• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Hukum Kerangka Hukum Jaminan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Aspek Hukum Kerangka Hukum Jaminan"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat pula kebutuhan terhadap pendanaan, Kebutuhan pendanaan tersebut dapat dilihat dan diperoleh melalui kegiatan perkreditan yang disediakan oleh lembaga keuangan Bank ataupun lembaga keuangan bukan bank melalui kegiatan pinjam-meminjam.

Dalam menyalurkan kredit, bank ataupun lembaga pembiayaan lainnya harus memperhatikan dan menganalisis secara mendalam setiap permohonan kredit nasabahnya sehingga bank ataupun lembaga pembiayaan lainnya memperoleh keyakinan bahwa debitur dapat mengembalikan pinjamannya sebagaimana yang telah diperjanjikan pihak bank ataupun lembaga pembiayaan lainnya

selanjutnya disebut kreditur.

1.2 Rumusan Masalah

2. Apa pengertian Hukum Jaminan ?

3. Apa pengertian dari Hukum Jaminan Fidusia ?

(2)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 ISTILAH DAN PENGERTIAN HUKUM JAMINAN

Istilah Hukum Jaminan merupakan terjemahan dari isitlah security of law, zekerheadsstelling, atau zekerheadsrecthen. Dalam keputusan seminar Hukum Jaminan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tanggal 9 sampai dengan 11 oktober 1978 di Yogyakarta menyimpulkan, bahwa istilah “hukum jaminan” itu meliputi pengertian baik jaminan kebendaan maupun perorangan. Berdasarkan kesimpulan tersebut, pengertian hukum jaminan yang diberikan didasarkan kepada pembagian jenis lembaga hak jaminan, artinya tidak memberikan perumusan pengertian hukum jaminan, melainkan memberikan bentang lingkup dari istilah hukum jaminan itu, yaitu meliputi jaminan kebendaan dan jaminan perorangan.

Sehubungan dengan pengertian hukum jaminan, tidak banyak literature yang merumuskan pengertian hukum jaminan. Menurut J. Satrio hukum jaminan itu diartikan peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditor terhadap seorang debitur. Ringkasnya hukum jaminan adalah hukum yan mengatur tentang jaminan piutang seseorang (J. Satrio, 2002: 3). Sementara itu, Salim HS memberikan perumusan hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang megatur hubungan antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk medapatkan fasilitas kredit (Salim HS, 2004: 6).

(3)

Dari dua pendapat perumusan pengertian hukum jaminan diatas dihubungkan dengan kesimpulan Seminar Hukum Jaminan tahun 1978, intinya dari hukum jaminan adalah ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi jaminan (debitur) dan penerima jaminan (kreditor) sebagai

akibat pembebanan suatu hutang tertentu (kredit) dengan suatu jaminan (benda atau orang tertentu). Dalam hukum jaminan tidak hanya mengatur perlindungan hukum terhadap kreditor sebagai pihak pemberi utang saja, melainkan juga mengatur perlindungan hukum terhadap debitur sebagai pihak penerima hutang. Dengan kata lain, hukum jaminan tidak hanya mengatur hak-hak kreditor yang berkaitan dengan jaminan pelunasan utang tertentu, namun sama-sama mengatur hak-hak kreditor dan hak-hak debitur berkaitan dengan jaminan pelunasan utang tertentu tersebut.

Berdasarkan pengertian diatas, unsure-unsur yang terkandung didalam perumusan hukum jaminan, yakni sebagai berikut:

1. Serangkain ketentuan hukum, baik yang bersumberkan kepada ketentuan hukum yang tertulis dan ketentuan hukum yang tidak tertulis.

2. Ketentuan hukum jaminan tersebut mengatur mengenai hubungan hukum antara pemberi jaminan (debitur) dan penerima jaminan (kreditor).

3. Adanya jaminan yan diserahkan oleh debitur kepada kreditor

(4)

2.1.1 SUMBER PENGATURAN HUKUM JAMINAN

Istilah sumber hukum dapat dipergunakan dalam tiga pengertian berbeda yang satu dengan yang lainnya, meskipun sebenarnya antara pengertian yang satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan yang erat, bahkan menyangkut substansi yang sukar dipisahkan, yakni:

1. Sumber hukum dalam penggunaan pengertian sebagai asalnya hukum pisitif, wujudnya dalam bentuk yang konkret, yakni berupa keputusan dari yang berwenang untuk mengambil keputusan mengenai soal yang bersangkutan. 2. Sumber hukum dalam pengertiannya sebagai tempat ditemukan aturan dan ketentuan hukum positif merupakan pula yang penting bagi setiap orang yang ingin mengetahui atau menyelidiki hukum positif dari suatu tempat pada waktu tertentu.

3. Sumber hukum dalam artian ketiga, yakni hal-hal yang seharusnya dijadikan pertimbangan oleh penguasa yang berwenang didalam nanti akan menentukan isi hukum positifnya, juga harus memperhatikan faktor-faktor politis, agama, hubungan internasional dan lain-lainnya (Joeniarto, 1987: 1 dan seterusnya).

Pengertian sumber hukum jaminan disini, yakni tempat ditemukannya aturan dan ketentuan hukum serta perundang-undangan (tertulis) yang mengatur mengenai jaminan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan jaminan. Aturan dan ketentuan hukum dan perundang-undangan jaminan yang dimaksud adalah hukum positif, yaitu ketentuan jaminan yang sedang berlaku pada saat ini.

(5)

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Ketentuan dalam Pasal-Pasal Buku II KUH Perdata yang mengatur mengenai lembaga dan ketentuan hak jaminan dimulai dari Titel Kesembilan Belas sampai dengan Titel Dua Puluh Satu Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1232. Dalam Pasal-Pasal KUH Perdata tersebut diatur mengenai piutang-piutang yang diistimewakan, gadai dan hipotek.

Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, maka pembebanan hipotek atas hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tidak lagi menggunakan lembaga dan ketentuan hipotek sebagaimana diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUH Perdata.

Selain mengatur hak jaminan kebendaa, dalam KUH Perdata diatur pula mengenai jaminan hak perseorangan, yaitu penanggulangan utang (borghtocth) dan perikatan tanggung menanggung. Jaminan hak perseorangan ini tidak diatur dalam Buku II KUH Perdata, melainkan diatur dalam Buku KUH Perdata, yaitu pada Title Ketujuh Belas dengan judul “Penanggungan Utang”, yang dimulai dari pasal 1820 sampai dengan p asal 1850. Pasal-pasal tersebut mengatur mngenaipengertian dan sifat penanggungan utang, akibat-akibat penanggungan utang antara debitur (yang berhutang) dan penjamin (penanggung) utang serta antara para penjamin utang dan hapusnya penanggungan utang.

(6)

2. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUH Dagang)

KUH Dagang merupakan terjemahan dari wetboek van koophandel sebagaimana termuat dalam staatsblad 1847 nomor 23, yang semua di peruntukan bagi golongan penduduk Eropa, yang kemudian seluruhnya juga di berlakukan kepada golongan penduduk Tionghoa dan Timur Asing lainnya dan bahkan diberlakukan kepada golongan penduduk pribumi. Pada dasarnya KUH Dagang mengatur mengenai ketentuan-ketentuan hukum perdata khusus, yang terdiri atas 2 (dua) buku, yaitu buku I tentang dagang pada umunya dan buku II tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari pelayaran, lazimnya mengatur mengenai hukum pengangkutan laut.

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar pokok-pokok Agraria

Secara khusus ketentuan mengenai hypotheek dan peraturan credietverband tetap dinyatakan masih berlaku sampai dengan diaturnya lembaga hak jaminan atas tanah yang baru.

Sesuai dengan tujuan pokoknya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 bukan saja mencabut ketentuan dalam pasal-pasal dari Buku II KUH Perdata, juga mencabut beberapa ketentuan colonial lainnya sepanjang yang mengatur bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan dengan berdasarkan Surat Departemen Pertanian dan Agraria Nomor Undang 10/3/29 tanggal 26 Februari 1961 memerinci berlakunya pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan dalam Buku II KUH Perdata sebagai berikut:

(7)

b. Ada pasal-pasal yang menjadi tak berlaku lagi, yaitu pasal-pasal yang mengatur bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya;

c. Ada pasal-pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh, dalam arti bahwa ketentuannya tidak berlaku lagi sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan masih tetap berlaku sepanjang mengenai benda-benda lain (Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981: 4).

Berkaitan dengan hukum jaminan, dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, sudah disediakan lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu Hak Tanggungan sebagai pengganti lembaga Hipotek (Hypotheek) dan credietverband, yang akan diatur dalam suatu Undang-undang tersendiri. Namun selama belum ada Undang-undang yang mengatur Hak Tanggungan tersebut sesuai yang dikehendaki oleh Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, maka berdasarkan ketentuan peralihan yang tercantum dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, bahwa dalam kurun waktu tersebut masih diberlakukan ketentuan hipotek sebagaimana dimaksud dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan ketentuan credietverband dalam Staatsblad 1908 Nomor 542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190, sepanjang hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam atau berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.

(8)

4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, dengan ketentuan dalam pasal 29 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan bahwa:

Dengan berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan mengenai credietverband

sepenuhnya tidak diperlukan lagi. Sedangkan ketentuan mengenai hypotheek yang tidak berlaku lagi hanya yang menyangkut pembebasan hypotheek atas Hak atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan Tanah.

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 4 Tahun1996 dengan dihubungkan dengan penjelasannya, maka dapat disimpulkan:

1. Dengan sendirinya ketentuan-ketentuan mengenai credietverband seluruhnya tidak berlaku lagi;

2. Ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek sepanjang yang menyangkut pembebanan hipotek hak atas Tanah dengan benda-benda yang berkaitan dengan tanah tidak berlaku lagi, sedangkan ketentuan mengenai hypotheek yang menyengkut pembebanan hipotek atas benda-benda lainnya yang bukan hak atas beserta dengan benda-benda yang berkaitan dengan tanah, masih tetap berlaku sebagaimana adanya sampai dengan diperbaruinya (Buku II) KUH Perdata tersebut.

(9)

1. Dalam bentuk peraturan perundang-undangan:

a. Ketentuan tentang penentuan batas waktu berlaukunya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) untuk jenis kredit tertentu (pasal 15 ayat(5)).

b. Ketentuan tentang penyesuaian buku tanah dan sertifikat Hak Tanggungan (Pasal 24 ayat (2)).

c. Ketentuan lebih lanjut untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, sepanjang tidak ditentukan lain Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996.

2. Dalam bentuk peraturan pemerintah:

a. Ketentuan tentang pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas Tanah Milik (Pasal 4 ayat(3)).

b. Ketentuan tentang sanksi administrative pelanggaran atau kelalaian Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Notaris dalam memenuhi ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996.

Dengan demikian, setelah lahirnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, keseluruhan ketentuan mengenai lembaga Hak Jaminan Hak Tanggungan diatur dalam suatu Undang-undang tersendiri diluar KUH Perdata.

(10)

5. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia Pada tanggal 30 september 1999, pemerintah telah mensahkan dan sekaligus mengundang suatu Undang-undang yang mengatur mengenai jaminan fidusia, yakni dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia.

Dari konsiderans menimbang undang-undang 42 Tahun 1999 tersebut, kita dapat mengetahui falsafah yang melatarbelakangi kelahirannya yang berisikan konstatering fakta-fakta secara singkat serta alas an-alasan dan pertimbangan-pertimbangan perlunya membentuk undang-undang tentang jaminan fidusia. Setidaknya memuat tiga pertimbangan, yaitu:

1) Bahwa kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang “jelas” dan “lengkap” yang mengatur mengenai fidusia;

2) Bahwa jaminan fidusia sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan sampai saat ini masih didasarkan pada “yurisprudensi” dan belum diatur dalam peraturan perundang-undangan secara ”lengkap” dan “komprehensif”.

3) Bahwa untuk ”memenuhi kebutuhan hukum” yang dapat melebihimemacu pembangunan nasional dan untuk “menjamin kepastian hukum” serta mampu “memberikan perlindungan hukum” bagi pihak yang berkepentingan, maka perlu dibentuk ketentuan yang “lengkap” mengenai jaminan fidusia dan jaminan tersebut “perlu didaftarkan” pada kantor pendaftaran fidusia.

(11)

a. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun

Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 telah diadakan ketentuan “penghubung” antara peraturan yang memuat pengaturan lembaga hak jaminan atas hak atas tanah dengan ketentuan dalam pasal-pasal undang-undang Nomor 4 Tahun 1996. Sehubungan dengan itu, ketentuan dalam pasal 27 undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan:

Ketentuan undang-undang ini berlaku juga terhadap pembebanan hak jaminan atas Rumah Susun dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.

Adapun penjelasan atas pasal 27 undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan:

Dengan ketentuan ini Hak Tanggungan dapat dibebankan kepada Rumah Susun dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang didirikan atas tanah Hak Pakai atas tanah Negara.

b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman

Dalam perspektif Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 memberikan kemungkinan pembebanan pemilikan rumah dijadikan sebagai jaminan utang secara terpisah dengan hak atas tanahnya. Hal ini ditentukan dalam pasal 15 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 yang bunyinya:

(1) Pemilikan rumah dapat dijadikan jaminan utang.

(12)

b. pembebanan hipotek atas rumah beserta tanah yang haknya dimiliki pihak yang sama dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan

Dalam rangkaian kelahiran Undang-Undang Penerbangan Nasional, pemerintah juga telah merakit suatu ketentuan untuk memberikan kemungkinan dibebaninya sebuah pesawat udara dengan hak jaminan, seperti tampak pada pasal 12 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Moch. Isnaeni, 1996: 93).

Ketentuan dalam pasal undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 memberikan kemungkinan pembebanan pesawat udara dijadikan sebagai jaminan utang dengan menggunakan hipotek. Pasal undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 menyatakan:

(1) Pesawat terbang dan helicopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia dapat dibebani hipotek.

(2) Pembebanan hipotek pada pesawat terbang dan helicopter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didaftarkan.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

d. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran

(13)

Ketentuan dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 meyatakan:

(1) Kapal yang terdaftar dapat dibebani hipotek.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

2.1.2 TEMPAT DAN SISTEM PENGATURAN HUKUM JAMINAN Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa tempat pengaturan hukum jaminan tidak hanya terdapat dalam KUH Perdata, yaitu Buku II KUH Perdata, melainkan juga terdapat di luar KUH Perdata, sehingga tempat pengaturan hukum jaminan berada didalam dan diluar KUH Perdata, termasuk dalam KUH Dagang. Dengan demikian sumber pengaturan hukum jaminan terdapar dalam KUH Perdata dan beberapa peraturan perundang-undangan diluar KUH Perdata, disamping yang mengacu kepada ketentuan dalam hukum adat.

Buku II KUH Perdata mengatur jaminan kebendaan, yang meliputi piutang-piutang yang diistimewakan (Bab XIX), tentang gadai (Bab XX), dan tentang Hipotek (Bab XXI). Adapun Buku III KUH Perdata mengatur mengenai jaminan perseorangan, yaitu penanggungan utang (borgtoch) (Bab XVII). Diluar KUH Perdata, pengaturan hukum jaminan antara lain dapat dijumpai dalam:

1. KUH Dagang

2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Rumah Susun

3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman

(14)

5. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan 6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah

8. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang kaminan fidusia

Dengan demikian sesungguhnya secara parsial undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 dan undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 telah mendahului mengatur secara nasional sebagian tentang hukum jaminan, yang dalam hal ini terbatas mengatur mengenai jaminan kebendaan Hak Tanggungan dan Findusia.

Pada prinsipnya kelahiran undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 dan undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 telah menimbulkan pembaruan hukum yang sekaligus memperbarui secara ulang perangkat hukum yang mengalami pembaruan tersebut.

2.1.3 HUKUM KEBENDAAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA (KUH PERDATA)

Hukum kebendaan berkaitan erat dengan hukum keperdataan, hal ini disebabkan oleh hukum benda salah satu bidang hukum dari Hukum Perdata (Frieda Husni Hasbullah, 2002:7).

(15)

Sistematika pembidangan hukumn perdata (materiil) dapat ditilik menurut ilmu pengetahuan hukum (doktrin) dan dapat ditilik menurut KUH Perdata. Berbeda dengan sistematika KUH Perdata, maka pembidangan hukum perdata (materiil) menurut ilmu pengetahuan hukum meliputi 4 (empat) bidang, yaitu sebagai berikut.

1. Hukum perorangan (personenrecht)

Adalah ketentuan hukum yang mengatur mengenai pribadi alamiah (manusia) sebagai subjek hukum dalam hukum atau mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kecakapan seseorang dalam hukum, hak (kewajiban) subjektif seseorang serta hal-hal yang mempunyai pengaruh terhadap kedudukan seseorang sebagai subjek hukum, seperti jenis kelamin, status menikah, umur, domisili, status di bawah pengampuan, atau pendewasaan serta mengatur mengenai register pencatatan sipil.

2. Hukum kekeluargaan (familierecht)

Adalah ketentuan hukum yang mengatur mengenai hubungan antarpribadi alamiah yang berlainan jenis dalam suatu ikatan kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian, hubungan antara suami dan istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian, atau periparan.

3. Hukum harta kekayaan (vermogensrecht)

Adalah ketentuan hukum yang mengatur mengenai hubungan hukum seseorang dengan harta kekayaan yang dikuasainya, yang melahirkan hak atas kekayaan yang bersifat absolut (diatur dalam hukum kebendaan, termasuk hukum jaminan) dan melahirkan hak atas kekayaan yang bersifat relatif (diatur dalam hukum perikatan).

4. Hukum kewarisan (erfrecht)

(16)

dunia (pewaris), menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa besar bagiannya masing-masing.

Sementara itu, KUH Perdata membagi bidang hukum perdata tersebut atas 4 bidang pula, yang dituangkan dalam 4 buku, yaitu:

1. Buku I tentang Orang (van personen); 2. Buku II tentang Kebendaan (van zaken);

3. Buku III tentang Perikatan (van verbintenissen);

4. Buku IV tentang Pembuktian dan Daluwarsa (van bewijs en verjaring).

Sistematika di atas sebenarnya terpengaruh oleh sistematika Corpus Iuris Civilis dari Institutiones Justinianus, Kaisar Romawi yang memerintah pada abad VI Masehi atau tahun 524-565 Masehi yang merupakan kodifikasi hukum perdata Romawi. Kodifikasi Justianus terbagi dalam empat bagian, yaitu:

1. Institutions

Dalam bagian ini berisikan antara lain tentang pengertian-pengertian, lembaga-lembaga hukum, dan lain-lain yang terdapat dalam hukum Romawi.

2. Pandecta

Berisikan himpunan pendapat dari ahli-ahli hukum Romawi yang terkenal pada masa itu.

3. Code

Berisikan himpunan perundang-undangan (leges lex) yang dibukukan oleh para ahli hukum atas perintah Kaisar Romawi.

4. Novelles

(17)

Pada prinsipnya pengaturan hukum kebendaan sebagian besar termuat dalam Buku II KUH Perdata, disamping diatur beberapa peraturan perundang-undangan diluar KUH Perdata, maka kandungan materi yang diatur di dalamnya pada dasarnya meliputi kebendaan dan cara-cara membedakan benda, hak-hak kebendaan dan kewarisan. Adapun secara rinci hal-hal yang diatur dalam Buku II KUH Perdata tersebut sebagai berikut:

a. Tentang kebendaan dan cara-cara membeda-bedakan benda b. Tentang hak-hak kebendaan yang memberikan kenikmatan c. Tentang kewarisan

d. Tetang piutang-piutang yang diistimewakan

e. Tentang hak-hak kebendaan yang memberikan jaminan

2.1.4 HUKUM JAMINAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM KEBENDAAN

Didalam pengembangan Usaha sarana yang mutlak adalah Modal. Jasa Bank berupa kredit telah menjadi urat nadi para pngusaha. Oleh karena itu, perangkat hukum jaminan yang memadai dan dapat mengimbangi perkembangan bidang ekonomi sangat dibutuhkan (Djuhaendah Hasan, 1996: 229).

(18)

terlibat di dalamnya mendapatkan perlindungan hukum yang sama dan seimbang melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan memberikan kepastian hukum (Rachmadi Usman, 1999:23).

Oleh karena itu, dirasakan sangat mendesak adanya lembaga jaminan dan hukum jaminan yang modern. Perlu sekali adanya hukum jaminan yang mampu mengatur konstruksi yuridis, yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang akan dibelinya sebagai jaminan. Peraturan-peraturan demikian kiranya harus cukup meyakinkan dan memberikan kepastian bagi lembaga-lembaga pemberi kredit, baik dari dalam maupun luar negeri.

Lembaga jaminan tergolong bidang hukum yang bersifat netral tidak mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan spiritual dan budaya bangsa, sehingga terhadap bidang hukum ini tidak ada keberatannya untuk diatur dengan segera. Hukum jaminan tergolong dalam bidang hukum yang akhir-akhir ini secara popular disebut The Economic Law, Wiertschaftrecht atau Droit Economique, yang mempunyai fungsi menunjang kemajuan ekonomi dan pembangunan pada umumnya, sehingga bidang hukum demikian pengaturannya dalam undang-undang perlu diprioritaskan (Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980:1).

Dalam perspektif hukum kebendaan, lembaga hak jaminan merupakan hak kebendaan, yaitu hak kebendaan yang memberi jaminan dan dengan sendirinyapengaturannya terdapat di dalam Buku II KUH Perdata. Apabila menilik sistematika KUH Perdata, terkesan hukum jaminan hanya merupakan jaminan kebendaan saja, berhubung pengaturannya terdapat dalam Buku II KUH Perdata. Padahal di samping jaminan kebendaan, dikenal pula jaminan perseorangan (persoonlijke zekerheidsrechten, personal guaranty), yang pengaturannya terdapat di dalam Buku III KUH Perdata.

(19)

dengan sendirinya harus tetap berpegang teguh pada prinsip dan sendi pokok yang diatur dalam kerangka sistem hukum kebendaan nasional.

Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa mengenai benda tanah sudah mendapat pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, sedangkan benda lainnya bukan tanah pengaturannya bersifat dualistis, yaitu ada yang tunduk kepada KUH Perdata dan ada yang tunduk kepada hukum adat. Dalam pembentukan hukum kebendaan nasional mendatang sudah tentu akan bertitik tolak pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dan asas-asas serta sendi pokok yang melandasi hukum kebendaan nasional. Selanjutnya dari sini kita akan dapat merancang suatu (sistem) hukum jaminan nasional, baik itu jaminan kebendaan (maupun jaminan perseorangan).

Menurut hukum adat yang dapat menjadiobjek jaminan itu bisa tanah atau benda bukan tanah dengan lembaganya baik berupa tanggungan, jonggolan bagi tanah, sedangkan bagi benda bukan tanah akan berlaku gaed, borg atau cekalan. Di dalam kehidupan masyarakat adat dikenal istilah ngagade atau gade yang berarti menjaminkan benda, tetapi ini bukan dalam arti jual gade atau adol sende atau gadai tanah, Karena gadai tanah bukan perbuatan menjaminkan tetapi perbuatan jual untuk waktu tertentu. Jual gade merupakan perjanjian asesor terhadap perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian piutang(Iman Sudiyat, 1981 : 28).

Namun adanya perbankanisasi menyebabkan lembaga-lembaga jaminan yang terdapat di dalam dan di luar KUH Perdata yang lebih dikenal masyarakat dan dijadikan sebagai acuan dalam hubungan hukum antara pihak lembaga keuangan bank dan bukan bank dengan calon debiturnya dalam penjaminan kredit atau pinjaman.

(20)

1. Pengertian benda (Zaak) dinyatakan dalam pasal 499 KUH perdata, sebaagi berikut:

Menurut paham undang-undang yang dinamakan dengan kebendaan ialah tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik.

Berdasarkan ketentuan tersebut, pengertian benda meliputi segala sesuatu yang dapat di miliki oleh subjek hukum, baik itu berupa barang (goed) maupun hak (recht), sepanjang objek dari hak milik itu dapat dikuasai oleh subjek hukum artinya istilah benda bersifat abstrak, karena tidak hanya terbatas pada benda yang berwjud saja yang dinamakan dengan barang, melainkan termasuk pula benda yang tidak berwujud atau bertubuh, yang dapat berupa hak. Benda yang demikian ini merupakan pengertian dalam arti luas, yang meliputi benda berwujud dan benda tak berwujud. Adapun dalam arti sempit benda itu hanyalah barang-barang yang berwujud atau bertubuh saja. Dengan demikian presfektif hukum perdata berdasarkan KUH perdata, selain mengenal barang-barang yang berwujud yang merupakan bagian dari harta kekayaan seseorang, yang juga bernialai ekonomi.

2. Cara Pembedaan Kebendaan

(21)

2.1.6. HAK KEBENDAAN PADA UMUNYA 1. Hak Perdata

Untuk memahami hak kebendaan menurut sisitem KUHPdt, lebih dulu dikaji tentang hak perdata. Hak perdata adalah hak seseorang yang diberikan oleh hukum perdata. Hak perdata tersebut ada yang bersifat absolute dan ada yang bersifat relatif. Hak yang bersifat absolute memberikan kekuasaan langsung dan dapat dipertahankan terhadap siapapun. Sedangkan hak yang bersifat relative memberikekuasaan terbatas dan hanya dapat di pertahankan terhadap lawan (pihak dalam hubungan hukum).

Hak perdata yang bersifat absolute meliputi:

a. Hak kebendaan (zakelijkrecht), di atur dalam buku II KUHPdt. b. Hak Kepribadian (persoonlijkheidscrecht), yang terdiri dari:

(1) Hak atas diri sendiri, misalnya hak atas nama, hak atas kehormatan, hak untuk memiliki, hak untuk kawin.

(2) Hak atas diri orang lain yang timbul dalam hubungan hukum keluaraga antara suami dan istri, antara orang tua dan anak.

Hak perdata yang bersifat relative ialah hak yang timbul karena adanya hubungan hukkum berdasarkan perjanjian atau berdasakan ketentuan undang-undang. Hak perdata yang bersifat relative di sebut”personoonlijkrecht” , umunya diatur dalam buku III KUHPdt.

3. Hak kebendaan `

(22)

Dalam hukum benda (buku II KUHPdt) di atur mengenai beberapa asas yangberlaku bagi hak-hak kebendaan. Asas-asas tersebut adalah seperti diuaraikan berikut ini.

(1) Asas Hukum Pemaksa

(2) Asas dapat dipindahtangankan (3) Asas individualitas

(4) Asas totalitas

(5) Asas tidak dapat di pisahkan (6) Asas prioritas

(7) Asas Percampuran

(8) Pengaturan berbeda terhadap benda bergerak dan tak bergerak (9) Asas Publisitas

(10)Asas mengenai sifat perjanjian 5. Cara memperoleh Hak Kebendaan

Ada beberapa macam cara memperoleh hak kebendaan seperti yang di uraikan berikut ini.

(1) Dengan pengakuan (2) Dengan penemuan (3) Dengan penyerahan (4) Dengan cara daluarsa (5) Dengan pewarisan (6) Dengan cara penciptaan (7) Dengan cara ikutan/turunan 6. Hak Kebendaan Hapus/Lenyap

Hak kebendaan dapat hapus/lenyap karena hal-hal seperti diuraikan berikut ini.

(23)

(4) Karena daluarsa

(5) Karena pencabutan hak Istilah dan pengertian jaminan

Istilah jaminan merupakan terjemahan dariistilah zekerheid atau cautie,yaitu kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditor, yang di lakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan ataspinjaman atau utang yang di terima debitur terhadap kreditornya.

Dalam presfektif hukumperbankan,istilah “jaminan” ini di bedakan dengan istilah “agunan”. Di bawah Undang-Undang Nomor 14Tahun 1967 tentang pokok-pokok perbankan,tidak di kenal istilah agunan , yang ada istilah “jaminan” , yang sementara dalamundang-undang nomor 7 1992 tentang perbankan sebagaimana telah di ubah dengan undang-undang nomor 10 tahun 1998,memberikan pengertian yang tidak sama dengan istilah “Jaminan”menurut undang-undang nomor 14 tahun 1967.

Arti Jaminan menurut undang-undang nomor14Tahun 1967 diberi istilah “agunan” atau tanggungan, sedangkan jamianan” menurut undang-undang nomor 10 Tahun 1992 sebagaimana telah di ubah dengan undang-undang nomor 10 tahun 1998,di beri arti lain , yaitu “keyakinan atasitikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiyaan dimaksud sesuai dengan diperjanjikan.

Pembedaan lembaga jaminan

Mengenai lemabaga jaminan,ketentuan dalam pasal 1131 KUHPerdata mennnyatakan:

Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak,baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari,menjadi tangguangan untuk segala perikatan perseorangan.

(24)

Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menguntungkan padanya;pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing,kecuali apabila di antara para berpiutang masing-masing-masing,kecuali apabila di antarapara aberpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, dapat di ketahui pembedaan (lembaga hak) jaminan berdasarkan sifatnya, yaitu :

1. Hak jaminan yangbersifat umum

2. Hak jaminan yang bersifat khusus Jaminan

2.1.7 Pengertian Hukum Jaminan Firdusia

Jaminan Fidusia adalah jaminan kebendaan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud sehubungan dengan hutang-piutang antara debitur dan kreditur. Jaminan fidusia diberikan oleh debitur kepada kreditur untuk menjamin pelunasan hutangnya.

Jaminan Fidusia diatur dalam Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Jaminan fidusia ini memberikan kedudukan yang diutamakan privilege kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.

Dari definisi yang diberikan jelas bagi kita bahwa Fidusia dibedakan dari Jaminan Fidusia, dimana Fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan Jaminan Fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia.

(25)

2. Asas Hukum jaminan fidusia dapat mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda itu berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan (inventory). Dalam ilmu hukum asas ini disebut “droit de suite”. Adanya pengakuan asas ini di dalam UUJF menunjukkan bahwa jaminan fidusia merupakan hak kebendaan (zaakelijk recht) bukan merupakan hak perorangan (persoonlijtkrecht).

Hak Kebendaan adalah hak mutlak atas suatu benda dimana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. Jaminan kebendaan termasuk jaminan fidusia mempunyai ciri-ciri kebendaan dalam arti memberikan hak mendahului di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat serta mengikuti benda-benda yang bersangkutan. Karakter kebendaan pada Jaminan Fidusia dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 20, Pasal 27 UUJF. Dengan karakter kebendaan yang dimiliki Jaminan Fidusia, penerima fidusia merupakan kreditur yang preferen. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa Jaminan Fidusia memiliki identitas sebagai lembaga jaminan yang kuat dan akan digemari oleh para pemakainya.

3. Asas bahwa jaminan fidusia adalah perjanjian asesoir. Asas asesoir membawa konsekwensi terhadap pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewaji ban penerima fidusia kepada kreditur baru. Beralihnya hak tersebut didaftarkan oleh kreditur baru kepada kantor

pendaftaran fidusia.

(26)

timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu. Hutang yang akan timbul di kemudian hari (kontinjen), misalnya hutang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan bank garansi.

5. Asas yang mengatakan bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap benda yang akan ada.

Ketentuan ini secara tegas membolehkan Jaminan Fidusia mencakup benda yang diperoleh di kemudian hari. Hal ini menunjukkan undang-undang ini menjamin fleksibilitas yang berkenaan dengan hal ikhwal benda yang dapat dibebani jaminan fidusia bagi pelunasan hutang.

5. Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap bangunan /rumah yang terdapat diatas tanah hak milik orang lain. Dalam ilmu hukum asas ini dikenal dengan asas pemisahan horizontal.

Artinya benda-benda yang merupakan kesatuan dengan tanah menurut hukum bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutaan. Oleh karena itu, setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah, tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut. Pemilik suatu tanah tidak selamanya berarti dia pemilik bangunan di atas tanah tersebut. Misalnya mengenai rumah susun.

(27)

8. Asas jaminan fidusia wajib didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Di dalam ilmu hukum disebut asas publisitas.Dengan adanya asas publisitas ini maka melahirkan adanya kepastian hukum dari jaminan fidusia. Asas Publisitas adalah asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan dan hak fidusia harus didaftarkan, hal ini bertujuan agar pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda yang dijaminkan sedang dilakukan pembebanan jaminan.

9. Asas bahwa benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki oleh kreditur penerima fidusia sekalipun ada janji untuk memiliki benda tersebut apabila debitur cindera janji, maka batal demi hukum.

10. Asas bahwa jaminan fidusia memberikan hak prioritas kepada kreditur penerima fidusia yang terlebih dahulu mendaftarkan ke kantor Pendaftaran Fidusia daripada kreditur yang mendaftar kemudian.

11. Asas bahwa jaminan fidusia mudah untuk dieksekusi. Kemudahan eksekusi ini dapat dilihat dengan adanya irah-irah “Demi Keadilan Yang Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada Sertifikat Jaminan Fidusia. Dengan title eksekutorial ini menimbulkan konsekuensi yuridis bahwa jaminan fidusia mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum yang tetap.

2. Pelaksanaan Pendaftaran Jaminan Fidusia

(28)

suatu benda sebagai agunan sebagai jaminan atas utang debitur dimana objek jaminan tersebut pengalihannya secara constitutum possesorium. Objek jaminan tetap berada pada kekuasaan nyata debitur sedangkan hak milik objek jaminan berpindah kepada kreditur. Kreditur yang berkedudukan sebagai penerima Fidusia selama perjanjian jaminan Fidusia berlangsung memegang hak milik tersebut hanya sebagai benda jaminan, bukan sebagai pemilik seterusnya. Untuk memberikan kepastian hukum Pasal 11 Undang-Undang JaminanFidusia mewajibkan benda yang dibebani dengan jaminan fidusia didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Pendaftaran dilaksanakan ditempat kedudukan pemberi fidusia dan pendaftarannya mencakup benda, baik benda yang berada di dalam maupun diluar wilayah negara Republik Indonesia untuk memenuhi asas publisitas, sekaligus merupakan jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani dengan jaminan fidusia. Menurut Prof. Mariam Darus Badrulzaman dengan pendaftaran fidusia maka jaminan fidusia mendapatkan karakter sebagai "hak barang" dan tidak lagi sebagai kesepakatan. Sebagai hak barang, jaminan fidusia membawa prinsip- prinsip antara lain menjamin hak berikut barang, memiliki posisi utama dalam kaitannya dengan kreditur lainnya, dan jaminan tidak termasuk dalam aset bangkrut jika

debitur tersebut diputuskan bangkrut .

Selanjutnya Kantor Pendaftaran Fidusia akan melakukan pencatatan jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia, dimana pencatatan ini dianggap sebagai lahirnya jaminan fidusia. Ini berarti tiada jaminan fidusia tanpa dilakukan pendaftaran pada Kantor Pendafataran Fidusia.

(29)

Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Sebagai bukti bagi kreditur bahwa ia merupakan pemegang jaminan fidusia adalah Sertipikat Jaminan Fidusia yang diterbitkan oleh Kantor Pendafataran Fidusia. Dan sertipikat jaminan fidusia ini sebenarnya merupakan salinan dari Buku Daftar Fidusia yang memuat catatan tentang hal-hal yang sama dengan data dan keterangan yang ada saat pernyataan pendaftaran. Dengan mendaftarkan objek jaminan fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia, kedudukan kreditur menjadi kuat, hak kreditur merupakan hak kebendaan yang dapat dipertahankan terhadap siapapun. Jadi sesuai dengan UUJF, maka pendaftaran fidusia itu merupakan suatu keharusan. Artinya kedudukan kreditur sebagai pemegang jaminan fidusia barusah bila jaminan fidusia yang dipergunakan untuk menjamin kredit yang disalurkannya sudah didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Namun dalam prakteknya para kreditur, baik itu lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan lainnya (bukan bank), seperti koperasi saat ini tidaklah melaksanakan ketentuan tentang keharusan membuat akta jaminan fidusia dengan akta notaris dan ketentuan keharusan mendaftarkan jaminan fidusia. Walau sudah sangat dimaklumi bahwa tujuan pendaftaran fidusia adalah untuk melindungi dan memberikan kepastian hukum bagi jaminan yang dipegangnya.

(30)

Sukoharjo dan di PT. Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN )

Cabang Boyolali

Demikian juga di Koperasi Simpan Pinjam Putra Utama Makmur Sukoharjo akta jaminan fidusia tidak dituangkan dalam perjanjian tersendiri tapi hanya dituangkan di dalam perjanjian kredit dan kuasa menjual dengan hak susbstitusi yang diwaarmerking oleh notaris. Hal ini terjadi karena ketidak tahuan pihak koperasi. Demikian juga di Koperasi Primkopti Sukoharjo jaminan fidusia dituangkan dalam perjanjian tersendiri dengan sebutan Fiduciare Eigendom Overdracht yang dibuat dibawah tangan . Dalam hal debitur wanprestasi, biasanya kreditur melakukan pemaksaan dan pengambilan barang secara sepihak.Padahal tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dapat digugat ganti kerugian. Dalam konsepsi hukum pidana, eksekusi objek fidusia di bawah tangan masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditor melakukan pemaksaan dan

ancaman perampasan.

Dan hal ini, jaminan fidusia yang tidak didaftarkan ini hampir terjadi di seluruh wilayah, tentu akan muncul pertanyaan ada apa dengan Undang-Undang Jaminan Fidusia yang sudah disahkan dan berlaku selama 13 tahun semenjak tahun 1999, namun masih belum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang sudah dengan tegas mengatur lembaga jaminan fidusia.

3. Hambatan-hambatan Dalam Pendaftaran Jaminan Fidusia

a) Hambatan Substantif

(31)

nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Hambatan substantif dalam Pendaftaran Jaminan Fidusia dapat kita lihat di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Jaminan Fidusia dan Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia. Hambatan substantif itu terjadi karena peraturan perundangan-undangan mengenai Jaminan Fidusia dan Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan-kelemahannya, yang mana kekurangan dan kelemahan-kelemahan itu dapat menghambat untuk melakukan Pendaftaran Jaminan Fidusia.

Pasal 11 ayat (1) UUJF, mengatakan ”benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan”. Dalam pasal ini hanya menyebutkan bahwa benda yang dijaminkan fidusia wajib didaftarkan. Pasal ini menimbulkan kerancuan. Judul dari bagian kedua Bab III Undang-Undang Jaminan Fidusia adalah Pendaftaran Jaminan Fidusia. Dengan demikian, yang didaftarkan tentunya Jaminan Fidusia yang dibebankan atas suatu benda. Namun bunyi Pasal 11 di atas menunjukkan bahwa yang didaftarkan adalah bendanya, yaitu benda

yang dibebani Jaminan Fidusia.

(32)

(1) UUJF menyebutkan yang wajib didaftarkan itu adalah Jaminan Fidusianya bukan bendanya. Pendaftaran Jaminan Fidusia itu akan mengakibatkan terdaftarnya juga benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia. Di samping itu juga Pasal 11 ayat (1) UUJF, menyebutkan benda yang dibebani oleh Jaminan Fidusia wajib didaftarkan. Wajib didaftarkan dengan maksud agar terpenuhinya asas publisitas di dalam Pendaftaran Jaminan Fidusia. Pasal ini tidak dengan tegas menyebutkan kapan Jaminan Fidusia itu harus didaftarkan. Apakah setelah Akta Jaminan Fidusia selesai dibuat, kemudian penerima fidusia atau kuasanya harus pada saat itu juga mendaftarkan Jaminan Fidusia atau bisakah Jaminan Fidusia itu didaftarkan penerima fidusia atau kuasanya ketika diduga Jaminan

Fidusia itu akan menimbulkan masalah.

Berbeda dengan halnya pendaftaran benda jaminan di dalam Hak Tanggungan. Hak Tanggungan menyebutkan dengan jelas di dalam Pasal 13 yakni:

1. Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.

2. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akte Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat 2 (dua) UUHT, Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut dengan PPAT) wajib mengirimkan akte pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.

(33)

pada ayat (3) adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari kerja ketujuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya.

5. Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

Karena tidak diatur dengan jelas dan tegas kapan harusnya Jaminan Fidusia itu didaftarkan, bagaimana mungkin dapat terpenuhinya asas dalam pendaftaran yakni asas publisitas, sehingga rawan terjadi fidusia ulang, dan berpotensi konflik karena tidak ada jangka waktu pendaftaran. Hendaknya mengenai kapan harus didaftarkannya Jaminan Fidusia itu harus diatur dengan jelas dan tegas, agar pemberi fidusia dan penerima fidusia yang hendak menggunakan Lembaga Jaminan Fidusia mengerti dan taat kepada asas, sehingga tujuan asas publisitas dapat tercapai.

(34)

penerima fidusia atau kuasanya yang berada di Daerah Tingkat II tentulah mereka sangat keberatan. Mengingat dari daerah penerima fidusia atau kuasanya keKantor Pendaftaran Jaminan Fidusia di Ibukota Provinsi sangat jauh, memakan waktu dan biaya untuk sampai

ke sana.

Hal ini dirasakan kurang efisien bagi penerima fidusia atau kuasanya yang berada di Daerah Tingkat II. Bukan tidak mungkin bagi penerima fidusia atau kuasanya yang di Daerah Tingkat II malas dan enggan untuk mendaftarkan Jaminan Fidusia itu ke Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia di provinsi. Ini mengakibatkan penerima fidusia atau kuasanya tidak memiliki kepastian hukum, sehingga asas kepastian hukum akan sulit untuk tercapai. Bukan saja asas kepastian hukum yang tidak tercapai, asas hak kebendaan yakni hak untuk didahului (hak preferen) pun tidak akan dimiliki.

b) Hambatan Struktural

Sistem hukum mempunyai struktur. Jelasnya, struktur adalah semacam sayatan sistem hukum-semacam foto diam yang menghentikan gerak. Struktur itu adalah lembaga-lembaga yang berkaitan terhadap Pendaftaran Jaminan Fidusia. Struktur dari Pendaftaran Jaminan Fidusia ini adalah terdiri dari Kantor Pendaftaran Fidusia, Bank atau Lembaga Pembiayaan dan Notaris. Bagaimana Kantor Pendaftaran Fidusia melakukan Pendaftaran Fidusia, apakah Bank atau Lembaga Pembiayaan lainnya sudah semuanya mendaftarkan Jaminan Fidusia dan bagaimana kaitannya Notaris

dalam Pendaftaran Fidusia.

(35)

Pendaftaran Fidusia masih tetap berada di Kantor Wilayah Provinsi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tentunya ini merupakan hambatan struktural yang dapat mengakibatkan lamanya proses pendaftaran fidusia bagi penerima fidusia atau kuasanya yang di Daerah Tingkat II. Dengan demikian akan sulitlah tercapai makna dari pendaftaran itu sendiri yakni untuk memenuhi asas publisitas. Pasal 14 UUJF ayat (1), menyebutkan bawa Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan dan menyerahkan kepada penerima fidusia Sertifikat Jaminan Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. Maksud pasal ini menegaskan bahwa proses Pendaftaran Fidusia sampai diterbitkannya Sertifikat Jaminan Fidusia dilakukan satu hari masa kerja. Apabila permohonan pendaftaran yang masuk ke Kantor Pendaftaran Fidusia sedikit maka sertifikat dapat diambil pada hari itu juga.

Kantor fidusia sebagai suatu struktur dari suatu sistem dalam kenyataannya tidak dapat melaksanakan apa yang telah dengan tegas dinyatakan dalam UUJF. Tentu hal ini merupakan hambatan di dalam Pendaftaran Fidusia.

(36)

Maksud pembuat undang-undang adalah Akta Jaminan Fidusia tersebut haruslah akta yang dibuat oleh Notaris, tidak boleh dengan akta di bawah tangan. Salah satu alasan pembentuk undang-undang menetapkan Akta Notaris adalah bahwa Akta Notaris merupakan akta otentik sehingga memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Penegasan bentuk Perjanjian Jaminan Fidusia dengan Akta Notaris oleh pembentuk UUJF harus ditafsirkan sebagai norma hukum yang memaksa (imperatif bukan bersifat fakultatif), artinya apabila Perjanjian Jaminan Fidusia dilakukan selain dalam bentuk Akta Notaris, secara yuridis Perjanjian Jaminan Fidusia tidak pernah ada. Hambatan Notaris dalam melakukan Pendaftaran Jaminan Fidusia yakni bagi Notaris yang berada di Daerah Tingkat II yang mana letak kantornya berada sangat jauh dari Kantor Pendaftaran Fidusia yang letaknya di ibukota provinsi di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Misalnya bagi Notaris yang wilayah kerjanya berada jauh dari Kantor pendaftaran Jaminan Fidusia, tentu akan menyulitkan mereka untuk mendaftarkan Jaminan Fidusia itu oleh karena tempat Pendaftaran Fidusia itu sendiri sangat jauh dan akan memakan waktu serta akan mengeluarkan biaya tambahan. Terkadang Notaris dalam menentukan berapa besarnya biaya pembuatan akta tidak melihat ketentuan undang-undang, maka hal ini dapat merugikan kepentingan pemberi fidusia dan penerima fidusia. Pemberi fidusia akan mengeluarkan biaya yang besar untuk pembuatan Akta Jaminan Fidusia.

(37)

mendaftarkan Jaminan Fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Tetapi dalam kenyataannya di praktik, ada bank yang akan mendaftarkan Jaminan Fidusia, jika nilai Jaminan Fidusianya bernilai tertentu. Mereka akan mendaftarkan jaminan apabila pinjaman atau kredit sebagai perjanjian pokoknya itu diduga macet dan akan menimbulkan masalah. Biasanya Jaminan fidusia di bawah lima puluh juta, Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) tidak membuat Jaminan Fidusia itu dengan Akta Notaris. Mereka hanya membuat Akta Jaminan Fidusia di bawah tangan. Dengan catatan mereka membuat SKPJF (Surat Kuasa Pembebanan Jaminan Fidusia). Dengan adaya SKPJF ini mereka akan segera membuat Akta Jaminan Fidusia dan mendaftarkannya apabila dianggap kredit itu macet atau diduga akan

menimbulkan masalah.

Alasan Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN), dan tidak mendaftarkan Jaminan Fidusia yang nilainya di bawah lima puluh juta rupiah ke Kantor Pendaftaran Fidusia dan tidak membuat Akta Jaminan Fidusia itu dengan Akta Notariil adalah karena alasan biaya. Bank beranggapan akan memberatkan nasabah karena nasabah mereka akan mengeluarkan biaya tambahan untuk biaya Akta Notariil dan biaya pendaftaran fidusia. Hal ini menunjukkan bahwa Bank sebagai penerima fidusia tidak menjalankan apa yang dengan tegas dinyatakan di dalam UUJF. UUJF dengan tegas mengatakan bahwa Akta Jaminan Fidusia itu harus dibuat dengan Akta Notariil dan Jaminan Fidusia itu wajib didaftarkan. Tidak didaftarkannya Jaminan Fidusia tersebut maka bank tidak akan memiliki hak kebendaan, hak untuk mendahului terhadap pelunasan piutang tertentu.

(38)

Yang dimaksud dengan budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya.

Budaya hukum mempunyai peranan yang besar bagi teciptanya kepastian hukum. Budaya hukum yang rendah akan mengakibatkan tidak dapat tercapainya makna dari kepastian hukum itu sendiri. Budaya erat kaitannya dengan perilaku-perilaku yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat. Perilaku yang dilakukan oleh seseorang atau sebagian anggota masyarakat yang dilakukan berulang-ulang dan secara terus-menerus, yang akhirnya akan menjadikan perilaku itu sebagai suatu budaya bagi seseorang ataupun bagi sebagian anggota masyarakat.

Dalam UUJF menyebutkan bahwa Jaminan Fidusia itu wajib didaftarkan, tapi tidak dengan tegas menyebutkan kapan fidusia itu wajib didaftarkan, apakah sesudah Akta Jaminan Fidusia itu selesai dibuat kemudian langsung didaftarkan atau kapan waktunya. Apakah Pendaftaran fidusia bisa didaftarkan jika Jaminan Fidusia itu diduga akan mengakibatkan permasalahan.

UUJF tidak ada memberikan sanksi apabila Jaminan Fidusia itu tidak didaftarkan. UUJF hanya mengatakan Jaminan Fidusia didaftarkan, maka akan memenuhi asas publisitas, sekaligus merupakan jaminan kepastian terhadap kreditur mengenai benda yang telah dibebani Jaminan Fidusia. Pendaftaran akan mengakibatkan timbulnya hak kebendaan bagi penerima fidusia.

(39)

berulang-ulang kali dan secara terus-menerus akan mengakibatkan perilaku tersebut menjadi suatu budaya. Apabila sudah menjadi suatu budaya, maka akan sulit untuk merubah budaya tersebut. Apabila ada sanksi yang tegas bagi pihak-pihak yang tidak mendaftarkan Jaminan Fidusia, maka akan dengan sendirinya akan membentuk perilaku hukum yang patuh terhadap undang-undang, yang mana perilaku itu nantinya akan menjadi suatu budaya hukum bagi pihak-pihak yang akan menggunakan Lembaga Jaminan kebendaan Jaminan Fidusia.

Permasalahan yang muncul dalam proses Pendaftaran Jaminan Fidusia ini adalah masih kurang kondusifnya budaya hukum yang kadang diciptakan oleh petugas Kantor Pendaftaran Fidusia. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran hukum relatif masih rendah untuk menegakkan sistem UUJF. Meski besarnya biaya Pendaftaran Jaminan Fidusia telah ditetapkan oleh undang-undang namun kenyataannya di dalam praktik meskipun tidak secara terang-terangan petugas Kantor Pendaftaran Fidusia meminta tambahan untuk biaya Pendaftaran Fidusia, dan seringkali telah menjadi suatu kebiasaan bagi Notaris selaku kuasa penerima fidusia untuk menambah biaya tambahan ke petugas Kantor Pendaftaran Fidusia. Kalau tidak menambah biaya tambahan, maka proses penerbitan Sertifikat Pendaftaran Fidusia akan memakan waktu yang lama. Hal ini sungguh dilema bagi Notaris. Di satu sisi Notaris ikut menciptakan budaya yang tidak sehat dalam proses pendaftaran, di sisi yang lain Notaris menginginkan proses pendaftaran hingga terbitnya Sertifikat Jaminan Fidusia tidak

memakan waktu yang lama.

(40)

sehingga kebiasaan ini menjadikan suatu budaya yang buruk di dalam proses Pendaftaran Jaminan Fidusia.

4. Upaya mengatasi Hambatan-hambatan dalam Pendaftaran Fidusia

a) Upaya mengatasi Hambatan Substantif

Akhir-akhir ini memang kecenderungan untuk membuat pengikatan jaminan fidusia dilakukan dibawah tangan oleh sebagian kreditur, dan jaminan perlindungan hukum terhadap kreditur biasanya dilakukan dengan kesepakatan “kuasa jual” atau “kesediaan bahwa barang tersebut akan diambil secara fisik” apabila debitur wanprestasi yang cenderung menimbulkan masalah tersendiri. Serta penggunaan “kuasa menjaminkan secara fidusia” yang dibuat dibawah tangan juga berpotensi rawan terhadap legalitas tandatangan di dalam kuasa tersebut, dimana apabila debitur berpotensi macet maka akan dilakukan pengikatan fidusia secara notariil berdasarkan akta kuasa tersebut kemudian akan dilaksanakan pendaftaran di kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia.

Kedua hal tersebut di atas baik “kuasa jual” dan “kuasa menjaminkan” apabila dilaksanakan jelas akan sangat bertentangan dengan rasa keadilan bagi pihak-pihak yang berkepentingan, mengingat UUJF telah mengatur cara eksekusi yang lebih memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum.

(41)

Jakarta pada 7 Agustus 2012, telah membawa angin segar bagi perusahaan pembiayaan dan konsumen sehubungan dengan penyerahan hak milik atas kendaraan bermotor dari konsumen secara kepercayaan (fidusia) kepada perusahaan pembiayaan untuk ikut mendukung “good corporate governance” dan menjamin rasa keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum di dunia hukum dan dunia usaha dengan diaturnya hal-hal sebagai berikut:

1. Menekankan ketentuan wajib mendaftarkan jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia.

2. Menegaskan jangka waktu pendaftaran merupakan langkah untuk menjamin kepastian hukum.

3. Menekan tindakan yang bertentangan dengan rasa keadilan dengan mengatur masalah tata cara penarikan benda jaminan fidusia. 4. Penerapan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran ketentuan tersebut sangat diperlukan sebagai upaya paksa juga untuk pelaksanaan pendaftaran obyek jaminan fidusia.

Lebih memberikan rasa keadilan karena dengan dilaksanakan Pendaftaran obyek jaminan fidusia, maka apabila debitur wanprestasi akan ditempuh cara-cara eksekusi sesuai UU No.42 Tahun 1999. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 130/PMK.010/2012 hanya berlaku untuk Lembaga Pembiayaan saja, karena Peraturan tersebut antara lain untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan pendapatan Negara dari sektor penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

(42)

Undang-diketahui dalam hal peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, maka berlaku ketentuan yang lebih tinggi. Jika di dalam UUJF tidak mengatur secara tegas batas waktu pendaftaran jaminan fidusia, dan meskipun ketentuan wajib dengan batas waktu pendaftaran fidusia diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan, maka yang berlaku adalah ketentuan di dalam UUJF.

Oleh karena hal tersebut diatas maka Peraturan Menteri Keuangan tersebut di atas harus ditindaklanjuti dengan Revisi UU No. 42 tahun 1999 atau dapat dilaksanakan pembaharuan hukum UU no. 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia karena adanya krisis kepercayaan terhadapa para pelaku bisnis.

b) Upaya mengatasi Hambatan Sruktural

Untuk mengatasi hambatan struktur yang terjadi dalam pendaftaran fidusia maka diperlukan suatu perubahan terhadapa struktur-struktur yang ada. Perubahan itu akan mengakibatkan struktur itu bekerja dengan baik , sehingga membawa perubahan yang siknifikan di dalam pendaftaran jaminan fidusia

(43)

Namun sejatinya pola baru itu juga perlu persiapan matang dengan mengasumsikan pendaftar fidusia online bisa melakukan sendiri di kantor notaris yang dipilihnya. Dalam hal ini, notaris juga harus mempersiapkan perangkat dan keamanan penggunaan sistem peralatan itu di kantornya. Disarankan notaris tak menyerahkan pekerjaan itu kepada staf yang tidak begitu menguasai , mengingat tanggung jawabnya yang lebih menuntut kehati-hatian.

Notaris di satu sisi sebagai pejabat umum dan di sisi lain sebagai profesional yang harus benar-benar memahami, menghayati, dan mengamalkan UU tentang jabatan notaris, kode etik, dan perundang-undangan supaya terhindar dari malapraktik.

Notaris di bawah naungan organisasi profesi yang kredibel merupakan bagian dari masyarakat madani yang berkontribusi pada penegakan prinsip good governance. Dia akan menunjang pembangunan mengingat akta autentik yang dibuat menjadi dasar bagi para pihak dalam membuat perjanjian, dan membangun kepercayaan. Notaris perlu memperhatikan beberapa hal terkait sistem fidusia online, dan perlu menekankan unsur kehati-hatian. misalnya selain membuat akta jaminan fidusia juga sekaligus mendaftarkan akta yang dibuat. Terkait isian NPWP/ NIK pada tampilan identitas biodata pemberi fidusia (untuk perorangan), notaris seyogianya meminta

berkas lengkap.

(44)

debitur. Kedua; tidak tersedia uraian nilai objek jaminan fidusia khusus. Dalam ”form” hanya ada kata-kata sebagaimana tertuang dalam isi akta notaris. Hal ini tidak mengakomodasi seandainya ada pengikatan jaminan fidusia dengan nilai objek jaminan yang lebih

kecil ketimbang nilai penjaminan.

Bagi Bank maupun lembaga pembiayaan lainnya diperlukan adanya suatu kesadaran hukum mengenai pentingnya makna dari pendaftaran dan akibat hukum yang ditimbulkannya. Disamping kesadaran hukum juga diperlukan budaya hukum bagi Bank atau Lembaga Pembiyaaan lainnya untuk menjalankan apa yang sudah diatur oleh peraturan perundang-undangan yakni kewajiban untuk mendaftaran Jaminan Fidusia.

c) Upaya mengatasi Hambatan Budaya

Norma-norma dan aturan yang ada di dalam UUJF adalah hal yang bersifat substantive. Norma-norma dan aturan ini selanjutnya akan mempengaruhi budaya hukum. Norma yang tidak jelas akan mengakibatkan budaya hukum menjadi tidak baik. Disamping itu budaya hukum tidak statis. Budaya hukum berubah-ubah mengikuti masyarakat.

Maka untuk mengatasi hambatan budaya dalam Pendaftaran Jaminan Fidusia adalah dengan cara penyuluhan hukum. Penyuluhan hukum pada hakikatnya adalah suatu proses learning dan dislerning. Pada tahapan learning orang harus belajar memahami norma-norma baru dan sekaligus membangun kesadaran hukum baru dan pada tahapan dislearning orang harus berusaha melupakan norma-norma lama sekaligus kesadaran hukum yang lama.

(45)

dipositifkan oleh kekuasaan Negara telah banyak diketahui dan diakui bahwa tidak selamanya dapat dipastikan hanya berdasarkan kekuatan sanksi-sanksi saja.Kesadaran hukum adalah seluruh kompleks kesediaan warga masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan keharusan yang ditapkan oleh hukum.

Upaya ketiga adalah membangun komunikasi hukum. Komunikasi hukum adalah untuk menamkan kesadaran hukum. Komunikasi hukum ini bisa dilakukan dengan cara sosialisasi tentang fidusia, menyebarluaskan berita mengenai isu jaminan fidusia dan pendaftarannya, yang mana isu itu diusahakan untuk membangun ketaatan subyek untuk mentaati hukum dan hukum itu dapat ditegakkan sebagaimana mestinya.

Upaya yang keempat adalah pembenahan program teknologi dan informasi. Penggunaan system online dalam layanan fidusia bertujuan untuk memudahkan dalam pelaksanaan pendaftaran jaminan fidusia, jangan sampai tujuan yang baik tersebut dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk kepentingannya sendiri, sehingga bisa merugikan pihak lain.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

(46)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hal tersebut, penulis merancang Aplikasi Pengenalan Fosil-Fosil Purba di Museum Purbakala Sangiran berbasis Android, untuk mempermudah dalam mengenal

Berdasarkan pengamatan tingkat curah hujan bulanan di Kota Palembang serta jumlah kasus DBD setiap bulan yang dirawat di tiga RS di Palembang selama tahun 2004 sampai dengan

Fungi endofit yang tumbuh diamati secara makroskopis (tipe koloni, sifat permukaan koloni, warna koloni) dan ri Pemurnian dilakukan sebanyak 4 kali hingga didapatkan

Kesatuan Bangsa dan Pemberdayaan Masyarakat Kota Bandung. Namun hasil penelitian menunjukkan adanya variasi nilai yang tidak sama diantara dimensi- dimensi tersebut. Hasil

Mahasiswa dapat melakukan assessment, menetapkan diagnose fisioterapi secara ICF, menetapkan planning, melakukan intervensi, serta evaluasi dan rujukan ke profesi

Yang bertanda tangan di bawah ini saya, Isah Nurdianah, menyatakan bahwa skripsi dengan judul: “Analisis Pengaruh Inovasi Produk, Lokasi Usaha Dan Orientasi Pasar

Rapat dipimpin oleh seorang anggota Dewan Komisaris yang ditunjuk oleh Dewan Komisaris. Dalam hal semua anggota Dewan Komisaris tidak dapat hadir atau berhalangan, maka

Pada grafika komputer, gambar dua dimensi dihasilkan komputer melalui proses yang dapat dianalogikan dengan proses pembentukan gambar pada sistem kamera, mikroskop,