I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bergulirnya era reformasi di Indonesia berdampak pada sistem
ketatanegaraan, yaitu terjadi pergeseran paradigma dan sistem pemerintahan
yang bercorak sentralistik di pemerintah pusat ke arah sistem pemerintahan
yang desentralistik (local democracy) yang bertumpu pada pemerintahan
daerah. Otonomi daerah memberikan keleluasaan kepada daerah untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan
prinsip-prinsip demokrasi, peran serta, prakarsa dan aspirasi masyarakat
sendiri atas dasar pemerataan dan keadilan, serta sesuai dengan kondisi,
potensi dan keragaman daerah.
Salah satu perubahan pada sistem ketatanegaraan yang terjadi pada era
otonomi daerah adalah penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah secara
langsung oleh masyarakat. Pemilihan Kepala Daerah Langsung merupakan
proses perekrutan pejabat politik daerah sebagai pemimpin daerah yang
bersangkutan dan dipilih langsung oleh rakyat secara demokratis tanpa melalui
Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dan wakil kepala daerah
dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pemilihan Kepala Daerah sebagai wujud Pemilu menjadi sarana yang tersedia
bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam menentukan pemimpinnya untuk
menjalankan kedaulatan rakyat. Pemilu juga merupakan kesempatan bagi
warga negara untuk memilih pejabat-pejabat pemerintahan dan memutuskan
apa yang mereka inginkan untuk dikerjakan pemerintah dan dalam membuat
keputusan itu para warga negara menentukan apakah yang sebenarnya mereka
inginkan untuk dimiliki.
Masyarakat pada dasarnya berharap bahwa pelaksanaan kepala daerah akan
terlaksana secara demokratis sebab mereka akan melaksanakan hak dan
kewajiban sebagai warga negara. Hal ini merupakan implementasi sistem
pemerintahan negara demokrasi yang menjadikan rakyat sebagai titik sentral
tata pemerintahan dan kenegaraan, sebab hakikatnya demokrasi adalah
pemerintahan yang dilaksanakan dari, oleh dan untuk rakyat.
Pemilihan kepala daerah merupakan kesempatan bagi masyarakat untuk
memilih pejabat pemerintahan daerah. Keikutsertaan warga negara dalam
pemilihan kepala daerah merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan
dalam bentuk perilaku memilih, yakni memberikan suara dalam pemilihan
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang sangat beranekaragam,
mulai dari segi suku, agama, sosial, dan budaya. Kondisi ini membutuhkan
pemimpin yang pandai dan pintar serta memiliki jiwa kepemimpinan yang
tinggi untuk mengaturnya. Salah satu kelompok masyarakat yang juga
berperan dalam proses demokratisasi lokal dengan turut berpartisipasi dalam
Pemilihan Kepala Daerah adalah masyarakat adat. Masyarakat adat adalah
suatu kesatuan hidup manusia yang terikat dalam suatu kebudayaan yang
dianggap sama dan berinteraksi menurut adat istiadat yang sama yang
ditunjukkan oleh adanya suatu identitas bersama.
Masyarakat adat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat adat
Lampung. Secara garis besar masyarakat Lampung terdiri dari dua kelompok
masyarakat adat, yaitu masyarakat adat Pepadun dan masyarakat adat Pesisir.
Masyarakat beradat Pepadun kebanyakan bermukim di daerah pedalaman,
sedangkan yang beradat Pesisir bermukim di daerah pesisir atau di daerah
yang tidak termasuk daerah lingkungan pepadun. Termasuk dalam lingkungan
beradat pepadun adalah orang-orang Abung, Tulangbawang (Menggala),
Waykanan Sungkai, Pubiyan. Sedangkan dalam lingkungan beradat Pesisir
adalah orang-orang Pesisir Teluk, Pesisir Semangka, Pesisir Krui, dan dataran
tinggi Belalau di daerah Provinsi Lampung.
Terkait dengan konteks Pemilihan Kepala Daerah, perilaku memilih
masyarakat tidak dapat dilepaskan dari berbagai faktor yang
mempengaruhinya, di antaranya adalah pendekatan sosiologis yaitu
dipengaruhi oleh beberapa hal seperti tempat tinggal, keluarga, teman
sepermainan, pekerjaan, dan keyakinan yang dianut. Pendekatan sosiologis
pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan
sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan
perilaku memilih seseorang.
Pengelompokan sosial seperti umur (tua-muda), jenis kelamin
(laki-perempuan) agama dan semacamnya dianggap mempunyai peranan yang
cukup menentukan dalam membentuk pengelompokkan sosial baik secara
formal seperti keanggotaan seseorang dalam organisasi-organisasi keagamaan,
organisasi-organisasi profesi, dan sebagainya, maupun kelompok informal
seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok kecil lainnya. Kelompok ini
merupakan sesuatu yang sangat vital dalam memahami perilaku memilih
seseorang, karena kelompok inilah yang mempunyai peranan yang besar
dalam menentukan sikap, persepsi dan orientasi seseorang terhadap politik.
Perilaku memilih masyarakat juga dapat ditentukan oleh pendekatan
rasionalitas yang mereka miliki, seperti menentukan pilihan karena
berorientasi pada kandidat atau mereka memilih karena telah mengetahui
calon dan program dari kandidat yang akan mereka pilih baik itu melalui
sosialisasi langsung dari calon atau partai peserta pemilu ataupun melalui
media massa. Pendekatan ini digunakan dengan harapan bahwa dengan
pendekatan ini dapat memberikan pandangan mengenai ketertarikan seseorang
untuk memilih yang didasari atas kemampuan untuk menilai figur kandidat,
tetapi tetap tidak melupakan untuk menjatuhkan pilihan pada kandidat yang
bisa mendatangkan keuntungan dan menekan kerugian yang sekecil-kecilnya.
Oleh karena itu, disinilah posisi media cukup berperan untuk menyampaikan
isu-isu/program politik yang diusung oleh kandidat serta memperkenalkan
calon-calon kandidat tersebut kepada khalayak ramai.
Selanjutnya adalah pendekatan identifikasi partai, menurut pendekatan ini
pemilih menentukan pilihannya karena pengaruh kekuatan psikologis yang
berkembang dalam dirinya, seperti kandidat yang dirasakan cukup dekat
dengannya pasti dia akan memilih kandidat tersebut atau seorang tokoh yang
sangat disegani pasti akan menjadi pedoman baginya untuk memilih. Tokoh
dalam hal ini yaitu pemimpin-pemimpin partai atau tokoh-tokoh nasional yang
relatif dikenal luas secara nasional. Konsep ini relatif independen untuk
menarik massa agar memilih partai, di mana seorang calon tersebut merupakan
tokoh di partai tertentu. Masyarakat memilih partai tidak hanya karena daya
tarik partai itu sendiri, tetapi lebih karena ada tokoh pimpinan partai politik.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis akan melakukan penelitian untuk
mengetahui pengaruh pendekatan sosiologis terhadap perilaku memilih
Masyarakat Adat Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing di Desa Labuhan
Ratu Kecamatan Labuhan Ratu Kabupaten Lampung Timur dalam Pemilihan
Kepala Daerah Lampung Timur 2010.
Alasan pemilihan Desa Labuhan Ratu sebagai lokasi penelitian ini didasarkan
pada hasil prariset yang penulis lakukan pada tanggal 25 Mei 2010. Data
Daftar Pemilih Tetap (DPT) adalah 8.738 pemilih. Pada Pemilu Legislatif
tercatat 8223 (94,11%) pemilih yang memberikan hak suaranya dan pada
Presiden tercatat 8327 (95,30%) pemilih yang memberikan hak suaranya. Data
tersebut menunjukkan bahwa masyarakat di Desa Labuhan Ratu Kecamatan
Labuhan Ratu Kabupaten Lampung Timur memiliki tingkat partisipasi politik
yang tinggi, karena pemilih yang memberikan hak suara mereka mencapai
persentase di atas 90% pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden.
Pemilihan masyarakat etnis Lampung Abung didasarkan pada pertimbangan
bahwa di antara masyarakat adat yang kelompok Lampung Pepadun, etnis
Lampung Abung memiliki marga yang lebih banyak dibandingkan dengan
marga masyarakat adat Lampung lainnya. Menurut Hilman Hadikusuma (1999:
14), bahwa masyarakat adat Lampung Abung memiliki sembilan marga
(Abung Siwo Megou), sementara itu etnis lainnya seperti masyarakat adat
Tulangbawang/Menggala hanya memiliki empat marga (Meggou Pak Tulang
bawang), Masyarakat adat Lampung Waykanan/Sungkai memiliki lima marga
(Buay Lima) dan masyarakat adat Pubian hanya memiliki tiga marga (Pubian
Telu Suku). Dengan beragamnya marga yang dimiliki masyarakat Lampung
Abung maka perilaku memilih masyarakat juga cenderung lebih beragam dan
komplek dibandingkan dengan masyarakat Adat Lampung lainnya.
Sembilan marga dalam masyarakat adat Abung Siwo Megou terdiri dari Buay
Unyi, Buay Unyai, Buay Uban, Buay Subing, Buay Beliuk, Buay Kunang,
Buay Selagai, Buay Anak Tuha dan Nyerupa. (Fachruddin, dkk, 1992: 24).
Kecamatan Labuhan Ratu Kabupaten Lampung Timur, mayoritas masyarakat
Abung Siwo Megou adalah yang berasal dari Buay Subing.
Adapun teori yang melandasi penelitian ini dikemukakan oleh J. Kristiadi
(1994), bahwa variabel sosial budaya (socio cultural) secara kuantitatif
memiliki pengaruh yang kuat terhadap kecenderungan perilaku memilih
masyarakat di pedesaan. Dengan kata lain, pengaruh panutan bersifat kuat
terhadap kecenderungan perilaku memilih masyarakat, sehingga orientasi
perilaku memilih masyarakat masih paternalistis.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Seberapa besarkah pengaruh etnisitas, agama, organisasi masyarakat adat, keluarga dan pertemanan
terhadap perilaku memilih Masyarakat Adat Lampung Abung Siwo Mego
Buay Subing di Desa Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu dalam
Pemilihan Kepala Daerah Lampung Timur Tahun 2010?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya pengaruh etnisitas,
agama, organisasi masyarakat adat, keluarga dan pertemanan terhadap
perilaku memilih Masyarakat Adat Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing
di Desa Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu dalam Pemilihan Kepala
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengetahuan penulis di bidang ilmu politik serta mengembangkannya
dalam penelitian ilmiah, dengan kajian mengenai pengaruh etnisitas,
agama, organisasi masyarakat adat, keluarga dan pertemanan terhadap
perilaku memilih masyarakat Adat Lampung Abung Siwo Mego Buay
Subing di Desa Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu dalam Pemilihan
Kepala Daerah Lampung Timur Tahun 2010.
2. Kegunaan Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran bagi lembaga-lembaga politik dan masyarakat
dalam mengidentifikasi dn mengetahui perilaku memilih masyarakat adat
dalam Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Lampung Timur Tahun
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku memilih
1. Pengertian Perilaku memilih
MenurutAbdul Munir Mulkan dalam Mahendra (2005: 71), perilaku memilih
adalah fungsi dari kondisi sosial dan ekonomi serta kepentingan, maka
perilaku memilih sebagian di antaranya adalah produk dari perilaku sosial
ekonomi dan kepentingan suatu masyarakat atau golongan dalam masyarakat
tersebut.
Menurut Sudiono Sastroatmodjo(1995) dalam Mahendra (2005: 72), perilaku
memilih berkenaan dengan tujuan suatu masyarakat, kebijakan untuk
mencapai tujuan, serta sistem kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu
otoritas untuk mengatur kehidupan bermasyarakat kearah pencapaian tujuan.
Menurut Ramlan Surbakti (1992), perilaku memilih dapat dibagi menjadi
dibagi dua, yaitu perilaku memilih lembaga-lembaga atau para pejabat
pemerintah dan perilaku memilih warga negara biasa (baik individu maupun
kelompok). Perilaku memilih pada lembaga-lembaga dan para pejabat
pemerintah yang ada di dalamnya bertanggungjawab membuat, melaksanakan,
berwenang seperti yang pertama, tetapi berhak mempengaruhi pihak pertama
dalam melaksanakan fungsinya, karena yang dilakukan pihak pertama
menyangkut kehidupan pihak kedua. Kegiatan politik pihak kedua ini disebut
partisipasi politik.
Menurut Mahendra (2005: 75), perilaku memilih adalah tindakan seseorang
ikut serta dalam memilih orang, partai politik, atau isu publik tertentu.
Perilaku memilih merupakan tindakan seseorang dalam memberikan pilihan
pada calon elit politik, partai politik atau isu politik tertentu.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka perilaku memilih adalah buah
dari pikiran dan tindakan seseorang maupun masyarakat yang berkenaan
dengan kepentingan atau tujuan dalam mempengaruhi proses pembuatan dan
melaksanakan keputusan politik.
2. Pendekatan Perilaku memilih
Menurut Surbakti (1992: 145), terdapat beberapa pendekatan untuk
mengetahui perilaku memilih masyarakat, yaitu sebagai berikut:
a. Pendekatan struktural
Pendekatan struktural melihat kegiatan memilih sebagai produk dari
konteks struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai,
sistem pemilihan umum, permasalahan, dan program yang ditonjolkan
oleh setiap partai. Struktur sosial yang menjadi sumber kemajemukan
politik dapat berupa kelas sosial atau perbedaan antara majikan dan
b. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam
kaitan dengan konteks sosial. Kongkretnya, pilihan seseorang dalam
pemilihan umum dipengaruhi latar belakang demografi dan sosial
ekonomi, seperti etnis, jenis kelamin, tempat tinggal (kota-desa),
pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan, dan agama.
c. Pendekatan Ekologis
Pendekatan ekologis hanya relevan apabila dalam suatu daerah pemilihan
terdapat perbedaan karakteristik pemilih berdasarkan unit teritorial, seperti
desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten. Jika di Amerika Serikat
terdapat distrik, precinct, dan ward. Kelompok masyarakat, seperti tipe
penganut agama tertentu, buruh, kelas menengah, mahasiswa, subkultur
tertentu, dan profesi tertentu bertempat tinggal pada unit teritorial sehingga
perubahan komposisi penduduk yang tinggal diunit teritorial dapat
dijadikan sebagai penjelasan atas perubahan hasil pemilihan umum.
d. Pendekatan Psikologi Sosial
Pendekatan psikologi sosial sama dengan penjelasan yang diberikan dalam
pendekatan perilaku memilih. Salah satu konsep psikologi sosial yang
digunakan untuk menjelaskan perilaku untuk memilih pada pemilihan
umum berupa identifikasi partai. Konsep ini merujuk pada persepsi
pemilih atas partai-partai yang ada atau keterikatan emosional pemilih
terhadap partai tertentu. Kongkretnya, partai yang secara emosional
dirasakan sangat dekat dengannya merupakan partai yang selalu dipilih
e. Pendekatan Pilihan Rasional
Pendekatan pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk
kalkulasi untung dan rugi, yang dipertimbangkan tidak hanya ”ongkos”
memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang
diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada.
Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak
mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat
pemerintah. Bagi pemilih pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk
membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak.
Sedangkan menurut Heywood (1997: 224), perilaku memilih dapat
diidentifikasi dengan beberapa pendekatan yaitu:
a. Pendekatan Identifikasi Partai
Teori paling awal dari perilaku memilih adalah pendekatan indentifikasi
partai yang merupakan bagian dalam faktor psikologis, ini didasarkan pada
pengaruh psikologis dari orang-orang yang menjadi anggota partai.
Pemilih melihat orang yang dipilih dengan mengidentifikasi dari partai
yang diikuti, hal ini termasuk dukungan dalam jangka panjang untuk
menghormati partai mereka sendiri. Pemungutan suara merupakan suatu
penjelmaan sikap berat sebelah, bukan produk kalkulasi yang dipengaruhi
faktor kebijakan, kepribadian, kampanye dan pemberitaan media.
b. Pendekatan Sosiologis
Hubungan antara pendekatan sosiologis dengan perilaku memilih terhadap
minat pada suatu grup didukung oleh tujuan pemilih untuk mengadopsi
mana mereka tergabung. Lebih dari itu pengembangan faktor psikologis
yang mempengaruhi partai yang berasal dari pengaruh keluarga. Sorotan
utama dari pendekatan ini adalah kepentingan dari perjanjian sosial,
mencerminkan tekanan didalam kemasyarakatan. Hal yang paling penting
untuk bagian ini adalah kelas, gender, etnisitas, agama, dan wilayah.
c. Pendekatan Pilihan Rasional
Pendekatan pilihan rasional lebih memperhatikan pendapat individu dan
jauh dari sosialisasi dan perilaku kelompok sosial. Di sini pemungutan
suara dilihat sebagai sikap yang rasional, pemilih individu percaya untuk
memilih partai dan mereka lebih memilih kepada seseorang yang diminati.
Telah menjadi suatu kebiasaan ada suatu manifestasi pengaruh dan
kesetiaan dalam pemungutan suara yang dianggap sebagai alat penting.
Pemilihan dalam hal ini merupakan pola pikir masa lalu dalam kekuasaan
partai dan bagaimana penampilannya mempengaruhi pilihan masyarakat.
d. Pendekatan Ideologi Dominan
Radikal teori dalam pemilihan suara menuju kepada fokus utama dari
tingkat pilihan individu yang dibentuk oleh proses dari manipulasi ideologi
dan kontrol. Di beberapa anggapan seperti beberapa perubahan teori dalam
pendekatan sosiologi, pemungutan suara disebut sebagai kedudukan
seseorang dalam hierarki sosial di mana teori ini berbeda dengan
pendekatan sosiologi, meskipun begitu bagaimana individu
menginpretasikan posisi mereka bergantung pada bagaimana mereka
Sementara itu menurut Afan Gaffar (1992: 27), beberapa pendekatan perilaku
memilih adalah sebagai berikut:
a. Pendekatan sosiologis
Pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan
pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup
signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. Pengelompokan sosial
seperti umur (tua-muda), jenis kelamin (laki-perempuan), agama dan
semacamnya, dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan
dalam membentuk perilaku pemilih. Untuk itu, pemahaman terhadap
pengelompokan sosial baik secara formal seperti keanggotaan seseorang
dalam organisasi-organisasi keagamaan, organisasi-organisasi profesi,
kelompok-kelompok okupasi dan sebagainya, maupun
pengelompokan-pengelompokan informal seperti keluarga, pertemanan, ataupun
kelompok-kelompok kecil lainnya merupakan sesuatu yang sangat vital
dalam memahami perilaku memilih, karena kelompok ini mempunyai
peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang.
b. Pendekatan psikologis
Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi
terutama konsep sikap dan sosialisasi, untuk menjelaskan perilaku pemilih.
Menurut pendekatan ini pemilih menentukan pilihannya karena pengaruh
kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari
proses sosialisasi. Melalui proses sosialisasi, berkembang ikatan psikologis
yang kuat antara seseorang dengan organisasi kemasyarakatan atau partai
dan pola tingkah laku politik serta merupakan sarana bagi generasi untuk
mewariskan patokan dan keyakinan politik pada generasi sesudahnya.
c. Pendekatan politis rasional
Pada pendekatan ini isu-isu politik menjadi pertimbangan penting. Para
pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan penilaiannya terhadap
isu-isu politik dan kandidat yang diajukan. Artinya para pemilih dapat
menentukan pilihan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional.
Berdasarkan uraian di atas maka kajian dalam penelitian ini dibatasi pada
pendekatan sosiologis sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku
memilih. Sesuai dengan teori yang dikemukakan Afan Gaffar (1992: 27),
bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial
mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku
pemilih. Pengelompokan sosial tersebut terdiri dari kelompok umur, jenis
kelamin , etnisitas maupun agama.Pengelompokan sosial dapat bersifat formal
seperti organisasi dan perkumpulan, maupun pengelompokan informal seperti
keluarga, pertemanan, ataupun kelompok-kelompok kecil lainnya.
3. Studi Tentang Perilaku Pemilih di Indonesia
Kajian mengenai perilaku pemilih telah banyak dijelaskan oleh para ahli seperti
Afan Gaffar dan Kristiadi, dan hingga sekarang konsep tersebut masih
dikumandangkan oleh para-para ahli penerusnya. Hingga saat ini, paling tidak
terdapat enam studi penting mengenai perilaku pemilih di Indonesia. Semua
studi ini melihat pemilih pada titik sentral dan menjelaskan faktor dan alasan
perilaku pemilih, kemungkinan banyak studi lain dalam penelitian di kampus
(skripsi, thesis ataupun disertasi). Meski demikian, enam studi inilah yang
hingga saat ini kerap disebut dan banyak dikutip untuk menjelaskan perilaku
pemilih di Indonesia, sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 1. Studi Perilaku Pemilih Yang Pernah Dilakukan.
STUDI OBJEK PEMILU METODE
Gaffar (1992) 1987 Survei
Mallarangeng (1997) 1977, 1982, 1987, 1992 Data agregat Ananta (et.al, 2004) 1999 Data agregat
King (2003) 1999 Data agregat
Liddle dan Mujani (2000) 1999 Survei Liddle dan Mujani (2007) 2004 Survei Sumber: www.lsi.co.id/media/. Diakses Tanggal 13 Juni 2010.
Penelitian Gaffar (1992) tentang Javanese Voters yang menelaah pendekatan
struktural Geertz dan traditional authority dari Jackson. Gaffar berupaya
menjelaskan mengenai perilaku memilih di kalangan masyarakat Jawa.
Mengapa masyarakat memilih partai politik tertentu dalam Pemilu Orde Baru.
Faktor apa yang menyebabkan seseorang memilih Golkar, Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dalam studinya,
Afan Gaffar menjelaskan empat variabel yang digunakan yaitu the
socio-religious beliefs (abangan dan santri), party identification, the pattern of
leadership, and class or social status.
Studi J. Kristiadi (1994), dengan variabel socio cultural menemukan bahwa
secara kuantitatif, pengaruh panutan masih kuat bagi kecenderungan perilaku
politik memilih masyarakat sehingga orientasi perilaku memilih masyarakat
masih paternalistis. Secara umum, penelitian pada akhir era orde baru (1992
menunjukkan partisipasi yang semakin baik. Sebenarnya studi Gaffar dan
Kristiadi berbeda, studi Gaffar mengambil sampel kelompok masyarakat yang
relatif homogen (masyarakat desa), sementara itu studi Kristiadi mengambil
sampel masyarakat desa dan kota untuk lebih memperoleh kejelasan tentang
pola perilaku pemilih dari dua jenis masyarakat yang berbeda karakternya.
(Sumber: http://www.scribd.com/, diakses pada tanggal 13 Juni 2010).
Studi selanjutnya dilakukan oleh Mallarangeng (1997) yang menjelaskan
faktor yang mempengaruhi pilihan seseorang pada partai politik di masa Orde
Baru Pemilu 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pasca tumbangnya Orde Baru studi
mengenai perilaku pemilih mulai marak dilakukan. Pemilu 1999 adalah pemilu
pertama setelah pemilu 1955 yang dilakukan secara demokratis, pemilih
mempunyai otonomi untuk menentukan partai apa yang didukung. Studi
mengenai perilaku pemilih menjadi relevan untuk dilakukan
(Sumber: www.lsi.co.id/media/. Diakses Tanggal 13 Juni 2010).
Studi King (2003), Ananta (et.al, 2004) dan Liddle dan Mujani (2000) adalah
salah satu contoh dari penelitian mengenai perilaku pemilih yang
menggunakan objek Pemilu tahun 1999. King (2003) berusaha melihat apakah
ada persamaan pilihan antara pemilih tahun 1955 dengan pemilih pada Pemilu
2004. Fakta-fakta empiris yang diajukan oleh King ini menunjukkan adanya
suatu kontinuitas, korelasi signifikan antara daerah-daerah pendukung
partai-partai tertentu pada tahun 1955 dan daerah-daerah pendukung partai-partai-partai-partai
tertentu pada 1999. King berusaha untuk menjelaskan faktor-faktor apa saja
ini didasarkan pada hasil Pemilu 1999. King mengembangkan suatu model
yang disebut sebagai konteks sosioekonomik. Dengan kata lain, King ingin
menguji apakah konteks sosial ekonomi punya pengaruh terhadap pilihan
seseorang terhadap partai politik. Ananta (et.al, 2004) mengembangkan lebih
lanjut studi dan temuan King (2003).
(Sumber: www.lsi.co.id/media/. Diakses Tanggal 13 Juni 2010).
Ananta menggunakan data-data yang lebih baru, sedangkan studi ekstensif
mengenai perilaku pemilih dilakukan oleh Liddle dan Mujani (2000, 2007).
Studi ini menggunakan konsep mutakhir mengenai perilaku pemilih yang
biasa dilakukan di Amerika. Studi ini juga menggunakan metode survei
dengan populasi nasional, sehingga hasilnya representatif dan bisa mewakili
pendapat dari seluruh masyarakat Indonesia
(Sumber: www.lsi.co.id/media/. Diakses Tanggal 13 Juni 2010).
Menurut Nursal (2004), perkembangan politik yang semakin maju kini
membawa perubahan untuk mengkaji perilaku pemilih lebih jauh lagi, ini
didukung dengan munculnya pendekatan baru dalam mengkaji perilaku
memilih yaitu pendekatan Political Marketing. Sebagai kajian keilmuan baru
yang masih dalam tataran embrionik, marketing politik yang pertama kali
dimulai di Amerika Serikat terus mengalami perkembangan definisi yang
beragam dan berubah. Political marketing merupakan serangkaian aktivitas
terencana, strategis tapi juga taktis, berdimensi jangka panjang dan jangka
marketing bertujuan membentuk dan menanamkan harapan, sikap, keyakinan,
orientasi dan perilaku pemilih.
Bambang Ary Wibowo (2005) menyamakan rasionalitas dengan politik
marketing, dimana dalam merebut peluang sebagai seorang kandidat
sebenarnya sama halnya dengan bagaimana memahami politik marketing,
dimana setiap produsen mempunyai kesempatan yang sama dalam
memasarkan produk (kandidat) sesuai dengan keinginannya. Kandidat yang
mampu bersaing dan memenangkan peperangan adalah kandidat yang
mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan, memenuhi keinginan pasar
serta memenuhi harapan dari pasar. Artinya, dalam pendekatan ini kandidat
diibaratkan sebagai sebuah produk yang akan dipasarkan kepada rakyat, untuk
itu agar kandidat dapat diterima oleh pasar serta mendapat dukungan dari
pasar (rakyat) maka kandidat haruslah seseorang yang berkualitas yang dapat
menarik simpati rakyat untuk turut serta mendukung kandidat tersebut.
(Sumber: www.fisip.uns.ac.id. Diakses Tanggal 13 Juni 2010).
Selanjutnya Bambang Ary Wibowo (2005), menjelaskan beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam pendekatan marketing terutama bagi partai politik
untuk mengajukan seorang kandidat :
a. Isu dan kebijakan politik, merupakan presensi dari kebijakan atau program
yang akan dilaksanakan oleh para kandidat nanti. Dengan demikian
pemilih akan tahu apa yang akan dikerjakan kandidat tersebut, misalnya
seberapa besar keberanian kandidat mengikuti debat publik untuk
b. Citra sosial, menunjukkan citra kandidat dalam menarik pemilih dengan
menciptakan asosiasi tertentu sehingga akan terjadi segmentasi pemilih di
mana kandidat dapat diterima. Misalnya calon yang berasal dari kalangan
intrepreneur, tentu akan lebih mudah diterima kelompok usahawan. Partai
yang berbasis agama tidak akan mudah menerima calon dari non agama.
c. Perasaan emosional, merupakan platform yang ditawarkan oleh kandidat
kepada pemilih. Misalnya kandidat calon Walikota Surakarta yang akan
membenahi pedagang kaki lima, tentu akan memunculkan perasaan
emosional dari setiap pemilih. Ada yang simpati dan ada yang antipati.
d. Citra kandidat, merupakan konsistensi citra diri seorang kandidat.
Ketegasan, emosional yang stabil, energik, jujur dan sebagainya akan
menjadi acuan bagi pemilih nanti. Misalnya bagi kandidat yang berasal
dari bekas pejabat yang pada saat berkuasa terlibat korupsi, akan menjadi
catatan bagi para pemilihnya.
e. Rasionalitas pemilih. Adanya perubahan perilaku pemilih yang menjadi
lebih rasional menjadi pertimbangan penting bagi para kandidat dalam
mempersiapkan dirinya dan tim suksesnya.
(Sumber: www.fisip.uns.ac.id. Diakses Tanggal 13 Juni 2010).
Berdasarkan beberapa pendapat beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan
bahwa penelitian tentang perilaku pemilih sebenarnya sudah lama dilakukan
oleh para ahli-ahli sebelumnya. Meskipun ada perbedaan pendapat dari para
ahli-ahli tersebut justru melahirkan berbagai macam bentuk pendekatan atau
konsep baru yang dapat digunakan untuk menelaah perilaku pemilih dan
B. Masyarakat Adat Lampung
1. Pengertian Masyarakat
Menurut Koentjaraningrat (1999: 147), masyarakat adalah kesatuan hidup
manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang
bersifat kontinyu dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Masyarakat merupakan sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan
terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.
Menurut Seorjono Soekanto (2002: 148), masyarakat adalah kesatuan hidup
manusia yang melakukan ineraksi berdasarkan hubungan-hubungan tersebut
serta pola-polanya sesuai dengan kepentingan manusia dan kelompoknya yang
terlihat dari adanya suatu identitas bersama.
Menurut Weber dalam Soekanto (2002: 24):
Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Masyarakat adalah sistem dari kebiasaan atau tata cara dari wewenang dan kerjasama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebebasan manusia, keseluruhan yang selalu berubah ini dinamakan masyarakat, masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial dan masyarakat selalu berubah. Masyarakat merupakan suatu pergaulan hidup, oleh karena manusia itu hidup bersama. Masyarakat merupakan suatu sistem yang terbentuk karena hubungan dari anggotanya. Dengan kata lain bahwa masyarakat adalah sistem yang terwujud dari kehidupan bersama, yang lazim disebut kemasyarakatan.
Selanjutnya Ralp Linton dalam Soekanto (2002: 27), berpendapat bahwa
masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja
menganggap diri mereka sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas yang
dirumuskan dengan jelas.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan pengertian masyarakat
adalah sekelompok manusia yang hidup bersama dan menempati suatu
wilayah tertentu dan menjalankan hubungan diantaranya dengan menjalankan
suatu fungsi-fungsi tertentu yang saling menentukan satu sama lain.
2. Ciri-Ciri Masyarakat
Masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang secara nyata ada
maupun fiktif bertempat di wilayah tertentu, di mana anggota-anggotanya
memiliki kepentingan tertentu, mempunyai suatu kesamaan perasaan bahwa
hanya dengan hidup demikianlah maka kebutuhan-kebutuhan pokok untuk
kelangsungan hidupnya dapat terpenuhi. Masyarakat juga dapat dimaknai
sebagai hubungan antar manusia bersifat pribadi, kenal mengenal dengan
akrab, sepahit-semanis, seduka-sesuka, disertai saling percaya mempercayai
yang berakar pada kesatuan keturunan dan kesatuan keluarga, mempunyai
kesatuan adat dan kepercayaan, sebagai bagian yang tidak terpisahkan.
Menurut Seokanto (2002: 150-151), ada beberapa unsur yang dapat dijadikan
ciri suatu kelompok masyarakat, yaitu:
a. Seperasaan
Unsur perasaan akibat seseorang berusaha untuk mengidentifikasikan
dirinya dengan sebanyak mungkin orang dalam kelompok tersebut,
b. Sepenanggungan
Setiap individu sadar akan perannya dengan kelompok dan masyarakat
sendiri memungkinkan perannya, dalam kelompok dijalankan, sehingga
dia mempunyai kedudukan yang pasti dalam darah dagingnya sendiri.
c. Saling memerlukan
Individu yang tergabung dalam masyarakat setempat merasakan dirinya
tergantung pada komunitasnya yang meliputi kebutuhan fisik maupun
kebutuhan psikologis.
Sementara itu menurut Koentjaraningrat (1998: 192), masyarakat merupakan
sekelompok manusia yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu sebagai satu
kesatuan hukum, terorganisir, memiliki lembaga baik formal maupun non
formal, dan berkaitan dengan hukum dan pemerintahan, memiliki wewenang
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya dalam rangka memenuhi
kebutuhannya. Ada empat ciri penting dalam suatu kelompok yang bisa
membentuk suatu masyarakat, yaitu sebagai berikut:
a. Interaksi
Interaksi dalam suatu kelompok merupakan faktor yang penting, karena
melalui interaksi, individu dapat melihat perbedaan antara kelompok atau
dengan istilah coact. Coact adalah orang yang secara serentak terikat
dalam aktivitas yang sama namun tanpa komunikasi dengan lainnya.
Sekumpulan orang yang berinteraksi dalam jangka waktu yang singkat dan
tidak dapat digolongkan sebagai kelompok mempersyaratkan adanya
interaksi dalam jangka waktu yang panjang, karena dengan ini ia akan
memiliki karakteristik atau cirri ang tidak dimiliki oleh kumpulan
sementara.
c. Ukuran atau jumlah partisipan dalam kelompok
Dalam hal ini tidak ada ukuran yang pasti mengenai jumlah anggota dalam
suatu kelompok.
d. Tujuan
Mengandung pengertian bahwa keanggotaan dalam suatu kelompok akan
membantu individu menjadi anggota kelompok tersebut dapat
mewujudkan satu atau lebih tujuannnya.
3. Pengertian Adat
Menurut Hilman Hadikusuma (1999: 139), adat merupakan
kebiasaan-kebiasaan perilaku manusia didalam masyarakat yang merupakan bagian
kebudayaan. Menurut Zubaidi dan Zainal Abidin (1991: 1), adat adalah suatu
pengungkapan tata nilai sosial budaya serta pedoman dalam berperilaku bagi
masyarakat pemangkunya.
Berdasarkan kedua pengertian di atas, maka adat adalah kebiasaan yang terjadi
berulang-ulang dalam suatu masyarakat, di mana kebiasaan-kebiasaan tersebut
merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat itu sendiri, yang memiliki
norma-norma yang berlaku dimasyarakat dalam melakukan interaksi antar
Berdasarkan definisi masyarakat tersebut, yang dimaksud masyarakat
Lampung dalam penelitian ini adalah suatu kesatuan hidup manusia yang
terikat dalam budaya Lampung dan berinteraksi menurut adat istiadat dan
budaya Lampung.
4. Kondisi Sosiologis Masyarakat Lampung
Menurut Hilman Hadikusuma (1999: 10), asal-usul penduduk Lampung, erat
hubungannya dengan asal-usul istilah Lampung itu sendiri yakni kata
To-Lang-Po-Hwang yang dapat dieja atas kata to yang berarti orang dalam bahasa
Toraja, sedang kata Lang-po-hwang adalah kepanjangan dari kata Lampung.
Jadi To-Lang-po-hwang berarti orang Lampung, sehingga erat hubungannya
antara dua kata tersebut terhadap asal-usul orang Lampung.
Selanjutnya dalam Kitab Koentjara Rajaniti (Pegangan Raja dalam
Pemerintahan) dalam Hilman Hadikusuma (1999: 12) dikemukakan bahwa
ada nama-nama poyang yang banyaknya ada lima yang kesemuanya itu
berasal dari Pagaruyung dan kemudian menjadi poyangnya Suku Lampung
yang ada sekarang ini yaitu:
a. Indragadjah gelar Umpu Bejalan berkedudukan di Puncak dan
menurunkan Suku Lampung Abung
b. Paklang gelar Umpu Pernong berkedudukan di Hanibung dan menurunkan
c. Sikin gelar Umpu Nyerupa berkedudukan di Sukau dan menurunkan Suku
Lampung Jelma Daya
d. Belunguh gelar Umpu Belunguh berkedudukan di Kenali dan menurunkan
Suku Lampung Peminggir
e. Indarwati gelar Putri Bulan berkedudukan di Canggiling menurunkan
Suku Lampung Tulangbawang
Masyarakat Lampung terdiri dari dua kelompok besar masyarakat adat yaitu:
1) Masyarakat yang beradat Pepadun, yang terdiri dari:
a. Masyarakat adat Abung (Abung Siwo Megou) yang terdiri dari 9
marga geneologis
b. Masyarakat adat Tulangbawang/Menggala (Meggou Pak
Tulangbawang) terdiri dari 4 marga geneologis
c. Masyarakat adat Buay Lima (Waykanan/Sungkai) terdiri dari 5 marga
geneologis
d. Masyarakat adat Pubian (Pubian Telu Suku) terdiri dari 3 marga
geneologis
2) Masyarakat adat Saibatin atau Peminggir/Pesisir terdiri dari:
a. Masyarakat adat Peminggir Melinting Rajabasa lokasinya meliputi
Labuhan Maringgai, Rajabasa, dan Kalianda
b. Masyarakat Peminggir Teluk lokasinya sekitar Telukbetung
c. Masyarakat adat Peminggir Semangka lokasi daerahnya di Kecamatan
Cukuh Balak, Talang Padang, Kota Agung, dan Wonosobo
d. Masyarakat adat Peminggir Sekalaberak lokasi daerahnya meliputi
e. Masyarakat Komering lokasi daerahnya meliputi Komering Ulu dan
Komering Ilir
5. Unsur-Unsur Kebudayaan Masyarakat Adat Lampung
Menurut Hilman Hadikusuma (1999: 101-112), bahwa masalah kebudayaan
Lampung dalam kaitannya dengan kebudayaan nasional dan pembangunan
dalam batas ruang lingkup uraian tentang budaya nilai, budaya adat, budaya
bahasa, dan budaya seni dan peralatannya.
a. Budaya Nilai
Para ahli kebudayaan menempatkan budaya nilai ini dari adat istiadat yang
menagtur kehidupan masyarakat. Hidup manusia itu mengejar nilai dan
nilai yang dikejar tersebut dipengaruhi oleh pandangan hidup atau cita
hidup. Pandangan hidup itu adalah sistem pedoman tentang apa yang baik
dan apa yang tidak baik dalam cita-cita hidup orang atau masyarakat
tertentu. Pandangan hidup orang Lampung selain di jiwai oleh nilai-nilai
ajaran Islam, juga dipengaruhi rasa harga diri yang disebut dengan Pi’il
Pesenggiri, yang terdiri dari:
2) Sakai Sembayan meliputi pengertian yang luas termasuk di dalamnya
gotong royong, tolong menolong, bahu-membahu dan saling memberi
segala sesuatu yang diperlukan bagi pihak lain, bukan hanya bersifat
materi saja tetapi juga dalam arti moril dan pemikiran
3) Nemui Nyimah yang berarti bermurah hati, ramah-tamah terhadap
4) Nengah Nyappur berarti keharusan ikut bergaul di tengah masyarakat
dengan ikut serta berpartisipasi dalam segala hal yang baik
5) Bejuluk Beadek didasarkan pada Kitey Gemetey yang diwarisi
turun-temurun menghendaki agar seseorang di samping mempunyai nama,
juga diberi gelar sebagai panggilan untuknya. Ini berarti perjuangan
dalam meningkatkan derajat kehidupan dalam masyarakat
b. Budaya Adat
Tidak semua cara berfikir dan berbuat yang mewujudkan adat istiadat,
yang berasal dari struktur masyarakat feodal desa itu buruk. Yang jelas,
tanpa adanya kebiasaan perilaku dan adat istiadat berarti tiada hukum.
Tidak sedikit wujud budaya adat tradisional dan unsur-unsurnya yang
berasal dari zaman feodalisme yang baik dan merupakan kepribadian
nasional. Misalnya saja, sebagaimana telah dikemukakan di atas tentang
Pi’il Pesenggiri, rasa harga diri dengan kepribadian ingin bernilai baik
dalam kehidupan masyarakat, suka nemui nyimah, nengah nyappur dan
sakai sambayan, hal demikian itu perlu dipertahankan karena merupakan
kebudayaan Timur dan kepribadian nasional. Hanya saja untuk
mendukung kegiatan pembangunan perlu pembinaan dan pengarahan yang
sesuai dengan konsep pandangan hidup Pancasila dan tujuan
pembangunan nasional. Dengan demikian maka apa yang menjadi masalah
bagi kita dewasa ini adalah bagaiman menghadapi budaya adat yang lapuk
dan bagaimana membinan budaya adat yang ideal.
Bahasa Lampung adalah bahasa daerah yang hanya dipakai oleh sekitar
satu juta orang yang mendiami daerah Propinsi Lampung dan sebagian
daerah Propinsi Sumatera Selatan di sepanjang Sungai Komering dan
Danau Ranau sampai Kayuagung. Bahasa Lampung terdiri dari bahasa
lisan dan bahasa tulisan yang disebut dengan aksara Lampung. Pada
akhir-akhir ini sudah banyak orang tua-tua atau cendikiawan yang mengaku
orang Lampung tidak lagi bisa menggunakan aksara Lampung dan sudah
banyak juga angkatan muda Lampung yang kaku dan tidak lancar lagi
menggunakan Bahasa Lampung. Walaupun bahasa Lampung terdiri dari
terdiri dari dua dialek bahasa yang agak berbeda, yang satu berdialek A
(Pemanggilan) sedangkan yang satu berdialek O (Abung), namun di antara
kedua dialek itu bukan banyak perbedaan arti, melainkan berbeda dalam
pengucapan. Sesungguhnya antara kedua dialek tersebut dapat dipakai
secara bersama-sama sebagai bahasa sehari-hari oleh orang-orang
Lampung, sebagaimana dalam musyawarah adat yang dilakukan oleh
pemuka-pemuka adat.
d. Budaya Seni dan Peralatannya
Berbagai macam kesenian yang hidup di kalangan orang Lampung, adalah
seni suara, seni sastra, seni musik dan seni tari, sedangkan seni lukis tidak
banyak, apalagi seni patung tidak ada sama sekali. Seni suara orang
Lampung kebanyakan dalam bentuk pantun yang disebut “pattun”, “syaer”, “pisk’an”, “ringget”, “bandung”, “adi-adi”, “segata”, “wayak” di
berbagai daerah dilagukan perseorangan atau beramai-ramai dengan atau
Dahulu pantun itu diperdengarkan pada waktu pesta adat, tetapi sekarang
sudah banyak muda-mudi yang tidak lagi pandai melagukannya, karena
kebanyakan lebih tertarik pada lagu-lagu modern. Sedangkan seni tari
Lampung dapat dibedakan antara seni adat dan seni tari gembira. Kedua
macam seni tari itu sebenarnya bersifat hiburan, hanya saja seni tari adat
dilakukan pada upacara adat menurut tata tertib adat dan oleh
pelaku-pelaku pria wanita menurut adat dan oleh pelaku-pelaku-pelaku-pelaku pria dan wanita
menurut adat, begitu pula para pelakunya bebas dari ketentuan adat.
Sedangkan Seni tari gembira adalah tarian yang digelar dipesta keramaian
yang bukan upacara adat, Bentuk seni tari gembira banyak dipengaruhi
unsur-unsur tarian dari daerah lain, seperti tari kipas, bedana, tari serai
serumpun, dan tari penerimaan tamu dengan tepak sirih.
C. Masyarakat Adat Lampung Siwo Mego
Menurut Hilman Hadikusuma (1999: 158), masyarakat adat Lampung Siwo
Mego merupakan bagian dari masyarakat Lampung yang beradat Pepadun.
Secara bahasa Siwo berarti Sembilan dan Mego berarti marga, dengan
demikian Siwo Mego berarti masyarakat Lampung Abung yang memiliki
sembilan marga geneologis, yaitu sebagai berikut:
1. Buay Unyi
2. Buay Unyai
3. Buay Uban
4. Buay Subing
6. Buay Kunang
7. Buay Selagai
8. Buay Anak Tuha
9. Buay Nyerupa
Masyarakat adat Lampung Siwo Mego menempati wilayah tanah yang ada di
sekitar Way Rarem, Way Terusan, Wai Pengubuwan dan Way Seputih.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Lampung berdialek “o” atau nyow.
Masyarakat Lampung Abung Siwo Migo berasal dari keturunan Ratu
Dipuncak. Ratu Dipuncak pada mulanya bermukim di daerah Sekala Beghak
ini keturunan Ratu Dipuncak menyebar ke masing-masing daerah, ada yang ke
Utara dan ada yang ke Selatan diantaranya ke daerah Komering dan Kayu
Agung Sumatera Selatan dan lain sebagainya. Sedangkan yang lain lagi untuk
pertama kali ke daerah Way Abung Lampung Utara. Di Way Abung ini
keturunan Ratu Dipuncak mengadakan kata sepakat tentang adat mereka yaitu
adat Lampung Abung Siwo Migo.
Pembentukan kesatuan Abung Siwo Migo (Abung Sembilan Marga), diawali
pertemuan di suatu tempat di pinggir Way Abung, di sinilah pertemuan dan
perundingan pada Siwo Migo yang pertama dengan keputusan delapan orang
saudara Nunyai mendapat hak adat ngejukngakuk, tetapi belum mendapat adat
kebumian. Besarnya pengakuk untuk Nunyai tetap 600 (enam ratus)
sedangkan bagi yang lain baru 400 (empat ratus). Mereka yang menjadi saksi
mendapatkan hak keadatan, dan dari sinilah lahir istilah Abung Siwo Migo
atau Pak Sumbai. (Soebing, 1998: 19)
Masa Abung Siwo Migo (Abung Sembilan Marga) sekitar abad ke-18. Suatu
sistem keterbukaan adat telah diberlakukan sejak zaman Minak Trio Diso,
yakni adanya sistem Mewari (adopsi) untuk menjadi anggota adat Abung bagi
orang-orang dari luar, di mana orang-orang yang diadopsi ini menjadi sama
hak dan kewajibannya di dalam kemasyarakatan dan adat, dan mereka pun
menjadi pimpinan (penyimbang) pula pada buwai masing –masing. Disamping itu ada pula di antara penyimbang-penyimbang tersebut yang melakukan
“Seba” ke Banten. Penyimbang-penyimbang yang telah seba dan para
penyimbang yang atas persepakatan yang disahkan oleh perwatin, lalu
membentuk persekutuan bersama, yakni sebanyak sembilan migo termasuk
keturunan dari Minak Trio Diso sebagai penyimbang inti. (Chaidar, 1992: 51)
D. Pemilihan Kepala Daerah Langsung
Menurut Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam
satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pasal 58 menyebutkan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah
warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat:
b. Setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar
Negara Republik lndonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus
1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;
c. Berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau
sederajat;
d. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
e. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan
menyeluruh dari tim dokter;
f. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
lebih;
g. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
h. Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;
i. Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
j. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau
secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan
keuangan negara.
k. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
l. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
m. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum
n. Menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain
riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;
o. Belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah
selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; dan
p. Tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah.
Menurut Amirudin (2003: 184-186), kelebihan sistem Pemilihan Kepala
Daerah langsung adalah sebagai berikut:
a. Konkritisasi Demokrasi, dengan memberikan perspektif baru bahwa
proses Pemilihan Kepala Daerah akan memenuhi kaidah proses demokrasi
di dua level struktural dan kultural. Di level struktural, proes Pemilihan
Kepala Daerah diduga akan lebih beradab karena melibatkan unsur
Partisipasi publik yang makin meluas dari bawah sesuai aspirasi
masyarakat lokal. Di level kultural, Proses Pilkada memberi keleluasaan
bagi merembesnya nilai-nilai transparansi, independensi dan kejujuran.
b. Adanya kemungkinan kekerasan terhadap proses dan kekerasan terhadap
data, sedikit terkurangi.
c. Berkurangnya praktek premanisme politik uang. Jika Pilkada dilakukan
secara langsung, kemungkinan politik uang dapat diminimalisasi
E. Kerangka Pikir
Pemilihan Kepala Daerah sebagai wujud Pemilu menjadi sarana yang tersedia
bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam menentukan pemimpinnya untuk
menjalankan kedaulatan rakyat. Pemilihan Kepala Daerah merupakan
pemerintahan yang akan menjadi pemimpin seluruh masyarakat, termasuk
masyarakat adat.
Masyarakat adat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat adat
Lampung. Secara garis besar nasyarakat Lampung terdiri dari dua kelompok
masyarakat adat, yaitu masyarakat adat Pepadun dan masyarakat adat Pesisir.
Masyarakat beradat Pepadun kebanyakan bermukim di daerah pedalaman,
sedangkan yang beradat Pesisir bermukim di daerah pesisir atau di daerah
yang tidak termasuk daerah lingkungan pepadun. Termasuk dalam lingkungan
beradat pepadun adalah orang-orang Abung, Tulangbawang (Menggala),
Waykanan Sungkai, Pubiyan.
Perilaku memilih masyarakat dalam penelitian ini dibatasi pada pendekatan
sosisologis, dengan pertimbangan bahwa karakteristik sosial dan
pengelompokan sosial secara teoritis mempunyai pengaruh yang cukup
signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. Pengelompokan sosial tersebut
terdiri dari etnisitas, agama, organisasi masyarakat adat, keluarga dan
pertemanan.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh etnisitas, agama,
organisasi masyarakat adat, keluarga dan pertemanan terhadap perilaku
memilih Masyarakat Adat Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing di Desa
Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu dalam Pemilihan Kepala Daerah
Lampung Timur Tahun 2010. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
F. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ho : Tidak Ada pengaruh etnisitas, agama, organisasi masyarakat adat,
keluarga dan pertemanan terhadap perilaku memilih Masyarakat Adat
Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing di Desa Labuhan Ratu
Kecamatan Labuhan Ratu dalam Pemilihan Kepala Daerah Lampung
Timur Tahun 2010
Ha : Ada pengaruh etnisitas, agama, organisasi masyarakat adat, keluarga dan
pertemanan terhadap perilaku memilih Masyarakat Adat Lampung Subing di Desa Labuhan Ratu Kecamatan
Labuhan Ratu Lampung Timur (Variabel Y)
III. METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan
pendekatan kuantitatif. Menurut Arikunto (2000: 126), penelitian deskriptif
adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan atau melukiskan
keadaan subyek atau obyek penelitian (masyarakat adat, lembaga,masyarakat,
dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau
sebagaimana adanya. Pendekatan kuantitatif adalah penyajian analisis
fenomena yang disusun dengan data kuantitatif serta membuat ketetapan
pengukurannya menggunakan teknik analisis statistik.
B. Definisi Konsep
Menurut Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi (2001: 121), definisi konsep
adalah pemaknaan dari konsep yang digunakan, sehingga memudahkan
peneliti untuk mengoperasikan konsep tersebut di lapangan. Berdasarkan
definisi tersebut maka definisi konsep penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis adalah salah satu faktor yang mempengaruhi
karakteristik sosial atau pengelompokan sosial yang meliputi etnisitas,
agama, organisasi masyarakat adat, keluarga dan pertemanan.
2. Perilaku Memilih Masyarakat Adat
Perilaku memilih Masyarakat Adat Lampung Abung Siwo Mego Buay
Subing di Desa Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu dalam Pemilihan
Kepala Daerah Lampung Timur Tahun 2010 adalah tindakan yang
dilakukan oleh masyarakat dalam memberikan atau menjatuhkan
pilihannya pada calon Kepala Daerah yang didasarkan pada pemahaman
terhadap Pilkada, kecenderungan untuk memilih, pertimbangan dalam
memilih, kesadaran untuk memilih dan memberikan pilihan pada Pilkada
C. Definisi Operasional
Menurut Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi (2001: 123), definisi
operasional adalah petunjuk bagaimana variabel diukur, dengan membaca
definisi operasional maka diketahui baik buruknya variabel tersebut.
Berdasarkan definisi di atas, definisi operasional sebagai fokus dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan Sosiologis
Indikator-indikatornya adalah sebagai berikut:
a. Etnisitas, diukur dari adanya pertimbangan etnisitas oleh masyarakat
dalam memberikan pilihan pada Pilkada.
b. Agama, diukur dari adanya pertimbangan agama oleh masyarakat
c. Organisasi masyarakat adat, diukur dari adanya pertimbangan
organisasi masyarakat adat dalam memberikan pilihan pada Pilkada.
d. Keluarga, diukur dari adanya pertimbangan keluarga oleh masyarakat
dalam memberikan pilihan pada Pilkada.
e. Pertemanan, diukur dari adanya pertimbangan pertemanan oleh
masyarakat dalam memberikan pilihan pada Pilkada.
2. Perilaku Memilih Masyarakat Adat
Indikator-indikatornya adalah sebagai berikut:
a. Pemahaman terhadap Pilkada, diukur dari adanya pemahaman
masyarakat adat terhadap tujuan pelaksanaan Pilkada.
b. Kecenderungan untuk memilih, diukur dari adanya kecenderungan
masyarakat adat untuk memilih salah satu calon dalam Pilkada.
c. Pertimbangan dalam memilih, diukur dari adanya pertimbangan
sosiologis oleh masyarakat adat untuk memilih salah satu calon dalam
Pilkada.
d. Kesadaran untuk memilih, diukur dari adanya kesadaran masyarakat
adat untuk memilih salah satu calon dalam Pilkada.
e. Memberikan pilihan pada Pilkada, diukur dari adanya perilaku
memilih masyarakat terhadap salah satu calon dalam Pilkada.
D. Populasi
Menurut Singarimbun dan Effendi (2001: 108), populasi adalah jumlah
keseluruhan unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga. Berdasarkan definisi
Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing di Desa Labuhan Ratu Kecamatan
Labuhan Ratu Kabupaten Lampung Timur yang telah memiliki hak pilih dan
terdaftar dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap) dengan jumlah yaitu 1.070 orang.
(Sumber: Monografi Desa Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu Kabupaten Lampung Timur Tahun 2010)
E. Sampel
Menurut Singarimbun dan Effendy (2001: 82), sampel adalah sebagai dari
populasi yang memiliki sifat-sifat utama dari populasi dan dijadikan sebagai
perwakilan atau represtasi dalam penelitian. Penentuan besarnya sampel
penelitian dihitung dengan menggunakan rumus Slovin sebagai berikut:
1
1 = bilangan konstan (Sugiono, 2005)
Berdasarkan rumus di atas maka besarnya sampel adalah :
1
Dengan demikian maka sampel penelitian berjumlah 91 orang.
F. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan:
1. Kuisioner, yaitu dengan memberikan daftar pertanyaan atau angket tertulis
2. Dokumentasi, mengumpulkan data sekunder dari berbagai sumber atau
referensi yang terkait dengan penelitian, seperti buku, majalah, atau
literatur lainnya.
G. Teknik Pengolahan Data
Setelah data yang diperoleh dari lapangan terkumpul, maka tahap selanjutnya
adalah dengan mengolah data yang ada tersebut. Adapun teknik yang
digunakan dalam pengolahan data pada penelitian ini adalah:
1. Editing. Data yang telah diperoleh dilapangan, diedit atau diperiksa untuk
angka kebenarannya. Pemeriksaan tersebut didasarkan pada
ukuran-ukuran yang ditetapkan sebelumnya.
2. Koding. Dilakukan untuk mempermudah pengolahan data yang telah
masuk dan memberi kode-kode tertentu pada jawaban responden.
3. Tabulasi, yaitu mengelompokan jawaban-jawaban yang serupa dan teratur
secara sistematis, kemudian memasukan data-data kedalam tabel agar
dapat dibaca dan diinterpretasikan secara deskriptif analitik.
H. Teknik Analisis Data
Untuk mengetahui pengaruh pendekatan sosiologis terhadap perilaku memilih
Masyarakat Adat Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing di Desa Labuhan
Ratu Kecamatan Labuhan Ratu dalam Pemilihan Kepala Daerah Lampung
Timur Tahun 2010, digunakan analisis statistik rumus Koefisien Penentu.
Nilai korelasi yang didapat kemudian diinterpretasikan dalam kriteria
Nilai r Interpretasi nilai r 0,800 sampai dengan 1,000 Korelasi sangat kuat 0,600 sampai dengan 0,799 Korelasi kuat
0,400 sampai dengan 0,599 Korelasi cukup kuat 0,200 sampai dengan 0,399 Korelasi rendah
0,001 sampai dengan 0,199 Korelasi sangat tidak rendah
Rumus Koefisien Penentu adalah sebagai berikut:
KP = r2 x 100%
nilai t hitung (Student Test), dengan rumus sebagai berikut:
2
Selanjutnya dilakukan perbandingan nilai t hitung dengan nilai t tabel pada taraf
signifikan 95%, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Jika t hitung > t tabel pada taraf signifikan 95% maka Ho ditolak, Ha diterima.
Berarti ada pengaruh pendekatan sosiologis terhadap perilaku memilih
Masyarakat Adat Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing dalam
Pemilihan Kepala Daerah Lampung Timur Tahun 2010
b. Jika t hitung < t tabel pada taraf signifikan 95% maka Ho diterima, Ha ditolak.
Berarti tidak ada pengaruh pendekatan sosiologis terhadap perilaku
memilih Masyarakat Adat Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing
I. Uji Validitas dan Reliabilitas
Pengujian validitas instrumen penelitian dilakukan dengan menggunakan
rumus Korelasi Product Moment, sebagai berikut:
2 2
2 2
(Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, 2001: 137).
Ketentuannya adalah jika nilai r hitung > r tabel maka pertanyaan valid dan
jika r hitung < r tabel maka pertanyaan tersebut tidak valid
Untuk mencari reliabilitas keseluruhan item adalah dengan mengoreksi angka
korelasi yang diperoleh menggunakan rumus Koefisien Alfa (CronBach):
= Nilai varians masing-masing item 2
t
= Varians total
Ketentuannya adalah jika nilai nilai alfa > r tabel maka pertanyaan reliabel dan
jika nilai alfa < r tabel maka pertanyaan tersebut tidak reliabel.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Identitas Responden
Responden penelitian ini adalah masyarakat adat Lampung Abung Siwo Mego
Buay Subing di Desa Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu Kabupaten
Lampung Timur yang telah memiliki hak pilih dan terdaftar dalam DPT
(Daftar Pemilih Tetap) dengan jumlah 91 orang. Berikut akan dideskripsikan
identitas responden menurut kelompok umur, jenis kelamin, pendidikan
terakhir dan pekerjaan.
1. Identitas Responden Menurut Jenis Kelamin
Menurut jenis kelamin maka responden penelitian ini terdiri dari jenis kelamin
laki-laki dan perempuan. Untuk mengetahui Identitas Responden menurut
jenis kelamin, dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 6. Identitas Responden Menurut Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Frekuensi Persentase
1 Laki-laki 67 73,63
2 Perempuan 24 26,37
Jumlah 91 100
Berdasarkan data pada tabel di atas diketahui bahwa dari 91 responden,
sebanyak 67 (73,63%) responden berjenis kelamin laki-laki dan sebanyak 24
(26,37%) responden berjenis kelamin perempuan. Dengan demikian maka
sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki.
2. Identitas Responden Menurut Kelompok Umur
Untuk mengetahui Identitas Responden menurut kelompok umur, dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 7. Identitas Responden Menurut Kelompok Umur
No Kelompok Umur Frekuensi Persentase
1 47 Tahun ke atas 8 8,79
2 37 – 46 Tahun 24 26,37
3 27 – 36 Tahun 37 40,66
4 17 – 26 Tahun 22 24,18
Jumlah 91 100
Sumber: Pengolahan Data Penelitian Tahun 2010
Berdasarkan data pada tabel di atas diketahui bahwa dari 91 responden,
sebanyak 8 (8,79%) responden berusia 47 tahun ke atas, sebanyak 24
(26,37%) responden berusia 37-46 tahun, sebanyak 37 (40,66%) responden
berusia 27-36 tahun dan sebanyak 22 (24,18%) responden berusia 17-26
tahun. Dengan demikian maka sebagian besar responden berusia 27–36 tahun.
3. Identitas Responden Menurut Pendidikan Terakhir
Untuk mengetahui identitas responden menurut pendidikan terakhir, dapat
Tabel 8. Identitas Responden Menurut Pendidikan Terakhir
No Pendidikan Terakhir Frekuensi Persentase
1 Perguruan Tinggi 7 7,69
2 SMA/Sederajat 42 46,15
3 SMP/Sederajat 29 31,87
4 SD/Sederajat 13 14,29
Jumlah 91 100
Sumber: Pengolahan Data Penelitian Tahun 2010
Berdasarkan data pada tabel di atas diketahui bahwa dari 91 responden,
sebanyak 7 (7,69%) responden adalah lulusan perguruan tinggi, sebanyak 42
(46,15%) responden adalah lulusan SMA/Sederajat, sebanyak 29 (31,87%)
responden adalah lulusan SMP/Sederajat dan sebanyak 13 (14,29%)
responden adalah lulusan SD/Sederajat. Dengan demikian maka sebagian
besar responden adalah lulusan SMA/Sederajat atau telah menyelesaikan
jenjang pendidikan tingkat menengah.
4. Identitas Responden Menurut Pekerjaan
Untuk mengetahui identitas responden menurut pendidikan terakhir, dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 9. Identitas Responden Menurut Pekerjaan
No Pendidikan Terakhir Frekuensi Persentase
1 Petani 47 51,65
Berdasarkan data pada tabel di atas diketahui bahwa dari 91 responden,
sebanyak 47 (51,65%) responden bekerja sebagai petani, sebanyak 15
(16,48%) responden bekerja sebagai wiraswasta, sebanyak 3 (3,30%)
responden bekerja sebagai PNS, sebanyak 12 (13,19%) responden bekerja
sebagai pedagang dan sebanyak 14 (15,38%) responden bekerja sebagai ibu
rumah tangga. Dengan demikian maka sebagian besar responden penelitian
bekerja sebagai petani sesuai dengan karakteristik masyarakat di daerah
pedesaan yang bekerja mengolah lahan pertanian atau menjadi petani.
B. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis adalah salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku
memilih seseorang atau masyarakat dengan didasarkan pada karakteristik
sosial atau pengelompokan sosial yang meliputi etnisitas, agama, organisasi
masyarakat adat, keluarga dan pertemanan.
1. Etnis atas Suku Sebagai Pertimbangan dalam Memberikan Pilihan Terhadap Calon Bupati
Untuk mengetahui bahwa etnis atas suku sebagai pertimbangan dalam
memberikan pilihan terhadap calon bupati, dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 10. Pertimbangan Etnisitas dalam Pemilihan Calon Bupati
No Jawaban Responden Frekuensi Persentase
1 Menjadi Pertimbangan 70 76,92
2 Cukup Menjadi Pertimbangan 16 17,58
3 Tidak Menjadi Pertimbangan 5 5,49
Jumlah 91 100
Berdasarkan data pada tabel di atas diketahui bahwa dari 91 responden,
sebanyak 70 (76,92%) responden menyatakan bahwa etnis atau suku menjadi
pertimbangan dalam memberikan pilihan terhadap pasangan calon bupati dan
wakil bupati, sebanyak 16 (17,58%) responden menyatakan bahwa etnis atau
suku cukup menjadi pertimbangan dalam memberikan pilihan terhadap
pasangan calon bupati dan wakil bupati dan sebanyak 5 (5,49%) responden
menyatakan menyatakan bahwa etnis atau suku menjadi pertimbangan dalam
memberikan pilihan terhadap pasangan calon bupati dan wakil bupati.
Sebaran data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden
menyatakan bahwa etnis atau suku cukup menjadi pertimbangan dalam
memberikan pilihan terhadap pasangan calon bupati dan wakil bupati
Lampung Timur tahun 2010. Maknanya adalah dalam memberikan pilihan
masyarakat adat Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing di Desa Labuhan
Ratu Kecamatan Labuhan Ratu mempertimbangkan latar belakang etnis calon
bupati yang akan dipilih. Hal ini sesuai dengan pendapat Surbakti (1992: 145),
bahwa pendekatan sosiologis cenderung menempatkan kegiatan memilih
dalam kaitan dengan konteks sosial. Kongkretnya, pilihan seseorang dalam
Pilkada dipengaruhi latar belakang demografi dan sosial ekonomi, seperti
etnis, jenis kelamin, tempat tinggal (kota-desa), pekerjaan, pendidikan, kelas,
pendapatan, dan agama.
2. Tanggapan Terhadap Sikap Calon Bupati Terhadap Masalah Etnisitas Untuk mengetahui tanggapan responden terhadap sikap calon bupati yang