• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS SOSIO – EKONOMI TERHADAP PEMBERDAYAAN PEREMPUAN : KASUS PEKERJA SEKTOR INFORMAL DI KOTA SOLO, JAWA TENGAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS SOSIO – EKONOMI TERHADAP PEMBERDAYAAN PEREMPUAN : KASUS PEKERJA SEKTOR INFORMAL DI KOTA SOLO, JAWA TENGAH"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan sektor informal saat ini mendapat sorotan serius pemerintah, khususnya pemerintah daerah dengan adanya otda. Versi Hidayat (1983) definisi secara umum dari sektor informal yaitu bagian dari sistem ekonomi kota dan desa yang belum mendapat bantuan ekonomi dari pemerintah atau belum mampu menggunakan bantuan yang telah disediakan dan atau sudah menerima bantuan tapi belum bisa berdikari. Dari definisi ini dapat dibedakan antara sektor informal yang berada di daerah pedesaan yang seringkali disebut sektor informal tradisional yang bergerak di bidang pertanian, dengan sektor informal yang berada di daerah perkotaan yang sebagian besar bergerak dalam kegiatan pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima sering didefinisikan sebagai suatu usaha yang memerlukan modal relatif sedikit, berusaha di bidang produksi dan penjualan untuk memenuhi kebutuhan bagi kelompok konsumen tertentu (Soeratno, 2000). Sektor usaha pedagang kaki lima tersebut seringkali menjadi incaran bagi masyarakat dan pendatang baru untuk membuka usaha di daerah perkotaan. Hal ini disebabkan karena adanya ciri khas dan relatif mudahnya membuka usaha (tidak memerlukan modal besar) di sektor tersebut (Suryahadi, dkk, 2003, Santoso, 2006 dan Tambunan 2006).

Di dalam UUD 1945, kehidupan masyarakat dalam bidang sosial - ekonomi diatur oleh pasal 27 ayat 2, pasal 33, dan pasal 34 bahwa setiap warganegara Indonesia berhak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ini artinya setiap warganegara Indonesia harus mendapatkan pekerjaan agar dia dapat memperoleh penghidupan yang layak. Bahkan sesuai pasal-pasal ini, kalaupun ada warganegara Indonesia yang tidak mendapatkan pekerjaan atau menganggur, dia tetap mempunyai hak untuk mendapatkan kehidupan layak (Tambunan, 2006). Ini berarti, jika ia bekerja, ia berhak mendapatkan upah yang manusiawi, dalam arti dengan upah tersebut ia bisa hidup layak (Suryahadi, dkk, 2003). Sedang bagi pengangguran, pemerintah mempunyai tanggung jawab penuh memberikan kehidupan layak baginya. Norma ini ditegaskan di dalam pasal 34 yang mengatakan bahwa orang miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

(2)

2 Pengembangan ekonomi lokal diarahkan untuk mencapai 3 tujuan yang saling terkait: (i) penciptaan pertumbuhan ekonomi dan juga lapangan kerja; (ii) berkurangnya jumlah penduduk miskin, dan (iii) terwujudnya kehidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihood). Untuk mencapai tujuan-tujuan itu, fokus strategi diletakkan pada 3 dimensi strategi yaitu: daya tarik, daya tahan dan daya saing ekonomi lokal. Ketiga dimensi itu tidaklah terisolir satu sama lain, tapi merupakan rantai yang saling bergantung. Dengan demikian, semua faktor yang membentuk daya tarik serta daya tahan adalah fundamen penting bagi proses penciptaan daya saing. Dengan kata lain, jika otda dan pemekaran wilayah bisa optimal, maka seharusnya terjadi peningkatan kinerja ekonomi di daerah dan karenanya tidaklah perlu lagi ada kementrian untuk memacu pembangunan daerah tertinggal.

Implikasi yang tidak bisa terlepas dari kondisi kemiskinan dan pengangguran yaitu laju peningkatan terhadap keberadaan pekerja sektor informal terutama di perkotaan. Hal ini juga yang memicu fenomena migrasi, baik temporer atau permanen dari desa ke kota (Handayani, 2005). Mereka yang melakukan migrasi temporer biasanya disebut sebagai penglaju (lajon) dan jumlah dari komunitas ini cenderung terus meningkat setiap tahun. Dampak dari fenomena migrasi adalah kepadatan semu di perkotaan dan fakta ini tentu memberi ancaman serius terhadap tata kota dan pranata sosial kemasyarakatan termasuk tentunya ancaman konflik antara warga asli dan pendatang (http://www.akatiga.or.id).

Keberadaan pekerja sektor informal di perkotaan memang cenderung mengalami proses peningkatan setiap tahun dan situasi ini mencapai puncaknya ketika terjadi krisis. Fakta lain yang juga menarik dikaji ternyata keberadaan kaum perempuan yang terjun dalam dunia sektor informal di perkotaan juga makin meningkat. Di satu sisi keberadaan kaum perempun pekerja sektor informal di perkotaan memberi dampak positif terhadap ekses peningkatan pendapatan dan kesejahteraan keluarga, tapi di sisi lain ancaman terhadap pelecehan dan kekerasan juga bukan tidak ringan. Oleh karena itu, perlu adanya proses pemberdayaan terhadap eksistensi dan kiprah kaum perempuan pekerja sektor informal di perkotaan agar keberadaan mereka tidak dilecehkan tapi justru di hormati – dihargai.

B. Perumusan Masalah

Mengacu pada problem kompleks tentang kemiskinan, pengangguran dan migrasi yang terjadi di perkotaan, maka tentu perlu adanya pendekatan holistik untuk bisa meredam dampak negatif dari itu semua. Oleh karena itu, permasalahan penelitian ini adalah:

1. Bagaimana potret kemiskinan dan pengangguran yang sebenarnya terjadi sehingga memicu migrasi, baik temporer atau permanen di perkotaan?

2. Bagaimana dampak migrasi terhadap perkembangan sektor informal di perkotaan yang cenderung terus meningkat setiap tahun?

(3)

4. Bagaimana komitmen terhadap pemberdayaan perempuan pekerja sektor informal dalam upaya untuk bisa lebih meningkatkan pendapatan keluarganya, kesejahteraan sosial - masyarakat dan menjunjung harkat – martabat kaum perempuan?

(4)

51 Daftar Pustaka

Akatiga, Sektor Jasa Perdagangan: Suatu Fenomenal Krisis-Studi Kasus Pedagang Angkringan di Yogyakarta (http://www.akatiga.or.id)

Aminudin, Taufik (2003), Studi pengembangan industri kecil di Daerah Istimewa Yogyakarta, Tesis Program Pascasarjana Departemen Teknik Planologi, ITB, Bandung.

Arango, J. (2000), Explaining migration: A critical view. International Social Science Journal, 165:283–296.

Basri, M. C. (2002), Wajah Murung Ketenagakerjaan Kita, Kompas, 25 November. Becker, K. F. (2004), The Informal Sector: Fact Finding Study

(www.worldbank.org)

Brata, Aloysius Gunadi (2004), Nilai ekonomis modal sosial pada sektor informal perkotaan, Lembaga Penelitian Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, Agustus. Braudel, Fernand (1992), Civilization and Capitalism 15th – 18 th Century, Vol.II: The

Wheels of Commerce, Barkeley and Los Angeles: University of California Press. Gilbert, Allan dan Josef Gugler, (1984), Cities, Poverty and Development, Oxford: Oxford

University Press

Glendoh, Sentot Harman (2001), Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil, Jurnal Manajemen & Kewirausahaan, Vol. 3, No. 1, Maret, hal. 1 – 13.

Greenwood, M.J. (1997), Internal migration in developed countries. In: Rosenzweig, M.R. dan Stark, O. (eds). Handbook of population and family economics. Volume 1B. Amsterdam: Elsevier, pp. 647–720.

Grootaert, C. (1999), Social Capital, Household Welfare and Poverty in Indonesia, Local Level Institution Study Working Paper No. 6. Washington, D.C: The World Bank. Handayani, K. Nurul (2005), Informal Street Activities: A Case on Sustainable Urban

Cultural Identity of Pecinan Semarang, Indonesia, 8th International Conference of The Asian Planning Schools Association, 11-14th September.

Harun, Nurlaila (2001), Faktor-faktor yang mempengaruhi peluang kerja wanita dari lapisan bawah masyarakat pada sektor informal di Kecamatan Molas, Manado, Tesis, Program Pascasarjana, ITB, Bandung.

Haryono, Tulus, (1989), Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Usaha Pedagang Kaki Lima: Studi Kasus di Kodya Surakarta, Tesis, Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada.

Hidayat (1983), Pengembangan Sektor Informal dalam Pembangunan Nasional: Masalah dan Prospek. Pusat Penelitian Ekonomi dan Sumber Daya Manusia, Fakultas Ekonomi. Bandung: Universitas Pedjajaran.

Ibnusalam (2002), Analisa faktor-faktor penyebab kemiskinan masyarakat desa: Suatu studi pada Desa Bulucina, Tarutung Sihoda-Hoda dan Desa Gontong Jae Kecamatan Barumun Tengah, Kabupaten Tapanuli Selatan, Tesis Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

International Labour Office (1994), Survey of Economically Active Population, Employment,Unemployment and Underemployment. Geneva.

(5)

Kalyanamitra (2005), Tenaga kerja wanita Indonesia: Pahlawan devisa tanpa perlindungan, Program Kerja Riset, Informasi dan Dokumentasi, Analisa Topikal, Januari.

Kinlock, Graham C (1997), Sociological Theory, It’s Development and Major Pardigma. Florida State University: Mc Graw Hill Book Company.

Komnas Perempuan (2002), Peta kekerasan: Pengalaman Perempuan Indonesia, Jakarta Lembaga Demografi FEUI bersama ILO Manila (2002), Dimensi Gender dalam Krisis

Ekonomi, Jakarta.

Lucas, R.E.B. (1997), Internal migration in developing countries. In: Rosenzweig, M.R. dan Stark, O. (eds). Handbook of population and family economics. Volume 1B. Amsterdam: Elsevier, pp. 721–798.

Massey, D.S., Arango, J., Hugo, G., Kouaouci, A., Pellegrino, A. dan Taylor, J.E. (1993), Theories of international migration: A review, Population and Development Review, 19(3):431–466.

Nugroho, Heru (1995), Kemiskinan, ketimpangan dan kebijakan dalam kemiskinan dan kesenjangan di Indonesia, Adity Mulia, Yogyakarta.

Prihatinah, Tri Lisiani (2005), Women and income generating projects: The gender impacts of Indonesian government policies, Disertasi PhD, Murdoch University.

Purwanugraha, H.A dan Th A.M Harsiwi (2002), Dampak krisis ekonomi terhadap keberadaan PKL di kawasan Malioboro: Studi pada aspek manajemen dan pengelolaan modal, MODUS: Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta Volume 14 (1).

Putman, Robert., (1995), Bowling Alone: America’s Declining Social Capital, in Journal of Democracy, Vol. 6, No. 1, January. hal. 65-78

Riyadi, Salehuddin, dan Imam Subekti (2000), Beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja usaha pedagang eceran: Studi kasus pedagang pakaian kaki lima di Malang, Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, vol. 12, no. 1, Pebruari, hal. 40-48.

Runtang, Westing (1999), Peranan wanita pekerja informal dalam perekonomian rumah tangga di Kotamadya Jayapura, Jayapura - Irian Jaya, Tesis, Program Pascasarjana, ITB, Bandung

Rukmana, Deden (2005), Pedagang Kaki Lima dan Informalitas Perkotaan, http://www.uplink.or.id

Sallatu, Abdul Madjid dan Sultan Suhab (2003), Pemberdayaan ekonomi rakyat: Pergulatan mewujudk keadilan sosial di era destoda, Analisis, Vol. 1, No. 1, September, hal. 48-55.

Sandee, Henry, Brahmantio Isdijoso, dan Sri Sulandjari (2002), SME clusters in Indonesia: An Analysis of Growth Dynamics and Employment Conditions, Laporan Penelitian kerjasama dengan ILO, Jakarta.

Santoso, Slamet (2006), Kemampuan bertahan pedagang warung Hik di Kota Ponorogo, Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 7, No. 2, 2006: 188-201

(6)

53 Soeprobo, Tara Bakto; Rani Toersilaningsih, Daksini, Muda Saputra, Dwini Handayani, Tata Tachman, Donovan Bustami, Endang Pudjani, Zainul Hidayat, Armanto Sulistiono (2003), Perbaikan Kerja dan Kondisi Pekerjaan dalam Ekonomi Informal: Identifikasi Prakarsa Praktis untuk Pedagang Pasar dan Pedagang Jalanan di Tangerang, Lembaga Demografi FE-UI kerjasama dengan ILO.

Soeratno (2000), Analisa Sektor Informal : Studi Kasus Pedagang Angkringan di Gondokusuman Yogyakarta, Jurnal OPTIMUM. Volume 1, Nomor 1 September, Yogyakarta.

Standing, Guy (1978), Labour Force Participation and Development. Geneva: ILO. Su’adah (2000), Problematika pertumbuhan sektor informal di Kodia Malang,

JIPTUMM/Universitas Muhammadiyah Malang, http://digilib.menlh.go.id

Sudarmadji, Bambang Wahyu (2005), Studi Karakteristik Pedagang Kaki Lima di Kota Bogor, Majalah Ilmiah "Globe", Yayasan Peduli Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Lisuali). Jakarta.

Sudarmadji, B.W dan Sri Lestari Munajati (2005), Jurnal Ilmiah Geomatika Vol.11 No.2, Desember.

Suharto, E. 2003. Accomodating the Urban Informal Sector in the Public Policy Process: A Case Study of Street Enterprises in Bandung Metropolitan Region (BMR), Indonesia. Policy Paper – International Policy Fellow. (www.policy.hu).

Suroto. 1992. Strategi Pembangunan dan Perencanaan Kesempatan Kerja. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Suryahadi, A., W. Widyanti, D. Perwira, S. Sumarto, (2003), mMinimum Wage Policy and Its Impact on Employment in the Urban Formal Sector, Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol 39 No 1, hal.29-50.

Suryawati, Chriswardani (2005), Memahami kemiskinan secara multidimensional, JMPK Vol. 08/No.03/September/2005, hal. 121-129.

Sutopo. HB (2002), Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Tagaron, Rusdi dan Encop Sofia, (2000), Buruh Migran Indonesia Mencari Keadilan, Bekasi: Solidaritas Perempuan.

Tambunan, Tulus (2006), Keadilan dalam ekonomi, Makalah Kadin Indonesia – Jetro, Jakarta.

Tarigan, Antonius (2000), Sektor informal: parasitkah mereka atau a necessary evil?: Studi kasus etnografi tukang ojek, Kelurahan Cibubur, Jakarta Timur, Makalah Program Doktor UI, Jakarta.

Tukiran (2005), Perubahan kesempatan kerja perempuan di Jawa – Bali 1980 – 2003: Tinjauan demografi makro, Center for Population and Policy Studies, Gadjah Mada University, april.

Yudanto, Noor dan M. Setyawan Santoso (1998), Dampak krisis monter terhadap sektor riil, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Septermber, hal. 131-201.

Wiranto, Tatag (2002), Profil kemiskinan di pedesaan, INFO URDI, Vol.14.

(7)

LAPORAN PENELITIAN KAJIAN WANITA

ANALISIS SOSIO – EKONOMI TERHADAP PEMBERDAYAAN PEREMPUAN : KASUS PEKERJA SEKTOR INFORMAL DI KOTA SOLO, JAWA TENGAH

Oleh: M. Nasir, SE, MM Sri Murwanti, SE, MM

DIBIAYAI PROYEK PENGKAJIAN DAN PENELITIAN ILMU PENGETAHUAN TERAPAN DENGAN SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN NOMOR: 019/O06.2/PP/KT/2009 DIREKTORAT PEMBINAAN PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT

DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

FAKULTAS EKONOMI

(8)
(9)

Ringkasan

Pertumbuhan sektor informal terutama PKL di Solo sangat pesat dalam kurun waktu enam tahun terakhir. Tumbuhnya perdagangan kaki lima di Solo, seiring dengan krisis yang menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaannya. Para pekerja yang menjadi korban PHK kemudian mencoba peruntungan untuk menjadi seorang entrepenur kecil-kecilan yaitu sebagai PKL. Kemunculan mereka pada awal tahun 1999 sempat dianggap sebagai fenomena positif karena mengurangi pengangguran. Namun seiring pemulihan kondisi perekonomian lokal – nasional, PKL dianggap mengganggu pemandangan kota.

Hasil penelitian menunjukan untuk PKL kelompok non-makanan ternyata menjadi jenis perdagangan yang paling banyak dilakukan para PKL di Solo, selanjutnya yaitu jenis perdagangan makanan dan minuman. Terkait aspek demografis, misalnya tentang umur didominasi usia antara 21-30 tahun yang mencapai 52 orang (35%), status pendidikan formal PKL terbanyak yaitu lulusan SMU mencapai 49 orang (33%), mayoritas jenis kelamin PKL adalah perempuan 90 orang (60%), status daerah asal para PKL ternyata berimbang antara warga asli 89 orang (59%) dan pendatang 61 orang (41%), dan status perkawinan didominasi PKL yang berstatus sudah menikah yaitu 94 orang (63%), juga jumlah tanggungan keluarga rata-rata yaitu mempunyai satu anak yang mencapai 43 orang (29%).

Tingginya klasifikasi usia produktif yang terjun menjadi PKL yaitu mencapai 70 orang (35%) menunjukan bahwa daya serap sektor formal memang sangat terbatas sehingga tidak semua angkatan kerja produktif tertampung di sektor formal. Fakta temuan bahwa sejumlah alumi perguruan tinggi yang mau terjun menjadi PKL yaitu mencapai 31 orang (21%) justru menunjukan bahwa etos kewirausahaan memang haruslah dipupuk tidak saja dari pendidikan dasar tetapi juga di pendidikan tinggi.

Bahwa status tempat usaha mayoritas yaitu milik pribadi yang mencapai 109 (55%) menunjukan bahwa masyarakat telah mampu memanfaatkan lahan yang dimilikinya secara optimal, terutama mereka yang berada di jalur utama transportasi perkotaan. Selain itu, mayoritas pekerjaan di daerah asal para PKL adalah sebagai petani yang mencapai 61 orang (41%) dan buruh yaitu 27 orang (23%). Ini secara tak langsung justru menunjukan bahwa sektor pertanian saat ini memang tidak lagi menjanjikan terhadap kesejahteraan sehingga beralasan jika para petani banyak yang bermigrasi beralih profesi menjadi pekerja sektor informal di perkotaan termasuk juga menjadi PKL.

Yang justru menarik, ternyata mejadi PKL bisa merubah status sosial dan ini terlihat dari aspek status kepemilikan tanah-sawah sebelum dan setelah menjadi PKL. Data sebelum menjadi PKL ternyata status kepemilikan tanah-sawah mencapai 99 yang milik sendiri (66%), sedangkan setelah berprofesi menjadi PKL ternyata status dari kepemilikan tanah-sawah meningkat menjadi 121 orang yang memiliki hak pribadi (81%).

(10)

iv menjadi PKL adalah hal yang utama yaitu mencapai 105 orang (70%) dan yang mengaku sebagai pekerjaan sambilan hanya 45 orang (30%). Konsekuensi dari pengakuan sebagai pekerjaan utama maka jumlah hari kerja mereka juga 7 hari per minggu (103 orang = 69%) dan lebih dari 12 jam per hari (91 orang = 61%). Yang juga sangat menggembirakan ternyata mayoritas dari PKL adalah bermodal sendiri yaitu mencapai 93 orang (62%) dan sisanya bermodal pinjaman, baik dari saudara ataupun perbankan yaitu mencapai 31 orang (21%) dan usaha patungan (26 orang = 17%). Secara umum, rata-rata dari mereka telah bekerja menjadi PKL lebih dari 5 tahun yaitu ada 87 orang (58%) dan yang lebih dari 10 tahun menjadi PKL hanya 5 orang (3%).

(11)

Summary

The growth of informal sector, particularly the vendors (PKLs) in Solo, has increasingly expanded for the last six years. It is a result of economic crisis that causes a lot of people to lose their jobs. For the survival, they try to build a job as a vendor. In one side, they could be considered as a positive phenomenon because could fall the unemployed and in the other side, in line with the economy their existence disturbs urban scenery.

The findings of the research indicated that from the kinds of businesses including meal, non-meal and beverage, the group of non-meal is a kind of most businesses of PKLs beverage in Solo. From the demographic aspect, the amount of the 21-30-year-old vendors is 52 people (35%); 49 (33%) vendors are a graduate of Senior High School; the majority of

the vendors’ sex is male (90 people or 60%); they are migrants (61 people or 41%) and the

rest are natives (89 people or 59%); they are married (94 people or 63%); and their children average one child (43 people or 29%).

The high group of productive age amounts 70 people (35%). It indicated that the interest in the formal sector is very limited and therefore, the labor force of productive age is not included in it. The finding indicated that the graduates of Higher Education to be a vendor amount 31 people (21%). It stated that the ethos of businessman not only include primary school but also Higher Education.

The ownerships of business places mostly belong to PKLs themselves (109 places or 55%). It indicated that they have utilized their land optimally, particularly being on the urban transportation line. Most of their jobs in hometown are a farmer (61 people or 41%) and temporary labourer (27 people or 23%). This indicated that the agricultural sector no longer

guarantee the people’s welfare, therefore it is reasonable that if many farmers change their

profession in being an informal sector worker and vendor in the urban area.

It is an interesting issue that being a vendor could change their social status. It seems from the aspect of land and field ownership after and before being a vendor. Referring to the data of before and after being a vendor, the land and field ownership amount 99 (66%) and 121 (81%), respectively.

In addition, the findings of the research indicated that the change in profession from a worker before being a vendor to being a vendor is considered as a permanent job (105 people or 70%) and as a part-time job (45 people or 30%). As a permanent job, they take 7 days a week (103 people or 69%) and the other take more than 12 hours a day (91 people or 61%). Referring to the own capital, there are 93 people or 62% and the other make a loan from the banks or relative (31 people or 21%) and do a joint venture (26 people or 17%). In general, they have been a vendor for more than 5 years (87 people or 58%) and more than 10 years (5 people or 3%).

(12)

vi Abstraksi

Hasil penelitian menunjukan untuk PKL kelompok non-makanan ternyata menjadi jenis perdagangan yang paling banyak dilakukan para PKL di Solo, selanjutnya yaitu jenis perdagangan makanan dan minuman. Terkait aspek demografis, misalnya tentang umur didominasi usia antara 21-30 tahun yang mencapai 52 orang (35%), status pendidikan formal PKL terbanyak yaitu lulusan SMU mencapai 49 orang (33%), mayoritas jenis kelamin PKL adalah perempuan 90 orang (60%), status daerah asal para PKL ternyata berimbang antara warga asli 89 orang (59%) dan pendatang 61 orang (41%), dan status perkawinan didominasi PKL yang berstatus sudah menikah yaitu 94 orang (63%), juga jumlah tanggungan keluarga rata-rata yaitu mempunyai satu anak yang mencapai 43 orang (29%). Tingginya klasifikasi usia produktif yang terjun menjadi PKL yaitu mencapai 70 orang (35%) menunjukan bahwa daya serap sektor formal memang sangat terbatas sehingga tidak semua angkatan kerja produktif tertampung di sektor formal. Fakta temuan bahwa sejumlah alumi perguruan tinggi yang mau terjun menjadi PKL yaitu mencapai 31 orang (21%) justru menunjukan bahwa etos kewirausahaan memang haruslah dipupuk tidak saja dari pendidikan dasar tetapi juga di pendidikan tinggi.

Bahwa status tempat usaha mayoritas yaitu milik pribadi yang mencapai 109 (55%) menunjukan bahwa masyarakat telah mampu memanfaatkan lahan yang dimilikinya secara optimal, terutama mereka yang berada di jalur utama transportasi perkotaan. Selain itu, mayoritas pekerjaan di daerah asal para PKL adalah sebagai petani yang mencapai 61 orang (41%) dan buruh yaitu 27 orang (23%). Ini secara tak langsung justru menunjukan bahwa sektor pertanian saat ini memang tidak lagi menjanjikan terhadap kesejahteraan sehingga beralasan jika para petani banyak yang bermigrasi beralih profesi menjadi pekerja sektor informal di perkotaan termasuk juga menjadi PKL. Yang justru menarik, ternyata mejadi PKL bisa merubah status sosial dan ini terlihat dari aspek status kepemilikan tanah-sawah sebelum dan setelah menjadi PKL. Data sebelum menjadi PKL ternyata status kepemilikan tanah-sawah mencapai 99 yang milik sendiri (66%), sedangkan setelah berprofesi menjadi PKL ternyata status dari kepemilikan tanah-sawah meningkat menjadi 121 orang yang memiliki hak pribadi (81%).

Hasil penelitian juga menunjukan bahwa peralihan profesi dari pekerjaan sebelum menjadi PKL dan kemudian menjadi PKL ternyata diikuti dengan keyakinan bahwa pekerjaan menjadi PKL adalah hal yang utama yaitu mencapai 105 orang (70%) dan yang mengaku sebagai pekerjaan sambilan hanya 45 orang (30%). Konsekuensi dari pengakuan sebagai pekerjaan utama maka jumlah hari kerja mereka juga 7 hari per minggu (103 orang = 69%) dan lebih dari 12 jam per hari (91 orang = 61%). Yang juga sangat menggembirakan ternyata mayoritas dari PKL adalah bermodal sendiri yaitu mencapai 93 orang (62%) dan sisanya bermodal pinjaman, baik dari saudara ataupun perbankan yaitu mencapai 31 orang (21%) dan usaha patungan (26 orang = 17%). Secara umum, rata-rata dari mereka telah bekerja menjadi PKL lebih dari 5 tahun yaitu ada 87 orang (58%) dan yang lebih dari 10 tahun menjadi PKL hanya 5 orang (3%).

(13)

Abstract

The findings of the research indicated that from the kinds of businesses including meal, non-meal and beverage, the group of non-meal is a kind of most businesses of PKLs beverage in Solo. From the demographic aspect, the amount of the 21-30-year-old vendors is 52 people (35%); 49 (33%) vendors are a graduate of Senior High School; the majority of the vendors’ sex is male (90 people or 60%); they are migrants (61 people or 41%) and the rest are natives (89 people or 59%); they are married (94 people or 63%); and their children average one child (43 people or 29%). The high group of productive age amounts 70 people (35%). It indicated that the interest in the formal sector is very limited and therefore, the labor force of productive age is not included in it. The finding indicated that the graduates of Higher Education to be a vendor amount 31 people (21%). It stated that the ethos of businessman not only include primary school but also Higher Education.

The ownerships of business places mostly belong to PKLs themselves (109 places or 55%). It indicated that they have utilized their land optimally, particularly being on the urban transportation line. Most of their jobs in hometown are a farmer (61 people or 41%) and temporary labourer (27 people or 23%). This indicated that the agricultural sector no longer guarantee the people’s welfare, therefore it is reasonable that if many farmers change their profession in being an informal sector worker and vendor in the urban area. It is an interesting issue that being a vendor could change their social status. It seems from the aspect of land and field ownership after and before being a vendor. Referring to the data of before and after being a vendor, the land and field ownership amount 99 (66%) and 121 (81%), respectively.

(14)

viii PRAKATA

Assalamu'alaikum wr.wb.

Alhamdulillah. Akhirnya penelitian ini telah selesai sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. Terlepas dari kekurangan dan kelemahan yang ada dari penelitian ini, yang jelas program penelitian tentang sektor informal sangatlah penting, yaitu tidak saja terkait kesejahteraan masyarakat di era otda dalam jangka panjang, tetapi juga konteks memacu kebangkitan sektor riil serta penyerapan tenaga kerja.

Konsekuensi dari hasil penelitian ini tentu menjadi suatu pemicu bagi para peneliti lainnya untuk lebih mengembangkan berbagai celah penelitian yang nantinya akan memberikan kontribusi optimal bagi proses perekonomian dan atau kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain kelemahan dari penelitian ini menjadi stimulus untuk pengembangan penelitian lainnya.

Akhirnya, kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penelitian ini dan semoga hasil penelitian ini ada nilai manfaatnya bagi semua pihak.

Wassalamu'alaikum wr.wb.

Surakarta, Oktober 2009

(15)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ……….... i

Halaman Pengesahan ……… ii

Abstraksi ……….... iii

Prakata ……… iv

Daftar Isi ……… v

Daftar Tabel ……… vi

Daftar Gambar ……… vii

Bab I Pendahuluan ……… 1

A. Latar Belakang ……… 1

B. Perumusan Masalah ……… 3

Bab II Tinjauan Pustaka ……… 5

A. Sektor Informal ……… 5

B. Sektor Informal – PKL di Solo ……… 6

C. Sektor Informal, Usaha Mikro ……… 8

D. Sektor Informai, PKL ……… 10

E. Partisipasi Angkatan Kerja ……… 11

Bab III Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 16

A. Tujuan Penelitian ……… 16

B. Manfaat Penelitian ……… 16

Bab IV Metode Penelitian ……… 18 A. Penelitian Sebelumnya ……… 18 B. Bidang Penelitian ……… 21 C. Bentuk Penelitian ……… 22 D. Obyek dan Lokasi Penelitian ……… 22

E. Fokus Penelitian ……… 23

F. Data dan Identifikasi Variabel ……… 23

G. Analisis Data ……… 24

Bab V Hasil dan Pembahasan ……… 25

A. Potret Kota Solo ……… 25

B. PKL: Fenomena dan Persoalan ……… 27

C. Hasil dan Pembahasan ……… 33

D. Analisis Sosio - Ekonomi ……… 42

Bab VI Kesimpulan dan Saran ……… 49

A. Kesimpulan ……… 49

B. Saran ……… 49

C. Keterbatasan ……… 50

(16)

x DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penduduk usia kerja ……… 5

Tabel 2.2 Angkatan kerja dan Partisipasi Kerja ……… 12

Tabel 2.3 Angka Pengangguran ……… 13

Tabel 2.4 Kesempatan Kerja ……… 14

Tabel 2.5 Jenis pekerjaan terampil ……… 15 Tabel 2.6 Perbedaan upah kerja ……… 15

Tabel 5.1 PDRB Solo ……… 26

Tabel 5.2 Inflasi Solo ……… 26

Tabel 5.3 Klasifikasi jenis PKL ……… 35

Tabel 5.4 Karakteristik PKL di Solo ……… 37 Tabel 5.5 PKL di Solo ……… 39

Tabel 5.6 PKL di Solo ……… 39

Tabel 5.7 PKL di Solo ……… 41

(17)

DAFTAR GAMBAR

(18)

1 RINGKASAN PENELITIAN

KAJIAN WANITA

ANALISIS SOSIO – EKONOMI TERHADAP PEMBERDAYAAN PEREMPUAN : KASUS PEKERJA SEKTOR INFORMAL DI KOTA SOLO, JAWA TENGAH

Oleh: M. Nasir, SE, MM Sri Murwanti, SE, MM

DIBIAYAI PROYEK PENGKAJIAN DAN PENELITIAN ILMU PENGETAHUAN TERAPAN DENGAN SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN NOMOR: 019/O06.2/PP/KT/2009

DIREKTORAT PEMBINAAN PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

FAKULTAS EKONOMI

(19)

ANALISIS SOSIO – EKONOMI TERHADAP PEMBERDAYAAN PEREMPUAN : KASUS PEKERJA SEKTOR INFORMAL DI KOTA SOLO, JAWA TENGAH

Oleh:

M. Nasir dan Sri Murwanti

Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pertumbuhan sektor informal terutama PKL di Solo sangat pesat dalam kurun waktu enam tahun terakhir. Tumbuhnya perdagangan kaki lima di Solo, seiring dengan krisis yang menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaannya. Para pekerja yang menjadi korban PHK kemudian mencoba peruntungan untuk menjadi seorang entrepenur kecil-kecilan yaitu sebagai PKL. Kemunculan mereka pada awal tahun 1999 sempat dianggap sebagai fenomena positif karena mengurangi pengangguran. Namun seiring pemulihan kondisi perekonomian lokal – nasional, PKL dianggap mengganggu pemandangan kota.

Hasil penelitian menunjukan untuk PKL kelompok non-makanan ternyata menjadi jenis perdagangan yang paling banyak dilakukan para PKL di Solo, selanjutnya yaitu jenis perdagangan makanan dan minuman. Terkait aspek demografis, misalnya tentang umur didominasi usia antara 21-30 tahun yang mencapai 52 orang (35%), status pendidikan formal PKL terbanyak yaitu lulusan SMU mencapai 49 orang (33%), mayoritas jenis kelamin PKL adalah perempuan 90 orang (60%), status daerah asal para PKL ternyata berimbang antara warga asli 89 orang (59%) dan pendatang 61 orang (41%), dan status perkawinan didominasi PKL yang berstatus sudah menikah yaitu 94 orang (63%), juga jumlah tanggungan keluarga rata-rata yaitu mempunyai satu anak yang mencapai 43 orang (29%).

Tingginya klasifikasi usia produktif yang terjun menjadi PKL yaitu mencapai 70 orang (35%) menunjukan bahwa daya serap sektor formal memang sangat terbatas sehingga tidak semua angkatan kerja produktif tertampung di sektor formal. Fakta temuan bahwa sejumlah alumi perguruan tinggi yang mau terjun menjadi PKL yaitu mencapai 31 orang (21%) justru menunjukan bahwa etos kewirausahaan memang haruslah dipupuk tidak saja dari pendidikan dasar tetapi juga di pendidikan tinggi.

(20)

3 secara optimal, terutama mereka yang berada di jalur utama transportasi perkotaan. Selain itu, mayoritas pekerjaan di daerah asal para PKL adalah sebagai petani yang mencapai 61 orang (41%) dan buruh yaitu 27 orang (23%). Ini secara tak langsung justru menunjukan bahwa sektor pertanian saat ini memang tidak lagi menjanjikan terhadap kesejahteraan sehingga beralasan jika para petani banyak yang bermigrasi beralih profesi menjadi pekerja sektor informal di perkotaan termasuk juga menjadi PKL.

Yang justru menarik, ternyata mejadi PKL bisa merubah status sosial dan ini terlihat dari aspek status kepemilikan tanah-sawah sebelum dan setelah menjadi PKL. Data sebelum menjadi PKL ternyata status kepemilikan tanah-sawah mencapai 99 yang milik sendiri (66%), sedangkan setelah berprofesi menjadi PKL ternyata status dari kepemilikan tanah-sawah meningkat menjadi 121 orang yang memiliki hak pribadi (81%).

Hasil penelitian juga menunjukan bahwa peralihan profesi dari pekerjaan sebelum menjadi PKL dan kemudian menjadi PKL ternyata diikuti dengan keyakinan bahwa pekerjaan menjadi PKL adalah hal yang utama yaitu mencapai 105 orang (70%) dan yang mengaku sebagai pekerjaan sambilan hanya 45 orang (30%). Konsekuensi dari pengakuan sebagai pekerjaan utama maka jumlah hari kerja mereka juga 7 hari per minggu (103 orang = 69%) dan lebih dari 12 jam per hari (91 orang = 61%). Yang juga sangat menggembirakan ternyata mayoritas dari PKL adalah bermodal sendiri yaitu mencapai 93 orang (62%) dan sisanya bermodal pinjaman, baik dari saudara ataupun perbankan yaitu mencapai 31 orang (21%) dan usaha patungan (26 orang = 17%). Secara umum, rata-rata dari mereka telah bekerja menjadi PKL lebih dari 5 tahun yaitu ada 87 orang (58%) dan yang lebih dari 10 tahun menjadi PKL hanya 5 orang (3%).

(21)

Summary

The growth of informal sector, particularly the vendors (PKLs) in Solo, has increasingly expanded for the last six years. It is a result of economic crisis that causes a lot of people to lose their jobs. For the survival, they try to build a job as a vendor. In one side, they could be considered as a positive phenomenon because could fall the unemployed and in the other side, in line with the economy their existence disturbs urban scenery.

The findings of the research indicated that from the kinds of businesses including meal, non-meal and beverage, the group of non-meal is a kind of most businesses of PKLs beverage in Solo. From the demographic aspect, the amount of the 21-30-year-old vendors is 52 people (35%); 49 (33%) vendors are a graduate of Senior High School; the majority of the vendors’ sex is male (90 people or 60%); they are migrants (61 people or 41%) and the rest are natives (89 people or 59%); they are married (94 people or 63%); and their children average one child (43 people or 29%).

The high group of productive age amounts 70 people (35%). It indicated that the interest in the formal sector is very limited and therefore, the labor force of productive age is not included in it. The finding indicated that the graduates of Higher Education to be a vendor amount 31 people (21%). It stated that the ethos of businessman not only include primary school but also Higher Education.

(22)

5 It is an interesting issue that being a vendor could change their social status. It seems from the aspect of land and field ownership after and before being a vendor. Referring to the data of before and after being a vendor, the land and field ownership amount 99 (66%) and 121 (81%), respectively.

In addition, the findings of the research indicated that the change in profession from a worker before being a vendor to being a vendor is considered as a permanent job (105 people or 70%) and as a part-time job (45 people or 30%). As a permanent job, they take 7 days a week (103 people or 69%) and the other take more than 12 hours a day (91 people or 61%). Referring to the own capital, there are 93 people or 62% and the other make a loan from the banks or relative (31 people or 21%) and do a joint venture (26 people or 17%). In general, they have been a vendor for more than 5 years (87 people or 58%) and more than 10 years (5 people or 3%).

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari Laporan Tugas Akhir ini adalah memberikan solusi untuk mengetahui nilai total biaya logistik perusahaan sampai pada pengiriman ke konsumen1. Diharapkan Laporan Tugas

Dalam implementasinya pada dunia Arab, pandangan Qardhawi relevan dengan banyak contoh peran kaum wanita musli- mah sangat berpengaruh dalam kesuksesan di dunia politik saat

dataran yang lebih rendah dari saat lepas landas (saat release), rumus yang digunakan sama dengan Lemparan Mendatar (yang ke 3).. JARAK

Berdasarkan kebutuhan tersebut, Jean Watson memahami bahwa manusia adalah makhluk yang sempurna yang memiliki berbagai macam ragam perbedaan, sehingga dalam upaya

setiap hari kamu menggunakan air ada air yang langsung bisa digunakan ada juga yang harus dimasak dulu. coba perhatikan gambar berikut mari lengkapi kalimat di bawah ini ayo tulis

PRIORITAS NASIONAL RPJMN 2010-2014 PRIORITAS NASIONAL RPJMN 2010-2014 RPJMN 2010-2014 RKP 2011 PENEKANAN SESUAI TEMA “PERCEPATAN PERTUMBUHAN EKONOMI YANG BERKEADILAN DIDUKUNG

Indeks tuberkulin pada penelitian ini adalah 59 dari 150 pasien (40%), gambaran radiologis anak dengan uji Mantoux positif bervariasi, sedangkan gejala klinis dapat overlap

Berdasarkan analisis data diperoleh hasil penilaian aspek kognitif dan penilaian menulis teks eksplanasi kompleks yang telah dilakukan di kelas XI SMA Negeri 2 Sebulu