• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Hukum Jaminan Dalam Perbankan Syariah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Aspek Hukum Jaminan Dalam Perbankan Syariah"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK HUKUM JAMINAN DALAM PERBANKAN SYARIAH

TESIS

Oleh

KOMIS SIMANJUNTAK 017005020/HK

 

 

 

 

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

 

ASPEK HUKUM JAMINAN DALAM PERBANKAN SYARIAH

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

KOMIS SIMANJUNTAK 017005020/HK

 

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

 

Judul Tesis : ASPEK HUKUM JAMINAN DALAM PERBANKAN

SYARIAH

Nama Mahasiswa : Komis Simanjuntak Nomor Pokok : 017005020

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. H. Abdullah Syah, M.A) Ketua

(Prof. Dr. H. Hasballah Thaib, M.A) (Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D e k a n

(Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H) (Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum)

(4)

Telah diuji pada Tanggal 26 Mei 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. H. Abdullah Syah, M.A

Anggota : 1. Prof. Dr. H. Hasballah Thaib, M.A 2. Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H

(5)

 

ABSTRAK

Sebagai wujud sikap kehati-hatian bank dalam melakukan penyaluran dananya melalui skim pembiayaan melalui bagi hasil ini, sebelum memberikan kredit atau pembiayaan, bank syari’ah harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur. Kelima unsur tersebut yang sering disebut 5C perkreditan (character, capital, capacity, collateral dan condition of economy). Pada kenyataannya, jaminan sangat menentukan tingkat keamanan pembiayaan yang disalurkan oleh bank. Di samping itu, keberadaan agunan menjadi sangat penting, dan hal ini berhubungan dengan filosofi dasar dari dana bank sebagaimana disinggung di atas, yaitu bahwa dana bank adalah dana nasabah, dana masyarakat, yang oleh karenanya harus dilindungi dan digunakan secara sangat hati-hati.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Konsep jaminan dalam hukum Islam (fiqh) dibagi menjadi dua; jaminan yang berupa orang (personal guaranty) dan jaminan yang berupa harta benda. Jaminan yang berupa orang sering dikenal dengan istilah dlaman atau kafalah, sedangkan jaminan yang berupa harta benda dikenal dengan istilah rahn. Kafalah diartikan menanggung atau penanggungan terhadap sesuatu, yaitu akad yang mengandung perjanjian dari seseorang di mana padanya ada hak yang wajib dipenuhi terhadap orang lain, dan berserikat bersama orang lain itu dalam hal tanggung jawab terhadap hak tersebut dalam menghadapi penagih (utang), sedangkan ar-Rahn, yaitu menyimpan suatu barang sebagai tanggungan hutang. Urgensi jaminan dalam produk pembiayaan syariah yakni jaminan tersebut untuk memberikan kepastian bahwa dana tersebut dapat dikembalikan, atau setidaknya bank tidak akan mengalami kerugian yang terlalu besar, jika misalnya ternyata hanya dapat mengeksekusi agunan atau jaminan yang telah diberikan, karena penerima fasilitas pembiayaan bertindak semaunya atau asal-asalan dalam menjalankan usaha bisnisnya. Penerapan jaminan pada perbankan syariah mutlak tidak dapat dihindari. Pernyataan fuqaha terhadap konteks mudarabah yang tidak membolehkan adanya jaminan nampaknya tidak direspon oleh perbankan Islam, karena bagi mereka permohonan jaminan oleh pihak perbankan pada penerima fasilitas pembiayaan adalah tidak sekedar dimaksudkan untuk memastikan kembalinya modal yang dipinjam, namun untuk meyakinkan bahwa penerima fasilitas pembiayaan benar-benar melaksanakan segala sesuatu yang telah disepakati dalam kontrak. Dengan demikian, hal ini tentunya belum berdasarkan apa yang dikenal dalam Hukum Islam, melainkan masih sama dengan yang diatur dalam Hukum Jaminan Hak Tanggungan dan Fidusia.

 

(6)

ABSTRACT

As a form of prudential behavior of banks in channeling of funds through financing schemes through this sharing, before granting credit or financing, shariah bank must conduct a thorough assessment of the character, ability, capital, collateral, and business prospects of the Debtors. The five elements are often called credit 5C (character, capital, capacity, collateral and condition of the economy). In fact, the guarantee is to determine the level of security provided by bank financing. In addition, the presence of collateral becomes very important, and this corresponds to the basic philosophy of bank funds, as mentioned above, namely that the bank funds are customer funds, public funds, which therefore must be protected and used very carefully.

The method used in this research is normative. Normative research method known as doctrinal studies (doctrinal research) is a study that analyzed the law both written in the book (law as it is written in the book), or the law that was decided by the judge through the court process (law it is decided by the judge through judicial process). Normative legal research in this study based on secondary data and emphasize steps speculative-theoretical and normative analysis-qualitative.

The concept of security in Islamic law (fiqh) is divided into two; guarantee that a person (personal Guaranty) and collateral in the form of property. Assurance that such people are often known by the term dlaman or kafalah, while the collateral in the form of property known as the rahn. Kafalah interpreted or bear responsibility for something, namely contract containing the agreement of a person where it is right that must be met for others, and association with others, in terms of responsibility for those rights in the face of collectors (debt), while ar- Rahn, ie save a good as mortgage debt. Urgency warranties in Islamic financing products that guarantee is to provide assurance that these funds can be returned, or at least the banks will not experience losses that are too large, if for example it turns out only to execute collateral or guarantees which have been given, because the recipients of financing facilities to act arbitrarily or origin at random in running their business. Application of absolute security in Islamic banking can not be avoided. Statement of context mudarabah jurists who do not allow the existence of collateral does not seem to respond by Islamic banks, because of their application for collateral by the banks on financing facilities recipient is not merely intended to ensure the return of borrowed capital, but to ensure that recipients of financing facilities is really implementing everything that had been agreed in the contract. Thus, it is certainly not based on what is known in Islamic law, but still the same as those stipulated in the Law of Guarantee Mortgage, and Fiduciary.

Key Words : The concept of security, Islamic law

 

(7)

 

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis Panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala

berkat dan kasih karunia-Nya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan

tepat pada waktunya. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai

gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Fakultas

Hukum Univesitas Sumatera Utara, Medan.

Adapun judul Tesis penelitian ini adalah: “ ASPEK HUKUM JAMINAN

DALAM PERBANKAN SYARIAH”. Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan

penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing : Prof. Dr.

H. Abdullah Syah, MA., Prof. Dr. H. Hasballah Thaib, MA., Prof. Dr. Bismar

Nasution, SH, MH., di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan

waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis

untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini.

Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada

(8)

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,

DTM&H, MSc (CTM), SpA(K) diberikan kepada penulis untuk mengikuti

dan menyelesaikan pendidikan.

2. Dekan Fakultas Hukum Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, atas kesempatan

menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, atas

kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, sebagai Komisi Penguji yang telah

meluangkan waktunya dan dengan penuh perhatian memberikan dorongan,

bimbingan, saran kepada penulis.

5. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum., sebagai Komisi Penguji yang telah

meluangkan waktunya dan dengan penuh perhatian memberikan dorongan,

bimbingan, saran dan masukan yang sangat penting kepada penulis.

6. Kepada Kedua Orang Tua tercinta Almarhum Ayahanda Jasitambul Pohan,

Almarhumah Ibunda Sitiasmi Siregar yang semasa hidupnya mendidik dengan

penuh rasa kasih sayang.

7. Istri tercinta Hj. Yusnah Kosim, SH serta buah hatiku Puan Fadillah, Daffa Al

Kautsar dan Annisa Ulina yang penuh rasa kasih sayang dan senantiasa

memberi semangat dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan

(9)

8. Kepada Kakak Hj. Jubaidah, Abang, Saidi, Soheh, dan Adik Sarbawati,

Penulis sayangi atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan Doa dan

semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.

9. Keluarga besar almarhum H. Muhammad Kosim dan Almarhumah Hj. Siti

Poni yang senantiasa memberikan dorongan kepada penulis

10.Kepada Rekan-rekan di Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera

Utara, Beserta seluruh Staff Ilmu Hukum terima kasih atas segala bantuan

selama penulis mengikuti perkuliahan, semoga Allah S.W.T membalas

kebaikan yang berlipat ganda, dan rekan-rekan kerja saya yang tidak dapat

disebutkan satu persatu.

Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan pada

kesempatan ini penulis menyampaikan permintaan maaf yang tulus jika seandainya

dalam penulisan ini terdapat kekurangan dan kekeliruan, penulis juga menerima kritik

dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan

penulisan Tesis ini.

Medan, Mei 2011

Penulis,

(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Komis Simanjuntak

Tempat/Tanggal Lahir : Sibangkua, 19 Mei 1966

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Dosen

Alamat : Jl. Imam Bonjol No.274 Kisaran

Pendidikan : SD Negeri 142 486 Sibangkua Tamat Tahun 1980

SMP Negeri 3 Padang Sidimpuan tamat Tahun 1983

SMA Negeri 1 Padang Sidimpuan Tamat Tahun 1986

Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 1993

Strata Dua (S2) Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2011

(11)

 

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ……… i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ……… .. vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian... 10

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 11

1. Kerangka teori... 11

2. Konsepsi... 19

G. Metode Penelitian ... 22

BAB II KONSEP JAMINAN MENURUT HUKUM ISLAM... 27

A. Kafalah ... 27

(12)

BAB III URGENSI JAMINAN DALAM PEMBIAYAAN SYARIAH. ... 64

A. Akad Pembiayaan Syariah ... 64

B. Urgensi Jaminan dalam Akad Pembiayaan Syariah... 82

BAB IV APLIKASI KONSEP JAMINAN DALAM HUKUM ISLAM DALAM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA... 99

A.Konsep Jaminan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah ... 99

B.Aplikasi/ Penerapan Jaminan dalam Perbankan Syariah... 108

C.Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah ... 111

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 118

A. Kesimpulan ... 118

B. Saran... 119

(13)

 

ABSTRAK

Sebagai wujud sikap kehati-hatian bank dalam melakukan penyaluran dananya melalui skim pembiayaan melalui bagi hasil ini, sebelum memberikan kredit atau pembiayaan, bank syari’ah harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur. Kelima unsur tersebut yang sering disebut 5C perkreditan (character, capital, capacity, collateral dan condition of economy). Pada kenyataannya, jaminan sangat menentukan tingkat keamanan pembiayaan yang disalurkan oleh bank. Di samping itu, keberadaan agunan menjadi sangat penting, dan hal ini berhubungan dengan filosofi dasar dari dana bank sebagaimana disinggung di atas, yaitu bahwa dana bank adalah dana nasabah, dana masyarakat, yang oleh karenanya harus dilindungi dan digunakan secara sangat hati-hati.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Konsep jaminan dalam hukum Islam (fiqh) dibagi menjadi dua; jaminan yang berupa orang (personal guaranty) dan jaminan yang berupa harta benda. Jaminan yang berupa orang sering dikenal dengan istilah dlaman atau kafalah, sedangkan jaminan yang berupa harta benda dikenal dengan istilah rahn. Kafalah diartikan menanggung atau penanggungan terhadap sesuatu, yaitu akad yang mengandung perjanjian dari seseorang di mana padanya ada hak yang wajib dipenuhi terhadap orang lain, dan berserikat bersama orang lain itu dalam hal tanggung jawab terhadap hak tersebut dalam menghadapi penagih (utang), sedangkan ar-Rahn, yaitu menyimpan suatu barang sebagai tanggungan hutang. Urgensi jaminan dalam produk pembiayaan syariah yakni jaminan tersebut untuk memberikan kepastian bahwa dana tersebut dapat dikembalikan, atau setidaknya bank tidak akan mengalami kerugian yang terlalu besar, jika misalnya ternyata hanya dapat mengeksekusi agunan atau jaminan yang telah diberikan, karena penerima fasilitas pembiayaan bertindak semaunya atau asal-asalan dalam menjalankan usaha bisnisnya. Penerapan jaminan pada perbankan syariah mutlak tidak dapat dihindari. Pernyataan fuqaha terhadap konteks mudarabah yang tidak membolehkan adanya jaminan nampaknya tidak direspon oleh perbankan Islam, karena bagi mereka permohonan jaminan oleh pihak perbankan pada penerima fasilitas pembiayaan adalah tidak sekedar dimaksudkan untuk memastikan kembalinya modal yang dipinjam, namun untuk meyakinkan bahwa penerima fasilitas pembiayaan benar-benar melaksanakan segala sesuatu yang telah disepakati dalam kontrak. Dengan demikian, hal ini tentunya belum berdasarkan apa yang dikenal dalam Hukum Islam, melainkan masih sama dengan yang diatur dalam Hukum Jaminan Hak Tanggungan dan Fidusia.

 

(14)

ABSTRACT

As a form of prudential behavior of banks in channeling of funds through financing schemes through this sharing, before granting credit or financing, shariah bank must conduct a thorough assessment of the character, ability, capital, collateral, and business prospects of the Debtors. The five elements are often called credit 5C (character, capital, capacity, collateral and condition of the economy). In fact, the guarantee is to determine the level of security provided by bank financing. In addition, the presence of collateral becomes very important, and this corresponds to the basic philosophy of bank funds, as mentioned above, namely that the bank funds are customer funds, public funds, which therefore must be protected and used very carefully.

The method used in this research is normative. Normative research method known as doctrinal studies (doctrinal research) is a study that analyzed the law both written in the book (law as it is written in the book), or the law that was decided by the judge through the court process (law it is decided by the judge through judicial process). Normative legal research in this study based on secondary data and emphasize steps speculative-theoretical and normative analysis-qualitative.

The concept of security in Islamic law (fiqh) is divided into two; guarantee that a person (personal Guaranty) and collateral in the form of property. Assurance that such people are often known by the term dlaman or kafalah, while the collateral in the form of property known as the rahn. Kafalah interpreted or bear responsibility for something, namely contract containing the agreement of a person where it is right that must be met for others, and association with others, in terms of responsibility for those rights in the face of collectors (debt), while ar- Rahn, ie save a good as mortgage debt. Urgency warranties in Islamic financing products that guarantee is to provide assurance that these funds can be returned, or at least the banks will not experience losses that are too large, if for example it turns out only to execute collateral or guarantees which have been given, because the recipients of financing facilities to act arbitrarily or origin at random in running their business. Application of absolute security in Islamic banking can not be avoided. Statement of context mudarabah jurists who do not allow the existence of collateral does not seem to respond by Islamic banks, because of their application for collateral by the banks on financing facilities recipient is not merely intended to ensure the return of borrowed capital, but to ensure that recipients of financing facilities is really implementing everything that had been agreed in the contract. Thus, it is certainly not based on what is known in Islamic law, but still the same as those stipulated in the Law of Guarantee Mortgage, and Fiduciary.

Key Words : The concept of security, Islamic law

 

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehadiran Ekonomi Syariah telah memunculkan harapan baru bagi banyak

orang, khususnya bagi umat Islam akan sebuah sistem ekonomi alternatif dari sistem

ekonomi kapitalisme dan sosialisme sebagai arus utama perdebatan sebuah sistem

ekonomi dunia, terutama sejak usainya Perang Dunia II yang memunculkan banyak

negara-negara Islam bekas jajahan imperialis. Dalam hal ini, keberadaan Ekonomi

Syariah sebagai sebuah model ekonomi alternatif memungkinkan bagi banyak pihak,

muslim maupun non-muslim untuk melakukan banyak penggalian kembali berbagai

ajaran Islam, khususnya yang menyangkut hubungan pemenuhan kebutuhan

antarmanusia melalui aktivitas perekonomian maupun aktivitas lainnya.

Ekonomi Syariah dapat didefinisikan sebagai sebuah studi tentang

pengelolaan harta benda menurut perpektif Islam.1 Ekonomi Syariah merupakan

ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur

berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum

dalam rukun iman dan rukun Islam.2 Bekerja merupakan suatu kewajiban karena

Allah SWT memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat       

1

An-Nabhaniy,T. An-Nizham Al-lqtishadi Fil Islam, (Beirut: Darul Ummah, 1990). 2

(16)

105: “Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta

orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu”.3

       

Secara garis besar Ekonomi Syariah memiliki beberapa prinsip dasar: 4

a. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah

SWT kepada manusia.

b. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.

c. Kekuatan penggerak utama Ekonomi Syariah adalah kerja sama.

d. Ekonomi Syariah menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh

segelintir orang saja.

e. Ekonomi Syariah menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya

direncanakan untuk kepentingan banyak orang.

f. Seorang mulsim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat

nanti.

g. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)

h. Islam melarang riba dalam segala bentuk.

Pada awal abad ke-20, bank Islam hanya merupakan obsesi dan diskusi

teoritis para akademisi baik dari bidang hukum (fiqh) maupun bidang ekonomi.

Kesadaran bahwa bank Islam adalah solusi masalah ekonomi untuk mencapai

kesejahteraan sosial telah muncul, namun upaya nyata yang memungkinkan

  3

Al Qur’an dan Terjemahnya hadiah dari Khadim al Haramain asy Syarifain, Fahd ibn ‘Abd al ‘Aziz Al Sa’ud, (Saudi Arabia: Madinah, 1990).

4

(17)

implementasi praktis gagasan tersebut nyaris tenggelam dalam lautan sistem ekonomi

dunia yang tidak bisa melepaskan diri dari bunga. Walaupun demikian, gagasan

tersebut terus berkembang meski secara perlahan. Beberapa uji coba terus dilakukan

mulai dari bentuk proyek yang sederhana hingga kerjasama yang berskala besar. Dari

upaya ini para pemrakarsa bank Islam dapat memikirkan untuk membuat

infrastrukstur sistem perbankan yang bebas bunga.5

Bank Islam atau yang lazim disebut dengan bank syariah, keberadaannya

relatif baru di Indonesia. Menurut catatan, bank syariah yang pertama kali

memperoleh ijin usaha sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun

1992 tentang Perbankan adalah BPRS Berkah Amal Sejahtera, dan BPRS Dana

Mardhatillah pada tanggal 19 Agustus 1991, BPRS Amanah Rabbaniah pada tanggal

24 Oktober 1991, ketiganya beroperasi di Bandung dan BPRS Hareukat pada tanggal

10 Nopember 1991, beroperasi di Aceh.6

Pada tanggal 17 Juni 2008, perbankan syariah memasuki babak baru dalam

industri perbankan di Indonesia. Pada tanggal tersebut DPR secara resmi

mengesahkan RUU Perbankan Syariah menjadi Undang-Undang. Pengesahan

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah merupakan salah

satu jawaban atas makin pesatnya pertumbuhan industri perbankan syariah di tanah

air. Kehadiran Bank Muamalat sebagai bank syariah pertama pada tahun 1992 berkat

       5

Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah: Konsep,

Produk dan Implementasi Operasional, (Jakarta: Djambatan, 2001), hal 21. 6

Karnaen A. Perwataatmadja, Upaya Memurnikan Pelayanan Bank Syariah, Khusus

(18)

dukungan UU No. 7/1992 tentang Perbankan yang pertama kali memperkenalkan

prinsip bagi hasil. Meski demikian dalam kurun waktu 6 tahun perkembangan bank

syariah tidak sepesat bank-bank yang beroperasi secara konvensional. Dengan

diberlakukannya UU No. 10 tahun 1998, perbankan syariah pun berkembang lebih

baik karena jika pada UU sebelumnya istilah bank syariah masih disebutkan secara

implisit dengan istilah bagi hasil maka pada UU No. 10 tahun 1998 istilah perbankan

syariah telah disebutkan secara jelas.

Berdasarkan Undang-Undang Perbankan yang baru ini, sistem perbankan di

Indonesia terdiri atas Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah ( Dual

Banking System ). Salah satu prinsip yang dipegang dalam pengaturan tentang Bank

Syariah dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 ini adalah bahwa prinsip

syariah merupakan suatu prinsip dalam menjalankan kegiatan usaha bank. Dengan

adanya prinsip ini maka perbankan syariah diberikan peluang yang lebih luas untuk

menjalankan kegiatan usaha, termasuk pemberian kesempatan kepada bank umum

konvensional untuk membuka kantor cabang yang khusus melakukan kegiatan usaha

berdasarkan prinsip syariah.

Dasar pemikiran pengembangan bank syariah adalah untuk memberikan

pelayanan jasa perbankan kepada sebagian masyarakat Indonesia yang tidak dapat

dilayani oleh perbankan yang sudah ada, karena bank-bank tersebut menggunakan

sistem bunga. Adalah kenyataan bahwa sebagian masyarakat muslim berkeyakinan

bahwa kegiatan perbankan yang menggunakan sistem bunga tidak sejalan dengan

(19)

dilayani oleh bank-bank konvensional. Dengan dikembangkannya perbankan yang

dioperasikan berdasarkan prinsip syariah diharapkan mobilisasi dana dan potensi

ekonomi masyarakat muslim dapat dioptimalkan, yang pada gilirannya akan semakin

meningkatkan peran sektor perbankan secara keseluruhan.7

Perbankan syariah merupakan suatu sistem perbankan yang dikembangkan

berdasarkan hukum Islam. Dimana usaha ini didasari oleh larangan Islam untuk

memungut maupun meminjam dengan perhitungan bunga (riba) dan larangan

berinvestasi dalam usaha-usaha yang berkaitan dengan media dan barang yang tidak

Islami (haram).8

Sebagai lembaga intermediary keuangan, bank syari’ah memiliki kegiatan

utama berupa penghimpunan dana dari masyarakat melalui simpanan dalam bentuk

giro, tabungan, dan deposito yang menggunakan prinsip wadi’ah yand dlamanah

(titipan), dan mudharabah (investasi bagi hasil). Kemudian menyalurkan kembali

dana tersebut kepada masyarakat umum dalam berbagai bentuk skim , seperti skim

jual beli/al-ba’i (murabahah, salam, dan istishna), sewa (ijarah), dan bagi hasil

(musyarakah dan mudharabah), serta produk pelengkap, yakni fee based service,

seperti hiwalah (alih utang piutang), rahn (gadai), qard (utang piutang), wakalah

(perwakilan, agency), kafalah (garansi bank).9 Dalam hal ini masyarakat

menyerahkan dananya pada bank syari’ah pada dasarnya tanpa jaminan yang       

7

Syahril Sabirin, Sambutan Gubernur Bank Indonesia dalam Muhammad Syafii Antonio,

Bank Syariah: Wacana Ulama dan Cendekiawan (Jakarta: 1999) hal x. 8

Pradjoto and Associates, Pembiayaan dalam Perbankan Syariah, Makalah, Desember 2007. 9

(20)

bersifat kebendaan dan semata-mata hanya dilandasai oleh kepercayaan bahwa pada

waktunya dana tersebut akan kembali ditambah dengan sejumlah keuntungan

(return). Oleh karena itu, untuk menjaga kepercayaan masyarakat tersebut, bank

harus melaksanakan prinsip kehati-hatian (prudential principle).

Berdasarkan prinsip tersebut, bank syari’ah menerapkan sistem analisis yang

ketat dalam penyaluran dananya melalui pembiayaan, di antaranya dengan

mempersyaratkan adanya jaminan atau agunan10 bagi pihak nasabah yang hendak

mengajukan pembiayaan.

Definisi jaminan/ agunan menurut Pasal 1 angka (26) Undang-Undang Nomor

21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah jaminan tambahan, baik berupa

benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan

kepada Bank Syariah dan/ atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah

Penerima Fasilitas.

Berbeda dengan perbankan konvensional yang dalam penyaluran dananya

menggunakan skim kredit, di perbankan syari’ah penyaluran dana menggunakan

skim pembiayaan. Pembiayaan adakalanya dengan mengambil keuntungan

berdasarkan margin keuntungan (profit margin), seperti dalam akad jual beli

murabahah, salam, istishna dan ijarah, juga dikenal pembiayaan yang menggunakan

prinsip bagi hasil, yaitu melalui akad musyarakah dan mudharabah. Kedua akad       

10

(21)

pembiayaan ini dilihat dari ciri khasnya sangat berbeda sekali dengan akad yang lain.

Di antara perbedaan menonjol adalah bahwa bank syari’ah dalam penyaluran dananya

kepada nasabah penerima pembiayaan tidak dapat dipastikan memperoleh

keuntungan tertentu (modal pembiayaan ditambah return) sebagaimana dalam skim

pembiayaan yang mengambil keuntungan berdasarkan margin keuntungan. Akan

tetapi, justru pihak bank sangat memungkinkan mengalami kerugian bila usaha

nasabahnya mengalami kegagalan atau kebangkurutan, inilah konsekwensi dari skim

pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (profit and loss sharing). Namun, sebaliknya

bila usaha nasabah berhasil maka akan memperoleh bagi hasil yang mungkin lebih

besar bila dibandingkan penyaluran dana melalui skim pembiayaan berdasarkan

margin keuntungan, ini karena di antara kedua pihak (bank dan nasabah) telah ada

kesepakatan bagi hasilnya, yang biasanya berkisar 30%:70%, 40%:60%, atau

50%:50%.11

Atas dasar tingkat spekulasi yang tinggi dalam skim pembiayaan, maka

umumnya bank syari’ah sangat berhati-hati dalam melakukan penyaluran dana

melalui skim ini. Sebagai wujud sikap kehati-hatian bank dalam melakukan

penyaluran dananya melalui skim pembiayaan melalui bagi hasil ini, sebelum

memberikan kredit atau pembiayaan, bank syari’ah harus melakukan penilaian yang

seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari

       11

(22)

Nasabah Debitur. Kelima unsur tersebut yang sering disebut 5C perkreditan

(Character, Capital, Capacity, Collateral dan Condition of Economy).12

Memang secara teoritis bahwa yang terpenting pertama-pertama adalah

karakter dari nasabah calon penerima pembiayaan (nasabah debitur), karena jika

karakternya baik, sekalipun kondisi yang lainnya buruk, nasabah debitur akan tetap

berusaha serius dan dengan jujur melaporkan hasil usahanya dengan mengembalikan

dana pembiayaan yang disertai bagi hasilnya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa

pada kenyataannya jaminan sangat menentukan tingkat keamanan pembiayaan yang

disalurkan oleh bank. Di samping itu, keberadaan agunan menjadi sangat penting,

dan hal ini berhubungan dengan filosofi dasar dari dana bank sebagaimana

disinggung di atas, yaitu bahwa dana bank adalah dana nasabah, dana masyarakat,

yang oleh karenanya harus dilindungi dan digunakan secara sangat

hati-hati.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penelitian ini akan membahas mengenai

pentingnya jaminan ini dalam praktek pembiayaan perbankan syariah. Oleh

karenanya, penelitian ini diberi judul “Aspek Hukum Jaminan dalam Perbankan

Syariah”.

B. Permasalahan

1. Bagaimanakah konsep jaminan menurut Hukum Islam?       

(23)

2. Bagaimanakah urgensi jaminan dalam akad pembiayaan syariah?

3. Bagaimana aplikasi konsep jaminan dalam Hukum Islam dalam perbankan

syariah di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui konsep jaminan menurut Hukum Islam.

2. Untuk mengetahui urgensi jaminan dalam akad pembiayaan syariah

3. Untuk mengetahui aplikasi konsep jaminan dalam Hukum Islam dalam

perbankan syariah di Indonesia

D. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian pasti mendatangkan manfaat sebagai tindak lanjut dari apa

yang telah dirumuskan dalam tujuan penelitian. Penulis mengharapkan dengan

adanya penelitian ini membawa manfaat positif bagi penulis atau pembaca secara

langsung maupun secara tidak langsung. Penelitian ini juga sangat berpengaruh bagi

perkembangan individu atau objek dari penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian ini

diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

(24)

Penelitian ini merupakan hasil dari studi ilmiah yang dapat memberikan

masukan pemikiran dan ilmu pengetahuan baru terhadap ilmu hukum pada

umumnya dan Ilmu Hukum Lembaga Keuangan Syariah pada khususnya.

2. Manfaat praktis

Sebagai suatu informasi dan referensi bagi individu atau instansi yang

menjadi atau yang terkait dari objek yang diteliti.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian

mengenai “Aspek Hukum Jaminan Dalam Perbankan Syariah” belum pernah

dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini dapat disebut

“asli” sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta

terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran

ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara

ilmiah.

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang

sama, maka peneliti melakukan pengumpulan data tentang “Aspek Hukum Jaminan

Dalam Perbankan Syariah”, dan juga pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian yang ada mengenai hal-hal di atas, ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan

dalam topik dan permasalahan yang sama oleh peneliti lainnya baik di lingkungan

(25)

Dari hasil observasi yang telah dilakukan, ada beberapa tesis yang memiliki

topik yang sama, namun dalam hal permasalahan dan pembahasannya jelas berbeda

dengan isi tesis ini, yakni:

1. Ahmad Fauzi/ 027011002, Jaminan dalam Akad Pembiayaan pada Bank

Syariah yang Bernuansa Konflik (Studi Kasus Bank Muamalat Indonesia, tbk

Cab. Medan)

2. Intan Harahap/ 077011031, Kedudukan Fidusia sebagai Jaminan Akad

Pembiayaan Murabahah pada Bank Syariah (Studi Kasus: Bank Muamalat

Cab. Medan)

3. Rina Dahlia/ 037011072, Kedudukan Lembaga Gadai Syariah (Ar-Rahn)

dalam Sistem Perekonomian Islam (Studi di Bank Muamalat Indonesia Cab.

Medan dan BNI Unit Syariah Cab. Medan

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi,

aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.13 Teori adalah

merupakan suatu prinsip satu ajaran pokok yang dianut untuk mengambil suatu

tindakan atau memecahkan suatu masalah. Kamus umum Bahasa Indonesia

menyebutkan, bahwa salah satu arti teori ialah:

       13

(26)

”.... pendapat, cara-cara dan aturan-aturan untuk melakukan sesuatu.”14

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan

arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.15 Dalam

sebuah penelitian ilmiah, teori digunakan sebagai landasan berfikir dan mengukur

sesuatu berdasarkan variabel-variabel yang tersedia.

Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengenai suatu variabel

bebas tertentu dimasukan dalam penelitian, karena berdasarkan teori tersebut variabel

yang bersangkutan memang bisa mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan

salah satu penyebab.16

”Menurut W.L.Neuman, yang berpendapatnya dikutip oleh Otje Salman dan

Anton F. Susanto, menyebutkan, bahwa:

”Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang

berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan

mengorganisasikan pengetahuan tentang dunia. Ini adalah cara yang ringkas untuk

berpikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.”17

”Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah mengadakan pengujian

dan hasilnya menyangkut ruang lingkup dan fakta yang luas.”18 Sedangkan

       14

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesisa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hal. 155.

15

Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya , 1993), hal. 35

16

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 192-193

17

HR. Otje Salman S dan Antón F Susanto, Teori Hukum, (Bandung: Refina Aditama, 2005), hal. 22

18

(27)

“kerangka teori pada penelitian Hukum Sosiologis atau Empiris yaitu kerangka

teoritis yang berdasarkan pada kerangka acuan hukum, tanpa acuan hukumnya maka

penelitian tersebut hanya berguna bagi sosiologis dan kurang relevan bagi ilmu

hukum

is ini,

kerang

tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam

keputu

implementasi jaminan dalam perbankan syariah dapat dipandang sebagai proses        

.19

Kerangka teori itu akan digunakan sebagai landasan berpikir untuk

menganalisa permasalahan yang dibahas dalam tesis ini. Terutama tentang aspek

hukum jaminan dalam perbankan syariah. Dalam pembahasan pada tes

ka teori yang digunakan adalah berdasarkan teori implementasi hukum

Kata implementasi berasal dari bahasa Inggris to implement yang berarti to

provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan

sesuatu); to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu).20

Van Meter dan Van Horn merumuskan proses implementas sebagai : those actions by

public or private individuals or group that are directed at the achievement of\

obyectives set forth in prior policy decitions (tindakan-tindakan yang dilakukan baik

oleh individu-individu/ pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau

swasta yang diarahkan ada

san kebijaksanaan).21

Dengan demikian berdasarkan pengertian kata implemantasi tersebut, maka

  19

Ibid, hal. 27 20

Merriam-Webster Online. <http://www.merriam webster. com/ dictionary/implement>. Diakses tanggal 27 Februari 2011

21

Dalam Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan dari Formulas ke mplementasi

(28)

melaksanakan pembiayaan berdasarkan Hukum Islam (prinsip-prinsip syariah) yang

dilakukan oleh pegadaian syariah kepada nasabahnya dengan menggunakan akad.

Implementasi hukum sebagaimana pengertian diatas lebih cenderung

memandang hukum sebagai jaringan nilai-nilai sebagaimana dikemukakan oleh

kalangan ahli filsafat hukum. Hukum dipandang sebagai konsepsi abstrak di dalam

diri manusia mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk, oleh

karena itu dengan sendirinya berkaitan erat dengan persoalan kesadaran hukum. Hal

ini disebabkan karena kesadaran hukum itu merupakan suatu penilaian terhadap

hukum yang ada serta hukum yang dikehendaki.22

Hukum hidup, tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat sebagai sarana

menciptakan kesejahteraan, ketentraman dan ketertiban bagi kedamaian dalam hidup

sesama warga masyarakat. Hukum akan tumbuh dan berkembang bila masyarakat

menyadari makna kehidupan hukum dalam kehidupannya. Sedangkan tujuan hukum

sendiri ialah untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat.23 Hukum juga dituntut

untuk memenuhi nilai-nilai dasar hukum yang meliputi keadilan, kerugian/

kemanfaatan dan kepastian hukum. Hukum jaminan tentu saja di tuntut pula untuk

memenuhi nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, walaupun

kadang-kadang bila salah satu nilai tersebut tercapai nilai yang lain menjadi terabaikan.

       22

Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, CV (Jakarta: Rajawali, 1980), hal.207.

23

(29)

Kehadiran hukum itu sendiri mempunyai dua fungsi yang saling

berdampingan satu sama lain, yaitu: sebagai sarana pengendalian sosial dan sebagai

sarana untuk melakukan social engineering.24 Hukum sebagai sarana pengendalian

sosial adalah fungsi hukum untuk menjaga agar setiap orang menjalankan perannya

sesuai dengan yang telah ditentukan atau diharapkan. Perubahan sosial yang terjadi

akan berpengaruh pula terhadap bekerjanya mekanisme pengendalian sosial ini.

Hukum sebagai alat melakukan rekayasa masyarakat adalah hukum dalam

fungsinya untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang telah ada

dalam masyarakat, untuk mengarahkan kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki,

menghapuskan kebiasaan yang dipandang tidak sesuai lagi serta melakukan pola-pola

kelakuan baru.25

Tentang Hukum ekonomi, Satjipto Rahardjo merunut dari esensi ekonomi

yang bertujuan untuk menyediakan kebutuhan yang diperlukan bagi kelangsungan

hidup masyarakat dan angota-anggotanya berdasarkan asas rasionalitas. Akan tetapi

dalam melakukan kegiatan ekonomi tersebut manusia melakukan interaksi dengan

yang lainnya supaya mencapai hasil yang maksimal. Dengan demikian muncullah

suatu kebutuhan akan aturan, tanpa aturan sulit orang bisa bicara mengenai

penyelenggaraan kegiatan ekonomi dalam masyarakat.26 Kalau Hukum ekonomi

(konvensional) tumbuh di atas asas rasionalitas seperti paham kapitalisme,       

24

Satjipto Raharjo, Pemanfaatan Ilmu Sosial bagi Pemanfaatan Ilmu Hukum, (Bandung, Alumni, 1977), hal. 143

25

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 169. 26

Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antar Disiplin dalam

(30)

sosialisme, pasar bebas dan lain-lain, maka ekonomi Syariah (Hukum Ekonomi

Islam) tumbuh di atas asas-asas yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

Sesungguhnya di antara karakteristik Islam yang paling menonjol adalah ia

hadir di dunia ini demi kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.

Maka, hukum-hukum syariat datang dengan misi ingin menegakkan kemaslahatan

tersebut dan senantiasa menjaga eksistensi dari keterpurukan, dan salah satu

manifestasinya adalah tertuang dalam bentuk pengelolaan harta yang menjadi

penopang kehidupan, baik dalam tataran personal maupun komunal. Sehingga tidak

aneh kalau kemudian nash-nash syariat sangat menaruh perhatian terhadap

hukum-hukum yang bertalian dengan masalah materi dan kekayaan, baik secara global

maupun terperinci. Demikian halnya para ahli fikih, khususnya fikih harta, juga telah

menjelaskan syarat-syarat, kaidah-kaidah dan tujuan-tujuan di balik usaha mencari

materi dan kekayaan, dan bagaimana pula memperoleh dan menggunakannya, dengan

penjelasan yang detail dan dapat menghapus ruang keragu-raguan tentang perhatian

Islam terhadap masalah harta kekayaan dan juga tentang seruannya kepada umatnya

untuk mencari dan mengumpulkannya sesuai dengan tujuan-tujuan dan

batasan-batasan syariat.27

Perbankan syariah sebagai lembaga keuangan akan terlibat dengan berbagai

jenis kontrak perdagangan syariah dan dalam setiap kontrak perdagangan syariah

mempunyai prinsip yang jelas dalam menyalurkan dananya dalam bentuk

pembiayaan syariah. Penyaluran dana yang dilakukan oleh Bank Syariah haruslah       

27

(31)

memiliki suatu yang menguatkan kedudukan Bank Syariah dalam memperoleh

kembali atas dana yang telah disalurkan, yaitu dengan adanya suatu lembaga jaminan.

Perbankan syariah dalam menerapkan kehati-hatian dan pembiayaan yang

sehat diwujudkan dengan adanya jaminan atau agunan dari nasabah penerima

pembiayaan. Jaminan atau agunan ini berfungsi untuk mendukung keyakinan bank

atas kemampuan dan kesanggupan nasabah penerima pembiayaan untuk melunasi

pembiayaan yang diterimanya sesuai dengan perjanjian.

Dalam Hukum Islam, istilah jaminan biasanya dikenal dengan istilah kafalah,

sedangkan objek/barang yang dijaminkan dengan rahn, akan tetapi mengenai

pengikatan objek/barang yang dijaminkan tidak diatur dan dinyatakan secara rinci

tetapi yang digunakan dalam muamalat sesuai dengan kebiasaan dalam masyarakat.

Objek/ barang yang dijaminkan dalam rahn berada ditangan bank. Rahn merupakan

bentuk jaminan bukan pengikatan jaminan barang, oleh karena itu terhadap rahn

digunakan gadai sebagai pengikat jaminan barang.

Adanya jaminan dalam pembiayaan syariah didasarkan atas pemahaman

dalam surat Al-Baqarah ayat 283 yang menyebutkan bahwa dalam bermuamalah

barang yang dijadikan jaminan/pertanggungan dipegang/ dikuasai oleh pemberi

utang, sehingga hal ini yang dijadikan dalam rahn, akan tetapi hal tersebut dilakukan

apabila satu sama lain tidak percaya mempercayai.28

       28

Departeman Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahannya dengan

(32)

Apabila dilihat penjelasan yang diuraikan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah

ayat 283, maka ayat tersebut dapat dijadikan dasar hukum menurut Al-Quran dalam

penggunaan jaminan fidusia dalam pembiayaan syariah, sehingga tidak hanya rahn

(gadai) yang dijadikan dasar hukum pada ayat tersebut, tapi ayat itu merupakan ayat

yang menjadi dasar hukum bagi adanya jaminan dalam pembiayaan syariah.

Penggunaan ketentuan tersebut karena dalam hukum Islam yang mengatur

mengenai syariah yang mana termasuk didalamnya adalah kegiatan muamalah yang

mengatur hubungan manusia dengan manusia. Dalam bidang muamalah diserahkan

pada manusia dengan proses ijtihad, seperti sabda nabi Muhammad SAW: “Antum

a’lamu bi umuuri dunyakum”, yang artinya kalian lebih mengetahui urusan dunia

kalian dan dalam hukum muamalat menyatakan bahwa “segala sesuatunya boleh

dilakukan, kecuali ada larangan dari Al-Quran atau Sunnah”,29 jadi dalam bidang

muamalah terdapat lapangan yang luas sehingga boleh saja menambah, menciptakan,

mengembangkan dan lainlainnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang

bermuamalah, selama “kreativitas” tersebut tidak bertentangan dengan hal yang

dilarang dalam Al-Quran dan Sunnah.

Berdasarkan hal tersebut maka terhadap transaksi perbankan syariah yang

tidak diatur oleh ketentuan syariah, maka perbankan syariah tunduk pada

ketentuan-ketentuan yang terkait dengan kegiatan perbankan pada umumnya, demikian halnya

dengan transaksi-transaksi yang tidak dilarang oleh syariah dan perbankan syariah

       29

(33)

dapat mengadop sistem perbankan konvensional, akan tetapi apabila transaksi

tersebut merupakan transaksi yang dilarang dan bertentangan dengan syariah Islam

maka perbankan syariah dapat menentukan jalannya sendiri sesuai dengan

ketentuan-ketentuan Hukum Syariah.

2. Konsepsi

Perlu di jelaskan bahwa konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari

teori, karena konsep adalah sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang

sebelumnya hanya baru ada dalam pikiran. “Peranan konsep dalam penelitian adalah

untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realistis.”30

Konsepsi bisa juga diartikan sebagai ”salah satu bagian terpenting dari teori.

Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan

observasi, antara abstraksi dan realitas.”31

Menurut Tan Kamelo konsepsi adalah untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian dikemukakan konsepsi dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut, jaminan yang bersifat kebendaan ialah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, yang mempunyai ciri-ciri: hubungan lansung atas benda tertentu dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya (droit de suite) dan dapat diperalihkan.32

Oleh karenanya, untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus

didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil

penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:       

30

Munir Fuadi, Hukum Perkereditan Kontemporer, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 24-26.

31

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal.34

32

(34)

1. Jaminan adalah penyerahan kekayaan atau pernyataan kesanggupan seseorang

untuk menanggung pembayaran kembali suatu hutang.33

2. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam

bentuk Simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk

kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup

rakyat.34

3. Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank

Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha,

serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.35

4. Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan

Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan

Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.36

5. Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya

memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.37

6. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam

kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.38

7. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari

kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk

dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip       

33

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Seminar Hukum Jaminan, (Yogyakarta, 1978), hal. 3 34

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 35

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 36

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 37

Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 38

(35)

Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan

di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang

berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau

unit syariah.39

8. Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank

dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha,

atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain

pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan

berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang

dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal

berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya

pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank

oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).40

9. Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak

lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak

sesuai dengan Prinsip Syariah.41

10. Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda

tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah

       39

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 40

Pasal 1 ayat 13 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan 41

(36)

dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima

Fasilitas.42

G. Metode Penelitian

Metode ilmiah dari suatu ilmu pengetahuan adalah segala cara dalam rangka

ilmu tersebut, untuk sampai kepada kesatuan pengetahuan. tanpa metode ilmiah,

suatu ilmu pengetahuan itu sebenarnya bukan suatu ilmu tetapi suatu himpunan

pengetahuan saja tentang berbagai gejala yang satu dengan gejala lainnya.43

Sedangkan penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan

hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu

hukum yang dihadapi.44 selain itu, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan

ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang

bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan

menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam

terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas

permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala bersangkutan.45

Metodologi memiliki peranan dalam penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan, yaitu di antaranya:46

       42

Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 43

Koenjtaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru, 1991), hal. 37. 44

Peter Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 35. 45

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), hal. 38.

46

(37)

a. menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan

penelitian secara lebih baik atau lebih lengkap

b. memberikan kemungkinan yang lebih besar, untuk meneliti hal-hal yang

belum diketahui

c. memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian

interdisipliner.

Untuk dapat merampungkan penyajian tesis ini agar dapat memenuhi kriteria

sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan tesis ini. Dalam upaya

pengumpulan data yang diperlukan itu, maka penulis menerapkan metode

pengumpulan data sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatifyang

disebut juga sebagai penelitian doctrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian

yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the

book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it

is decided by the judge through judicial process)47. Penelitian hukum normatif dalam

penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah

spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.48

       47

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 118.

48

(38)

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran

berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.49 Logika keilmuan yang

juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan

cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.

Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap sumber-sumber hukum,

peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen terkait dan beberapa buku

mengenai jaminan dan perbankan khususnya jaminan dalam perbankan syariah

2. Sumber Data

Materi dalam tesis ini diambil dari Al’Quran, Al’hadist dan data sekunder,

yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang

berwenang.50 Dalam tulisan ini di antaranya Kitab Undang-undang Hukum Perdata,

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-undang Nomor 10

tahun 1998 tentang perubahan terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992

tentang Perbankan, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait.

b. Bahan Hukum Sekunder

       49

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: UMM Press, 2007), hal. 57.

50

(39)

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan

dengan aspek hukum jaminan dalam perbankan syariah, seperti: seminar-seminar,

jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa

sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

c. Bahan Hukum Tertier

Yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang

mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus,

ensiklopedia dan lain-lain.

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan

(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka untuk memperoleh data sekunder berupa buku-buku baik koleksi pribadi

maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun

media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan

perundang-undangan.

4. Teknik Analisa Data

Data yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan

menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan

membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan

(40)

sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah

(41)

BAB II

KONSEP JAMINAN MENURUT HUKUM ISLAM

Secara umum, jaminan dalam hukum Islam (fiqh) dibagi menjadi dua;

jaminan yang berupa orang (personal guaranty) dan jaminan yang berupa harta

benda. Jaminan yang berupa orang sering dikenal dengan istilah dlaman atau kafalah,

sedangkan jaminan yang berupa harta benda dikenal dengan istilah rahn.

A. Kafalah

1. Pengertian Kafalah a. Menurut bahasa

Secara etimologis, kafalah berarti al-dhamanah, hamalah, dan za’amah,

ketiga istilah tersebut mempunyai makna yang sama, yakni menjamin atau

menanggung.51 Sedangkan menurut terminologi Kafalah didefinisikan sebagai:

“Jaminan yang diberikan oleh kafiil (penanggung) kepada pihak ketiga atas

kewajiban/ prestasi yang harus ditunaikan pihak kedua (tertanggung)”.52 Hal ini

sesuai dengan firman Allah dalam Surat al-Imran (3): 37 yaitu “Allah menjadikan

Zakaria sebagai penjaminnya (Maryam)”. Di samping itu, kafalah berarti hamalah

(beban) dan Za’amah (tanggungan). Disebut dhamman apabila penjaminan itu

       51

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, cet. 6, 2002), hal. 4141

52

Kafalah diisyaratkan oleh Allah SWT. pada Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 72; yang artinya : “Penyeru itu berseru, Kami kehilangan piala raja dan barang siapa yang dapat mengembalikannya

akan memperoleh makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya” dan juga hadis Nabi

(42)

dikaitkan dengan harta, hamalah apabila dikaitkan dengan diyat (denda dalam hukum

qishash), za 'amah jika berkaitan dengan harta (barang modal), dan kafalah apabila

penjaminan itu dikaitkan dengan jiwa.

a. Menurut syara’

Secara terminologi, sebagaimana yang dinyatakan para ulama fikih, kafalah

dapat didefinisikan sebagai berikut:53

1) Mazhab Hanafi, kafalah adalah, "menggabungkan dua tanggungan dalam

permintaan dan hutang.”

2) Mazhab Maliki, Kafalah adalah “Orang yang mempunyai hak

mengerjakan tanggungan pemberi beban serta bebannya sendiri yang

disatukan, baik menanggung pekerjaan yang sesuai (sama) maupun

pekerjaan yang berbeda”.

3) Mazhab syafi’i, Kafalah adalah “akad yang menetapkan iltizam hak yang

tetap pada tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan zat benda

yang dibebankan atau menghadirkan badan oleh orang yang berhak

menghadirkannya”.

4) Mazhab Hanbali, kafalah adalah “Iltizam sesuatu yang diwajibkan kepada

orang lain serta kekekalan benda tersebut yang dibebankan atau iltizam

orang yang mempunyai hak menghadirkan 2 harta (pemiliknya) kepada

orang yang mempunyai hak”.

       53

(43)

Definisi lain adalah, "jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada

pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (mukful

‘anhu ashil)”.54 Di dalam Kamus Istilah Fikih, kafalah diartikan menanggung atau

penanggungan terhadap sesuatu, yaitu akad yang mengandung perjanjian dari

seseorang di mana padanya ada hak yang wajib dipenuhi terhadap orang lain, dan

berserikat bersama orang lain itu dalam hal tanggung jawab terhadap hak tersebut

dalam menghadapi penagih (utang).55

Pada asalnya, kafalah adalah padanan dari dhamman, yang berarti penjaminan

sebagaimana tersebut di atas. Namun dalam perkembangannya, situasi telah

rnengubah pengertian ini. Kafalah identik dengan kafalah al-wajhi (personal

guarantee, jaminan diri), sedangkan dhamman identik dengan jaminan yang

berbentuk harta secara mutlak.56

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kafalah adalah

jaminan dari penjamin (pihak ketiga), baik berupa jaminan diri maupun harta kepada

pihak kedua sehubungan dengan adanya hak dan kewajiban pihak kedua tersebut

kepada pihak lain (pihak pertama). Konsep ini agak berbeda dengan konsep rahn

yang juga bermakna barang jaminan, namun barang jaminannya dari orang yang

berhutang. Ulama madzhab fikih membolehkan kedua jenis kafalah tersebut, baik diri

maupun barang.

       54

Ibid 55

M. Abdul Mudjieb, et. al., Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal. 148 56

(44)

Di dalam perundang-undangan Mesir misalnya, kafalah diartikan sebagai

menggabungkan tanggung jawab orang yang berhutang dan orang yang menjamin.

Misalnya, ada seseorang akan mengajukan kredit kepada bank, kemudian ada orang

kedua yang bertindak dan turut menjamin hutang seseorang tersebut. Ini berarti

bahwa hutang tersebut menjadi tanggung jawab orang pertama dan juga orang

kedua.57

Semakna dengan itu, KUH Perdata Pasal 1820 menyebutkan, bahwa

penanggungan adalah “suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna

kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si

berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.”58

2. Dasar Hukum

Dasar hukum untuk akad kafalah ini dapat dilihat di dalam Qur'an,

al-Sunnah dan kesepakatan para ulama, sebagai berikut:

a. Al-Qur'an

Dalam al-Qur’an Surat Yusuf (12): 66, Nabi Ya'kub berkata:































"Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu,

sebelum kamu memberikun kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu

pasti akan membawanya kembali kepadaku..."       

57

Ibid., hal. 107 58

(45)

Selanjutnya pada ayat 72 surat yang sama Allah SWT berfirman:



























"Mereka menjawab"Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat

mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban unta, dan aku

jamin itu"

b. Al-Sunnah

Jabir r.a. menceritakan: “Seorang laki-laki telah meninggal dunia dan kami

telah memandikannya dengan bersih kemudian kami kafani, lalu kami bawa kepada

Rasulullah SAW. Kami bertanya kepada beliau: "Apakah Rasulullah akan

menshalatkannnya?". Rasulullah bertanya: “Apakah ia mempunyai hutang?". Kami

menjawab: "Ya, dua dinar." Rasulullah kemudian pergi dari situ. Berkatalah Abu

Qatadah: "Dua dinar itu tanggung jawabku." Karenanya, Rasulullah SAW bersabda:

"Sesungguhnya Allah telah menunaikan hak orang yang memberi hutang dan si mayit

akan terlepas dari tanggung jawabnya." Rasulullah lalu menshalatkannya. Pada

keesokan harinya beliau bertanya kepada Abu Qatadah tentang dua dinar itu dan

dijelaskan, bahwa ia telah melunasinya. Rasulullah SAW. bersabda: "Sekarang

(46)

Rasulullah SAW. bersabda: "Hutang itu harus ditunaikan, dan orang yang

menanggung itu harus membayarnya." (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi dan

dishakhihkan oleh Ibnu Hibban).

c. Ijma' ulama

Para ulama madzhab membolehkan akad kafalah ini. Orang-orang Islam pada

masa Nubuwwah mempraktekkan hal ini bahkan sampai saat ini, tanpa ada

sanggahan dari seorang ulama-pun.59 Kebolehan akad kafalah dalam Islam juga

didasarkan pada kebutuhkan manusia dan sekaligus untuk menegaskan madharat bagi

orang-orang yang berhutang.60

3. Rukun dan Syarat Kafalah

Adapun rukun kafalah sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa lileratur

fikih terdiri atas:

a. Pihak penjamin/penanggung (kafil), dengan syarat baligh (dewasa), berakal

sehat, berhak penuh melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya, dan

rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.

b. Pihak yang berhutang (makful 'anhu 'ashil), dengan syarat sanggup

menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin dan dikenal oleh

penjamin.|

       59

Sayyid Sabiq, “Fikih al-Sunnah”, vol. 3, (Beirut Libanon: Dar al Fikr), hal. 284 60

(47)

c. Pihak yang berpiutang (makful lahu), dengan syarat diketahui identitasnya,

dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa, dan berakal sehat.

d. Obyek jaminan (makful bih), merupakan tanggungan pihak/orang yang

berhutang (ashil), baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan, bisa

dilaksanakan oleh pejamin, harus merupakan piutang mengikat (luzim) yang

tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan, harus jelas

nilai, jumlah, dan spesifikasinya, tidak bertentangan dengan syari'ah

(diharamkan).61

4. Macam-macam Orang Yang Dapat Ditanggung

Mengenai siapa orang-orang yang dapat ditanggung, para ulama fikih

menyatakan, bahwa pada dasarnya setiap orang dapat menerima jaminan/tanggungan

tersebut. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai orang yang sudah wafat (mati)

yang tidak meninggalkan harta warisan. Menurut pendapat Imam Malik dan Syafi'i,

hal yang demikian boleh ditanggung. Alasannya adalah dengan berpedoman pada

Hadis tersebut di atas tentang ketidaksediaan Nabi SAW. menshalatkan jenazah

karena meninggalkan sejumlah hutang. Sedangkan Imam Hanafi menyatakan tidak

boleh, dengan alasan bahwa tanggungan tersebut tidak berkaitan sama sekali dengan

orang yang tidak ada. Berbeda halnya dengan orang yang pailit.

       61

(48)

Jumhur fuqaha' juga berpendapat tentang bolehnya memberikan tanggungan

kepada orang yang dipenjara atau orang yang sedang dalam keadaan musafir. Tetapi

Imam Abu Hanifah tidak membolehkannya.62

5. Masa Tanggungan

Masa tanggungan dengan harta, yakni masa penuntutan kepada penanggung

adalah dimulai sejak tetapnya hak atas orang yang ditanggung, baik berdasarkan

pengakuannya maupun saksi, demikian pendapat fuqaha'. Kemudian fuqaha' bersilang

pendapat tentang masa wajibnya tanggungan dengan badan, apakah tanggungan

tersebut menjadi wajib sebelum tetapnya hak atau tidak?. Segolongan fuqaha'

berpendapat, bahwa tanggungan itu tidak menjadi wajib sebelum tetapnya hak.

Pandangan ini dipegangi oleh golongan Imam Malik, Syuraih al-Qadhi dan al-Sya'bi.

Segolongan lainnya berpendapat, bahwa untuk menetapkan hak tersebut harus ada

konfirmasi dengan pihak penanggung (dengan badan) dan ia memang bersedia

menjadi penanggung.

Selanjutnya, kapan pengambilan hak itu terjadi atau kapankah pengambilan

hak itu menjadi wajib, dan sampai kapan waktunya?, Sebagian fuqaha' berpendapat

bahwa apabila debitur dapat menyampaikan bukti-bukti yang kuat atau saksi

misalnya, maka ia harus memberikan penanggung (dengan badan), sehingga terlihat

haknya. Jika tidak demikian, maka tidak ada keharusan memberi penanggung.

Apabila ia ingin juga mengambil penanggung dengan berupaya menghadirkan saksi,

       62

(49)

maka ia diberikan tempo selama 5 (lima) hari kerja untuk maksud tersebut, yakni

masa penanggung memberikan tanggungan. Ini pendapat Ibn al-Qashim dari

kalangan madzhab Maliki.

Fuqaha' Irak berpandangan, bahwa tidak dapat diambil penanggung atas

debitur sebelum tetapnya hak. Sependapat dengan Ibn al-Qashim, mereka

memberikan waktu hanya 3 (tiga) hari. la menambahkan, bahwa tidak boleh diambil

penanggung atas seseorang kecuali dengan adanya saksi. Dengan demikian akan

tampak jelas pengakuannya itu benar atau tidak benar.

Apabila keadilan antara kedua belah pihak dalam masalah ini akan

ditegakkan, maka keberadaan saksi mutlak diperlukan, baik kesaksian atas beban

(hutang) debitur maupun kesaksian atas diambilnya tanggungan oleh pihak

penanggung. Ini memudahkan pihak Kreditur dalam melakukan tindakan-tindakan ke

depan, apabila diperlukan.63

6. Kewajiban Penanggung

Apabila orang yang ditanggung tersebut bepergian jauh atau "menghilang",

bagaimanakah tanggung jawab orang yang menanggung? Dalam hal ini ada tiga

pendapat, sebagai berikut:64

Penanggung wajib mendata

Referensi

Dokumen terkait

Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia , Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.. Djumhana,Muhammad 2006, Hukum Perbankan di Indonesia

Merumuskan materi tentang Surat Berharga dan Warkat Perbankan, Pasar Uang dan Pasar Modal dengan Kurang Tepat. Tidak Merumuskan materi tentang Surat Berharga dan

Selanjutnya beralihnya jaminan fidusia termaksud sesuai ayat (2) didaftarkan oleh kreditor baru kepada Kantor Pendaftaran Fidusia. Dengan “pengalihan hak atas piutang”

Rahn tertuang dalam Undang-Undang Perbankan Syariah Pasal 1 angka 26 yang disebut dengan agunan, yakni jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda

Sedikit berbeda dengan Mudharabah, akad ini dilakukan oleh dua pemilik modal atau lebih yang menghimpun modalnya untuk proyek atau usaha tertentu. Nantinya, pihak

al-Islamiyah XIX, no.. dibeli dengan pembayaran tidak tunai dapat dijadikan sebagai jaminan.” Kritik ini, selan- jutnya direspon dengan regulasi guna menu- tup kemungkinan

Pengajuan penyelesaian sengketa perbankan kepada pelaksana fungsi mediasi perbankan hanya dapat dilakukan oleh nasabah atau perwakilan nasabah, termasuk lembaga, badan hukum

Alasan Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN), dan tidak mendaftarkan Jaminan Fidusia yang nilainya di bawah lima puluh juta rupiah ke Kantor Pendaftaran Fidusia