• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRADISI WARIS PADA MASYARAKAT KAMPUNG ARAB A Tradisi Waris

Istilah waris merupakan suatu hal yang tidak asing yang terjadi dalam masyarakat kita. Ketika seorang meninggal dunia dan ia mempunyai ahli waris dan ia pula meninggalkan harta pusaka(tirkah), maka disitulah akan terjadi pembagian waris di lingkungan keluarga yang termasuk dalam ahli waris yang mendapat bagian pasti atau biasa disebut ashabul furudh99.Dalam hukum Islam

juga telah dijelaskan secara rinci tentang bagian-bagian yang akan didapat oleh ahli waris sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surah AN-Nissa ayat 11 dab 12. Nabi juga mempertegas dalam haditsnya tentang bagian-bagian yang belum dijelaskan secara pasti dalam Al-Qur’an.

Pembahasan tentang hukum waris pada dasarnya menyangkut 3 (tiga) hal pokok yaitu apa yang merupakan obyek pewarisan(harta peninggalan), siapa yang atas harta itu(ahli waris), dan bagaimana aturan pembagiannya Oleh karena itu pembahasan harus dimulai dari hukum kekeluargaan dan hukum perkawinan.100 Sistem kekeluargaan yang ada dalam yang ada dalam masyarakat tiap daerah berbeda-beda ada yang dikenal dengan istilah Patrilinial yakni prinsip keturunan yang selalu menghubungkan dirinya hanya pada ayah dan seterusnya seperti yang terjadi pada masyarakat Batak, dalam hal ini penarikan keturunan tersebut mutlak. Dalam sebagian masyarakat patrilinial itu tidaklah mutlak, ada juga orang-orang yang menghubungkan dirinya pada pada ayahnya atau ibunya tergantung dari

99

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia. hal 384

100

Otje Salim, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris ( Bandung: Penerbit Alumni, 1993), hal. 47

perkawinan orang tuanya, sehingga ia bisa saja menghubungkan diri pada ayahnya atau pada ibunya. Sistem seperti ini disebut patrinial beralih-alih yang biasa terjadi pada pada masyarakat Rejah dan Lampung. Pada sistem kekeluargaan yang kedua ada yang disebut Matrilinial adalah suatu bentuk sistem kekeluargaan yang menghubungkan dirinya pada ibunya misalnya yang terjadi pada masyarakat Minangkabau sebagai gambarannya hanya dari garis keturunan perempuanlah yang dimaksukan kedalam klan anggota keluarganya. Pada sistem kekeluargaan yang terakhir yang disebut dengan Bilateral atau perental. Dalam bentuk ini setiap orang bisa saja menghubungkan dirinya pada ayah ataupun ibunya, misal hal ini terjadi pada masyarakat Jawa. Sehingga keturunan itu tidak hanya dari garis laki-laki tetapi juga melalui garis perempuan, juga seterusnya tidak melihat apakah cucu yang lahir dari anak perempuan atau lahir dari keturunan laki-laki. Ketiga sistem keluarga tersebut yang nantinya akan menentukan dalam sistem kewarisan. Hukum kekeluargaan nantinya akan menjadi titik tolak bagi susunan ahli waris, siapa saja yang berhak dan siapa saja yang tidak berhak akan ditentukan oleh sistem kekeluargaan101.

Dalam hubungan dengan kewarisan, uraian diatas diperjelas lagi dalam sistem patrilineal pada prinsipnya hanya anak laki-laki yang mewarisi, sedang dalam sistem matrilineal pada prinsipnya hanya anak perempuan saja yang mewarisi. Adapun dalam sistem bilateral maka semua anak, baik laki maupun perempuan, menjadi ahli waris bagi orang tuanya.102

101

Hazairin, Hukum Kewarisan Menurut Qur’an dan Hadits ( Jakarta: Tintmas Indonesia, 1982), hal 11

102

Dari pemaparan diatas jelas wilayah Tegal yang menjadi tempat penelitian penulis termasuk wilayah Jawa yang termasuk ke dalam sistem kekeluargaan Bilateral yakni bisa menghubungkan dirinya baik pada ayah maupun pada garis keturunan ibu. Satu hal yang menarik dalam penelitian ini adalah pengaruh adat jawa dalam hal pembagian waris kepada mereka keturuan Arab yang telah berdomisi lama di daerah Tegal ini.103

Di Tegal ada dua wilayah yang kebanyakan para penduduknya adalah mereka dari keturunan Arab yang telah mempunyai anak cucu cicit yang kemudian disebut Kampung arab yakni pada wilayah Kec. Slawi dan Balapulang. Mereka telah menetap lama di daerah tersebut hingga sudah mempunyai keturunan yang tidak sedikit. 104

Tradisi waris yang terjadi pada masyarakat kampung Arab Tegal terjadi ketika salah satu anggota keluarga mereka meninggal dan meninggalkan harta peninggalan atau yang disebut dengan Tirkah dengan Musyawarah keluarga yang biasanya dipimpin oleh anak yang paling tua. Maka disinilah akan ditentukan dengan cara bagaimana harta peninggalan akan dibagikan. Apakah dengan dengan diselesaikan dengan cara Agama atau dengan cara Dirgama105.Penyelesaian

dengan cara Agama yakni dengan cara memangil seseorang yang dianggap mengetahui betul mengenai bagian-bagian waris yang disebut Kyai atau Ustad106. Hal ini ditujukan untuk mendapatkan bagian yang pasti mengenai waris sesuai

103 Ibid. 104

Sumber Badan Pusat Statistik Kab. Tegal

105

Sebuah istilah yang digunakan masyarakat Arab Tegal, cara pembagian warisan tidak menggunakan cara fararid yakni dengan cara berdamai diantara anggota keluarga ahli waris. Wawancara pribadi dengan Hb. Usman, Tegal, 13 maret 2008

106

dengan ketentuan Agama. Karena masalah waris menurut mereka adalah sesuatu yang sangat urgen yang mana jika dalam hal pembagian ada yang merasa kurang adil dikhawatirkan akan menimbulkan pertentangan diantara para ahli waris. Manusia diciptakan dengan mempunyai hawa nafsu untuk mendapatkan harta yang sebanyak-banyaknya. Banyak kasus yang terjadi dalam masyarakat perebutan harta waris yang berujung pada pembunuhan terhadap keluarga saudara sendiri karena ingin mengusai semua harta yang ditingglkan oleh si pewaris. Untuk menghindari hal yang demikian maka aturan hukum Islam hadir dengan konsep keadilan yang dibawa. Yakni dengan bagian dua dibanding Satu. Yakni satu bagian untuk laki-laki dan setengah bagian untuk perempuan, dalam masyarakat jawa juga dikenal dengan istilah “sepikul segendong”.107 Dalam Al- Qur’an sudah sangat jelas tentang bagian dari laki-laki dan perempuan sebagaimana tercantum dalam ayat Al-Qur’an surah An-Nissa ayat 11:

“Bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan”

Dengan adanya penjelasan ayat tersebut telah jelas bahwa Islam menginginkan akan keadilan dalam pembagian warisan. Menurut tafsiran Departemen Agama, hikmah yang diberikan kepada anak laki-laki dua bagian kepada anak perempuan satu bagian, adalah karena laki-laki memerlukan harta untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan kebutuhan menafkahi isteri serta anaknya, sedangkan perempuan hanya memerlukan biaya untuk dirinya sendiri dan bila ia

107

Sebuah istilah dalam bahasa jawa yang berarti laki-laki mendapat 2 bagian sedangkan perempuannya satu bagian hal ini berarti sesuai dengan prinsip kewarisan dalam Al-Quran dalam surat An-Nissa ayat 11 tentang bagian anak laki-laki dan perempuan yakni 2:1

menikah, segala keperluannya ditanggung oleh suaminya108. Karena itu wajar bila perempuan mendapat satu bagian saja. Menurut Hamka hal ini menunjukan bahwa laki-laki (sebagai suami) tidak boleh lepas tanggung jawab terhadap kaum perempuan(sebagai isterinya).109

Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa hikmah pembagian tersebut perbandingan 2:1 bagi laki-laki dan perempuan) karena akal perempuan itu kurang dan hanya separuh dari akal laki-laki. Demikian juga nafsu perempuan lebih keras dari pada laki-laki sehingga perempuan diberi warisan yang banyak, hanya akan dipergunakan untuk membeli perhiasan untuk bersolek dan bergaya. Pendapat tersebut ditolak oleh Hamka dengan mengatakan bahwa akal yang dimiliki perempuan sama dengan akal yang dimiliki oleh laki-laki, kedua duanya sama-sama kurang. Baru akan cukup bila kedua akal( pada perempuan dan laki- laki) digabungkan. Pengalaman didalam rumah tangga yang bahagia akan membuktikan hal itu, beliau memberi contoh bahwa seringkali tidak dapat mengambil keputusan yang tepat sebelum mendapat petunjuk dari isterinya. Sebaliknya, isteripun sering salah dalam mengambil keputusan karena tidak bermusyawarah dengan suaminya. 110

Perdebatan tentang tentang penyamarataan bagian antara laki-laki dan perempuan telah lama ada dan menjadi polemik hingga saat ini yang terus bergulir. Mengutip gagasan Munawir Sjazali yang menyamakan bagian antara laki-laki dan perempuan mengundang reaksi dari berbagai pihak. Secara ringkas

108

Zaitunah subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan ( Jakarta: Elkahfi, 2008) hal. 257

109

Ibid.

110

alasan beliau adalah dahulu sebelum Islam datang perempuan sama sekali tidak mendapatkan bagian warisan, setelah Islam datang wanita diberi bagian setengah dari bagian warisan dari laki-laki. Ini berarti secara sadar Islam hendak mengangkat hak dan derajat perempuan. Kenapa tidak diberikan hak yang sama dengan laki, tetapi sering kita ketahui ajaran Islam diberlakukan secara bertahap seperti halnya dalam pengharaman khamr bagitu juga dalam hal pembagian waris. Karena itu dapat dipahami jiwa dari ayat waris itu adalah usaha dalam peningkatan hak dan derajat wanita tak boleh terhenti. Sehingga pada zaman moderen sekarang telah memberikan kewajiban terhadap perempuan dibanding dengan masa lalu sehingga pada saat ini perempuan mempunyai peran yang sama dengan laki-laki dalam masyarakat. Maka logis bila hak-haknya dalam waris juga ditingkatkan sama dengan laki-laki. 111

Sebenarnya argumen Pak Munawir bisa diperkuat dengan pemahaman sruktur sosial. Dalam masyarakat Arab yang menganut sistem patrilinial, maka aturan memberikan bagian yang lebih kepada laki-laki memang sesuai dan berfungsi positif untuk melestarikan kekerabatan itu. Tetapi masyarakat dunia Islam tidak selamanya harus berstruktur kekerabatan pratrilinial. Seperti halnya pada masyarakat Sumatera Barat barangkali, sistem kekerabatan yang berlaku dan dominan adalah matrilinial. Sebagai akibatnya banyak akibatnya banyak hak dan tanggung jawab juga berada ditangan perempuan. Dalam masyarakat moderen yang cenderung memberikan kesempatan yang sama kepada laki-lai dan

111

Munawir Sjadali, Kontektualisasi Ajaran Islam ( Jakarta: IPHI dan yayasan wakaf Paramadina, 1995) hal. 312

perempuan(sebut saja:bilateral) maka wajar bila aspirasinya mengenai hak dan kewajiban juga seimbang, termasuk dalam hak dalam warisan.112

Dalam kompilasi hukum Islam(KHI) pasal 176 disebutkan bahwa anak perempuan menjadi ahli waris bersama anak laki-laki; maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan perempuan. Dalam pasal 183 disebutkan bahwa para ahli waris dapat bersepakat untuk melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya. Gagasan diktum itu ialah bahwa sesuai dengan ajaran Al-Qur’an maka bagian anak laki- laki itu adalah dua kali lipat bagian anak perempuan, tetapi dengan memperhatikan tradisi dan budaya masyarakat Indonesia, dimugkinkan untuk memberikan bagian yang sama kepada ahli waris laki-laki dan perempuan asalkan para ahli waris sepakat.113

Pada tahap yang kedua sebagai salah alternatif dalam pembagian waris yakni dengan Dirgama yaitu pembagian waris dengan pembagian pasti dalam pembagiannya yakni dengan ketentuan faraid, karena keinginan pihak tertentu dalam keadaan tertentu pula dengan menggunakan cara lain. Memang tidak ada dalil yang menjadi petunjuk untuk pengecualiannya. Meskipun demikian tuntutan keadilan dan kerelaan pihak-pihak tertentu akan dapat menyelesaikan persoalan. Penyelesaian pembagian warisan dilakukan setelah selesai pembagian harta warisan artinya setelah pembagian masing-masing ditentukan dan masing-masing pihak telah menerima bagian atau haknya, maka keseluruhan harta digabung lagi, kemudian diadakan pembagian menurut kesepakatan bersama .Dengan cara begini

112

Ibid.

113

setiap pihak menerima bagian sesuai dengan kebutuhannya, sedangkan hukum formal telah dilakukan. Cara tersebut secara materi menyimpang dari pembagian yang telah ditentukan oleh Syara’, namun secara formal hukum Faraid telah selesai dilakukan sehingga telah memenuhi tuntutan syara’. Cara seperti ini dapat diterima karena lebih luwes sifatnya dan dapat memberikan tempat pada tuntutan hukum adat. Dengan demikian secara praktik orang Minangkabau dapat menyerahkan semua harta warisan kepada anak perempuannya.Begitu pula yang menganut adat Patrilinial dapat menyerahkan semua harta warisan kepada anak laki-laki tertua dengan kesepakatan bersama dengan syarat-syarat yang disetujui bersama114

Dari segi perbuatan tolong menolong yaitu saudara laki-laki menolong saudara perempuannya dengan menyerahkan semua harta warisan yang diterimanya kepada saudara perempuanya adalah suatu perbuatan terpuji yang dituntut oleh Agama. Pembagian semacam ini dapat dilakukan dalam keadaan tertentu artinya apabila dalam kenyataan ahli waris yang menerima bagian yang lebih besar secara ekonomi berkecukupan sedangkan ahli waris yang menerima bagian lebih sedikit secara ekonomi kekurangan. Maka pembagian waris dapat dilakukan dengan cara perdamaian.

B. Prosedur Pembagian waris

Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa harta warisan ialah harta peninggalan yang telah bebas dari hak orang lain didalamnya sehingga ia menjadi hak penuh bagi pemilik harta. Untuk menjadikan harta peninggalan itu

114

menjadi hak penuh yang dapat dijadikan sebagai harta warisan, maka ada beberapa tindakan yang harus dilakukan terlebih dahulu, sehingga harta yang ditinggalkan pewaris secara hukum berhak beralih pada pewarisnya.

Berdasarkan pada pendapat yang mengatakan yakni golongan Hanafi bahwa harta warisan adalah apa-apa yang ditinggalkan oleh seseorang saat matinya, merekapun berpendapat ada beberapa kewajiban yang harus dilakukan terhadap harta warisan sebelum dibagikan kepada ahli warisnya.115

Walaupun golongan Hanafi dan Jumhur berbeda dalam merumuskan arti harta warisan, namun keduanya sepakat tentang tindakan yang harus dilakukan ahli waris sebelum harta itu dibagikan kepada ahli waris, supaya ahli waris tidak memakan hak orang lain secara tidak sah. Secara nyata Allah SWT meyebutkan tindakan tersebut dalam surah an-Nisa (4) ayat 11 dan 12. dalam kedua ayat tersebut Allah menyatakan bahwa harta warisan menurut bagian yang ditentukan dilakukan “sesudah diberikan wasiat yang diwasiatkan dan sesudah dibayarkan hutang yang dibuat oleh pewaris” . ketentuan ini dalam ayat 11 disebutkan satu kali dan dalam ayat 12 disebutkan sebanyak 3 kali.116

Didalam Al-Qur’an hanya dua kewajiban yang disebutkan secara berurutan sebagai persyaratan pembagian warisan untuk ahli waris yaitu wasiat dan hutang. Sekalipun dalam Al-Qur’an Allah menyebutkan wasiat terlebih dahulu dari hutang, namun tidaklah berarti bahwa dalam pelaksanaan wasiat harus mendahului pembayaran hutang. Yang dikehendaki Allah dalam ayat ini ialah

115 Ibid.

116

wasiat dan hutang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum pembagian warisan.

1. Urut Tindakan Mendahului Pembagian Harta Warisan a. Biaya Pengurusan Jenazah

Walaupun dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan sama sekali tentang ongkos pengurusan jenazah, namun hasil ijtihad dari jumhur ulama menetapkan biaya pengurusan jenazah merupakan tindakan pertama yang harus dilakukan. Pandangan berbeda dalam hal ini dikemukakan oleh golongan Zhahiri yang berbeda pendapat bahwa pembayaran hutang harus lebih didahulukan daripada biaya pengurusan jenazah. Dasar pemikiran mereka adalah bahwa zahir Al-Qur’an menghendaki hutang terlebih dahulu diselesaikan. Atas dasar pendapat ini, mereka menyatakan bila hutang membuat habis harta yang ditinggalkan, maka biaya pengurusan jenazah dibebankan kepada pelayat yang hadir termasuk orang yang berpiutang. 117

Tentang berapa jumlah biaya pengurusan jenazah yang harus dibebankan kepada harta yang ditinggalkan, tidak ada satu petunjuk yang pasti dari Al-Qur’an maupun hadist Nabi. Sungguhpun demikian prinsip hidup sederhana dan tidak mubazir dalam Islam dapat dijadikan dasar dalam pembiayaan jenazah. Ketentuan tentang hidup sederhana dan tidak berlebihan dapat dipahami dari keumuman firman Allah dalam surat Al-An’am ayat 141.118

Apabila keluarga si mayit juga tidak mampu, maka biaya pengurusan jenazah diambilkan dari Baitul Mal atau dalam bahasa Kompilasi disebut Balai

117

Ibid. hal.279

118 Ibid.

Harta Keagamaan. Dalam konteks Indonesia definisi Balai Harta Keagamaan memang belum jelas benar, apakah seperti dana sosial yang dibentuk pada setiap RT,RW atau kelurahan atau dalam bentuk lembaga formal oleh pemerintah. Boleh jadi keberadaan harta keagamaan tersebut tidak atau belum banyak diperlukan, maka pendefinisianya tentu tidak mendesak.Termasuk kepada biaya pengurusan jenazah yang dikeluarkan dari jumlah harta yang ditinggalkan itu adalah biaya pengurusan seseorang yang wajib dipikul oleh pewaris yang lebih dahulu meninggal dan belum diselesaikan jenazahnya. Pendapat ini di berlaku dikalangan jumhur ulama. Pemikiran yang menetapkan pembayaran biaya jenazah orang yang berada dibawah tanggung jawab pewaris itu didasarkan pada pertimbangan bahwa sewaktu masih hidup orang itu menjadi tanggungannya, demikian pula menjadi tanggungannya setelah matinya.119

b. Pemisahan harta

Sebelum harta peninggalan dibagi-bagikan kepada ahli waris, hukum adat meneliti lebi dahulu macam dan asal harta peninggalan itu apakah harta masing- masing pihak yang terpisah satu sama lain atau harta campur kaya suami isrti.120

I. Harta masing-masing dari suami isteri itu dapat diperoleh dengan dua cara: Dpperoleh secara warisan dari hali waris masing-masing.

Diperoleh dari hibah atau usaha sendiri.

119

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, hal 389

120

Harta kekayaan sendirin yang diperoleh secara pusaka mempunyai nama sendiri-sendiri. Misalnya dijawa disebut gono atau gawaan, sedangkan di Sumatera disebut pusaka. 121

II. Harta campur kaya yang di Jawa Timur disebut gono- gini di Jawa Barat disebut gina-kaya(campur kaya). Di Minangkabau disebut harta suarang, di Banda Aceh disebut Hareuta seuhareukat adalah harta milik bersama dari dua orang suami isteri.122

Harta gono gini adalah harta kekayaan yang diperoleh oleh suami isteri selama berlangsungnya perkawinan diantara keduanya untuk kepentingan hidup berumah tangga. Harta milik bersama itu apabila salah seorang pemiliknya meninggal sebelum diwariskan terlebih dahulu dibagikan menurut ketentuan adat istiadat setempat atau disesuaikan dengan besar kecilnya sumbangan orang yang meninggala terhadap terjadinya harta bersama tersebut. Apabila sama basar maka dibagi dengan perbandingan 1:1, apbila tidak sama besar mungkin suami lebih besar ataupun isteri lebih besar maka maka perbandingannya adalah 2:1. dari harta peninggalan itu suami isteri masih berhak sebagai ahli waris dzawil furudh.123

c. Pembayaran Hutang pewaris

Hutang dari seseorang yang telah meninggal dunia tidak menjadi beban ahli waris, karena hutang dalam pandangan Islam tidak diwarisi. Hutang tetap menjadi tanggung jawab yang meninggal yang dibebankan kepada harta yang ditinggalkannya. Kewajiban ahli waris atau orang yang ditinggal hanya menolong 121 Ibid. 122 Ibid. 123

Saefudin Arier, Hukum waris Islam dan Praktek Pembagian Harta Peninggalan, hal. 41

membayarkan hutang tersebut dari harta yang ditinggalkannya itu. Tidak dibebankanya hutang kepada ahli waris dapat dipahami dari firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-An’am ayat164, al Isra ayat 15, al fahtir ayat 18 menjelaskan bahwa beban sesorang tidaklah dipikul dipundak orang lain.124

Karena hutang pewaris dibebankan kepada harta yang ditinggalkan, untuk tidak membebani yang meninggal itu dengan hutangnya, maka tindakan pembayaran hutang harus dilaksanakan sebelum pembagian waris. Oleh karena itu Allah berkali-kali menekankan pembayaran hutang itu sebelum pembagian waris. Hutang orang yang meninggal itu secara garis besar dikelompokan menjadi dua kelompok:125

1. Hutang kepada Allah yaitu kewajiban-kewajiban agama dalam bentuk materi yang telah wajib dilaksanakan selagi hidup tetapi belum dilakukan sebelum ia meninggal seperti zakat, kafarat dan nadzar yang belum dilaksanakan.

2. Hutang kepada sesama manusia yaitu hutang yang dibuat oleh orang ia meninggal atau hak orang lain yang berada ditanganya,barang orang lain yang belum diserahkan sebelum ia meninggal.

Adapun hutang kepada Allah menurut Jumhur termasuk golongan Az Zhahiri harus didahulukan atas hutang yang lain. Dasar pendapat ini adalah hadist dari Ibni Abbas menurut riwayat Bukhari dan Muslim yang mengatakan bahwa hutang kepada Allah lebih utama untuk dibayarkan. Ulama Hanafi berbeda pendapat mengenai hal ini bahwa hutang kepada Allah tidak wajib dibayarkan

124

Amir Syarfifudin, Hukum Kewarisan Islam, hal. 280

125

kecuali bila ada wasiat dari pewaris yang dibuatnya sebelum meninggal alasan kelompok ini adalah segala sangkut paut dengan kewajiban terhadap Allah akan berakhir dengan kematian, karena dengan kematian gugurlah segala bentuk kewajiban kepada Allah.126

Bila hutang cukup besar sehingga menghabiskan semua harta peninggalan, maka semua harta dikeluarkan untuk melunasinya. Bila harta peninggalan tidak cukup untuk membayar hutang, maka sekadar peninggalan yang dibagikan kepada yang pemberi hutang sesuai kadarnya tanpa memberatkan kekurangan itu pada pewarisnya. Bila diperhatikan dari hadits Abu Hurairah menurut riwayat Bukhari dan Muslim bahwa beliau akan menanggung hutang orang yang tidak sanggup membayarnya, maka dapat dipahami kekurangan harta pembayar hutang akan dibebankan kepada Baitul mal. Ini ajaran yang paling baik yang diberikan Nabi untuk tidak merugikan para pemberi hutang dan juga tidak memberatkan kepada ahli waris; sedangkan yang meninggal telah terbebas dari tanggung jawab hutangnya.127

Pada data yang penulis temukan dilapangan pewaris pada keluarga yang ada meninggalkan hutang, adapun biaya perawatan serta pengurusan jenazah dibebankan pada harta peninggalan dari pewaris hal ini didasarkan pada kesepakatan bersama para ahli waris.128 Jadi tidak ada masalah yang berarti dalam hal biaya pengurusan jenazah karena dalam hal ini semua keluarga yang

126 Ibid.hal 282 127 Ibid. 128

ada dikampung Arab Tegal mengambilnya dari harta peninggalan si mayit atau si

Dokumen terkait