• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS SISTEM DETEKSI DINI PADA KETAHANAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS SISTEM DETEKSI DINI PADA KETAHANAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SISTEM DETEKSI DINI PADA KETAHANAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

ANALYSIS AN EARLY WARNING SYSTEM ON THE ROBUSTNESS OF ISLAMIC BANKING IN INDONESIA

Oleh SUMANDI 20130430327

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

(2)

i

ISLAMIC BANKING IN INDONESIA SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Oleh SUMANDI 20130430327

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

(3)
(4)
(5)

iv

MOTTO HIDUP

"Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak

manfaatnya bagi orang lain."

(HR. Bukhari dan Muslim)

“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara :

Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,

Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,

Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu,

Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,

Hidupmu sebelum datang kematianmu.”

(HR. al-Hakim dan al-Baihaqi)

“ Sehebat apapun kamu hidup di dunia, setinggi apapun jabatanmu di

dunia dan dimanapun kamu berada, jangan pernah sekali-kali

meninggalkan Sholat dan Al-

Qur’an dan Al

-

Sunnah”

(Orang Tua Penulis)

Kunci untuk sukses di dunia dan diakhirat adalah selalu

mengedepankan kejujuran, menjadi orang yang bertanggung jawab

dan

bekerja keras”

(6)

v

Bapakku yang sangat inspiratif Kamalludin yang dan Ibuku Baiq Nurmiati yang tak pernah lelah dalam memberikan kasih sayangnya kepada peneliti,

dan adik-adikku yang tercinta

Muhammad Nur Hadi adik yang paling unik,

Kus Hariadi, adik yang paling penurut

dan Ririn Nurmiati adik yang tidak pernah mau berpisah dengan kakaknya dan dosen kece Dimas Bagus Wiratana Kusuma, serta pasukan GESFIDERS yang

tangguh tiada tara

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala nikmat,

hidayah dan karunianya. Setelah berjuang dalam beberapa waktu, akhirnya

peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk meraih

gelar sarjana Strata Satu (S-1) pada program studi Ilmu Ekonomi, Fakultas

Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, peneliti menyadari bahwa semua

tidak terlepas dari bimbingan, arahan dan masukan dari berbagai pihak. Oleh

karena itu penulis mengucapkan terimakasih yang begitu besar kepada :

1. Kedua orang tua penulis yang sering meningatkan penulis tentang

arti sebuah hidup. Mengajarkan tentang filosopi hidup yang sangat

bermakna, yaitu “ dimanapun kamu hidup, kamu harus bisa

bermanfaat untuk orang lain”. Salah satu jalan yang diajarkan

orang tua adalah dengan menjadi pembisnis/pengusaha. Karena

dengan menjadi pengusaha dapat menciptakan lapangan pekerjaan.

2. Dosen pembimbing pak Dimas Bagus Wiranata Kusuma yang telah

mengajarkan penulis ilmu dukun (forecasting) sistem deteksi dini

dan terima kasih telah banyak memberikan banyak motivasi dan

dorongan kepada penulis untuk menjadi insan yang berkemajuan.

Selain itu, penulis berterima kasih karena telah mengajarkan

penulis tentang kesabaran serta telah membimbing penulis menjadi

(8)

vii Ilmu Ekonomi

4. Kaprodi Ilmu Ekonomi pak Imamudin Yuliadi. Sosok yang sangat

bersahaja dan mengajarkan tentang arti sebuah kesabaran

5. Dosen-dosen Ilmu Ekonomi yang telah berjibaku mengajarkan

kepada penulis tentang ilmu-ilmu ekonomi yang sangat luar biasa.

6. Teman-teman para pendiri Group of Economics Students for

Future Indonesia Development (GESFID), si rizal yang calon Gubernur NTB masa depan, si Pras calon Menteri pemberdayaan

Umat Republik Indonesia di masa depan, si Rizky wahid calon

motivator pengganti Mario teguh, si Wardimansyah calon Bupati

Lombok timur di masa depan, si Ecky Calon Gubernur Jawa Barat

Masa Depan, si Azi calon Walikota mataram masa depan, si Alif

calon Walikota makasar masa depan dan Pasukan GESFIDERS

lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Dan juga Si

calon bu dokter Silva Netta Oktari yang selalu curhat dari masalah

terkecil sampai masalah terbesar dan selalu sabar kalau ditelpon

tengah malam, walaupun tidurnya pasti terganggu. Semoga di

tahun 2017 bisa mendapatkan gelar Sarjana Kedokterannya. Tidak

lupa penulis sampaikan terima kasih kepada semua teman teman

(9)

viii

skripsi ini, ada Zulmi sahabat gila-gilaan sejak SMA, Frengki si

calon kepada desa di salah satu desa di Riau, si M Afrizal Rizky

Darmawan anak ibu kos yang kece, dan teman teman yang telah

berjibaku dalam membantu penulis.

7. Semua teman-teman ilmu ekonomi angkatan 2013

8. Teman teman KKN 118, si Galih, Ilham, David, Ivan, Fuad, Ganda

dan ibu-ibu kece, Vini, Sarah, Yesi, Nurul, Rinda, Anggun dan Ari.

Yogyakarta, 04 April 2017

Penulis

(10)

ix

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING……... . ii

HALAMAN PENGESAHAN……….………… iii

HALAMAN PERNYATAAN………... iv

HALAMAN MOTTO HIDUP………..……….. v

HALAMAN PERSEMBAHAN……….……… vi

INSTISARI……….………. vii

ABSTRACT……….……… viii

KATA PENGANTAR……… ix

DAFTAR ISI ………... xii

DAFTAR TABEL ……….………. xv

DAFTAR GAMBAR………... xvi

BAB I PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang……… 1

B. Batasan Masalah………..……….………. 10

C. Rumusan Masalah……….………. 13

D. Tujuan Penelitian………..………. 14

E. Manfaat Penelitian……….……… 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……… 16

A. Landasan Teori……….……… 16

(11)

x

2. Teori Generasi Krisis Keuangan……… 19

B. Landasan Konsep……… 22

1) Definisi Krisis Perbankan………..……… 22

2) Definisi Ketahanan Perbankan ……….……… 24

3) Krisis dalam Persfektif Ekonomi Islam…………... 25

4) Penentuan Indikator dalam Monitoring Krisis Perbankan Syariah ……….. 29

5) Sistem Deteksi Dini/Early Warning System(EWS)…… 32

C. Penelitian Terdahulu……… 35

D. Kerangka Penelitian……..……… 39

E. Hipotesis……… 43

BAB III METODE PENELITIAN……….. 44

A. Obyek Penelitian……… 44

B. Jenis dan Sumber Data………. 44

C. Teknik Pengumpulan Data……… 45

D. Definisi Operasional Variabel-Variabel dan Sumber Data Penelitian ……… 45

1. Variabel Dependen……… 46

2. Variabel Independen………. 47

E. Metode Analisis Data Penelitian……… 50

1. Model Non Parametik dengan Pendekatan Sinyal (Signal Approach)……… 50

(12)

xi

2. Penentuan Leading Indicators…….……… 60

3. Signaling Leading Indicators……….………. 64

4. Analisis Pendekatan Logit……… 68

B. Pembahasan ……… 72

1. Analisis Pendekatan Sinyal ……….. 72

2. Analisis Regresi Logit………… ………... 74

3. Bauran Kebijakan Makroprudensial dan Moneter dalam Mitigasi Potensi Risiko pada Perbankan Syariah di Indonesia……… 79

BAB V KESIMPULAN, SARAN DAN KETERBATASAN PENELITIAN……… 85

A. Simpulan……… 85

B. Saran Kebijakan……… 87

C. Batasan Penelitian……… 89

DAFTAR PUSTAKA………. 90

(13)

xii

DAFTAR TABEL

3.1 Ringkasan Peluang Terjadinya Krisis……… 54

4.1 Periode Guncangan pada Perbankan Syariah di Indonesia……… 59

4.2 Matrik Hasil Indikator……… 60

4.3 Hasil Estimasi Logit dengan Eviews………. 68

(14)

xiii

1.2. Pangsa Aset Lembaga Keuangan Syariah Secara Nasional… 5

1.3. Interaksi Shock dan Vulnerability………..………. 6

1.4. Terbentuknya Risiko Sistemik……….... 11

2.1. Kerangka Pemikiran………..……….. 42

4.1. Syariah Banking Robustness Index (SBRI)……… 58

4.2. Kinerja Leading Indicators Suku Bunga Kredit Bank Umum Konvensional………... 65

4.3. Kinerja Leading Indicators Inflasi………... 66

(15)
(16)

i

berbentuk time series bulanan dari bulan Januari 2004 sampai bulan Desember 2016. Indikator dependen dalam penelitian ini adalah indeks ketahanan perbankan syariah (Syariah banking robustness index), indikator dependen ini dibentuk melalui dua komponen yaitu dana pihak ketiga (DPK) dan pembiayaan perbankan Syariah. Sedangkan indikator independen yaitu non performing financing (NPF), financing deposit to ratio (FDR), inflasi, produk domestik bruto (PDB) dan suku bunga.

Hasil penelitian menunjukkan berdasarkan indeks ketahanan perbankan Syariah (Syariah banking rosbustness index), terdapat ketahanan yang buruk pada perbankan Syariah di tahun 2004 dan 2005. Ketahanan yang buruk ini lebih disebabkan oleh faktor internal perbankan. Selain itu, berdasarkan 5 indikator yang digunakan, hanya 3 indikator yang dapat menjadi leading indicators yaitu suku bunga, inflasi dan financing to deposit ratio (FDR). Tiga leading indicators didapatkan berdasarkan penilaian berbagai kriteria, salah satunya adalah noise to signal ratio (NSR). Langkah selanjutnya adalah mengolah 3 leading indicators dengan logit. Hasil dengan logit menunjukkan dari 3 leading indicators, nilai ods ratio masing-masing leading indicators adalah FDR sebesar 48.23%, suku bunga sebesar 79.29% dan inflasi sebesar 53.93%. Kesimpulan dari penelitian ini adalah indikator suku bunga menjadi indikator yang sangat berpengaruh terhadap kinerja perbankan Syariah. Saran dari penelitian ini adalah pemerintah perlu mengembangkan berbagi bauran instrumen makroprudensial dan instrumen moneter guna menjaga stabilitas dan ketahanan pada perbankan Syariah.

(17)

ii ABSTRACT

The research aimed at analyzing the early warning system (EWS) model in Islamic Banking. The data of the research were in the form of monthly time series from January 2004 to December 2016. The dependent indicator in the research was Syariah Banking Robustness Index. This dependent indicator was established from two components, i.e. third party fund and financing of Islamic Banking. Meanwhile, the independent indicator was non-performing financing (NPF), financing deposit to ratio (FDR), inflation, gross domestic product (GDP) and interest rate.

The research result showed that based on Syariah banking robustness index, there was a bad robustness in Islamic Banking in 2004 and 2005. The bad robustness was caused more by internal factor of banking. Besides, based on the 5 indicators used, there were only 3 indicators that can be leading indicators, i.e. interest rate, inflation, financing to deposit ratio (FDR). Three leading indicators were obtained based on the appraisal of various criteria. One of them was noise to signal ratio (NSR). The next step was processing 3 leading indicators using logit. The result using logit showed that from 3 leading indicators, the ods ratio value of each leading indicators were FDR of 48.23%, interest rate of 79.29% and inflation of 53.93%. The conclusion of the research was that the interest rate indicator was a very influential indicator towards the performance of Islamic Banking. The suggestion of the research was that it was necessary for the government to develop various mixtures of macro-prudential instrument and monetary instrument to maintain the stability and the robustness of Islamic Banking.

(18)

1 A. Latar Belakang

Isu stabilitas sistem keuangan beberapa dekade terakhir menjadi agenda

khusus bagi otoritas moneter di seluruh dunia. Kajian tentang isu stabilitas sistem

keuangan diperlukan guna mengantisipasi krisis keuangan yang sering terjadi baik

di negara maju maupun negara berkembang (Sumandi dkk, 2016).

Di Indonesia, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan menjadi otoritas

keuangan yang memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.

Alasan otoritas keuangan menjaga stabilitas sistem keuangan adalah untuk

menjaga perekonomian supaya terhindar dari berbagai potensi risiko sistemik.

Disamping itu, alasan otoritas keuangan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan

adalah terkait dengan pengalaman krisis keuangan pada tahun 1997/1998 dan

krisis keuangan global pada tahun 2008.

Dari kedua krisis keuangan yang disebutkan sebelumnya, krisis keuangan

1997/1998 menjadi krisis yang paling parah. Dalam krisis ini, pemerintah

Indonesia mengeluarkan biaya untuk penyelamatan dan merehabilitasi sektor

perbankan lebih dari Rp500 triliun, termasuk didalamnya bantuan likuiditas Bank

Indonesia dan rekapitalisasi perbankan (Hadad dkk,2003). Krisis keuangan 1997/1998 menimbulkan risiko sistemik terhadap stabilitas perekonomian

Indonesia pada saat itu, mulai dari neraca perdagangan yang timpang, GDP

(19)

2

lain-lain. Sedangkan krisis global yang terjadi pada tahun 2008, tidak terlalu

signifikan mempengaruhi ekonomi Indonesia. Kedua krisis keuangan ini, pada

dasarnya merupakan dampak dari risiko sistemik dan dampak penularan dari

krisis keuangan yang terjadi di negara Thailand dan Amerika Serikat.

Menurut Bank Indonesia (2016) risiko sistemik merupakan suatu kondisi

dimana adanya potensi instabilitas akibat terjadinya gangguan yang menular pada

sebagian ataupun seluruh sistem keuangan karena adanya interaksi pada faktor

ukuran (size), kompleksitas usaha (complexity), keterkaitan antar institusi dan/atau

pasar keuangan (interconnectedness), serta kecenderungan perilaku yang

berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan untuk mengikuti siklus

perekonomian (procyclicality).

Sedangkan menurut Blancher et al (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terbentuknya risiko sistemik dapat melalui 3 fase, yaitu : a)

fase build up, merupakan fase dimana gejala risiko sistemik muncul dalam sistem

keuangan. Munculnya gejala risiko sistemik ini, merupakan kombinasi antara

shock dan vulnerability. Kombinasi keduanya menyebabkan munculnya gejala sumber gangguan dalam sistem keuangan. Dalam fase ini, tindakan yang diambil

ketika potensi risiko sistemik muncul adalah fokus pada penilaian kemungkinan

terjadinya risiko sistemik dan melakukan pendeteksian krisis keuangan secara dini

(early warning indicators).

Fase selanjutnya adalah fase shock materialization. Fase ini adalah fase

awal terjadinya krisis dalam sistem keuangan. Dalam fase ini, ketidakseimbangan

(20)

sistem keuangan rentan terhadap guncangan dari luar atau eksogen (misalnya,

guncangan pada PDB atau fiskal, tekanan nilai tukar, tekanan harga perumahan,

kegagalan institusi keuangan yang berdampak sistemik). Oleh karena itu, dalam

fase ini pengukuran risiko sistemik difokuskan terutama pada penilaian potensi

kerugian pada sistem keuangan dan sektor riil. Metode pengukuran risiko sistemik

dalam fase ini menggunakan stress testing.

Fase yang ketiga adalah fase amplification and propagation. Dalam fase ini, shock mempengaruhi sistem keuangan secara lebih luas, termasuk lembaga keuangan, pasar keuangan dan sektor lainnya, serta berpotensi terhadap sistem

keuangan negara-negara lainnya. Pada fase ini, pengukuran risiko sistemik

difokuskan pada interconnectedness antar lembaga keuangan dan mencegah

potensi fire sale terhadap aset keuangan.

Ketiga fase diatas menjadi proses terbentuknya risiko sistemik dalam

sistem keuangan. Dalam fase terbentuknya risiko sistemik, institusi perbankan di

Indonesia menjadi salah satu institusi dalam sistem keuangan yang sangat rentan

terhadap risiko sistemik dibandingkan dengan institusi lainnya. Hal ini

dikarenakan mendominasinya aset perbankan terhadap aset dalam lembaga

keuangan secara nasional di Indonesia. Dominasi aset ini terlihat seperti pada

(21)

4

Sumber :Otoritas Jasa Keuangan, Desember 2015.

GAMBAR 1.1

Pangsa Aset Lembaga Keuangan Secara Nasional

Berdasarkan Gambar 1.1, terlihat pangsa aset industri perbankan

mendominasi aset lembaga keuangan secara nasional. Tercatat bahwa pada

Desember 2015 aset lembaga keuangan perbankan mencapai 79%. Selain industri

perbankan, industri asuransi juga memiliki porsi yang cukup besar dibandingkan

dengan industri lainnya, industri asuransi memiliki porsi sebesar 10 %, disusul

oleh perusahaan pembiayaan 5 %, NAB reksadana 3 % dan dana pensiun 3%.

Dominasi terhadap pangsa aset keuangan secara nasional menjadikan industri

perbankan sebagai salah satu industri yang berperan penting dalam pembiayaan

eksternal bagi sebuah bisnis dalam suatu negara, termasuk Indonesia

(Mishkin,1996). Dominasi indutri perbankan mengartikan bahwa sistem keuangan

di Indonesia masih bersifat bank based economy. 79%

3% 5%

10% 3%

Perbankan

Dana Pensiun

Perusahaan Pembiayaan

Perusahaan Asuransi

(22)

Dominasi aset industri perbankan terhadap aset lembaga keuangan secara

nasional juga terjadi pada lembaga keuangan berbasis Syariah. Dominasi industri

perbankan Syariah terhadap aset lembaga keuangan berbasis Syariah dapat

diamati berdasarkan Gambar 1.2 di bawah ini.

Sumber : Otoritas Jasa Keuangan, Desember 2015

GAMBAR 1.2

Pangsa Aset Lembaga Keuangan Syariah Secara Nasional

Gambar 1.2 diatas menggambarkan tentang mendominasinya industri

perbankan Syariah terhadap aset lembaga keuangan Syariah secara nasional. Porsi

perbankan Syariah sebesar 82%, asuransi Syariah sebesar 8%, perusahaan

pembiayaan Syariah sebesar 6% dan seterusnya. Kedepannya porsi perbankan

Syariah akan semakin meningkat terhadap aset lembaga keuangan secara nasional, 82%

8% 6%

1%

3%

Perbankan Syariah

Perusahaan Asuransi Syariah

Perusahaan Pembiayaan Syariah

PT Pegadaian (Persero)

(23)

6

hal ini berdasarkan atas potensi pasar perbankan Syariah di Indonesia yang cukup

besar karena mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim.

Dominasi perbankan Syariah dalam pangsa aset lembaga keuangan

Syariah secara nasional, menjadikan perbankan Syariah sebagai institusi yang

rentan terekspos risiko sistemik dibandingkan dengan institusi lainnya. Dalam

kaitannya dengan risiko sistemik, pada awalnya kondisi perbankan Syariah tidak

bermasalah, sumber permasalahan muncul dari shock dan vulnerability. Risiko akan termaterialisasi ketika shock berinteraksi dengan vulnerability dan akan

memiliki dampak sistemik apabila tidak diimbangi dengan tingkat ketahanan

(resilience) yang memadai (Bank Indonesia, 2016).

Terkait dengan interaksi antara shock dan vulnerability, Blancher et.al

(2013) menjelaskan bahwa interaksi antara shock dan vulnerability, menghasilkan

(24)

a) Jika tidak ada shock dan tidak ada vulnerability, maka kondisi perbankan stabil;

b) Jika ada shock namun tidak ada vulnerability, maka terdapat peningkatan probabilitas terjadinya potensi risiko sistemik relatif terhadap kondisi

normal karena masih dimungkinkan terdapat unknown vulnerability. Krisis

keuangan masih dapat dihindari karena elemen-elemen sistem keuangan

akan memiliki ketahanan yang cukup untuk menyerap risiko. Sebagai

contoh, pada waktu terjadi tekanan pada likuiditas global seperti yang

terjadi pada kuartal terakhir tahun 2008, perbankan Indonesia secara

system-wide sanggup menyerap risiko yang terjadi karena tidak terdapat vulnerability yang dapat menghasilkan risiko sistemik;

c) Jika tidak ada shock namun ada vulnerability, maka probabilitas risiko sistemik akan meningkat. Namun seperti pada kombinasi sebelumnya,

krisis keuangan pun masih dapat dihindari karena tidak ada trigger yang mengekspos vulnerability tersebut. Dalam kondisi ini, vulnerability telah

terbentuk karena akumulasi risiko dari perilaku ambil risiko pada saat

siklus keuangan berada dalam kondisi upswing;

d) Jika terjadi shock dan terdapat vulnerability secara bersamaan, maka

tergantung dari besarnya shock dan parahnya vulnerability, probabilitas terjadinya guncangan akan meningkat. Jika vulnerability berada pada

(25)

8

Kondisi kolaborasi antara shock dan vulnerability menggambarkan bahwa,

ketika perbankan Syariah tidak resilience atau kondisi perbankan Syariah memiliki kerentanan (vulnerability), maka akan memicu guncangan muncul,

kemudian memicu imbalances pada berbagai indikator dalam perbankan Syariah.

Indikator dalam perbankan Syariah kemudian akan memberikan transmisi risiko

pada neraca perbankan Syariah, pada tahap ini biasanya disebut fase build up.

Guna merespon hal tersebut, otoritas keuangan di beberapa negara mulai

memprioritaskan upaya untuk meningkatkan ketahanan institusi dan pasar

keuangan, serta upaya untuk membatasi build up risiko sistemik untuk mencegah terjadinya krisis. Dalam mencegah build up risiko sistemik, diperlukan serangkaian indikator monitoring dan metode/tools pengukuran risiko sistemik

yang mampu menangkap sinyal imbalances dan dapat menilai potential losses (Bank Indonesia, 2016). Salah satu metode yang bisa digunakan adalah sistem

deteksi dini (early warning system).

Sistem deteksi dini ( early warning system/EWS) dapat memonitoring

indikator-indikator yang berpotensi memberikan transmisi risiko pada neraca

perbankan Syariah. Menurut Duasa et al (2016) metode EWS dapat digunakan sebagai salah satu metode/tools surveillance dalam menjaga ketahanan perbankan

Syariah di Indonesia. Sedangkan menurut Kusuma et al (2012) EWS penting bagi

perbankan Syariah, karena dapat memitigasi risiko sistemik yang berpotensi

muncul akibat kondisi perekonomian yang tidak stabil. Imansyah dkk (2009)

menjelaskan bahwa sistem peringatan dini ini merupakan salah satu cara yang

(26)

bila ada potensi akan terjadinya krisis atau instabiltas maka akan terdeteksi lebih

awal.

Kaminsky (1999) menganggap sistem deteksi dini atau early warning system (EWS) diperlukan karena krisis keuangan dapat terjadi lagi di masa yang

akan datang, hal ini dikarenakan perekonomian suatu negara telah mengikuti arus

globalisasi pasar modal yang semakin kompleks.

Perhatian terhadap sistem deteksi dini atau early warning system (EWS) pada perbankan belum menjadi prioritas pada sebelumnya, termasuk International

Monetary Fund (IMF ). Namun, setelah terjadinya krisis Asia pada pertengahan tahun 1997 yang memiliki dampak sangat parah, maka IMF menganggap perlu

adanya sistem deteksi dini atau early warning system (EWS) dengan membentuk

unit surveillance (Abimanyu dan Imansyah, 2008). Disisi lainnya, kondisi ini merangsang gelombang penelitian empiris para peneliti terkait dengan sistem

pendeteksian dini pada perbankan, dari penelitian yang ada mayoritas melakukan

penelitian pada bank konvensional, seperti ; Kaminsky et al (1998): Goldstein, Kaminsky dan Reinhart (2000), Hardy dan Pazarbasioglu (1999), Demirgüc-Kunt

dan Detragiache (1998). Sedangkan untuk perbankan Syariah relatif masih sedikit

peneliti yang mengkajinya, seperti; Duasa, Kusuma dan Sumandi (2016), Kusuma

dan Asif (2012) dan Al-Osaimy dan Bamakhramah (2004).

Berdasarkan latar belakang diatas, penelitian ini bermaksud untuk

menentukan indikator-indikator yang dapat berpotensi memberikan shock

terhadap perbankan Syariah di Indonesia dan mengamati apakah perbankan

(27)

10

ini mengambil judul tentang “ Analisis Sistem Deteksi Dini pada Ketahanan

Perbankan Syariah di Indonesia ” B. Batasan Masalah

Menurut Bank Indonesia (2016) risiko sistemik terbentuk melalui 3 (tiga)

tahapan yaitu: (i) fase pertama terdapat dua kategori sumber gangguan yaitu shock

dan vulnerability, dalam fase ini adalah tahapan munculnya sumber gangguan

yang melibatkan kombinasi antara shock dan kerentanan (vulnerability), tahapan ini sering pula disebut dengan fase build up; (ii) tahapan menyebarnya sumber gangguan dalam sistem keuangan hingga menjadi risiko; serta (iii) tahapan

pengukuran (potensial) dampak yang ditimbulkan (systemic event).

Penjelasan lebih lanjut terkait dengan proses terbentuknya risiko sistemik

(28)

Vulnerability (Risk profile)

Dimention Type of risk

Sumber : Bank Indonesia (2016).

GAMBAR 1.4 Terbentuknya Risiko Sistemik

Berdasarkan Gambar 1.4 diatas, proses awal terbentuknya risiko sistemik

(29)

12

dengan melakukan pengukuran terhadap indikator yang berpotensi memberikan

tekanan pada perbankan Syariah dengan menggunakan early warning system (EWS). Sedangkan dari sisi identifikasi dalam vulnerability terdiri dari dimensi

time series dan cross section. Pendekatan yang digunakan dalam vulnerability seperti pendekatan risiko pasar, risiko kredit dan risiko likuiditas. Pada tahap

selanjutnya, interaksi antara shock dan vulnerability menyebabkan

termaterialisasikannya risiko terhadap perbankan Syariah, yang selanjutnya akan

berdampak terhadap munculnya risiko dalam sistem keuangan (risk of financial

system) (3). Jika risiko sudah termaterialisasi dalam perbankan Syariah (4), maka

akan muncul kemungkinan dua potensi dalam perbankan Syariah, yaitu apakah

perbankan Syariah mampu menyerap risiko yang muncul ataukah tidak mampu.

Jika mampu menyerap risiko yang muncul, maka tidak akan terjadi guncangan

dalam perbankan Syariah atau perbankan Syariah dalam kondisi aman, serta pada

akhirnya sistem keuangan akan menjadi stabil (stable financial system ) dan jika

risiko yang muncul tidak mampu diserap oleh perbankan Syariah, maka akan

menimbulkan risiko sistemik (systemic risk) pada sistem keuangan. Dampak yang

ditimbulkan dapat bersifat sementara (temporary) dan struktural (structural).

Berdasarkan proses pembentukan risiko sistemik Gambar 1.4 diatas, pada

penelitian ini batasan masalah lebih di fokuskan hanya pada proses terbentuknya

risiko sistemik pada fase awal atau fase build up. Alasan penelitian ini berfokus pada fase ini adalah untuk memitigasi dan mencegah terjadinya risiko sistemik

(30)

C. Rumusan Masalah

Fase build up merupakan salah satu fase dimana gejala risiko sistemik mulai muncul dalam sistem keuangan. Fase build up merupakan interaksi antara

shock dan vulnerability. Dalam fase ini, metode/tools yang digunakan oleh otoritas keuangan adalah sistem deteksi dini (early warning system), EWS

digunakan sebagai metode/tools pengukuran risiko sistemik yang mampu

menangkap sinyal imbalances dan dapat menilai potential losses dalam perbankan

Syariah.

Dalam membangun sistem deteksi dini (early warning system) terhadap

perbankan Syariah, penelitian ini menggunakan model pendekatan sinyal (signal

approach model). Dengan model pendekatan sinyal, peneliti mencoba untuk menganalisis indeks ketahanan perbankan Syariah (Syariah banking robustness index). Melalui indeks ketahanan perbankan Syariah (Syariah banking robustness

index), penelitian ini mencoba untuk melihat apakah perbankan Syariah resilience ketika terjadi shock terhadap beberapa indikator-indikator mikrofinancial dan makrofinancial, guna memitigasi dan mencegah potensi risiko sistemik terhadap

sistem keuangan di Indonesia. Ketika perbankan Syariah resilience terhadap shock, maka dikatakan perbankan Syariah mampu menyerap risiko yang muncul,

tetapi jika tidak resilience maka akan menimbulkan potensi risiko terhadap sistem

keuangan di Indonesia.

Model selanjutnya yang digunakan adalah model pendekatan logit (logit

(31)

14

Syariah ketika terjadi shock. Model ini dapat melihat probabilitas (probability)

terjadinya guncangan pada ketahanan perbankan Syariah.

Berdasarkan penjelasan diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana level ketahanan perbankan Syariah di Indonesia?

2. Indikator-indikator apakah yang dapat digunakan sebagai leading

indicators dalam pengukuran tingkat ketahanan perbankan Syariah di Indonesia?

3. Indikator-indikator apakah yang berpotensi memberikan kemungkinan

(probability) terjadinya guncangan pada perbankan Syariah di

Indonesia?

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui level ketahanan perbankan Syariah di Indonesia.

2. Untuk mengetahui Indikator-indikator apakah yang dapat digunakan

sebagai leading indicators dalam pengukuran tingkat ketahanan perbankan Syariah di Indonesia.

3. Untuk mengetahui apakah indikator yang berpotensi memberikan

kemungkinan (probability) terjadinya guncangan pada perbankan

(32)

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini hanya difokuskan pada pembuat kebijakan

(policy maker). Pembuat kebijakan (policy maker) yang dimaksud seperti Bank

Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjaminan Simpanan

(LPS) ataupun pihak-pihak yang terkait dengan perbankan Syariah, diharapkan

dapat menjadikan penelitian ini sebagai pertimbangan untuk menentukan

kebijakan yang tepat bagi perbankan Syariah, jika kondisi perekonomian di

Indonesia sedang bergejolak ataupun kondisi perekonomian berada pada posisi

(33)

1 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori 1. Minsky Theory

Teori ini dicetuskan oleh seorang ekonom Amerika Serikat yang bernama

Hyman Minsky. Teori ini melihat bahwa krisis keuangan yang ada saat ini,

memiliki sifat siklikal yang bersandar pada teori siklus bisnis (theory of business

cycle) atau saat ini popular disebut dengan Minsky Moment. Teori siklus bisnis menjelaskan bahwa muncul sikap agresif lembaga keuangan dan investor dalam

memberikan dan menerima kredit ketika perekonomian sedang ekspansif (boom)

dan mengambil tindakan berkebalikan ketika perekonomian sedang kontraksi

(bust), sehingga menimbulkan tingginya praktek spekulasi. Fluktuasi atau gerakan

naik (boom) dan turun (bust) secara alamiah mengandung unsur ketidakstabilan

keuangan (financial instability)( Prasetyantoko, 2008).

Dalam melihat penomena ketidakstabilan keuangan (financial instability),

Minsky mengajukan the financial instability hypothesis. Asumsi dari the financial

(34)

a) Hedge

Pada tahapan ini, pelaku ekonomi dapat memenuhi semua kewajiban

pembayaran hutang dari hasil operasional perusahaannya, baik berupa cicilan dan

juga hutang pokoknya, sehingga dalam fase ini pelaku ekonomi dapat membayar

hutangnya dengan baik. Disamping itu, dalam fase ini para pelaku ekonomi sangat

berhati-hati dalam melakukan hutang dan bahkan pelaku ekonomi pada tahap ini

cenderung menahan melakukan hutang untuk investasi yang baru.

b) Speculative

Pada fase ini, terjadi ekspansi investasi yang baru oleh pelaku ekonomi.

Para pelaku ekonomi melakukan ekspansi bisnis melalui skema hutang. Dalam

kaitannya dengan hutang, pelaku ekonomi pada fase ini hanya mampu membayar

bunga pinjaman dari kas yang dimilikinya, namun tidak mampu untuk membayar

hutang pokoknya. Pada fase ini, pelaku ekonomi cenderung membayar hutang

dengan cara menjual asetnya, disamping itu pelaku ekonomi melakukan hutang

kembali pada pihak lain untuk bisa membayar hutang pokoknya.

c) Ponzi Finance

Pada fase ini, pelaku ekonomi tidak bisa lagi melakukan pembayaran

terhadap bunga pinjaman dan juga hutang pokok yang dimilikinya. Dalam fase

ini, kewajiban yang dimiliki pelaku ekonomi melebihi dari nilai-nilai asetnya.

Kondisi kewajiban yang lebih besar dari aset ini, menyebabkan pelaku ekonomi

kesulitan dalam memenuhi kewajiban, bahkan jika pelaku ekonomi menjual

(35)

3

Dalam the financial instability hypothesis, Minsky (1992) menjelaskan

bahwa jika dalam perekonomian, pelaku ekonomi yang mendominasi adalah yang

bersifat hedge, maka kondisi perekonomian akan berada pada posisi yang baik dan juga seimbang. Tetapi jika dalam perekonomian di dominasi oleh pelaku

ekonomi yang speculative dan ponzi, maka perekonomian suatu negara akan sangat rentan terhadap krisis keuangan, karena kedua sifat ini akan mendorong

tingginya kredit macet pada perbankan.

Teori Minsky dapat menjelaskan terkait dengan krisis keuangan di

Indonesia 1997/1998 dan krisis keuangan global 2008. Pada tahun 1997/1998

rata-rata neraca perusahaan berada pada posisi yang sangat buruk yang

menyebabkan kredit macet, sehingga berdampak terhadap sektor perbankan

menjadi kolaps. Disisi lainnya, pelaku ekonomi banyak melakukan pinjaman luar

negeri, sehingga ketika terjadi krisis nilai tukar 1997/1998 para pelaku usaha

mengalami peningkatan nilai hutang akibat depresiasi rupiah. Saat krisis keuangan

1997/1998, mayoritas pelaku ekonomi di Indonesia berada pada posisi speculative

dan ponzi, sehingga ketika terjadi gejolak nilai tukar, para pelaku ekonomi dan

perbankan kolaps.

Pada krisis global 2008, Miskhin (2010) juga menjelaskan terkait dengan

teori Minsky. Pada krisis global 2008, terjadi peningkatan kredit perbankan pada

saat awal krisis keuangan dan cenderung stabil sampai dengan Maret 2008 atau

berada pada fase boom. Namun, pada pertengahan tahun 2009 terjadi penurunan

tren pinjaman pada perbankan, penurunan permintaan untuk pinjaman sebagai

(36)

itu, Beachy (2012) menjelaskan bahwa terdapat moral hazard dalam krisis global

2008, perbankan melakukan penyaluran kredit perumahan terhadap nasabah yang

tidak layak mendapatkan pembiayaan. Kondisi ini menyebabkan tingginya angka

nasabah yang gagal bayar dan menyebabkan likuiditas perbankan bermasalah.

2. Teori Generasi Krisis Keuangan

Menurut Ascarya (2009) teori krisis keuangan dalam perspektif ekonomi

konvensional pada umumnya memandang krisis dari perspektif makro yang

dikembangkan dari model generasi pertama, model generasi kedua, dan model

generasi ketiga. Pembagian 3 model generasi ini berdasarkan latar belakang dan

karakteristik krisis tersebut. Berikut adalah penjelasan terkait 3 model generasi

krisis keuangan.

a) Model Generasi Pertama Krisis Keuangan

First generation model (FGM) atau sering disebut sebagai exogeneous

policy model. Model generasi pertama krisis keuangan pertama kali dikembangkan oleh Krugman (1979). Ide Krugman terinspirasi dari model yang

dikembangkan sebelumnya oleh Salant dan Henderson (1979). Flood dan Garber

(1984) kemudian menyempurnakan ide tersebut dalam bentuk modelnya untuk

menganalisis krisis keuangan. Krisis keuangan model generasi pertama timbul

karena adanya kebijakan pemerintah yang tidak konsisten terutama dalam

kebijakan moneter dan fiskal dalam sistem nilai tukar tetap.

Menurut Krugman (1979) pemerintah menggunakan defisit

anggaran yang tinggi dengan pembiayaan dari ekspansi kredit. Dampak dari

(37)

5

kelebihan likuiditas, sehingga inflasi cenderung tinggi. Kelebihan likuiditas ini

akan dikonversikan ke dalam mata uang asing dan permintaan akan uang asing

meningkat. Sementara inflasi di negara mitra utama relatif rendah, sehingga mata

uang domestik mengalami overvalue. Bila pasar menyadari hal ini, maka para

spekulan akan menyerang mata uang domestik. Sementara itu, karena

menggunakan kurs tetap, maka cadangan devisa akan terkuras untuk

mempertahankan kestabilan nilai tukar (Imansyah, 2009).

b) Model Generasi Kedua Krisis Keuangan

Krisis model ini disebut second generation model (SGM) atau

endogeneous policy model. Obstfeld dan Rogoff (1986) adalah yang pertama kali mengembangkan terkait dengan konsep model generasi kedua. Model generasi

kedua dikembangkan berdasarkan pada kelemahan model generasi pertama dan

mengusulkan peran sentral ekspektasi dan kegagalan koordinasi antar kreditur,

sehingga krisis dapat terjadi tanpa memandang terhadap kesehatan fundamental

ekonomi (Ascarya, 2009). Model generasi kedua melihat bahwa sistem kurs

sebagai sebuah kondisi jika pemerintah memutuskan tetap mempertahankan

sistem kurs tetap jika dipandang sistem ini masih berguna (misalnya untuk tujuan

mempertahankan kebijakan anti inflasi dan kredibilitas) (Imansyah, 2009).

Jika pemerintah ingin mempertahankan untuk menggunakan kurs tetap,

maka pemerintah bisa melakukan analisis manfaat dan biaya. Secara umum biaya

untuk mempertahankan kurs tetap sangat tinggi, sehingga apabila pemerintah

ingin tetap bertahan menggunakan kurs tetap, maka cadangan devisa yang dimiliki

(38)

berspekulasi sampai akhirnya cadangan devisa menjadi menipis. Akibat serangan

spekulan perekonomian bisa mengalami krisis, meskipun fakta yang ada

menunjukkan fundamental kurs yang kuat (artinya bank sentral memiliki

cadangan yang cukup untuk menyokong kurs tetap) krisis ini dinamakan

self-fullfing crises (Kusuma, 2009). Sehingga pemerintah dituntut untuk memutuskan apakah akan menahan atau melepas kurs mata uang tetap dengan memperhatikan

kondisi perekonomian.

c) Model Generasi Ketiga Krisis Keuangan

Model generasi pertama dan kedua telah berhasil menjelaskan sebelumnya

terkait dengan episode krisis mata uang, namun model generasi pertama dan

generasi kedua tidak bisa membantu para peneliti dalam memprediksi krisis

keuangan yang terjadi di Asia Timur pada tahun 1997-1998, sehingga muncul

model krisis generasi ketiga (Koc, 2009).

Menurut Kusuma (2009) krisis generasi ketiga adalah krisis yang terjadi

secara bersamaan antara krisis perbankan dan krisis nilai tukar atau twin krisis, di

sisi perbankan yang menjadi akar penyebab krisis di Asia adalah moral hazard

problem. Menurut Nasution (2003) moral hazard terjadi karena peminjam memperoleh keuntungan untuk mengalihkan proyeknya pada proyek yang

beresiko tinggi yang tidak diinginkan oleh pemberi pinjaman yang apabila

berhasil dapat memberikan keuntungan yang besar dan apabila gagal akan

ditanggung oleh pemberi pinjaman dalam bentuk tidak kembalinya kredit yang

(39)

7

Sedangkan menurut Allen (2015) moral hazar menyebabkan

meningkatnya ketidakstabilan dalam sektor perbankan, Allen (2015) juga

menegaskan bahwa dukungan pemerintah kepada bank harus dibatasi terutama

terkait dengan adanya jaminan dalam sektor perbankan. Dengan adanya jaminan

dari pemerintah, maka akan meningkatkan investasi yang berisiko tinggi oleh

perbankan, karena perbankan merasa apabila terjadi kegagalan pemerintah akan

memberikan jaminan. Akibat moral hazard ini akan menyebabkan terjadinya krisis, sehingga akan mendorong terjadinya penarikan secara besar-besaran (rush)

oleh nasabah dan perbankan akan mengalami kegagalan/kolaps. Contoh kasus dari

generasi ketiga ini adalah krisis di Asia Timur pada tahun 1997-1998 dan krisis

keuangan global pada tahun 2008.

B. Landasan Konsep

1) Definisi Krisis Perbankan

Menurut Hardy dan Pazarbasioglu (1999) fenomena tentang sektor

keuangan dan khususnya tentang krisis sektor perbankan telah banyak menjadi

bahan kajian dalam beberapa dekade terakhir. Sektor perbankan menjadi sektor

yang menarik banyak kalangan untuk meneliti lebih intens karena industri ini

memerlukan perhatian khusus dari semua pihak. Menurut Hadad dkk (2003) terdapat beberapa alasan terkait perlunya industri perbankan mendapatkan

perhatian khusus diantaranya, karena industri perbankan memiliki rasio kas

terhadap aset yang rendah, rasio modal terhadap aset yang rendah dan rasio dana

(40)

dimonitoring dengan baik, maka dapat menyebabkan krisis dan krisis perbankan

ini dapat mempengaruhi aktivitas perekonomian.

Menurut Reinhart, Goldstein dan Kaminsky (2000) krisis perbankan

adalah suatu situasi dimana terjadi bank run yang menyebabkan penutupan,

merger dan pengambilalihan oleh sektor publik, serta adanya intervensi

pemerintah untuk penalangan sektor perbankan dalam skala yang besar.

Sedangkan menurut Kunt & Detragiache (1998) menjelaskan bahwa krisis

perbankan terjadi ketika salah satu kondisi dibawah ini terpenuhi, seperti :

1) Nilai rasio kredit macet (non performing loan) melebihi dari 10 persen

dari total aset yang dimiliki perbankan.

2) Besarnya biaya operasi yang harus di keluarkan untuk penyelamatan

sektor perbankan mencapai 2 persen dari GDP suatu negara.

3) Permasalahan dalam sektor perbankan menyebabkan terjadinya

nasionalisasi dalam skala besar.

4) Terjadinya bank panic atau terjadi penarikan secara besar-besaran oleh nasabah, akibatnya pemerintah mengambil tindakan darurat untuk

menyelamatkan sektor perbankan melalui pembekuan deposito nasabah,

atau adanya jaminan deposito umum yang diberlakukan oleh pemerintah

dalam menanggapi krisis.

Terkait dengan terjadinya krisis perbankan, Miskhin (1996) menjelaskan

krisis perbankan sebagai gangguan dalam sistem perbankan, hal ini disebabkan

(41)

9

perbankan, sehingga menyebabkan sektor perbankan tidak dapat secara maksimal

menyalurkan dananya pada pihak yang produktif.

Miskhin (1996) mengamati bahwa terdapat 2 konsekuensi akibat dari

asymmetric information, yaitu adverse selection dan moral hazard. Adverse selection merupakan masalah yang terjadi sebelum transaksi, sedangkan moral hazard terjadi setelah transaksi. Terkait dengan adverse selection, terdapat pihak

pencari kredit yang tidak berkualitas sangat aktif dalam mendapatkan kredit.

Pencari kredit akan menggunakan berbagai langkah agar bisa mendapatkan

pinjaman dari kreditor, bahkan dengan cara tidak jujur dan memanipulasi data.

Sedangkan untuk moral hazard, pihak yang sudah mendapatkan pinjaman dari kreditor menggunakan pinjaman yang didapatkannya secara tidak terhormat,

sehingga menciderai kepercayaan yang diberikan oleh pihak kreditor.

2) Definisi Ketahanan Perbankan

Dewasa ini ketahanan sektor keuangan sangatlah penting. Istilah terkait

dengan isu ketahanan sektor keuangan, khususnya sektor perbankan menjadi

fokus utama berbagai negara di dunia. Terkait dengan ketahanan dalam sektor

perbankan, Crossen et al (2014) menjelaskan bahwa perbankan dikatakan memiliki ketahanan jika memenuhi dua kondisi seperti: (i) perbankan mampu

menyerap guncangan tanpa harus bergantung pada dukungan dari pihak

pemerintah, (ii) kemampuan sektor perbankan dalam menjalankan fungsi-fungsi

ekonomi secara berkelanjutan, khususnya dalam menjalankan fungsinya sebagai

lembaga intermediasi, seperti menyediakan kredit, menghimpun dana dari

(42)

Berry et al (2015) mendefinisikan bahwa ketahanan dalam sektor perbankan

merupakan suatu kondisi dimana individual bank mampu menahan guncangan

dari berbagai sumber, baik dari internal perbankan maupun dari eksternal

perbankan. Ketika timbul gejala guncangan, maka perbankan akan mampu

menyesuaikan atau menyerap risiko atau merespon dengan cepat setiap guncangan

yang muncul, sehingga perbankan mampu mengantisipasi secara dini berbagai

potensi guncangan yang dapat mempengaruhi kinerja perbankan.

Di sisi lainnya, Bank Indonesia (2010) menjelaskan bahwa pentingnya

ketahanan sektor perbankan bagi Indonesia dikarenakan sektor ini menjadi salah

satu sektor utama yang berperan dalam menjalankan perekonomian Indonesia dan

mayoritas pangsa pasar lembaga keuangan di Indonesia didominasi oleh sektor

perbankan.

3) Krisis dalam Persfektif Ekonomi Islam

Menurut Ascharya (2009) terdapat beberapa penyebab krisis dari sudut

pandang ekonomi Islam, diantaranya :

a) Kelebihan Persediaan Uang

Ketika pemerintah melakukan pencetakan uang (seigniorage), pembuatan

uang bank melalui perbankan cadangan fraksional (fractional reserve banking)

dan penciptaan daya beli artifisial termasuk kartu kredit serta batas pemberian

kredit, akan mendorong terciptanya instabilitas dalam sistem keuangan (Ascarya,

2009). Keuntungan percetakan uang melalui seigniorage oleh pemerintah,

menciptakan angka inflasi yang tinggi (hyperinflation) bagi perekonomian. Salah

(43)

11

untuk mendanai perang dunia 1 (world war I). Akibatnya, jumlah peredaran uang

Marks Jerman melonjak tajam dan bahkan pada November 1923, nilai Marks

terhadap dolar terdepresiasi menjadi sekitar 1.000.000.000.000 (1 USD= 1 Triliun

Marks) (Schachter dan Sophister, 2005). Disamping itu, terdapat contoh lain dari

krisis keuangan seperti pada masa kekaisaran Utsmani tahun 1839 M. Pada zaman

ini, pemerintah mencetak uang kertas Al-Qa‟imah secara besar-besaran, sehingga

mendorong harga barang menjadi naik dan mengarah pada krisis. Akibat kondisi

ini, pencetakan uang kertas Al-Qa‟imah dihentikan, tepatnya pada tahun 1862 M

(Ascharya, 2009).

Nabi Muhammad shalalahu „alaihi wasallam melarang umatnya untuk

melakukan ghuluw (berlebih-lebihan) dalam hidupnya, agar umat Islam tidak

berbuat seperti yang diperbuat umat-umat terdahulu.

b) Spekulasi

Menurut Choudhury (2010), krisis perbankan 1997/1998 yang melanda

kawasan Asia tidak terlepas dari aktivitas spekulasi para spekulan, terutama dalam

sektor real estate. Tindakan para spekulan menjadikan harga properti meningkat

tajam, kondisi ini menyebabkan gelembung ekonomi (bubble economy). Bahkan,

tindakan spekulan dalam spekulasi harga real estate dan industri lainnya, akan

terus memberikan kontribusi terhadap krisis keuangan pada masa yang akan

(44)

Ascharya (2009) mengamati bahwa tindakan spekulasi merupakan zero

sum game (keuntungan yang didapatkan oleh suatu pihak merupakan kerugian

yang sama dari pihak lain), tingginya aktivitas zero sum game dapat berdampak

negatif terhadap perekonomian, karena aktivitas ini tidak dapat memberikan nilai

tambah yang riil dalam perekonomian. Kondisi ini bertolak belaka dengan

investasi pada sektor riil, justru dalam sektor riil dapat memberikan nilai tambah.

Islam melarang umatnya untuk melakukan spekulasi, transaksi

penimbunan, pasar gelap dan transakti tidak adil lainnya. Namun, Islam

membolehkan umatnya untuk mendapatkan keuntungan komersial (Engineer,

2007). Larangan ini terdapat dalam sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:

ْنعىبأةرْيرهلاق: ى نل ْ سره ىَلصه هْيلعمَلس ْنععْيبةاصحْلا ْنع عْيبررغْلا–ها ر

مل س م

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah SAW melarang jual-beli

dengan lempar kerikil dan jual-beli gharar (spekulasi)”. [HR. Muslim].

c) Sistem Bunga (Riba)

Menurut Ascharya (2009) riba adalah prinsip sentral dari sistem Islam,

yang secara harfiah berarti kelebihan dan ditafsirkan sebagai setiap peningkatan

modal yang tidak dibenarkan baik dalam bentuk pinjaman atau penjualan. Lebih

tepatnya, semua nilai positif, tetap dan telah ditentukan yang terkait dengan

tanggal jatuh tempo dan jumlah pokok (yaitu, dijamin tanpa memperhatikan

kinerja investasi) dianggap riba dan dilarang. Dilarangnya riba karena merupakan

(45)

13

Islam sangat melarang umatnya untuk menggunakan sistem bunga dalam

setiap aktivitas perekonomian, karena keuntungan yang didapatkan oleh seseorang

menjadi beban bagi pelaku usaha lainnya. Dalam Al-Qur‟an sudah dijelaskan

terkait bahayanya riba. Penjelasan terdapat dalam surat al-Baqarah: 278-279, isi

surat tersebut adalah sebagai berikut :

ي م م مت ك ب لا م يقب م ا ذ َا ا قتا ا مآ ي لا يأ ي

Artinya “ (278). Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang

beriman. (279). Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba),

maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu dan jika kamu

bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak

menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

d) Sistem Moneter Internasional

Perekonomian dunia saat ini didominasi oleh penggunaan uang hampa

(fiat money). Dalam pencetakan uang hampa (fiat money) tidak disokong oleh

emas. Beberapa negara mendapatkan keuntungan dalam pencetakan uang hampa

(fiat money). Salah satu negara yang paling di untungkan adalah Amerika Serikat

dan negara-negara Eropa, karena dolar AS dan Euro Eropa digunakan sebagai

transaksi perdagangan internasional. Kondisi ini menyebabkan AS dan Uni Eropa

mampu mengeksploitasi negara-negara dengan perekonomian kecil dan

berkembang. Contohnya, jika AS dalam mencetak uang nilai US$ 100 hanya

(46)

seigniorage, karena mata uangnya mayoritas digunakan oleh masyarakat dunia

(Ascharya,2009).

e) Decoupling Sektor Riil dan Moneter

Menurut Ade (2009) kepincangan antara sektor moneter (keuangan) dan

sektor riil yang dalam Islam dikategorikan dengan riba. Sektor moneter

(keuangan) mengalami mengalami perkembangan yang pesat dan meninggalkan

jauh sektor riil. Kondisi ini menyebabkan instabilitas dalam perekonomian, seperti

krisis keuangan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997/1998 dan krisis global

2008 tidak terlepas dari adanya dikotomi antara sektor moneter dan sektor riil.

Menurut Agustianto (2008) ekonomi Islam tidak mengenai dikotomi

antara sektor riil dan moneter. Sektor moneter dalam definisi ekonomi Islam

adalah mekanisme pembiayaan transaksi atau produksi di pasar riil, sehingga jika

menggunakan istilah konvensional, maka karakteristik perekonomian Islam

adalah perekonomian riil, khususnya perdagangan dan melarang riba.

4) Penentuan Indikator dalam Monitoring Krisis Perbankan Syariah Reserve bank of new Zealand mengusulkan beberapa kriteria indikator

yang dapat mengidentifikasi timbulnya kondisi build up dari risiko sistemik, kriteria tersebut adalah sebagai berikut (Wolken, 2013) :

(1) Memiliki keterkaitan (relevance)

Indikator harus mampu menjelaskan terkait dengan kondisi perekonomian

(47)

15

(2) Datanya dapat dikumpulkan (collectable)

Data dari suatu indikator harus dapat dikumpulkan dan digunakan secara

berlanjut untuk jangka waktu yang panjang.

(3) Komprehensif dan dinamis (comprehensive & dynamic)

Indikator tersebut bersifat menyeluruh dalam sistem keuangan dan dapat

berubah seiring berjalannya waktu.

(4) Dapat untuk melihat kedepan kondisi keuangan (forward looking)

Indikator yang ada diharapkan dapat digunakan untuk melakukan prediksi

terhadap kondisi perekonomian pada masa yang akan datang, sehingga policy

maker dapat melakukan antisipasi terhadap berbagai potensi risiko. (5) Akurat (accurate)

Suatu indikator memiliki tingkat kesalahan paling kecil dalam

memberikan sinyal. Dalam mengukur kecilnya kesalahan ini dapat dilihat melalui

nilai noise to signal ratio (NSR) dalam early warning system (EWS).

Menurut Bank Indonesia (2016) pembahasan mengenai indikator dalam

monitoring risiko sistemik adalah sebagai berikut :

a) Indikator Monitoring Berdasarkan Arah Indikator monitoring berdasarkan arah terdiri dari :

1) Procyclical indicators

Indikator ini memiliki pergerakan satu arah dengan siklus bisnis (business cycle).

2) Countercyclical indicators

Indikator ini memiliki pergerakan yang tidak satu arah dengan kondisi

(48)

3) Acyclical indicators

Indikator ini tidak memiliki hubungan jelas dengan kondisi siklus bisnis

(business cycle).

b) Indikator Monitoring Berdasarkan Waktu 1) Leading indicators

Indikator ini memiliki sifat yang pergerakannya lebih dulu daripada

pergerakan perekonomian agregat. Kondisi ini menyebabkan indikator yang

bersifat leading dapat digunakan untuk memprediksi kondisi perekonomian.

2) Coincident indicators

Pergerakan dalam indikator yang bersifat Coincident adalah bersamaan dengan siklus bisnis (business cycle). Dengan indikator ini, kita dapat mengetahui

kondisi perekonomian yang sedang terjadi.

3) Lagging indicators

Pergerakan dalam indikator ini terjadi setelah siklus bisnis (business

cycle).

c) Indikator Monitoring Berdasarkan Komponen Pembentuk Indikator ini terdiri dari :

1) Single indicators

Indikator ini disusun hanya menggunakan beberapa data dan indikator ini

dapat digunakan untuk menangkap satu pergerakan atau kondisi dalam sistem

keuangan. Salah satu contoh single indicators dalam perbankan Syariah adalah

(49)

17

2) Composite indicators

Indikator ini disusun berdasarkan gabungan lebih dari beberapa indikator

dalam perekonomian. Salah satu contoh composite indicators adalah indeks

stabilitas sistem keuangan (ISSK) yang digunakan BI untuk menilai kondisi

stabilitas sistem keuangan dalam pengawasan makroprudensial.

5) Sistem Deteksi Dini/Early Warning System(EWS)

a) Pengertian Sistem Deteksi Dini/Early Warning System(EWS) Menurut Kamisky et al (1998) early warning system merupakan sebuah

model yang memiliki tujuan untuk memantau berbagai indikator keuangan

maupun ekonomi yang dapat dijadikan sinyal akan terjadinya krisis dalam waktu

yang dekat. Sedangkan Edison (2000) menyatakan bahwa early warning system adalah salah satu cara atau mekanisme dalam melakukan prediksi terhadap adanya

krisis. Disisi lain, Imansyah dan Kusdarjito (2009) melihat bahwa early warning

system dapat digunakan sebagai alat yang dapat memonitoring atas kerapuhan sistem keuangan yang berpotensi menciptakan krisis keuangan. Dengan

menggunakan early warning system, maka pembuat kebijakan (policy maker) memiliki kesempatan untuk membuat kebijakan prefentive dalam mengantisipasi

dan memitigasi risiko sistemik.

Dalam penelitiannya terkait dengan krisis mata uang, Kaminsky, Lizondo

dan Reinhart (KLR) (1998) mengamati beberapa hal terkait dengan EWS, seperti :

1. Sistem deteksi dini yang baik setidaknya terdiri dari indikator-indikator

(50)

2. Krisis mata uang dapat dideteksi melalui beberapa variabel seperti : defisit

fiskal, nilai tukar riil, cadangan devisa, pertumbuhan kredit, pertumbuhan

PDB riil dan M2/cadangan devisa.

3. Disamping variabel yang disebutan sebelumnya, beberapa variabel luar

negeri, kelembagaan dan keuangan dapat digunakan untuk memonitoring

krisis mata uang.

4. Variabel terkait dengan profil hutang dari eksternal.

b) Perkembangan Sistem Deteksi Dini/Early Warning System (EWS) Abimanyu dan Imansyah (2008) melihat bahwa terdapat berbagai

pendekatan yang ada dalam sistem deteksi dini, seperti pendekatan parametrik

(ekonometrik) baik yang logit dan probit, markov-switching model, nonparametrik

(pendekatan model sinyal), pendekatan jaringan saraf tiruan dan berbagai model

lainnya. Melihat banyaknya model dalam EWS, merangsang para peneliti untuk

melakukan penelitian tentang EWS dengan menggunakan berbagai pendekatan

model seperti: Edison (2000) tentang krisis keuangan dengan menggunakan signal

aproach model, Bussiere dan Marcel (2002) tentang krisis keuangan dengan menggunakan multinomial logit model, Lestano, Jacobs dan Kuper (2003) melakukan penelitian tentang krisis nilai tukar, krisis perbankan dan krisis hutang

dengan menggunakan model logit multivariat, Imansyah dan Kusdarjito (2009)

melakukan penelitian tentang krisis keuangan dengan menggunakan model

pendekatan jaringan saraf buatan, Duasa, Kusuma dan Sumandi (2016) melakukan

penelitian tentang perbankan dengan menggunakan pendekatan sinyal, Hadad

(51)

19

Dari semua pendekatan sistem deteksi dini yang ada, memiliki kelebihan

dan kekurangan masing-masing tergantung tujuan dan ketersediaan data yang

dimiliki oleh peneliti. Hal ini dikarenakan, setiap pendekatan memiliki

karakteristik kebutuhan data yang berbeda dan tingkat kerumitan yang

berbeda-beda antar pendekatan (Abimanyu dan Imansyah, 2008).

c) Membangun Indeks Ketahanan Perbankan Syariah (Syariah Banking Robustness Index) Melalui EWS Model Sinyal

Otoritas Jasa Keuangan (2014) menjelaskan perbankan Syariah merupakan

lembaga intermediasi antara pihak yang kekurangan dana dan pihak yang

kelebihan dana. Dalam menjalankan fungsi sebagai lembaga intermediasi,

perbankan Syariah memiliki berbagai sumber potensi risiko dalam menjalankan

bisnisnya, baik yang berasal dari lingkungan eksternal dan internal. Potensi risiko

yang muncul dari internal dan eksternal ini seperti, risiko pasar, risiko kredit dan

risiko likuiditas. Bank dituntut untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan

melalui penerapan manajemen risiko yang sesuai dengan prinsip Syariah.

Melihat berbagai potensi risiko dalam perbankan Syariah seperti risiko

pasar, risiko kredit dan risiko likuiditas, maka perlu dikembangkan monitoring

terhadap berbagai potensi risiko. Guna memonitoring kondisi perbankan Syariah

di Indonesia, penelitian ini mencoba untuk menganalis indeks ketahanan

perbankan Syariah (Syariah banking robustness index ) melalui EWS dengan pendekatan model sinyal. Syariah banking robustness index (SBRI) merupakan

(52)

mendorong imbalance bagi perbankan Syariah. Disamping itu, indeks ini dapat

memantau krisis perbankan Syariah dalam waktu tertentu.

Selain SBRI, terdapat berbagai indeks yang digunakan dalam memantau kondisi keuangan suatu negara. Seperti halnya Indonesia melalui Bank Indonesia

mengembangkan indeks stabilitas sistem keuangan (ISSK) (financial stability

index (FSI). Danareksa research institute (DRI) juga telah mengembangkan suatu

indeks dalam menginterpretasikan keadaan sistem keuangan, indeks yang

dikembangkan adalah banking pressure index (BPI). selain ISSK dan BPI, Duasa,

Kusuma dan Sumandi (2016) mengembangkan Islamic banking resilience index

(IBRI) untuk memonitoring perbankan Syariah di Indonesia. Selain di Indonesia, beberapa otoritas moneter juga mengembangkan indeks untuk memantau kondisi

stabilitas perekonomiannya, seperti Studi Illing dan Liu (2003) mengelaborasi

sistem keuangan di Kanada untuk membangun financial stress index (FSI), Van

den End (2006) untuk kasus di Belanda yang disebut sebagai monetary conditions

index (MCI), financial conditions index (FCI), dan financial stability condition index (FSCI), di Rumania yang diberi nama aggregate financial stability index

(AFSI) (Gunadi, Taruna dan Harun, 2013).

C. Penelitian Terdahulu

Ascarya (2009) melakukan penelitian tentang pelajaran yang bisa dipetik

dari krisis keuangan yang berulang : persfektif ekonomi Islam. Penelitian ini

mencoba untuk membandingkan pengaruh beberapa variabel yang tediri dari

instrumen keuangan Syariah dan konvensional. Hasil dalam penelitian ini

(53)

21

money 2,8%, IR tingkat bunga 45,2%, dan lnEXC kurs 18,6%) memberi andil 66,6% terhadap krisis keuangan di Indonesia, sedangkan jika kita mengganti

ketiga sistem tersebut sesuai dengan perspektif Islam (lnJM persediaan just money

0,7%, RS laba PLS 2,5%, dan lnGOLD mata uang global tunggal 0,2%) hanya

akan memberi andil 3,4% terhadap krisis keuangan di Indonesia, atau

pengurangan besar-besaran yakni 63,2%. Dari hasil empiris ini kemudian

menunjukkan hasil bahwa jika tiga penyebab krisis keuangan yang terdiri dari fiat

money, bunga dan nilai tukar jika diganti dengan alternatif Islam seperti persediaan just money, PLS, dan mata uang global tunggal, maka maka tiga

penyebab krisis keuangan yang berakar dari riba akan dapat dihilangkan.

Jarita, Kusuma dan Sumandi (2016) melakukan penelitian tentang ketahanan

perbankan Syariah di Indonesia dengan menggunakan pendekatan sinyal.

Penelitian ini mencoba untuk membangun Islamic banking resilience index

(IBRI) dengan menggunakan data sejak 2004 sampai 2016. Penelitian ini menggunakan beberapa variabel diantaranya, rasio M2 terhadap cadangan devisa,

pertumbuhan kredit domestik, nilai tukar riil dan inflasi. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa kinerja perbankan Syariah pada tahun 2004 cukup buruk,

namun secara bertahap stabil, penggunaan beberapa variabel makro seperti rasio

m2 dengan cadangan devisa, pertumbuhan kredit domestic, nilai tukar riil dan

inflasi secara empiris menunjukkan tingkat noise to signal ratio (NSR) yang rendah.

Hardy dan Pazarbasioglu (1998) melakukan penelitian untuk krisis

(54)

Penelitian ini menggunakan 38 negara dari 1980-1997. Penelitian ini mencoba

untuk mengidentifikasi peran dari makroekonomi, sektor perbankan dan sektor rill

menjelang terjadinya gangguan dalam sistem perbankan. Secara empiris penelitian

ini menemukan bahwa tekanan yang terjadi dalam sistem perbankan dikaitkan

dengan penurunan pada GDP rill, adanya prosiklikalitas ekonomi, inflasi,

ekspansi kredit dan aliran modal.

Muliaman D. Hadad dkk (2003) tujuan dari penelitian ini adalah untuk

menentukan faktor-faktor yang dapat menyebabkan krisis perbankan. Penelitian

ini secara umum menggunakan beberapa sektor, seperti kelompok variabel sektor

riil meliputi pertumbuhan PDB riil, pertumbuhan konsumsi swasta, dan

pertumbuhan investasi. Selanjutnya, untuk kelompok variabel sektor perbankan

digunakan data dana pihak ketiga dan kredit kepada sektor riil, sementara untuk

kelompok variabel shocks digunakan data inflasi dan nilai tukar riil. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor makroekonomi, internal

perbankan, dan shocks secara bersama-sama dapat dijadikan indikator awal terjadinya krisis/severe distress pada industri perbankan.

Hagen dan Ho (2006) melakukan penelitian dengan judul money market pressure and the determinants of banking crises. Penelitian ini membangun index

of money market pressure untuk mengidentifikasi krisis perbankan. penelitian ini menggunakan data dari 47 negara dari tahun 1980 sampai 2001 dan menganalisis

menggunakan model logit. Penelitian ini menemukan bahwa krisis perbankan

dapat dijelaskan melalui beberapa kondisi seperti resesi yang parah, adanya inflasi

(55)

23

tukar rill dan skema asuransi deposito. Penelitian ini juga menjelaskan bahwa

krisis mata uang dapat meningkatkan kemungkinan krisis pada sistem perbankan,

terutama dampak menular atau contagion effect dari negara maju.

Imansyah dan Kusdarjito (2009) melakukan penelitian dengan judul

“meramalkan potensi risiko krisis atau instabilitas di sektor keuangan: pendekatan

jaringan saraf buatan”. Penelitian ini menggunakan sistem deteksi dini dengan

model jaringan saraf buatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan

model krisis keuangan di Indonesia. Dalam penelitian ini dapat menggabungkan

semua sektor seperti pasar mata uang asing, pasar saham dan perbankan dalam

satu model yang terintegrasi. Hasil dari penelitian ini adalah mampu

mengidentifikasi 19 indikator utama yang harus diawasi secara seksama untuk

menghindarkan dan mengantisipasi ketidakstabilan di seluruh sektor keuangan di

Indonesia. Indikator indikator ini adalah 1) banking-foreign liabilities, 2)

commodity food price index, 3) commodity industrial inputs price index,4) credit/GDP growth,5) current account/GDP,6) fiscal deficit,7) foreign debt/IR,8)

government consumption/GDP,9) imports growth,10) inflation yoy,11) international reserves,12) IR/import,13) JSX growth,14) lending/saving interest rate,15) M2 multiplier growth,16) M2/IR growth,17) real exchange rate deviation

from trend,18) short-term capital flow/GDP, dan 19) spread real int. rate on

deposit-fed fund rate.

Weni Septi Susanti (2016) melakukan penelitian dengan judul analisis

tekanan perbankan di Indonesia. Data penelitian yang digunakan dalam penelitian

Gambar

GAMBAR  1.1
GAMBAR 1.2
GAMBAR 1.3
GAMBAR 1.4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Definisi Teknologi Intruksional dirumuskan oleh Miarso (2012 : 137) adalah teknologi Intruksional adalah suatu cara yang sistematik untuk merancang, melaksanakan

Faktor yang juga menentukan besarnya nilai efisiensi yang dimiliki oleh boiler adalah besarnya nilai kalor dari bahan bakar yang digunakan, yang mana semakin besar nilai

Penulisan Tugas Akhir ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam tentang sistem pengadaan barang yang dilaksanakan di PDAM Tirta Satria mulai dari permintaan dan

Dengan Meningkat tingkat berpikir siswa, siswa akan lebih mudah dan lebih kereatif menyelesaikan masalah matematika tentang segiempat yang diinterpretasi dalam

Penelitian dan pengembangan mengenai bahan ajar kurikulum 2013 untuk mencegah bahaya rokok, minuman keras dan NAPZA bagi kesehatan di kelas V Sekolah Dasar.. Tujuan penelitian

Timbul bintik-bintik pada kulit Kulit menjadi hitam dan menebal Penderita mudah dirangsang Timbulnya nodus-nodus lentikular Timbulnya limfadenopatia bila ada infeksi Timbulnya

Oleh karena pada masyarakat manapun tak mungkin dapat mengelakkan terjadinya konflik tentang pembagian barang-barang yang ada di dalam masyarakat; konflik tentang

Arus yang tinggi disebabkan karena material sensor semikonduktor lebih banyak bereaksi dengan molekul- molekul LPG dibandingkan dengan molekul-molekul pada lingkungan oksigen,