• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) - Lingkungan Karst Jawa Timur Bagian Selatan, BIG, Juni

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) - Lingkungan Karst Jawa Timur Bagian Selatan, BIG, Juni"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

MELACAK BUKTI-BUKTI OKUPASI KOMUNITAS PRASEJARAH DI LINGKUNGAN KARST JAWA TIMUR BAGIAN SELATAN

(upload: geoarkeologi.blog.ugm.ac.id, tanggal 22 Maret 2015)

Oleh:

J. Susetyo Edy Yuwono

Jurusan Arkeologi Fak. Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

Satu hal yang selalu hadir dalam keragaman lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan adalah bentukan gua (cave) dan ceruk (rock shelter) yang menyimpan bukti-bukti kehadiran manusia dan budaya Prasejarah ~ sebuah tataran evolusi yang mengawali dinamika budaya masa lalu. Persoalan yang kemudian muncul adalah dari manakah para pemukim gua tersebut berasal dan bagaimana proses penghunian lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan pada masa Prasejarah? Kedua pertanyaan ini dicoba didekati melalui pendekatan paleogeografis Jawa bagian timur dengan mempertimbangkan distribusi situs-situs bertarikh Plestosen – Holosen di sebagian besar wilayah Jawa. Kedua jalur punggungan purba yang hampir paralel di bagian utara dan selatan Jawa bagian timur, yaitu Pegunungan Selatan dan Antiklinorium Kendeng, masing-masing pernah menjadi basis okupasi komunitas Prasejarah pada masanya. Keterkaitan di antara keduanya perlu dikaji dengan menawarkan semacam mata rantai yang menjadikan lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan sebagai lingkungan terbuka bagi kemungkinan berlangsungnya migrasi lokal.

Tulisan ini menyajikan dua bagian yang saling melengkapi. Bagian pertama berupa pemaparan singkat hasil-hasil penelitian arkeologis yang pernah dilakukan ditambah temuan terbaru selama pelaksanaan EGI 2012; Bagian kedua berupa model kajian untuk menjelaskan kedudukan Pegunungan Selatan Jawa, khususnya lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan, dalam konstelasi keprasejarahan wilayah timur Jawa. BAGIAN 1:

Okupasi Homo sapiens di Lingkungan Karst Jawa Timur Bagian Selatan

Pegunungan Selatan Jawa (The Southern Plateau Zone) yang sebagian sisi terluarnya diselimuti batuan karbonat terkarstifikasi, adalah zona plato membujur barat-timur yang menyimpan jejak-jejak kehidupan Prasejarah di banyak tempat. Di beberapa bagian, sungai-sungai dan lembah-lembah purba memotong bentangan karst ini menjadi beberapa blok. Bagian paling masif terhampar mulai wilayah Parangtritis (Yogyakarta) di ujung barat hingga Teluk Pacitan Jawa Timur, yang lazim dikenal sebagai Gunungsewu. Dari Teluk Pacitan hingga ujung timur Jawa agihan karst kian beragam, sebagian tersebar sporadis di daerah Pacitan Timur, Ponorogo, Trenggalek, Lumajang,

(2)

eksokarst yang bervariasi, seperti dijumpai di daerah Tulungagung, Blitar, Malang, dan Alas Purwo di Semenanjung Blambangan, Banyuwangi.

Sejauh ini, bukti-bukti hunian Prasejarah lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan baru terungkap di beberapa gua di daerah Sampung (Ponorogo), Tulungagung, dan Gunung Watangan (Jember). Penelitian di Sampung, diawali oleh L.J.C. van ES pada tahun 1926 di Gua Lawa, diteruskan oleh van Stein Callenfels pada tahun 1928 hingga 1931. Gua Lawa adalah situs penting yang kemudian melahirkan istilah “Sampung bone culture” sebagai salah satu karakter budaya Prasejarah di Jawa, akibat melimpahnya kandungan artefak tulang di lapisan tanah gua. Selama dilakukannya penelitian di Gua Lawa, tiga rangka manusia ditemukan, umumnya dalam posisi terlipat seperti bayi di dalam kandungan. Sebuah teknik penguburan yang sudah mulai dikenal pada masa itu, yang didasari konsep-konsep tentang siklus kehidupan.

Jejak komunitas Prasejarah lainnya ditemukan di kompleks ceruk di daerah Campurdarat, 20 km selatan kota Tulungagung, tidak jauh dari kawasan penambangan batugamping (Foto 01 dan 02). Hasil pertanggalan sementara terhadap sampel arang yang berada satu konteks dengan beberapa jenis artefak dan tulang fauna Song Gentong, mewakili masa hunian sekitar 7000 tahun lalu ~ masuk dalam kronologi hunian Kala Holosen (Marliac & Simanjuntak, 1996).

Foto 01. Lembah Campurdarat (Tulungagung). Dua tonjolan bukit di sebelah kanan adalah lokasi situs Song Gentong I dan II (foto: jse yuwono)

Foto 02. Song Gentong I. Ceruk kecil ini menyimpan bukti-bukti kehadiran manusia sekitar 7.000 tahun lalu (foto: jse yuwono)

Berbagai penelitian di perbukitan karst Tulungagung sudah mengoleksi lebih dari sepuluh individu Homo sapiens. Temuan tengkorak Manusia Wadjak I dan Wadjak II adalah dua spesimen yang telah mengangkat wilayah karst Tulungagung dalam

(3)

khasanah paleoantropologi dunia. Keduanya adalah manusia modern awal yang sejajar tingkat evolusinya dengan spesimen-spesimen dari daerah Asia Tenggara lainnya, yaitu manusia Moh Khiew di Thailand, Niah di Serawak (Malaysia), dan Tabon di Pallawan (Philipina) (Widianto, 2010).

Wadjak I (Foto 03), ditemukan oleh B.D. van Rietschoten pada sebuah ceruk di lereng perbukitan karst di baratlaut Campurdarat pada tahun 1889. Temuan ini telah menarik perhatian Eugene Dubois yang tengah melakukan ekskavasi gua-gua di Sumatera Barat, yang kemudian memindahkan kegiatan penelitiannya ke lokasi temuan Manusia Wadjak I. Hasilnya adalah ditemukannya tengkorak Wadjak II pada tahun 1890, dengan beberapa gigi lepas, beberapa potongan tulang anggota badan, dan fosil-fosil fauna (Widianto, 2010; Aziz & de Vos, 1989).

Foto 03. Tengkorak Manusia Wadjak dari Campurdarat (Tulungagung) (Sumber: Widianto, 2010)

Wadjak I adalah tengkorak wanita berusia sekitar 30 tahun dengan kapasitas otak 1550 cc, sedangkan Wadjak II adalah tengkorak laki-laki dengan kapasitas otak 1650 cc, dengan muka lebar akibat perkembangan lateral tulang pipinya. Keduanya memiliki tinggi badan sekitar 170 cm (Widianto, 2010), ciri-ciri campuran antara Austromelanesid dan Mongolid tampak pada temuan ini ~ tengkoraknya mencirikan unsur Austromelanesid secara kuat, sementara mukanya mewakili muka Mongolid (Widianto, 2001). Kendati angka pasti mengenai usia Manusia Wadjak belum diperoleh, namun hasil test uranium telah menempatkan fosil ini ke dalam kronologi Kala Holosen (Jacob, 1967), sehingga kemungkinan berasal dari 11.000 tahun lalu.

(4)

Gunung Watangan – Jember adalah wilayah ketiga di lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan yang sudah sering diteliti. Dua dari puluhan gua yang ada, yaitu Gua Sodong dan Gua Marjan, terbukti memberikan informasi arkeologis penting. Pada tahun 1930-an, H.R. van Heekeren yang melakukan ekskavasi di Gua Sodong di bagian utara Gunung Watangan daerah Puger, menemukan rangka manusia pigmi yang cukup lengkap, dikubur secara terlipat dengan tangan kanan menyilang di atas perut. Di Gua Marjan, tidak jauh letaknya dari Gua Sodong, rangka manusia banyak ditemukan. Sebuah rangka dikubur terlipat, berasosiasi dengan rahang bawah yang kekar dan bergigi besar, menunjukkan kesamaan dengan tengkorak Sampung (Widianto, 2010).

Selain ketiga daerah di atas, potensi arkeologis gua-gua di daerah Trenggalek, Blitar, Malang, dan Banyuwangi belum pernah diteliti. EGI 2012 di sebagian besar lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan, mensinyalir sejumlah gua dan ceruk yang memiliki potensi arkeologis sebagai situs hunian Prasejarah. Dugaan ini sementara didasarkan atas kriteria morfologis gua, dimensi dan kondisi ruangan gua, temuan permukaan, serta lingkungan sekitar gua terutama kondisi medan dan sumberdayanya yang memberikan akses bagi okupasi manusia Prasejarah.

Di Pacitan Timur, jajaran ceruk di sepanjang sisi Lembah Lorok, Kecamatan Ngadirojo (Foto 04 dan 05), memberikan bukti-bukti hunian para pemukim Prasejarah wilayah pesisir. Sejumlah cangkang kerang laut yang terdeposit di permukaan lantai gua adalah bukti bahwa mereka telah memanfaatan sumberdaya lingkungan terdekat. Sebagian cangkang kerang tersebut telah dimodifikasi menjadi perkakas serut.

Foto 04 dan 05. Kompleks ceruk di Lembah Lorok (Pacitan Timur) (foto: jse yuwono)

Gua Somopuro di Kecamatan Tulakan (Foto 06 dan 07), adalah bukti lain sebuah gua hunian Prasejarah wilayah pedalaman yang tidak pernah kekurangan air.

(5)

Hingga kini, tepian ruangan gua ini masih dialiri sungai kecil yang tidak pernah kering sepanjang tahun, dan menjadi sumber air untuk keperluan irigasi persawahan di lembah yang luas depan mulut gua. Sebagai kaum pemburu, para pemukin gua di daerah Tulakan banyak memanfaatkan batu rijang untuk membuat senjata, yang bahan bakunya melimpah di Kali Padi, sungai utama di daerah setempat yang mengalir di permukaan dan menghilang menjadi aliran sungai bawahtanah (Foto 08 dan 09).

Foto 06 dan 07. Gua Somopuro di Tulakan (Pacitan Timur) (foto: jse yuwono)

Foto 08. Kali Padi dengan bongkah-bongkah andesit bercampur rijang, salah satu lokasi sumber bahan artefak batu prasejarah (foto: jse yuwono)

Foto 09. Mulut Gua Padi, titik menghilangnya aliran Kali Padi (foto: jse yuwono)

Nama Gua Lawa juga dijumpai di wilayah karst bagian barat Tulungagung yang kini sudah dikembangkan menjadi objek wisata. Mulut gua yang tampak sekarang adalah bagian ujung dari lorong sungai bawahtanah, yang mendapatkan pasokan airnya dari sungai permukaan yang berhulu di Watulimo, pegunungan berbatuan vulkanik di perbatasan Trenggalek dan Tulungagung (Foto 10 dan 11). Runtuhnya sebagian besar atap gua menampakkan lorong sungai bawahtanah aktif dan sekaligus memperjelas

(6)

ceruk-ceruk kecil dan ruang terbuka di sekitar runtuhan. Di antara kerakal andesit yang berserak di sepanjang dasar sungai bawahtanah ditemukan beberapa fragmen dengan ciri-ciri teknologis sebagai artefak, sebagian di antaranya berbahan rijang (Foto 12 dan 13).

Foto 10 (atas). Gua Lawa di perbatasan Trenggalek –Tulungagung (foto: jse yuwono)

Foto 11 (kanan). Sungai permukaan sebagai upstream sungai bawahtanah di Gua Lawa (foto. jse yuwono)

Foto 12. Endapan kerakal di aliran sungai bawahtanah Gua Lawa (foto: jse yuwono)

Foto 13. Indikasi artefak di Gua Lawa (foto: jse yuwono)

Masih di Tulungagung, deretan perbukitan karst mulai Gua Lawa di perbatasan Trenggalek ke arah timur hingga Campurdarat, menjanjikan informasi penting sehubungan dengan penghunian Prasejarah di lingkungan karst Jawa Timur bagian

(7)

selatan. Fenomena menarik berupa jajaran ceruk dan gua pada satu teras pengangkatan, menjadi indikasi awal yang perlu dilacak untuk melengkapi informasi sebelumnya (Foto 14 dan 15).

Foto 14 dan 15. Deretan ceruk di daerah Tulungagung yang berpotensi sebagai situs hunian Prasejarah (foto: jse yuwono)

Wilayah karst Malang Selatan juga menyimpan potensi arkeologis yang tidak kecil. Mulai dari Turen ke selatan, sejumlah bentukan gua karst yang layak huni dijumpai. Salah satunya Gua Plethes yang terletak persis di pinggir jalan menuju Sendangbiru (Foto 16 & 17). Kendati artefak belum ditemukan, tetapi morfologi gua, dimensi dan kondisi ruangannya, serta lingkungan sekitarnya, mendukung berkembangnya hunian Prasejarah di gua ini. Lembah subur Sumber Manjing di wilayah selatan, yang morfologinya menyerupai sebuah graben memanjang dengan limpahan mata airnya, adalah potensi lahan yang juga mendukung penghunian wilayah karst Malang Selatan (Foto 18 &19). Fenomena unik lainnya dijumpai di Pulau Sempu, selatan Malang, menyimpan sederet ceruk dan gua yang belum terjamah, dan berpeluang memberikan informasi penghunian awal kawasan yang selama ini masih suram dari sisi keprasejarahannya.

Gambaran potensi Pulau Sempu tentunya dijumpai pula di Pulau Barung, selatan Jember, sebagai blok terpisah dari Pegunungan Selatan Jawa. Juga Alas Purwo di Semenanjung Blambangan (Banyuwangi), menyimpan potensi arkeologis dan etnografis yang melimpah dan menantang dilakukannya kajian mendalam. Agihan karstnya yang masif dan unik tentunya mencerminkan keunikan pula secara kultural dan kesejarahan.

(8)

Foto 16 dan 17. Gua Plethes di wilayah karst Malang Selatan, prototipe sebuah gua hunian (foto: jse yuwono)

Foto 18 dan 19. Lembah subur di Sumber Manjing, Malang Selatan (foto: jse yuwono)

BAGIAN 2:

Mata Rantai Penghunian Pegunungan Selatan Jawa

Dalam kerangka geomorfologi Jawa, A.J. Pannekoek (1949), menempatkan Pegunungan Selatan Jawa sebagai salah satu zona spesifik pembentuk kawasan timur Pulau Jawa. Punggungan tinggi membujur barat-timur ini bagian utaranya bersinggungan dengan Zona Depresi Tengah yang memisahkannya dari Antiklinorium Kendeng di utara Jawa. Kedua jalur pegunungan di selatan dan utara ini adalah jalur-jalur purba yang pernah berperan sebagai “rahim-rahim” bagi lahirnya cikal-bakal budaya-budaya tertua di Jawa. Situs-situs Plestosen dengan teknologi paleolitiknya bermunculan di utara. Mulai daerah Pati, Sragen, Ngawi, hingga Mojokerto, tercatat situs-situs penting Kelompok Kendeng, di antaranya Patiayam, Sambungmacan, Trinil, Ngandong, Kedungbrubus, Kalibeng, Kabuh, Pucangan, dan Perning, ditambah Sangiran yang agak menyimpang ke selatan, ke sebuah kubah di Depresi Solo.

(9)

Sementara di Pegunungan Selatan, tumbuh subur permukiman bertarikh Holosen di gua-gua karst dengan dominasi mesolitiknya.

Penelitian arkeologis di Pegunungan Selatan Jawa sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Hindia Belanda hingga sekarang. Sebagian besar situs berupa gua-gua karst, baik di jajaran Gunungsewu maupun di sebagian lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan. Namun demikian, bukan berarti bahwa potensi situs-situs terbuka (open sites) di Pegunungan Selatan tidak ada. Temuan situs paleolitik pertama di Indonesia justru terjadi di wilayah ini, yaitu di aliran Kali Baksoka (Pacitan) (Foto 20 dan 21).

Foto 20 dan 21. Lembah Baksoka dan salah satu bagian sungainya, Kedung Maron, adalah situs terbuka yang menjadi area jelajah komunitas Prasejarah Pacitan (foto: jse yuwono)

Berpijak pada dua isu besar, dari manakah para pemukim gua di lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan berasal; dan bagaimana mereka memasuki lingkungan karst ini?, maka kajian ini dikembangkan. Di samping aspek spasial dan temporal masing-masing situs, kondisi paleogeografi kawasan dijadikan pertimbangan penting dalam penyusunan hipotesis ini.

Dalam deskripsi Pannekoek (1949), fisiografi Pegunungan Selatan Jawa menampakkan bentukan plato sebagai hasil proses pengangkatan (uplifted peneplain) terhadap batuan berumur Miosen. Akibat proses pengangkatan dan sejumlah kejadian geomorfik, wilayah berbatuan gamping di bagian paling selatan kemudian berkembang menjadi topografi karst dengan sistem drainase bawahtanahnya. Kenampakan plato pun berubah menjadi bukit-bukit kecil berbangun kerucut, yang dikenal sebagai Gunungsewu dan lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan.

Mengenai umur pengangkatan Pegunungan Selatan Jawa, G.H.R. von Koenigswald memperkirakan terjadi pada akhir Plestosen Bawah. Indikasi umur

(10)

tersebut diperoleh di bagian kipas-kipas batugamping Gunungsewu, berupa sisa-sisa fauna Plestosen Bawah (Tapirus dan Rhinoceros) yang hidup di daerah humid dengan kondisi lingkungan rawa. Ini membuktikan bahwa lokasi temuan tersebut dulu terletak di bagian rendah, yang kemudian terangkat sehingga aliran permukaannya menghilang.

Tebing terjal di sepanjang sisi utara Pegunungan Selatan Jawa pada kenyataannya tidak memiliki kenampakan seperti garis lurus. Di beberapa bagian, khususnya di selatan Gunung Wilis dan Gunung Lawu, terdapat ujung-ujung yang menjorok ke arah utara. Ujung kurva (“spur”) di selatan Gunung Wilis, bahkan mengarah jauh ke utara menembus tubuh Gunung Wilis Tua dan kemudian tertutup oleh deposit volkanik; sedangkan di selatan Gunung Lawu, bagian paling utara dari “spur” merupakan blok terpisah yang membentuk Gunung Gijono.

Bagian tenggara Gunung Wilis berupa sistem lembah yang menyusup dari Zona Depresi Tengah ke dalam Pegunungan Selatan (di dekat kota Tulungagung). Bagian dasarnya berupa lembah-lembah lebar yang sebagian besar tertutup dan “tenggelam” di bawah sedimen muda. Akibatnya, Pegunungan Selatan seolah mundur ke arah selatan, menyisakan punggungan runcing dan rendah yang memisahkan sebaran lembah dengan Samudra Hindia (di dekat Teluk Popoh). Tampaknya pernah terjadi amblesan di bagian ini yang memperendah dan mendorong pembentukan sistem lembah. Bahkan, bagian terluas dari dasar lembah telah tertutup rawa yang luas, yaitu Rawa Bening.

Di selatan Gunung Semeru, Jalur Pegunungan Selatan mengalami pemotongan oleh sebuah ngarai berkelok-kelok (sinuous canyon), yang sebagian terisi aliran volkanik Semeru. Di bagian ini pula terdapat lengkungan ke utara membentuk “spur” seperti di selatan Gunung Wilis, dengan kurva lebih ramping dan memiliki kontur cekung. Ujung rentangan Pegunungan Selatan, tampaknya terletak pada perlapisan di bawah dataran aluvial dari depresi Lumajang. Pada paparan dangkal di selatannya terdapat Pulau Barung, tersusun atas batugamping dengan sejumlah konikal karstnya. Di timur depresi Lumajang, tubuh Pegunungan Selatan muncul kembali pada ketinggian Gunung Betiri. Bagian ini dikepung oleh potongan-potongan terpisah massa batuan yang mencuat di atas dataran aluvial yang mengapitnya.

Bagian terakhir dari Pegunungan Selatan adalah Semenanjung Blambangan yang terkesan aneh, tersusun atas plato batugamping yang menampakkan kembali

(11)

karakteristik karstnya, walaupun tingkat pelarutan batuannya tidak seintensif Gunungsewu. Bagian ini tampak dibatasi oleh patahan-patahan di semua sisinya: Di sisi barat terdapat pola kelurusan, segaris dengan pantai timur Jawa sepanjang Selat Bali, sedangkan batas luar sisi-sisi selatan dan timurlautnya ditandai oleh garis-garis kontur yang dalam dan lurus. Meskipun secara fisiografis Pulau Jawa berakhir di sini, bukan berarti bahwa zona tektonik dan fisiografi berhenti di sini pula. Karakter topografi yang sama ternyata muncul kembali di Kepulauan Sunda Kecil yang membentuk semenanjung di selatan Bali, Pulau Nusa Penida, dan barisan selatan Lombok.

Di utara Pegunungan Selatan, terdapat Zona Depresi Tengah yang ditumbuhi jajaran gunungapi. Pada dasarnya zona ini adalah bagian lipatan yang lebih rendah dibanding dengan kedua zona yang mengapitnya, yang kemudian terisi oleh endapan hasil aktivitas sejumlah gunungapi, membentuk kipas fluvio-volkanik yang luas. Di beberapa tempat batuan dasar dari masa yang lebih tua tidak tertutup oleh endapan volkanik. Menurut Bemmelen (1949), gunung-gunung yang menjadi generasi pertama di Zona Depresi Tengah adalah Gunung Wilis Tua, Gunung Lawu Tua, Pegunungan Iyang, dan Gunung Anjasmoro.

Titik-titik persinggungan antara Pegunungan Selatan dengan Gunung Wilis Tua inilah yang paling memungkinkan bagi komunitas Homo erectus Kendeng memasuki Pegunungan Selatan. Dengan demikian, daerah antara Ponorogo, Trenggalek, dan bagian baratlaut Tulungagung, dapat dijadikan mata rantai untuk merunut proses penghunian Pegunungan Selatan Jawa, di mana komunitas manusia kemudian menyebar dan mengokupasi gua-gua di Gunungsewu dan Jawa Timur bagian selatan.

Di antara situs-situs Kelompok Kendeng di utara, sebagian berada di sayap baratlaut dan utara Gunung Wilis, yang memiliki jarak geografis terdekat ke arah Pegunungan Selatan Jawa. Situs Kedungbrubus di sebelah timur Ngawi, misalnya, merupakan lokasi terdekat dengan “spur” Pegunungan Selatan di selatan Gunung Wilis. Dari titik persinggungan tersebut ke arah selatan, daerah Ponorogo, Trenggalek, dan Tulungagung berada. Bahkan, subfosil manusia purba di Pegunungan Selatan Jawa juga ditemukan di Campurdarat (Tulungagung), yang dikenal sebagai Manusia Wadjak I dan II.

(12)
(13)

Skema penghunian Gunungsewu sudah banyak dibahas (Yuwono, 2005, 2011), tetapi bagaimana yang terjadi di lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan adalah sebuah yang lebih rumit. Hasil-hasil penelitian terdahulu ditambah sejumlah temuan EGI 2012 menjadi bukti bahwa lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan adalah lahan subur bagi kajian arkeologi karstik selain Gunungsewu. Luasnya endapan fluvio-volkanik di wilayah Lumajang, yang menjadikan Gunung Watangan (Jember) terpisah dari bagian masif Pegunungan Selatan, demikian pula Pulau Barung dan Alas Purwo di Semenanjung Blambangan memberikan tantangan tersendiri. Fisiografi kedua wilayah ini unik dan sama sekali belum tersentuh penelitian arkeologis.

RUJUKAN

Aziz, F. & J. De Vos, 1989, “Rediscovery of the Wadjak Site (Java, Indonesia)”, Journal of the Anthropological Society of Nippon, Vol. 97, No. 1, 1989. Bemmelen, R.W. van, 1949, The Geology of Indonesia, Government Printing

Office,The Hague.

Marliac, A. & T. Simanjuntak, 1996, “Preliminary report on the site of Song Gentong Kabupaten Tulungagung, East Java (Indonesia)”, Communication to the 6th International Congress of European Association of Southeast Asian Archaeologists, International Institute for Asian Studies (IIAS), Leiden, 2-6 Sept. 1996, Netherlands.

Pannekoek, A.J., 1949, “Outline of the geomorphology of Java. TAG Th 1949, E.J. Brill, Leiden, Netherland, hlm. 270-326.

Widianto, H., 2001, “Sisa manusia hunian gua prasejarah di Gunungsewu: Mekanisma migrasi Pasca Plestosen”, Proceeding EHPA, Proyek Peningkatan Penelitian Arkeologi Jakarta, hlm. 296-312.

---, 2010, Jejak langkah setelah Sangiran, BPSMP Sangiran.

Yuwono, JSE, 2005, “Paleogeografi Pegunungan Selatan Jawa dan implikasinya terhadap penyusunan hipotesis tentang migrasi lokal komunitas

prasejarah di Jawa bagian timur, Sumijati As & Sumarsono (ed), Potret transformasi budaya di era global, FIB UGM, Yogyakarta, hlm.142-163. ---, 2011, “Napak tilas penghunian awal Gunungsewu”, Ekspedisi Geografi

Gambar

Foto 01.  Lembah Campurdarat (Tulungagung). Dua  tonjolan bukit di sebelah kanan adalah lokasi  situs Song Gentong I dan II (foto: jse yuwono)
Foto 03. Tengkorak Manusia Wadjak dari Campurdarat (Tulungagung)   (Sumber: Widianto, 2010)
Foto 04 dan 05. Kompleks ceruk di Lembah Lorok (Pacitan Timur) (foto: jse yuwono)
Foto 08.  Kali Padi dengan bongkah-bongkah andesit  bercampur rijang, salah satu lokasi sumber bahan  artefak batu prasejarah (foto: jse yuwono)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Akuntan forensik harus mempunyai kemampuan untuk mengkomunikasikan hasil Akuntan forensik harus mempunyai kemampuan untuk mengkomunikasikan hasil temuan yang dihasilakn dari

1) Pendapatan yang dihasilkan dari rental bangunan jumlahnya tidak material jika dibandingkan dengan hasil rental tanah, sehingga perusahaan menetapkan untuk

Gangguan hama/penyakit yang ber- bahaya merupakan ancaman bagi keber- lanjutan pertanaman jeruk di daerah tersebut. Upaya-upaya yang dapat dilaku- kan untuk mempertahankan

Tentu saja untuk mendapatkan keuntungan dari investasi Anda, Anda harus membeli barang saat harga lagi diskon lalu menjualnya disaat harga barang tersebut sedang berada

Hasil penelitian menunjkan bahwa dimensi daya tarik perusahaan (nilai inovasi, nilai psikologi, nilai aplikasi dan nilai sosial) berpengaruh positif terhadap keinginan calon

Berikut merupakan ayat perbualan di antara seorang guru pendidikan khas dengan murid beliau.. Guru: "Jadi, Fakruddin buat

Paterongan II Galis Bangkalan Almh... Labang

Angka infeksi terkait pelayanan kesehatan dibandingkan dengan angka- angka di rumah sakit lain melalui komparasi data dasar (lihat juga PMKP.4.2, EP 2 dan