• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Penanggulangan Terhadap Tindakan Anarkis Dalam Konflik Antar Kampung Oleh Kepolisian (Studi Kasus Di Kepolisian Daerah Lampung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Upaya Penanggulangan Terhadap Tindakan Anarkis Dalam Konflik Antar Kampung Oleh Kepolisian (Studi Kasus Di Kepolisian Daerah Lampung)"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Upaya Penanggulangan Terhadap Tindakan Anarkis Dalam Konflik Antar Kampung Oleh Kepolisian

(Studi Kasus Di Kepolisian Daerah Lampung) Oleh

Muhammad Yusuf

Konflik yang sudah kerap terjadi di Lampung Selatan merupakan konflik yang bersifat anarkis yang timbul akibat dari adanya pertikaian dan selanjutnya meluas menjadi perpecahan antar kelompok masyarakat tertentu yang secara kebetulan memiliki perbedaan suku dan keyakinan sehingga Kepolisian beserta jajaran dengan tugas dan wewenangnya diharuskan melakukan langkah-langkah agar situasi dan kondisi dapat kondusif. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu Bagaimanakah upaya penanggulangan terhadap tindakan anarkis dalam konflik antar kampung oleh kepolisian, Apakah faktor-faktor penghambat upaya penanggulangan terhadap tindakan anarkis dalam konflik antar kampung oleh kepolisian.

Pendekatan masalah dalam penelitian ini yaitu melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Metode pengumpulan data diperoleh melalui studi kepustakaan dan wawancara. Metode penyajian data dilakukan melalui proses editing, sistematisasi, dan klasifikasi. Metode analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis kualitatif, dan menarik kesimpulan secara deduktif.

(2)

Muhammad Yusuf hukum, faktor sarana pendukung, faktor masyarakat dan SDM. Faktor-faktor tersebut kaitannya dengan sarana pendukung seperti perlengakapan anti huru hara yang terbatas jumlahnya, minimnya jumlah personil yang diterjunkan serta luasnya cakupan wilayah konflik sehingga tidak semua wilayah dapat diamankan oleh kepolisian.

Saran dalam penelitian ini setelah melakukan pembahasan dan memperoleh kesimpulan dalam skripsi ini, maka saran yang dapat disampaikan adalah (1) Upaya penanggulangan terhadap tindakan anarkis dalam konflik antar kampung oleh Kepolisian sudah cukup tepat meskipun dalam hal ini kepolisian dinilai gagal karena konflik yang terjadi di Lampung Selatan sudah memakan korban harta dan jiwa yang tidak sedikit dan terus bertambah sehingga perlu ditingkatkan lagi dalam hal koordinasi secara cepat dan tanggap agar kerusuhan serupa tidak semakin meluas dan berkepanjangan. (2) Faktor penghambat dalam hal ini yang paling utama adalah faktor hukum,faktor sarana,faktor penegak hukum, faktor masyarakat itu sendiri sehingga solusinya adalah dengan fungsi dari Binmas dan intelkam juga perlu ditingkatkan lagi agar pemahaman masyarakat akan hukum lebih dimengerti serta segala informasi mengenai adanya indikasi-indikasi yang sifatnya akan menimbulkan perpecahan dan konflik secara responsif dapat diketaui oleh Kepolisian yang selanjutnya dapat diambil langkah-langkah guna mencegah terjadinya konflik antar kampung yang bersifat anarkis.

(3)

UPAYA PENANGGULANGAN TERHADAP TINDAKAN ANARKIS DALAM KONFLIK ANTAR KAMPUNG OLEH KEPOLISIAN

(Studi Kasus di Kepolisian Daerah Lampung) (Skripsi)

OLEH :

MUHAMMAD YUSUF

UNIVERSITAS LAMPUNG FAKULTAS HUKUM BANDAR LAMPUNG

(4)

DAFTAR ISI

Halaman

I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian. ... 5

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual. ... 6

E. Sistematika Penulisan ... 10

II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Polri ... 12

B. Konflik Sosial Masyarakat ……… . 18

C. Hakekat Dasar Konflik Sosial……….. ... 25

D. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum……….. 29

E. Pengertian Umum Anarkisme ... 32

III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 35

B. Sumber dan Jenis Data ... 35

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 36

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 37

(5)

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Informan……….... 39 B. Upaya penanggulangan terhadap tindakan anarkis dalam konflik

antar kampung oleh Kepolisian ………... 40 C. Faktor-faktor penghambat penanggulangan terhadap tindakan anarkis

dalam konflik antar kampung oleh Kepolisian……….... 52

V PENUTUP

(6)
(7)
(8)

MOTTO

Hidup Adalah Perjuangan, Jangan Sia Sia Kan

Waktumu, Buatlah ia Menjadi Lebih Baik”

(Muhammad yusuf)

(9)

PERSEMBAHAN

Puji syukurku sebagai hamba yang lemah kepada Allah SWT atas semua nikmat dan karunia-Nya.

Sebagai wujud ungkapan rasa cinta, kasih dan sayang serta bakti yang tulus, kupersembahkan karya ini

teruntuk :

Kedua orang tuaku tercinta yang terus berjuang tanpa kenal lelah, menyayangi dengan tulus ikhlas tanpa mengharap balasan dan senantiasa berdoa untuk

kebahagiaan dan masa depan anak-anaknya.

Adik dan kekasihku tersayang yang selalu memberi motivasi dan semangat dalam hidupku.

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Negara Ratu, Kotabumi Lampung Utara pada tanggal 11 Desember 1988, yang merupakan anak Pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Paryoto.SPd.I.MM. dan Ibu Srimurni.SPd.MM.

Penulis menyelesaikan pendidikan dimulai dari Taman Kanak-kanak di TK Pasar Senen Negara Ratu tahun 1992, pendidikan dasar di SD Negeri 6 Negara Ratu pada tahun 1999, pendidikan lanjutan di SMP Negeri 1 Sungkai Utara pada tahun 2002, dan pendidikan menengah atas di SMA Negeri I Sungkai Utara pada tahun 2005.

Pada tahun 2005 penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Program Non Reguler dan kemudian mengambil minat pada bagian Hukum Pidana.

(11)

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Alloh SWT, yang senantiasa melimpahkan anugerah dan nikmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “Upaya Penanggulangan Terhadap Tindakan Anarkis Dalam Konflik Antar Kampung Oleh Kepolisian (Studi Kasus Di Kepolisian Daerah Lampung)”. Skripsi ini disusun guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Melalui skripsi ini peneliti banyak belajar sekaligus memperoleh ilmu dan pengalaman yang belum pernah diperoleh sebelumnya dan diharapkan ilmu dan pengalaman tersebut dapat bermanfaat di masa yang akan datang.

Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak, dan segala sesuatu dalam penulisan skripsi ini jauh dari sempurna mengingat keterbatasan kemampuan Penulis. Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., Ketua Bagian Hukum Pidana;

(12)

4. Bapak Tri andrisman, S.H., M.H., dan juga selaku Pembimbing I yang telah banyak memberikan saran dan penilaian selama penulisan skripsi ini;

5. Bapak Eko Rahardjo, S.H., M.H., Pembahas I yang telah memberikan masukan dan saran untuk kebaikan penulisan skripsi ini;

6. Bapak A.Irzal.F, S.H., M.H., Pembahas II yang telah memberikan masukan dan saran untuk kebaikan penulisan skripsi ini;

7. Bapak Armen Yasir, S.H., M.H., Pembimbing Akademik yang telah memberikan nasehat dan bantuannya selama proses pendidikan;

8. Seluruh dosen, staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, terima kasih atas ilmu yang telah diberikan selama proses pendidikan dan atas bantuannya selama ini;

9. Mbak Sri, Mbak Yanti, Babe dan Staf TU Akademik yang tak bisa saya sebutkan satu persatu terima kasih atas bantuannya selama ini;

10.Seluruh responden yang telah bersedia memberikan info dan masukan sehingga skripsi ini bisa di selesaikan oleh Penulis dengan baik;

11.Bapak dan Ibu tercinta, atas doa, pengorbanan serta dukungan dan kasih sayang tak henti-henti yang membuat Penulis selalu bersemangat memberikan yang terbaik bagi masa depan;

12.Adikku tersayang, atas motivasi, dukungan dan semangat yang diberikan; 13.Sahabat-sahabat terbaikku dikampus , rangga setiabudi.SH.,Deni.SH.,Indra

(13)

14.Dan yang terakhir untuk Tercinta Dwi Ratih Agustina.SPd., terima kasih atas dukungan, doa, semangat, pengertian dan kesabaran tiada henti yang diberikan, dari awal hingga akhir.

Penulis berdoa semoga segala bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Alloh SWT. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua dan di bidang hukum demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

Bandar Lampung, April 2013 Penulis

(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anarkis merupakan sebuah sistem sosialis tanpa pemerintahan, anarkis dimulai di antara manusia, dan akan mempertahankan vitalitas dan kreativitasnya selama merupakan pergerakan dari manusia. Tindakan anarkis dapat berupa perusakan, pengeroyokan, pembakaran, penjarahan dan lain-lain pada dasarnya adalah hasil dari suatu perilaku kolektif (collective behavior). Bila dinamakan perilaku kolektif, bukanlah semata-mata itu merupakan perilaku kelompok melainkan perilaku khas yang dilakukan sekelompok orang yang anggotanya pada umumnya tidak saling kenal dan bersifat spontan.

Munculnya tindakan anarkis adalah adanya keyakinan/anggapan/perasaan bersama (collective belief). Keyakinan bersama itu bisa berbentuk, katakanlah, siapa yang cenderung dipersepsi sebagai maling (dan oleh karenanya diyakini “pantas” untuk digebuki) atau situasi apa yang mengindikasikan adanya kejahatan (yang lalu diyakini pula untuk ditindaklanjuti dengan tindakan untuk, katakanlah, melawan). 1

Kecenderungan masyarakat bersifat anarkis tidak lebih karena adanya provokator, kerap kita membayangkan bahwa provokator tersebut adalah orang di luar kelompok atau massa (baik penduduk asli atau terorganisasi dari luar) yang mengabarkan cerita buruk dan bohong. Tak cukup dengan itu, dapat pula diimajinasikan bahwa provokator itu melakukannya seraya berbisik-bisik dengan

1

(15)

mata curiga dan berjalan mengendap-endap dan mengajak massa lain untuk melakukan aksi anarkis.

Perasaan tidak aman atau rasa takut pada kejahatan pada umumnya juga diakibatkan oleh diyakininya perasaan bersama tersebut, terlepas dari ada-tidaknya fakta yang mendukung perasaan tadi, media-massa dalam hal ini amat efektif menanamkan citra, persepsi, pengetahuan ataupun pengalaman bersama tadi, sesuatu yang mulanya kasus individual, setelah disebarluaskan oleh media-massa lalu menjadi pengetahuan publik dan siap untuk disimpan dalam memori seseorang. Memori tersebut pada suatu waktu kelak dapat dijadikan referensi oleh yang bersangkutan dalam memilih model perilaku.

Konflik antar suku di Lampung memang bukan merupakan sebuah hal baru, konflik tersebut sudah pernah terjadi sebelumnya dan pemicunya hanyalah berawal dari masalah sepele. Bahkan di tempat yang sama perang suku sering terjadi yaitu di kecamatan Sidomulyo terjadi pada 29 Desember 2010, pemicunya adalah berawal dari pencurian ayam. Kemudian berlanjut pada bulan Januari 2012 Perang antar suku Bali dengan suku Lampung, pemicunya adalah perebutan lahan parkir. Kemudian tidak selang lama kemudian pada bulan Oktober 2012 kembali terjadi kembali perang antar suku Bali dengan Suku Lampung.2

Konflik diatas merupakan beberapa konflik yang terhitung besar, selain konflik besar yang pernah terjadi diatas, di lampung juga sering terjadi konflik – konflik kecil antar suku namun biasanya hal tersebut masih bisa diredam sehingga tidak

2

(16)

membesar.

Dari konflik – konflik kecil tersebut timbullah dendam diantara para suku – suku tersebut sehingga jika terjadi insiden kecil bisa langsung berubah menjadi sebuah konflik besar. Pengelompokan suku di daerah lampung memang sudah terjadi sejak lama, bahkan hal tersebut sudah terjadi sejak mereka remaja.

Dengan demikian diperlukan tindakan represif kepolisian dalam menangani tindakan anarkis, tetapi hal tersebut dilakukan oleh Kepolisian berdasarkan prosedur penanganan pengendalian masa yang bersifat anarkis. Tindakan represif yang dilakukan oleh kepolisian dalam menangani perang antar kampung bukan semata-mata tanpa pedoman dan prosedur atau aturan yang diberikan kewenangan kepada kepolisian untuk melakukan tindakan represif.

Dalam melakukan tindakan represif anggota kepolisian selalu berlandaskan pada prosedur tetap Direktur Shabara Babinkam POLRI No.Pol : Protap/01/V/2004, dengan indikator-indikator situasi anarkis pada angka 10 yang menyatakan:3

a. Tindakan kepolisian awal/preventif dalam bentuk : negosiasi, himbauan, tembakan peringatan/salvo, dorongan dengan menggunakan peralatan dalmas (tameng, tongkat, gas air mata) sudah tidak diindahkan dan kerusuhan cenderung meluas serta brutal.

b. Masa perusuh menunjukkan sikap dan tindakan melawan perintah petugas Polri dan tidak mengindahkan sama sekali peringatan untuk tidak melakukan pelanggaran hukum.

c. Masa perusuh mulai melakukan tindakan kekerasan yang membahayakan keselamatan jiwa, raga dan harta benda masyarakat dengan cara : melempar, memukul, menganiaya, memperkosa, menyandra dan membunuh.

Terdapat indikator-indikator yang jelas apabila anggota kepolisian melakukan tindakan represif terhadap masa yang bersifat anarkis.

3

(17)

Peran kepolisian dalam upaya penanggulangan konflik yang terjadi antar kampung di Kalianda Lampung Selatan hanya sebatas pengamanan dan pelaksanaan protap untuk mencegah terjadinya kerusuhan yang lebih besar karena sangat dikhawatirkan perang suku antara suku Lampung dan suku Bali sebagai suku pendatang akan lebih luas lagi dengan korban jiwa terhitung sudah banyak memakan korban jiwa dan harta benda.

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul: “Upaya Penanggulangan Terhadap Tindakan Anarkis Dalam Konflik Antar Kampung oleh kepolisian”.

B. Permasalahan dan Ruang lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan Latar Belakang yang dikemukakan di atas, mengenai Upaya Penanggulangan Terhadap Tindakan Anarkis Dalam Perang Antar Kampung oleh kepolisian, maka permasalahan dalam skripsi ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah upaya penanggulangan terhadap tindakan anarkis dalam

konflik antar kampung oleh kepolisian (Studi Kasus di Polda Lampung)? 2. Apakah faktor-faktor penghambat upaya penanggulangan terhadap tindakan

anarkis dalam konflik antar kampung oleh kepolisian (Studi Kasus di Polda Lampung)?

2. Ruang Lingkup

(18)

dalam ruang lingkup bidang ilmu hukum pidana berkaitan dengan hukum pidana dan upaya penanggulangan, penulis tertarik untuk melakukan penelitian guna mendapatkan data dalam menjawab permasalahan dengan ruang lingkup penelitian pada upaya pihak kepolisian Daerah Lampung dalam menanggulangi tindakan anarkis dalam konflik antar kampung oleh kepolisian pada wilayah hukum Kepolisian Daerah Lampung, upaya penanggulangan terhadap tindakan anarkis dalam konflik antar kampung oleh kepolisian, faktor penghambat yang dihadapi dalam upaya penanggulangan terhadap tindakan anarkis dalam konflik antar kampung oleh kepolisian, penelitian ini akan dilakukan pada studi kasus dengan lingkup penelitian diwilayah hukum Kepolisisan Daerah Lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui upaya penanggulangan terhadap tindakan anarkis dalam konflik antar kampung oleh kepolisian (Studi Kasus Polda Lampung).

2. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat upaya penanggulangan terhadap tindakan anarkis dalam konflik antar kampung oleh kepolisian (Studi Kasus Polda Lampung).

2. Kegunaan Penelitian

(19)

Adapun kegunaan yang diharapkan dalam penulisan skripsi ini : 1. Kegunaan Teoritis

a. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan serta menambah wawasan khususnya mengenai konflik antar kampung

b. Memberikan kontribusi kepada kalangan akademisi dan praktisi, penambahan pengetahuan hukum umumnya dan hukum pidana

c. Memberikan pengetahuan kepada kita semua tentang tugas dan fungsi polisi dalam upaya penanggulangan terhadap tindakan anarkis dalam perang antar kampung

2. Kegunaan Praktis

Dapat menjadi sumbangsih bagi pemerintah, khususnya bagi lembaga Legislatif sebagai bahan masukan untuk membuat suatu peraturan atau Undang-Undang yang berkaitan dengan konflik sosial atau perang antar kampung.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.4 Manusia sebagaimana diakui oleh hukum (pendukung hak dan kewajiban hukum) pada dasarnya secara normal mengikuti hak-hak yang dimiliki manusia. Hal ini berkaitan dengan arti hukum yang memberikan pengayom, kedamaian dan

4

(20)

ketentraman seluruh umat manusia dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara.

Penegakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal), dengan tujuan akhir adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Dengan demikian penegakkan hukum pidana yang merupakan bagian hukum pidana perlu di tanggulangi dengan penegakan hukum pidana berupa penyempurnaan peraturan perundang-undangan dengan penerapan dan pelaksanaan hukum pidana dan meningkatkan peran serta masyarakat untuk berpartisipasi dalam menanggulangi tindak pidana.

Menurut G.P. Hoefnagels yang dikutip oleh Barda Nawawi.5 Penanggulangan ditetapkan dengan cara :

1. Penerapan hukum pidana 2. Pencegahan tanpa pidana

3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan Pencegahan dan penanggulangan kejahatan tidak hanya dapat diatasi dengan penegakan hukum pidana semata, melainkan harus dilakukan dengan upaya-upaya lain diluar hukum pidana (non penal). Upaya non penal tersebut melalui kebijakan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Di samping itu, upaya non penal juga dapat ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan menggali berbagai potensi yang ada di dalam masyarakat itu sendiri.

Menurut Kunarto yang dikutip oleh Sunarto,6 upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan dengan cara mengadakan kegiatan operasi rutin dan operasi khusus, yaitu :

5

Barda Nawawi. Arief. 2001. Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan

(21)

1. Upaya Represif

Upaya penegakan hukum yang dilakukan untuk memberantas kejahatan setelah kejahatan tersebut terjadi.

2. Upaya Preventif

Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Upaya ini dilakukan untuk mencegah sebelum terjadinya kejahatan dengan mempersempit kesempatan. 3. Upaya Pre-Emptif

Upaya yang dilakukan untuk menghilangkan penyebab kejahatan. Upaya ini dilakukan untuk menghilangkan faktor penyebab yang menjadi pendorong terjadinya kejahatan tersebut.

4. Operasi Khusus

Operasi khusus adalah operasai yang akan diterapkan khusus untuk menghadapi masa rawan yang diprediksi dalam kalender baru kerawanan kamtibnas berdasarkan pencatatan data tahun-tahun silam.

Masalah penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut,7 faktor-faktor penegakan hukum adalah sebagai berikut :

a. Faktor hukumnya sendiri, Undang-Undang.

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentu maupun menerapkan hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

6http://silcabustam.blogspot.com/2011_10_01_archive.html .21-10-2012 7

(22)

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang akan diteliti, baik dalam penelitian hukum normatif maupun empiris. Biasanya telah merumuskan dalam definisi-definisi tertentu atau telah menjalankan lebih lanjut dari konsep tertentu.8

Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menghubungkan atau menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah.9

Upaya memudahkan pengertian yang terkandung dalam kalimat judul penelitian ini, maka penulis dalam konseptual ini menguraikan pengertian-pengertian yang berhubungan erat dengan penulisan sekripsi ini, agar tidak terjadi kesimpangsiuran pemahaman atau penafsiran yang ditujukan untuk memberikan kesatuan pemahaman, maka akan dijelaskan beberapa istilah yang dipakai, yaitu: a. Kepolisisan adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan

lembaga Polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Polisi adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia adalah setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif.

8

Husin, Sanusi. 1991. Penuntun Praktis Penulisan Skripsi. Fakultas Hukum Universitas

Lampung. Bandar Lampung, hlm 9

9

(23)

b. Penanggulangan adalah suatu proses, perbuatan, atau suatu cara menanggulangi.

c. Perang antar kampung atau konflik sosial adalah benturan dengan kekerasan fisik antara dua atau lebih kelompok masyarakat atau golongan yang mengakibatkan cedera dan/atau jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda, berdampak luas, dan berlangsung dalam jangka waktu tertentu yang menimbulkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga menghambat pembangunan nasional dalam mencapai kesejahteraan masyarakat.10

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini secara keseluruhan dapat mudah dipahami dari sitematika penulisannya yang disusun sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisikan tentang pendahuluan yang merupakan latar belakang yang menjadi titik tolak dalam perumusan permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual yang menjelaskan teori.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar yang berisikan tentang pengertian-pengertian umum pengertian pidana, upaya penanggulangan,konflik sosial pengertian tugas dan fungsi kepolisian dalam upaya menanggulangi tindakan anarkis dalam perang antar kampung.

III. METODE PENELITIAN

10

Ahmad Ubbe, 2011. Pengkajian Hukum Tentang Mekanisme Penanganan Konflik Sosial.BPHN

(24)

Bab ini membahas metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian, terdiri dari pendekatan masalah, sumber dan jenis data, populasi dan sampel, prosedur pengumpulan data dan pengolahan data secara analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat hasil penelitian dan pembahasan yang membahas permasalahan-permasalahan yang ada, yaitu ; mengenai upaya penanggulangan terhadap tindakan anarkis dalam perang antar kampung oleh kepolisian.

V. PENUTUP

(25)
(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Kepolisian Republik Indonesia

1. Tugas dan Fungsi Polisi Republik Indonesia

Eksistensi Kepolisian adalah peran utama yang harus dijalankan sehubungan dengan atribut yang melekat pada individu maupun instansi, dalam hal ini diberikan oleh POLRI didasarkan atas asas Legalitas Undang-Undang yang karenanya merupakan kewajiban untuk dipatuhi oleh masyarakat. Agar peran ini bisa dijalankan dengan benar, pemahaman yang tepat atas peran yang diberikan harus diperoleh.

Pemaknaan akan Pelindung, Pengayom, dan Pelayan masyarakat bisa beragam dari berbagai tinjauan, namun untuk kesamaan persepsi bagi kita dan langkah bagi kita, pemaknaan itu dapat dirumuskan :

1. Pelindung : adalah anggota POLRI yang memiliki kemampuan memberikanperlindungan bagi warga masyarakat, sehingga terbebas dari rasa takut, bebas dari ancaman atau bahaya, serta merasa tentram dan damai

(27)

3. Pelayan : adalah anggota POLRI yang setiap langkah pengabdiannya dilakukan secara bermoral, beretika, sopan, ramah dan proporsional

Pemaknaan dari peran Pelindung, Pengayom dan Pelayan seyogianya tidak hanya tampil dalam setiap langkah kegiatan apapun yang dilakukan oleh personil POLRI berkaitan dengan tugasnya, melainkan juga dalam perilaku kehidupannya sehari-hari Tampilan perilaku dimaksud akan sangat tergantung pula kepada integritas pribadi masing-masing anggota POLRI, untuk bisa dilaksanakan secara sadar, baik dan tulus. Pada intinya, perilaku yang ditampilkan dapat berwujud :

Sebagai Pelindung : berikan bantuan kepada masyarakat yang merasa terancam dari gangguan fisik dan psikis tanpa perbedaan perlakuan

1. Sebagai Pengayom : dalam setiap kiprahnya, mengutamakan tindakan yang bersifat persuasif dan edukatif

2. Sebagai Pelayan : layani masyarakat dengan kemudahan, cepat, simpatik, ramah, sopan serta pembebanan biaya yang tidak semestinya

3. Sebagai pengayom, POLRI harus selalu simpati dan ramah tamah. Disini ada tiga konsep policy Kapolri yang relevan, yaitu etis, tanggap dan jangan semena mena. Sedangkan sebagai pengawas masyarakat, Polri harus tegas, berwibawa dan kalau perlu keras. Satu lagi konsep policy Polri adalah relevan kuat, yaitu Polri harus sadar bahwa dirinya adalah sebagai ”Crime Hunter”.

(28)

universal, sebagai standar minimum perilaku organisasi Polisi. TAP MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka peranan Kepolisian adalah :

1. Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat

2. Dalam menjalankan perannya, Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memiliki keahlian dan keteerampilan secara profesional

2. Fungsi Kepolisian Dalam Masyarakat

Telah dikenal oleh masyarakat luas terlebih dikalangan kepolisian, bahwa tugas yuridis Kepolisian tertuang dalam UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan di dalam UU Pertahanan dan Keamanan.

Selanjutnya dalam Pasal 15 UU No. 2 tahun 2002 disebutkan :

(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang :

a. Menerima laporan dan/atau pengaduan

b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat menggangu ketertiban umum

c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat

(29)

persatuan dan kesatuan bangsa

e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalan lingkup kewenangan administratif kepolisian

f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan

g. Melakukan tindakan pertama ditempat kejadian

h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang i. Mencari keterangan dan barang bukti

j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional

k. Mengeluarkan surat dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat

l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat

m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu

Tugas pokok tersebut dirinci lebih luas sebagai berikut : 1. Aspek ketertiban dan keamanan umum

2. Aspek perlindungan terhadap perorangan dan masyarakat (dari gangguan atau perbuatan melanggar hukum/kejahatan, dari penyakit-penyakit masyarakat dan aliran-aliran kepercayaan yang membahayakan termasuk aspek pelayanan masyarakat dengan memberikan perlindungan dan pertolongan)

3. Aspek pendidikan sosial di bidang ketaatan/kepatuhan hukum warga masyarakat

(30)

Mengamati tugas yuridis Kepolisian yang demikian luas tetapi luhur dan mulia itu, jelas merupakan beban yang sangat berat. Terlebih ditegaskan bahwa didalam menjalankan tugasnya itu harus selalu menjungjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara, khususnya dalam melaksanakan kewenangannya dibidang penyidikan. Ditegaskan pula agar senantiasa mengindahkan norma-norma keagamaan, perikemanusiaan, kesopanan dan kesusilaan. Beban tugas yang demikian berat dan ideal itu tentunya harus didukung pula oleh aparat pelaksana yang berkualitas dan berdedikasi tinggi.

Memperhatikan perincian tugas dan wewenang kepolisian seperti telah dikemukakan diatas, terlihat bahwa pada intinya ada dua tugas kepolisian dibidang penegakan hukum, yaitu :

1. Penegakan hukum dibidang Peradilan pidana (dengan sarana penal) 2. Penegakan hukum dengan sarana non-penal

(31)

sekedar dinyatakan sebagai tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) menurut ketentuan hukum pidana positif yang berlaku.

Uraian diatas ingin diungkapkan bahwa tugas dan wewenang kepolisian yang lebih berorientasi pada aspek sosial atau aspek kemasyarakatan (yang bersifat pelayanan dan pengabdian) sebenarnya lebih banyak daripada tugas yuridisnya sebagai penegak hukum dibidang peradilan pidana. Dengan demikian dalam menjalankan tugas dan wewenangya, kepolisian sebenarnya berperan ganda baik sebagai penegak hukum maupun sebagai pekerja sosial untuk menggambarkan kedua tugas peran ganda ini. Kongres PBB ke-5 (mengenai Prevention of crime and the treatment of offenders) pernah menggunakan istilah service oriented

task” dan law enforcement duties”.

Perihal kepolisian dengan tugas dan wewenangnya, ada diatur dalam UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang tersebut dikatakan bahwa, kepolisian adalah segala hal-ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan perundang-undangan.

Keterangan pasal tersebut, maka dapat dipahami suatu kenyataan bahwa tugas-tugas yang diemban oleh polisi adalah sangat komplek dan rumit sekali terutama didalam bertindak sebagai penyidik kejahatan atau tindak pidana bahkan dalam penanggulangan konflik sosial antar kampung.

(32)

terjadi. Tetapi dalam usaha menimbulkan rasa aman ini, polisi juga bertugas memelihara ketertiban dan keteraturan. Tetapi untuk keperluan analisa kedua fungsi tersebut harus dibedakan, karena menyangkut profesional yang berbeda.

Undang Undang Kepolisian (Undang Undang No. 2 tahun 2002) memberikan tugas dan wewenang yang sangat luas kepada polisi, mandat yang diberikan ini pada hakikatnya dapat dibagi dalam dua kategori dasar. Yang pertama adalah untuk mencegah dan menyidik kejahatan, dimana akan tampil wajah polisi sebagai alat negara (penegak hukum). Mandat kedua agak lebih sukar menggambarkannya, polisi disini bertugas adalah sebagai Pengayom yang memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat.

Sebagaimana telah disebut diatas, masyarakat menginginkan bahwa polisi harus menegakkan hukum pidana dalam menanggulangi konflik sosial dalam bentuk perang kampung dengan mencegah masyarakat menjadi korban dan kalaupun ada warga yang menjadi korban konflik sosial, polisi harus berusaha melakukan upaya meminimalisir konflik sosial dengan melakukan tugasnya dengan lebih cepat.

B. Konflik Sosial Masyarakat

(33)

dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.1

Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. Ada beberapa pengertian konflik menurut beberapa ahli.2

1. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis, konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.

2. Menurut Gibson, et al, hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika

1

Ahmad Ubbe, 2011. Pengkajian Hukum Tentang Mekanisme Penanganan Konflik Sosial.BPHN

PUSLITBANG, hlm 13

2

(34)

masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.3

3. Menurut Robbin, keberadaan konflik dalam organisasi dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan. 4. Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang

terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi. Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres.

5. Menurut Minnery, Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan.

6. Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif.

7. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami.

3

(35)

8. Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi.

9. Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber-sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat.

10.Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda – beda.

Konflik dapat bersifat fungsional secara positif maupun negatif. Fungsional secara positif apabila konflik tersebut berdampak memperkuat kelompok, sebaliknya bersifat negatif apabila bergerak melawan struktur. Dalam kaitannya dengan sistem nilai yang ada dalam masyarakat, konflik bersifat fungsional negatif apabila menyerang suatu nilai inti. Dalam hal konflik antara suatu kelompok dengan kelompok lain, konflik dapat bersifat fungsional positif karena akan membantu pemantapan batas-batas struktural dan mempertinggi integrasi dalam kelompok.

(36)

yang menjadi perhatian teori lain. Sebagai upaya untuk mempertemukan kedua teori tersebut, Berghe beranggapan bahwa konflik dapat memberikan sumbangan terhadap integrasi dan sebaliknya integrasi dapat pula melahirkan konflik.

Salah satu konflik yang sering terjadi adalah “konflik nilai”. Pandangan konflik

nilai muncul setelah Perang Dunia II. Pandangan ini memberikan kritik terhadap pandangan patologi sosial dan perilaku menyimpang. Menurut pandangan konflik nilai, konsep sickness atau pun sosial expectation merupakan konsep yang subjektif, sehingga sulit untuk dijadikan acuan dalam memahami masalah sosial. Dengan demikian, maka dapat difahami bahwa penyimpangan terhadap peraturan tidak selalu sama dengan kegagalan dari peraturan tersebut dalam mengendalikan kehidupan bermasyarakat.

(37)

Masalah sosial mungkin tidak akan terjadi jika yang kuat bersedia berkorban untuk yang lemah (kompromi). Masalah sosial justru akan timbul ketika yang kuat menggunakan kekuatannya untuk membela kepentingannya. Dalam kenyataannya, situasi konflik tersebut dapat berkembang menjadi tiga kemungkinan yaitu konsensus, trading dan power.

Situasi konflik sebagaimana digambarkan dalam kasus antara pemilik rumah dan penyewa rumah tersebut, juga dapat terjadi dalam bentuk kehidupan sosial yang lain. Konflik antar generasi misalnya, dapat terjadi karena perbedaan orientasi nilai antara generasi tua dengan generasi muda. Di satu pihak, generasi tua masih berpegang pada nilai-nilai lama sehingga memandang apa yang dilakukan oleh generasi muda sebagai penyimpangan nilai. Dilain pihak, generasi muda dengan menggunakan orientasi nilai yang baru, memandang generasi tua bersikap kolot. Situasi semacam ini banyak dijumpai dalam masyarakat yang sedang berada pada proses transformasi dan proses perubahan sosial yang pesat. Pada umumnya generasi tua karena proses sosialisasinya telah lebih lama, mengakibatkan nilai-nilai lama telah terinternalisasi dan mengakar dalam kehidupannya. Di lain pihak, generasi muda karena usianya, belum cukup mapan dalam mengadopsi nilai lama serta berkenaan dengan perkembangan kejiwaannya yang masih labil, menyebabkan lebih mudah menerima anasir baru termasuk nilai-nilai baru.

(38)

Sehubungan dengan pembahasan tentang masalah ini dikenal tiga terminologi yaitu minoritas rasial, minoritas etnik dan asimilasi. Minoritas rasial terdiri dari sekelompok orang yang mempunyai karakteristik yang merupakan pembawaan biologis seperti warna kulit. Minoritas etnik terdiri dari sekelompok orang yang mempunyai penampilan budaya yang berbeda dengan yang digunakan oleh sebagian besar anggota masyarakat. Aspek kultural yang dapat membentuk minoritas tipe ini adalah bahasa, agama, asal kebangsaan, kesamaan sejarah dan sebagainya.

Apabila anggota dari kelompok minoritas baik dari latar belakang ras maupun etnik, menggunakan atau mengadopsi karakteristik dari budaya yang merupakan arus utama dalam lingkungan masyarakat yang luas, melalui adaptasi pola kultural mereka yang "unik" kedalam pola kultur kelompok mayoritas, atau melalui perkawinan silang, maka terjadilah proses asimilasi.

Ketiga fenomena tersebut yang potensial menumbuhkan konflik adalah minoritas rasial dan minoritas etnik, sedang asimilasi cenderung fungsional terhadap struktur karena mendorong integrasi.

(39)

kebencian dan dendam kesumat. Misalnya Perang Amerika dan Irak, Konflik Etnis (Kerusuhan Sosial) di Kalimantan Barat.

Secara sosiologis, proses sosial dapat berbentuk proses sosial yang bersifat menggabungkan (associative processes) dan proses sosial yang menceraikan (dissociative processes). Proses sosial yang bersifat asosiatif diarahkan pada terwujudnya nilai-nilai seperti keadilan sosial, cinta kasih, kerukunan, solidaritas. Sebaliknya proses sosial yang bersifat dissosiatif mengarah pada terciptanya nilai-nilai negatif atau asosial, seperti kebencian, permusuhan, egoisme, kesombongan, pertentangan, perpecahan dan sebagainya. Jadi proses sosial asosiatif dapat dikatakan proses positif. Proses sosial yang dissosiatif disebut proses negatif. Sehubungan dengan hal ini, maka proses sosial yang asosiatif dapat digunakan sebagai usaha menyelesaikan konflik.

C. Hakekat Dasar Konflik Sosial

(40)

Sebagai salah satu bentuk interaksi sosial antar individu dan kelompok yang beraneka, konflik sosial adalah salah satu hakekat alamiah dari interaksi sosial itu sendiri. Konflik sosial tidak dapat ditiadakan, yang dapat dilakukan adalah upaya pengelolaan dan mempertahankan konflik pada tingkat yang tidak menghancurkan kebersamaan yang dibayangkan dan diinginkan bersama. Konsep tentang perdamaian abadi (baca: masyarakat tanpa konflik) sebagai hasil dari sebuah proses alamiah karena bekerjanya sebuah sistem sosial secara otomatis, merupakan sebuah ilusi.

Situasi damai, dilihat dari perspektif konflik, bukan sebuah situasi tanpa konflik. Hal itu dapat dijelaskan dengan dua cara. Pertama, terjadinya keseimbangan kekuatan antara fihak-fihak yang berinteraksi. Kedua, terjadinya dominasi fihak yang lebih lemah oleh fihak yang lebih kuat dan berkuasa. Hal ini terjadi karena pada hakekatnya, setiap individu dan kelompok dalam masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda. Ketika mereka melakukan interaksi sosial, yang sesungguhnya tercipta adalah sebuah battle ground di mana setiap kepentingan yang berbeda bertemu dan saling memaksakan. Dari pemahaman ini, dapat dibedakan adanya konflik yang tersembunyi (latent conflict) dan konflik yang terbuka (manifest conflict).

(41)

kondisi demikian, setiap peristiwa sosial sehari-hari berpotensi menjadi pemicu bagi meledaknya sebuah konflik sosial terbuka. Kecepatan berubahnya sebuah konflik tersembunyi menjadi konflik terbuka, juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti, proses globalisasi, pesatnya perkembangan teknologi informasi, tingkat pendidikan, serta kesenjangan antar generasi. Ketika sebuah konflik sudah menjadi konflik terbuka, biasanya sudah terlambat untuk ditangani dan juga sudah menelan korban dan kerugaian, tidak saja bagi fihak-fihak yang bertikai, tetapi juga dialami oleh kelompok masyarakat lainnya.

Sebagaimana pengelompokan sosial sebuah masyarakat, konflik sosial juga dapat dibedakan berdasarkan dua dimensi utama, dimensi horisontal dan dimensi vertikal. Konflik sosial horisontal adalah konflik sosial yang melibatkan individu-individu atau kelompok-kelompok sosial yang memiliki kedudukan yang sama di dalam sebuah struktur sosial. Sebagai contoh, pertikaian antar kelompok umat beragama, pertikaian antar kelompok etnik, pertikaian rasial, serta pertikaian antar kelompok pendukung partai politik atau suporter sepak bola. Sedangkan konflik sosial vertikal, adalah pertikaian sosial yang melibatkan antara dua individu atau kelompok yang berada dalam kedudukan sosial yang berbeda, misalnya pertikaian antara penguasa dan kelompok masyarakat biasa.

(42)

ilustrasi dari situasi ini. Gagal mengidentifikasi secara tepat mengenai kedua dimensi tersebut, dapat berakibat fatal bagi penanganan konflik sosial yang terjadi.

Dilihat dari sisi kebudayaan, konflik sosial dapat mewujud dalam tiga tingkatan, yaitu konflik pada tataran nilai, konflik pada tataran norma, dan konflik pada tataran fisik. Konflik sosial pada tataran nilai menyangkut pertikaian yang bersumber pada perbedaan kriteria dasar yang membedakan antara apa yang dianggap baik atau buruk, penting atau tidak penting, berharga atau tidak berharga. Konflik di tataran norma adalah pertikaian yang bersumber pada perbedaan mengenai patokan-patokan atau aturan-aturan berperilaku, dari mulai perbedaan kebiasaan sampai aturan hukum yang melahirkan sanksi keras bagi para pelanggarnya. Sedangkan konflik pada tataran fisik, adalah pertikaian yang mewujud dalam dan bersumber pada perbedaan-perbedaan simbol-simbol fisik dan perilaku nyata. Hal tersebut dapat ditemukan mulai dari cara berpakaian, model bangunan dan ritual keagamaan, serta perang terbuka dan aksi bunuh diri yang membinasakan bukan saja fihak-fihak yang bertikai, melainkan juga fihak lain yang tidak ada kaitannya.

Dalam literatur tentang pengelolaan konflik, dikenal beberapa mekanisme yang sudah banyak dikenal, yaitu konsiliasi, mediasi, arbitrasi, koersi (paksaan), dan detente. Namun demikian pada umumnya hal-hal tersebut baru dilakukan setelah

(43)

kadang-kadang efektif untuk pertikaian atau konflik sosial yang berdimensi vertikal. Sedangkan konflik sosial yang berdimensi vertikal sulit diselesaikan dengan mekanisme-mekanisme konvensional tersebut di atas.

D. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum

Masalah penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut, faktor-faktor penegakan hukum adalah sebagai berikut :4

a. Faktor hukumnya sendiri, Undang-Undang.

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentu maupun menerapkan hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

a. Faktor Hukum

Penegakan hukum, adakalanya terjadinya pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan hukum. Keadilan merupakan sedatu yang abstrak, sedangkan kepatian hukum merupakan suatu prosedur yang telah di tentukan secara normatif.

4

Soerjono Soekanto. 1986. Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Rajawali:

(44)

Telaah lebih lanjut,sebenarnya segala tindakan atau kebijakan yang dilakukan tanpa melanggar hukum akan dapat di ketegorikan sebagai sebuah kebajikan.karena sesungguhnya penyelenggaraan hukum bukan hanya merupakan sebuah penegakan hukum dalam kenyataan tertulis saja,akan tetapi juga harus mengandung penyerasian antara nilai kaedah dan pola prilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian dan keadilan.

Hukum yang di golongkan dalam bab ini ada 2,yaitu hukum baik dan hukum buruk. Hukum yang baik adalah Peraturan hukum yang di buat berdasar kesepakatan melalui kepentingan politik yang berbeda, sedangkan Hukum yang buruk merupakan Peraturan hukum yang di buat berdasar kesepakatan melalui kepentingan politik yang sama.

b. Faktor penegak hukum

Aparat penegak hukum merupakan sesuatu yang sangat penting dalam pelaksanaan hukum, tanpa mereka hukum sulit tercapai, meski dengan keberadaanya hukum hanya dalam posisi mungkin bisa tercapai.

Ini bukan hanya tentang permasalahan ada atau tidaknya penegak hukum, tapi baik atau tidaknya kualitas penegak hukum akan sangat mempengaruhi kualitas hukum.

(45)

berubah menjadi baik, dan mungkin akan semakin terpuruk ketika para Markus (makelar kasus) menjadi sahabat para penegak hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas pendukung

Fasilitas bukan hal yang asing lagi sbagai sarana pendukung, ini memang merupakn hal yang juga menentukan terhadap pelaksanaan hukum. Tanpa sarana atau fasilitas, penegakan hukum akan mengalami sedikit kendala. Tapi uniknya kadang faktor pendukung ini di jadikan sebagai faktor utama dalam keikutsertaan para aparat hukum dalam mengabdi pada negara,sehingga sekarang bisa dilihat sendiri hasilnya.

KIB (Kabinet Indonesia Bersatu) jilid II, memberikan fasilitas berupa mobil untuk pemerintah seharga Rp. 1,3 milyar dengan menukar mobil lamanya Toyota Camri yang senilai ratusan juta. Bahakn dalam kondisi perekonomian yang carut-marut, kelengkapan dan kemewahan fasilitas tetap menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum.

d. Faktor masyarakat atau SDM masyarakat

(46)

Di indonesia kesadaran masyarakat terhadap hukum sangat jarang sekali di temui, pelaksanaan hukum masih terpaku pada menonjolnya sikap apatis serta menganggap bahwa penegakan hukum merupakan urusan aparat penegak hukum semata dan tidak berangkat dari kesadaran masyarakat.

e. Faktor kebudayaan

Dikehidupan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan kebudayaan menurut Soerjono Sukanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu menagatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak,berbuat dan menentukan sikapnya kalau merka tak berhubungan dengan orang lain.dengan demikian kebudayaan adalah suatu garis pokok yang menentukan peraturan dan menetapkan mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang.

Berbicara masalah budaya, lebih mengenaskan lagi. Beberapa budaya kita sudah di curi malasyia. Budaya barat lebih populer di negara berlambang garuda ini, budaya kita kini memang tengah mengalami keterasingan di negara sendiri, padahal budaya sangat menentukan hukum. Bagaimana kelanjutan penegakan hukum di Indonesia dapat menjadi lebih baik, jika kelima faktor penegakan hukum sudah tidak dimiliki oleh bangsa ini. Bagi siapa saja yang membaca ini, marilah kita tumbuhkan kecintaan kita terhadap Indonesia dengan memunculkan kesadaran hukum kita agar kedamaian dan kedilan dapat di wujudkan di negara kita yang tercinta ini.

(47)

Anarkisme atau dieja anarkhisme yaitu suatu paham yang mempercayai bahwa segala bentuk negara, pemerintahan, dengan kekuasaannya adalah lembaga-lembaga yang menumbuhsuburkan penindasan terhadap kehidupan, oleh karena itu negara, pemerintahan, beserta perangkatnya harus dihilangkan/dihancurkan. Secara spesifik pada sektor ekonomi, politik, dan administratif, Anarki berarti koordinasi dan pengelolaan, tanpa aturan birokrasi yang didefinisikan secara luas sebagai pihak yang superior dalam wilayah ekonomi, politik dan administratif (baik pada ranah publik maupun privat).

Anarkisme berasal dari kata dasar "anarki" dengan imbuhan -isme. Kata anarki merupakan kata serapan dari anarchy (bahasa Inggris) atau anarchie (Belanda/Jerman/Perancis), yang berakar dari kata bahasa Yunani, anarchos/anarchein. Ini merupakan kata bentukan a- (tidak/tanpa/nihil/negasi)

yang disisipi /n/ dengan archos/archein (pemerintah/kekuasaan atau pihak yang menerapkan kontrol dan otoritas - secara koersif, represif, termasuk perbudakan dan tirani); maka, anarchos/anarchein berarti "tanpa pemerintahan" atau "pengelolaan dan koordinasi tanpa hubungan memerintah dan diperintah, menguasai dan dikuasai, mengepalai dan dikepalai, mengendalikan dan dikendalikan, dan lain sebagainya". Bentuk kata "anarkis" berarti orang yang mempercayai dan menganut anarki, sedangkan akhiran -isme sendiri berarti paham/ajaran/ideologi.

(48)

Penggunaan kekerasan dalam anarkisme sangat berkaitan erat dengan metode propaganda by the deed, yaitu metode gerakan dengan menggunakan aksi

langsung (perbuatan yang nyata) sebagai jalan yang ditempuh, yang berarti juga melegalkan pengrusakan, kekerasan, maupun penyerangan. Selama hal tersebut ditujukan untuk menyerang kapitalisme ataupun negara.

Namun demikian, tidak sedikit juga dari para anarkis yang tidak sepakat untuk menjadikan kekerasan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh.

(49)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penulisan ini menggunakan dua macam pendekatan masalah yaitu, pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan skripsi ini, sedangkan pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan dengan melakukan penelitian lapangan (field research), yaitu dengan melihat fakta-fakta yang ada dalam praktik yang ada di lapangan dengan tujuan melihat kenyataan atau fakta-fakta yang konkrit mengenai upaya penanggulangan terhadap tindakan anarkis dalam konflik antar kampung oleh kepolisian di wilayah hukum Polda Lampung.

Kedua pendekatan ini yaitu pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris, dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang sesungguhnya terhadap permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.

B. Sumber dan Jenis Data

Penulis menggunakan dua sumber data dalam rangka penyelesaian skripsi ini, yaitu data primer dan data skunder.

1. Data primer adalah data yang diperoleh penulis melalui studi dengan mengadakan wawancara dan pertanyaan kepada pihak yang terkait.

(50)

dipeeroleh dengancara membaca, mengutip, mencatat serta menelaah bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, dalam hal ini yaitu :

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 160 dan 163 KUHP, serta 355 KUHP tentang penghasutan

2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 Penanganan Konflik sosial 3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisisan

b. Bahan hukum skunder, yaitu :

Bahan Hukum yang berkaitan dengan data penunjang dari data sekunder. c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang fungsinya melengkapi dari

bahan hukum primer dan skunder agar dapat menjadi lebih jelas, seperti kamus literatur-literatur yang menunjang dalam penulisan skripsi ini, media masa dan sebagainya.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh gejala, seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti. Sampel adalah sejumlah obyek yang jumlahnya kurang dari populasi serta mempunyai persamaan sifat dengan populasi.1

Populasi dalam penelitian ini adalah aparat kepolisian yang bertugas di Provinsi khususnya Polda Lampung. Dari populasi yang ada dapat ditentukan sampel berupa Purposive sampling yaitu suatu metode pengambilan sampel yang dalam

1

(51)

penentuan sampel disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai yang dianggap telah mewakili dari masalah yang diteliti.

Berdasarkan sampel yang menjadi informasi terdiri dari 3 orang Aparat Polda lampung dan 1 Dosen Fakultas Hukum Unila, Adapun responden dalam penelitian ini adalah :

a. Direktur Shabara Polda Lampung : 1 orang b. Direktur Binmas Polda Lampung : 1 orang c. Kasubdit Dalmas Polda Lampung : 1 orang

d. Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 1 orang +

Jumlah : 4 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur pengumpulan data

Prosedur pengumpulan data, baik data primer maupun data skunder penulis menggunakan alat-alat pengumpulan data sebagai berikut :

a. Studi Kepustakaan (library Research)

Dilakukan untuk memperoleh data skunder dilakukan melalui serangkaian kegiatan studi kepustakaan dan dokumentasi dengan cara antara membaca, mencatat, mengutip serta menelaah peraturan perundang-undangan, dokumen dan informasi lainnya yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan

b. Studi Lapangan (Field Research)

(52)

wawancara yang dilakukan secara mendalam dengan sistem jawaban terbuka yang dilakukan secara lisan dan pertanyaan yang telah disiapkansebelumnya terlebih dahulu.

2. Prosedur pengolahan data

Metode yang digunakan dalam prosedur pengolahan data ini yaitu :

a. Editing, yaitu data yang diperoleh, diperiksa dan diteliti kembali mengenai kelengkapan, kejelasan dan kebenarannya, sehingga terhindar dari kekurangan dan kesalahan.

b. Klasifikasi, yaitu mengelompokkan data yang telah dievaluasi menurut kerangka yang telah ditetapkan.

c. Sistematisasi data, yaitu data yang telah dievaluasi dan diklasifikasikan disusun yang bertujuan menciptakan keteraturan dalam menjawab permasalahan sehingga mudah untuk dibahas.

E. Analisis Data

(53)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian dan pembahasan data yang diperoleh dalam penelitian ini, maka sebagai penutup dari pembahasan atas permasalahan skripsi ini, penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Upaya penanggulangan terhadap tindakan anarkis dalam konflik antar kampung oleh kepolisian dengan langkah preventif dan represif. Langkah preventif yang dilakukan dalam penanggulangan dan pencegahan terhadap tindakan anarkis dalam konflik antar kampung sebelum dan sesudah terjadinya pertikaian, yaitu Kepolisian dengan jajaran Binmas mengadakan penyuluhan-penyuluhan akan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan langsung dengan jalan evakuasi sebagian masyarakat khususnya manula, wanita dan anak-anak ke beberapa lokasi agar terhindar dari anarkisme, melakukan mediasi kepada pihak-pihak masyarakat yang sedang berkonflik supaya perpecahan tidak serta merta meluas dan lebih besar lagi. Sedangkan yang masuk dalam langkah represif yang diambil oleh kepolisian adalah dengan diterjunkannya pasukan Dalmas dan PHH brimob untuk mengamankan situasi agar tidak meluasnya bentrok antara pihak-pihak yang berkonflik karena dikhawatirkan akan menimbulkan korban harta benda dan jiwa lebih banyak lagi.

(54)

2

menanggulangi masalah terhadap tindakan anarkis dalam konflik antar kampung yaitu faktor hukum, faktor penegak hukum, faktor sarana pendukung, faktor masyarakat dan SDM. Faktor-faktor tersebut kaitannya dengan sarana pendukung seperti perlengakapan anti huru hara yang terbatas jumlahnya, minimnya jumlah personil yang diterjunkan serta luasnya cakupan wilayah konflik sehingga tidak semua wilayah dapat diamankan oleh kepolisian.

B. Saran

Bertitik tolak dari kesimpulan di atas, maka dapat diberikan saran sebagai alternatif pemecahan masalah dalam upaya penanggulangan terhadap tindakan anarkis dalam konflik antar kampung oleh kepolisian di masa yang akan datang yaitu sebagai berikut:

1. Upaya penanggulangan terhadap tindakan anarkis dalam konflik antar kampung oleh Kepolisian sudah cukup tepat meskipun dalam hal ini kepolisisan dinilai gagal karena konflik yang terjdai di Lampung Selatan sudah memakan korban harta dan jiwa yang tidak sedikit dan terus bertambah sehingga perlu ditingkatkan lagi dalam hal koordinasi secara cepat dan tanggap agar kerusushan serupa tidak semakin meluas dan berkepanjangan. 2. Faktor penghambat dalam hal ini yang paling utama adalah faktor

(55)

3

(56)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Citra Aditya Bakti: Bandung.

---. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti: Bandung.

Hamzah, Andi. 2005. KUHP dan KUHAP. Rineka Cipta: Jakarta. Kartono. Katini. 1992. Patologi Sosial. CV Rajawali: Jakarta

Moeljatno, 2002. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cetakan Keduapuluh Dua,

Jakarta: Bumi Aksara

Sanusi. Husin, 1991. Penuntun Praktis Penulisan Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Lampung: Bandar Lampung.

Singarimbun. Masri, 1989 Metode Penelitian survei, jakarta LP3ES

Soekanto, Soerjono. 1986. Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Rajawali: Jakarta.

---. 2007. Pengantar Penelitian Hukum Cetakan 3. Universitas Indonesia pres: Jakarta

Sudarto. 1986. Kapita Hukum Pidana. Alumni,Bandung

Ubbe, Ahmad. 2011. Pengkajian Hukum Tentang Mekanisme Penanganan Konflik Sosial. BPHN PUSLITBANG

(57)

TAP MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

aspek struktur sosial masyarakat Madura sebagai satu komunitas, dan otonomi-relasi antara aspek jatidiri orang Madura dengan makna nasionalisme yang disadari telah

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayat- Nya sehingga penulis dapat menyelasaikan skripsi yang berjudul "Tingkat Konsumsi Protein Ikan

Jika dibandingkan antara lampu CFL dengan RSSL, dengan jumlah titik lampu yang sama, maka pada saat kondisi iluminasi langit rata-rata atau tinggi, RSSL memberikan

Imam Asy-Syafi’i, 2013), h.. jikalau sudah sampai, setelah beberapa cobaan seperti tidak menemukan terminal ciputan akhirnya Ikal dan Arai menemukan sekolah yang

Pada proses pencelupan kain dengan zat warna alam dibutuhkan proses fixasi yaitu proses penguncian warna setelah kain dicelup dengan zat warna alam agar warna memiliki

Berdasarkan hasil persentase dari masing-masing bulan maka pemanfaatan layanan perpanjangan masa peminjaman melalui media sosial facebook di Perpustakaan FISIPOL UGM diperoleh

Merek terkenal adalah merek dagang yang secara umum telah dikenal dan dipakai pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau badan, baik di wilayah Indonesia

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah hukum pidana dengan kajian mengenai upaya penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga yang di lakukan orang tua