TRADISI PEMBAGIAN WARIS DILINGKUNGAN MASYARAKAT ARAB
(Studi Kasus di Kampung Arab Tegal)
oleh:
ARIP RAKHMAN NIM:104044101391
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL- SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul TRADISI PEMBAGIAN WARIS DILINGKUNGAN
MASYARAKAT ARAB ( Studi Kasus Kampung Arab Tegal) telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada 13 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam(S.H.I) pada Program Studi Ahwal
Al-Syakhsiyah
Jakarta, 13 juni 2008
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syari’ah dam Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP: 150 210 422
Panitia Ujian Munaqasyah
1. Ketua :Drs.H.A.Basiq Djalil,SH,MA
(……….…….)
NIP: 150 169 102
2. Sekertaris : Kamarusdiana, SAg, MH
(……….)
NIP: 150 285 972
3. Pembimbing:Dr.Mamat Slamet Burhanudin, MA
(……….)
4. Penguji I :Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma,SH,MA,MM
(……….……)
NIP: 150 210 422
5. Penguji II : Drs. H.A. Basiq Djalil,SH,MA
(………)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya, sehingga penulis dapat meyelesaikan skipsi ini dengan lancar, sebuah
karya yang sangat berharga bagi penulis saat ini, kerena dalam penyelesaiannya
telah berhasil melewati berbagai ujian yang telah menyita waktu dan materi
sehingga sesekali menyurutkan penulis untuk menyelesaikannya, banyak hal yang
tidak dapat penulis hadirkan didalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan
waktu. Namun, patut disyukuri karena banyak pengalaman yang berharga yang
telah penulis gapai dalam penyelesaian skripsi ini yang teramat barharga menjadi
bekal pengetahuan dan cakrawala berpikir. Shalawat serta salam tidak lupa
penulis curahkan kepada Nabi mulia Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan
sahabatnya yang telah membawa kita kepada jalan yang lurus.
Selanjutnya, penulis ucapakan terima kasih kepada:
1. Dekan fakultas Syari’ah dan Hukum, Bapak Prof. Dr.H.Muhammad
Amin Suma, S.H., MA, MM, yang telah memberikan dukungan moril
kepada penulis
2. Ketua dan Sekertaris Prodi Ahwal al-Syakshiyah Bapak Drs.
H.A.Basiq Djalil, SH,, MA. Dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag, M.H.
Yang selalu memberikan dorongan semangat agar sabar dan tekun
dalam menyelesaikan skripsi.
3. Pembimbing skripsi, Bapak Dr.Mamat Slamet Burhanudin, MA yang
dengan sabar membimbing dan mengarahkan penulis ditengah-tengah
4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah
memberikan curahan ilmunya kepada penulis selama masa
perkuliahan.
5. Petugas perpustakaan utama dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah
sebagai sumber informasi penulis dalam penulisan skripsi ini.
6. Keluarga tercinta Bapak Edy sudibyo dan Ibu Maslaha. Yang telah
memberikan curahan kasih sayangnya kepada penulis.Untuk
adik-adikku tersayang M. Rizal Fahmi, Fauzan dan Fauzi. Untuk saudara
sepupu Pipit dan Puput, khafid nursyabani, arya firmansyah yang
selalu membuat senyum ceria. Dan buat adinda tersayang Yeni
Fitriyani yang telah mendorong dan memberikan semangat kepada
penulis sehingga dalam penyelesaian skripsi ini sehingga dalam
penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar.
7. Teman kelas kelas PA yang telah senantiasa mendoakan penulis agar
menjadi orang yang sukses.
Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat terutama
bagi penulis sendiri dan pembaca pada umumnya.
Jakarta, Mei 2008
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……….. i
BAB I PENDAHULUAN……… 1
A. Latar Belakang Masalah...
1
B. Pembatasan dan perumusan Masalah...
6
C. Manfaat dan Tujuan Penelitian………. …..
7
D. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan………...
8
E. Sistematika Pembahasan……….
10
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS………
12
A. Pengertian Tentang Waris……….
12
B. Dasar Hukum Kewarisan Dalam Islam……….
14
C. Rukun, Syarat, dan Sebab Saling Mewarisi……….
18
D. Penghalang Menerima Waris………
29
E. Pembagian Waris menurut Adat secara Umum………
BAB III MASYARAKAT KAMPUNG ARAB TEGAL……….. 47
A. Letak Geogarafis……….
47
B. Sruktur Masyarakat Tegal……….
48
BAB IV TRADISI WARIS PADA MASYARAKAT KAMPUNG ARAB…… 54
A. Tradisi waris ………
54
B. Prosedur pembagian waris…………
62
C. Analisa Penulis………. ……
76
BAB V PENUTUP ………..
82
A. Kesimpulan………...
82
B. Saran-saran……….
83
DAFTAR PUSTAKA………...
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Allah SWT menjadikan manusia sebagai kahlifah diatas bumi. Hal ini
berulang kali dinyatakan dalam Al-Qur’an, ide penciptaan manusia itu
dikemukakan Allah sebelumnya didepan para malaikat yang ditanggapi dengan
kekhawatiran mereka akan terjadinya kerusakan dan pertumpahan darah dimuka
bumi. Namun Allah SWT mengatakan “Aku lebih tau tentang apa-apa yang tidak
kamu ketahui”.1 Untuk mengantisipasi dan memperkecil kemungkinan terjadinya apa yang dirisaukan oleh para malaikat itu Allah menetapkan peraturan bagi
kehidupan manusia. Peraturan itu dituangkan dalam bentuk titah atau kehendak
Allah tentang perbuatan yang boleh atau yang tidak boleh dilakukan oleh manusia
dalam kehidupannya. Semua itu bertujuan untuk kebaikan manusia sendiri dan
untuk menghindari terjadinya kerusakan dan pertumpahan sebagaimana yang
dikhawatirkan oleh para malaikat sebelumnya. Hal ini berarti bahwa selama
manusia dalam kehidupannya diatas bumi mengikuti secara baik semua peraturan
yang ditetapkan oleh Allah, maka kerusakan dan pertumpahan darah bisa
dihindari.
Peraturan Allah tentang perbuatan manusia secara sederhana disebut
Syari’ah atau hukum syara’ yang saat ini disebut Hukum Islam. Hukum Islam
merupakan hukum Allah dan sebagai hukum Allah ia menuntut kepatuhan dari
umat Islam untuk melaksanakannya sebagai kelanjutan dari keimanan terhadap
1
Allah. Keimanan akan wujud Allah menutut kepercayaan akan segala sifat,
kudrat, dan iradah Allah. Aturan tentang tingkah laku manusia itu sendiri
merupakan suatu bentuk Iradah Allah dan karena itu kepatuhan menjalankan
peraturan Allah merupakan perwujudan iman kepada Allah. Hukum Islam
meliputi seluruh kehidupan dari segi kehidupan manusia baik untuk mewujudkan
kebahagian diatas dunia ini maupun untuk mencari kehidupan diakhirat kelak.
Diantara hukum tersebut ada yang tidak mengandung sanksi yang menuntut pada
kepatuhan. Sebagian yang lain justru mengandung sanksi yang dirasakan didunia
ini layaknya sanksi hukum pada umumnya. Namum ada pula sanksi yang tidak
dirasakan didunia akan tetapi dirasakan diakhirat kelak dalam bentuk dosa dan
mendapat balasan atas dosa tersebut.2
Diantara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan
oleh Allah adalah aturan yang tentang harta warisan yaitu harta dan pemilikan
yang timbul akibat dari adanya suatu kematian. Tentang siapa yang berhak
menerimanya, berapa jumlahnya dan bagaimana cara mendapatkannya. Aturan
tentang kewarisan tersebut telah Allah tetapkan melalui firmanNya yang terdapat
dalam Al-Qur’an. Pada dasarnya ketentuan Allah mengenai kewarisan sudah jelas
maksud dan arahnya, berbagai hal yang masih memerlukan penjelasan baik
bersifat menegaskan ataupun memerinci disampaikan Rasulullah melalui
hadistnya. Walaupun demikian penerapan masih menimbulkan wacana pemikiran
dan pembahasan dikalangan para hukum Islam yang kemudian dirumuskan dalam
bentuk ajaran yang bersifat normatif. Aturan tersebut yang kemudian diabadikan
dalam bentuk kitab fiqh serta menjadi pedoman bagi umat Islam dalam
menyelesaikan permasalahan yang berkenaan dengan warisan.3
Seiring perkembangan pemikiran umat Islam dan juga relisasinya tentang
kewarisan yang telah diatur oleh Al-Qur’an ternyata amat beragam. Hal demikian
terjadi karena bermainnya berbagai faktor antara lain: hukum adat, sistem
kekeluargaan dan bahkan juga berbagai macam penafsiran yang dipakai
mendekati ayat-ayat kewarisan dalam Al-Qur’an.4 Kewarisan merupakan salah satu masalah pokok yang banyak dibicarakan dalam Al-Qur’an sendiri, kewarisan
pada dasarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hukum, sedang hukum
adalah bagian dari aspek ajaran Islam yang pokok. Ketika seseorang ingin
mengkaji sistem kekeluargaan atau keturunan dalam masyarakat pastilah ia harus
mempelajari sistem perkawinan yang ada dalam masyarakat itu. Sebagaimana
yang pernah diungkapkan oleh salah seorang pakar hukum adat adat hukum Islam
menurut Hazairin.”Hukum menentukan bentuk masyarakat. Masyarakat yang
yang belum dikenal dapat dicoba mengenalnya pada pokok-pokoknya dengan
mempelajari hukum yang berlaku dalam masyarakat itu.5
Hukum mencerminkan masyarakat. Dari seluruh hukum maka hukum
perkawinan dan kewarisanlah yang menentukan dan mencerminkan sistem
kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat. Pada pokoknya ada tiga macam
sistem keturunan yaitu:
3
Ibid.hal.2
4 Ibid.
5
a. Patrilinial. Prinsip keturunan yang setiap orang(ego) selalu
menghubungkan dirinya hanya kepada ayahnya dan seterusnya menurut garis
keturunan laki-laki, disebut sistem partilinial. Kalau penarikan tersebut mutlak,
sehingga si ego hanya dapat menjadi keturunan ayahnya saja seperti yang
ditemukan pada masyarakat Batak, maka sistem kekeluargaan seperti ini disebut
patrilinial murni.Ditinjau dari atas maka setiap orang Batak, jika ia laki-laki,
hanya mempunyai keturunan yang terdiri dari semua anaknyaa(laki-laki dan
perempuan)tetapi cucunya (laki dan perempuan) hanyalah yang lahir dari anaknya
yang laki-laki saja. Dan begitu seterusnya, sehingga bagi orang Batak itu seorang
perempuan menurut sistem kekeluargaanya yang bercorak patilinial itu tidak layak
menghasilkan keturunan bagi keluarga ayah si perempuan. Dalam masyarakat
patrinilial, penarikan keturunan itu tidaklah mutlak. Orang-orang yang
menghubungkan dirinya pada ayahnya atau kepada ibunya, tergantung pada
bentuk perkawinan orang tuanya, sehingga ia mungkin menjadi keturunan
ayahnya dan mungkin pula menjadi keturunan ibunya. Sistem ini disebut
patrilinial yang beralih-alih. Misalnya sistem kekeluargaan dalam masyarakat
Rejah dan Lampung.6
b. Matrilinial. Dalam bentuk ini, setiap orang selalu menghubungkan
dirinya hanya kepada ibunya dan karena itu hanya menjadi anggota klan ibunya
itu. Misalnya masyarakat Minangkabau.Ditinjau dari atas maka setiap orang
Minangkabau itu, jika ia perempuan hanya mempunyai keturunan yang terdiri dari
anak-anaknya (laki-laki dan perempuan). Selanjutnya cucu laki-laki dan
6
perempuan yang lahir dari anaknya yang perempuan.Selanjutnya piut-piut
laki-laki dan perempuan yang lahir dari cucu perempuan. Sehingga menurut sistem
Minangkabau yang bercorak matrilinial itu seorang laki-laki itu tidak mempunyai
keturunan yang menjadi keluarganya.7
c. Bilateral atau parental. Dalam bentuk ini setiap orang dapat
menghubungkan dirinya baik pada ayah maupun ibunya. Misalnya masyarakat
Jawa.ditinjau dari paparan diatas maka setiap orang jawa mempunyai keturunan
bukan saja melaui anaknya yang laki-laki dan juga anak perempuan, tetapi juga
buat selanjutnya mempunyai keturunan yang lahir dari cucu perempuan dan dari
cucu yang laki-laki, tidak peduli apakah cucu yang lahir dari anak yang
perempuan atau dari anak yang laki-laki. Demikian pula piut-piutnya ialah semua
yang dilahirkan oleh cucu laki-laki dan cucu perempuan.8
Menurut Hazairin prinsip patrilinial atau matrilinial akan melahirkan kesatuan
kekeluargaan yang dalam Ilmu pengetahuan kerap kali disebut klan.sedangakan
prinsip bilateral, disebagian masyarakat misalnya tidak akan melahirkan kesatuan
kekeluargaan tertentu, sehingga pengertian kekeluargaan bagi mereka tidak
mempunyai corak tertentu. Sebaliknya pada sebagian masyarakat bilateral yang
lain misalnya Dayak dapat melahirkan golongan-golongan kekeluargaan yang
mempunyai fungsi kesatuan dengan corak tertentu dan dinamakan dengan
Tribe(rumpun).9
Dalam hubungan dengan kewarisan, uraian ini beliau perjelas lagi dengan
mewarisi, sedang dalam sistem matrilineal pada prinsipnya hanya anak
perempuan saja yang mewarisi. Adapun dalam sistem bilateral maka semua anak,
baik laki maupun perempuan, menjadi ahli waris bagi orang tuanya.10
Berdasarkan pemaparan diatas tentang pengklasifikasian sistem kekeluargaan
maka masyarakat Tegal termasuk kedalam sistem kekeluargaan bilateral.
Masyarakat yang menjadi sasaran penelitian adalah mereka yang dalam hal yang
notabene yang keturunan Arab yang mana mereka telah bermukim dan berdiam
sehingga mempunyai keturunan yang tak sedikit jumlahnya. Satu hal yang
menarik yang ingin penulis angkat tentang tradisi pembagian Waris dalam
lingkungan kampung Arab itu.sehingga penulis perlu mengangkat sebuah
penelitian skripsi yang berjudul”TRADISI PEMBAGIAN WARIS
DILINGKUNGAN MASYARAKAT ARAB” (studi kasus di kampung Arab Tegal)
A. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Mengingat luasnya pembahasan mengenai waris maka dalam pembahasan
skripsi ini mengenai tradisi waris yang ada di kampung arab Tegal yang penulis
batasi pada dua tempat yakni pada kec.Slawi dan Kec. Balapulang dimana
terdapat warga keturunan arab yang telah lama bermukim disana.
Dari pembatasan masalah diatas, secara kongkret dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
Pada dasarnya pembagian waris telah ada didalam Al-Qur’an yang dijelaskan
dalam surat An-Nissa ayat 11 dan 12 telah jelas bagian dari masing-masing ahli
10
waris. Satu hal yang menarik terjadi dikampung Arab Tegal adalah pembagian
waris dengan sistem perdamaian yang mana bagian antara laki-laki dan
perempuan adalah sama. Bentuk pembagian waris dengan jalan perdamaian
adalah salah satu bentuk penyesuaian atau dalam istilah waris Islam adalah
Takharuj.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1. Mengetahui pembagian warisan baik terhadap laki-laki maupun
perempuan.
2. Agar dapat memperkaya wawasan dalam perkembangan ilmu fiqh
terutama yang berkenaan dengan masalah kewarisan
C. Kegunaan Penelitian
Beberapa kegunaan penelitian ini adalah:
1. Pengayaan khasanah keilmuan sekaligus sebagai pijakan awal (
starting poin) untuk penelitian selanjutnya.
2. Sebagai sumbangan pemikiran bagi para pengembang ilmu hukum
pada umumnya dan ilmu keperdataan pada khususnya.
3. Merupakan usaha penggalian beberapa segi hukum Islam yang dalam
kadar tertentu akan memberikan sumbangan bagi pembangunan
Hukum Nasional.
4. Dapat menambah kenyakinan umat Islam tentang keabadian syariat
Islam disatu pihak, serta kelenturannya, diiringi dengan himbauan agar
umat Islam melaksanakannya secara sadar dan bertanggung jawab.
Metode yang digunakan untuk memperoleh data yang valid dalam penelitian
ini meliputi:
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang memusatkan
perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan
gejala yang ada dalam kehidupan manusia.11
Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus yaitu penelitian yang
pada uumumnya bertujuan untuk mempelajari secara mendalam suatu individu,
kelompok, institusi atau masyarakat tertentu tentang latar belakang,
keadaan/kondisi, faktor-faktor atau interaksi-interaksi(sosial) yang ada
didalamnya.Studi kasus merupakan suatu gambaran hasil penelitian yang
mendalam dan lengkap, sehingga dalam informasi yang disampaikan tampak
hidup sebagaimana adanya dan pelaku-pelaku mendapat tempat untuk memainkan
peranannya. Metode studi kasus memberikan beberapa keuntungan. Keutungan
utama kita bisa melakukan penelitian lebih mendalam. Dengan menggali lebih
mendalam seluruh kepribadian seseorang yakni dengan memperhatikan
keadaannya sekarang, pengalamannya masa lampau, latar belakang dan
lingkungannya. Namun demikian juga studi kasus menampilkan beberapa
kelemahan kepada kita. Studi yang mendalam berarti kajiannya kurang luas.
Umumnya penemuan-penemuan kita sulit digeneralisasikan dengan keadaan yang
11
berlaku umum, karena hasil penemuannya hanya diperoleh dari keadaan tertentu
saja. 12
2. Sumber Data
a. Data Primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat
melalui wawancara dengan ahli waris terkait tradisi waris pada kampung
Arab
b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka. Data ini
terdiri dari sumber hukum waris Islam seperti kitab-kitab fiqih klasik,
pendapat ulama seputar waris dan hasil penelitian tentang waris dan
lain-lain.
3. Prosedur Pengumpulan Data
Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan metode sebagai
berikut:
a. Metode observasi
Metode observasi bertujuan mendeskripsikan setting, kegitan yang terjadi,
orang yang terlibat didalam kegiatan, waktu kegiatan, dan makna yang
diberikan oleh para pelaku yang diamati pada peristiwa yang
bersangkutan. Metode ini digunakan untuk mengungkapkan data yang
berkaitan dengan pihal-pihak,waktu terjadinya dan hal-hal yang
berhubungan dengan tradisi waris pada manyarakat tersebut.
b. Metode wawancara
12
Metode ini digunakan untuk memperoleh informasi tentang tradisi dari
waris, yakni wawancara dengan keluarga para ahli waris, Tokoh
masyarakat
c. Metode dokumenter
Dalam penelitian ini, metode dokumenter digunakan untuk mencari dan
mengungkapkan data-data yang belum diperoleh dari observasi dan
interview.
4. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah deskriftif
kualitatif. Teknik analisis deskriptif diguanakan untuk menuturkan, menafsirkan,
serta menguraikan data yang bersifat kuantitatif yang diperoleh dari hasil
wawancara/interview, observasi, dan dokumenter.
F. Sistematika Penulisan
Adapun tehnik penulisan skripsi ini, penulis merujuk buku pedoman penulisan
karya ilmiah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta .Secara general penulis
memetakan topik penulisan untuk mempermudah pembahasanya, adapun
sistematikanya adalah sebagai berikut:
BAB I: merupakan pendahuluan yang meliputi : latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tehnik dan
metode penelitian dan sistematika penulisan
BAB II: bab ini mengemukakan tentang pengertian kewarisan baik secara bahasa maupun istilah, dasar hukum kewarisan baik yang bersumber dari Al-Qur’an
yang berkenaan dengan syarat serta rukun dan hal-hal yang menjadikan terhalang
menerima warisan. Seputar tentang pembagian waris dalam adat.
BAB III: menjelasakan tentang letak geogarafis Kab.Tegal yang menjadi tempat penelitian serta struktur masyarakat dan budaya yang ada di Kab. tersebut.
BAB IV pada bab empat ini penulis mengemukakan tentang tradisi waris dan bagaimanan pula prosedurnya dalam pembagian harta warisan pada masyarakat
kampung Arab. Dan juga berisi tentang analisis penulis dari hasil penelitian yang
ada.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS
A. Pengertian Waris
Hukum waris merupakan bagian darai hukum perdata. Dimana , dari dahulu
sampai sekarang ini, hukum waris Indonesia sangat beraneka ragam sekali.
Adapun garis besarnya terbagi menjdai tiga bagian:
1. Hukum waris yang terdapat dalam Undang-Undang Perdata
(HUKPer/BW).
2. Hukum waris yang terdapat dalam hukum adat.
3. Hukum waris yang terdapar dalam hukum Islam, yang tersusun
dalam Figh mawaris/faraid.
Adapun pengertian hukum waris dalam KUH Perdata, menurut Hartono
Suryopratiknyo hukum waris adalah keselurihan peraturan dengan nama
Undang-Undang mengatur akibat hukum dari meninggalnya seseorang terhadap harta
kekayaan, perpindahan kepada ahli waris dan hubungannya dengan pihak ketiga.13 Sedang pengertian Hukum waris adat menurut Hilman Hadikusuma adalah aturan
-aturan hukum yang mengenai cara bagimana dari abad ke abad penerusan dan
peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan yang tak berwujud dari generasi
pada generasi.14
Sedang pengertian Hukum kewarisan dalam KHI adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
13
Suparman Usman, Ikhtisar Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(Bw), ( Serang: Darul ulum Press, 1993), Cet. 2 hal. 50
14
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya
masing-masing(ps.171 huruf a KHI ).15
Dalam terminologi figh biasanya dikemukakan pengertian kebahasaan. Hal
ini karena kata-kata warasa- asal kata kewarisan digunakan dalam Al-Qur’an.
Karena Al-Qur’anlah dan dirinci oleh Sunnah Rasulullah, hukum kewarisan
dibangun. Secara bahasa kata warasa memiliki beberapa arti; pertama mengganti
(QS. Al-Naml, 27:16), artinya Sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan
Daud, serta mewarisi ilmu pengetahuannya. Kedua, memberi (QS. Al-Zumar,
39:74), dan ketiga mewarisi (QS. Maryam, 19:6). Sedangkan menurut pengertian
terminologi, Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan,
mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan itu untuk setiap
yang berhak16. Dalam redaksi yang lain, Hasby Ash-Siddieqy mengemukakan, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang siapa-siapa orang yang
mewarisi dan tidak mewarisi, bagian penerimaan setiap ahli waris dan cara-cara
pembagiannya17. Berbeda dengan dua definisi diatas, Wirjono Prodjodikoro menjelaskan, warisan adalah soal apa dan bagaimana pelbagai hak-hak dan
kewajiban- kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan
beralih pada orang lain yang masih hidup.18
Hukum kewarisan sering dikenal dengan istilah faraid, bentuk jamak dari
kata tunggal faridah, artinya ketentuan. Hal ini karena dalam Islam, bagian-bagian
15
Departeman Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Dirjen Binbaga, 1991/1992, hal 35
16
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003) hal. 356
17 Ibid.
18
waris yang menjadi hak ahli waris telah dibakukan dalam Al-Qur’an. Meskipun
dalam realisasinya, sering tidak tepat persis nominalnya, seperti masalah radd
atau aul. Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian besar. Karena
pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan
bagi keluarga yang ditinggal mati pewarisnya. Naluri manusia menyukai harta
benda (QS.Ali Imran, 3:14) tidak jarang memotivasi seseorang untuk
menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan harta benda tersebut, termasuk
didalamnya terhadap harta peninggalan pewarisnya sendiri. Terjadi kasus gugat
waris di pengadilan, baik di pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri,
menunjukan fenomena ini. 19 B. Dasar Hukum Kewarisan Islam
Bangunan hukum kewarisan Islam memiliki dasar yang sangat kuat, yaitu
ayat-ayat Al-Qur’an yang selain kedudukannya qath’i wurud, juga qath’i
al-dalalah meskipun pada dataran tanfid(aplikasi), sering ketentuan baku Al-Qur’an
tentang bagian-bagian warisan, mengalami perubahan pada hitungan nominalnya,
misalnya pada kasus raad dan aul dan sebagainya.
Menurut al-Syabiti, terhadap ketentuan Al-Qur’an yang kandungannya
ibadah atau bukan ibadah mahdah yang telah dirinci didalam Al-Qur’an, seperti
hukum kewarisan, perlu diterima secara ta’abudy atau diterima secara take for
granted. Karena itu relisasinya apa yang ditegaskan didalam Al-Qur’an diterima
dengan senang hati, sebagai bukti kepatuhan pada ketentuan-ketentuan Allah.
Selain Al-Qur’an, hukum kewarisan juga disandarkan pada sunnah Rasulullah
SAW, pendapat sahabat, baik yang disepakati maupun yang mukhtalaf fih.20
Ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah cukup banyak yang menunjuk tentang
hukum kewarisan.
1. Al-Qur’an
QS. Al-Nissa,4:11-12
⌧
☯
⌧
⌧
☺
☺
⌧
⌧
⌧
⌧
☺
☺
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian warisan untukmu) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki sama dengan bagian dua anak perempuan; dan jika anak itu semuanya lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja, maka memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai seorang anak. Jika orang yang meninggal tidak
20
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapak(saja) maka ibunya mendapat sepertiga. Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.(pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar hutangnya.( tentang orang tua dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat(banyak) manfaat bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana(Q.S. al-Nissa; 4:11)
2. Al-sunnah
Imam Bukhari menghimpun hadits tentang hukum tentang kewarisan tidak
kurang dari 46 hadis. Imam Muslim menyebut hadis tentang kewarisan kurang
dari 20 hadis. Berikut dikutip beberapa hadist yang dianggap pokok
a. Hadis riwayat Mutafaq alai atau yang diriwayatkan oleh Bukhari
Muslim
Nadi SAW bersabda:” Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Dan sisanya untuk orang-orang laki yang lebih utama(dekat kekerabatanya) (Muttafaq alai)21
b. Hadis lain yang isinya menegaskan kembali tentang bagian-bagian warisan
yang telah ditegaskan didalam Al-Qur’an. Misalnya riwayat dari Huzail
ibnu Syurabil mengatakan:
Nabi SAW memutuskan bagian anak perempuan separuh cucu perempuan garis laki-laki seperenam sebagai penyempurna dua pertiga, dan sisanya untuk saudara perempuan(Riwayat Al-Bukhari)22
21
Imam Abi Abdillah, Shahih Bukhari, (Semarang: PT. Toha Putra, 1997) Juz 8
22
3. Hukum Islam yang sudah di Undangkan
Dalam UU No.7 tahun 1989 tentang peradilan Agama pasal 49 didalamnya
ditegaskan bahwa kewarisan bagi umat Islam di seluruh Indonesia,
penyelesaiannya menjadi wewenang peradilan Agama. Tentang hukum yang
digunakan dalam penyelesaian warisan itu adalah hukum Islam tentang kewarisan
atau yang disebut Hukum Kewarisan Islam atau faraid. Dengan demikian hukum
kewarisan Islam merupakan hukum positif di Indonesia, khususnya di Indonesia.
Pengertian hukum positif disini adalah hukum yang berlaku dan dilaksanakan
oleh negara melalui peradilan yang dibentuk oleh negara. Hukum kewarisan Islam
bukan hukum Nasional di Indonesia dalam arti “ hukum tertulis yang ditetapkan
oleh badan negara yang berlaku dan mengikat untuk seluruh warga negara.”23 4. Yurisprudensi
Dalam kamus Fockema sebagaimana yang dikutip oleh Lilik Mulyadi
dikemukan yang dimaksu dengan yurisprudensi adalah pengumpulan yang
sistematis dari Keputusan Mahkamah Agung dan Keputusan Pengadilan Tinggi
yang diikuti oleh hakim laindalam memeberikan keputusan permasalahan yang
sama. Hakim tidak boleh terikat pada putusan yurisprudensi tersebut, sebab
negara Indonesia tidak menganut “ the binding force of precedent”, jadi bebas
memilih antara meninggalkan yurisprudensi dengan memakai dalam perkara yang
sejenis dan telah mendpat putusan sebelumnya. Hakim harus berani meninggalkan
yurisprudensi kalau kiranya yurisprudensi itu telah usang dan tidak sesuai lagi
dengan tuntutan zaman dan keadaan masyarakat, tetapi tidak salahnya untuk tetap
23
dipakai kalau yurisprudensi masih sesuai dengan keadaan zaman dan sesuai
dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 24 C. Rukun, Syarat dan Sebab saling Mewaris
1. Rukun Waris
Menurut istilah rukun adalah keberadaan sesuatu yang menjadi bagian atas
keberadaan sesuatu yang lain. Contohnya adalah sujud dalam salat, sujud
dianggap sebagai rukun, karena sujud merupakan bagian dari salat. Karena itu
tidak dikatakan salat jika tidak tidak ada sujud. Dengan kata lain rukun adalah
sesuatu yang keberadaanya mampu menggambarkan sesuatu yang lain, baik
sesuatu hanya bagian dari sesuatu yang lain maupun mengkhususkan sesuatu
yang lain.25
Dengan demikian rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk
mewujudkan bagian harta waris dimana harta waris tidak akan ditemukan bila
tidak ada rukun-rukunnya. Rukun-rukun waris ada tiga:26
1) Al-Muwarriss yaitu orang yang meninggal dunia atau mati, baik mati hakiki
maupun hukmy yaitu suatu kematian yang dinyatakan oleh keputusan hakim
atas dasar beberapa sebab, kendati sebenarnya ia belum mati yang
meninggalkan harta atau hak.
2) Al-Warits, yaitu orang yang hidup atau anak dalam kandungan yang
mempunyai hak mewarisi, meskipun dalam kasus tertentu akan terhalang.
24 Ibid. 25
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris Islam. Penerjemah H. Addys Al dizar dan H. Fakhturahman (Jakarta: Senayan Abadi Publising, 2004), hal. 41
26
3) Al-maurust, yaitu harta benda yang menjadi warisan. Sebagian ulama faraid
menyebutnya dengan mirats atau irts. Termasuk dalam kategori warisan
adalah harta-harta atau hak-hak yang mungkin dapat diwariskan, seperti hak
qishas(perdata) hak menahan barang yang belum dilunasi pembayarannya, dan
hak menahan barang gadaian.
Itulah tiga rukun waris, jika salah satu dari rukun tersebut tidak ada, waris
mewarispun tidak bisa dilakukan. Barang siapa yang meninggal dunia dan tidak
mempunyai ahli waris atau mempunyai ahli waris tetapi tidak mempunyai harta
waris maka waris mewarispun tidak bisa dilakukan karena tidak terpenuhinya
rukun-rukun waris.27 2. Syarat Waris
Lafal syuruth(syarat-syarat) adalah bentuk jamak dari syarth. Menurut
bahasa syarat adalah tanda seperti syarth as-saah(tanda-tanda kiamat).Allah SWT
berfirman”Tidaklah yang mereka tunggu-tunggu, melainkan hari kiamat yaitu
kedatangannya kepada mereka dengan tiba-tiba, karena sesungguhnya telah
datang tanda-tandanya. Apakah faedahnya bagi mereka kesadaran mereka itu
apabila kiamat sudah datang?( Muhammad 47:18).28
Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang ada atau tidak adanya hukum
tergantung pada ada atau tidak adanya sesuatu itu. Yang dimaksud dengan adanya
sesuatu yang menurut syara’ dapat menimbulkan pengaruh ada dan tidak adanya
hukum. Jadi syarat adalah sesuatu yang keluar dari hakikat yang
disyarati(masyruth) yang mengakibatkan adanya masyrut karena tidak adanya
27 Ibid. 28
syarat, Namun adanya masyrut tidak mewajibkan adanya syarat.Misalnya
hubungan suami isteri menjadi syarat menjatuhkan talak sehingga jika tidak
adanya hubungan tersebut tidak dapat dilakukan talak. Dan hal ini tidak berarti
adanya hubungan suami isteri menetapkan adanya talak. Thaharah(bersuci) adalah
syarat sah shalat. Jika tidak bersuci sebelum melakukan shalat niscaya shalatnya
tidak sah, akan tetapi melakukan thaharah bukan berarti ketika hendak melakukan
shalat saja.29
Dengan demikian, apabila tidak ada syarat-syarat waris, berarti tidak ada
pembagian harta waris. Meskipun syarat-syarat waris terpenuhi, tidak serta merta
harta waris dapat langsung dibagikan. Contoh kasus ini adalah keberadaan ahli
waris yang masih hidup merupakan syarat untuk mewarisi harta si mayit. Jika
syarat hidupnya ahli waris tidak terpenuhi, tentunya pembagian harta waris juga
tidak bisa dilakukan. Meskipun syarat-syarat itu telah terpenuhi, tidak serta merta
ahli waris mendapatkan ahli waris, kepada ahli waris dapat terhalang oleh ahli
waris yang lain untuk mendapatkan bagian dari harta waris kendati syarat
mendapatkan harta warisan telah terpenuhi. Oleh karena itu persoalan warisan
memerlukan syarat-syarat sebagai berikut:30
Pertama, matinya orang yang mewariskan. Kematian orang yang
mewariskan menurut ulama dibedakan menjadi tiga: 1) mati hakiki(sejati) 2) mati
hukmy( menurut putusan hakim) dan 3) mati taqdiry(menurut perkiraan). Mati
hakiki adalah hilangnya nyawa seseorang ( yang semula nyawa itu berwujud
padanya) baik kematian itu disaksikan dengan pengujian, seperti tatkala seseorang
29
Abdul Wahab Khalaf, Imu Ushulul Fiqih. Penerjemah Masdar Helmy (Bandung: Gema Rislah Press, 1997), hal. 200
30
disaksikan meninggal atau dengan pendeteksian dan pembuktian, yakni kesaksian
dua orang yang adil atas kematian seseorang. Mati hukmy adalah suatu kematian
yang yang disebabkan karena putusan hakim, seperti seorang hakim memvonis
kematian si Mafqud(orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak dikenal
domisilinya dan tidak pula diketahui hidup dan matinya). Status orang ini, jika
melewati batas waktu yang ditentukan untuk pencariannya, si mafqud karena
didasarkan atas sangkaan yang kuat bisa dikategorikan sebagai seorang yang telah
mati. Mati taqdiry adalah suatu kematian yang semata-mata berdasarkan dugaan
yang sangat kuat. Contohnya, seorang bayi yang dilahirkan dalam keadaan mati,
sedang ibunya masih hidup atau bayi itu meninggal setelah kematian ibunya yang
melahirkan akibat pendarahan, yang mewajibkan pembayaran sanksi dengan
al-ghurah (hamba sahaya atau budak perempuan yang disamakan dengan lima tahun
unta yang diberikan kepada ahli waris si bayi). Dengan demikian, si bayi
meninggal akibat kejahatan tersebut, dimana ibunya mewarisi budak dari si bayi.31 Kedua, ahli waris yang hidup, baik hidup baik secara hakiki maupun hukmy
setelah kematian si mayit sekalipun hanya sebentar, memiliki hak atas harta waris.
Sebab Allah swt didalam ayat kewarisan hak mendapatkan harta waris enggan
huruf lam menunjukan kepemilikan dimana tidak berwujud, kecuali hanya bagi
orang yang hidup.32
Ketiga, mengetahui sebab-sebab yang mengikat ahli waris dengan si mayit,
seperti garis kekerabatan, perkawinan dan perwalian. Maksudnya ahli waris harus
mengetahui dirinya adalah termasuk dari ahli waris dari garis kerabat
31
Ibid. hal. 30
nasab(kerabat yang tidak memperoleh bagian tertentu tetapi mendapatkan sisa dari
ash-habul furudh atau mendapatkan seluruh harta peninggalan bila tidak ada
seorang as-habul furudh seorangpun) atau garis perkawinan atau garis wala. Hal
seperti diberlakukan karena setiap garis keturunan memiliki hukum yang
berbeda-beda.33
2. Sebab-Sebab Mewariskan
Sebab adalah sesuatu yang oleh syari’(pembuat hukum) dijadikan indikasi
adanya sesuatu yang lain yang menjadi akibatnya, sekaligus menghubungkan
adanya akibat karena adanya sebab, dan ketiadaanya karena ketiadaan sebab.
Contoh api merupakan sebab terjadinya kebakaran, artinya kebakaran merupakan
sebab terjadinya kebakaran.34
Definisi ulama yang mengatakan keberadaan sesuatu mengharuskan adanya
sesuatu yang lain, dengan sendirinya mengecualikan makna syarat, karena syarat
tidak mengharuskan adanya sesuatu. Sedangkan ucapan mereka yang lain, bahwa
tidak adanya sesuatu akan mengakibatkan sesuatu yang lain, juga menjadi tidak
ada dan mengecualikan makna ”mani”(penghalang), karena mani mengecualikan
adanya sesuatu yang tidak mengharuskan adanya sesuatu yang lain.35 Dengan demikian sebab-sebab pewarisan adalah sesuatu yang mewajibkan adanya hak
mewarisi, jika sebab-sebabnya terpenuhi. Demikian juga hak mewarisi menjadi
tidak ada jika sebab-sebabnya tidak terpenuhi. Sebab-sebab mewarisi terbagi
33 Ibid. 34
Ibid. 35
menjadi dua:pertama, yang disepakati dan kedua, yang tidak sepakati oleh para
ulama faraid.
1. Sebab-sebab Mewaris yang di Sepakati
a. Kekerabatan(Al-Qarabah)
Kekerabatan adalah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan
orang yang mewarisi, yang disebabkan oleh kelahiran, baik dekat maupun jauh.
Dalil-dalil kewarisan karena sebab kekerabatan, antara lain terdapat dalam firman
Allah surat An-Nissa ayat 11. Siapa sajakah ahli waris yang dapat mewarisi dari
garis kekerabatan? Mereka adalah ushul(leluhur) si mayit, furu’ (keturunan) si
mayit, dan hawasyi si mayit(keluarga si mayit dari jalur horizontal). Golongan
ushul adalah 1)ayah, kakek, dan jalur keatasnya 2) ibu, nenek(ibunya suami dan
ibunya istri) dan jalur keatasnya. Golongan furu’ adalah 1) anak laki-laki, cucu,
cicit dan jalur kebawahnya. Sedangkan golongan hawasyi adalah 1) saudara
laki-laki dan perempuan secara mutlak, baik saudara sekandung maupun seayah atau
seibu, 2) anak-anak saudara sekandung seayah dan seibu, 3) paman sekandung
seayah dan anak laki-laki paman sekandung.36 b. Pernikahan
Disamping hak kewarisan berlaku atas hubungan atas hubungan
kekerabatan, hak waris juga berlaku atas dasar perkawinan; dengan arti bahwa
suami ahli waris bagi istrinya yang meninggal dan istri ahli waris bagi suaminya
yang meninggal. Bagian pertama dari ayat 12 surah al-Nisa(4) menyatakan hak
kewarisan suami istri. Dalam ayat itu digunakan kata: azwaj. Penggunaan kata
36
azwaj yang secara leksikal berarti pasangan (suami istri) menunjukan dengan
gamblang hubungan kewarisan suami dan istri. Bila hubungan kewarisan berlaku
antara yang mempunyai hubungan kekerabatan karena hubungannya alamiah
diantara keduanya, maka hubungan kewarisan antara suami istri disebabkan
adanya hubungan hukum antara suami istri.37
Berlakunya hubungan kewarisan antara suami dengan istri didasarkan pada
dua ketentuan:
Pertama: antara keduanya telah berlangsung akad nikah yang sah. Tentang akad
nikah yangh sah ditetapkan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal
2 ayat 1: perkawinan sah bila dilakukan menurut ketentuan hukum masing-masing
agamanya. Ketentuan diatas berarti bahwa perkawinan orang-orang yang
beragama Islam adalah sah apabila menurut hukum Islam itu perkawinan tersebut
adalah sah. Pengertian sah menurut hukum Islam ialah sesuatu yang dilakukan
sesuai dengan rukun dan syarat dan telah terhindar dari dari segala
penghalangnya. Dengan demikian nikah yang sah adalah nikah yang telah
dilaksanakan dan telah memenuhi rukun syarat pernikahan dan telah terlepas dari
segala halangan pernikahan. Ketentuan yang kedua,berkenaan dengan hubungan
kewarisan yang disebabkan oleh hubungan perkawinan ialah bahwa suami istri
masih terikat dalam tali perkawinan saat salah satu pihak meninggal. Termasuk
dalam ketentuan ini adalah bila salah satu pihak meninggal dunia sedangkan
ikatan perkawinan telah putus dalam bentuk talak raj’I dan perempuan masih
dalam keadaan masa iddah. Seorang perempuan yang sedang menjalani masa
37
iddah talak raj’i berstatus sebagai istri dengan segala akibat hukumnya, kecuali
hubungan kelamin(menurut jumhur ulama) karena halanya hubungan kelamin
telah berakhir dengan adanya perceraian.38 c. Wala
Wala berarti tetapnya hukum syara’ karena membebaskan budak. Dalam
konteks ini yang dimaksud dengan wala al-ataqah yakni disebabkan adanya
pembebasan budak dan bukan dimaksudkan dengan wala al-maulah dan
mukhalafah membebaskan budak dengan karena kepemimpinan dan karena ikatan
sumpah, karena keduanya mempunyai muatan yang berbeda-beda dalam
sebab-sebab pewarisan.39 Adapun yang dimaksud dengan wala al-ataqah adalah ushubah. Penyebabnya adalah kenikmatan pemilik budak yang dihadiahkan
kepada budaknya dengan membebaskan budak melalui pencabutan hak
mewalikan dan mengurusi harta bendanya baik secara sempurna maupun tidak.
Tujuannya adalah tathawwu yakni melaksanakan perintah Syari’at atau
kewajiban, sekalipun dengan imbalan. Dalam hal ini bentuk pembebasan
mengkibatkan pada penetapan wala. Adapun yang dimaksud dengan kalimat
penyebabnya adalah kenikmatan pemilik budak yang dihadiahkan kepada dengan
membebaskan budak adalah masa sebelum budak itu dibebaskan. Namun setelah
seorang tuan membebaskan budakya, budak itu telah berubah status dari orang
yang tidak cakap menjadi orang yang cakap dalam bertindak secara sempurna.
Dalil orang yang mempunyai hak wala memili hak waris atas harta peninggalan si
budak dalah sabda Rasulullah saw dalam perkara Barirah r.a. “ Hak wala itu
38
Amir Syarifudin, op. cit. hal. 192
39
hanya bagi orang yang telah membebaskan budaknya”(HR Mutafaq alaih).40 Pertanyaan adalah siapa saja yang dapat mewaris sebab wala? Adapun yang dapat
mewarisi sebab wala adalah pemilik budak laki-laki dan perempuan yang telah
melangsungkan pembebasan budak. Lalu keduanya menjadi ashabah yaitu
ashabah bi nafs. Sebab, wala dapat mewaris bukan diwaris. Tanpa budak yang
dibebaskan niscaya wala tidak mewarisi dari pembebasan budak atau tuanya.
Dengan demikian wala dapat mewarisi dari satu sisi saja yakni sisi dari orang
yang membebaskan budak.
2. Sebab-sebab waris yang Diperselisihkan
a. Baitul Mal
Para ulama fiqh berselisih diantaranya Syafi’i, Maliki dan Hanafi tentang
baitul mal yang menjadi salah satu sebab boleh tidak mewarisi. Dalam hal ini
terdapat tiga pendapat:41
Pertama, baitul mal sebagai penyebab mewarisi secara mutlak, baik baitul mal
yang terorganisir maupun tidak. Jika seorang muslim meninggal dunia dan tidak
mempunyai seorang pun ahli waris yang mewarisi harta peninggalannya, dengan
salah satu sebab-sebab saling mewarisi yang telah disepakati, maka baitul mal
berhak mewarisi harta peninggalan tersebut serta menggunakannya utuk
kemaslahatan kaum muslimin. Sebab kaum musliminpun dibebani membayar
diyah(denda) untuk saudara sesama muslim yang tidak berkerabat. Dengan
demikian kedudukan mereka bagaikan ashabah(golongan yang mewarisi dalam
40 Ibid.
41
lingkungan kerabat). Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan Malikiyyah dan
Imam Syafi’i dalam qaul qodim( pendapat lamannya ketika berada di Bagdad).42 Kedua, baitul mal menjadi ahli waris ketika terorganisasi, dengan demikian andai
seorang muslim meninggal dunia tidak memiliki ahli waris satu orang pun, maka
harta peninggalannya diserahkan kepada Baitul mal bukan atas dasar kemaslatan
atau kepentingan sosial, tetapi untuk diwarisi oleh kaum muslimin secara
ushubah. Pendapat ini dikemukakan oleh As-Syafii dalam qul jadid.43
Ketiga,Baitul mal bukan menjadi penyebab mewarisi secara mutlak, baik ia
terorganisasi maupun tidak,Ini adalah pendapat kalangan Hanafiyyah dan
Hanabilah.44
b. Al-hilf wa al- Mu’aqadash atau janji setia
Janji setia ditempuh dengan melakukan perjanjian antara dua orang atau
lebih. Sesorang menyatakan dengan sungguh-sungguh kepada orang lain untuk
saling mewarisi apabila salah pihak meninggal. Tujuannya adalah untuk
kerjasama saling menasehati dan yang terpenting adalah memperoleh rasa aman.
Rumusan kalimat perjanjiannya adalah sebagai berikut:
Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, perjuanganmu perjuanganku, perangku adalah peraangmu, damaiku damaimu, kamu mewarisi hartaku aku mewarisi hartamu, kamu dituntut darahku karena aku dan aku dituntut darahku karena kamu, dan diwajibkan membayar denda sebagai pengganti nyawaku, akupun diwajibkan membayar denda sebagai pengganti nyawamu.45
Apabila salah satu pihak yang melakukan janji setia itu meninggal dunia
maka pihak lain mewarisi harta yang ditinggalkannya dengan ketentuan 1/6
bagian, itupun didahulukan penerimaannya baru setelah itu dibagikan kepada ahli
waris lainya.46
Perjanjian model ini tampaknya merupakan cara yang ditempuh dalam
waktu yang lama, sampai-sampai Al-Qur’an merekamnya sebagai salah satu
sebab mewaris yang dibenarkan. Firman Allah surah An-Nissa ayat 33:
“ Bagi tiap-tiap peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak karib dan kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sessunggunya Allah menyaksikan segala sesuatu (Q.S. An-Nissa ayat 33)
Terhadap ayat tersebut dalam penerapannya, mayoritas para ulama tidak
melaksanakanya. Hanya sebagian ulama Hanafiyah saja yang tetap
memberlakukan isi ayat tersebut. Mereka mengatakan bahwa tidak ada riwayat
atau keterangan yang menasakh ketentuan itu. Apabila dikaitkan dengan
kehidupan sekarang ini, terlebih didasari oleh nash-nash Al-Qur’an maupun hadist
yang mengatur soal kewarisan, kelihatanya sistem perjanjian itu telah kehilangan
atau setidaknya kurang relevansi. 47 D. Penghalang Menerima Warisan
Kata al-mawani adalah bentuk jamak dari mani. Menurut bahasa mani
berarti penghalang. Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang timbul ketika
sebab itu telah jelas dan syarat telah terpenuhi dan menghalangi timbulnya akibat
46
Ibid.
atas sebab. Jadi ketiadaan syarat menurut mereka tidak disebut mani meskipun
menghalangi timbulnya akibat atas sebab. Jadi yang dimaksud dengan beberapa
penghalang mewarisi adalah keberadaan penghalang yang menggugurkan hak
seseorang untuk mewarisi harta peninggalan. Namun, ketiadaan penghalang
bukan berarti memberikan warisan kepada seseorang. Dengan kata lain, yang
dimaksud dengan penghalang-penghalang mewarisi adalah tindakan atau hal-hal
yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan
setelah adanya sebab-sebab mewarisi.48 Jadi yang dilarang mendapatkan hak waris adalah seseorang (ahli waris) yang mempunyai sebab mewarisi tetapi ia
melakukan tindakan yang dapat menggugurkan kelayakan mewarisi. Orang
semacam ini yang diharamkan mendapatkan warisan, keberadaanya bagaikan
tidak ada dan dia dapat menghalangi ahli warsi lainnya baik secara hirman(tidak
mendapat warisan) maupun secara nuqshan( pengurangan).49
Dengan demikian definisi diatas berarti meniadakan hukum dan seseorang
dapat terhalang karena keberadaan ahli warsi lainnya. Namun, ahli waris lainya
menghalangi ahli waris yang terhalang dengan cara nuqshana(pengurangan).
Demikian halnya, definisi tersebut meniadakan hukum waris-mewarisi karena
ketiadaan sebab-sebabnya seperti orang asing(orang yang tidak mempunyai
hubungan kerabat dari manapun).50
1) Penghalang-Penghalang yang Disepakati
a. Berlainan Agama
48
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris Islam hal.46
49 Ibid. 50
Para ulama ahli fiqh diantaranya Maliki, Syafi’I, Hanafi dan Hambali
sepakat bahwasanya, berlainan agama antara orang yang mewarisi dengan orang
yang mewariskan merupakan salah satu penghalang mewaris. Berlainan agama
terjadi antara Islam dengan agama lainnya terjadi antara satu agama dengan satu
syariat yang berbeda51.
Agama ahli waris yang berlainan merupakan penghalang untuk mewarisi
dalam hukum waris. Dengan demikian orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang
Islam dan seorang muslim tidak bisa mewarisi harta orang kafir, sebagaimana
sabda Rasulullah SAW berikut:
Orang Islam ridak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam (HR Muttafaq alaih)
Hukum ini merupakan ketetapan banyak ulama ahli fiqh sebagai
pengalaman dari keumuman hadits diatas. Bila seorang mati meninggalkan
anak-anak laki-laki yang kafir dan pamannya muslim, niscaya harta peninggalan si
mayit diberikan semua kepada paman, sehingga anak laki-laki itu tidak
mendapatkan harta warisan apa-apa dari ayahnya. Contoh lainya adalah bila
seorang mati meninggalkan istri kitabiyyah (ahli kitab) dan seorang anak laki-laki
semua harta yang ditinggalkan si mayit diberikan kepada anak laki-lakinya.52 Namun sebagian ulama ahli fiqh berpendapat bahwa orang Islam dapat
mewarisi harta peninggalan orang kafir dan tidak sebaliknya. Berdasarkan
51
Ibid. hal 47
52
pendapat tersebut jika seorang istri kitabiyyah(ahli kitab) mati meninggalkan
suami muslim maka sang suami dapat mewarisi dari harta sang istrinya tapi tidak
sebaliknya. Beberapa alasan yang dijadikan argumen pada kasus diatas adalah53: a) Berdasarkan hadits Nabi SAW,”Islam itu terus bertambah dan tidak
berkurang”
b) Dalam melihat hadits ini mereka berpendapat hak mewarisi seorang
muslim dari seorang kafir merupakan suatu tambahan, sedangkan tidak
adanya hak mewarisi bagi muslim terhadap orang kafir adalah suatu
kekurangan. Mereka juga berargumen dengan hadits “ Islam itu tinggi dan
ketinggianya tidak dapat diungguli”. Dengan hadits ini mereka
berpendapat makna ketinggian adalah seorang muslim bisa mewarisi harta
peninggalan orang kafir sedangkan orang kafir tidak bisa mewarisi harta
orang muslim.54
c) Mereka berdalih dengan menganalogikan nikah dan memperoleh harta
rampasan perang yakni kita sebagai orang muslim dapat mewarisi harta
orang kafir sebagaimana kita menikahi wanita-wanita mereka, namun
mereka tidak bisa menikahi wanita-wanita muslimah. Kita bisa
memperoleh harta rampasan perang yang dilakukan bersama mereka,
namun tidak sebaliknya.55 b. Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh ahli warisnya, maka ia tidak berhak
warisan atau harta peninggalan. Orang yang dibunuh bisa menerima warisan dari
pembunuhnya, apabila si pembunuh lantaran suatu sebab meninggal sebelum
korbannya meninggal. Apabila seseorang melukai saudaranya dengan luka sangat
parah yang bisa menyebabkan kematian, kemudian dia lebih dahulu meninggal
dengan suatu sebab niscaya si korban ( orang yang dilukai) menerima pusaka
dari orang yang melukainya apabila tidak ada ahli waris yang lebih kuat, asal saja
orang yang dilukai atau korban ketika meninggalnya pelaku masih dalam keadaan
hidup (hayat mustaqirah)56. Tegasnya si pembunuh tidak boleh menerima harta
warisan dari orang yang dibunuh. Dalam hal ini Nabi saw bersabda:
Tidak ada pusaka bagi si pembunuh57
Kaidah fighiyah menetapkan:
“orang yang menyegerakan sesuatu sebelum waktunya, niscaya disiksa dengan tidak diberikan kepadanya apa yang ia segera menerimanya 58
Apabila si pembunuh tidak dihalangi menerima warisan, tentunya banyak
waris (orang yang menerima warisan) akan membunuh muwarisnya(pewaris).
Dan berkembanglah pembunuhan diantara kerabat-kerabat dekat dan kerabat yang
56
Ibid. hal
57
Muhammad bin Muhammad As-Syaukani, Nailul Al- Athar Syarah Muntaqal Akhbar, ( Kairo: Al-Akhirah) juz 6 hal. 84
58
jauh. Selain daripada itu pembunuhan adalah suatu jarimah(tindak pidana) yang
harus dijatuhi hukuman yang sangat berat dan suatu maksiat yang dibalas dengan
azab yang paling berat. Maka tidak layak baik menurut akal maupun menurut
syara’ mengerjakan jarimah dan maksiat menjadi jalan untuk mencapai
kenikmatan dan memperoleh keuntungan.
Setelah ulama fiqih sepakat antara lain Maliki, Sayafi’I dan Maliki tentang
pembunuhan menjadi sebab penghalang menerima warisan kemudian mereka
berselisih tentang hakikat pembunuhan yang benar-benar menjadikan seseorang
menerima warisan apakah bentuk pembunuhan mutlak atau khusus. Dalam hal ini
terdapat empat pendapat ulama adalah sebagai berikut
1. Mazhab syafi’iyah berpendapat bahwa seluruh bentuk pembunuhan dapat
menghalangi seseorang mendapat harta warisan. Dengan demikian
seorang pembunuh tidak bisa mewaris harta orang yang dibunuhnya, baik
karena sengaja, mirip sengaja, khilaf( baik dengan hak atau tidak) atau
dihukum telah membunuhnya atau tindakan yang menyebabkan
pembunuhan disaksikan oleh orang lain atau tidak ada yang menyaksikan
tindakan tersebut sekalipun pembunuhan itu tidak sengaja, seperti
pelakunya orang yang sedang tidur, orang gila atau anak kecil atau
tindakan tersebut demi kemaslahatan seperti pukulan ayah terhadap
anaknya dalam rangka mendidik.59
2. Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa pembunuhan yang menjadi
penghalang mewarisi adalah pembunuhan yang hukumannya adalah
59
qishash atau kafarah yaitu pembunuhan dengan disengaja, mirip sengaja
dan pembunuhan yang dianggap khilaf misalnya seorang yang sedang
nyenyak tidur diatas tempat tinggi kemudian tempatnya runtuh dan
menjatuhi orang yang dibawahnya, sehingga membawa kepada kematian
kepada orang yang dijatuhinya.60
Adapun pembunuhan yang dianggap tidak menghalangi untuk mendapatkan
warisan menurut kalangan Hanafiyah ada tiga macam 1) pembunuhan tidak
langsung seperti seseorang menggali lubang yang bukan miliknya dan belum
mendapat izin dari pemiliknya dan kemudian salah satu anggota keluarganya
terperosok hingga jatuh dan meninggal.2) pembunuhan karena hak 3)
pembunuhan yang dilakukan oleh anak kecil atau orang yang belum cakap untuk
bertindak hukum.61
3. Mazhab Malikiyah berpendapat bahwa pembunuhan yang menjadi
penghalang untuk menerima warisan adalah pembunuhan sengaja karena
permusuhan, sedangkan yang lainya menurut mereka tidak menghalangi
seseorang mendapat warisan.62
4. Mazhab Hanabilah berpendapat pembunuhan yang menjadi penghalang
menerima warisan adalah pembunuhan yang dilakukan tanpa alasan yang
hak, yakni pembunuhan yang dibebani dengan sanksi qishas, kafarat,
a. Pembunuhan dengan sengaja dan terencana adalah suatu cara
pembunuhan yang dalam pelaksanaannya terdapat unsur kesengajaan
unsur kesengajaan ini eksis dengan adanya tiga hal: pertama sengaja
dalam berbuat, kedua sengaja arah dan sasarannya, ketiga sengaja
dengan menggunakan alat yakni menggunakan alat yang lazimnya
mematikan.
b. Pembunuhan mirip dengan sengaja adalah pembunuhan dengan
sesuatu dengan alat yang tidak lazimnya tidak mematikan.
c. Pembunuhan karena khilaf atau tidak sengaja pembunuhan yang
didalamnya tidak terdapat unsur kesengajaan, baik alat maupun
arahnya seperti menembak burung tetapi mengenai orang dan mati.
d. Pembunuhan yang dianggap khilaf yaitu pembunuhan yang tidak
memiliki unsur kesengajaan berbuat tetapi membawa kematian
terhadap seseorang.
Adapun pembunuhan yang menurut mereka tidak menghalangi menerima
warisan adalah pembunuhan yang tidak dibebani sanksi tersebut diatas seperti
pembunuhan karena melakukan had, qishas(pidana) untuk membela diri, untuk
melawan pemberontak atau untuk berbuat demi kemaslahatan.
Dalam kompilasipun dirumuskan tentang pembunuhan dapat menghalangi
dari mendapat warisan. Kompilasi merumuskannya dalam pasal 173 yang
berbunyi64:
64
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
a. Dipersalah telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganianya
berat pada pewaris.
b. Dipersalah secara memfitnah telah mengadukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan
hukuman 15 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Rumusan tersebut cukup lengkap dan dapat merangkum kategori atau
klasifikasi pembunuhan dalam terminologi figh seperti pembunuhan dengan
sengaja(al-‘amd) daan meyerupai sengaja( syibh al-‘amd) . Adapun poin b
merupakan pembaharuan hukum, yang apabila dilacak dasar-dasarnya karena
memfitnah dalah perbuatan yang resikonya lebih berat dari pembunuhan(QS.
Al-Baqarah 2: 191).65
2) Penghalang-Penghalang Waris yang tidak disepakati/diperselisihkan
a) Riddah
Adapun yang dimaksud dengan ridah adalah keluar dari agama Islam.
Orangnya disebut murtad, baik dalam keadaan dapat membedakan secara sadar
maupun dalam keadaan bercanda. Para ulama figh antara lain Maliki, Syafi’I dan
Hambali sepakat bahwa riddah merupakan salah satu penghalang seseorang
mendapat warisan. Seseorang yang murtad tidak dapat mewarisi harta
peninggalan kerabatnya sesama murtad, orang kafir dan orang muslim. Dengan
demikian tidak ada jalan untuk saling mewarisi dari kerabatnya yang sama-sama
65
murtad karena harta peninggalannya merupakan Fai( harta atau kekayaan negara
yang diperoleh dari non muslim dengan jalan menarik pajak, bea dan mengurus
harta orang murtad).66
Setelah para ulama sepakat bahwa murtad merupakan penghalang menerima
warisan, kemudian mereka berselisih pendapat tentang apakah kemurtadan
menjadi penghalang untuk mewarisi atau diiringi dengan kekafiran yang
sesungguhnya? Dalam hal ini ada dua macam pendapat:
1. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa kemurtadan menjadi penghalang
untuk mewarisi bila diiringi dengan kekufuran. Dengan demikian tidak
ada perbedaan antara kekafiran yang datang secara tiba-tiba dengan
kekafiran yang dilakukan sejak awal. Keduanya tetap menjadi
penghalang. Namun, satu hal yang terpenting makna kekufuran yang
terpenting sebenarnya secara hukum sudah mencakup bentuk-bentuk
kekufuran lainnya.67
2. Kalangan Mazhab Syafiiyyah berpendapat bahwa kemurtadan merupakan
penghalang mewarisi yang independen, tidak bisa digabungkan dengan
persoalan berlainan agama. Sebab, antara dua orang kerabat yang
sama-sama murtad keagama Nasrani tidak bisa saling mewarisi, karena mereka
berdua tidak mengakui agama yang mereka tinggalkan. Dengan demikian,
orang murtad dianggap tidak mempunyai agama dan tidak bisa dimasukan
dalam kategori dalam penghalang menerima warisan.68
66
Komite fakultas Syariah Universitas Al-azhar, Hukum Waris Islam, hal. 60
67
Ibid. hal. 61
68
b) Berlainan Tempat (Negeri)
Yang dimaksud dengan berlainan tempat(negeri) adalah berlainan
pemerintahan yang diikuti oleh waris dan muwaris(orang yang mewarisi).
Umpamanya si pewaris menjadi suatu rakyat negara yang merdeka, sedangkan
ahli waris menjadi rakyat merdeka lainnya. Semua ulama berpendapat
menetapkan, bahwasanya berlainan tempat tidak menjadi penghalang bagi pusaka
antar sesama Islam, karena negeri-negeri Islam, walaupun berbilang-bilang
pemerintahannya dan letaknya jauh serta berbeda pula tata aturan
pemerintahannya namun di pandang sebagai suatu negara dengan ijma segenap
fuqaha Islam. Maka perbedaaan kebangsaan dan berlainan pemerintahan tidak
menjadi penghalang bagi penerimaan pusaka. Karena itu seorang muslim
Indonesia mewarisi harta peninggalan isterinya yang Islam yang berkebangsaaan
Turki umpamanya, sebagaimana orang muslim Indonesia menerima pusaka dari
kerabatnya yang berkebangsaan india.69
Dalam pada itu ahli-ahli mazhab berbeda pendapat tentang perbedaan tempat
antara orang-orang yang bukan Islam. Apakah perbedaaan tempat menjadi
penghalang atau tidak? Menurut mazhab Hanafiyah dan mazhab Syafi’iyah bahwa
berlainan tempat merupakan penghalang pusaka antara orang-orang bukan muslim
dan berlainan negeri terhadap orang-orang yang bukan muslim adalah apabila
tidak ada ishmah antara dua negeri dan masing-masing memandang halal
memerangi yang lain, serta tidak ada pula hubungan persahabatan. Menurut
mazhab Malik, Ahmad dan ahlul dhohir bahwasanya berlainan negeri tidak
69
menjadi penghalang bagi penerimaan pusaka terhadap orang yang bukan muslim.
Mereka berpegang pada nash-nash yang umum dan adapula yang mensyara’tkan
bersatunya negeri antara negeri yang mslim dan yang bukan muslim.70 E. Pembagian Waris Menurut Adat
Sebelum kita membahas tentang pembagian waris dalam masyarakat penulis
perlu mengemukakan tentang sistem pewarisan yang ada dalam adat :
1. Sistem pewarisan Individual
Pewarisan degan sistem individual atau perseorangan adalah sistem
pewarisan dimana setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat
menguasai dan memiliki harta warisan menurut bagian-bagian masing-masing .
Setelah harta warisan diadakan pembagian maka masing-masing ahli waris dapat
mengusai dan memiliki harta warisannya untuk diusahakan, dinikmati ataupun
dialihkan kepada sesama waris, anggota kerabat, atupun orang lain.71
Sistem pewarisan individual ini banyak berlaku dikalangan masyarakat yang
sistem kekerabatanya parental sebagaimana dikalangan masyarakat adat jawa
ataupun kalangan masyarakat adat lainnya seperti masyarakat batak dimana
berlaku adat manjae( jawa, mencar, mentas) juga masyarakat yang kuat
dipengaruhi hukum Islam seperti kalangan masyarakat adat Lampung beradat
peminggir dipantai selatan Lampung.72 2. Sietem pewarisan Kolektif
70
Ibid.
71
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 1990) hal.25
Pewarisan dengan sistem kolektif ialah dimana harta peninggalan diteruskan
dan dialihkan pemiliknya dari pewaris kepada ahli waris sebagai kesatuan yang
tidak dapat terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya, melainkan setiap ahli
waris berhak untuk mengusahakan, menggunakan atau mendapat hasil dari harta
peninggalan itu. Bagaimana cara pemakaian untuk kepentingan dan kebutuhan
masing-masing ahli waris diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat
oleh semua anggota keluarga yang berhak atas harta peninggalan dibawah
bimbingan kepala kerabat.
Sistem kolektif ini terdapat misalnya didaerah Minagkabau. Kadang-kadang
juga ditanah Batak atau Minahasa dalam sifatnya terbatas di Minangkabau sistem
pewarisan kolektif barlaku atas tanah pusaka yang diurus bersama dibawah
pimpinan atau pengurus mamak kepala waris dimana para anggota famili hanya
mempunyai hak pakai( minang = gengam bautuik). Serupa dengan tanah pusalea
Minang ini ialah tanah dati di Ambon yang tidak dapat dibagi-bagi kepada ahli
waris melainkan disediakan para ahli waris untuk dipergunakan terutama para
anggota ahli waris yang telah wafat dibawah pimpinan atau pengurusan kepala
dati.73
3. Sistem Pewarisan Mayorat
Sistem pewarisan mayorat adalah sesungguhnya sistem pewarisan kolektif
hanya penerusan dan pengalihan hak atas harta yang tidak dapat terbagi-bagi itu
dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga
atau kepala keluarga yang menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala
73
keluarga. Anak tertua sebagai kedudukan sebagai penerus tanggung jawab orang
tua yang wafat berkewajiban mengurus dan memelihara saudara-saudaranya yang
lain terutama bertanggung jawab atas harta warisan dan kehidupan adik-adiknya
yang masih kecil sampai mereka berumah tangga dan berdiri sendiri dalam suatu
wadah kekerabatan mereka secara yang turun temurun. Seperti dalam sistem
kolektif setiap anggota ahli waris dari harta bersama mempunyai hak memakai
dan hak menikmati harta bersama itu tanpa hak mengusai dan memiliki secara
perseorangan.74
Sistem mayorat ini ada dua macam dikarenakan perbedaan sistem keturunan
yang dianut yaitu mayorat laki-laki seperti berlaku dilingkungan masyarakat
Lampung, terutama yang beradat pepadun atau juga berlaku sebagaimana di teluk
Yos Soedarso Kabupaten Jayapura Irian Barat dan sistem mayorat perempuan
seperti berlaku dilingkungan masyarakat adat Samendo Sumater Selatan.75 Pembagian waris Adat
Apabila seseorang wafat maka disebagian besar lingkungan masyarakat
Indonesia yang menjadi masalah adalah bagaimana harta warisan akan dibagi
kepada ahli waris. Jika harta warisan itu akan dibagikan kapankah harta waris itu
akan dibagi dan bagimana pembagian itu akan dilaksanakan.
a) Waktu pembagian dan juru bagi
Pada umumnya hukum adat tidak menentukan kapan waktu harta warisan itu
akan dibagi atau kapan sebaiknya diadakan pembagian harta warisan, begitu pula
siapa yang menjadi juru bagi tidak ada ketentuanya. Menurut adat kebiasaan
74
Ibid. hal.29
waktu pembagian setelah wafat pewaris dapat dilaksanakan setelah upacara
sedekah atau selamatan yang disebut waktu nujuh hari, empat puluh hari,atau
nyeratus hari setelah pewaris wafat. Oleh karena pada waktu tersebut para anggota
ahli waris berkumpul.
Selama pembagian warisan itu berjalan dengan baik rukun dan damai diantara
para ahli waris, maka tidak diperlukan adanya campur tangan dari orang luar atau
juru bagi. Campur tangan dan kesaksian dan kesaksian tua-tua adat atau para
pemuka masyarakat diperlukan apabila dalam jalannya musyawarah mufakat
menjadi seret dan tidak lancar.
b) Cara Pembagian
Hukum adat tidak mengenal cara pembagian dengan perhitungan
metematika, tetapi selalu didasarkan pada pertimbangan mengingat wujud benda
dan kebutuhan ahli waris yang bersangkutan. Jadi walaupun hukum adat
mengenal asas kesamaan hak tidak berarti bahwa setiap ahli waris akan mendapat
bagian yang sama76. Diberbagai daerah sebagaimana haknya dikalangan masyarakat adat jawa cara pembagian itu dengan dua kemungkinan77:
1. Dengan cara sepikul segendong yaitu bagian anak laki-laki dua kali lipat
bagian anak perempuan.
2. Dengan cara dum-dum kupat yaitu bagian anak laki-laki dan perempuan
berimbang sama.
76
Ibid.hal.105
77
Dilingkungan masyarakat Daya Kendayan dalam pembagian warisan pada
dasarnya juga sama dengan antara anak kandung dan anak angkat. Tetapi ketika
melakukan pembagian warisan dipersilahkan lebih dahulu kepada anak pangkalan
untuk bagiannya dan setelah itu dipersilahkan kepada anak bungsu dan baru
giliran anak-anak yang lain berdasarkan pertimbangan anak bungsu dan anak
pangkalan. Dilingukngan masyarakat Minahasa dalam pembagian warisan juga
berimbang sama antara ahli waris perempuan dan laki-laki termasuk yang didalam
kandungan jika lahir hidup. Begitu pula perpindahan agama tidak berakibat hilang
atau berkurangnya bagian seorang ahli waris. Tetapi hibah wasiat yang telah
diberikan ketika pewaris masih hidup setelah pewaris wafat dapat ditinjau kembali
atas dasar keadilan jika berlebih dikurangi dan jika berkurang dapat ditambah. 78 Dengan sifat hukum adat, pada umumnya berlandaskan pola berpikir yang
konkret/tidak abstrak, maka persoalaan pembagian harta warisan biasanya
merupakan penyerahan barang warisan tertentu terhadap seorang ahli waris
tertentu, umpamanya sebidang sawah tertentu diserahkan terhadap ahli waris A,
sebidang pekarangan diberikan kepada ahli waris B.79 Pengaruh Pertuanan Desa
Dimana hak ikatan desa masih kuat masih berupa pertuanan dari desa atas
tanah(berchsikkngsrecht van de desa over gond) hampir-hampir tidak dapat
dikatakan ada hak waris dari para ahli waris terhadap tanah itu. Artinya tanah itu,
bila yang menguasainya meninggal, maka pada hakikatnya terserah pada
pemerintahan desa atau pada rapat desa untuk menetapkan siapa yang akan
78
Ibid. hal.108
79