KAJIAN KONFLIK O
(The Analysis Of Orga
Diajukan sebagai salah satu sy dalam Program
U
PROGRAM M
UNIVER
ORGANISASI di YAYASAN PENDIDIKA
rganizational Conflict at Yayasan Pendidikan
TESIS
syarat untuk memperoleh gelar Magister Psiko ram Pendidikan Magister Psikologi Profesi
Universitas Sumatera Utara
Oleh
FAHMI
0907025
MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI
ERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
KAN X
an X)
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis saya yang berjudul :
”Kajian Konflik Organisasi di Yayasan Pendidikan X”
adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diaujukan untuk memperoleh gelar Magister Profesi Psikologi di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan tesis ini saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmah.
Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam tesis ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, April 2012
FAHMI
Kajian Konflik Organisasi di Yayasan Pendidikan X
Fahmi dan Dr. Emmy Mariatin, MA, Ph.D, psikolog
ABSTRAK
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran kondisi yang melatarbelakangi (antecedent condition) terjadinya konflik organisasi pada tenaga pengajar di Yayasan Pendidikan X. Penelitian pendahuluan menemukan data adanya hambatan dalam upaya untuk mendorong kemajuan Yayasan Pendidikan X, pada wawancara dengan Pembina dan Ketua umum Yayasan yang juga adalah pendiri dan pemilik Yayasan pendidikan X ditemukan bahwa ada rasa ketidakpuasan terhadap karyawan-karyawannya, karyawan dipandang tidak mampu menjalankan keinginan dan kemauan dari mereka. Sedangkan karyawan memandang pihak manjemen tidak memiliki aturan yang baku dalam menjalankan organisasi, komunikasi yang kurang efektif, dan kurangnya keterbukaan kedua kondisi ini menujukkan perbedaan persepsi yang berujung pada konflik. De Janasz (2002) menyatakan bahwa dalam suatu organisasi kurangnya kepercayaan dan keterbukaan dapat menimbulkan perbedaan persepsi antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, yang kemudian dapat membentuk jurang dalam berkomunikasi dan dari komunikasi yang tidak lagi efektif kerjasama tidak lagi terjalin dan kemudian konflik akan muncul. Proses terjadinya konflik diawali dengan munculnya antecendent condition atau kondisi yang melatar-belakanginya atau mendahului, kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
Penelitian ini adalah penelitian populasi yang dilakukan pada 140 karyawan Yayasan Pendidikan X. Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah dengan descriptive analysis. Kondisi yang melatarbelakangi terjadinya (antecedent condition) konflik organisasi dalam penelitian ini di definisikan sebagai faktor-faktor yang menyebabakan perbedaan pandangan, pertentangan atau ketidaksesuaian antara paling sedikit dua orang atau dua pihak dalam organisasi yang terdiri dari faktor komunikasi, faktor struktur dan faktor variabel pribadi. Alat ukur yang digunakan adalah kuisoner faktor komunikasi, variabel pribadi dan struktur.
Hasil analisa data menunjukkan bahwa faktor komunikasi merupakan penyumbang terbesar terhadap antecedent condition konflik organisasi yang kemudian diikuiti oleh faktor variabel pribadi dan faktor struktur. Faktor komunikasi menjadi antecedent condition utama timbulnya konflik organisasi karena ketika komunikasi tidak dapat berjalan lancar maka akan menimbulkan perbedaan persepsi antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, yang kemudian membentuk jurang dalam berkomunikasi.
The Analysis Of Organizational Conflict at Yayasan Pendidikan X
Fahmi and Dr. Emmy Mariatin, MA, Ph.D, psikolog
Abstract
This study was a descriptive study that aims to know the analysis of the underlying condition (antecedent condition) due to the occurrence of organization conflict to the teachers in Yayasan Pendidikan X. Preliminary studies found the barriers in an effort to promote the progress of Yayasan Pendidikan X, in an interview with the Founder and Chairman of the Foundation who are also the owner of Yayasan Pendidikan X found that there is a sense of dissatisfaction with his employees, the employee is deemed not capable of running their desire and willingness. While the employee views the management do not have a standard rules in running the organization, the less effective communication, and lack of transparency which both conditions showed a difference in perception that lead to conflict. De Janasz (2002) states that in an organization, lack of trust and openness can lead to differences in perception between the parties, which then can form a gap in communication. And if the communication is no longer effective, cooperation no longer exists and then the conflicts will arise. The process of the conflict begins with the appearance of antecedent condition or the underlying or preceding conditions, that condition, known also as the source of conflict, consisting of three categories, namely: communication, structure, and personal variables.
This study was conducted on a population of 140 employees of Yayasan Pendidikan X. The data obtained in this study treated with a descriptive analysis. The underlying condition (antecedent condition) of the conflict in the organization of this study is defined as the factors causing differences of opinion, disagreement or incompatibility between at least two people or two parties in the organization of the communication factor, structural factor and personal variables factor. Measuring instruments used were questionnaires communication, personal variables, and structural factor
Results of analysis of data showed that communication factor are the major contributor to antecedent condition of the organizational conflicts which then followed by private variable factor and structural factor. Communication factor becomes the primary antecedent condition for the emergence of organizational conflict because when communication cannot be run smoothly, it will make a difference perception between the parties, which then forms a gap in communication.
Key words : organizational conflict, antecedent condition, communication factor, structural factor, personal variable factor,
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti haturkan pada ALLAH Yang Maha Esa yang telah memberikan kekuatan baik fisik maupun pikiran serta ketabahan kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan tesis Magister Profesi Psikologi bidang Industri dan Organisasi. Adapun judul tesis ini adalah: “Kajian Konflik Organisasi di Yayasan Pendidikan X”.
Perlu usaha yang keras, kegigihan dan kesabaran untuk menyelesaikan karya ini, Bagi peneliti karya ini merupakan proses pembelajaran yang sangat bernilai. Peneliti menyadari karya ini tidak akan selesai tanpa orang-orang tercinta di sekeliling peneliti yang telah mendukung dan membantu. Untuk itu terima kasih yang sebesar-besarnya peneliti sampaikan kepada :
1. Ibu Dr. Emmy Mariatin, Ph.D, psikolog selaku dosen pembimbing dalam menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih atas diskusi-diskusi, kesabaran dan bimbingan, serta dukungannya.
2. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi USU dan atas kesempatan berharga untuk bersedia menjadi pembimbing tesis ini
3. Ibu Etty Rahmawati, M.si. dan Bpk Ferry Novliadi, M.Si, atas informasi mengenai metodelogi penelitian.
4. Ibu Fillia Dina Anggaraeni, M.Pd atas bimbingan spiritualnya, pinjaman buku-buku metodelogi dan juga terima kasih atas koreksi-koreksinya.
6. Ayahanda tercinta H. Fauzy Abd Madjid, SE teladan dan kesabaran yang engkau tunjukkan membuat penulis kuat dalam menjalani hidup, Mama terkasih Hj. Syarfiah Yahya terima kasih telah menjadi ladang latihan kesabaran penulis, dan adik tersayang Fariz Azhari terima kasih atas semangat dan ketekunan yang telah ditunjukkan.
7. Terima kasih terdalam buat sahabat-sahabat penulis yang telah dengan penuh keikhlasan membantu penulis dalam penyebaran skala..
Akhirnya peneliti menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan ilmu yang peneliti miliki. Untuk itu peneliti dengan segala kerendahan hati mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak demi kesempurnaan tesis ini.
Harapan peneliti semoga tesis ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait, lingkungan akademik Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Medan, serta para pembaca pada umumnya.
Medan, April 2012 Peneliti,
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN...i
ABSTRAK...ii
KATA PENGANTAR...iv
DAFTAR ISI ...vi
DAFTAR TABEL...viii
DAFTAR GAMBAR...ix
DAFTAR LAMPIRAN...x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Manfaat Penelitian ... 11
E. Sistematika Penulisan ... 11
F. Kerangka Berfikir ... 13
BAB II LANDASAN TEORI A. Konflik Organisasi ... 14
1. Definisi Konflik ... 14
2. Pandangan terhadap konflik ... 15
3. Proses lahirnya konflik ... 16
4. Kondisi yang melatarbelakangi terjadinya konflik ... 18
B. Yayasan Pendidikan X ... 20
1 Sejarah Pendirian. ... 20
2. Tujuan ... 20
3. Visi dan Misi ... 20
4. Struktur Inti Organisasi ... 21
C. Konflik Organisasi di Yayasan Pendidikan X ... 22
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 25
C. Populasi penelitian ... 26
1. Populasi ... 26
2. Karakteristik Populasi ... 26
D. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 27
E. Validitas dan Relibilitas Alat Ukur ... 29
1. Validitas ... 29
2. Reliabilitas ... 30
3. Daya beda item ... 30
4. Hasil uji coba alat ukur ... 31
F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 32
1. Tahap Persiapan ... 32
2. Tahap Pelaksanaan ... 33
3. Tahap Pengolahan Data ... 34
G. Metode Analisa Data ... 34
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 35
B. Hasil Penelitian ... 35
C. Pembahasan ... 38
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan ... 41
B.Saran ... 41
1.Saran untuk kajian masa depan ... 41
2.Saran untuk organisasi (subyek penelitian) ... 42
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Distribusi aitem kuisoner konflik organisasi sebelum uji coba 27
Tabel 2 Gambaran penilaian kuisener konflik ... 28
Tabel 3 Blue Print kuisoner konflik organisasi sebelum uji coba ... 29
Tabel 4 Blue Print kuisoner konflik organisasi setelah uji coba ... 31
Tabel 5 Gambaran umum Antecedent Konflik Organisasi ... 35
Tabel 6 Gambaran Berdasarkan jenis kelamin ... 36
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
RANCANGAN INTERVENSI ... I-
LAMPIRAN A
1.Data Mentah Try Out ... 46
2. Analisa Reliabilitas Item ... 53
LAMPIRAN B 1. Data Berdasarkan Masing-masing Faktor ... 55
a. Data Berdasakan Faktor Komunikasi ... 56
b. Data Berdasakan Faktor Struktur ... 60
c. Data Berdasakan Faktor Variabel Pribadi ... 67
3.Hasil Analisa Deskriptif ... 73
a. Hasil Utama ... 73
b. Hasil Variabel Demografis ... 74
c. Skor Mentah, Z-Score, dan T-Score ... 76
LAMPIRAN C 1. Kuisoner sebelum uji coba ... 85
2. Kuisoner setelah uji coba ... 91
Kajian Konflik Organisasi di Yayasan Pendidikan X
Fahmi dan Dr. Emmy Mariatin, MA, Ph.D, psikolog
ABSTRAK
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran kondisi yang melatarbelakangi (antecedent condition) terjadinya konflik organisasi pada tenaga pengajar di Yayasan Pendidikan X. Penelitian pendahuluan menemukan data adanya hambatan dalam upaya untuk mendorong kemajuan Yayasan Pendidikan X, pada wawancara dengan Pembina dan Ketua umum Yayasan yang juga adalah pendiri dan pemilik Yayasan pendidikan X ditemukan bahwa ada rasa ketidakpuasan terhadap karyawan-karyawannya, karyawan dipandang tidak mampu menjalankan keinginan dan kemauan dari mereka. Sedangkan karyawan memandang pihak manjemen tidak memiliki aturan yang baku dalam menjalankan organisasi, komunikasi yang kurang efektif, dan kurangnya keterbukaan kedua kondisi ini menujukkan perbedaan persepsi yang berujung pada konflik. De Janasz (2002) menyatakan bahwa dalam suatu organisasi kurangnya kepercayaan dan keterbukaan dapat menimbulkan perbedaan persepsi antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, yang kemudian dapat membentuk jurang dalam berkomunikasi dan dari komunikasi yang tidak lagi efektif kerjasama tidak lagi terjalin dan kemudian konflik akan muncul. Proses terjadinya konflik diawali dengan munculnya antecendent condition atau kondisi yang melatar-belakanginya atau mendahului, kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
Penelitian ini adalah penelitian populasi yang dilakukan pada 140 karyawan Yayasan Pendidikan X. Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah dengan descriptive analysis. Kondisi yang melatarbelakangi terjadinya (antecedent condition) konflik organisasi dalam penelitian ini di definisikan sebagai faktor-faktor yang menyebabakan perbedaan pandangan, pertentangan atau ketidaksesuaian antara paling sedikit dua orang atau dua pihak dalam organisasi yang terdiri dari faktor komunikasi, faktor struktur dan faktor variabel pribadi. Alat ukur yang digunakan adalah kuisoner faktor komunikasi, variabel pribadi dan struktur.
Hasil analisa data menunjukkan bahwa faktor komunikasi merupakan penyumbang terbesar terhadap antecedent condition konflik organisasi yang kemudian diikuiti oleh faktor variabel pribadi dan faktor struktur. Faktor komunikasi menjadi antecedent condition utama timbulnya konflik organisasi karena ketika komunikasi tidak dapat berjalan lancar maka akan menimbulkan perbedaan persepsi antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, yang kemudian membentuk jurang dalam berkomunikasi.
The Analysis Of Organizational Conflict at Yayasan Pendidikan X
Fahmi and Dr. Emmy Mariatin, MA, Ph.D, psikolog
Abstract
This study was a descriptive study that aims to know the analysis of the underlying condition (antecedent condition) due to the occurrence of organization conflict to the teachers in Yayasan Pendidikan X. Preliminary studies found the barriers in an effort to promote the progress of Yayasan Pendidikan X, in an interview with the Founder and Chairman of the Foundation who are also the owner of Yayasan Pendidikan X found that there is a sense of dissatisfaction with his employees, the employee is deemed not capable of running their desire and willingness. While the employee views the management do not have a standard rules in running the organization, the less effective communication, and lack of transparency which both conditions showed a difference in perception that lead to conflict. De Janasz (2002) states that in an organization, lack of trust and openness can lead to differences in perception between the parties, which then can form a gap in communication. And if the communication is no longer effective, cooperation no longer exists and then the conflicts will arise. The process of the conflict begins with the appearance of antecedent condition or the underlying or preceding conditions, that condition, known also as the source of conflict, consisting of three categories, namely: communication, structure, and personal variables.
This study was conducted on a population of 140 employees of Yayasan Pendidikan X. The data obtained in this study treated with a descriptive analysis. The underlying condition (antecedent condition) of the conflict in the organization of this study is defined as the factors causing differences of opinion, disagreement or incompatibility between at least two people or two parties in the organization of the communication factor, structural factor and personal variables factor. Measuring instruments used were questionnaires communication, personal variables, and structural factor
Results of analysis of data showed that communication factor are the major contributor to antecedent condition of the organizational conflicts which then followed by private variable factor and structural factor. Communication factor becomes the primary antecedent condition for the emergence of organizational conflict because when communication cannot be run smoothly, it will make a difference perception between the parties, which then forms a gap in communication.
Key words : organizational conflict, antecedent condition, communication factor, structural factor, personal variable factor,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan-kemajuan di bidang teknologi dan sosial budaya mendorong
perkembangan berbagai aspek kehidupan manusia diantaranya dalam berkumpul dan hidup
berkelompok. Tempat dimana individu berkumpul untuk merencanakan sejumlah kegiatan
demi mencapai suatu maksud atau tujuan bersama melalui pembagian tugas dan fungsi kerja
melalui serangkaian wewenang dan tanggung jawab disebut dengan organisasi (Schien,
1991). Sebagai suatu bentuk kumpulan manusia dengan ikatan tertentu atau syarat-syarat
tertentu, maka organisasi telah berkembang dalam berbagai jenis.
Organisasi menurut Schien (1991) dapat dibedakan jenisnya berdasarkan jumlah
orang yang memegang kekuasaan, lalu lintas kekuasaan, sifat hubugan personal, tujuan, serta
berdasarkan pihak yang memakai manfaat dari organisasi. Berdasarkan pihak yang memakai
manfaat organisasi terbagi lagi menjadi empat kriteria yaitu (Salusu, 2005) ; (1) Mutual benefit organization, yaitu organisasi yang kemanfaatannya terutama dinikmati oleh anggotanya, seperti koperasi, (2) Service organization, yaitu organisasi yang kemanfaatannya dinikmati oleh pelanggan, misalnya bank, (3) Business organization, yaitu organisasi yang bergerak dalam dunia usaha, seperti perusahaan-perusahaan, (4) Commonwealth organization, yaitu organisasi yang kemanfaatannya terutama dinikmati oleh masyarakat umum, seperti organisasi pelayanan kesehatan dan pendidikan. Contohnya rumah sakit,
Puskesmas, dan Sekolah-sekolah. Commonwealth organization sendiri di Indonesia diterjemahkan menjadi organisasi yang disebut dengan Yayasan, yaitu suatu badan hukum
yang tidak mempunyai anggota, dikelola oleh sebuah pengurus dan didirikan untuk tujuan
sosial, keagamaan, pendidikan dan kemanusiaan seperti mengusahakan layanan dan bantuan
Yayasan yang bergerak dalam bidang pelayanan kesehatan, keagamaan, dan
kemanusiaan non pendidikan disebut dengan yayasan sosial sedangkan yayasan yang
bergerak dalam bidang pendidikan biasa disebut dengan yayasan pendidikan (Henslin, 2006).
Yayasan pendidikan menjadi organisasi penyelenggara pendidikan yang memiliki tujuan
yang sama dengan pemerintah yaitu menjadikan institusi pendidikan sebagai tempat proses
pengubahan sikap dan tata laku individu atau kelompok individu dalam usaha mendewasakan
individu melalui upaya pengajaran dan latihan (Lodge, 2003).
Institusi pendidikan swasta yang bernaung dibawah yayasan pendidikan semakin hari
berkembang semakin pesat dan progresif, sehingga institusi ini dianggap sebagai proses
produksi dalam lapangan industri (Yusnianto, 2006). Pesatnya perkembangan sekolah
sebagai lembaga pendidikan modern menghadirkan kepercayaan masyarakat terhadap
sekolah yang semakin menguat (Kemdiknas, 2009). Saat ini di Indonesia terdapat 21.000
Yayasan pendidikan. Di Kota Medan saja telah terdapat 18 SD swasta dengan 238 SMU
swasta (Wikipedia, 2011).
Salah satu yayasan pendidikan yang menyelenggarakan tingkatan pendidikan dari
PG/TK sampai dengan SMU di Kota Medan adalah “Yayasan Pendidikan X”. Yayasan ini
berdiri 13 tahun yang lalu dan mengalawi penyelenggaraan pendidikannya dengan membuka
Play Group dan Taman Kanak-Kanak, dilanjutkan membuka kelas SD pada tahun 1999. Kemudian pada tahun 2003 membuka kelas SMP dan baru pada tahun 2004 penyelenggaraan
pendidikan tingkat Sekolah Menengah Umum (SMU) diselenggarakan. Yayasan ini tumbuh
dengan prinsip bahwa pendidikan yang baik tidak hanya membentuk seseorang menjadi
cerdas semata tetapi juga berakhlak mulia. Berbekal visi untukmenjadi lembaga pendidikan
yang mempersiapkan pemimpin masa depan yang bertaqwa dengan wawasan intelektual yang
luas, berakhlakul karimah dan sehat, sedangkan misinya adalah mempersiapkan generasi
karimah, yang pandai bersyukur kepada khaliknya, dan siap hidup di zamannya yang semakin
kompetitif di era globalisasi.
“Yayasan Pendidikan X” dalam perkembangannya kini menghadapi persaingan yang
ketat dengan fenomena pertumbuhan sekolah swasta yang berbasis Islam di Kota Medan
(Depdiknas Medan, 2011). Cendikiawan muslim Ayumardi Azra (2008) mengatakan Sekolah
Islam unggulan adalah bagian dari fenomena santrinisasi masyarakat muslim, sekolah ini
dikatakan sekolah elit. Menjadi elit karena secara akademis hanya siswa siswi terbaik yang
dapat diterima di sekolah ini melalui ujian masuk yang kompetitif. Selanjutnya guru-guru
yang mengajar disekolah juga diseleksi secara kompetitif dan hanya mereka yang memenuhi
persyaratan saja yang diterima sebagai pengajar. Selain itu sekolah-sekolah unggul dan juga
mempunyai sarana pendidikan yang lebih baik dan lengkap seperti laboratorium, bengkel
kerja, ruang komputer, masjid, sarana olahraga, perpustakaan bahkan ada juga yang memiliki
asrama. Konsekuensinya sekolah Islam seperti ini umumnya mahal, akibatnya siswa-siswi
sekolah tersebut berasal dari keluarga muslim kelas menegah. Gambaran yang dimaksud
tersebut dengan jelas dapat dilihat di “Yayasan Pendidikan X”.
“Yayasan Pendidikan X” adalah sekolah Islam unggulan, merupakan sekoleh elit,
siswanya masuk melalui berbagai macam seleksi, demikian juga guru-gurunya diseleksi
dengan ketat melalui beberapa tahapan, memilik sarana dan fasilitas yang tentu saja lengkap
dengan kualitas penyelenggaraan proses pendidikan yang sama dengan PP No. 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. “Yayasan Pendidikan X” dalam persaingan
dengan banyak sekolah swasta lainnya di Kota Medan memiliki suatu rencana strategis yang
ingin diwujudkan pada tahun 2012 yaitu secara penuh menjadi Sekolah International.
Perjalanan menuju Sekolah international tentunya membutuhkan daya upaya yang
luar biasa. Fasilitas hari demi hari terus dilengkapi, dikembangkan dengan mengikuti
dilakukan baik terhadap sistem pengajaran dan pengelolaan sumber daya manusia yang ada.
Namun tidak dapat dipungkiri dalam pelaksanaannya banyak tantangan dan hambatan yang
terjadi sehingga belum semua komponen sekolah yang ada dapat berjalan sebagaimana yang
diharapkan dalam mendorong kemajuan sekolah, seperti terungkap dari wawancara dengan
Ketua Umum “Yayasan Pendidikan X” berikut ini.
Belum semua komponen sekolah yang ada dapat berjalan dengan maksimal untuk mendukung kemajuan dan kelancaran proses belajar mengajar.
(Komunikasi Personal, Mei 2011) Fasilitas yang ada dirasa belum dipergunakan secara maksimal untuk kemajuan dan kelancaran proses pendidikan, Tenaga pengajar dan non pengajar belum mengeluarkan potensi kemampuan maksimal yang mereka miliki, Beberapa sistem yang ada masih perlu usaha lebih keras untuk diaplikasikan, dan ketersediaan HRD yang profesional menjadi tantangan Yayasan Pendidikan X.
(Komunikasi Personal, Mei 2011)
Berdasarkan pernyataan dari Ketua Umum Yayasan di atas terlihat adanya hambatan
dalam upaya untuk mendorong kemajuan sekolah. Pada wawancara lebih lanjut dengan
Pembina dan Ketua umum Yayasan yang juga adalah pendiri dan pemilik Yayasan
pendidikan X, terungkap bahwa ada rasa ketidakpuasan terhadap karyawan-karyawannya.
Culture kita yang utama adalah menerapkan disiplin-disiplin, dan menurut ukuran saya disiplin itu belum berhasil bukan untuk ukuran mereka ini saya tunjukkan dengan datang lebih cepat. Sekarang siapa pegawai saya yang sudah bisa mengikuti itu. Saya sama sekali tidak puas terhadap kinerja karyawan yang ada disini. Hari ini kita rapat, besok harus rapat lagi, gak ada suatu kekonsistenan yang terjadi dari hasil rapat itu
(Komunikasi Personal Pembina Yayasan Pendidikan X, 28 Juli 2011) Mereka untuk mengupgrade dirinya koq gak mau, Mereka gak usah lah tiru saya 100 %, paling gak 25 %, Ketika dikasih job desc, mereka bekerja tapi mereka kerja apa adanya, ketika saya bilang ini dua harusnya mereka sudah bisa mentranslatenya ke sepuluh mereka tidak, mengerjakan selalu dengan senjata takut salah “yang ibu bilang kan cuma itu, ya udah itu dia” seperti itu jawaban mereka biasanya.
(Komunikasi PersonalKetua Umum Yayasan Pendidikan X, 25 Juni 2011) Saya orang perfeksonis, orang yang detail kalau saya bilang 10 harusnya mereka kasih saya 20.
(Komunikasi Personal Ketua Umum Yayasan Pendidikan X, 25 Juni 2011)
Pembina dan Ketua Umum Yayasan Pendidikan X memandang karyawan tidak
mampu menjalankan keinginan dan kemauan dari mereka, Namun disisi lain peneliti juga
Gimana ya pak kami mau lakukan, pekerjaan yang diminta oleh yayasan banyak dan diluar kemampuan kami dan semua yang kami kerjakan selalu dinilai kurang akurat dan yayasan selalu mau ikut campur
(Komunikasi Personal dengan karyawan, Juli 2011)
Perintah atasan sering tidak jelas sasarannya kepada siapa dan saya merasa ada lempar tanggung jawab pak sesama pegawai, Sering kali juga pak perintah pihak yayasan mengakibatkan miskomunikasi antara atasan dan bawahan.
(Komunikasi Personal dengan karyawan, Juli 2011)
Yayasan tidak mendengar keluhan dan kritik dari bawahan
(Komunikasi Personal dengan Karyawan, Agustus 2011)
Tidak mengerti keinginan pihak yayasan seperti apa. Tiap rapat, ide pun tidak
tersampaikan
(Komunikasi Personal dengan Karyawan, Agustus 2011)
Karena ketua umum merasa sekolah adalah miliknya, ia memberikan kebijakan dan aturan sesukanya serta tugas yang diberikan tiba-tiba dan menuntut selesai saat itu juga.
(Komunikasi Personal dengan Karyawan, Agustus 2011)
Pekerjaan yang banyak dan diluar kemampuan serta tugas yang diberikan tiba-tiba dan menuntut selesai saat itu juga, Karena pimpinan merasa sekolah adalah miliknya, ia memberikan kebijakan dan aturan sesukanya.
(Komunikasi Personal dengan Karyawan, Juli 2011) Berdasarkan kutipan wawancara diatas terlihat adanya kebingungan terhadap tugas,
kurang kepercayaan, aturan yang tidak baku, komunikasi yang kurang efektif, dan kurangnya
keterbukaan. Menurut Eunson (dalam Conflit Management, 2007) hal-hal seperti tidak lengkapnya uraian pekerjaan, karyawan yang memiliki lebih dari satu manajer dan sistem
koordinasi yang kurang baik menjadi indikasi bahwa terdapat konflik dalam sebuah
organisasi. Pendapat ini juga didukung oleh De Janasz (2002) yang menyatakan bahwa dalam
suatu organisasi kurangnya kepercayaan dan keterbukaan dapat menimbulkan perbedaan
persepsi antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, yang kemudian dapat membentuk
jurang dalam berkomunikasi dan dari komunikasi yang tidak lagi efektif kerjasama tidak lagi
terjalin dan kemudian konflik akan muncul.
Mengacu pada teori tersebut diatas, maka perbedaan pandangan antara pihak yayasan
dalam hal ini Pembina dan Ketua Umum terhadap para karyawan dan sebaliknya antara
karyawan dengan Pembina dan Ketua Umum menjadi suatu indikasi bahwa telah terjadinya
Penyebab dari konflik sangatlah beragam, penelitian Ardhian (2011) menyatakan
ketidaksepahaman dan pertentanangan yang menjadi konflik pada organisasi berbentuk
yayasan seringkali diakibatkan oleh perbedaan pandangan antara pembina dan pelaksana,
antara senior dan junior, dan dalam konteks Yayasan, antara yang merasa memiliki sekaligus
pemberi mandat dengan yang melaksanakan mandat. Oleh karena itu tidak menutup
kemungkinan konflik yang terjadi di Yayasan Pendidikan X yang kepemilikan dan
pengelolaannya berbasis keluarga juga bisa disebabkan oleh berbagai hal tersebut.
Menurut Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi yang melatar
belakanginya (antecedent conditions) atau yang disebut juga dengan sumber konflik, ketika sumber penyebab konflik ini di persepsikan sebagai suatu hal yang menganggu oleh individu
atau sekelompok individu, maka muncullah suatu keadaan yang disebut dengan konflik yang
dipersepsikan (perceived conflict). Lalu saat individu atau sekelompok individu terlibat secara emosional, kebingungan, merasa cemas, tegang, frustasi, atau munculnya sikap
bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya menjadi nyata saat
pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku.
Robins (1996) mengatakan konflik dalam suatu organisasi muncul dikarenakan 3
(tiga) faktor, yaitu: faktor komunikasi, faktor struktur, dan faktor variabel pribadi. Faktor
komunikasi menjadi salah satu sumber konflik karena menurut Robins (1996) seringkali
pimpinan dalam organisasi tidak mengkomunikasikan pikiran mereka secara terbuka, dan di
pihak lain para bawahan merasa sulit menyampaikan pikiran dan perasaan mereka secara
langsung karena takut dan menyadari bahwa pimpinan mereka tidak tertarik akan
masalah-masalah mereka sehingga karyawan tidak akan tahu apa yang akan mereka lakukan, manajer
tidak dapat menerima informasi, dan supervisi tidak dapat memberikan perintah. Hal ini juga
hasil langsung daripada komunikasi yang tidak efektif karena tujuan komunikasi dalam suatu
organisasi adalah mutual understanding, dalam arti mencoba mencari saling sepemahaman antara anggota-anggota dalam organisasi tersebut. Maka jika komunikasi dalam suatu
organisasi tidak berjalan dengan baik tentunya akan muncul ketidaksepahaman antar
karyawan dalam organisasi.
Hal yang kemudian terungkap dalam wawancara lebih lanjut dengan Ketua Divisi
SDM Yayasan Pendidikan “X” adalah
“Pak, kami sering kali di bebankan dengan berbagai macam jenis tugas…., Belum selesai tugas yang satu udah disuruh lagi kerjain yang lain, jadinya kita bingung dan kerjaan gak ada yang bisa selesai”
“Kita kan pak disini ada Pembina ada Ketua Umum ada Ketua Harian, kadang-kadang kami bingung pak yang satu suruh ini yang lain suruh itu, Jadinya perintah pihak yayasan sering mengakibatkan miskomunikasi antara atasan dan bawahan” “Tidak jarang karyawan kita akhirnya saling menyalahkan satu sama lain pak, misanya divisi pendidikan menyalahkan sarana prasaran karena ada fasilitas yang rusak. Bagian IT dikomplain sama bagian lain karena internet tidak connect… apalagi kalau gangguannya pas waktu Pembina yang mau pakai bisa kacau kami semua… Padahal kan penyebabnya tidak connect gara-gara cuaca tapi beliau tidak
mau tau dan gak pernah kasih kesempatan kita buat jelasin ”
Hal yang terjadi pada Yayasan Pendidikan X diatas sejalan dengan hasil penelitan
Robins (2004) yang menyatakan pertukaran informasi yang tidak cukup dan gangguan dalam
saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi yang menjadi kondisi
anteseden untuk terciptanya konflik.
Robins (1996) mengatakan bahwa antiseden yang kedua dari konflik adalah faktor
struktur baik berupa struktur tugas maupun tanggung jawab. Struktur oleh Robins (1996)
mencakup ukuran kelompok, spesialisasi bidang, wilayah kerja, kesamaan tujuan, sistem
imbalan dan ketergantungan antar kelompok. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Robins
(2004), ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong
terjadinya konflik. Istilah derajat spesialisasi sendiri merujuk kepada aktivitas yang
menentukan tugas apa yang harus dikerjakan oleh seorang individu, bentuk spesialisasi yang
yang sederhana dan berulang. Spesialisasi fungsional ini dikenal sebagai pembagian kerja,
sedangkan bentuk lainnya disebut dengan spesialisasi sosial, dimana para individunya yang di
spesialisasi dan bukan pekerjaannya (Robins, 1990).
Pada “Yayasan pendidikan X” karyawan terbagi dalam spesialisasi sebagai karyawan
tenaga pengajar dan karyawan non tenaga pengajar. Tenaga pengajar merupakan karyawan
dengan jumlah terbesar yang ada di Yayasan Pendidikan X yaitu sebanyak 153 orang dari
keseluruhan 237 karyawan yang ada, jumlah tenaga pengajar yang besar ini menghadirkan
potensi lebih besar terhadap terjadinya konflik organisasi. Berdasarkan penelitian Robins
(2004) mengatakan semakin besar kelompok dan semakin terspesialisasi kegiatannya, maka
semakin besar pula kemungkian terjadinya konflik
Selain faktor komunikasi dan struktur, antiseden terhadap munculnya konflik yang
ketiga oleh Robins (1996) adalah apa yang disebut dengan faktor pribadi. Faktor pribadi ini
meliputi sistem nilai dan karakteritik kepribadian individu. Penilitan yang dilakukan Robins
(2004) menunjukkan individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang
lain, merupakan sumber konflik yang potensial.
Robins (2004) mengatakan kondisi yang melatar belakangi munculnya konflik
(antecedent condition) merupakan kunci dalam memahami konflik yang terjadi dalam suatu organisasi, hal ini juga didukung oleh Greenhalgh (1999) yang menyatakan keberhasilan
suatu organisasi dalam menangani konflik bergantung pada seberapa baik organisasi
memahami dinamika dasar dari konflik, dan apakah organisasi dapat mengenali hal-hal
penting yang terdapat dalam konflik tersebut. Berdasarkan teori tersebut maka untuk dapat
memahami konflik yang ada pada Yayasan Pendidikan X, peneliti tertarik untuk mengetahui
konflik organisasi di Yayasan Pendidikan X berdasarkan kondisi yang melatarbelakangi
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan data yang telah diperoleh dari penelitian pendahulan, mengindikasikan
adanya konflik organisasi di Yayasan Pendidikan X. Peneliti tertarik untuk mengetahui
gambaran kondisi yang melatarbelakangi terjadinya konflik organisasi pada tenaga pengajar
di Yayasan Pendidikan X.
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui gambaran kondisi yang melatarbelakangi (antecedent condition) terjadinya konflik organisasi pada tenaga pengajar di Yayasan Pendidikan X.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dan menjadi salah satu
sumber informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut masalah yang
berkaitan dengan konflik organisasi
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada
Pendiri/Pemilik dan Pejabat Pengurus Harian Yayasan Pendidikan X serta karyawan
tenaga pengajar untuk mengetahui gambaran secara komprehensif konflik yang terjadi
dilingkup tenaga pengajar Yayasan Pendidikan X berdasarkan kondisi yang
melatarbelakangi terjadinya konflik, sehingga dapat dirancang suatu manajemen
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
dan sistematika penulisan.
Bab II Landasan teori
Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek
penelitian yaitu memuat teori mengenai konflik organisasi.
Bab III Metode penelitian
Bab ini menguraikan identifikasi variabel, definisi operasional variabel, metode
pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji validitas dan reliabilitas alat
ukur, dan metode analisa data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.
Bab IV Analisa Data dan Pembahasan
Berisikan gambaran subjek penelitian, hasil penelitian utama, dan hasil penelitian
tambahan.
Bab V Kesimpulan dan Saran
F. Kerangka Berfikir YAYASAN PENDIDIKAN
X
PEMILIK/PIMP INAN YAYASAN
Karyawan Tenaga Pengajar HAMBATA
Masalah-Perbedaan Pandangan
KONFLIK
ORGANISASI
Proses Lahirnya
Antecedent condition
Perceived potencial
Felt conflict
Manifest behavior
Suppressed or manage conflict
Faktor Komunikasi
Faktor Struktur
BAB II
LANDASAN TEORI A. Konflik Organisasi
1. Definisi Konflik
Menurut Schermerhorn, Wood, Walace, dkk (2002) yang dimaksud dengan
konflik dalam ruang lingkup organisasi adalah suatu situasi dimana dua atau banyak
orang saling tidak setuju terhadap suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan
organisasi dan/atau dengan timbulnya perasaan permusuhan satu dengan yang
lainnya.
Menurut Stoner dan Freeman (1991) Konflik organisasi adalah mencakup
ketidaksepakatan soal alokasi sumberdaya yang langka atau peselisihan soal tujuan,
status, nilai, persepsi, atau kepribadian. Menurut Robbin (1996) konflik dalam
organisasi dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika
mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum
konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa
di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
Robbins (1996) menjelaskan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang
terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat atau sudut pandang yang
berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh
negatif.
Berdasarkan hal tersebut maka yang dimaksud dengan konflik organisasi
ketidaksesuaian paling sedikit antara dua orang, atau dua pihak sehingga
terganggunya hubungan.
2. Pandangan Terhadap Konflik
Terdapat perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam kelompok atau
organisasi. Ada yang berpendapat bahwa konflik harus dihindari atau dihilangkan,
karena jika dibiarkan maka akan merugikan organisasi. Berlawanan dengan ini,
pendapat lain menyatakan bahwa jika konflik dikelola sedemikian rupa maka konflik
tersebut akan membawa keuntungan bagi kelompok dan organisasi.
Pertentangan pendapat ini oleh Robbins (1996) disebut sebagai the Conflict Paradox, yaitu pandangan bahwa di satu sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, namun di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha
untuk meminimalisir konflik. Berikut ini disajikan beberapa pandangan tentang
konflik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Robbins (1996)
2.1. Pandangan Tradisional (The Traditional View).
Pandangan ini menyatakan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dilihat
sebagai sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari. Untuk memperkuat
konotasi negatif ini, konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan
irrationality. Pandangan ini konsisten dengan sikap-sikap yang dominan mengenai perilaku kelompok dalam dasawarsa 1930-an dan 1940-an. Konflik dilihat sebagai
suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurangnya kepercayaan dan
keterbukaan di antara orang-orang, dan kegagalan manajer untuk tanggap terhadap
kebutuhan dan aspirasi karyawan.
2.2. Pandangan Hubungan Manusia (The Human Relations View).
Pandangan ini berargumen bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar
dapat dihindari, karena itu keberadaan konflik harus diterima dan dirasionalisasikan
sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi. Pandangan
ini mendominasi teori konflik dari akhir dasawarsa 1940-an sampai pertengahan
1970-an.
2.3.Pandangan Interaksionis (The Interactionist View).
Pandangan ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu
asumsi bahwa kelompok yang koperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung
menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut
aliran pemikiran ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimun secara
berkelanjutan, sehingga kelompok tetap bersemangat (viable), kritis-diri ( self-critical), dan kreatif. Stoner dan Freeman (1991) membagi pandangan tentang konflik menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (old view) dan pandangan modern (current view).
3. Proses Lahirnya Konflik
Menurut Robbins (2007) konflik bukan merupakan sesuatu yang statis, tetapi
dinamis dan mempunyai proses. Konflik tidak terjadi secara tiba-tiba, namun ada kondisi
yang mendukungnya. Bila terjadi tidak secara langsung besar, tetapi mulai dari kecil pada
awalnya memuncak besarnya pada klimaks dan mereda pada akhirnya. Proses terdiri dari
hal-hal berikut:
1. Kondisi yang mendahului (antecedent condition)
Kondisi ini terdiri dari faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya konflik,
terjadinya tidak seketika, tetapi potensi untuk munculnya konflik dalam organisasi
tetap ada yaitu bersifat latent oleh karena operasi organisasi itu sendiri.
konflik terjadi saat individu mempersepsikan bahwa di dalam kelompok terjadi
konflik. Pada tahap ini satu atau kedua belah pihak melihat kemungkinan konflik di
antara mereka. Mereka mempunyai persepsi bahwa tujuannya mulai dihalangi oleh
tindakan dari orang lain.
3. Konflik yang dirasa (felt conflict)
Pada tahap ini, konflik kepentingan dan kebutuhan terjadi. Satu pihak atau kedua
belah pihak yang terlibat melihat keadaan yang tidak memuaskan, menghambat,
menakutkan dan mengancam. Pada tahap ini individu terlibat secara emosional, dan
merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik
berubah menjadi konflik yang dirasakan
4. Perilaku yang tampak (manifest behavior)
Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan
berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya
dalam bentuk perilaku. Persepsi dan perasaan menyebabkan orang untuk bereaksi
terhadap situasi tersebut. Begitu banyak bentuk reaksi yang mungkin muncul pada
tahap ini; argumentasi, tindakan agresif, atau bahkan munculnya niat baik yang
menghasilkan penyelesaian masalah yang konstruktif.
5. Konflik yang ditekan atau dikelola (suppressed or managed conflict)
Pada tahap ini konflik yang sudah terjadi dapat ditekan atau juga diselesaikan.
Konflik yang ditekan tampak seperti sudah selesai, meskipun masalah intinya tidak
ditangani atau pada tahap ini bisa juga konflik dikelola dan diselesaikan.
Berdasarkan uraian di atas maka proses terjadinya konflik diawali dengan
konflik yang dipersepsikan (perceived potensial conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap
bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan
berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya
dalam bentuk perilaku yang disebut dengan manifest behavior dan pada akhirnya konflik itu akan ditekan atau diselesaikan yang disebut dengan suppressed or managed conflict Pada penelitian ini fokus kajian adalah pada kondisi yang mendahului atau melatar belakangi konflik (antecedent condition).
4. Kondisi yang melatarbelakangi terjadinya konflik
Robins (2004) menyatakan, konflik muncul karena ada kondisi yang
melatar-belakanginya atau mendahului (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu: komunikasi,
struktur, dan variabel pribadi.
1. Faktor Komunikasi.
Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalah -
pahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik.
Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran
informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi
merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden
untuk terciptanya konflik.
2. Faktor Struktur.
Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup:
kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan
anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan
derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa
ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong
terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi
kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.
3. Faktor Pribadi.
Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi:
sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang
menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian
tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai
rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial.
B. Yayasan Pendidikan X B.1. Sejarah Pendirian
Yayasan Pendidikan X didirikan pada Tahun 1997 dan diresmikan
penggunaannya pada tanggal 20 Desember 1997. Pada Tahun 1997 tingkat
pendidikan yang diselenggarakan adalah tingkat Play Group dan Taman kanak-kanak, kemudian pada tahun 1999 mulai diselenggarakan tingkat pendidikan Sekolah Dasar
(SD), Pada tahun 2003 diselenggarakan tingkat pendidikan Sekolah Menengah
Pertama (SMP) dan membuka level Pendidikan Sekolah Menengah Umum (SMU)
pada Tahun 2004. Kemudian pada tahun ajaran 2006-2007 kelas international mulai
B.2. Tujuan
Yayasan Pendidikan X secara umum bertujuan untuk menyelenggarkan
pendidikan yang berwawasan ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama.
Secara khusus Yayasan Pendidikan X bertujuan membentuk siswa siswi yang disiplin,
mandiri, berjiwa pemimpin yang berakhlaq karimah yang siap mengarungi dan
memaknai hidup dan kehidupan dimasanya.
B.3. Visi dan Misi
Yayasan Pendidikan X memiliki visi mempersiapkan calon pemimpin masa
depan yang bertakwa, berwawasan intelektual dan berakhlak karimah serta fisik yang
sehat yang disebut dengan “Golden Generation”. Sedangkan misinya adalah mempersiapkan generasi yang berwawasan ilmu keillahian dan ilmu keilmiahan agar
anak memiliki keperibadian yang karimah, yang pandai bersyukur pada khalik-Nya
B.4. Struktur Inti Organisas
Gambar 1 : Strukutur Inti Organisasi Yayasan Pendidikan X
Yayasan Pendidikan X adalah organisasi yang berbasis keluarga dengan struktur
organisasi yang terdiri dari 2 bagian besar yaitu Pembina, Ketua Umum, Sekretaris dan
Bendahara Umum yang merupakan pendiri dan pemilik Yayasan. Kemudian pelaksanaan
operasional Yayasan dipimpin oleh ketua Harian dan dibantu oleh sekretaris dan bendahara
dengan pembagian 6 divisi berdasarkan fungsi serta 4 unit sekolah.
C. Konflik Organisasi di Yayasan Pendidikan X
Yayasan pendidikan sebagai lembaga yang mengusung visi luhur dan misi sosial,
bukan berarti terbebas dari konflik. Konflik menjadi sebuah keniscayaan ketika organisasi
terus berkembang dan berubah seiring tuntutan waktu (Ardhian, 2011). Ketidaksepahaman
dan pertentangan yang menjadi konflik pada organisasi berbentuk yayasan seringkali
diakibatkan oleh perbedaan pandangan antara pembina dan pelaksana, antara senior dan
junior, dan dalam konteks Yayasan, antara yang merasa memiliki sekaligus pemberi mandat
dengan yang melaksanakan mandat (Ardhian, 2011).
Yayasan Pendidikan X adalah suatu yayasan pendidikan yang kepemilikannya
berbasis keluarga, berusia 14 (empat belas) tahun, memiliki 2000 orang siswa mulai dari
tingkat Play Group sampai dengan SMU, dengan jumlah karyawan 237 orang yang mana 153 orang diantaranya adalah karyawan tenaga pengajar. Yayasan Pendidikan X sebagai yayasan
yang operasionalnya juga masih dilakukan oleh pendiri yang sekaligus pemilik Yayasan ini
memiliki keinginan agar seluruh sumber daya manusia yang dimiliki dapat berfungsi dan
memberikan kontribusi maksimal untuk kemajuan Yayasan dan guna mewujudkan rencana
strategis menjadi Sekolah International secara penuh. Pada perjalanannya mewujudkan
rencana tersebut terjadi perbedaan pandangan dan pertentangan antara Pembina dan Ketua
umum Yayasan dengan para tenaga pengajar yang merupakan jumlah karyawan yang paling
Para tenaga pengajar dalam melaksanakan tugas mendidik dan mengajar sehari-hari
dari hasil wawancara yang dilakukan mengatakan bahwa pekerjaan yang diberikan kepada
mereka banyak dan sering diluar kemampuan, pihak Yayasan menurut mereka terlalu
menekan sehingga guru susah berkreativitas, sistem dalam tata kelola Yayasan juga
dikeluhkan oleh para tenaga pengajar yang mengatakan sistem tata kelola dibangun secara
subjektif prosedurnya tidak stabil dan dapat berubah-ubah sewaktu-waktu dari pihak Pembina
dan Ketua umum secara sepihak.
Pada sisi lain Pembina dan Ketua Umum mengeluhkan karyawan tenaga pengajar
yang mereka miliki dinilai bekerja kurang maksimal dan masih jauh dari harapan,
pemanfaatan terhadap fasilitas yang tersedia juga tidak dilakukan secara maksimal.
Kondisi tersebut menujukkan indikasi adanya konflik organisasi di Yayasan
Pendidikan X. Menurut Stacey (2008) konflik organisasi yang terjadi pada “Yayasan
Pendidikan X” merupakan konsekuensi dari interaksi sosial, yang muncul ketika terdapat
ketidaksesuaian atau pertentangan, sebagai suatu proses yang timbul karena pihak pertama
merasa bahwa pihak lain memberi pengaruh negatif atau akan segera mempengaruhi secara
negatif terhadap yang diharapkan oleh pihak pertama.
Menurut Robins (2004) konflik tidak terjadi secara tiba-tiba, namun ada kondisi yang
mendukungnya yang disebut sebagai antecedent condition yaitu faktor-faktor yang pada umumnya membawa organisasi pada kondisi konflik, tidak terjadi seketika, namun membawa
potensi laten bagi hadirnya konflik dalam organisasi yang berupa faktor komunikasi, faktor
struktur dan faktor pribadi.
Berdasarkan hal tersebur peneliti merasa tertarik untuk melakukan kajian guna
memberikan gambaran terhadap konflik organisasi yang terjadi di ”Yayasan Pendidkan X”
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kuantitatif,
dimana penelitian deskriptif menurut Azwar (2000) bertujuan untuk menggambarkan secara
sistematik dan akurat, fakta dan karakteristik mengenai populasi atau bidang tertentu.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran konflik organisasi yang terjadi di Yayasan
Pendidikan X.
Pada penelitian jenis ini, data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif, tidak
bermaksud mencari penjelasan, pengujian hipotesa, maupun membuat prediksi dan
mempelajari implikasi (Hadi, 2000).
A. Identifikasi Variabel Penelitian
Penelitian ini terdiri dari satu variabel yang hendak diteliti yaitu kondisi yang
melatarbelakangi terjadinya konflik organisasi (antecedent condition) di Yayasan Pendidikan X.
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Definisi operasional merupakan spesifikasi kegiatan peneliti dalam mengukur suatu
variabel atau memanipulasinya. Suatu definisi operasional merupakan semacam buku
pegangan yang berisi petunjuk bagi peneliti. Definisi ini memberikan batasan atau arti suatu
variabel dengan merinci hal yang harus dikerjakan oleh peneliti untuk mengukur variabel
tersebut (Kerlinger, 2003).
Kondisi yang melatarbelakangi terjadinya (antecedent condition) konflik organisasi dalam penelitian ini di definisikan sebagai faktor-faktor yang menyebabakan perbedaan
pandangan, pertentangan atau ketidaksesuaian antara paling sedikit dua orang atau dua pihak
dalam organisasi yang terdiri dari faktor komunikasi, faktor struktur dan faktor variabel
C. Populasi Penelitian 1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan dari karakteristik atau unit hasil pengukuran yang
menjadi objek penelitian atau merupakan objek atau subjek yang berada pada suatu wilayah
dan memenuhi syarat-syarat tertentu berkiatan dengan masalah penelitian. Menurut Sugiyono
(2007) popoulasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas subjek yang memiliki kualitas
dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti dan ditarik kesimpulannya.
Penelitian ini dilakukan pada populasi Karyawan Tenaga Pendidikan yang berjumlah
153 orang.
2. Karakteristik Populasi
Menurut Azwar (2000) subjek penelitian adalah sumber utama data penelitian, yaitu
yang memiliki data mengenai variabel-variabel yang diteliti. Adapun yang menjadi subjek
dalam penelitian ini memiliki karakteristik :
a. Karyawan tenaga pengajar
Kelompok tenaga pengajar menjadi subyek utama karena dalam Yayasan Pendidikan
yang menjadi fokus penyelenggaraan organisasi adalah dalam kegiatan kependidikan
yang dilakukan melalui tenaga pengajar.
b. Masa kerja minimal 6 bulan
Karyawan tenaga pengajar dengan masa kerja 6 bulan dianggap telah mengetahui
aturan, kebijakan tugas yang di bebankan pada karyawan tersebut serta hubungannya
D. Metode dan Alat Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode kuisoner. Kuisoner
adalah suatu prosedur pengambilan data yang merupakan suatu alat ukur aspek afektif,
kognitif dan konatif yang merupakan konstruk atau konsep psikologis yang menggambarkan
aspek kepribadian individu (Azwar, 1999).
Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Kuisoner
Konflik Organisasi yang disusun berdasarkan kondisi yang melatarbelakangi terjadinya
konflik (anticedent condition) oleh Robins (2004) dengan distribusi aitem penelitian seperti disjaikan berikut ini :
Tabel 1 Distribusi Aitem Kuisoner Konflik Organisasi sebelum uji coba
No
Anticedent
Condition of conflict Indikator Item Total
1 Faktor komunikasi Kesulitan semantic 4 12
Pertukaran Informasi yang tidak cukup 4
Gangguan dalam Komunikasi 4
2 Faktor struktur Ukuran Kelompok yang terlalu besar 2 14
Spesialisasi yang spesifik 2
Ketidakjelasan juridiksi wilayah kerja 2 Ketidakcocokan antara tujuan anggota
dengan tujuan kelompok
2
Gaya kepemimpinan otoriter 2
Sistem imbalan yang dipandang tidak sesuai oleh karyawan
2
Ketergantungan antar kelompok yang tinggi
2
3 Faktor variabel pribadi
Individu otoriter 4 12
Individu dogmatik 4
Individu yang memandang rendah orang lain
4
Total 40
(tidak setuju), STS (sangat tidak setuju). Setiap pilihan tersebut memiliki skor masing-masing
tergantung dari jenis aitem, apakah favorabel atau unfavorabel. Skor untuk masing-masing butir bergerak dari 1 sampai 5. Semakin tinggi skor subjek pada kuisoner faktor komunikasi,
berarti makin kuat kecendrungan faktor komunikasi menjadi antecedent condition terhadap konflik organisasi. Semakin tinggi skor subjek pada kuisoner faktor struktur, berarti makin
kuat kecendrungan faktor struktur menjadi antecedent condition terhadap konflik organisasi. Semakin tinggi skor subjek pada kuisoner faktor Variabel pribadi, berarti makin kuat
kecendrungan faktor varibel pribadi menjadi antecedent condition terhadap konflik organisasi.
Tabel2. Gambaran penilaian kuisoner konflik organisasi pada penelitian
BENTUK
Tabel3.Blue print distribusi aitem-aitem dalam kuisoner Konflk Organisasi sebelum uji coba
No. Faktor Indikator Aitem Total
Favorable Unfavorable
I Komunikasi a. Kesulitan semantic 20,14 33,24 4
b. Pertukaran informasi yang tidak cukup
c. Ketidakjelasan juridiksi wilayah kerja
9,39 35 3
d. Ketidakcocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok
31 1
e. Gaya kepemimpinan otoriter 4 11, 38 3
f. Sistem imbalan yang dipandang tidak sesuai oleh karyawan
26 5, 23 3
g. Ketergantungan antar kelompok yang tinggi
III Pribadi a. Individu otoriter 6, 13, 37 10, 22 5
b. Individu dogmatik 18, 27, 28 34 4
c. Individu yang memandang rendah orang lain
16,21 7,32 4
Total 21 19 40
E. Validitas dan Relibilitas Alat Ukur E.1. Validitas
Validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam
melakukan fungsi alat ukurnya. Valid tidaknya suatu alat ukur tergantung pada mampu
tidaknya alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat.
Menurut Azwar (2000), validitas dinyatakan oleh korelasi antara distribusi skor tes
yang bersangkutan dengan distribusi skor suatu kriteria yang relevan. Penelitian ini
menggunakan content validity atau validitas isi yaitu validitas yang menujukkan sejauh mana aitem-aitem dalam tes mencakup keseluruhan kawasan isi yang hendak diukur oleh tes itu,
validitas isi yang digunakan berupa Face validity yaitu validitas yang didasarkan pada penilaian terhadap format penampilan tes, peneliti meminta pendapat profesional (profesional judgement) dari dosen pembimbing dalam proses telaah soal.
E.2. Reliabilitas
Reliabilitas alat ukur adalah untuk mencari dan mengetahui sejauh mana hasil
pengukuran dapat dipercaya. Hasil pengukuran dapat dipercaya apabila dalam beberapa
pelaksanaan pengukuran terhadap sekelompok subjek yang sama, diperoleh hasil yang relatif
sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah (Azwar, 2003).
Uji reliabilitas alat ukur ini menggunakan pendekatan konsistensi internal yang mana
prosedurnya hanya memerlukan satu kali penggunaan tes kepada sekelompok individu
sebagai subjek. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis, dan berefisiensi tinggi (Azwar,
2003). Teknik yang digunakan untuk menguji reliabilitas alat ukur adalah dengan
3. Daya Beda Aitem
Daya beda suatu alat ukur dalam penelitian sangat diperlukan karena melalui daya
beda aitem dapat diketahui seberapa cermat suatu alat ukur melakukan fungsinya. Daya beda
aitem dilakukan untuk mengukur konsistensi internal tiap-tiap aitem pada skala dengan
mengkorelasikan skor aitem dengan skor total. Azwar (2003) mengatakan bahwa daya beda
aitem adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur melakukan fungsi
ukurnya.
Pernyataan-pernyataan pada skala diuji daya bedanya dengan menggunakan Pearson Product Moment (Azwar, 2003).
F. Hasil Uji Coba Alat Ukur
Uji coba kuisoner Konflik Organisasi dilakukan terhadap 70 orang Karyawan
Yayasan Pndidikan X. Untuk melihat daya diskriminasi aitem, dilakukan analisa uji coba
dengan menggunakan aplikasi komputer SPSS versi 17.0 for windows dengan interval kepercayaan 95 %. Menurut Azwar (2003), semua aitem yang mencapai koefisien korelasi
minimal 0.275, daya pembedanya dianggap memuaskan. Semakin tinggi koefisien korelasi,
maka aitem tersebut semakin baik. Jumlah aitem yang diuji cobakan adalah 40 aitem dan
diperoleh 30 aitem yang sahih dan 10 aitem yang gugur. 30 aitem sahih pada skala yang akan
digunakan dalam penelitian dengan reliabilitas sebesar 0.906.
Sebelum skala penelitian digunakan, terlebih dahulu item yang telah memenuhi
validitas dan reliabilitas disusun kembali. Sehingga penyebaran item setelah dilakukan
Tabel 4 : Blue print distribusi aitem-aitem dalamKuisoner Konflik Organisasi setelah Uji coba
No. Faktor Indikator Aitem Total
Favorable Unfavorable
I Komunikasi a. Kesulitan semantic 7 13,20 3
b. Pertukaran informasi yang tidak cukup
11, 26 17 3
c. Gangguan dalam komunikasi 2 23 2
II Struktur a. Ukuran Kelompok yang terlalu besar
8 1
b. Spesialisasi yang spesifik 29 30 2
c. Ketidakjelasan juridiksi wilayah kerja
16 10 2
d. Ketidakcocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok
3 1
e. Gaya kepemimpinan otoriter 14 19, 24 3
f. Sistem imbalan yang dipandang tidak sesuai oleh karyawan
6 21 2
g. Ketergantungan antar kelompok yang tinggi
4 1
III Pribadi a. Individu otoriter 9, 28 5, 25 4
b. Individu dogmatik 12, 18 15 3
c. Individu yang memandang rendah orang lain
22 1, 27 3
Total 15 15 30
G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari 3 tahap. Ketiga tahap tersebut adalah
tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap pengolahan data.
1. Tahap Persiapan
Pada tahapan ini hal-hal yang dilakukan peneliti adalah :
a. Meminta kesediaan perusahaan untuk dilakukan penelitian dengan menjelaskan
hal-hal yang akan dilakukan termasuk hak dan kewajiban peneliti maupun perusahaan.
Peneliti juga menekankan bahwa penelitian ini akan menghasilkan rancangan
b. Melakukan wawancara awal dengan Pemilik Yayasan Pendidikan X, Ketua Harian
dan Ketua Divisi SDM tentang hal atau permasalahan yang perlu diangkat untuk
diteliti.
c. Mengumpulkan informasi termasuk yang berbentuk data maupun teori yang
menjelaskan mengenai serba-serbi dalam permasalahan yang diangkat. Telaah akan
informasi tersebut kemudian menghasilkan sejumlah uraian mengenai
masalah-masalah yang berhubungan untuk pengembangan penelitian.
d. Pembuatan alat ukur
Pada tahapan ini maka peneliti mempersiapkan alat ukur sebanyak 40 item yang
berupa skala likert. Alat ukur (kusioner) dibuat dalam bentuk buku di mana di
samping pernyataan telah disediakan tempat untuk menjawab sehingga memudahkan
subjek dalam memberikan jawaban
e. Melakukan survey
Untuk mendapatkan sampel yang sesuai dengan kriteria sampel yang hendak diteliti,
maka peneliti melakukan survey awal melihat bagaiman kemudian skala ini bias
disebar
f. Uji coba alat ukur
Uji coba alat ukur dilakukan pada tanggal 04 Februari 2012 dengan memberikan
kuisoner Konflik Organisasi pada 96 karyawan Yayasan Pendidikan X. Selanjutnya
dari jumlah 96 sampel hanya 70 sampel yang sesuai dengan kriteria yng telah
ditetapkan
g. Revisi Alat Ukur
Setelah peneliti melakukan uji coba peneliti menguji validitas dan reliabilitas skala
reliabilitasnya peneliti mengambil aitem-aitem tersebut untuk dijadikan kuisoner
konflik organisasi. kuisoner inilah yang digunakan peneliti dalam mengambil data
untuk penelitian.
2. Tahap Pelaksanaan
Setelah diujicobakan, maka selanjutnya peneliti melakukan pengambilan data kepada
karyawan tenaga pengajar Yayasan Pendidikan X dengan memberikan alat ukur berupa
kuisoner konflik organisasi yang dilakukan pada tanggal 11 dan 18 Februari 2012.
3. Tahap Pengolahan Data
Setelah diperoleh hasil skor orientasi nilai pada masing-masing subjek, maka untuk
pengolahan data selanjutnya, diolah dengan menggunakan aplikasi SPSS for windows 17.0 version
H. Metode Analisa Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisa dengan analisa statistik.
Pertimbangan penggunaan statistik dalam penelitian ini adalah:
1. Statistik bekerja dengan angka-angka.
2. Statistik bersifat objektif.
3. Statistik bersifat universal, artinya dapat digunakan hampir pada semua bidang
penelitian. (Hadi, 2000)
Azwar (2004) menyatakan bahwa pengolahan data penelitian yang sudah diperoleh
dimaksudkan sebagai suatu cara mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga dapat
dibaca (readable) dan dapat ditafsirkan (interpretabel).
Penelitian ini dilakukan untuk melihat deskripsi antecedent condition yang menyebabkan konflik organisasi di Yayasan Pendidikan X dengan menggunakan teknik
Seluruh proses pengolahan data penelitian akan dilakukan dengan menggunakan