961 hingga 1963, dua di
antaranya adalah melalui invasi Teluk Babi dan operasi Mongoose (Suddath, 2009).
Situasi terpanas di antara kedua negara terjadi pada tahun 1962 ketika Amerika
Serikat mendapati Uni Soviet membangun pangkalan misil nuklir di Kuba.
Peristiwa tersebut kemudian dikenal dengan sebutan krisis misil Kuba. Pada tahun
1982, Amerika Serikat memasukkan Kuba ke dalam daftar negara sponsor
terorisme internasional setelah mengetahui Kuba terlibat dalam pemberontakan
sayap kiri di Amerika Latin. Terlepas dari panasnya hubungan bilateral ini, pada
tahun 2001 Amerika Serikat bersedia memberikan bantuan kemanusiaan kepada
korban badai Michelle di Kuba dengan mengirimkan suplai makanan dan
obat-obatan.
Setelah melewati 55 tahun yang penuh dengan situasi panas dalam
hubungan antara Amerika Serikat dengan Kuba, pada tanggal 17 Desember 2014
presiden Amerika Serikat, Barack Obama, mengumumkan bahwa akan ada rencana
untuk memperbaiki hubungan bilateral yang sebelumnya penuh dengan dilema
(Council of Foreign Relations, t.thn.). Pernyataan yang sama disampaikan pula oleh
presiden Kuba saat ini, Raul Castro, yang merupakan adik dari revolusioner Fidel
Castro. Hal tersebut kemudian dibuktikan dengan pertemuan Barack Obama dan
Raul Castro pada bulan April 2015 yang menjadi pertemuan perdana bagi kedua
negara pasca 55 tahun lamanya pemutusan hubungan diplomatik (Time, t.thn.).
Normalisasi hubungan antara Amerika Serikat dengan Kuba ini dipelopori dan
dijembatani oleh pemimpin agama Katholik dunia, yaitu Pope Francis dari Vatikan.
5 berbagai kesepakatan antar kedua negara. Amerika Serikat dan Kuba sepakat untuk
melakukan prisoner swap di mana Amerika Serikat dan Kuba sama-sama
melepaskan tawanan politik mereka. Amerika Serikat bersedia untuk melakukan
perbaikan kebijakan remitansi, perjalanan antarnegara, dan jaringan perbankan
antar kedua negara. Amerika Serikat juga pada akhirnya bersedia untuk menghapus
Kuba dari daftar negara sponsor terorisme. Pada tanggal 20 Juli 2015 akhirnya
kedua negara membuka kedutaan besar di masing-masing ibukota, yakni
Washington DC dan Havana, sebagai penanda akan pemulihan hubungan
diplomatik kedua negara secara penuh (Diamond, 2015).
Walaupun upaya normalisasi hubungan bilateral antara Amerika Serikat dan
Kuba telah berjalan, akan tetapi pemulihan hubungan diplomatik tersebut tidak
diikuti dengan pencabutan embargo ekonomi terhadap Kuba oleh Amerika Serikat.
Secara logika, ketika normalisasi hubungan antara Amerika Serikat dengan Kuba
berlangsung, embargo ekonomi terhadap Kuba juga sesegera mungkin dicabut.
Terlebih lagi dengan melihat fakta bahwa Kuba tidak akan melakukan normalisasi
hubungan bilateralnya dengan Amerika Serikat secara penuh tanpa adanya
pencabutan embargo ekonomi, sebagaimana yang dinyatakan oleh Presiden Kuba
melalui Menteri Luar Negeri Kuba berikut ini :
"Embargo that has caused damages and hardships to the Cuban people and affects the interests of American citizens must be lifted and the territory occupied by the U.S. naval base in Guantanamo should be returned to Cuba," - Bruno Rodríguez Parilla, Cuban Foreign Affairs Minister” (Abdullah, 2015)
Dengan pasang surutnya dinamika normalisasi tersebut, hingga di akhir
6 Amerika Serikat terhadap Kuba berakhir menjadi sebuah wacana belaka. Sehingga
hal ini menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut guna mengetahui penyebab
mengapa Amerika Serikat tidak mencabut embargo ekonominya terhadap Kuba.
B. Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk menjawab alasan mengapa Amerika Serikat
mengambil kebijakan politik luar negeri untuk tetap memberlakukan embargo
ekonomi terhadap Kuba pasca berjalannya normalisasi hubungan kedua negara.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dari penulisan skripsi ini, maka rumusan
masalah yang muncul adalah : “Mengapa Amerika Serikat tetap memberlakukan
embargo terhadap Kuba pasca terjadinya upaya normalisasi hubungan antara kedua
negara?”
D. Kerangka Pemikiran
Agar bisa menjawab rumusan masalah secara lebih mendalam, maka
penulisan skripsi ini akan menggunakan dua jenis konsep, yaitu konsep politik luar
negeri dan konsep kepentingan nasional, serta menggunakan satu jenis model,
yakni model aktor rasional.
1. Konsep Politik Luar Negeri
7 “Foreign policy is a startegy or planned course of action developed by the decision makers of a state vis à vis other state or international entities aimed at achieving specific goals defined in terms of national interest.” (Plano & Olton, 1969, hal. 127)
Politik luar negeri dipandang sebagai sebuah strategi yang disusun
oleh pembuat kebijakan yang ditujukan untuk mencapai tujuan tertentu
dalam bentuk kepentingan nasional negara yang bersangkutan.
Pernyataan tersebut kemudian dilengkapi oleh Charles W. Kegley yang
menyatakan bahwa politik luar negeri adalah tujuan-tujuan luar negeri
yang ingin dicapai oleh pemerintah suatu negara dengan memperhatikan
nilai-nilai yang melandasi tujuan-tujuan tersebut dan instrumen yang
digunakan untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan (Kegley &
Wittkopf, 2001, hal. 55). Politik luar negeri berbicara pula tentang suatu
sistem dalam pemerintahan suatu negara untuk mempengaruhi sikap
negara lain. Selain itu politik luar negeri juga ditujukan untuk bisa
melindungi kepentingan nasional suatu negara (Roy, 1984, hal. 26).
Menurut Morgenthau, kepentingan nasional adalah aspek yang rentan
akan kesalahpahaman. Politik luar negeri inilah yang bertugas untuk
melindungi dan mempertahankan kepentingan nasional suatu negara
ketika ternyata kepentingan nasional tersebut berbenturan dengan
kepentingan nasional negara lain (Mas'oed, 1988, hal. 134).
Politik luar negeri pada dasarnya terdiri dari beberapa
komponen, antara lain (Dinesh, Foreign Policy : 16 Elements of Foreign
8 a. Seperangkap prinsip kebijakan yang digunakan oleh negara
yang bersangkutan untuk melaksanakan hubungan
internasionalnya.
b. Tujuan dari kepentingan nasional yang hendak dicapai
maupun dilindungi.
c. Sarana ataupun alat yang digunakan untuk mencapai tujuan
kepentingan nasional yang hendak dicapai.
Sejak terjadinya pembekuan hubungan bilateral antara kedua
negara, Amerika Serikat mulai menerapkan politik luar negeri
isolasionis untuk menekan Kuba. Politik luar negeri isonalionis terhadap
Kuba ini berlangsung selama 55 tahun hingga akhirnya Amerika Serikat
mulai mengevaluasi kembali efektifitas politik luar negerinya terhadap
Kuba. Amerika Serikat berkeinginan bahwa negara-negara tetangga
adalah negara yang menganut semangat yang sama dengannya, yaitu
semangat demokrasi. Pada titik ini Amerika Serikat melihat bahwa
politik luar negeri isolasionis yang selama ini mereka jalankan terhadap
Kuba sudah tidak lagi efektif untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
Situasi menjadi semakin problematik ketika rakyat Kuba menjadi
korban dari rezim pemerintahan komunis Kuba. Dengan melihat situasi
terkini di Kuba, Amerika Serikat menilai bahwa mereka memerlukan
lebih banyak akses masuk ke Kuba yang selama ini terhalang oleh
politik luar negeri isolasionis mereka sendiri. Akhirnya Amerika Serikat
9 melakukan normalisasi hubungan bilateral kedua negara dan membuka
kembali hubungan diplomatiknya dengan Kuba sebagai kebijakan
politik luar negerinya yang baru (Malinowski, 2015). Politik luar negeri
Amerika Serikat yang mengambil keputusan untuk membuka peluang
normalisasi hubungan bilateralnya dengan Kuba adalah sebuah bentuk
strategi politik yang dalam jangka pendeknya bertujuan untuk
memperoleh lebih banyak akses masuk ke Kuba. Upaya normalisasi ini
akan menjadi langkah pertama yang diambil oleh Amerika Serikat untuk
mencapai tujuan jangka panjangnya, yaitu terwujudnya semangat
demokrasi di Kuba.
2. Konsep Kepentingan Nasional
Dikutip oleh Dinesh, Hans J. Morgenthau mencoba untuk
menjelaskan bahwa, “The meaning of national interest is survival—the
protection of physical, political and cultural identity against
encroachments by other nation-states” (Dinesh, National Interest :
Meaning, Components, Methods). Dari kutipan di ini, Morgenthau
mengartikan kepentingan nasional sebagai sebuah upaya untuk
mempertahankan identitas suatu negara dari ancaman negara-negara lain.
Identititas tersebut kemudian menjadi tujuan-tujuan fundamental yang
ingin dicapai oleh suatu negara dan tujuan fundamental ini berperan
sebagai determinan utama untuk membentuk kebijakan politik luar
10 digunakan untuk menjelaskan perilaku suatu negara dalam politik
internasional dan sebagai parameter kesuksesan politik luar negeri negara
tersebut (Mas'oed, 1988, hal. 135). Kepentingan nasional juga kerap kali
berfungsi sebagai legitimasi dari sikap yang diambil oleh kebijakan luar
negeri suatu negara (Burchill, 2005, hal. 3).
Mohtar Mas’oed dalam bukunya yang berjudul “Teori dan Metodologi Hubungan Internasional” menjelaskan melalui pernyataan
Joseph Frankel tentang klasifikasi kepentingan nasional yang terdiri
dari tiga kategori (Mas'oed, 1988, hal. 141-143), yaitu :
a. Kepentingan nasional aspirasional
Kepentingan nasional aspirasional adalah kepentingan
nasional yang berisikan tujuan-tujuan yang hendak dicapai.
Kepentingan nasional aspirasional ini tidak secara konkrit
diimplementasikan ke dalam kebijakan politik luar negeri
suatu negara karena bersifat sebatas aspirasional saja.
b. Kepentingan nasional operasional
Kepentingan nasional operasional merupakan kepentingan
nasional yang secara konkrit diwujudkan dan dipraktikkan
secara nyata melalui kebijakan politik luar negeri suatu
negara.
c. Kepentingan nasional eksplanatori
Kepentingan nasional eksplanatori pada dasarnya merupakan
11 mengevaluasi politik luar negeri suatu negara sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya.
Sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, Amerika Serikat
tentu memiliki kepentingan nasional yang hendak dicapai. Dari sekian
banyak kepentingan nasional yang dicita-citakan tersebut, dua di
antaranya adalah untuk menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia
dan menyebarluaskan paham demokrasi sebagaimana yang
disampaikan dalam pidato Barack Obama pada tanggal 28 Mei 2014 di
West Point Military Academy tentang kebijakan luar negeri Amerika
Serikat :
“...Which brings me to the fourth and final element of American leadership: our willingness to act on behalf of human dignity. America’s support for democracy and human rights goes beyond idealism – it’s a matter of national security. Democracies are our closest friends, and are far less likely to go to war...” (The White House, 2014)
Hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi telah menjadi
bagian dari identitas Amerika Serikat yang senantiasa dipupuk ke
dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Cita-cita
Amerika Serikat untuk memperkuat nilai-nilai hak asasi manusia dan
demokrasi tersebut kemudian tumbuh menjadi kepentingan nasional
untuk menyebarkan nilai-nilai hak asasi manusia dan demokrasi secara
global.
Hari ini, kepentingan nasional tersebut dikedepankan dengan
melihat perkembangan dinamika di sekitar Amerika Serikat. Amerika
12 pada kekuasaan rezim pemerintahan otoriter yang membatasi hak-hak
asasi individu warga negara Kuba. Amerika Serikat pun melihat bahwa
sudah ada pergolakan internal dalam masyarakat Kuba yang menuntut
pemerintahnya untuk memperbaiki mutu hak asasi manusia dan
demokrasi di Kuba (Malinowski, 2015). Berangkat dari hal tersebut,
kepentingan nasional Amerika Serikat akan perlindungan hak asasi
manusia dan pengimplementasian nilai-nilai demokrasi telah menjadi
kepentingan nasional eksplanatori yang berfungsi sebagai acuan dalam
penetapan rencana normalisasi hubungan bilateral dengan Kuba dan
menjadi sebuah tolak ukur dalam mengevaluasi kebijakan embargo
ekonomi Amerika Serikat pasca ditetapkannya normalisasi.
3. Model Politik Birokratik
Model politik birokratik ini dikemukakan oleh Graham T.
Allison dalam tiga model pembuatan kebijakan. Dalam tulisannya yang
berjudul “Bureaucratic Politics : A Paradigm and Some Policy Implications”, Graham T. Allison menjelaskan :
“What government does in any particular instance can be understood largely as a result of bargaining among players positioned hierarchically in the government...Players make governmental decisions not by a single rational choice, but by pulling and hauling.” (Allison & Morton H. Halperin, 1952, hal. 159)
Model politik birokratik yang dikemukakan oleh Graham T.
Allison ini tidak melihat pemerintahan sebuah negara sebagai aktor
13 sebuah proses pembuatan kebijakan politik luar negeri (Allison, 1971,
hal. 361). Pemerintah sebuah negara dipandang sebagai sebuah
organisasi raksasa yang terdiri dari berbagai sub-organisasi dengan
berbagai komponen yang berbeda di dalamnya. Model politik
birokratis meletakkan fokusnya pada bagaimana kemudian berbagai
komponen dalam pemerintahan tersebut menjalankan proses birokrasi
dalam pengambilan sebuah keputusan, sebagaimana Max Weber
mengungkapkan bahwa sesungguhnya yang menjalankan sebuah
negara adalah proses birokrasi dari negara itu sendiri, bagaimana
negara tersebut menjalankan hidupnya melalui kegiatan interaksi
dalam pemerintahan (Dougherty & Robert L. Pfaltzgraff Jr, 1990, hal.
471). Berbagai komponen ini melakukan interaksi satu sama lain untuk
menjalankan sistem politik dalam negaranya. Itulah mengapa proses
pembuatan kebijakan politik luar negeri adalah sebuah proses sosial
dan politik (Mas’oed, 1990, hal. 236).
Dengan adanya komponen-komponen berbeda dalam
pemerintahan, setiap kebijakan politik luar negeri suatu negara
bukanlah hasil dari satu keputusan bulat yang diambil berdasarkan pada
satu perspektif rasionalitas. Kebijakan politik luar negeri merupakan
hasil dari proses tawar menawar yang dilakukan oleh
komponen-komponen pemerintahan yang berbeda tersebut (Allison & Morton H.
14 melibatkan tiga pertanyaan dasar dalam analisasinya, yaitu (Allison &
Morton H. Halperin, 1952, hal. 237) :
a. Siapa yang ikut terlibat dalam proses tawar-menawar
pembuatan kebijakan politik luar negeri?
b. Apa perspektif masing-masing pihak yang berbeda dan apa
yang melatarbelakangi perspektif tersebut?
c. Bagaimana akhirnya dapat dicapai satu keputusan akhir
sebagai sebuah kebijakan dari berbagai perspektif yang
berbeda-beda?
Kebijakan politik luar negeri bukanlah sebuah perkara yang
sederhana. Seringkali kebijakan politik luar negeri ini memancing
perbedaan pandangan dari masing-masing komponen pemerintah yang
terlibat dalam proses pembuatan kebijakan (Allison, Conceptual
Models and the Cuban Missile Crisis, 1971, hal. 361). Dari
perbedaan-perbedaan pandangan tersebut, muncul rekomendasi kebijakan politik
luar negeri yang berbeda-beda pula. Satu aktor dalam birokrasi
pemerintah bisa saja mengusulkan bentuk kebijakan yang berbeda
dengan aktor birokrasi pemerintah lainnya. Perbedaan pandangan dan
rekomendasi kebijakan tersebut dilatarbelakangi oleh kepentingan dari
masing-masing pihak yang tentu berbeda-beda pula (Dougherty &
Robert L. Pfaltzgraff Jr, 1990, hal. 477). Meskipun muncul perbedaan
pandangan, akan tetapi pada dasarnya masing-masing pihak yang
15 rekomendasi kebijakan yang terbaik untuk kemudian diadaptasi
sebagai kebijakan politik luar negeri negara yang bersangkutan.
Untuk kemudian dapat menghasilkan sebuah keputusan akhir,
masing-masing pihak akan berusaha untuk berkompromi satu sama lain
guna membuktikan kekuatan pendapatnya. Proses kompromi kebijakan
ini sering kali dipengaruhi oleh bargaining position atau daya tawar dari masing-masing pihak. Kekuatan daya tawar dari masing-masing
pihak yang terlibatlah yang kemudian menentukan tendensi hasil akhir
keputusan yang akan diambil. Dalam sebuah persaingan yang
melibatkan daya tawar dari masing-masing pihak, tentu terdapat satu
pihak yang memiliki daya tawar lebih besar dibandingan dengan
pihak-pihak lainnya (Dougherty & Robert L. Pfaltzgraff Jr, 1990, hal. 523).
Semakin besar daya tawar suatu pihak dibandingkan dengan pihak
lainnya, maka semakin besar pula kesempatan bagi pendapat pihak
tersebut untuk bisa memenangkan tawar-menawar dalam proses
pembuatan kebijakan politik luar negeri.
Meskipun model politik birokratik ini menggambarkan adanya
persaingan di dalam pemerintahan suatu negara, akan tetapi
sesungguhnya model politik birokratik berusaha menegaskan bahwa
melalui proses persaingan dan tawar-menawar antar komponen
birokratik pemerintahan tersebut sebuah negara dapat menjalankan
16 negara tersebut dapat mengorganisir perbedaan pendapat dengan
bijaksana (Dougherty & Robert L. Pfaltzgraff Jr, 1990, hal. 472).
Amerika Serikat menjalankan strategi politik luar negeri untuk
mencapai kepentingan nasionalnya, yaitu mempengaruhi Kuba guna
memperbaiki perlindungan hak asasi manusia dan pengimplementasian
nilai-nilai demokrasi. Setelah mendapatkan lebih banyak akses masuk
ke Kuba melalui upaya normalisasi sebagai langkah pertama, kini
Amerika Serikat membutuhkan langkah kedua sebagai langkah
lanjutan pasca upaya normalisasi. Langkah kedua tersebut diwujudkan
Amerika Serikat melalui kebijakan status embargo ekonominya
terhadap Kuba. Lantas status embargo ekonomi yang seperti apakah
yang dapat memaksimalkan hasil strategi politik luar negeri Amerika
Serikat terhadap Kuba untuk dapat mencapai kepentingan nasional
Amerika Serikat? Apakah Amerika Serikat harus tetap
mempertahankan embargo ekonominya atau justru Amerika Serikat
harus mencabut embargo ekonomi tersebut?
Dalam proses pembuatan kebijakan politik luar negeri terkait
dengan embargo ekonomi Amerika Serikat, terdapat dua badan
pemerintahan Amerika Serikat yang terlibat, yaitu presiden Amerika
Serikat sebagai badan eksekutif dan Kongres Amerika Serikat sebagai
badan legislatif. Sebagai negara dengan sistem perwakilan bikameral,
Kongres Amerika Serikat terdiri dari House of Representative dan
17 Serikat, terdapat Komisi Hubungan Internasional yang bertugas di
urusan luar negeri Amerika Serikat. Baik Presiden Barack Obama
maupun Komisi Hubungan Internasional Senat Amerika Serikat
memiliki pandangan yang berbeda dalam hal status embargo ekonomi
pasca upaya normalisasi. Presiden Barack Obama berpendapat bahwa
untuk bisa mempengaruhi Kuba guna memperbaiki perlindungan hak
asasi manusia dan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi,
Amerika Serikat harus segera mencabut embargo ekonominya terhadap
Kuba. Di lain pihak, Komisi Hubungan Internasional Senat Amerika
Serikat menilai bahwa kepentingan nasional Amerika Serikat di Kuba
hanya akan tercapai jika Amerika Serikat tetap mempertahankan
embargo ekonominya.
Dengan adanya perbedaan perspektif tersebut, sebagai aktor
politik birokratik, Presiden Obama dan Komisi Hubungan
Internasional Senat Amerika Serikat terlibat dalam kompromi
kebijakan satu sama lain untuk membuktikan pilihan kebijakan
manakah yang lebih baik untuk kemudian diadaptasi sebagai kebijakan
politik luar negeri Amerika Serikat pasca upaya normalisasi.
Kompromi kebijakan ini dipengaruhi posisi daya tawar dari kedua
belah pihak. Dalam status quo saat ini, Komisi Hubungan Internasional Senat Amerika Serikat cenderung memiliki daya tawar yang lebih besar
apabila dibandingkan dengan daya tawar Presiden Obama. Berdasarkan
18 diusulkan oleh Komisi Hubungan Internasional Senat Amerika Serikat
untuk tetap mempertahankan embargo ekonominya terhadap Kuba
muncul sebagai rekomendasi yang kemudian diadaptasi menjadi
kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat untuk mencapai
kepentingan nasional Amerika Serikat atas hak asasi manusia dan
demokrasi di Kuba.
E. Hipotesa
Berdasarkan latar belakang masalah dan kerangka pemikiran yang telah
dijelaskan sebelumnya, maka hipotesa atas jawaban dari rumusan masalah yang
diajukan adalah Amerika Serikat mengambil kebijakan untuk tetap
mempertahankan embargo ekonomi terhadap Kuba pasca normalisasi hubungan
bilateral kedua negara karena Komisi Hubungan Internasional Senat Amerika
Serikat berhasil unggul dalam kompromi kebijakan melawan Presiden Obama
untuk tetap mempertahankan embargo ekonomi guna mencapai kepentingan
nasional Amerika Serikat atas perlindungan hak asasi manusia dan demokrasi di
Kuba.
F. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
metode kualitatif guna melakukan pembahasan secara mendalam dan menyeluruh.
Selain menggunakan metode kualitatif sebagai metode penulisan, skripsi ini juga
19 1. Library Research
Pengumpulan data pendukung yang berasal dari buku maupun jurnal
yang sekiranya dapat memperkuat penjelasan masalah.
2. Media Research
Pengumpulan data tambahan melalui berita di media cetak maupun
berita di internet yang dapat mendukung penjelasan yang dipaparkan.
3. Analisa Data
Proses penganalisaan seluruh data yang telah dikumpulkan guna
disesuaikan kecocokannya dengan permasalahan yang akan dibahas
untuk kemudian disusun sebagai suatu penjelasan yang utuh.
G. Batasan Masalah
Agar pembahasan masalah mengenai “Kebijakan Amerika Serikat untuk Tetap Mempertahankan Embargo Ekonomi terhadap Kuba pasca Normalisasi Hubungan Kedua Negara” tidak terlalu luas, maka pembahasan topik
permasalahan ini dibatasi pada fakta yang terjadi dalam jangka waktu 2015 - 2016.
H. Sistematika Penulisan
Pembahasan topik skripsi ini dituangkan ke dalam beberapa bab yang terdiri
dari :
Bab 1 : Bab ini memaparkan tentang latar belakang masalah yang menjadi
fokus perhatian, tujuan penulisan skripsi ini, rumusan masalah
20 menjawab rumusan masalah yang diajukan, dan praduga awal
mengenai jawaban dari rumusan masalah yang ada. Selain itu, bab
1 juga memaparkan mengenai metode yang digunakan dalam
penulisan skripsi ini, pembatasan masalah, dan pengorganisasian
materi penulisan skripsi.
Bab 2 : Bab 2 menjelaskan tentang dinamika hubungan bilateral antara
Amerika Serikat dan Kuba sebelum terjadinya normalisasi
hubungan kedua negara .
Bab 3 : Bab 3 akan memaparkan tentang proses normalisasi hubungan
bilateral Amerika Serikat dengan Kuba dan dinamikasi hubungan
bilateral kedua negara pasca terjadinya upaya normalisasi.
Bab 4 : Dalam bab ini akan dibahas mengenai alasan-alasan diputuskannya
kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat untuk tetap
mempertahankan embargo ekonominya terhadap Kuba walaupun
upaya normalisasi hubungan kedua negara berhasil mengalami
progres yang signifikan.
Bab 5 : Bab 5 akan menyajikan kesimpulan akhir dari pembahasan
21 BAB II
DINAMIKA HUBUNGAN BILATERAL AMERIKA SERIKAT DENGAN KUBA SEBELUM TERJADINYA UPAYA NORMALISASI
Amerika Serikat dan Kuba sejatinya merupakan dua negara yang memiliki
sejarah hubungan bilateral cukup panjang. Hubungan bilateral antara Amerika
Serikat dengan Kuba telah terjalin sejak akhir abad ke-19. Sebagai negara yang
secara geografis sangatlah berdekatan, sudah secara otomatis kedua negara ini akan
terlibat dalam dinamika hubungan bilateral, baik itu dinamika hubungan bilateral
yang terjalin hangat dan kooperatif maupun dinamika hubungan bilateral yang
dipenuhi dengan panasnya konflik kedua negara.
Bab ini nantinya akan membahas mengenai bagaimana sejarah perjalanan
hubungan Amerika Serikat dengan Kuba sejak pertama kali Kuba diambil alih dari
penjajahan Spanyol. Kedekatan bilateral kedua negara yang sempat terjalin serta
peristiwa-peristiwa konfrontasi antara Amerika Serikat dengan Kuba turut menjadi
poin-poin penting dalam dinamika hubungan bilateral kedua negara sebelum
terjadinya upaya normalisasi di tahun 2014.
A. Sejarah Hubungan Amerika Serikat dengan Kuba
Sejarah hubungan antara Amerika Serikat dengan Kuba dapat dilihat
dari tiga peristiwa besar yang mencerminkan tiga karakteristik hubungan kedua
negara di awal perjalanan sejarahnya. Ketiga peristiwa besar tersebut terdiri
22 mula dari hubungan Amerika Serikat dengan Kuba; peristiwa penarikan
pasukan Amerika Serikat dari wilayah Kuba melalui Platt Amendment yang
menjadi gambaran karakteristik usaha Amerika Serikat untuk menjalin
hubungan yang baik dengan Kuba; serta peristiwa kedekatan antara Amerika
Serikat dengan Kuba itu sebagai cerminan kehangatan hubungan bilateral
kedua negara.
1. Perang Spanyol – Amerika Serikat
Perjalanan dinamika hubungan bilateral Amerika Serikat dengan
Kuba dimulai sejak 118 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1898 di mana
Amerika Serikat harus berhadapan melawan Spanyol yang menduduki
wilayah Karibia, termasuk menguasai wilayah Kuba pada saat itu. Perang
Spanyol – Amerika Serikat pada awalnya merupakan perang kemerdekaan
bagi masyarakat Kuba dan Amerika Serikat sendiri tidak memiliki sangkut
paut khusus dalam perang kemerdekaan tersebut. Amerika Serikat mulai
bereaksi ketika salah satu kapal milik Amerika Serikat, yaitu USS Maine
ditenggelamkan tanpa sebab oleh pasukan Spanyol pada tanggal 15
Februari 1898 di pelabuhan Havana (History, t.thn.). USS Maine
merupakan kapal Amerika Serikat yang berangkat ke Kuba dengan misi
memastikan perlindungan bagi warga negara Amerika Serikat di Kuba
selama konflik Kuba – Spanyol berlangsung serta bertugas menjaga aset
23 tersebut memakan korban jiwa sebanyak 266 orang dari total 345 awak
kapal USS Maine (Eye Witness to History, t.thn.).
Peristiwa tersebut memancing amarah Amerika Serikat yang
merasa menjadi korban tidak bersalah. Maka dari itu sebagai respon
terhadap penenggelaman kapal USS Maine oleh pasukan Spanyol,
Amerika Serikat menyatakan dukungannya terhadap kemerdekaan Kuba
dan ikut mendesak Spanyol agar segera meninggalkan wilayah Kuba
(History, t.thn.). Melihat hal ini, Spanyol akhirnya mengeluarkan
pernyataan perang melawan Amerika Serikat pada tanggal 24 Februari
1898 dan pernyataan perang tersebut disambut dengan pernyataan siaga
perang dari Amerika Serikat pada tanggal 25 Februari 1898 (History,
t.thn.). Keputusan Amerika Serikat untuk ikut berjuang dengan masyarakat
Kuba dan menyatakan perang melawan Spanyol ini didasari dengan
semangat Doktrin Monroe melalui pernyataan yang disampaikan oleh
Presiden Monroe, “The American continents...are henceforth not be
considered as subjects for future colonialization by any European power.”
(History, t.thn.). Doktrin Monroe merupakan bentuk peringatan Amerika
Serikat terhadap negara-negara Eropa bahwa Amerika Serikat tidak akan
menoleransi kolonialisasi dan pembentukan negara boneka yang
dilakukan oleh negara imperialis Eropa di kawasan Amerika
(Ourdocuments.gov, t.thn.). Doktrin Monroe menjadi garis besar orientasi
kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat pada masa pemerintahan
24 oleh Presiden William McKinley untuk menyatakan perang melawan
Spanyol di wilayah Kuba.
Dalam perang melawan Spanyol, Amerika Serikat mengirimkan
17.000 tentaranya ke Kuba (Brenner, 1988, hal. 7). Perang antara Amerika
Serikat dengan Spanyol berakhir dengan pengambilan alih wilayah Kuba,
Puerto Rico, dan Guam oleh Amerika Serikat (Suddath, 2009).
Pemindahan kekuasaan atas wilayah tersebut disepakati melalui Treaty of
Paris yang ditandatangani pada tanggal 10 Desember 1898 (History ,
t.thn.). Sejak saat itu, Amerika Serikat secara aktif menduduki
wilayah-wilayah yang telah diserahkan oleh Spanyol, salah satunya adalah wilayah-wilayah
Kuba yang notabene hanya berjarak 144,8 km dari pantai Florida, Amerika
Serikat (Suddath, 2009). Peristiwa perang Spanyol – Amerika Serikat ini
kemudian menjadi penanda dari awal mula sejarah hubungan Amerika
Serikat dengan Kuba.
2. Platt Amendment : Momentum Penarikan Pasukan Amerika Serikat dari Kuba
Titik sejarah hubungan Amerika Serikat dengan Kuba dilanjutkan
dengan upaya Amerika Serikat untuk bisa menjalin hubungan bilateral
yang lebih baik dengan Kuba pasca selesainya perang Spanyol – Amerika
Serikat. Setelah 4 tahun masa pendudukan Amerika Serikat di Kuba, pada
tanggal 22 May 1903, Amerika Serikat menandatangani PlattAmendment
25 Amerika Serikat dari wilayah Kuba. Ditariknya pasukan militer Amerika
Serikat dari wilayah Kuba ini menandakan kemerdekaan Kuba sebagai
sebuah negara. Platt Amendment tersebut diajukan oleh senator dari
wilayah Connecticut, Senator Oliver Platt, pada bulan Februari 1901
(Library of Congress, 2011).
Selain sebagai dokumen penarikan pasukan militer Amerika
Serikat dan pemberian kemerdekaan kepada Kuba, Platt Amendment juga
berfungsi sebagai perjanjian yang berbicara mengenai bagaimana
hubungan bilateral antara Amerika Serikat dengan Kuba akan
dilaksanakan pasca Kuba dinyatakan sebagai negara merdeka. Platt
Amendment inilah yang menjadi tonggak hubungan bilateral yang
signifikan antara Amerika Serikat dengan Kuba. Walaupun Kuba
dinyatakan merdeka pasca penarikan pasukan militer Amerika Serikat,
Platt Amendment yang kemudian diadopsi menjadi bagian dalam
konstitusi Kuba ini mengatur bahwa Kuba Amerika Serikat memiliki hak
intervensi terhadap urusan dalam negeri Kuba. Secara garis besarnya, Platt
Amendment menggarisbawahi tiga poin penting tentang (Encyclopaedia
Britannica, t.thn.) :
1. Kuba tidak akan memindah-kuasakan wilayah Kuba ke pihak
selain Amerika Serikat. Hal ini diatur dalam Platt Amendment
poin I yang berbunyi :
26 permit any foreign power or power to obtain by colonization or for military or naval purpose or otherwise, lodgement in oor control over any portion of said island.” (Ourdocuments.gov, t.thn.)
2. Amerika Serikat diperbolehkan untuk mengintervensi Kuba
demi menjaga kemerdekaan Kuba. Kesepakatan ini diatur dalam
Platt Amendment pada poin III :
“III. That the government of Cuba consents that the United States may exercise the right to intervene for the preservation of Cuban independence, the maintenance of a government adequate for the protection of life, property, and individual liberty, and for discharging the obligations with the respect to Cuba imposed by the treaty of Paris on the United States, now to be assumed and undertaken by the government of Cuba.” (Ourdocuments.gov, t.thn.)
3. Amerika Serikat diperbolehkan untuk menyewa maupun
membeli tanah di wilayah Kuba dengan tujuan untuk
membangun pangkalan angkatan laut dan pos-pos batu bara.
Dalam hal ini kemudian diatur lebih lanjut bahwa hak pangkalan
angkatan laut di Guantanamo Bay diserahkan kepada Amerika
Serikat (Ourdocuments.gov, t.thn.). Hal ini tercantum dalam
Platt Amendment poin VII yang berbunyi :
“VII. That to enable the United States to maintain the independence of Cuba, and to protect the people thereof, as well as for its own defense, the government of Cuba will sell or lease to the United States lands necessary for coaling or naval stations atcertain specified points to be agreed upon with the President of the United States.” (Ourdocuments.gov, t.thn.)
Platt Amendment ini muncul sebagai bentuk lain dari komitmen
27 dikeluarkan Amerika Serikat di masa perang melawan Spanyol pada tahun
1898 (Library of Congress, 2011). Dalam Teller Amendment tersebut
dimuat janji Amerika Serikat untuk tidak menyentuh dan menduduki Kuba
pada masa perang (The Oxford Companion to American Military History
, 2000). Akan tetapi pasca Amerika Serikat berhasil memenangkan perang
melawan Spanyol, muncul inisiasi Amerika Serikat untuk melakukan
intervensi secara aktif di wilayah Kuba dengan mengeluarkan amendment
baru. Hal ini dilakukan karena Amerika Serikat menilai bahwa akan lebih
baik nantinya jika Kuba yang notabene baru saja merdeka dapat
memperoleh pendampingan melalui hak intervensi yang dimiliki oleh
Amerika Serikat. Selain itu Amerika Serikat juga berusaha untuk
memastikan bahwa Kuba dapat membentuk pemerintahan yang bersahabat
dan sesuai dengan kepentingan Amerika Serikat, yaitu pemerintahan yang
mengaplikasikan nilai-nilai demokrasi dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia (Skidmore & Smith, 1989, hal. 250). Maka dengan kata lain Platt
Amendment yang lahir sebagai bentuk pembaharuan dari Teller
Amendment ini menandakan bahwa Amerika Serikat tidak serta merta
membiarkan Kuba bertindak begitu saja pasca ditariknya seluruh pasukan
militer Amerika Serikat di Kuba.
Pada tanggal 29 Mei 1934, ketentuan-ketentuan Platt Amendment,
kecuali ketentuan atas Guantanamo Bay, akhirnya dicabut dengan
berdasarkan pada kebijakan politik luar negeri good neighbor di masa
28 t.thn.). Good neighbor policy merupakan kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat yang berusaha untuk mengurangi tingkat intervensi
militer dan berupaya untuk meningkatkan hubungan baik dengan
negara-negara tetangga (Brenner, 1988, hal. 9). Pasca dicabutnya ketentuan Platt
Amendment tersebut, Amerika Serikat sempat mengesampingkan haknya
untuk mengintervensi urusan dalam negeri Kuba (BBC News, 2012).
Namun, semangat intervensi Amerika Serikat terhadap Kuba kembali ke
permukaan walaupun memang tidak lebih eksplisit jika dibandingkan
dengan masa ketika Platt Amendment diberlakukan.
3. Kedekatan Hubungan Amerika Serikat dengan Kuba
Sejak Platt Amendment resmi diberlakukan, hubungan Amerika
Serikat dengan Kuba layaknya sahabat karib yang tidak bisa dipisahkan.
Amerika Serikat sering kali membantu Kuba dalam upaya menghambat
gerakan-gerakan pemberontakan di dalam negeri (Suddath, 2009).
Amerika Serikat juga menjadi pihak yang membangun jalan raya, sekolah,
dan jaringan telegraf di Kuba (Skidmore & Smith, 1989, hal. 250).
Infrastruktur-infrastruktur ini merupakan komponen penting bagi Kuba
yang sedang berusaha untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan
masyarakatnya.
Selain memberikan dukungan militer dan infrastruktur, negeri
Paman Sam ini juga menanamkan investasi-investasi dalam jumlah besar
29 masih berada di bawah kekuasaan Spanyol. Sejak tahun 1860, mayoritas
kerjasama perdagangan dan investasi di Kuba didominasi oleh Amerika
Serikat. Hal ini dibuktikan dengan 62% ekspor Kuba adalah ke wilayah
Amerika Serikat, sedangkan ekspor Kuba ke wilayah Spanyol hanya
sebesar 3% (Brenner, 1988, hal. 6). Pada tahun 1895, total saham Amerika
Serikat di Kuba berjumlah USD 50 juta dan jumlah ini melonjak pesat pada
tahun 1906 dengan total saham sejumlah USD 200 juta (Mabry, 2004).
Jumlah investasi saham ini kembali meroket tajam menjadi USD 1,24
milyar pada tahun 1924 (Mabry, 2004). Hal ini dimotivasi oleh
kepentingan Amerika Serikat untuk bisa menguasai lebih dari satu
setengah bagian produksi gula di Kuba. Bahkan, pasca Platt Amendment
dicabut pada tahun 1934, Amerika Serikat masih menguasai 90%
pertambangan dan peternakan di Kuba, 40% produksi perkebunan tebu,
dan hampir mayoritas dari produksi minyak di Kuba (Spanier, 1988, hal.
121). Dengan besarnya investasi Amerika Serikat di Kuba, utamanya di
sektor perkebunan tebu, Kuba muncul sebagai salah satu penghasil gula
terbesar di dunia dan lagi-lagi Amerika Serikat adalah konsumen
utamanya dengan rata-rata pembelian 75% - 80% dari total produksi gula
Kuba (Skidmore & Smith, 1989, hal. 254).
Pada tanggal 1 Januari 1959, Fidel Castro dan pasukan guerilla berhasil menggulingkan pemerintahan diktator Fulgencio Batista (Brice,
2016). Peristiwa pemberontakan Fidel Castro yang berhasil
30 revolusi Kuba. Amerika Serikat memiliki peran tersendiri dalam peristiwa
revolusi Kuba ini. Pada tahun 1958 tepatnya satu tahun sebelum pecahnya
revolusi Kuba, Amerika Serikat menjatuhkan keputusan embargo senjata
militer terhadap Fulgencio Batista. Keputusan ini diambil setelah Amerika
Serikat mengevaluasi periode kedua rezim pemerintahan Batista yang
dipenuhi dengan praktik korupsi besar-besaran. Situasi tersebut membawa
Kuba pada jeratan hutang internasional yang cukup besar dan terpuruk
dalam krisis ekonomi. Sehingga ketika pemberontakan Fidel Castro
muncul sebagai bentuk respon terhadap krisis di Kuba, Amerika Serikat
memutuskan untuk memberikan dukungan kepada pemberontakan Fidel
Castro dengan harapan Fidel Castro akan menjadi pemimpin Kuba yang
lebih bersahabat terhadap kepentingan Amerika Serikat. Harapan ini
muncul ketika selama proses panjang menuju revolusi Kuba, Fidel Castro
menjanjikan pemerintahan Kuba yang demokratis serta menjunjung
keadilan sosial dan ekonomi (Spanier, 1988, hal. 121). Namun, pada
akhirnya Amerika Serikat menyesali pemberian bantuan yang mereka
sebut sebagai “misgivings over the revolutionaries” tersebut pasca Fidel
Castro naik menjadi presiden Kuba dan Amerika Serikat mencium aroma
pemerintahan anti-Amerika serta tendensi rezim komunisme di Kuba
31 B. Konfrontasi dalam Hubungan Bilateral Amerika Serikat dengan Kuba
Hubungan Amerika Serikat dengan Kuba tidak hanya berhenti pada
kedekatan yang terjalin di awal perjalanan sejarah hubungan kedua negara.
Hubungan Amerika Serikat dengan Kuba kemudian berlanjut dengan berbagai
peristiwa konfrontasi di antara keduanya. Peristiwa revolusi Kuba yang terjadi
pada tahun 1959 menjadi tembok pembatas antara periode kedekatan kedua
negara dengan periode hubungan bilateral yang penuh dengan konfrontasi.
Peristiwa konfrontasi antara Amerika Serikat dengan Kuba kemudian ditandai
dengan empat peristiwa besar, yaitu kedekatan Kuba dengan Uni Soviet;
peristiwa dinasionalisasikannya aset dan korporasi Amerika Serikat oleh Kuba;
invasi Teluk Babi; serta peristiwa krisis misil Kuba.
1. Kedekatan Kuba dengan Uni Soviet
Gerbang konfrontasi antara Amerika Serikat dengan Kuba terbuka
lebar ketika Kuba memilih untuk berganti sahabat dekat. Fidel Castro
membawa Kuba untuk menjalin hubungan bilateral yang signifikan
dengan Uni Soviet yang notabene merupakan salah satu pilar blok
komunis dunia. Sikap Kuba tersebut dilatarbelakangi oleh rencana Fidel
Castro untuk mendirikan rezim komunisme di Kuba. Dari alasan tersebut
muncul kebutuhan untuk merapatkan diri kepada negara komunis lainnya
sebagai upaya untuk memperkuat posisi rezim komunisme Castro. Selain
32 pembentukan pemerintahan sosialis-komunisnya, Kuba berkaca pada
bentuk struktur dan sistem institusi Uni Soviet (Farber, 2015).
Keputusan Kuba untuk menjalin relasi dengan Uni Soviet tentu
dianggap berlawanan dengan apa yang diharapkan oleh Amerika Serikat
mengingat Amerika Serikat sedang dalam masa perang dingin melawan
Uni Soviet (Leogrande, Normalizing US – Cuba Relations : Escaping the
Shackles of the Past, 2015, hal. 475). Ketika itu, semangat revolusi sedang
berkobar di kawasan Amerika Latin. Kuba sendiri memiliki kedekatan
dengan negara revolusioner lainnya di kawasan Amerika Latin, seperti
Venezuela dan Kolombia. Amerika Serikat menganggap ini sebagai
sebuah situasi yang mengancam. Jika Kuba mendekatkan diri kepada Uni
Soviet di masa semangat revolusi Amerika Latin sedang sangat tinggi,
Amerika Serikat khawatir bahwa akan muncul semangat revolusi rezim
komunisme yang lebih besar di kawasan Amerika Latin (Steinhauer,
2014).
Kekhawatiran Amerika Serikat semakin memuncak dengan
kemunculan fakta-fakta pendukung yang menunjukkan bahwa Kuba tidak
lagi berada dalam satu pemahaman dengan Amerika Serikat. Pasca
revolusi Kuba pada tahun 1959, Kuba senantiasa berada dalam satu aliansi
Uni Soviet dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menentang
rancangan resolusi yang diajukan oleh Amerika Serikat kepada forum
anti-33 Amerika Serikat di wilayah Amerika Latin untuk memperkuat rezim
komunismenya.
Situasi tersebut kemudian mendorong Amerika Serikat untuk
mengambil kebijakan guna merespon keputusan Kuba yang beralih kepada
blok komunis. Amerika Serikat pun mengambil keputusan untuk
memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Kuba pada tahun 1960
sebagai upaya untuk mengisolasi komunisme Kuba. Keputusan
dihentikannya hubungan diplomatik ini diawali dengan permintaan Fidel
Castro kepada Amerika Serikat untuk mengurangi jumlah staff Kedutaan
Besar Amerika Serikat di Havana. Kuba mencurigai kedutaan besar
dijadikan markas kegiatan mata-mata Amerika Serikat terhadap Kuba
(History, t.thn.). Sebagai jawaban tegas dari permintaan Fidel Castro
tersebut, Amerika Serikat tidak hanya mengurangi staff Kedutaan Besar
Amerika Serikat di Havana, namun Amerika Serikat justru menarik
seluruh staff kedutaan besar dan menghentikan aktivitas diplomatiknya di
Kuba (Rothman, 2014). Pasca diputuskannya hubungan diplomatik
dengan Kuba, Amerika Serikat dan Kuba hanya berkomunikasi melalui
negara yang ditunjuk untuk mewakili kepentingan kedua negara.
Switzerland melalui diplomat yang ditugaskan berperan sebagai
representatif dari kepentingan Amerika Serikat di Kuba. Sedangkan
Cekoslovakia berperan sebagai representatif Kuba untuk Amerika Serikat
34 2. Nasionalisasi Aset Amerika Serikat di Kuba
Kondisi hubungan Amerika Serikat dengan Kuba yang mulai
berjalan tidak harmonis sejak dihentikannya hubungan diplomatik kedua
negara semakin diperkeruh dengan tindakan Kuba yang secara ekstrem
melakukan nasionalisasi terhadap seluruh aset dan korporasi Amerika
Serikat di Kuba serta menaikkan pajak impor barang produksi Amerika
Serikat. Tercatat Kuba menasionalisasikan 382 korporasi Amerika Serikat
yang terdiri dari 105 pabrik gula, 13 swalayan, 18 perusahaan penyulingan,
61 pabrik tekstil, 8 perusahaan kereta api, dan seluruh bank Amerika
Serikat (Fabry, 2015). Berikut ini adalah daftar 20 korporasi besar dari
ratusan korporasi Amerika Serikat yang dinasionalisasi oleh Kuba (Miroff,
2015) :
No Nama Korporasi Jumlah Kerugian
(USD)
1 Cuban Electric Company 267.568.414
2 North American Sugar Industries, Inc 97.373.415
3 MOA Bay Mining Company 88.349.000
4 United Fruit Sugar Company 85.100.147
5 West Indies Sugar Corp. 84.880.958
6 American Sugar Company 81.011.240
7 ITT as Trustee 80.002.794
8 Exxon Corporation 71.611.003
9 The Francisco Sugar Company 52.643.438
10 Starwood Hotels & Resorts Worldwide,
Inc.
51.128.927
35
12 Texaco, Inc. 50.081.110
13 Manati Sugar Company 48.587.848
14 Bangor Punta Corporation 39.078.905
15 Nicaro Nickel Company 33.014.083
16 The Coca-Cola Company 27.526.239
17 Lone Star Cement Company 24.881.287
18 The New Tuinucu Sugar Company 23.336.080
19 Colgate-Palmolive 14.507.935
20 Braga Brothers, Inc. 12.612.873
Tabel 2.1.Daftar 20 Korporasi Amerika Serikat yang Menjadi Target Nasionalisasi Kuba (www.washingtonpost.com)
Dari data di atas, dapat dilihat bahwa jumlah kerugian yang harus
ditanggung oleh Amerika Serikat akibat dari upaya Kuba untuk
menasionalisasikan aset Amerika Serikat adalah sebesar USD
1.283.972.660 hanya untuk 20 korporasi saja. Tentu hal ini menjadi sebuah
pukulan keras bagi Amerika Serikat yang selama 61 tahun aktif
memberikan bantuan dan kontribusi bagi Kuba. Sikap Kuba yang
melakukan nasionalisasi terhadap seluruh korporasi dan aset Amerika
Serikat di Kuba tentu membuat Amerika Serikat menderita kerugian yang
luar biasa. Sebagai respon dari tindakan Kuba tersebut, Amerika Serikat
akhirnya menjatuhkan embargo ekonomi terhadap Kuba serta
memberlakukan pelarangan lalu lintas perjalanan dan remitansi.
a. Embargo Ekonomi Amerika Serikat
Embargo ekonomi pada dasarnya merupakan maklumat
36 melakukan kerjasama ekonomi dan perdagangan dengan negara
tertentu (Plano & Olton, 1969, hal. 25). Embargo ekonomi yang
diberlakukan sebuah negara terhadap negara lain dapat berupa
embargo ekonomi terhadap produk-produk tertentu maupun
pelarangan secara total terhadap segala bentuk perdagangan. Dalam
kasus hubungan bilateral Amerika Serikat dengan Kuba, embargo
ekonomi adalah serangkaian sanksi ekonomi yang dijatuhkan
Amerika Serikat kepada Kuba, di mana embargo ini melarang adanya
jalinan ekonomi dan perdagangan antara individu, korporasi, maupun
pemerintah Amerika Serikat dengan Kuba (ProCon.org, 2016).
Korporasi Amerika Serikat tersebut termasuk korporasi cabang yang
berada di wilayah Amerika Latin dan juga kawasan Eropa (Skidmore
& Smith, 1989, hal. 268). Pemberlakuan embargo ekonomi Amerika
Serikat terhadap Kuba bertujuan untuk memberikan sanksi keras
terhadap Kuba atas penasionalisasian aset Amerika Serikat. Selain itu
embargo ekonomi ini juga berfungsi sebagai sarana untuk menekan
Kuba guna meninggalkan sistem pemerintahan komunisme dan
beralih kepada sistem pemerintahan yang demokratis serta
menjunjung tinggi perlindungan hak asasi manusia.
Embargo ekonomi Amerika Serikat terhadap Kuba diinisiasi
pertama kali pada masa pemerintahan Presiden Dwight D.
Eisenhower, segera setelah Kuba menasionalisasikan korporasi dan
37 menjatuhkan embargo ekonomi terhadap Kuba semakin diperkuat
dengan fakta bahwa Uni Soviet menyetujui kerjasama perdagangan
dengan Kuba untuk memberikan kredit sebesar USD 100 juta dan
menjanjikan pembelian 4 juta ton produksi gula Kuba pada bulan
Februari 1960 (Skidmore & Smith, 1989, hal. 264). Akhirnya
kebijakan embargo ekonomi Amerika Serikat terhadap Kuba secara
resmi dijalankan pada tanggal 19 Oktober 1960 (Fabry, 2015). Pada
masa pemerintahan Presiden Eisenhower ini, embargo ekonomi
Amerika Serikat terhadap Kuba berjalan secara parsial dengan
melarang adanya jalinan ekonomi dan perdagangan kecuali untuk
produk makanan dan suplai obat-obatan.
Pada tanggal 7 Februari 1962, di bawah pemerintahan Presiden
John F. Kennedy, kebijakan Amerika Serikat untuk memberlakukan
embargo ekonomi terhadap Kuba semakin dipertegas dengan
dinyatakannya embargo ekonomi secara total dan berlaku permanen
(Suddath, 2009). Keputusan ini tercantum dalam Foreign Assitance
Act of 1961, tepatnya pada Title 22 United States Code (U.S.C),
chapter 32, subchapter III, part I, section 2370 tentang Larangan Penyediaan Bantuan. Pada poin (a).(1) dan (a).(2) tertulis :