• Tidak ada hasil yang ditemukan

JERUK KEPROK SELAYAR DAN UPAYA PELESTARIANNYA. Hatta Muhammad, Armiati, dan Wanti Dewayani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JERUK KEPROK SELAYAR DAN UPAYA PELESTARIANNYA. Hatta Muhammad, Armiati, dan Wanti Dewayani"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

P

roduk buah-buahan yang tasi ke mutu dan efisien dalam produksinya mutlak diperlukan agar dapat bersaing baik di pasar domestik maupun pasar internasional. Keadaan ini mengharuskan adanya suatu komoditas dengan teknologi yang spesifik dan keunggulannya terkait dengan ruang (fisik), budaya, dan ekonomi masyarakat setempat (Lopulisa dan Ala 1998).

Jeruk keprok selayar merupakan salah satu komoditas hortikultura unggulan (Pasandaran 1996) dan spe-sifik daerah Sulawesi Selatan. Tanaman ini sudah lama diusahakan oleh petani dengan keuntungan usaha tani yang cukup tinggi, B/C 5,70 (Taufik et al. 2000). Jeruk diintroduksi ke Pulau

Selayar pada tahun 1925 (Roesmiyanto dan Hutagalung 1989).

Jeruk keprok selayar merupakan komoditas primadona bagi petani setempat. Pertanaman jeruk tersebar di daratan Pulau Selayar terutama di Kecamatan Bontoharu, Bontomatene, dan Bontosikuyu. Oleh karena itu, pemerintah daerah setempat menetapkan jeruk sebagai salah satu komoditas andalan dan dikembangkan dalam skala agribisnis (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Selayar 1996). Namun dalam beberapa tahun terakhir, luas pertanaman jeruk keprok selayar tidak bertambah, bahkan pada tahun 1997 mulai menurun. Produktivitas juga menurun dari 64 kg/pohon pada tahun 1994 menjadi 20 kg/pohon pada tahun 1997 (Kantor

Statistik Kabupaten Selayar 1998). Penurunan luas areal maupun produk-tivitas tanaman terutama disebabkan oleh kematian tanaman setelah berbuah karena serangan penyakit blendok dan busa (Muhammad dan Taufik 2000). Kekering-an juga merupakKekering-an Kekering-ancamKekering-an yKekering-ang cukup serius pada musim kemarau (Gambar 1). Keadaan ini memaksa sebagian petani mengganti tanaman jeruknya dengan jambu mete atau kemiri yang relatif lebih mudah pemeliharaannya dan harganya pun cukup baik di pasaran. Dalam beberapa tahun terakhir, kedua komoditas ini berkembang cukup pesat dibandingkan dengan jeruk keprok.

Penyakit citrus vein phloem degeneration (CVPD) atau greening juga

JERUK KEPROK SELAYAR DAN

UPAYA PELESTARIANNYA

Hatta Muhammad, Armiati, dan Wanti Dewayani

Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Jeneponto, Kotak Pos 1, Jeneponto 92371

ABSTRAK

Jeruk keprok selayar merupakan salah satu komoditas sumber pendapatan petani pada tiga kecamatan di Kabupaten Selayar. Teknologi budi daya yang berkembang di tingkat petani masih bertumpu pada sumber daya setempat sehingga diperlukan perbaikan/introduksi teknologi untuk memperoleh hasil yang optimal. Gangguan hama/penyakit yang berbahaya merupakan ancaman bagi keberlanjutan pertanaman jeruk di daerah tersebut. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kelestarian jeruk keprok selayar meliputi pengawasan secara ketat dan berkesinambungan terhadap bahan tanam jeruk yang masuk dari luar daerah, pengadaan bibit sehat setempat, eradikasi terhadap tanaman yang memperlihatkan gejala terserang penyakit yang berbahaya seperti CVPD serta pemantauan dan pengendalian vektornya, perakitan teknologi spesifik lokasi, pembangunan kebun plasma nutfah di luar Kabupaten Selayar, dan budi daya jeruk sehat.

Kata kunci: Citrus reticulata, pelestarian, teknologi setempat, pengendalian penyakit

ABSTRACT

Selayar citrus and its conservation efforts

Citrus is one of important commodities for most of farmers in three districts of Selayar Regency. Crop cultivation was developed by using local resources. The technology is good enough to support plant growth and yield, however, introducing new technology is needed to obtain optimal plant growth and yield. Attack of pests and diseases is a serious constraint in developing citrus in the area. Efforts to sustain selayar citrus among other are tight continued controlling plant materials imported from other area, producing healthy seedling, eradicating the crop indicating dangerous disease symptoms such as CVPD, and monitoring and controlling its vector, repackaging local specific technologies, building germplasm garden in other area, and cultivating healthy citrus.

(2)

merupakan ancaman bagi pertanaman jeruk di Kabupaten Selayar (Baharuddin et al. 2001). Penyakit ini telah memus-nahkan sebagian besar sentra produksi jeruk di Indonesia pada tahun 1970-an dan 1980-an dan terus berlanjut sepanjang tahun 1990-an. Pada tahun 1983, sembilan juta tanaman dari 42,80 juta terserang CPVD dengan kerugian mencapai Rp 23 miliar (Nurhadi 1993 dalam Dwiastuti 2000). Oleh karena itu, sejak tahun 1972/ 73, pemerintah memprogramkan rehabili-tasi jeruk yang terserang CVPD di beberapa propinsi yang termasuk en-demis, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Lampung. Dalam pelaksanaannya, program tersebut belum mampu mengatasi masalah karena: 1) komponen pengendalian hama/penyakit hanya diterapkan secara parsial, eradikasi tidak berjalan lancar karena petani masih sayang terhadap tanamannya; 2) pe-ngadaan bibit bebas CVPD belum men-cukupi kebutuhan; dan 3) pengetahuan dan kesadaran petani terhadap penyakit CVPD masih kurang (Soerojo 1991).

Tulisan ini menyajikan upaya yang dapat dilakukan untuk melestarikan jeruk keprok selayar. Diulas pula teknologi produksi yang berkembang di tingkat petani serta beberapa penyakit utama yang menyerang tanaman jeruk di Kabupaten Selayar.

AGROEKOLOGI

PERTANAMAN JERUK DI

KABUPATEN SELAYAR

Kabupaten Selayar merupakan daerah kepulauan dengan luas wilayah 903,35 km². Menurut laporan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Selayar (1998), terdapat lima jenis tanah di daerah ini, yaitu Litosol, Regosol Kelabu, Kompleks Rensina dan Regosol, Mediteran Cokelat dan Merah, dan Latosol. Daerah terletak pada ketinggian tempat 0–600 m dari permukaan laut, dengan topografi datar sampai ber-gelombang. Pada lahan yang baru ditanami jeruk, kesuburan tanah tergolong cukup baik (Tabel 1). Rata-rata curah hujan selama 10 tahun (1989−1998) tercatat 1.255 mm/ tahun dengan 80 hari hujan. Musim hujan jatuh pada bulan November-Maret dan musim kemarau pada bulan April-Oktober. Iklim dengan musim kering yang jelas

Tabel 1. Beberapa karakteristik tanah pada lahan yang baru ditanami jeruk di Kelurahan Batang Matasapo, Selayar, 1999.

Karakteristik tanah Lokasi A Lokasi B Tekstur (%) Pasir 1 3 1 1 Debu 6 6 6 5 Liat 2 1 2 4 C-organik (%) 8,06 12,08 N total (%) 0,93 1,77 C/N 9 7 pH H2O (1:2,50) 7,10 7,50 KCl (1:2,50) 6,70 6,80 P2O5 ekstrak HCl 25% (me/100 g) 206 269 K2O ekstrak HCl 25% (me/100 g) 210 271 Kation dapat dipertukarkan (me/100 g)

K 4,47 5,78 Na 1,86 1,94 Ca 30,12 54,49 Mg 5,88 4,98 KTK (me/100 g) 56,44 88,56 Kejenuhan basa (%) 7 5 7 7 Cadangan mineral (ppm) P2O5 (Bray) 101 208 K2O (Olsen/Bray) 104 210 Sumber: Taufik et al. (2001).

Gambar 1. Jeruk keprok selayar yang layu karena kekeringan di musim kemarau.

pada bulan-bulan Juli hingga Oktober setiap tahun merupakan kondisi yang ideal untuk pertumbuhan tanaman jeruk keprok (Erickson 1968; Sunarjono 1990). Tanaman umumnya berbunga pada bulan De-sember-Januari dan musim panen jatuh pada bulan Juli-Agustus.

Pertanaman jeruk di Kabupaten Selayar terdapat pada lima kecamatan

yaitu Bontomatene, Bontosikuyu, Bonto-haru, Pasimasunggu, dan Pasimarannu. Pertanaman yang terluas terdapat di Kecamatan Bontomatene, kemudian di-susul oleh Kecamatan Bontosikuyu dan Bontoharu (Tabel 2). Setiap petani memiliki pertanaman jeruk 0,50–1 ha atau 200–400 pohon per kepala keluarga (KK). Menurut petugas pertanian dan masyarakat setempat, buah jeruk dengan mutu terbaik dihasilkan di Kelurahan Batang Mata dan Batang Matasapo. Pertanaman jeruk di daerah ini terletak pada ketinggian 50–200 m dari permukaan laut dengan keadaan tanah berbatu karang. Menurut pengalaman petani, jeruk sangat baik tumbuhnya pada tanah yang demikian.

Berdasarkan ketersediaan dan ke-sesuaian lahan untuk tanaman jeruk keprok selayar, terdapat sekitar 6.750 ha lahan yang potensial untuk pengembang-an jeruk keprok selayar (Dinas Pertpengembang-anipengembang-an Tanaman Pangan Kabupaten Selayar 1996). Melalui proyek pengembangan agribisnis hortikultura, telah dikembang-kan jeruk keprok selayar seluas 500 ha sampai musim tanam tahun 1999/2000. Dengan adanya pengembangan tersebut, luas pertanaman mencapai 800 ha atau 320.000 pohon.

(3)

INDIGENOUS TEKNOLOGI

Informasi mengenai teknologi suatu komoditas yang berkembang di suatu daerah sangat penting artinya dalam pe-rakitan teknologi spesifik lokasi, karena teknologi yang ada di masyarakat umum-nya sudah menggambarkan berbagai faktor yang mempengaruhi penerapan teknologi tersebut. Pemahaman yang benar tentang masalah yang ada di tingkat petani akan memudahkan bagi perakit teknologi untuk memodifikasi atau mem-perbaiki teknologi yang ada sehingga lebih mudah diterima petani. Hal ini karena adopsi suatu teknologi bergantung ke-pada banyak faktor yang berhubungan dengan lingkungan permasalahan petani, kondisi sosial ekonomi dan pengetahuan petani, kebijakan dan keterbatasan dalam tindakan operasional, serta keterbatasan pada teknologi yang baru (Oka et al. 1993). Pada umumnya (51,98%) petani jeruk di Kabupaten Selayar memperoleh pengetahuan budi daya jeruk secara turun temurun dengan alasan sangat menguntungkan (46,11%) dan hanya 1,91% petani yang ikut-ikutan. Rata-rata petani telah berpengalaman selama 15 tahun dalam berusaha tani jeruk. Setiap petani rata-rata memiliki 200−400 pohon. Sebagian petani membagi lahannya menjadi dua bagian, yaitu 0,50 ha untuk tanaman jambu mete dan 0,50 ha untuk jeruk keprok (Taufik et al. 2000).

Pada dasarnya petani menyadari bahwa banyaknya tanaman jeruk yang mati disebabkan oleh kurangnya pe-meliharaan terutama pengendalian hama dan penyakit. Namun karena terbatasnya pengetahuan, pengendalian

hama/pe-nyakit masih dilakukan secara tradisional. Meskipun demikian, pola usaha tani yang berkembang sudah mengarah kepada usaha tani komersial karena sebagian besar buah jeruk dijual. Berikut ini di-uraikan cara-cara budi daya jeruk yang dilakukan oleh petani di Selayar.

Bahan Tanam

Petani jeruk di Kabupaten Selayar menanam jeruk dari biji, karena tanaman yang berasal dari biji tumbuh lebih tinggi dan percabangannya banyak, sehingga buah yang dihasilkan pada fase generatif juga banyak, sekitar 500–1.000 buah/ pohon pada umur 8–12 tahun. Bibit jeruk yang berasal dari biji juga berumur

pan-jang (20−30 tahun) dengan produktivitas tanaman yang stabil. Namun, tanaman baru mulai berbuah pada umur 6–8 tahun dan pada tahun pertama berbuah, hanya 40–50% dari populasi tanaman yang ada. Penyakit busuk pangkal akar yang disebabkan oleh Phytophthora sp. juga merupakan salah satu kendala pengem-bangan jeruk keprok selayar dari biji. Untuk mengatasi masalah tersebut telah dikembangkan jeruk keprok selayar dengan batang bawah Japansche citroen (JC) seluas 500 ha. Namun, teknologi ini belum sepenuhnya dapat diterima petani, karena kemungkinan buah yang di-hasilkan akan menjadi asam atau bibit JC tersebut terkontaminasi oleh organisme pengganggu tanaman. Para penangkar benih hortikultura diharapkan dapat mempercepat sosialisasi penggunaan bibit jeruk hasil sambungan/okulasi dengan menggunakan batang bawah lokal atau JC (Gambar 2). Batang bawah yang digunakan berasal dari Pulau Jawa yang merupakan daerah endemik. Oleh karena itu, indeksing perlu dilakukan untuk memastikan bahwa benih/bibit jeruk tersebut bebas dari hama/penyakit yang berbahaya.

Sanitasi Kebun

Sanitasi kebun merupakan salah satu kunci yang menentukan keberhasilan budi daya jeruk. Namun, umumnya petani kurang memperhatikan hal ini. Pembuangan tanaman pengganggu

Tabel 2. Keragaan pertanaman jeruk di Kabupaten Selayar menurut kecamatan, 1997.

Kecamatan tanamanJumlah Tanaman sakit Tanaman Produksi (pohon) menghasilkan (t) (pohon) (pohon) Bontomatene 37.296 2.209 7.645 200,60 Bontoharu 20.241 3.250 4.250 84,30 Bontosikuyu 34.735 1.549 3.570 32,10 Pasimasunggu 3.287 290 326 3 Pasimarannu 960 175 8 5 0,30 Jumlah 96.519 7.473 15.876 320,30 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Selayar (1998).

Gambar 2. Jeruk keprok selayar umur empat tahun dengan batang bawah JC, berbuah cukup lebat di lokasi sistem usaha tani.

(4)

hanya dilakukan saat tanaman berbunga atau menjelang panen. Akibatnya, berbagai macam gulma tumbuh di kebun jeruk yang dapat menjadi faktor pen-dorong berkembangnya berbagai macam organisme pengganggu tanaman. Pe-ngusahaan tanaman sela dengan pola yang teratur di antara tanaman jeruk dapat menjadi alternatif pemecahan masalah ini.

Pemupukan

Pemupukan dengan menggunakan ko-toran ternak umumnya hanya dilakukan untuk tanaman muda (umur 1−3 tahun) dengan takaran disesuaikan persediaan. Tanaman dewasa (berumur lebih dari 3 tahun) tidak dipupuk. Di Kelurahan Batang Mata dan Batang Matasapo, petani umumnya menambatkan ternaknya pada pohon jeruk dan dipindahkan secara bergilir dari pohon yang satu ke pohon yang lain dengan lama penambatan pada setiap pohon + 5 hari. Dengan cara ini tanaman dapat tumbuh subur karena adanya kotoran ternak tanpa biaya dan kerja tambahan. Namun, cara ini dapat menimbulkan luka pada batang karena terjadinya gesekan antara tali dan batang. Luka tersebut dapat menjadi tempat masuk dan berkembangnya penyakit blendok dan busa. Cara ini juga menyebabkan ter-jadinya pemadatan tanah sehingga sukar ditembus akar.

Taufik et al. (2000) menyatakan bahwa takaran pupuk untuk tanaman jeruk keprok selayar umur satu tahun dengan batang bawah JC adalah 150 g urea + 40 g SP36 + 30 g KCl per pohon per tahun. Penggunaan pupuk mikro melalui daun dapat membantu mengatasi berbagai gejala kekahatan unsur mikro terutama Zn dan Cu.

Pengendalian Hama dan

Penyakit

Serangan organisme pengganggu ta-naman yang cukup tinggi terhadap per-tanaman jeruk keprok selayar merupakan salah satu alasan utama bagi sebagian petani untuk mengganti tanaman jeruk dengan tanaman lain terutama jambu mete. Penyakit utama yang dikeluhkan oleh petani adalah penyakit busa dan blendok. Tanaman yang terserang penyakit ini akan mengalami mati ranting secara

bertahap dan akhirnya mati. Luas serang-an penyakit blendok dserang-an busa mencapai 60−100% (Tabel 3). Penggunaan fungi-sida dan insektifungi-sida belum dikenal oleh petani.

Pola Tanam dan Konservasi

Tanah

Konservasi tanah perlu mendapat perhatian dalam pengembangan jeruk keprok selayar, karena areal pengem-bangan umumnya berupa lahan berbukit-bukit dengan jenis tanah yang peka terhadap erosi. Beberapa kebun bahkan sudah tererosi berat (solum tanah hanya tertinggal 5−10 cm) dan sebagian di-tumbuhi alang-alang. Pada kondisi yang demikian, petani tidak lagi memelihara tanaman jeruk dan menggantinya dengan jambu mete. Pola pertanaman lorong merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi hal tersebut. Pola ini me-masukkan tanaman pagar yang dapat berfungsi sebagai pupuk hijau atau menjadi pakan ternak mengingat sebagian besar petani memiliki ternak seperti kambing, sapi atau kuda. Tanaman sela yang dianjurkan seperti kacang hijau dan jagung umumnya sudah populer di kalangan petani.

Penggunaan sisa-sisa tanaman se-bagai mulsa dapat dilakukan untuk mengatasi ancaman kekeringan pada musim kemarau. Petani biasanya menum-puk sisa-sisa tanaman di bawah pohon, sehingga berpeluang menjadi sarang rayap. Untuk mengatasi masalah ini, jarak antara mulsa dan batang tanaman perlu diperlebar.

TINJAUAN SINGKAT

PENYAKIT BLENDOK,

BUSA, DAN CVPD

Blendok

Penyakit blendok menyerang batang dan cabang tanaman jeruk. Bagian yang terserang penyakit ini mengeluarkan cairan kental berwarna kuning emas. Pada serangan lanjut, kulit terluka secara tidak teratur, luas dan dangkal, menjadi kering, pecah dan mudah mengelupas. Akibatnya daun-daun menguning, ke-ring, dan menyebabkan mati ranting. Penyakit ini disebabkan oleh cendawan Diplodia natalensis atau Botryodiplodia theobromae (Semangun 1994).

Serangan penyakit ini terkait dengan cara budi daya yang kurang baik, seperti jarak tanam yang rapat dan tidak teratur sehingga kelembapan udara meningkat

Tabel 3. Status beberapa hama dan penyakit pada tanaman jeruk keprok selayar.

Hama dan Status penyakit 19921 19992

Hama

Ulat peliang daun ++ ++ Thrips ++ Ulat pemakan daun ++ ++ Kutu dompolan ++ ++ Kutu daun ++ ++ Kutu loncat ? Lalat buah Penyakit Embun jelaga Jamur upas ++ Busuk batang ++++ ++++ (blendok) Penyakit busa ++++ Busuk pangkal batang ++ ++ CVPD ? ? Tristeza ? ? Estimasi populasi hama:

++++ = berat, +++ = sedang, ++ = ringan, − = tidak ditemukan, ? = perlu identifikasi lebih lanjut.

Tingkat kerusakan: ++++ = berat, +++ = sedang, ++ = ringan, − = tidak ditemukan, ? = perlu identifikasi lebih lanjut.

Sumber:1Asa'ad dan Hutagalung (1992). 2Taufik et al. (2001).

Pemangkasan

Pemangkasan dilakukan secara berkala dengan membuang cabang-cabang yang mati dan wiwilan. Pemangkasan bentuk dan perangsangan pembentukan buah belum dilakukan, sehingga tajuk tanaman sangat lebat dan percabangannya tidak teratur. Kondisi ini dapat mendorong berkembangnya berbagai organisme pengganggu tanaman dan menyulitkan pemeliharaan tanaman. Pembinaan petani melalui penyuluhan atau studi banding ke daerah pertanaman jeruk yang baik dapat membantu mempercepat sosiali-sasi teknologi pemangkasan, karena petani masih menganggap bahwa pe-mangkasan akan mengurangi produk-tivitas tanaman atau menyebabkan ta-naman tidak berbuah sama sekali.

(5)

dan memacu cendawan untuk berkem-bang secara cepat. Kondisi ini ditunjang oleh iklim yang kering (tipe D dan E), tetapi pada bulan-bulan basah (Desem-ber-Maret) curah hujan sangat tinggi. Kondisi tanaman yang sangat lemah karena tidak dipupuk akan mempercepat perkembangan cendawan.

Pengendalian penyakit blendok yang efektif adalah dengan menyayat batang atau cabang yang luka, kemudian diolesi dengan fungisida yang mengan-dung tembaga (Nurhadi dan Whittle 1988). Penyemprotan benomil pada kulit dua kali dalam setahun dapat mencegah timbulnya penyakit tersebut. Secara in vitro terbukti bahwa fungisida sistemik seperti benomil, karbendazim, dan man-kozeb mampu menekan pertumbuhan cendawan D. natalensis (Nurjanani dan Hutagalung 1993). Menurut Asa'ad dan Hutagalung (1993), benlate cukup efektif mengendalikan penyakit blendok. Peng-gunaan fungisida campuran antara kar-bendazim 6,20% dan mankozeb 73,80% yang dioleskan pada batang yang telah disayat kulitnya sebanyak dua kali se-tahun, dapat menekan intensitas serangan sampai 72,10%. Pada tahun kedua setelah aplikasi fungisida, 92,12% luka pada batang dapat disembuhkan (Taufik et al. 2001). Cara ini harus diikuti dengan sanitasi kebun yang baik. Peremajaan tanaman perlu dilakukan untuk mengganti tanaman yang tidak produktif lagi.

Penyakit Busa

Busa berwarna putih seperti buih keluar dari batang atau pada bidang pertemuan antara satu cabang dengan cabang lainnya. Busa ini disebabkan oleh fermentasi gula pada cairan tanaman oleh bermacam-macam jamur atau yeast yang kemudian menarik kumbang karena baunya seperti alkohol (Gambar 3). Kulit yang mengeluarkan busa menjadi busuk dan apabila dikelupas terlihat kumbang-kumbang kecil maupun larvanya.

Proses berjangkitnya penyakit busa kemungkinan disebabkan oleh adanya tiupan angin yang cukup kencang pada saat tanaman berbuah. Arsitektur tanaman yang menjulang tinggi (lebih dari 4 m) menyebabkan terjadinya retak-retak kecil pada kulit batang. Pada saat hujan, air akan tertahan pada retakan-retakan tersebut yang selanjutnya mendorong terjadinya fermentasi gula pada cairan tanaman oleh berbagai jenis jamur

sehingga menimbulkan busa. Penyebab penyakit busa diduga karena gangguan fisiologis (Nurhadi dan Whittle 1988). Selanjutnya karena keadaan yang cukup lembap, cendawan akan berkembang yang menyebabkan terjadinya penyakit blendok. Luas serangan penyakit busa di Pulau Selayar dan Si Ompu mencapai 60−100% (Muhammad dan Taufik 2000). Tanaman yang terkena penyakit ini umumnya mengalami mati ranting secara bertahap dan akhirnya mati. Upaya pengendalian penyakit busa dapat di-lakukan dengan sanitasi kebun yang dikombinasikan dengan penggunaan insektisida ataupun fungisida.

CVPD

CVPD merupakan penyakit utama pada tanaman jeruk di Asia dan Afrika. Hingga tahun 1980-an, jeruk di Pulau Selayar masih dinyatakan bebas CVPD, tetapi pada tahun 1992 dilaporkan terdapat tanaman jeruk di pulau tersebut yang diduga terserang CVPD (Asa'ad dan Hutagalung 1992). Baharuddin et al. (2001) melaporkan bahwa terdapat 125 pohon jeruk di Kelurahan Batang Matasapo, Kecamatan Bontomatene, dan di Desa Polebunging, Kecamatan Bontomarannu yang terserang penyakit CVPD, baik yang ringan maupun yang berat, namun serangga penularnya (Diaphorina citri Kuway) belum ditemukan.

Penyakit CVPD atau greening di-sebabkan oleh bakteri yang hanya ada di dalam floem (pembuluh tapis) dan tidak

dapat dibiakkan (Jaqoueix et al.1994; Murray dan Schleifer 1994). Di Indonesia, penyebab penyakit ini dikelompokkan sebagai Liberobacter asiaticum dan dapat ditularkan oleh D. citri (Villechanoux et al.1992; Jaqoueix et al.1996), sedangkan yang menyerang di Afrika dapat ditularkan oleh Trioza erytriae serta tahan panas dan dikelompokkan sebagai Liberobacter africanum (Planet et al.1995).

Patogen berkembang biak di dalam jaringan pembuluh tapis sehingga meng-hambat transportasi hasil fotosintesis. Tanaman yang terserang CVPD me-nunjukkan gejala kuning pada sebagian daun atau seluruh tajuk, daun tampak kaku, tegak, dan sering pula terlihat bercak klorosis (blotching). Gejala ini mirip dengan gejala kahat seng. Pada daun tua, tulang-tulang daun yang halus berwarna lebih gelap, sehingga kontras dengan daging daun yang berwarna kuning (Semangun 1994). Jaringan floem daun dewasa memperlihatkan gejala yang khas, yaitu jauh lebih tebal daripada jaringan floem yang berwarna hijau. Di samping itu terjadi pengempesan pem-buluh tapis sehingga seolah-olah terjadi penebalan dinding sel. Penebalan ini terjadi karena dinding-dinding sel saling berdekatan akibat rongga sel telah hilang atau tinggal sedikit. Sel-sel parenkim yang masih berongga biasanya penuh berisi butir-butir pati (Tirtawidjaja 1983). Eradikasi terhadap tanaman yang ter-serang serta tidak menanam jeruk minimal satu tahun pada lokasi yang terserang CVPD merupakan cara pengendalian CVPD yang paling efektif.

(6)

STRATEGI PELESTARIAN

JERUK SELAYAR

Rehabilitasi jeruk keprok di Sulawesi Selatan telah dimulai pada tahun 1997 melalui proyek agribisnis hortikultura seluas 1.500 ha dan berakhir tahun 2000. Rehabilitasi dilakukan di tiga kabupaten yaitu Bantaeng, Bulukumba, dan Selayar masing-masing seluas 500 ha. Di daerah tersebut, sebagian petani menggantung-kan hidupnya dari usaha tani jeruk, sehingga rehabilitasi tanaman perlu dilakukan untuk mempertahankan ke-sinambungan produksi jeruk.

Upaya-upaya yang dapat ditempuh untuk melestarikan jeruk keprok selayar dapat berupa upaya jangka pendek dan jangka panjang. Upaya jangka pendek meliputi pengawasan secara ketat ter-hadap bibit jeruk dari luar daerah atau pelarangan memasukkan bibit dari daerah lain, pengadaan bibit setempat, eradikasi terhadap tanaman yang terserang CVPD, serta perakitan teknologi spesifik lokasi khususnya teknologi pengendalian pe-nyakit blendok dan busa. Upaya jangka panjang berupa pembuatan kebun plasma nuftah dan budi daya jeruk sehat. Pengendalian penyakit dengan target mengembalikan posisi Selayar sebagai sentra jeruk di Indonesia telah diprogram-kan melalui penggunaan bibit jeruk bebas penyakit, pengendalian terpadu serangga vektor D. citri, serta memfungsikan sistem alur dan mekanisme penyebaran bibit jeruk bebas penyakit (Winarno 1998).

Pengawasan Benih/Bahan

Tanam

Kabupaten Selayar merupakan daerah kepulauan yang terpisah oleh laut dari kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan. Pengawasan benih secara ketat di pelabuhan merupakan salah satu upaya untuk mencegah masuknya hama atau vektor penyakit yang hingga kini masih sulit dikendalikan. Kebijakan pemerin-tah daerah yang melarang masuknya bibit jeruk dari luar Kabupaten Selayar merupakan upaya terbaik untuk me-lindungi pertanaman jeruk keprok selayar dari hama atau penyakit yang berbahaya. Pengalaman menunjukkan bahwa masuknya bibit jeruk dari daerah endemik telah menghancurkan pertanaman jeruk di beberapa lokasi yang pernah menjadi sentra produksi jeruk di Sulawesi Selatan

seperti Sidrap. Masuknya bibit tersebut agak sulit dideteksi oleh petugas karantina karena menggunakan kemasan yang isinya seolah-olah bukan tanaman. Oleh karena itu, di samping pengawasan juga perlu dilakukan penyuluhan untuk meng-ingatkan masyarakat agar menggunakan bibit jeruk bebas penyakit.

Pengadaan Bibit Setempat

Usaha-usaha untuk mendapatkan jeruk yang toleran terhadap CVPD terus di-lakukan, namun hingga kini baru jeruk nambangan yang diketahui toleran ter-hadap penyakit CVPD, dan jeruk konde Purworejo agak toleran (Dwiastuti 2000). Oleh karena itu, pengadaan bibit dengan menggunakan jenis jeruk setempat me-rupakan alternatif yang perlu diper-timbangkan dalam mengembangkan jeruk keprok selayar. Menurut Tantra (1983), introduksi tumbuhan asli (lokal) ke dalam program penangkaran merupakan tin-dakan yang rasional. Hal ini memungkin-kan pengkombinasian antara varietas asli lokal yang telah beradaptasi dengan lingkungan dengan varietas-varietas baru hasil persilangan yang mempunyai potensi produktif.

Teknologi pembibitan jeruk bebas penyakit telah banyak didokumentasikan, seperti media yang cocok (Supriyanto et al. 1994), perendaman mata tempel ke dalam larutan penisilin (Roesmiyanto et al. 2000), dan penyambungan tunas pucuk secara in vitro (Navarro et al. 1974). Menurut Hardiyanto et al. (2000), penerapan teknologi rekomendasi pem-bibitan jeruk bebas penyakit dapat mempercepat masa penyambungan 2−2,50 bulan dengan pertumbuhan bibit yang lebih baik dibandingkan dengan cara petani.

Tanaman jeruk yang akan dijadikan tetua atau pohon induk, baik untuk batang atas maupun batang bawah, harus diindeksing untuk memastikan bahwa jeruk tersebut tidak terserang penyakit terutama CVPD. Hingga kini, mata tempel jeruk keprok selayar yang sehat baru dapat diperoleh dari blok fondasi yang terletak di Kota Makassar (ditempuh 10− 12 jam dengan perjalanan darat). Blok fondasi tersebut memasok kebutuhan mata tempel untuk blok perbanyakan mata tempel (BPMT) di Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan untuk membangun satu blok fondasi di

Ka-bupaten Selayar. Pohon induk untuk blok fondasi diambil dari jeruk yang sehat, kemudian diperbanyak melalui teknik penyambungan tunas pucuk secara in vitro yang terbukti dapat membebaskan jeruk dari penyakit yang berbahaya (Navarro et al. 1974). Blok fondasi tersebut akan memasok kebutuhan mata tempel BPMT yang selanjutnya menjadi sumber mata tempel untuk penangkar benih. Blok fondasi diusahakan terisolir dari per-tanaman jeruk. Pengelolaannya dapat dilakukan oleh pemerintah daerah atau swasta. Pohon induk di blok fondasi dipantau secara berkala melalui indeksing dan dievaluasi keragamannya. Jika di-jumpai pohon induk yang terinfeksi atau menyimpang dari sifat induknya, maka tanaman tersebut diganti dengan bibit yang baru.

Pembangunan kebun yang secara khusus menghasilkan benih batang bawah juga perlu dipikirkan. Pada tahap awal, bibit untuk kebun tersebut dapat diambil dari luar daerah atau dari pertanaman setempat yang telah dinyatakan bebas dari penyakit yang berbahaya seperti tristeza dan CVPD. Untuk menjamin agar bibit yang dihasilkan oleh penangkar benih benar-benar sehat maka pengawasan dan sertifikasi benih diberlakukan sesuai dengan kaidah-kaidah atau aturan dalam menghasilkan bibit sehat dan unggul. Namun demikian, perlu disadari bahwa pemakaian bibit bebas virus hanya merupakan pemecahan sementara, karena akan menghadapi masalah infeksi ulang di lapang dan akumulasi patogen pada bahan tanaman vegetatif serta pe-nyebaran tidak sengaja melalui bibit vegetatif yang dipakai (Sudarsono 1995). Pengalaman pada padi menunjukkan bahwa petani sering mengeluh atas hasil dan kualitas benih bersertifikat, karena hasil benih bersertifikat tidak lebih baik dari yang tidak bersertifikat (Nugraha 2000).

Eradikasi

Tanaman yang terserang penyakit CVPD harus dimusnahkan agar penyebaran penyakit tidak meluas. Dalam hal ini diperlukan sosialisasi kepada petani sehingga mereka secara sukarela me-musnahkan tanaman jeruk yang terserang CVPD. Pengalaman di beberapa daerah menunjukkan bahwa petani tidak ber-sedia memusnahkan tanamannya

(7)

mes-ngatasi kelangkaan penyuluh/petugas lapang.

Untuk memudahkan pengawasan dan pembinaan pembibitan jeruk bebas penyakit CVPD, perlu dilakukan pemilihan penangkar yang dianggap mampu me-nangani tugas tersebut. Penangkar yang terpilih akan memperoleh mata tempel dari BPMT dan mendapatkan pembinaan dan pengawasan yang ketat dari segi sanitasi peralatan perbanyakan tanaman, seperti pisau okulasi dan gunting pangkas untuk menghindari infeksi ulang penyakit. Penangkar yang bibitnya terinfeksi penyakit dilarang berproduksi yang didukung oleh perangkat hukum/per-aturan. Bibit jeruk bermutu hanya akan dihasilkan oleh penangkar bibit jika tahapan penangkaran dilakukan dengan tepat dan benar sesuai dengan program sertifikasi bibit yang berlaku (Roose dan Traugh 1988).

Kebun Plasma Nuftah

Tanaman budi daya, yang merupakan cadangan genetik alami, dihadapkan pada ancaman kepunahan (Hondelman 1975). Proses kepunahan tersebut dalam be-berapa dekade terakhir dipercepat dengan adanya tiga fenomena penting, yaitu: 1) erosi materi plasma nutfah itu sendiri, 2) makin seragamnya sifat genetik dari tanaman budi daya di satu sisi dan di lain pihak terjadi kehilangan keaneka-ragaman plasma nutfah, serta 3) ketidak-tahanan varietas-varietas tanaman budi daya terhadap serangan hama dan penyakit.

Pembangunan kebun plasma nuftah jeruk dimaksudkan untuk melestarikan kipun terserang penyakit yang

ber-bahaya tersebut.

Eradikasi harus diikuti pemantauan dan pengendalian secara berkesinam-bungan terhadap vektor CVPD. Menurut Tirtawidjaja (1983), eradikasi total dan adanya tenggang waktu paling sedikit satu tahun setelah pohon terakhir di-bongkar, sebelum dilakukan penanaman kembali, merupakan salah satu cara penanggulangan CVPD. Sikap mental masyarakat sangat berpengaruh terhadap keberhasilan eradikasi. Eradikasi tidak hanya ditujukan kepada jeruk yang sakit, tetapi juga terhadap tanaman lain yang menjadi inang D. citri seperti kemuning (Murraya penniculata), tapak dara (Vinca rosea), dan litsea (Litsea sinensis) untuk menghilangkan sumber inokulum.

Pembinaan Penangkar Benih

dan Penyuluh

Pelatihan dan bimbingan kepada penang-kar benih perlu dilakukan agar mereka dapat membantu menyosialisasikan peng-gunaan bibit jeruk sehat kepada petani. Triwiatno et al. (1995) melaporkan bahwa bibit jeruk bebas penyakit yang berasal dari penyambungan tunas pucuk dan penggandaan mata tempelnya ditangani oleh penangkar bibit yang terbina baik, terbukti bebas CVPD dan CTV, sedang yang ditangani oleh penangkar bibit yang kurang terbina telah ada indikasi tercemar CTV.

Peningkatan kemampuan penyuluh pertanian dalam menangani jeruk juga akan menentukan keberhasilan pengem-bangan jeruk di Selayar. Pendidikan jangka pendek berupa pelatihan/magang merupakan salah satu cara untuk

me-sumber daya keanekaragaman jenis dan genetik jeruk. Kebun dibangun di luar Kabupaten Selayar, misalnya di Balai Penelitian Buah di Solok atau Tlekung untuk mendukung penelitian-penelitian yang berkaitan dengan tanaman tersebut. Koleksi plasma nutfah jeruk dapat menjadi sumber bahan baku dalam kegiatan pemuliaan. Setiap jenis plasma nutfah ditanam di kebun yang lokasinya berbeda, sehingga bila terjadi gangguan masih ada duplikatnya di tempat lain.

KESIMPULAN DAN SARAN

Jeruk keprok selayar merupakan salah satu komoditas sumber pendapatan petani di tiga kecamatan di Kabupaten Selayar. Teknologi budi daya yang berkembang di tingkat petani masih memanfaatkan sumber daya setempat sehingga memer-lukan perbaikan/introduksi teknologi baru untuk memperoleh hasil yang optimal.

Gangguan hama/penyakit yang ber-bahaya merupakan ancaman bagi keber-lanjutan pertanaman jeruk di daerah tersebut. Upaya-upaya yang dapat dilaku-kan untuk mempertahandilaku-kan kelestarian jeruk keprok selayar adalah: 1) pengawas-an secara ketat dpengawas-an berkesinambungpengawas-an terhadap bahan tanam jeruk yang masuk dari luar daerah; 2) pengadaan bibit sehat setempat; 3) eradikasi tanaman yang memperlihatkan gejala terserang penyakit yang berbahaya seperti CVPD serta pe-mantauan dan pengendalian vektornya, 4) perakitan teknologi spesifik lokasi, 5) pengadaan kebun plasma nutfah di luar Kabupaten Selayar, dan 6) budi daya jeruk sehat.

DAFTAR PUSTAKA

Asa'ad, M. dan L. Hutagalung. 1992. Status hama dan penyakit jeruk di Selayar Sulawesi Selatan. Jurnal Hortikultura 2(3): 47−49. Asa'ad, M. dan L. Hutagalung. 1993. Penelitian

pengendalian penyakit diplodia pada jeruk selayar. Laporan Hasil Penelitian, Sub Balai Penelitian Hortikultura Jeneponto. 8 hlm. Baharuddin, F. Hasan, F. Rochani, M. Amiruddin,

dan Y. Hamidu. 2001. Keberadaan penyakit CVPD pada tanaman jeruk di Selayar. Dalam Kumpulan Abstrak Makalah Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan XIV Perhimpunan

Entomologi Cabang Makassar, dan Per-himpunan Fitopatologi Indonesia Komda Sulawesi Selatan, Makassar, 25 Oktober 2001. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Selayar. 1996. Proposal Pengembangan Komoditas Kabupaten Dati II Selayar tahun 1997/98. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Selayar, 26 hlm.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Horti-kultura Kabupaten Selayar. 1998. Laporan Tahunan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan

dan Hortikultura Kabupaten Selayar, 32 hlm.

Dwiastuti, M.E. 2000. Evaluasi ketahanan varietas jeruk terhadap penyakit CVPD isolat Lumajang. Jurnal Hortikultura 10(2): 131 136.

Erickson, L.C. 1968. The general physiology of citrus. In W. Reuther, L.D, Batchelor, and H.J. Webber (Eds.) The Citrus Industry. Vol. II. A Continental Publ. Univ. California. p. 86−126.

(8)

Hardiyanto, Djoema'ijah, dan A. Supriyanto. 2000. Uji teknologi penyediaan batang bawah jeruk JC terhadap pertumbuhan dan keragaan bibit siap tempel. Jurnal Hortikultura 9(4): 282−287.

Hondelman, W. 1975. Safeguarding the plant genetic resources of the developing countries. Plant Res. Dev. 1: 7−11.

Jaqoueix, S., J.M. Bove, and M. Garnier. 1994. The phloem-limited bacterium of greening disease of citrus is a member of the alpha subdivision of the proteobacterio. Internat. J. Systematic Bac. 44: 397−406.

Jaqoueix, S., J.M. Bove, and M. Garnier. 1996. PCR detection of the two "candidatus"

Liberobacter species associated with greening

disease of citrus. Mol. Cell. Probes 10: 43 50.

Kantor Statistik Kabupaten Selayar. 1998. Selayar dalam Angka 1997. Kerja Sama Bappeda Tk II Selayar dengan Kantor Statistik Kabupaten Selayar.

Lopulisa, C. dan A. Ala. 1998. Klasifikasi tipologi sumber daya lahan menuju penerapan teknologi spesifik lokasi untuk pengem-bangan hortikultura. Prosiding Seminar Hortikultura. Kerja Sama Faperta Universitas Hasanuddin dengan IPPTP Jeneponto. hlm. 29−39.

Muhammad, H. dan M. Taufik. 2000. Blendok dan busa ancam Selayar dan Si Ompu. Trubus, November 2000. 36 hlm.

Murray, R.G.E. and K.H. Schleifer. 1994. Taxonomic notes: A proposal for recording the properties of putative taxa of pro caryotes. Internat. J. Systematical Bac. 44: 174−184.

Navarro, L.N., C.N. Roistacher, and T. Mu-rishage. 1974. Improvement of shoot tip grafting in vitro for virus-free citrus. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 100: 471−479.

Nugraha, U.S. 2000. Critical review of seed certification performance in Indonesia with reference to rice seed. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 19(2): 49−53. Nurhadi dan A.M. Whittle. 1988. Pengenalan

dan Pengendalian Hama dan Penyakit Jeruk. Kerja Sama Sub Balai Penelitian Hortikultura Malang dengan FAO/UNDP, Malang. 118 hlm.

Nurjanani dan L. Hutagalung. 1993. Pengendali-an penyakit Diplodia natalensis dengPengendali-an fungisida (in vitro). Jurnal Hortikultura 3(1): 43−45.

Oka, M.A., I.S. Saenong, M.N. Noor, dan Y. Makmun. 1993. Penelitian pengembangan: Prosedur pelaksanaan dan evaluasi hasil penelitian. Makalah disampaikan pada Pelatihan Peningkatan Manajemen Sumber Daya Manusia di BLPP Wonocatur, Yogyakarta. 38 hlm.

Pasandaran, E. 1996. Pengembangan komoditas pertanian unggulan dalam rangka globalisasi pasar. Prosiding Rapat Kerja Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Bandung 5−7 Desember 1996. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Jakarta. hlm. 10−19.

Planet, P., S. Jaqoueix, J.M. Bove, and M. Garnier. 1995. Detection and characterization of the African citrus greening Liberobacter by amplication cloning and sequencing of the rp/KAJL-rpo BC operon. Current Micro-biol. 30: 137−141.

Roesmiyanto and L. Hutagalung. 1989. Citrus pest and disease in Jeneponto. Horticultura 25: 31−34.

Roesmiyanto, L. Setyobudi, dan S. Handayani. 2000. Pengkajian penisilin untuk elemen pendukung ketahanan bibit jeruk terhadap CVPD. Jurnal Hortikultura 10(2): 121−125. Roose, M.L. and S.N. Traugh. 1988. Iden-tification and performance of citrus trees on nucellar and zygotic rootstock. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 113(1): 100−105.

Semangun, H. 1994. Penyakit-penyakit Tanam-an Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. hlm. 390− 455.

Soerojo, R. 1991. Situasi perkembangan jeruk: Kendala, tantangan dan prospek. Risalah Lokakarya Perencanaan Program bangan Jeruk. Pusat Penelitian dan Pengem-bangan untuk Rehabilitasi Jeruk. hlm. 1−30. Sudarsono. 1995. Peranan bioteknologi dalam pengembangan hortikultura: Penggunaan rekayasa genetika untuk memperoleh kultivar tanaman tahan penyakit Dalam Prosiding Simposium Hortikultura Nasional di Malang, 8−9 November 1994. hlm. 239− 245.

Sunarjono, H. 1990. Ilmu Produksi Tanaman Buah-Buahan. Sinar Baru, Bandung. 209 hlm.

Supriyanto, A., M.E. Dwiastuti, M. Istianto, dan A. Sutanto. 1994. Teknologi pembibitan jeruk bebas penyakit mendukung pem-bangunan agroindustri jeruk di Indonesia. Prosiding Rapat Kerja Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Cipanas 23 24 Juni 1993. Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Hortikultura, Jakarta. hlm. 10−21. Tantra, IG.M. 1983. Erosi plasma nuftah nabati

dan masalah pelestariannya. Jurnal Pe-nelitian dan Pengembangan Pertanian II(1): 1−5.

Taufik, M., Nurjanani, H. Muhammad, M. Thamrin, dan M.B. Nappu. 2000. Analisis finansial dan pemupukan berimbang men-dukung program rehabilitasi jeruk keprok di Kabupaten Selayar. Jurnal Hortikultura 10(2): 144−153.

Taufik, M., Nurjanani, Sunarto, M. Thamrin, M.B. Nappu, dan W. Dewayani. 2001. Pengkajian teknologi budi daya jeruk di Sulawesi Selatan. Laporan Hasil Penelitian IPPTP Jeneponto. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Jeneponto. Sulawesi Selatan. 36 hlm.

Tirtawidjaja, S. 1983. Citrus vein phloem degeneration (CVPD) penyakit yang sangat merusak jeruk. Jurnal Penelitian dan Pe-ngembangan Pertanian II(1): 36−41. Triwiatno, A., Roesmiyanto, dan N.F. Devy.

1995. Evaluasi hasil indeksing CVPD dan CTV pada pembibitan jeruk petani pe-nangkar di Propinsi Bali. Makalah Kongres Nasional XII dan Seminar Ilmiah Per-himpunan Fitopatologi Indonesia di Yog-yakarta. hlm. 684−689.

Villechanoux, S., M. Garnier, J. Renaudin, and J.M. Bove. 1992. Detection of several strains of the bacterial-like organism of citrus greening disease by DNA probes. Current Microbiol. 24: 8−95.

Winarno, M. 1998. Pengembangan sentra produksi jeruk di Indonesia. Makalah Pelatihan Pengelolaan Blok Fondasi dan BPMT Jeruk Bebas Penyakit untuk Pe-ngelolaan Kebun Jeruk Seluruh Indonesia, Tlekung 27 Juli−2 Agustus 1998.

Gambar

Gambar 1. Jeruk  keprok selayar yang layu karena kekeringan di musim kemarau.
Gambar 2. Jeruk keprok selayar umur empat tahun dengan batang bawah JC, berbuah cukup lebat di lokasi sistem usaha tani.
Gambar 3.   Tanaman jeruk yang terserang penyakit busa.

Referensi

Dokumen terkait

carpocapsae #25 dan Steinernema T96 hasil perbanyakan pada 7 media in vitro cair dalam cawan petri dibandingkan dengan yang diperbanyak pada larva Tenebrio molitor (Coleoptera:

Setelah memahami realitas yang digambarkan di atas, secara khusus penulis ingin memberikan gambaran secara utuh tentang dinamika reintegrasi sosial pasca konflik, dengan

keterampilan sosial) terhadap motivasi belajar siswa kelas XI pada mata. pelajaran Aqidah Akhlak di MAN 1 Tulungagung Tahun

§10.4.8 A local static object, which is created the first time its declaration is encountered in the execution of the program and destroyed once at the termination of the

memecahkan masalah dalam kehidupan keseharian siswa.. Yatim Riyanto menyatakan bahwa “Strategi lebih di pentingkan dari pada hasil ”. 17 Dari pandangan ini

(Istilah Terkait: Fasilitas, Dana Penyiapan Proyek, Menteri Keuangan, Penasehat Transaksi) Perjanjian yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan dalam hal ini Direktur Jenderal

Media video merupakan media pembelajaran yang tidak tercantum di dalam buku siswa dan buku guru, sehingga media ini cukup menarik dan efektif jika digunakan sebagai

6 Menurut Munawir (2001:32), Solvabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya apabila perusahaan tersebut dilikuidasikan, baik kewajiban