Dark tourism atau sering disebut sebagai genocide tourism merupakan slah
satu bentuk pariwisata alternative yang snagat out of the box. Tren wisata ini
menarik jutaan pengunjung setiap tahun untuk tujuan biasanya tidak dianggap
sebagai lokasi wisata. Perjalanan wisata yang biasanya mengunjungi destinasi yang
“bahagia” dengan keindahan alam dan keragaman budaya berbanding terbalik
dengan dark tourism.
Berwisata ke objek dark tourism, tentu berbeda dengan objek wisata sejarah
lainnya. Perilaku hura‐hura dan tidak peduli, sangat tidak pantas di sini. Kebanyakan
wisatawan mengambil sikap simpati dan berdoa untuk para korban. Dark tourism,
seringkali menyeramkan bamun dark tourism bukanlah wisata horor yang identik
dengan hantu‐hantu. Wisatawan datang ke objek dark tourism bukan hanya untuk
mengenang dan mendoakan mereka yang sudah meninggal.
Gambar 1
Dark Tourism sebagai turunan dari Cultural Tourism
Seperti yang tampak pada gambar diatas, dark tourism merupakan turunan
dari culture tourism dan merupakan bagian yang khusus dari wisata sejarah. Karena
ternyata, ada destinasi wisata sejarah yang membawa kenangan duka, kesedihan
dan tragedi. Wisatawan mau datang ke tempat menyedihkan seperti ini untuk
mencari pembelajaran, hikmah, kenangan untuk para korban dan momen untuk
berdoa. Objek dark tourism adalah sekaligus peringatan kepada manusia yang masih
hidup, jangan sampai perang, bencana dan konflik sampai terjadi lagi.
Lennon & Foley (1996) pertama kali mempergunakan istilah “dark tourism”
untuk menggambarkan situs yang berhubungan dengan kematian dan kehancuran.
Meskipun pariwisata gelap adalah tren yang sedang berkembang, hal tersebut
bukanlah hal yang baru dalam masyarakat, hanya baru sekarang diakui dalam
industry. Dalam perspektif akademis, University of Central Lancashire pada tahun
2012 mendirikan Institut untuk Dark Tourism Research sehingga mendapatkan
pemahaman yang lebih baik untuk daya tarik obyek wisata ini dan bagaimana
mengelola situs tersebut. Stone, Phillip (2013) menjelaskan; dark tourism sebagai
“komersialisasi kematian” yang banyak diminiati oleh wisatawan. Beberapa contoh
yang lebih populer dari dark tourism adalah situs terkenal seperti Auschwitz,
tahanan Nazi kamp perang di Polandia yang menarik 1,43 juta pengunjung pada
2012 atau Ground Zero di New York, sebagai dedikasi untuk mengingat peristiwa 11
September. Lokasi wisata dark tourism lainnya termasuk lokasi kecelakaan misalnya,
seperti jelajah bencana untuk melihat kecelakaan Costa Concordia di lepas pantai
Italia.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka cukup jelas bahwa dark tourism tidak
memiliki faktor terukur tertentu, dan yang menarik dalam kategori ini adalah pada
'spektrum intensitas1' (Stone, 2006), yang tergantung pada faktor‐faktor penentu
pada situs tersebut, termasuk motivasi pengunjung mengunjungi situs (pendidikan,
hiburan, dan sebagainya) serta kapan terjadinya musibah tersebut seperti yang
Gambar 2 Dark Tourism Spectrum
Sumber: Stone, R. (2006)
Dari gambar tersebut diatas tampak bahwa dark tourism sendiri memiliki
intensitas “kegelapan”. Semakin bersifat gelap maka destinasi yang dituju semakin
memliki sejarah yang kelam.
Sejarah Dark Tourism
Menurut UNWTO2, tren Dark Tourism berkaitan dengan kejadian yang terjadi
pada tanggal 8 September 1934 di sebuah kapal pesiar mewah Pesiar bernama SS
Morro Castle. Kapal pesiar ini menawarkan perjalanan dari Amerika Serikat menuju
Teluk Havana di Kuba. Pada saat itu pada sore hari keadaan cuaca tidak begitu baik
sehingga sebagian besar penumpang banyak menghabiskan waktu di dalam kapal.
Kapten kapal, Robert Wilmott yang sedang makan beberapa saat kemudian
mengeluh sakit di bagian perutnya Robert tidak lama kemudian meninggal dengan
prediksi terkena serangan jantung. Kendali kapal kemudian diambil alih oleh wakil
kapten dibawahnya langsung yang bernama William Warms.
2
Pada dini hari setelah kendali diambil alih, terjadi kebakaran pada ruangan
kelas utama dan dengan begitu cepat nyala api tersebut menyebar. Dugaan kuat
terjadi kesalahan teknis yang mengakibatkna tidak terkirimnya SOS ke seluruh
bagian kapal. Terdapat juga dugaan kebingungan pada kapten pengganti dan tidak
bisa mengendalikan kondisi kapal, sehingga seiring berjalannya waktu kebakaran
menjadi semakin parah, dan kapal kehilangan seluruh kontrol, kekuatan dan
kendalinya. Kejadian ini menewaskan 137 penumpang kapal, ditambah dengan para
crew kapal dengan total 549 orang.
Kebakaran yang terjadi pada saat itu menjadi peristiwa yang sangat
mengguncang terutama di Amerika. Pada saat kejadian itu, New Jersey Asbury Park
dekat tempat terbakarnya kapal menjadi daya tarik bagi wisatawan dan dijadikan
perjalanan tamasya dari Amerika Seriakt menuju Philadelphia. Perjalanan tamasya
ini sangat terkenal dan laku dijual kepada para wisatawan untuk melihat bekas
puing‐puing kehancuran kapal SS Morro Castle. Bahkan menurut catatan pada waktu
itu, kejadian melihat bekas kerusakan dan kehancuran kapal tersebut menjadi
festival spontan untuk tontonan publik dan menjadi liputan para media, melihat hal
ini banyak kartu pos dicetak, souvenir habis dijual dan diliput oleh radio‐radio.
Melihat hal ini dibuat juga diatas papan, kejadian pada saat kebakaran lengkap
dengan tulisan yang menyeramkan dan menyedihkan, hal ini dibuat untuk sisa
kehancuran kapal itu ditambatkan secara permanen di Asbury Park sebagai daya
tarik bagi wisatawan.
“In short,the SS Morro Castle disaster was an early, while by no means the first, example of a phenomenon that has more recently come to be referred to as ‘dark tourism’. Indeed for as long as people have been able to travel, they have been drawn‐purposefully or otherwise‐ towards sites, attractions or events that are linked in one way or another with death, suffering, violence or disaster (Stone,2005a;seaton, forthcoming)”
Dengan mengamati kasus tersebut Stone (2005) menyatakan bahwa dark
tourism merupakan perjalanan dengan tujuan melihat daya tarik yang salah satunya
mengenai kematian atau kecelakaan. Inseden kebakaran di kapal pesiar SS Morro
berhasil menarik banyak wisatawan pada masa itu, lengkap dengan terjual habisnya
souvenir, kartu pos, berita‐berita di radio dan media masa.
Destinasi Dark Tourism di Dunia
Penelusuran sejarah ke situs‐situs medan perang, penjara, situs perbudakan,
area pemakaman kuno saat ini banyak yang diabadikan dan menjadi 'landmark'
wisata suatu kota. Destinasi‐destinasi ini merupakan saksi bisu cerita manusia suatu
masa. Terdapat beberapa destinasi popular untuk dark tourism di dunia diataranya:
Gambar 3
Destinasi Populer Dark Tourism
Sumber: http://andrewgill.co.uk/the‐dark‐tourist‐a‐study‐of‐the‐fascination‐with‐destruction/
a. Alcatraz, Amerika Serikat
Pulau yang berada di San Francisco Bay ini berjarak 2,4 km dari perairan San
Francisco. Di masa silam, pulau ini digunakan untuk keperluan dan kegiatan
militer, termasuk penjara. Pada tahun 1934‐1963, Alcatraz adalah ‘rumah’
bagi napi kelas berat, seperti Al ‘Scarface’ Capone, Robert Stroud, serta
beberapa nama lain yang termasuk kriminal kelas kakap. Selama 29 tahun
beroperasi, penjara yang memiliki tingkat keamanan tertinggi ini tidak
membiarkan tahanannya kabur hidup‐hidup.
Gambar 4
Pulau Acatraz dan Cruise Khusus untuk Mengunjungi Cruise Pulau Tersebut
Sumber: Google Images
Di penjara ini terdapat lima sel khusus bagi tahanan pembangkang yang ada
di Blok D yang dijuluki ‘The Hole’. Ruang tahanan ini hanya berisi dipan dan
kloset. Suasananya dingin dan lembap, karena tidak ada jendela dan tidak
ada penerangan yang memadai. Kegelapan yang menggigit membuat suasana
seakan berada di lubang dasar bumi.
b. Choeung Ek, Kamboja The Killing Field
Sejauh 17 km sebelah selatan Phnom Penh, Kamboja, terdapat sebuah
perkebunan dan bekas kuburan Cina yang menyimpan kisah pilu. Di tempat
ini rezim Khmer Merah mengeksekusi 17.000 orang dalam kurun waktu 1975
‐ 1979. Sebelum dieksekusi, mereka yang dianggap sebagai musuh negara
akan dijebloskan ke penjara Tuol Sleng. Para tahanan akan diinterogasi
dengan beragam aksi‐aksi keji. Kini, penjara Tuol Sleng dijadikan museum.
Sejumlah koleksi barang autentik tersimpan, seperti foto‐foto korban, alat‐
alat siksaan, koleksi pakaian dan ranjang tahanan, serta tiang gantungan.
Setelah serangkaian penyiksaan dilakukan, Khmer Merah membawa para
tahanan ke Choeung Ek untuk dieksekusi.
Gambar 5 Penjara Tuol Sleng
Sebanyak 8.895 mayat yang mayoritas mantan tahanan politik dikuburkan
secara massal di sini. Namun, sebagian besar dilempar begitu saja ke sebuah
danau kecil yang terletak di belakang kuburan. Bekas‐bekas pondok tempat
para tentara bekerja, menyimpan peralatan eksekusi, dan mengurung para
tahanan, juga masih bisa dilihat. Tempat yang dijuluki, The Killing Fields ini
merekam sejarah kelam Kamboja, dibawah pimpinan Pol Pot.
c. Tower of London, Inggris Sejarah gelap bangsawan Inggris
Terletak di pusat Kota London, di tepi utara Sungai Thames, ini dibangun
tahun 1066, oleh Raja Inggris, William the Conqueror. Tower of London
merupakan bangunan istana kerajaan yang juga berfungsi sebagai benteng
dan penjara tertua di Eropa. Bagian tertua dari bangunan dan yang paling
menarik perhatian adalah sebuah menara setinggi 90 kaki dengan lebar 4,6
meter yang dinamakan The White Tower. Di dalamnya, selain perhiasan dan
mahkota raja dan ratu, ada pula koleksi baju besi yang dikenakan oleh Henry
VIII, koleksi senjata, dan juga alat penyiksaan.
Bloody Tower, merupakan tempat hilangnya pangeran kecil Edward V dan
adiknya, Richard, Duke of York, yang diduga dibunuh tahun 1483. Lalu,
tempat Henry VI ditikam sampai mati saat berdoa pada tahun 1471 di
Wakefield Tower. Ada juga Kapel St Peter Vincula, tempat peristirahatan
terakhir tiga ratu Inggris, Anne Boleyn, Catherine Howard, dan Lady Jane
Grey, setelah terlebih dahulu dipenggal di The Green Tower.
Gambar 6 Tower of London
d. Catacombs, Prancis. Misteri bawah tanah kota Paris
The Catacombs of Paris dibuka pada akhir abad ke‐18. Area pemakaman
bawah tanah ini dulunya adalah gua dan terowongan sisa‐sisa tambang batu
bara di Paris. Kemudian, pada akhir abad ke‐18 sampai pertengahan abad ke‐
19, pemerintah Prancis memindahkan sekitar 6 juta tengkorak manusia ke
dalam Catacombs.
Saat menyusuri labirin dan koridor‐koridor sempit tak berujung yang
dipenuhi oleh tulang‐belulang yang bertumpuk layaknya sandwich yang
disebut dekorasi ‘romantico‐macabre’. Di satu dinding terdapat tulang‐
belulang bentuk hati, salib, maupun huruf. Pilar‐pilar yang menyangga
terowongan pun ditempeli tulang‐belulang. Makin ke dalam bisa ditemui,
seperti belulang dari tokoh agama Saint Laurent. Ada pula Crypt of Sacellum,
sebuah sarkofagus (kuburan batu) yang dikelilingi tengkorak.
Gambar 7 Catacombs
Sumber: Google Images
e. Kamp Auschwitz, Polandia Saksi bisu korban rezim Nazi
Sejak berkuasa tahun 1933, rezim Nazi membangun sejumlah fasilitas penjara
untuk menahan dan menghabisi apa yang disebut ‘musuh negara’. Kamp
terbesar yang didirikan adalah kamp konsentrasi Auschwitz. Tempat ini
merupakan kompleks dari beberapa kamp, di antaranya kamp konsentrasi,
kamp pembantaian, dan kamp kerja paksa. Berlokasi di dekat Cracow
(Krakow), Polandia, konon jutaan manusia, menjadi korban. Mereka yang
ditawan dimasukkan ke dalam ruangan gas, sementara tahanan lainnya mati
kelaparan ataupun terjangkit penyakit kronis. Konon, di kamp ini dilakukan
Gambar 8
Kamp Auschwitz di Polandia
Sumber: Google Images
Mereka yang selamat dari kematian ini, dirampas identitas pribadinya. Teror
terburuk yang menjadi catatan suram dalam sejarah umat manusia ini
menjadikan Auschwitz sebagai situs warisan dunia UNESCO dan salah satu
tujuan dark tourism paling diminati.
Potensi Pengembangan Dark Tourism di Bali
Bali sebagai land of paradise juga memiliki catatan kelam dalam sejarahnya
sehingga sangat berpotensi sebagai destinasi dark tourism. Terdapat setidaknya tiga
peristiwa kelam yang dapat menjadi tujuan destinasi dark tourism yaitu:
a) Gunung Agung Meletus (1963)
Gunung Agung adalah gunung terbesar di Pulau Bali, terletak di wilayah
Kabupaten Karangasem. Di lereng gunung ini ada sebuah pura utama
masyarakat Bali, yaitu Pura Besakih, sebagai ibu dari semua pura yang ada di
Bali. Menurut catatan, Gunung Agung pernah meletus pada tahun 1808,
1821, 1853. Kemudian di tahun 1963, Gunung Agung kembali meletus, mulai
pada 18 Pebruari 1963 dan berakhir 27 Januari 1964. Letusan gunung ini
menyebabkan sekitar 1.148 orang meninggal, dan ribuan orang mengungsi.
Beberapa kabupaten lain juga terkena dampak berupa hujan debu selama
berhari‐hari.
Gambar 9
Gunung Agung Meletus 1963
Sumber: www.serunik.com , www.beritabali.com
b) Tragedi PKI (1965)
Di era tahun 1960an, di Indonesia (termasuk Bali) berdiri berbagai partai
politik, dua partai politik yang terbesar di Bali pada waktu itu adalah PNI
(Partai Nasional Indonesia) dan PKI (Partai Komunis Indonesia). Pada tahun
tersebut masyarakat Bali terpecah dalam dua kubu, yaitu nasionalis dan
komunis. Setelah peristiwa G30S PKI di Jakarta, Presiden Soekarno
memberikan perintah untuk membekukan Organisasi PKI. Namun, yang
terjadi di Bali sangat menyedihkan. Kelompok masyarakt Bali yang berada
pada haluan nasionalis diberikan wewenang dan dihasut untuk menumpas
masyarakt Bali yang berhaluan komunis. Hal ini menyebabkan pembantaian
besar‐besaran yang dilakukan oleh warga sipil Bali terhadap warga sipil Bali
lainnya. Lebih dari 80.000 orang dibunuh. Tidak ada tentara yang berusaha
mencegah pembantaian tersebut, karena membunuh orang‐orang dalam
Partai PKI dilegalkan.
Gambar 10
Pembantaian Masyarakat Sipil di Bali Tahun 1965
c) Peristiwa Bom Bali (2002 & 2005)
Bali dilanda aksi terorisme sebanyak dua kali, aksi Bom Bali I (12 Oktober
2002) dan Bom Bali II (1 Oktober 2005). Aksi teroris yang beraroma agama
tersebut, saya sebut sebagai aksi paling pengecut, karena tidak berperang
melawan tentara, tetapi menyebabkan kematian terhadap warga sipil yang
tidak bersenjata. Bom Bali I menewaskan 202 orang dan Bom Bali II
menyebabkan 23 orang meninggal. Selain menyebabkan ratusan orang
meninggal, aksi teroris tersebut juga menyebabkan sektor pariwisata menjadi
lesu. Banyak orang yang harus kehilangan pekerjaan dan secara tidak
langsung juga menjatuhkan perekonomian Bali.
Monumen Bom Bali pada hambar diatas mulai dibangun atas gagasan Nyoman
Rudana (Ketua dari PUTRI Persatuan Tourist Attraction Indonesia Bali), yang
menganjurkan agar didirikan sebuah monumen pada lokasi pemboman (dikenal
sebagai lokasi "Ground Zero"). Setelah peristiwa pemboman itu terjadi, mulailah
monumen tersebut dibangun dan selesai pada tahun 2003 dengan diberi nama
"Monumen Panca Benua". Setahun kemudian, monumen ini baru diresmikan
yaitu pada tanggal 12 Oktober 2004 oleh Kepala Bupati Kabupaten Badung, Anak
Agung Ngurah Oka Ratmadi dengan diberi nama "Monumen Tragedi
Kemanusiaan Peledakan Bom 12 Oktober 2002".
Penutup
Dark Tourism merupakan suatu fenomena baru dalam bidang pariwisata.
bukti kekejaman, pembunuhan dan perang. Akan tetapi peristiwa‐peristiwa “dark”
seperti itu selalu menarik keinginatahuan para wisatawan untuk mengetahui latar
belakang, suasana dan sejarah yang melingkupinya.
Dark tourism juga menawarkan suatu nilai‐nilai pembelajaran dari setiap
tempat yang dikunjungi oleh wisatawan. Mereka bisa mengambil hikmah dari suatu
peritiwa dehumanisasi, perendahan martabat manusia di jaman dahulu dan semoga
dari pengetahuan tersebut, masyarakat menjadi sadar dan berpikir lebih dalam.
Diharapkan pengunjung lebih sadar bahwa tindakan kekerasan yang terjadi pada
tempat itu adalah hal yang luar bisas dari sejarah umat manusia yang diharapkan
tidak terjadi lagi.
Disamping itu, obyek wisata dark tourism juga dapat dipakai oleh generasi
sekarang untuk mengenang tentang perjuangan para generasi pendahulunya yang
kehilangannya nyawanya di medan pertempuran. Obyek wisata dark tourism juga
membuat orang‐orang yang selamat dari peperangan, dapat mengenang atau
mendoakan teman‐teman mereka yang tidak cukup beruntung untuk pulang dalam
keadaan selamat. Sebagai contoh: banyaknya veteran perang dunia II asal Amerika
yang berkunjung ke Eropa , hanya untuk melihat kuburan teman mereka yang gugur
dan juga mengenang perisitwa yang begitu membekas dalam kehidupan mereka.
Dalam pemberian label obyek dark tourism site pun sangat tergantung
kepada nilai budaya sangat setempat dan orang‐orang yang melabelkannya, maka
dari itu pro dan kontra selalu menyelimuti pelabelan dark tourism. Terlepas dari pro
dan kontra dark tourism menawarkan suatu alternative baru di dalam dunia
pariwisata, dimana jenis pariwisata ini menawarkan suatu pengalaman,
pembelajaran dan juga penghormatan dari generasi sekarang kepada generasi
poendahulu. Dark Tourism juga menawarkan sense of belonging dan juga culture
identity bagi orang yang mengunjungi karena wawasan mereka menjadi terbuka
dengan berkunjung ke tempat bersejerah dan juga pada saat yang sama mengenang
perisitwa yang kelam agar tidak terulang lagi.
Joly, Dom. 2010. The Dark Tourist: Sightseeing in the world’s most unlikely holiday destinations. Simon & Schuster UK.
Diakses dan didownload 18 Juni 2015.
https://www.scribd.com/book/225121780/The‐Dark‐Tourist‐Sightseeing‐in‐
the‐world‐s‐most‐unlikely‐holiday‐destinations
Smith, Valene L. 2012. Hosts and Guests: The Anthropology of Tourism (Third edition). University of Pennsylvania Press.
Diakses dan didownload 10 November 2014.
https://www.scribd.com/book/262338434/Hosts‐and‐Guests‐The‐
Anthropology‐of‐Tourism
Stone, R dan Richard Sharpley. 2009. The Darker Side of Travel: The Theory and Practice of Dark Tourism. Short Run Press: Great Britain.
Diakses dan didownload 15 Juni 2014.
https://www.scribd.com/book/263362894/The‐Darker‐Side‐of‐Travel‐The‐
Theory‐and‐Practice‐of‐Dark‐Tourism
Timothy, Dallen J. 2015. Tourism: An Introduction. Channel View Publications. Diakses dan didownload 3 Maret 2015.
https://beritabali.com