DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan Skripsi... i
Lembar Pengesahan Ujian Komprehensif... ii
Lembar Pengesahan Ujian Skripsi... iii
Daftar Riwayat Hidup... iv
Abstract... v
Abstrak... vi
Kata Pengantar... vii
Daftar Isi………. ... ix
Daftar Tabel... xii
Daftar Gambar... xiii
Daftar Lampiran... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian... 1
B. Perumusan Masalah... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 7
1. Tujuan Penelitian ... 7
2. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Phobia... 10
B. Anxiety... 13
C. Computer Anxiety... 14
D. Keahlian Komputer Audit... 19
1. Computer Self Efficacy ... 19
E. Gender ….. ... 24
F. Keterkaitan Antar Variabel... 28
G. Kerangka Pemikiran... 32
H. Hipotesis... 33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian... 34
B. Metode Penentuan Sampel ... 34
C. Metode Pengumpulan Data... 35
1. Data Primer (Primary data)... 35
2. Data Sekunder (Secondary data)... 36
D. Metode Analisis Data... 36
1. Uji Kualitas Data ... 36
a. Uji Validitas ... 36
b. Uji Reabilitas... 37
2. Uji Asumsi Klasik ... 37
a. Uji Multikolinieritas ... 37
b. Uji Heteroskedastisitas... 37
c. Uji Normalitas... 38
3. Uji Hipotesis ... 38
a. Uji Koefisien Determinasi... 39
b. Uji Signifikansi Simultan (uji statistik F) ... 40
c. Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik t)... 40
E. Operasional Variabel Penelitian... 41
1. Variabel Independen (computer anxiety) ... 41
2. Variabel Dependen (keahlian komputer audit) ... 41
3. Variabel Moderating (gender) ... 42
BAB 1V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian... 44
1. Tempat dan Waktu penelitian... 44
2. Karakteritik Responden ... 45
B. Analisis Deskriptis Kualitatif... 48
1. Uji Validitas... 48
2. Uji reliabilitas ... 50
C. Analisis dan Pembahasan... 52
1. Uji Asumsi Klasik. ... 52
a. Uji Multikolinieritas ... 52
b. Uji Heteroskedastisitas... 52
c. Uji Normalitas. ... 53
2. Uji Hipotesis ... 54
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 60
B. Keterbatasan... 61
C. Saran... 61
D. Implikasi... 62
Daftar Pustaka... 63
Daftar Tabel
No. Tabel Keterangan Halaman
3.1 Definisi Operasional Variabel... 42
4.1 Tingkat pengembalian Kuesioner ... 44
4.2 Deskripsi Statistik Demografi Responden Berdasarkan Pendidikan dan Jenis Kelamin ... 45
4.3 Deskripsi Statistik Demografi Responden Berdasarkan Jabatan... 46
4.4 Deskripsi Statistik Demografi Responden Berdasarkan Lama Bekerja dan Jenis Kelamin... 46
4.5 Hasil Uji Validitas Variabel Computer Anxiety ... 47
4.6 Hasil Uji Validitas Variabel Keahlian Komputer Audit ... 48
4.7 Hasil Uji Reliabilitas Variabel Computer Anxiety ... 50
4.8 Hasil Uji Reliabilitas Variabel Keahlian Komputer Audit 50
4.9 Hasil Uji Multikolinieritas ... 51
4.10 Hasil Uji Koefisien Determinasi ... 54
4.11 Hasil Uji F ... 54
4.12 Hasil Uji t ... 55
Daftar Gambar
No. Gambar Keterangan Halaman
2.1 Model Penelitian ... 32
4.1 Hasil Uji Heterokedastisitas... 52
4.2 Hasil Uji Normalitas ... 53
xiv
Daftar Lampiran
No Lampiran Keterangan Halaman
1 Lembar Kuesioner... 65
2 Daftar Jawaban Responden ... 72
3 Daftar Data Responden ... 81
4 Hasil Uji Reliabilitas ... 85
5 Hasil Uji Validitas... 89
6 Hasil Uji Asumsi Klasik ... 98
7 Hasil Uji Hipotesis ... 103
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Perkembangan sistem informasi berbasis komputer mengalami
perubahan yang signifikan dalam beberapa tahun belakangan ini dengan
tingkat pertumbuhan penggunaan komputer dalam perusahaan berkisar antara
50 % sampai dengan 90 % per tahun. Kondisi tersebut secara langsung
memberi dampak pada pola kerja sistem informasi akuntansi dan selanjutnya
menuntut adanya perubahan pada prosedur dan tehnik yang digunakan
seorang auditor dalam melakukan tugas audit (atestasi). Dampak perubahan
tehnologi informasi bagi seorang Auditor adalah harus memahami akses rutin
ke dalam sistem, sistem otorisasi dan organisasi dan memahami bagaimana
sistem bekerja melakukan perhitungan (computation). Selain itu
diperlukannya pemahan sistem secara umum mengenai jaringan
(networking), database management, paket software, operational system serta
seleksi pemakaian hardware. Oleh karena itulah computer merupakan bagian
yang tak terpisahkan bagi auditor dalam proses pemeriksaan keuangan dan
merupakan hal yang sangat penting bagi auditor untuk memiliki keahlian
computer audit.
Kemajuan teknologi informasi telah mengubah cara perusahaan dalam
mengumpulkan data, memproses dan melaporkan informasi keuangan. Oleh
karena itu auditor akan banyak menemukan lingkungan dimana data
Auditor harus menentukan bagaimana perusahaan menggunakan sistem
teknologi informasi untuk mencatat, memproses dan melaporkan transaksi
dalam laporan keuangan. Dimana saat ini banyak perusahaan yang
menggunakan software akuntansi keuangan seperti accurate, zahir, myob, dan
banyak software akuntansi keuangan lainnya. Sebenarnya tidak ada
perbedaan konsep audit yang berlaku untuk sistem yang kompleks dan sistem
manual, yang berbeda hanyalah metode-metode spesifik yang cocok dengan
situasi sistem informasi akuntansi yang ada. Pemahaman ini diperlukan
dalam rangka mendapatkan pemahaman internal kontrol yang baik agar dapat
merencanakan audit dan menentukan sifat, timing dan perluasan pengujian
yang akan dilakukan. Istilah teknologi informasi yang sekarang lazim
digunakan banyak orang, sebenarnya merupakan perpaduan antara teknologi
komputer, komunikasi dan otomasi kantor yang telah bercampur menjadi satu
sehingga sulit untuk memisahkannya (Indriantoro, 1995).
Mengikuti perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat dimana
kurang lebih tiap delapan belas bulan sudah ada perbaikan dalam sistem
teknologi informasi, tampaknya mengubah cara orang bekerja baik sebagai
akuntan maupun auditor. Misalnya sebagai manager akuntan saat ini dengan
teknologi internet, orang sudah mampu melakukan transaksi dan melihat
hasil laporan informasi keuangan melalui internet. Contoh lain, seorang
auditor baik internal maupun eksternal, saat ini dapat melakukan akses
laporan informasi di internet layaknya membuka e-mail maupun web site
lainnya, kemudian dari informasi yang tampak di web tersebut mampu
melakukan analisis dan drill-down tracing sampai ke jurnal dasar dan
bahkan mampu melihat dokumen pendukung yang terlampir, dan masih
banyak lagi fasilitas lain yang dapat diperoleh dari perkembangan teknologi
ini (Ekadjaya, 2001).
Penerapan teknologi juga menimbulkan sejumlah problematik yang
berasal dari berbagai faktor, antara lain: ekonomi, teknologi, konsep sistem
dan aspek perilaku. Dari berbagai faktor penyebab problematik dalam
pengembangan teknologi komputer, aspek perilaku merupakan faktor yang
dominan Igbaria (1984) dalam Sudaryono (2005). Ketiga komponen sikap:
kognisi, afeksi, dan keinginan, pada dasarnya saling terkait antara satu
dengan yang lain. Keinginan seseorang dipengaruhi oleh keyakinan akan
konsekuensi masa yang akan datang, sehingga menimbulkan afeksi seseorang
yang dinyatakan dengan sikap suka atau tidak suka terhadap teknologi
komputer. Ketidaksukaan seseorang terhadap komputer dapat disebabkan
oleh ketakutan terhadap pengguna teknologi komputer atau disebut juga
computer anxiety Igbaria dan Pasuraman (1989) dalam Sudaryono (2005) .
Berdasarkan literatur cognitive psychology dan literatur marketing
dinyatakan bahwa gender sebagai faktor level individual dapat berpengaruh
terhadap kinerja yang memerlukan judgment dalam berbagai kompleksitas
tugas. Dalam literatur tersebut Chung dan Monroe (2001) dalam Zulaikha
(2006) menyatakan bahwa perempuan dapat lebih efisien dan efektif dalam
memproses informasi dalam tugas yang kompleks dibanding laki-laki
dikarenakan perempuan lebih memiliki kemampuan untuk membedakan dan
mengintegrasikan kunci keputusan. Masih dalam literatur tersebut juga
dinyatakan bukti bahwa laki-laki relatif kurang mendalam dalam
menganalisis inti dari suatu keputusan, namun pengaruh gender terhadap
pemrosesan informasi dan judgment belum banyak teruji dalam konteks
penugasan audit atau penugasan sebagai auditor.
Dalam penugasan tersebut, variasi kompleksitas audit dapat terjadi
dalam berbagai akun, jumlah atau besarnya saldo akun. Meyers-Levy (1986)
dalam Zulaikha (2006) mengembangkan sebuah theoritical framework untuk
menjelaskan pemrosesan informasi oleh laki-laki dan perempuan. Kerangka
teoritis ini kemudian digunakan untuk beberapa kajian misalnya dalam
auditing. O’Donel dan Johnson (1999) dalam Zulaikha (2006) melakukan
studi apakah ada perbedaan usaha pemrosesan informasi dalam suatu
perencanaan prosedur analitis pada sebuah penugasan audit dapat dikaitkan
dengan isu gender. Mereka menemukan bukti empiris bahwa ada ketidak
konsistenan hasil adanya pengaruh gender pada proses perencanaan prosedur
analitis. Perempuan lebih memberikan usaha pemrosesan lebih intens dari
pada laki-laki dalam hal laporan keuangan yang konsisten dengan informasi
tentang bisnis klien. Namun ketika terjadi perubahan fluktuasi kompleksitas
tugas dalam kasus eksperimen, maka terjadi sebaliknya dimana perempuan
menjadi kurang usahanya dalam pemrosesan informasi. Hasil ini juga tidak
konsisten dengan Chung dan Monroe (2001) dalam Zulaikha (2006).
Penelitian-penelitian diatas dilakukan di luar negeri, dimana dalam penelitian
tidak dijelaskan bagaimana peran perempuan yang dibentuk oleh budaya atau
lingkungan masyarakat di negara yang bersangkutan.
Di Indonesia Menteri Pemberdayaan Perempuan merumuskan lima
peran wanita: sebagai isteri yang membantu suami, sebagai ibu yang
mengasuh anak dan mendidik mereka, sebagai manajer di dalam mengelola
rumah tangga, sebagai pekerja di berbagai sektor, dan sebagai anggota
organisasi masyarakat. Secara implisit perempuan mempunyai peran ganda
bila mempunyai peran publik, yaitu yang dibentuk oleh sistem nilai
masyarakat Indonesia pada peran domestik (rumah tangga) dan peran publik
itu sendiri.
Dengan adanya peran ganda tersebut maka muncul suatu pertanyaan
apakah penelitian oleh Chung dan Monroe (2001) dalam Zulaikha (2006),
diatas relevan di Indonesia, karena di Indonesia, lingkungan masyarakatnya
lebih menempatkan perempuan cenderung kepada peran domestik
Berninghausen dan Kerstan (1992) dalam Zulaikha (2006). Dengan demikian
muncul sebuah pemikiran bahwa hasil penelitian (Chung dan Monroe 2001;
Meyers-Levy 1986; O’Donel dan Johnson 1999) dalam Zulaikha (2006)
diatas akan tidak konsisten apabila diterapkan di Indonesia, karena tuntutan
sistem nilai masyarakat yang menempatkan peran ganda perempuan. Dengan
adanya peran ganda tersebut, yang lebih menempatkan perempuan pada
peran domestik, maka secara logika juga dapat mempengaruhi kemampuan
perempuan dalam menyelesaikan suatu tugas yang mengandung kompleksitas
misalnya dalam menentukan judgment pada sebuah penugasan audit,
disamping juga dipengaruhi oleh pengalaman auditor itu sendiri. Penelitian
ini selanjutnya menitikberatkan pada aspek computeranxiety sebagai refleksi
sikap seseorang terhadap teknologi komputer yang dilihat dari perspektif
gender.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rustiana (2004) yaitu
computer self efficacy mahasiswa akuntansi dalam penggunaan teknologi
informasi: tinjauan perspektif gender. Perbedaan dengan penelitian terdahulu
terletak pada tahun penelitian, pada penelitian terdahulu dilakukan pada
tahun 2004 sedangkan penelitian ini dilakukan pada tahun 2009. Responden
penelitian sebelumnya adalah mahasiswa akuntansi yang sedang mengambil
mata kuliah Sistem Informasi Manajemen, sedangkan penelitian ini
mengambil responden auditor yang bekerja di kantor akuntan publik di
wilayah DKI Jakarta. Perbedaan lainnya bahwa penelitian terdahulu
bertujuan untuk mencari bukti empiris perbedaan computer self efficacy
mahasiswa akuntansi dalam penggunaan teknologi informasi berdasarkan
gender, sedangkan pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa
besar pengaruh computer anxiety terhadap keahlian komputer audit dengan
perspektif gender sebagai variabel moderating. Namun pengaruh yang
dimaksud belum diketahui secara pasti, untuk itu penulis mencoba
menulisnya dalam skripsi yang berjudul “Pengaruh Computer Anxiety
Terhadap Keahlian Komputer Audit Dengan Perspektif Gender Sebagai Variabel Moderating (studi empiris pada Akuntan Publik di DKI Jakarta)”.
B. Perumusan Masalah
Masalah yang diteliti selanjutnya dapat dirumuskan yaitu:
1. Apakah faktor computer anxiety mempunyai pengaruh terhadap keahlian
komputer audit?
2. Apakah faktor gender mempunyai pengaruh terhadap keahlian komputer
audit?
3. Apakah faktor gender memoderasi hubungan computer anxiety dengan
keahlian komputer audit?
C. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menguji bukti empiris tentang:
a. Pengaruh faktor computer anxiety terhadap keahlian komputer audit.
b. Pengaruh faktor gender terhadap keahlian komputer audit.
c. Pengaruh faktor gender dalam hubungan moderasi computer anxiety
dengan keahlian komputer audit.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi semua pihak,
diantaranya:
a. Kantor Akuntan Publik
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
pengambilan keputusan mengenai sumber daya manusia (rencana
pelaksanaan pelatihan komputer).
b. Pendidik
Dapat menyediakan pelatihan teknologi informasi yang tepat dalam
rangka mempersiapkan peserta didiknya untuk menyongsong
profesionalisme bisnis kedepan.
c. Mahasiswa Akuntansi
Dewasa ini, mahasiswa akuntansi dipersiapkan untuk menjadi
akuntan yang punya kompetensi antara lain dalam bidang teknologi
informasi yang memadai dan merupakan core dimension dari
pendidikan akuntansi dasar sehingga dapat mendukung
tugas-tugasnya sebagai calon akuntan.
d. Peneliti Selanjutnya
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti
empiris dan konfirmasi konsistensi dengan hasil penelitian
sebelumnya. Dan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
mahasiswa pada umumnya serta memberikan kontribusi bagi
mahasiswa yang mengambil konsentrasi audit.
9
e. Bagi Penulis
Bagi penulis penelitian ini dapat memberikan pemahaman mengenai
ilmu auditing dan sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Phobia
Phobia adalah ketakutan yang berlebih-lebihan terhadap benda-benda
atau situasi-situasi tertentu yang seringkali tidak beralasan dan tidak berdasar
pada kenyataan. Istilah “phobia” berasal dari kata “phobi” yang artinya
ketakutan atau kecemasan yang sifatnya tidak rasional; yang dirasakan dan
dialami oleh sesorang. Phobia merupakan suatu gangguan yang ditandai oleh
ketakutan yang menetap dan tidak rasional terhadap suatu obyek atau situasi
tertentu.
Walaupun ada ratusan macam phobia tetapi pada dasarnya phobia-phobia
tersebut merupakan bagian dari 3 jenis phobia, yang menurut buku DSM-IV
(Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder IV) ketiga jenis
phobia itu adalah:
1. Phobia sederhana atau spesifik (Phobia terhadap suatu obyek/keadaan
tertentu) seperti pada binatang, tempat tertutup, ketinggian, dan termasuk
ketakutan untuk menggunakan komputer.
2. Phobia sosial (Phobia terhadap pemaparan situasi sosial) seperti takut jadi
pusat perhatian, orang seperti ini senang menghindari tempat-tempat
ramai.
3. Phobia kompleks (Phobia terhadap tempat atau situasi ramai dan terbuka
misalnya di kendaraan umum/mall) orang seperti ini bisa saja takut
keluar rumah.
Phobia dapat disebabkan oleh berbagai macam hal. Pada umumnya
phobia disebabkan karena pernah mengalami ketakutan yang hebat atau
pengalaman pribadi yang disertai perasaan malu atau bersalah yang semuanya
kemudian ditekan kedalam alam bawah sadar. Peristiwa traumatis di masa
kecil dianggap sebagai salah satu kemungkinan penyebab terjadinya phobia.
Lalu bagaimana menjelaskan tentang orang yang takut akan sesuatu
walaupun tidak pernah mengalami trauma pada masa kecilnya? Martin
Seligman di dalam teorinya yang dikenal dengan istilah biological
preparedness mengatakan ketakutan yang menjangkiti tergantung dari
relevansinya sang stimulus terhadap nenek moyang atau sejarah evolusi
manusia, atau dengan kata lain ketakutan tersebut disebabkan oleh faktor
keturunan. Misalnya, mereka yang takut kepada beruang, nenek moyangnya
pada waktu masih hidup di dalam gua, pernah diterkam dan hampir dimakan
beruang, tapi selamat, sehingga dapat menghasilkan kita sebagai
keturunannya. Seligman berkata bahwa kita sudah disiapkan oleh sejarah
evolusi kita untuk takut terhadap sesuatu yang dapat mengancam survival
kita.
Pada kasus phobia yang lebih parah, gejala anxiety neurosa menyertai
penderita tersebut. Penderita akan terus menerus dalam keadaan phobia
walaupun tidak ada rangsangan yang spesifik. Selalu ada saja yang membuat
phobia-nya timbul kembali, misalnya technophobia (takut teknologi),
thanatophobia (takut mati), dll.
Perlu kita ketahui bahwa phobia sering disebabkan oleh faktor keturunan,
lingkungan dan budaya. Perubahan-perubahan yang terjadi diberbagai bidang
sering tidak seiring dengan laju perubahan yang terjadi di masyarakat, seperti
dinamika dan mobilisasi sosial yang sangat cepat naiknya, antara lain
pengaruh pembangunan dalam segala bidang dan pengaruh modernisasi,
globalisasi, serta kemajuan dalam era informasi. Dalam kenyataannya
perubahan-perubahan yang terjadi ini masih terlalu sedikit menjamah
anak-anak sampai remaja. Seharusnya kualitas perubahan anak-anak-anak-anak melalui proses
bertumbuh dan berkembangnya harus diperhatikan sejak dini khususnya
ketika masih dalam periode pembentukan (formative period) tipe kepribadian
dasar (basic personality type). Ini untuk memperoleh generasi penerus yang
berkualitas.
Berbagai ciri kepribadian/karakterologis perlu mendapat perhatian
khusus bagaimana lingkungan hidup memungkinkan terjadinya proses
pertumbuhan yang baik dan bagaimana lingkungan hidup dengan sumber
rangsangannya memberikan yang terbaik bagi perkembangan anak,
khususnya dalam keluarga.
Berbagai hal yang berhubungan dengan tugas, kewajiban, peranan orang
tua, meliputi tokoh ibu dan ayah terhadap pertumbuhan dan perkembangan
anak, masih sering kabur, samar-samar. Sampai saat ini masih belum jelas
mengenai ciri khusus pola asuh (rearing practice) yang ideal bagi anak.
Seperti umur berapa seorang anak sebaiknya mulai diajarkan membaca,
menulis, sesuai dengan kematangan secara umum dan tidak memaksakan.
Tujuan mendidik, menumbuhkan dan memperkembangkan anak adalah agar
ketika dewasa dapat menunjukan adanya gambaran dan kualitas kepribadian
yang matang (mature, wel-integrated) dan produktif baik bagi dirinya,
keluarga maupun seluruh masyarakat. Peranan dan tanggung jawab orang tua
terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak adalah teramat penting.
B. Anxiety
Definisi anxiety menurut Macquarie Dictionary dalam Istiati Diah Astuti
(2005) adalah kesukaran atau kesulitan berfikir yang disebabkan oleh
ketakutan pada sesuatu yang akan terjadi atas bahaya atau kemalangan.
Definisi anxiety menurut May (1997) dalam Istiati Diah Astuti (2005) adalah
sebagai suatu ketakutan pada sesuatu yang akan terjadi atas adanya ancaman
terhadap beberapa nilai yang dianggap penting oleh individu atas
keberadaannya sebagai seorang pribadi. Sedangkan Levitt (1967) dalam
Istiati Diah Astuti (2005) menggambarkan anxiety sebagai suatu ketakutan
yang berlebihan yang memotivasi keragaman perilaku pertahanan diri,
termasuk gerak-gerik jasmani, ketakutan batiniah atau kekacauan. Kumpulan
definisi dan intepretasi terhadap anxiety mengesankan bahwa tidak ada
kesepahaman yang pasti mengenai definisi anxiety. Seperti yang diungkapkan
Levitt (1967) dalam Istiati Diah Astuti(2005), bahwa ruang lingkup definisi
anxiety yang tepat itu tidak terbatas dan sangat luas.
C. Computer Anxiety
Definisi computer anxiety menurut Igbaria dan Parasuraman (1989)
dalam Sudaryono (2005) adalah sebagai suatu kecenderungan seseorang
menjadi susah, khawatir atau ketakutan mengenai penggunaan teknologi
informasi (komputer) pada masa sekarang atau pada masa yang akan datang.
Menurut Gudono dan Rifa (1999) definisi computer anxiety adalah suatu
tipe stress tertentu computer anxiety itu berasosiasi dengan kepercayaan yang
negatif mengenai komputer, masalah-masalah dalam menggunakan komputer
dan penolakan terhadap mesin. Beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa computer anxiety mempunyai pengaruh negatif terhadap attitudes
(Igbaria dan Parasuraman 1989; Webster et al 1990: Igbaria 1994) dalam rifa
(1999) dan terhadap keahlian Harrison dan Rainer (1992) dalam Rifa (1999).
Heinssen et al. (1987) dalam Rifa (1999) menemukan bahwa
mahasiswa-mahasiswa perguruan tinggi dengan computer anxiety yang lebih tinggi
mempunyai kepercayaan terhadap kemampuan diri dan hasil kinerja yang
lebih rendah dari pada mahasiswa yang mempunyai computer anxiety yang
lebih rendah. Jika suatu tugas komputer dilaksanakan, subjek dengan tingkat
computer anxiety yang lebih tinggi memerlukan waktu yang lebih lama untuk
menyelesaikan tugas-tugas tersebut.
Menurut Linda V. Orr (2000) dalam Sudaryono (2005), computer
anxiety merupakan salah satu technophobia, dimana komputer merupakan
salah satu teknologi yang berkembang dalam kehidupan manusia.
Technophobia sendiri dapat digolongkan menjadi 3 tingkatan, yaitu:
1. Anxious Technophobe
Seseorang yang termasuk dalam tingkatan ini akan menunjukkan
tanda-tanda klasik yang merupakan reaksi kekhawatiran (anxiety
reaction) ketika menggunakan suatu teknologi, tanda-tanda tersebut
dapat berupa munculnya keringat ditelapak tangan, detak jantung yang
keras atau sakit kepala.
2. Cognitive Technophobe
Seseorang yang termasuk dalam tingkatan ini pada mulanya merasa
tenang dan relaks, mereka sebenarnya menerima suatu teknologi baru
tetapi muncul beberapa pesan negatif seperti “Saya akan menekan
tombol yang salah dan mengacaukan mesin ini”.
3. Uncomfortable User
Seseorang yang termasuk dalam tingkatan ini dapat dikatakan sedikit
khawatir dan masih muncul pernyataan negatif, tetapi secara umum tidak
membutuhkan one-on one-counseling.
Kegelisahan terhadap komputer dapat memunculkan dua hal, yaitu:
1. Fear (takut)
Seseorang yang merasa takut dengan adanya komputer karena
mereka belum banyak menguasai teknologi komputer, sehingga mereka
belum bisa mendapatkan manfaat dengan kehadiran komputer.
2. Anticipation (antisipasi)
Seseorang merasa perlu melakukan antisipasi terhadap kegelisahan
dilakukan dengan menerapkan ide-ide pembelajaran yang
menyenangkan (anticipation) terhadap komputer.
Computer anxiety merupakan suatu konsep specific anxiety di bidang
komputer, yang mana orang merasakan pengalamanannya ketika sedang
berinteraksi dengan komputer Oetting (1993) dalam Rustiana (2005).
Menurut pendapat Marcoulides (1988) seperti yang dikutip oleh Vincent, dkk
(2002) dalam Rustiana (2005) menyatakan bahwa computer anxiety yang
dialami seseorang masih tetap ada tanpa memperhatikan adanya pengalaman
komputer sebelumnya. computer anxiety cenderung muncul pada para user
dalam situasi jika mereka dihadapkan dengan pembelajaran pada aplikasi
komputer yang baru (Ostrowski, dkk, 1986 dan Elder, dkk, 1987) dalam
Rustiana (2005).
Indikasi terjadinya computer anxiety menurut Gantz (1986) dalam
Rustiana, (2005) antara lain berupa takut membuat kesalahan, tidak suka
mempelajari komputer, merasa bodoh, merasa diperhatikan oleh orang lain
saat membuat kesalahan, merasa merugikan kerja, serta merasa bingung
secara total. Penjelasan ini menunjukkan bahwa computer anxiety
berhubungan dengan kemampuan diri.
Level computer anxiety dapat dibedakan secara ekstrim kedalam dua
level yakni level rendah atau level tinggi. Tingkat computer anxiety yang
rendah menyebabkan individu mempunyai keyakinan yang kuat bahwa
komputer bermanfaat baginya sehingga timbul rasa senang bekerja dengan
komputer. Pada penelitian (Levine dan Donitsa-Schmidt, 1998 dan
Shashaani, 1997 serta Ayersman, 1996) dalam Rustiana, (2005) menunjukkan
adanya sikap/attitude yang positif dalam hubungannya dengan pengalaman
berinteraksi dengan komputer. Namun sebaliknya, sikap computer anxiety
menunjukkan level yang tinggi menurut keyakinan dan persepsi user,
menunjukkan bahwa teknologi komputer dapat mendominasi atau
mengendalikan kehidupan manusia (Indirantoro, 2000).
Computer anxiety dapat disebabkan oleh beberapa faktor internal
maupun eksternal. Menurut Lewin (1995) dalam Rustiana (2005) gejala yang
menimbulkan computer anxiety pada individu disebabkan individu tidak
dapat mengenal dan menerima tingkatan perubahan dalam menanggapi
perubahan teknologi komputer. Tingkatan perubahan yang dimaksud adalah:
1) identifikasi untuk berubah; 2) tidak membakukan pesan lama, 3) belajar
pesan yang baru, dan 4) mengulang pesan yang baru. Apabila individu tidak
dapat melewati beberapa tahap tersebut maka akan timbul sifat kecemasan
dan penolakan terhadap teknologi komputer. Menurut Bralove (1983) dalam
Rustiana (2005) gejala yang muncul pada computer anxiety yang disebabkan
oleh persepsi individu yang kurang baik. Dasar dari persepsi individu
terganggu karena : a) perubahan status, b) berkeras tidak ingin belajar yang
baru, c) ada paksaan untuk berubah, dan d) kerja yang berlebihan dan
ketidaknyamanan. Persepsi individu terganggu yang oleh hal tersebut akan
membentuk individu untuk melakukan pertahanan yang berlebihan sehingga
termanisfestasi dalam perilaku computer anxiety.
Konsep computer anxiety dibedakan dalam tiga jenis yakni: trait anxiety,
states anxiety dan concepts specific anxiety. Kedua jenis pertama, mengacu
pada konsep psikologi dan jenis ketiga perluasan dari konsep psikologi yang
dikembangkan oleh Oetting (1983) dalam Rustiana, (2005).
Trait anxiety merupakan anxiety yang dirasakan secara umum oleh tiap
orang dalam pengalaman hidupnya. Orang-orang yang mempunyai trait
anxiety cenderung mempunyai anxiety secara kronis dan senantiasa merasa
cemas dalam suatu situasi dan kondisi yang membuat dia tertekan. Variabel
trait anxety dipakai untuk penelitian yang ada hubungannya dengan konstrak
personaliti, psycho-pathologym, dan teori pembelajaran. Ini merupakan
karakteristik personal yang mempengaruhi perilaku secara luas.
Sedangkan state anxiety adalah orang yang mengalami anxiety pada
suatu saat tertentu. Tipe ini biasanya merupakan suatu produk sejarah
pembelajaran orang. Sebagai contoh, misalnya orang yang berpengalaman
mengalami problem dalam situasi yang serupa dalam masa lalunya dan dapat
menjadi cemas jika situasi itu terjadi lagi McPherson (1998) dalam Rustiana,
(2005).
Jenis ketiga merupakan perluasan anxiety dari konsep psikologi ke
konsep yang lebih spesifik yang diterapkan dalam situasi tertentu, khususnya
bidang komputer. Konsep ini lahir setelah Oetting mengembangkan skala
untuk mengukur computer anxiety yang disebut sebagai COMPAS.
Instrumen ini yang selalu dipakai dalam riset-riset mengenai computer
anxiety oleh para peneliti untuk mengukur level anxiety seseorang terhadap
komputer
D. Keahlian Komputer Audit
Keahlian menurut Harrison dan Rainer (1992) dalam Sudaryono (2005)
didefinisikan sebagai berikut: Keahlian adalah suatu perkiraan atas suatu
kemampuan seorang untuk melaksanakan pekerjaan dengan sukses, seorang
yang menganggap dirinya mampu untuk melaksanakan tugas, cenderung
akan sukses.
Keahlian menggunakan komputer menurut Igbaria (1994) dalam
Sudaryono (2005) didefinisikan sebagai berikut: Keahlian menggunakan
komputer adalah suatu kombinasi antara pengalaman user dalam
menggunakan komputer, latihan yang telah diperoleh dan keahlian komputer
secara menyeluruh. Penerimaan teknologi komputer dipegaruhi oleh
teknologi itu sendiri serta tingkat keahlian dari individu yang menggunakan
komputer. Keyakinan bahwa setiap orang dapat meningkatkan keahliannya
sangat diperlukan, berguna untuk keefektifan penggunaan komputer dan
menguatkan rasa percaya diri setiap orang mampu menguasai dan
menggunakan teknologi komputer dalam pekerjaannya (Astuti, 2003)
Sudaryono (2005).
1. Computer Self Efficacy
Menurut Compeau dan Higgins (1995) dalam Rustiana (2005)
computer self efficacy (CSE) didefinisikan sebagai judgement kapabilitas
seseorang untuk menggunakan komputer. Ini bukan merupakan
judgement pada masa lalu seseorang dalam menggunakan komputer,
tetapi menyangkut judgement yang akan dilakukan pada masa depan.
Hasil riset Compeau dan Higgins (1995) dalam Rustiana (2005)
menunjukkan bahwa ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi computer
self efficacy, yakni pertama dorongan dari pihak lain, kedua adalah pihak
lain menggunakan dan ketiga adalah dukungan.
Dorongan dari pihak lain mengacu pada kelompok dan
menggunakan persuasi verbal. Pada faktor kedua, seseorang dapat
meningkatkan computer self efficacynya karena mengobservasi dan
meniru model perilaku. Ini merupakan cara yang ampuh untuk
mengakuisisi perilaku sebagai model pembelajaran. Sedangkan faktor
ketiga yakni adanya dukungan dari organisasi untuk pengguna komputer
dapat meningkatkan computer self efficacy. Dukungan ini bisa berupa
ketersediaan dari pihak organisasi untuk membantu individu yang
membutuhkan peningkatan kemampuan dan juga persepsi kemampuan
diri Rustiana (2005).
Compeau dan Higgins (1995) dalam Rustiana (2005) menjelaskan
ada 3 dimensi computer self efficacy yakni magnitude, strength, dan
generalibility. Dimensi magnitude mengacu pada tingkat kapabilitas
yang diharapkan dalam penggunaan komputer. Individu yang
mempunyai magtitude CSE yang tinggi dapat diharapkan merasa mampu
menyelesaikan tugas-tugas komputasi yang lebih kompleks dibanding
yang mempunyai level magnitude CSE yang rendah. Selanjutnya,
dimensi ini juga menjelaskan bahwa tingginya magnitude CSE
seseorang dikaitkan dengan level yang dibutuhkan untuk memahami
suatu tugas. Pada individu yang level magnitude CSEnya tinggi mampu
menyelesaikan tugas-tugasnya dengan rendahnya dukungan dan bantuan
dari orang lain, dibandingkan dengan level magnitude CSE yang rendah.
Pada dimensi kedua yakni strength, ini mengacu pada level
keyakinan tentang judgement atau kepercayaan individu untuk mampu
menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik.
Sedangkan dimensi ketiga berupa generazability mengacu pada
tingkat judgement terbatas pada domain khusus aktifitas. Dalam konteks
komputer, domain ini mencerminkan perbedaan konfigurasi hardware
dan software. Sehingga dengan demikian, individu yang mempunyai
level generazability CSE yang tinggi diharapkan dapat secara kompeten
menggunakan paket-paket software dan sistem komputer yang berbeda.
Sebaliknya tingkat generazability CSE yang rendah menunjukkan
kemampuan individu dalam mengakses paket-paket software dan sistem
komputer secara terbatas.
Ada empat sumber informasi self efficacy menurut Bandura dalam
Rustiana (2004)seperti yang dikutip oleh Compeau dan Higgins (1995),
yaitu: (1) guided mastery, (2) behavior modeling, (3) social persuasion
dan physiological states. Sumber informasi terkuat adalah guide master
yang merupakan pengalaman kesuksesan nyata dalam kaitannya dengan
perilaku. Interaksi yang berhasil antara individu dengan komputer
menyebabkan individu mengembangkan self efficacy-nya lebih tinggi.
Dengan demikian praktik langsung merupakan komponen penting dalam
pelatihan, sehingga individu membangun kepercayaan diri sesuai dengan
kemampuannya. Sumber informasi self efficacy yang kedua adalah
pemodelan perilaku/behavior modeling, yang meliputi pengamatan
terhadap orang lain dalam membentuk perilaku sebagai proses
pembelajaran. Compeau dan Higgins (1995) dalam Rustiana (2004)
menunjukan bahwa pendekatan pemodelan perilaku untuk pelatihan
komputer dapat meningkatkan persepsi self efficacy dan kinerja dalam
kontek pelatihan. Sumber yang ketiga adalah pendekataan persuatif
dapat juga mempengaruhi self efficacy. Jaminan ulang bagi user yang
punya kemampuan tentang teknologi dan menggunakannya dengan
sukses dapat membantu para user untuk membangun kepercayaan.
Sumber informasi self efficafy yang terakhir adalah physiological states,
yang menunjukkan perasaan kecemasan/anxiety yang berdampak negatif
terhadap self efficacy. Bandura (1986) dalam Rustiana (2004)
menyatakan bahwa individu yang mempunyai perasaan anxiety yang
tinggi menunjukkan kurangnya kemampuan diri. Jadi jika individu
merasa cemas/anxiety dalam penggunaan komputer, maka ia memiliki
alasan untuk merasa cemas sehingga menunjukkan self efficacy yang
rendah. Berdasarkan penelitian Webster et al. (1990) dalam Rustiana
(2004) dalam Compeau dan Higgins (1995) dalam Rustiana (2004)
menemukan hasil, bahwa computer anxity dalam proses pelatihan dapat
dikurangi dengan mendorong user untuk berperilaku yang
menyenangkan.
Pada penelitian ini Keahlian Komputer Audit diartikan sebagai
keahlian dalam penggunaan Generalized Audit Software sehingga
keahlian Komputer Audit menjadi Variabel Dependen.
Keahlian menurut Harrison dan Rainer (1992) dalam Sudaryono
(2005) didefinisikan sebagai berikut: Keahlian adalah suatu perkiraan
atas suatu kemampuan seorang untuk melaksanakan pekerjaan dengan
sukses, seorang yang menganggap dirinya mampu untuk melaksanakan
tugas, cenderung akan sukses. Keahlian menggunakan komputer
menurut Igbaria (1994) dalam Sudaryono (2005) didefinisikan sebagai
berikut:
Keahlian menggunakan komputer adalah suatu kombinasi antara
pengalaman user dalam menggunakan komputer, latihan yang telah
diperoleh dan keahlian komputer secara menyeluruh. Penerimaan
teknologi komputer dipengaruhi oleh teknologi itu sendiri serta tingkat
keahlian dari individu yang menggunakan komputer. Keyakinan bahwa
setiap orang dapat meningkatkan keahliannya sangat diperlukan, berguna
untuk keefektifan penggunaan komputer dan menguatkan rasa percaya
diri setiap orang mampu menguasai dan menggunakan teknologi
komputer dalam pekerjaannya Sudaryono (2005).
E. Gender
Umar (1999) dalam Muthmainah (2006) mengungkap berbagai
pengertian gender antara lain sebagai berikut:
1. Di dalam Womens’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender
adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan
(distintion) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di
masyarakat.
2. Elaine Showalter (1989) mengartikan gender lebih dari sekedar
pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya.
Ia menekannya sebagai konsep analisis (an analytic concept) yang dapat
digunakan untuk menjelaskan sesuatu.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu
konsep analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki
dan perempuan dilihat dari dari sudut non-biologis, yaitu dari aspek sosial,
budaya maupun psikologis.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:496,529) mendefinisikan jenis
adalah sesuatu yang mempunyai ciri (sifat, keturunan) yang khusus,
sedangkan kelamin adalah jodoh (laki-laki dan perempuan antara jantan dan
betina, sifat jasmani/rohani yang membedakan sebagai pria dan wanita, jenis
laki-laki atau perempuan (genus). Berninghausen dan Kerstan (1992) dalam
Zulaikha (2006) mengartikan gender sebagai pembedaan peran antara
laki-laki dan perempuan yang tidak hanya mengacu pada perbedaan
biologisnya/seksualnya, tetapi juga mencakup nilai-nilai sosial budaya.
Isu gender mendorong beberapa peneliti mengkaitkannya dengan peran
laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, dan dikaitkan dengan
kemampuan perempuan dalam menyelesaikan tugas dalam suatu profesi.
Riset tentang adanya perbedaan proses informasi yang diakibatkan oleh
adanya isu gender disosialisasikan oleh Meyers – Levy (1986) dalam
Zhulaikha (2006).
Meyers – Levy (1986) dalam Zhulaikha (2006) mengembangkan
kerangka teoritis untuk menjelaskan kajian tentang perbedaan antara
perempuan dan laki-laki dalam memproses informasi. Kerangka teoritis ini
mereka sebut dengan “selectivity hypothesis”. Perbedaaan yang didasarkan
pada isu gender dalam pemrosesan informasi dan pembuatan keputusan
didasarkan atas pendekatan yang berbeda yaitu bahwa laki-laki dan
perempuan menggunakan pemrosesan inti informasi dalam memecahkan
masalah dan membuat inti keputusan. Laki-laki pada umumnya dalam
menyelesaikan masalah tidak menggunakan semua informasi yang tersedia,
dan mereka juga tidak memproses informasi secara menyeluruh, sehingga
dikatakan bahwa laki-laki cenderung melakukan pemrosesan informasi secara
terbatas. Sedangkan perempuan dipandang sebagai pemroses informasi lebih
detail, yang melakukan proses informasi pada sebagian besar inti informasi
untuk pembuatan keputusan atau judgement.
Penelitian lain dilakukan oleh Fairweather dan Hutt (1972) dalam Chung
dan Monroe (2001) yang dikutip dari Zhulaikha (2006). Dalam penelitian
tersebut dikatakan bahwa perempuan relatif lebih efisien dalam mengolah
informasi ketika beban content nya lebih berat. Semakin komplek suatu tugas
dengan berbagai kunci penyelesaian, maka laki-laki memerlukan waktu yang
lama dibanding dengan perempuan dalam menyelesaikan tugas yang
bersangkutan. Juga perempuan memiliki kemampuan mengingat lebih kuat
terhadap informasi yang baru.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Chung dan Monroe (2001) dalam
Zhulaikha (2006) menguji apakah ada pengaruh interaksi gender dan
kompleksitas tugas dalam konteks penugasan auditing. Hasilnya
menunjukkan bahwa tedapat pengaruh interaksi antara gender dan
kompleksitas tugas tehadap keakuratan judgement dalam penilaian sebuah
asersi dalam laporan keuangan. Hasil ini menunjukkan bahwa perempuan
lebih akurat dalam judgment dibanding laki-laki dalam mengerjakan tugas
yang lebih kompleks. Namun ketika kompleksitas tugas berkurang, laki-laki
menunjukkan hasil yang lebih baik.
Young (2000) dalam Smith (2005) menggunakan lima faktor yang
terkait dengan sikap komputer: keyakinan, persepsi komputer sebagai domain
laki-laki, sikap positif dan negatif guru, dan dirasakan manfaat komputer,
untuk mengukur perbedaan antara gender antara 462 siswa sekolah menengah
dan tinggi. Laki-laki dilaporkan lebih percaya diri menggunakan komputer
dengan teknologi dan persepsi bahwa teknologi komputer adalah domain
laki-laki. Perempuan dalam studi menolak persepsi bahwa teknologi adalah
domain laki-laki. Perempuan dilaporkan menerima lebih dari dorongan dari
guru laki-laki, namun dorongan dari para guru tidak mengakibatkan lebih
keyakinan atau yang lebih besar terhadap pentingnya teknologi komputer
untuk masa depan mereka.
Ray, Sormunen, dan Harris (1999) dalam Smith (2005) menggunakan
sikap untuk menilai perbedaan gender dalam a) nilai produktivitas teknologi,
b) dampak teknologi pada masyarakat dan lingkungan kerja, dan c) tingkat
kenyamanan saat menggunakan teknologi komputer. Studi ini menemukan
bahwa wanita yang lebih gila sikap positif terhadap nilai produktivitas ke
komputer. Perempuan yang lebih positif tentang dampak dari komputer di
masyarakat dan lingkungan kerja yang ditampilkan lebih besar dan tingkat
kenyamanan dengan teknologi daripada laki-laki.
Harrison, Rainer, dan Hochwarter (1997) dalam Smith (2005) meneliti
perbedaan gender dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan
komputer antara gaji personil dari universitas besar. Laki-laki memiliki
tingkat signifikan yang tinggi terhadap pengalaman memakai komputer,
kurangnya computer anxienty. Laki-laki dilaporkan lebih berhasil
menggunakan komputer di organisasi yang di kerjakan perempuan kecuali
pekerjaan yang berhubungan dengan juru tulis. Temuan menyarankan
perbedaan antara perempuan dan laki-laki mungkin karena perbedaan jenis
kelamin dan peran sosial.
(Busch 1995) dalam Smith (2005) tidak ditemukan perbedaan gender
dalam persepsi tentang kemanjuran sendiri menyelesaikan kata dan
spreadsheet program perangkat lunak. Tidak ada perbedaan gender yang
ditemukan dalam pemakaian komputer atau keahlian komputer mengenai tes
komputer sederhana. Namun laki-laki dilaporkan menerima lebih dorongan
untuk menguasai keterampilan komputer melalui kepercayaan sosial daripada
perempuan.
F. Keterkaitan Antar Variabel
Heissen et al. (1987) dalam Sudaryono (2005) melakukan penelitian
terhadap mahasiswa mahasiswa perguruan tinggi dalam penelitian
menunjukkan bahwa mahasiswa-mahasiswa dengan computer anxiety yang
lebih tinggi mempunyai kepercayaan terhadap kemampuan diri dan hasil
kinerja yang lebih rendah dari pada mahasiswa yang mempunyai computer
anxiety lebih rendah. Apabila semua tugas dilaksanakan, subyek dengan
tingkat computer anxiety yang lebih tinggi memerlukan waktu lebih lama
untuk menyelesaikan tugas.
Igbaria dan Parasuraman (1989) dalam Sudaryono (2005) menemukan
dalam penelitiannya bahwa kecenderungan seseorang menjadi susah,
khawatir atau ketakutan terhadap komputer (computer anxiety) di masa
sekarang dan masa yang akan datang mempunyai pengaruh terhadap sikap
pemakai terhadap teknologi komputer. Oleh karena itu sikap negatif pemakai
mengakibatkan rendahnya tingkat keahlian dalam penggunaan komputer,
tingginya computer anxiety mempunyai pengaruh negatif terhadap keahlian
yang bersangkutan dalam menggunakan komputer.
Harrison dan Rainer (1992) dalam Sudaryono (2005) menguji pengaruh
dilakukan terhadap 776 karyawan suatu universitas. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh faktor demografi (umur, jenis
kelamin, dan pengalaman), personality (computer anxiety, computer
attitudes, dan math anxiety, kecuali sikap optimis terhadap komputer) dan
coignitive style (hanya originality of cognitive style) terhadap keahlian dalam
End-User Computing. Sabherwal dan Elam (1995) dalam Sudaryono (2005)
mengemukakan bahwa sikap pemakai komputer merupakan faktor yang
mempengaruhi kinerja (keahlian) individual dalam penggunaan komputer.
Keahlian seseorang dalam penggunaan komputer pada gilirannya
mempengaruhi kesuksesan penerapan suatu teknologi informasi.
Rifa dan Gudono (1999) melakukan penelitian terhadap 164 karyawan
perusahaan perbankan mengenai pengaruh faktor demografi dan personality
terhadap keahlian dalam End-User Computing (EUC). Faktor personality
dalam penelitian tersebut adalah computer anxiety, math anxiety, dan
computer attitudes. Penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa dua
indepeden yaitu fear dan anticipation hubungan yang signifikan dengan
keahlian dalam End-User Computing. Sedangkan dalam analisis terhadap
computer attitudes, hanya variabel optimis saja yang memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap keahlian End-User Computing, sedangkan variabel
pesimis dan intimidasi tidak memiliki pengaruh yang signifikan.
Indriantoro (2000) dalam Sudaryono (2005) juga melakukan penelitian
tentang pengaruh computer anxiety terhadap keahlian dosen dalam
menggunakan komputer. Yang menjadi sampel dalam penelitian tersebut
adalah 54 dosen perguruan tinggi negeri dan swasta di Yogyakarta. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemakai komputer yang memiliki
tingkat computer anxiety yang tinggi akan menunjukkan tingkat keahlian
yang lebih rendah daripada pemakai komputer yang memiliki tingkat
computer anxiety yang rendah. Hasil penelitian Sudaryono (2004) yang
menguji pengaruh computer anxiety dari 254 dosen akuntansi Perguruan
Tinggi Negeri dan Perguruan Tinggi Swasta di wilayah Jakarta, Semarang,
Solo, Malang dan Surabaya terhadap keahliannya dalam menggunakan
komputer mendapatkan hasil bahwa computer anxiety mempunyai hubungan
negatif yang signifikan terhadap keahlian dalam menggunaan komputer.
Yunita (2004) dalam Sudaryono (2005) melakukan penelitian yang sama
dengan 133 dosen perguruan tinggi negeri dan swasta di Solo dan Semarang
sebagai sampel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosen akuntansi
memiliki tingkat computer anxiety yang lebih rendah akan memperlihatkan
tingkat keahlian komputer yang lebih tinggi daripada dosen akuntansi yang
mempunyai computer anxiety yang lebih tinggi.
Menurut Strassman (1985) dalam Rustina (2005) menyatakan bahwa
penerapan TI dalam suatu organisasi mendorong terjadinya perubahan yang
revolusioner terhadap perilaku individu dalam bekerja. Keahlian seseorang
dalam penggunaan komputer mempengaruhi kesuksesan penerapan
teknonologi. Sikap sebagai salah satu aspek yang mempengaruhi perilaku
individual selain norma sosial dan keabiasaan. Penelitian yang dilakukan
Lyod dan Gressard (1984) dalam Rustina (2005) menemukan bahwa sikap
pemakai individual terhadap komputer mempunyai dampak pada keahlian
individual pemakai komputer dan keberhasilan suatu sistem informasi.
Refleksi sikap seseorang dalam penelitian ini adalah aspek computer anxiety.
Tood dan Benbasat (1992) dalam Rustina (2005) menemukan bahwa
kegelisahan dan ketakutan seseorang terhadap kehadiran teknologi baru
umumnya akan mendorong sikap negatif untuk menolak penggunaan
teknologi informasi.
Sikap positif seseorang untuk menerima keberhasilan teknologi
komputer karena dilandasi oleh keyakinan bahwa komputer dapat membantu
pekerjaannya sehingga timbul rasa suka pada komputer. Ketidaksukaan
seseorang terhadap komputer dapat disebabkan oleh ketakutan dan
kekhawatiran yang bersangkutan terhadap teknologi komputer (Igbaria dan
Pasuraman, 1986) dalam Rustina (2005).
Penelitian Campeau dan Higgins (1995) mengunakan responden
sebanyak 1020 karyawan yang berinteraksi dengan komputer dalam tugas
kesehariannya. Hasilnya menemukan bahwa perasaan cemas pada komputer
(computer anxiety) berpengaruh negatif terhadap pengggunaan komputer
(computer self efficacy).
Penelitian Rifa dan Gudono (1999) menemukan bahwa ada pengaruh
negatif computer anxiety terhadap keahlian dalam end user computing.
Penelitian yang dilakukan oleh Rustiana (2005) menunjukkan, bahwa CSE
laki-laki lebih baik dibanding CSE perempuan. Ketika computer anxiety yang
dirasakan oleh para auditor pada level yang rendah maka keahlian komputer
audit akan meningkat Demikian pula sebaliknya ketika computer anxiety
yang dirasakan oleh para auditor pada level yang tinggi maka keahlian
komputer audit pada level yang rendah.
G. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini memberikan perhatian pada aspek gender pemakai secara
individual yang diproksikan dengan tingkat computer anxiety-nya dan
pengaruhnya terhadap kinerja individual yang diproksikan dengan keahlian
pemakai dalam menggunakan komputer. Gambar 2.1. berikut menyajikan
model kerangka pemikiran yang menguji pengaruh gender terhadap computer
anxiety yang mempengaruhi keahlian auditor dalam menggunakan komputer.
GENDER (variabel moderating)
KEAHLIAN KOMPUTER AUDIT
(variabel dependen) COMPUTER ANXIETY
(variabel independen)
Gambar 2.1. Model Penelitian
33
G. Hipotesis
Hubungan variabel computer anxiety dan keahlian komputer dalam
penelitian ini, berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya dihipotesiskan
bahwa pemakai komputer dengan computer anxiety yang lebih rendah
menunjukkan tingkat keahlian komputer yang lebih tinggi daripada pemakai
komputer yang mempunyai computer anxiety yang lebih tinggi. Hipotesis
yang akan diuji secara empiris dalam penelitian ini dinyatakan dengan
rumusan sebagai berikut:
Ha1: Computer anxiety mempunyai pengaruh terhadap keahlian komputer
audit.
Ha2: Gender mempunyai pengaruh terhadap keahlian komputer audit.
Ha3: Gender memoderasi hubungan antara computer anxiety dengan keahlian
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian tingkah laku (behavior) para
akuntan dalam menghadapi perkembangan Teknologi Informasi, khususnya
perkembangan Sistem Informasi berbasis Komputer. Jenis penelitian berupa
Penelitian Terapan yaitu penelitian yang menekankan pada pemecahan
masalah, dalam hal ini kurangnya pamahaman para Akuntan di Indonesia
mengenai Komputer Audit. Tempat yang digunakan sebagai tujuan
penelitian ini adalah Kantor Akuntan Publik (KAP) di Jakarta untuk
memperoleh data yang berkaitan dengan permasalahan yang di teliti. Objek
dari penelitian ini adalah para auditor eksternal dari level junior auditor
sampai supervisor, dengan pertimbangan bahwa mereka umumnya
menggunakan komputer untuk melaksanakan tugasnya.
B. Metode Penentuan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah akuntan publik yang bekerja di
kantor akuntan publik di wilayah DKI Jakarta. Sampel dalam penelitian ini
adalah akuntan publik yang bekerja di Kantor Akuntan Publik. Data atau
informasi tentang identitas Kantor Akuntan Publik tersebut diperoleh dari
Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI). Metode penelitian sampel yang
digunakan adalah metode Judgemental Sampling. Secara khusus kuesioner
diberikan kepada auditor yang sudah biasa bekerja di lingkungan komputer
agar tidak terjadi bias dalam hasilnya.
C. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan sebagai berikut:
1. Data Primer (Primary data)
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kuesioner yang dikirim melalui surat (mail survey) yang disebut
dengan data primer. Data diperoleh dengan menggunakan kuesioner yang
dibagikan secara langsung kepada para auditor yang bekerja di KAP di
Jakarta yang terdaftar. Kuesioner ini diperoleh dari beberapa sumber
referensi, yang kemudian akan dimodifikasi dalam bentuk pertanyaan.
Kuesioner ini selanjutnya dikirimkan kepada para auditor di KAP yang
ada di Jakarta.
Pengiriman kuesioner dikirimkan sendiri oleh peneliti secara
langsung kepada masing-masing KAP di Jakarta. Pengiriman kuesioner
tersebut dilakukan sendiri oleh peneliti dengan tujuan agar tingkat
pengembalian (response rate) kuesioner bisa lebih tinggi.
Pengambilan kuesioner dilakukan saat itu juga setelah auditor
selesai mengisi kuesioner tersebut jika auditor dalam waktu senggang.
Namun jika harus ditinggal kuesioner akan diambil dua minggu setelah
tanggal pengiriman kuesioner. Sebelum pengambilan kuesioner, sehari
sebelumnya peneliti menghubungi masing-masing KAP via telepon untuk
memastikan apakah kuesioner yang dibagikan kepada responden telah
diisi sesuai dengan kriteria responden dan sudah bisa diambil.
2. Data Sekunder (Secondary data)
Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh
peneliti secara tidak langsung melalui media perantara. Penulis
menggunakan riset kepustakaan dimana dilakukan dengan cara
mengumpulkan, membaca buku, literature, artikel, jurnal, dan data dari
internet.
D. Metode Analisis 1. Uji Kualitas Data
Data-data yang diperoleh berupa jawaban atas kuesioner yang
disebarkan akan diuji keandalan dan keakuratannya melalui uji validitas
dan uji reliabilitas. Uji validitas adalah pengujian yang dilakukan untuk
menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat mengukur apa yang
diukur. Sementara uji reliabilitas adalah pengujian yang dilakukan untuk
menampilkan suatu nilai yang menunjukkan konsistensi suatu alat
pengukur didalam mengukur gejala yang sama (Husein Umar,
2003:113).
a. Uji Validitas
Validitas data penelitian ditentukan oleh proses pengukuran
yang akurat. Suatu instrumen pengukur dikatakan valid jika
instrumen tersebut mengukur apa yang seharusnya diukur. Uji
digunakan sah atau tidak. Dalam uji validitas ini, pendekatan yang
digunakan adalah content face validity, yaitu butir-butir pertanyaan
yang digunakan memadai dan representative untuk mengukur
construct sesuai dengan keinginan peneliti (Ghozali, 2005).
b. Uji Reliabilitas
Dalam perhitungan uji reabilitas, hanya indikator penelitian
yang nilainya dianggap valid saja yang akan diikutsertakan dalam
perhitungan reliabilitas. Reabilitas digunakan untuk melihat
konsistensi suatu pengukuran. Suatu variabel dianggap reliabel jika
nilai reabilitas variabel lebih besar atau sama dengan 0,70 (Ghozali,
2005).
2. Uji Asumsi Klasik a. Uji Multikolinieritas
Uji Multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah model
regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas
(independen). Uji multikolinieritas dilakukan dengan melihat (1)
nilai tolerance dan lawannya (2) variance inflation factor) (VIF).
b. Uji Heteroskedastisitas
Bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi
ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke
pengamatan yang lain (Ghozali, 2005: 105). Model regresi yang baik
adalah tidak terjadinya heteroskedastisitas. Cara mendeteksi ada
apabila koefisien parameter beta dari persamaan regresi tersebut
signifikan secara statistik, hal ini menunjukkan bahwa dalam data
model empiris yang diestimasi terdapat heteroskedastisitas.
c. Uji Normalitas
Bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel
terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal
ataukah tidak. Analisis grafik adalah salah satu cara termudah untuk
melihat normalitas data dengan cara membandingkan antara data
observasi dengan distribusi yang mendekati distribusi normal
probability plot.
3. Uji Hipotesis
Untuk menguji pengaruh Computer Anxiety terhadap Keahlian
Komputer Audit dengan perspektif Gender sebagai variabel moderating,
alat uji yang digunakan dengan teknik analisis Uji Selisih Nilai Mutak
yang dikembangkan oleh Frucot dan Shearon (1991, dalam
Ghozali,2005). Model ini akan menguji pengaruh moderasi dengan
selisih mutlak dari variabel independen dengan rumus persamaan regresi
sebagai berikut:
KKA = a + b1 CA + b2 G + b3 CA - G
Keterangan:
KKA = Keahlian Komputer Audit
CA = Computer Anxiety
G = Gender
CA - G = Merupakan interaksi yang diukur dengan nilai absolut
perbedaan CA dan G
Persamaan regresi tersebut untuk menguji (1) apakah Computer
Anxiety berpengaruh terhadap Keahlian Komputer Audit, (2) apakah
Gender berpengaruh terhadap Keahlian Komputer Audit, dan (3) apakah
Computer Anxiety berpengaruh terhadap Keahlian Komputer Audit
dengan Gender sebagai variabel moderating.
Alasan digunakan metode uji nilai selisih mutlak ini adalah karena
menurut Furcot dan Shearon (1991, dalam Ghozali, 2005), interaksi
seperti ini lebih disukai karena ekspektasi sebelumnya berhubungan
dengan kombinasi antara X1 (Computer Anxiety) dan X2 (Gender) serta
berpengaruh terhadap Y (Keahlian Komputer Audit). Selain itu
penggunaan metode regresi dengan uji interaksi umunya menimbulkan
masalah terjadinya multikolinieritas antara variabel-variabel independen.
a. Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa
jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel
dependen. Nilai koefisien determinasi adalah antara nol dan satu.
Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel independen
dalam menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas. Nilai
yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen
memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk
memprediksi variabel-variabel dependen. (Ghozali, 2005).
b. Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F)
Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua
variabel independen yang dimasukkan dalam model mempunyai
pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen (Ghozali,
2005). Jika nilai probabilitas F lebih besar dari 0,05 maka model
regresi tidak dapat digunakan untuk memprediksi variabel dependen
atau dengan kata lain variabel independen secara bersama-sama tidak
berpengaruh terhadap variabel dependen. Sebaliknya, jika nilai
probabilitas F lebih kecil dari 0,05 maka model regresi dapat
digunakan untuk memprediksi variabel dependen atau dengan kata
lain variabel independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap
variabel dependen.
c. Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik t)
Uji statistik t menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu
variabel independen secara individual dalam menerangkan variasi
variabel dependen (Ghozali, 2005). Jika nilai probabilitas t lebih
besar dari 0,05 maka tidak ada pengaruh dari variabel independen
terhadap variabel dependen (koefisien regresi tidak signifikan),
sedangkan jika nilai probabilitas t lebih kecil dari 0,05 maka terdapat
pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen
(koefisien regresi signifikan).
E. Operasional Variabel Penelitian
Variabel-variabel yang terdapat dalam penelitian ini terdiri atas variabel
independen, variabel dependen dan variabel moderating. Variabel-variabel
tersebut yaitu:
1. Variabel Independen
Variabel independen dalam penelitian ini adalah computer anxiety
sebagai suatu kecenderungan seseorang menjadi susah, khawatir atau
ketakutan mengenai penggunaan teknologi informasi (komputer) pada
masa sekarang atau pada masa yang akan datang Igbaria dan
Parasuraman (1989) dalam Sudaryono (2005). Variabel computer anxiety
diukur dengan instrumen Computer Anxiety Rating Scale (CARS) yang
dikembangkan oleh Heinssen eet al. (1987). Instrumen ini terdiri dari atas
24 item pertanyaan. Responden diminta untuk memilih jawaban dari
pertanyaan dalam bentuk skala linkert 5 point. Tingkat computer anxiety
yang rendah dinyatakan dengan skala rendah (1) dan skala tinggi (5)
menyatakan tingkat computer anxiety yang tinggi.
2. Variabel Dependen
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah keahlian komputer
audit, penerimaan teknologi komputer dipegaruhi oleh teknologi itu
sendiri serta tingkat keahlian dari individu yang menggunakan komputer.
Keyakinan bahwa setiap orang dapat meningkatkan keahliannya sangat
diperlukan, berguna untuk keefektifan penggunaan komputer dan
menguatkan rasa percaya diri setiap orang mampu menguasai dan
menggunakan teknologi komputer dalam pekerjaannya. Variabel
keahlian komputer diukur dengan istrumen Computer Self-Effiface Scale
(CSE) yang dikembangkan oleh Murphy et al. (1989) berisi 14 item
pertanyaan.Pertanyaan meliputi kemampuan pemakai dalam hal: aplikasi
komputer, sistem operasi komputer, penanganan files dan perangkat
keras penyimpan data, penggunaan tombol keyboard. Responden diminta
memilih jawaban dalam bentuk skala likert 5 point. Tingkat keahlian
komputer yang rendah dinyatakan dengan skala rendah (1) dan skala
tinggi (5) menyatakan tingkat keahlian komputer yang tinggi.
3. Variabel moderating
Variabel moderating dalam penelitian ini adalah gender. Penulis
ingin mengetahui apakah computer anxiety berpengaruh terhadap
keahlian komputer yang disebabkan oleh perbedaan gender. Perbedaan
gender dilihat dari perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan,
terutama dalam hal pengambilan keputusan. Variabel ini diukur dengan
menggunakan dengan menggunakan skala nominal.
Tabel 3.1
Definisi Operasional Variabel
Variabel Dimensi Skala
Pengukuran
Computer Anxiety • Cemas setiap kali
menggunakan komputer
• Yakin dalam kemampuan
untuk menggunakan komputer
• Tegang ketika bekerja pada
sebuah komputer
• Khawatir membuat kesalahan
pada komputer
• Mencoba untuk menghindari
menggunakan komputer bila memungkinkan
• Gelisah ketika duduk di
depan komputer
• Menikmati bekerja dengan
komputer
• Merasa santai bila bekerja
pada sebuah komputer
• Takut dengan komputer
• Merasa nyaman dengan
komputer
• Memiliki pengetahuan dasar
tentang sistem operasi dan perangkat lunak
• Memiliki pemahaman
tentang teknik pengolahan file dan struktur data
• Mampu bekerja dengan
44 terhadap dinamika perkembangan dan perubahan sistem dan program dalam suatu entitas
• Pernah melakukan audit
terhadap perusahaan yang sudah terkomputerisasi
Gender • Perbedaan laki-laki dan
perempuan dari aspek sosial, budaya, dan psikologis.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan menggunakan instrumen angket atau
kuesioner yang telah disebar, dengan objek penelitian adalah auditor
yang bekerja di Kantor Akuntan Publik (KAP) yang terdaftar dalam
directori Kantor Akuntan Publik dan Akuntan Publik 2009 di Jakarta
berdasarkan catatan Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) dan
Departemen Keuangan Republik Indonesia Sekretariat Jendral Pusat
Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai.
Tabel 4.1
Tingkat pengembalian Kuesioner
Keterangan Jumlah Presentase
Penyebaran Kuesioner 120 100%
Kuesioner yang tidak terkumpul 33 27,5%
Kuesioner yang Terkumpul 87 72,5%
Kuesioner yang dapat diolah 87 100%
Sumber: Hasil Penelitian yang diolah, 2010
Dari data dalam 4.1 dapat dilihat bahwa dari 120 kuesioner yang
disebar yang dapat terkumpul kembali adalah sebanyak 87 buah
kuesioner dan semuanya dapat diolah atau sebesar 72,5%% dari total
kuesioner. Hal ini menunjukkan tingkat pengembalian (response rate)
kuesioner yang cukup tinggi
2. Karakteritik Responden
Berikut ini adalah karakteristik dari karakteristik yang disajikan
dalam tabel berikut:
Tabel 4.2
Deskripsi Statistik Demografi Responden Berdasarkan Pendidikan dan Jenis Kelamin
Frekuensi
Sumber: Hasil penelitian yang diolah, 2010
Dari Tabel 4.2 tersebut memberikan informasi mengenai deskripsi
statistik demografi responden berdasarkan pendidikan dan jenis
kelamin, yang didalamnya dijelaskan mengenai frekuensi absolut dan
presentase responden. Dari tabel tersebut, dapat diketahui bahwa
responden perempuan mendominasi (51%) daripada responden laki-laki
(49%). Pendidikan terakhir dari para responden mayoritas adalah lulusan
S1 yaitu sejumlah 73 responden (84%). Dari jumlah tersebut 35
responden berjenis kelamin laki-laki dan yang berjenis kelamin
perempuan sebanyak 38 responden.
Tabel 4.3
Deskripsi Statistik Demografi Responden Berdasarkan Jabatan dan Jenis Kelamin
Frekuensi
Sumber: Hasil Penelitian yang diolah, 2010
Sedangkan Tabel 4.3 berikut menjelaskan bahwa jabatan yang
dimiliki oleh responden terbanyak adalah auditor junior (60%) yang
masa kerjanya tidak lebih dari 3 tahun. Dari jumlah tersebut yang
berjenis kelamin laki-laki sebanyak 44% dan 56 % adalah wanita.
Data dalam Tabel 4.4 sesuai dengan data pada Tabel 4.3 yang
menyatakan bahwa kategori jabatan auditor junior merupakan responden
terbanyak dalam penelitian ini. Jumlah responden yang memiliki
pengalaman bekerja sebagai auditor kurang dari 3 tahun sebanyak 82%
atau 71 responden yang terdiri dari jumlah auditor yang memiliki
pengalaman bekerja selama kurang dari 3 tahun dan 16% responden
memiliki pengalaman bekerja selama 3-5 tahun.
Tabel 4.4
Deskripsi Statistik Demografi Responden Berdasarkan Lama Bekerja dan Jenis Kelamin
Frekuensi Keterangan
Laki-laki Perempuan
Total
Lama
Bekerja Jumlah % Jumlah % Jumlah %
< 3 tahun 33 77% 38 87% 71 82%
3-5 tahun 8 19% 6 13% 14 16%
> 5 tahun 2 4% 0 0% 2 2%
Jumlah 43 49% 44 51% 87 100%
Sumber: Hasil penelitian yang diolah, 2010
B. Hasil Analisis Deskriptis Kualitatif 1. Hasil Uji Validitas
Berdasarkan hasil uji validitas instrumen variabel computer
anxiety, diperoleh data bahwa semua item pernyataan dinyatakan valid,
karena nilai signifikansinya dibawah 0.05 atau sig < 0.05.