Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
Fakultas Teknik Universita Oleh NANI SETIANI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNIK
Pada
Jurusan Teknik Geofisika Fakultas Teknik Universitas Lampung
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG
ABSTRAK
Q-FACTORGEMPA VULANIK GUNUNG LOKON
TAHUN 2012
Oleh Nani Setiani
Telah dilakukan penelitian gempa vulkanik pada Gunung Lokon tahun 2012, dimana terjadi beberapa gempa letusan di Gunung Lokon pada bulan April dan Mei. Aktivitas tersebut menyebabkan adanya perbedaan karakteristik gelombang gempa vulkanik pra letusan sampai dengan pasca letusan. Oleh karena itu, dilakukan analisis faktor kualitas (Q-factor) gelombang gempa vulkanik dalam (VA) dan gempa vulkanik dangkal (VB) pada setiap stasiun seismik menjelang letusan hingga pasca letusan berdasarkan nilai koefisien atenuasinya dengan menggunakan metode fitting. Penelitian ini menggunakan data rekaman seismik di lima stasiun pengamatan yaitu Empung (EMP), SEA, Kinilau (KIN), Tatawiran (TTW), dan Wailan (WLN). Hasil penelitian menunjukan range nilai koefisien atenuasi pra letusan antara -2.7×10-1 s/d -4×10-2dB/λ, fase letusan antara -5.9×10-1 s/d -2×10-2dB/λ, dan pasca letusan antara -5.8×10-1 s/d -4×10-2dB/λ. Nilai tersebut menunjukkan Q-factor pada pra letusan lebih kecil dibanding pasca letusan dan fase letusan sehingga karakteristik kurva atenuasi pra letusan lebih landai, sedangkan fase letusan lebih curam dan pasca letusan tidak terlalu landai tetapi tidak curam. Hal ini disebabkan oleh densitas, cepat rambat sinyal seismik batuan, jarak sumber gempa ke stasiun, temperatur dan tekanan. Berdasarkan densitasnya, batuan pada Gunung Lokon memiliki densitas tinggi dengan nilai Q-factorantara 75 –300 λ/dB.
xii
1.2. Tujuan Penelitian……… 5
1.3. Batasan Masalah……….…… 6
1.4. Manfaat Penelitian………. 6
xiii
2.4. Geomorfologi………. 13
2.5. Stratigrafi……… 14
BAB III TEORI DASAR 3.1. Gelombang Seismik……… 18
3.1.1. Gelombang badan (body wave)………... 18
3.1.2. Gelombang permukaan (Surface Wave)……….. 19
3.2. Gempa Vulkanik……….... 21
3.1.1. Definisi gempa vulkanik……….. 21
3.1.2. Klasifikasi gempa vulkanik………. 21
3.1.3. Parameter fisis gelombang gempabumi……… 24
3.3. Penentuan Hiposenter dan Episenter Gempa Vulkanik……….. 25
3.1.1. Menghitung Episenter dengan Metode Lingkaran……… 25
3.1.2. Menghitung Hiposenter dengan Metode Geiger………... 28
3.4. Atenuasi Gelombang dan Q-factor……….. 29
3.5. Hubungan Aktivitas Vulkanik dengan Letusan Gunungapi... 36
3.6. Sistem Penerima Seismograf……… 39
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian...………... 41
4.2. Alat dan Bahan…….……… 41
4.3. Prosedur Penelitian………... 42
4.3.1. Menentukan waktu tiba gelombang primer (P) dan gelombang sekunder (S)……….. 42
4.3.2. Menentukan hiposenter gempa………... 43
4.3.3. Plottinghiposenter……….. 44
4.3.4. Koefisien atenuasi………... 44
xiv BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hiposenter Gempa Vulkanik Gunung Lokon... 52
5.2. Q-factordan Nilai Koefisien Atenuasi Gempa Vulkanik Gunung Lokon... 61
5.3. Karakteristik Atenuasi Amplitudo Gelombang Gempa Vulkanik
Gunung Lokon... 64
5.4. Hubungan Kondisi Geologi Gunung Lokon dengan Q-factor... 68
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan... 70
6.2. Saran... 71
1.1. Latar Belakang
Berdasarkan peta jalur lempeng
lempeng yaitu Lempeng
Lempeng Pasifik (Gambar
dengan ring of fire atau
akibat pertumbukan lempen
Gambar 1. Peta jal
lempeng dunia, wilayah Indonesia terletak pada pertemuan
Lempeng Eurasia, Hindia-australia dan Lempeng Filipina
(Gambar 1). Hal ini menyebabkan wilayah Indonesia
atau cicin api karena banyaknya gunungapi yang
umbukan lempeng-lempeng tersebut (Gambar 2).
Gambar 1. Peta jalur lempeng dunia (wikipedia.org)
pada pertemuan
ilipina dan
Indonesia disebut
2
Gambar 2. Peta jalur gunungapi di Indonesia (USGS/CVO, 2001)
Salah satu gunungapi yang sedang aktif saat dan sering mengalami peningkatan
aktivitas vulkanik pada tahun 2012 adalah Gunungapi Lokon yang terletak di
Sulawesi Utara. Gunungapi ini memiliki kelurusan dengan beberapa gunungapi
diwilayah tersebut seperti Gunung Ambang, Gunung Soputan, Gunung Mahawu,
Gunung Tangkoko, Gunung Ruang, Gunung Karangetang, dan Gunung Awu
karena adanya pertumbukan antara lempeng Filipina dan lempeng Eurasia.
Gunung Lokon terletak di komplek pegunungan Lokon-Empung dan termasuk
gunungapi dengan frekuensi kejadian erupsi tinggi (Gunawan, 2010). Dalam
sejarahnya tercatat pertama kali meletus pada tahun 1829, dan sampai saat ini
telah tercatat lebih dari 33 kejadian erupsi. Masa istirahat terpanjang gunungapi
ini adalah 64 tahun sedangkan masa istirahat terpendeknya 1 tahun (Kristianto dan
Berdasarkan sejarah letusannya, titik letusan semula di Puncak Empung yang
berlangsung dalam tahun 1350 dan 1400. Sejak tahun 1829 titik kegiatannya
pindah ke pelana antara dua puncak yang dikenal dengan Kawah Tompaluan
(Neuman van Padang, 1951 dalam Haerani dkk, 2009).
Karakter letusan Gunung Lokon umumnya letusan abu disertai lontaran batu pijar,
kadang – kadang mengeluarkan lava pijar dan awan panas. Letusan berlangsung
beberapa hari. Gejala menjelang letusan umunya berupa menebalnya asap kawah
yang tingginya berfluktuasi berkisar antara 400 hingga 500 m di atas bibir kawah
(Kristianto dan Solihin, 2008).
Beberapa karakteristik Gunung Lokon yang telah diteliti menunjukan bahwa
gelombang gempa vulkanik Gunung Lokon memiliki keunikan yang berbeda
dengan gunungapi lain di Indonesia, hal ini menjadi alasan penulis untuk
melakukan penelitian tentang karakteristik atenuasi amplitudo gempa vulkanik
Gunung Lokon.
Pemantauan kegempaan Gunung Lokon dilakukan menggunakan 5 stasiun
seismik di sekitar Gunung Lokon. Kelima stasiun seismik tersebut, yaitu St. EMP,
4
Gambar 3. Peta lokasi seismometer yang memonitor kegempaan di Gunungapi Lokon (Haerani dkk, 2010)
Tabel 1. Posisi geografi setiap lokasi seismometer yang memonitor kegempaan di
Gunungapi Lokon.
Data kegempaan dikirim melalui radio pancar dari tiap stasiun ke Pos Pengamatan
Gunung Lokon yang berjarak sekitar 5 km dari Kawah Tompaluan. Data dari
kelima stasiun seismik tersebut direkam ke dalam suatu alat perekam digital
Datamark LS-7000 dan juga ditampilkan secara realtime menggunakan program
aplikasi Eartworm dan Gloworm. Sedangkan untuk perekaman secara analog
Pada penelitian ini dilakukan pemantauan seismik dengan analisis faktor kualitas
(Q-factor) gelombang gempa vulkanik dalam (tipe A/ VA) dan gempa vulkanik
dangkal (tipe B/ VB) pada setiap stasiun seismik menjelang letusan berdasarkan
nilai koefisien atenuasinya. Metode yang digunakan adalah metode fitting
peluruhan amplitudo gelombang.
Q-factor adalah perbandingan antara energi yang masuk dengan energi yang
terdisipasi pada suatu medium yang dilalui. Q-factor menggambarkan atenuasi
atau pelemahan sinyal seismik di dalam tubuh gunungapi. Pelemahan sinyal
seismik terjadi karena gelombang seismik yang merambat dari sumber ke stasiun
penerima mengalami peredaman. Sehingga Q-factor dapat diartikan sebagai
kemampuan medium dalam meloloskan gelombang yang melaluinya.
Adapun penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Suparman dkk (2009)
adalah Comparison of Focal Mechanisms and Source Parameters of
Volcano-tectonic Earthquakes between Active and Normal Periods at Lokon Volcano, Nort
Sulawesi, Indonesia. Namun dalam penilitian tersebut data yang digunakan adalah
data gelombang gempa vulkanik-tektonik (VT). Sedangkan, dalam penelitian ini
menggunakan data gelombang gempa vulkanik dalam (tipe A/ VA) dan vulkanik
dangkal (tipe B/ VB).
1.2. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, tujuan penelitian ini adalah:
1. Menentukan nilai koefisien atenuasi dan korelasinya dengan Q-factordari
6
2. Mengetahui penyebab terjadinya atenuasi amplitudo gelombang gempa
vulkanik A dan vulkanik B pada setiap stasiun seismik.
3. Menentukan karakteristik atenuasi amplitudo gelombang gempa vulkanik
dalam (tipe A/ VA) dan gempa vulkanik dangkal (tipe B/ VB) pada setiap
stasiun seismik Gunung Lokon pra letusan, fase letusan, dan pasca letusan.
1.3. Batasan Masalah
Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah rekaman gempa vulkanik
tipe A dan tipe B Gunung Lokon bulan April dan Mei tahun 2012 yang terekam di
5 stasiun, yaitu stasiun Empung (EMP), Tatawiran (TTW), SEA, Wailan (WLN),
Kinilau (KIN) dengan analisis atenuasi amplitudo gelombang gempa pada fase
tenang (pra letusan), fase krisis (letusan), dan pasca letusan, sehingga diperoleh
karakteristik atenuasi gelombang vulkaniknya.
1.4. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini, maka dapat diketahui beberapa karakteristik
Gunung Lokon seperti nilai koefisien atenuasi amplitudo gelombang gempa
vulkanik menjelang letusan, sehingga dapat dijadikan referensi penelitian Gunung
Lokon selanjutnya. Diharapkan dengan adanya penelitian ini, dapat bermanfaat
dalam hal bahan informasi kepada khalayak umum dan dapat juga dijadikan
referensi untuk mitigasi bencana gungungapi khususnya di Gunung Lokon dan
2.1. Daerah Penelitian
Secara administratif Gunung Lokon terletak di Kota Tomohon, Minahasa,
Sulawesi Utara (Gambar 4), lebih kurang 25 Km sebelah Selatan Manado. Secara
geografis Gunung Lokon berada pada posisi 1º 21,5’ Lintang Utara dan 124º 4,5’
Bujur Timur dengan ketinggian 1597,5 meter di atas permukaan laut
(Kusumadinata, 1979 dalam Kristianto dan Solihin, 2008).
Pusat kegiatan vulkanik Gunung Lokon saat ini berada di Kawah Tompaluan yang
terletak pada pelana antara puncak Gunung Lokon dan Gunung Empung. Untuk
mencapai kawah tersebut dapat ditempuh dari Kakaskasen atau Kinilow (di
Tomohon) dengan lama perjalanan kaki 1.5 jam menyusuri lembah (sungai
kering) Pasahapen (Kristianto dan Solihin, 2008).
Gunungapi Lokon merupakan salah satu gunungapi aktif di antara lima gunungapi
aktif yang ada di Minahasa. Dalam klasifikasi gunungapi aktif di Indonesia
umumnya disebut Gunungapi Lokon – Empung, hal ini disebabkan oleh adanya
dua puncak gunung yang menonjol pada jarak 2,5 km, yaitu antara puncak
8
Gambar 4. Posisi daerah penelitian (Kristianto dkk, 2012)
Gambar 5. Kawah Tompaluan diantara Gunung Empung dan Gunung Lokon (Haerani dkk, 2010)
U
MANADOG. Lokon
G. Empung
2.2. Struktur Geologi
Gunungapi Lokon merupakan bagian dari sistem Busur Kepulauan Sangihe terkait
dengan Zona Tumbukan Laut Molluca. Zona Tumbukan Laut Molluca terletak
pada persimpangan lempeng Eurasia, Australia, Pasific dan Filipina. Antara Busur
Sangihe, sebelah barat zona tumbukan, dan Busur Halmahera di sebelah timur
merupakan tumbukan aktif dan cembung menuju Laut Molluca. Tumbukan ini
membentuk struktur yang rumit di Busur Sulawesi Utara. Aktifitas seismik pada
Zona Tumbukan Molluca telah menghasilkan sistem subduksi asimetris
menukik-ganda. Kegempaan di sepanjang zona Benioff meluas sampai kedalaman 300 km
bawah Busur Halmahera. Di bawah Busur Sangihe, Zona Beniof pada Lempeng
Laut Molluca meluas sampai lebih dari 600 km, menunjukkan sistem subduksi
yang berumur panjang (Silver dan Moore, 1978 dalam Suparman dkk, 2012).
10
Zona subduksi di Sulawesi Utara cenderung berarah ke barat-baratlaut sesuai
dengan pergerakan lempeng samudra yang berasal dari timur. Magma yang naik
secara vertikal cenderung mengikuti orientasi bidang yang lemah. Sebagai
konsekuensi pada subduksi ini, banyak gunung berapi yang mengikuti garis barat
daya-timur laut (Suparman dkk, 2012).
Jika diperhatikan sebaran gunungapi aktif di daerah Minahasa, nampak ada kaitan
erat antara tempat pemunculan kerucut gunungapi dan struktur lokal maupun
regional. Kecuali Gunung Klabat dan Gunung Ambang, gunungapi lainnya
muncul berkelompok dalam kelurusan (lineasi) tertentu, searah dengan struktur
regional (Baratdaya – Timurlaut) atau kelurusan yang memotong struktur
regional. Dapat dikatakan bahwa pemunculan gunungapi di sini dikendalikan oleh
struktur (mungkin struktur regional), tetapi dapat pula terjadi bahwa struktur lokal
di sini disebabkan oleh kegiatan gunungapi atau kegiatan magma.
Berdasarkan penafsiran potret udara dan hasil pengamatan di lapangan, struktur
geologi yang berkembang di daerah kompleks Gunung Lokon – Empung
dipisahkan menjadi Struktur Sesar dan Struktur Kawah.
Ada dua struktur sesar yang dapat dijumpai, yaitu Sesar Tatawiran dan Sesar
Kinilow. Sesar tersebut kedua-duanya merupakan sesar normal yang arahnya
relatif Utara-Selatan dan mengapit komplek Gunungapi Lokon-Empung. Pada
sesar Tatawiran blok bagian Barat merupakan bagian yang relatif naik
dibandingkan dengan blok bagian Timur. Kedua sesar tersebut membentuk suatu
struktur graben. Ciri-ciri adanya sesar yang dapat dijumpai di lapangan adalah
kemudian adanya kelurusan sungai serta terdapatnya mataair liar dan mataair
panas.
Magma yang fluid dan kental serta lebih ringan daripada batuan di sekitarnya
cenderung terdorong keatas dan merupakan kisah awal terbentuknya gunungapi.
Tumbukan dan tukikan di Sulawesi Utara miring ke arah Barat – Baratlaut sesuai
arah gerakan lempeng samudera yang datang dari Timur. Oleh karena itu, magma
yang naik secara tegak akhirnya cenderung mengikuti bidang lemah tersebut. Itu
salah satu sebab di tanah Minahasa banyak dijumpai kerucut gunungapi yang
berjejer Barat – Baratdaya.
Pada skala yang lebih sempit dengan melihat strukturnya secara lokal, kompleks
Lokon – Empung berbatasan dengan Gunung Tatawiran di sebelah Barat dan
Gunung Mahawu di sebelah Timur. Di sisi Timur Tatawiran dan sisi Barat
Mahawu terbentuk sesar yang menyebabkan depresi dan terbentuk struktur
graben. Pada jalur sesar tersebut merupakan bidang lemah yang arahnya Utara ke
Selatan dan membelah Lokon-Empung sekaligus merupakan cikal bakal Gunung
Lokon – Empung saat ini (Hidayat dkk, 2007).
Peta geologi untuk kompleks Gunungapi Lokon – Empung dapat dilihat pada
Gambar 7.
2.3 Sejarah Letusan
Interval waktu antara letusan yang sangat panjang ( 400 tahun ) sebelum 1800,
tetapi frekuensi letusan mendadak meningkat setelah 1829. Interval kegiatan
12
Letusan besar terakhir terjadi pada tahun 1991, sedangkan letusan relatif kecil
dalam 9 tahun terakhir.
Kegiatan letusan terakhir yang berulang dari 2001 sampai 2003. Letusan dimulai
pada 19:20 waktu setempat pada tanggal 28 Januari 2001. Sebuah ledakan
menghasilkan bahan pijar dan bom vulkanik jatuh di sekitar kawah Tompaluan.
Sebuah letusan melemparkan abu gelap menggumpal setinggi 1.500 m di atas
bibir kawah pukul 14.40 pada tanggal 26 Maret, dan awan abu melayang ke arah
timur dan utara. Abu mulai turun di desa Kinilow dan Kakaskasen (
masing-masing 3,5 dan 4 km dari kawah) setelah 25 menit. Kegiatan perlahan menurun
sampai 15:10, ketika emisi gas putih tebal naik tinggi di atas kawah setinggi 400
m. Abu yang jatuh setebal 0,3-0,5 cm di Kinilow, 0,1-0,3 cm di Kakaskasen, dan
1-2 cm di sekitar Sungai Pasahapen ~ 1 km dari kawah. Setelah ledakan awal,
tremor vulkanik tercatat selama 15 menit pada pukul 14:42, memiliki amplitudo
maksimum 2-16 mm pada drum perekam. Pada tanggal 20 Mei, bahan bercahaya
naik setinggi 400 m pada 20:14 dan kemudian jatuh di sekitar kawah. Ledakan itu
menghasilkan gumpalan awan abu-abu hitam yang naik mencapai 900 m dan
melayang ke utara. Ledakan itu menghasilkan bahan pijar mencapai jarak 400 m
dan terasa di sekitar kawah.
Pada tahun 2002, beberapa letusan terjadi menyemburkan abu ke ketinggian 1.500
m di atas bibir kawah dan mengendapkan abu dengan ketebalan 0,5-2 cm daerah
sekitar dengan radius 4 km dari kawah pada bulan Februari, April dan Desember.
Pada tahun 2003, beberapa ledakan terjadi pada tanggal 8, 10 dan 12 Februari, 27
Suara boom dan ledakan terdengar di Pos Pengamatan Gunungapi Lokon. Abu
melayang ke arah selatan dan diikuti oleh bahan bercahaya. Abu jatuh di sekitar
taratara, Waloan, dan desa Kayawu dengan ketebalan 0,5 cm - 2,4 cm (Suparman
dkk, 2012).
2.4. Geomorfologi
Geomorfologi kompleks Lokon Empung dibagi menjadi empat satuan, yaitu
satuan geomorfologi kerucut, kawah, punggungan rendah dan bergelombang serta
geomorfologi daratan.
Satuan geomorfologi kerucut menempati daerah sekitar tubuh Gunung Lokon dan
Gunung Empung. Gunung Lokon mempunyai puncak yang datar tanpa kawah
dengan kemiringan antara 30° - 70°. Sedangkan Gunung Empung mempunyai dua
buah kerucut terpancung, yaitu Empung Muda di bagian barat dan Empung Tua di
bagian timur, yang masing-masing mempunyai kawah di puncaknya. Pola aliran
sungainya adalah radierdengan lembah berbentuk “V”, dengan tebing yang relatif
curam. Vegetasi penutupnya berupa alang-alang yang cukup tebal.
Satuan geomorfologi kawah terdapat di Kawah Tompaluan dan Kawah Empung.
Kawah Tompaluan merupakan kawah paling aktif saat ini yang terbentuk sekitar
tahun 1828, sedangkan Kawah Empung tidak aktif lagi.
Satuan geomorfologi perbukitan rendah & bergelombang menempati sebagian
besar lereng kompleks Lokon – Empung, merupakan morfologi yang membentuk
14
pembentuknya berupa piroklastik dan lava. Sebagian besar daerah ini
dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.
Satuan geomorfologi dataran menempati sepanjang pantai bagian utara, sekitar
daerah Malalyang dan dataran tinggi Kakaskasen pada elevasi lebih kurang 800
m, umumnya digunakan sebagai daerah persawahan dan perkebunan kelapa
(Hidayat dkk, 2007).
2.5. Stratigrafi
Batuan tertua yang mendasari seluruh satuan batuan di Kompeks Lokon –
Empung adalah Vulkanik Tondano (To.V), tersingkap di selatan Gunung Lokon,
berupa klastika gunungapi kasar, terutama bersifat andesitik, yang dicirikan oleh
banyaknya batuapung, tufa, tufa lapili dan braksi ignimbrit sangat padat. Satuan
ini diperkirakan sebagai hasil letusan hebat yang terjadi pada saat pembentukan
Kaldera Tondano atau pada saat Orogenesa Plio-Pleistosen.
Sebagai akibat adanya orogenesa tersebut, di daerah Minahasa banyak terbentuk
struktur dan zona lemah. Pada awal Kuarter di daerah zona lemah inilah
bermunculan sumber-sumber erupsi, diantaranya Gunung Tatawiran dan Gunung
Mahawu yang masing-masing menghasilkan satuan batuan Vulkanik Tatawiran
(Ta.V), sebagian besar berupa lava dan satuan Vulkanik Mahawu (M.V), juga
umumya berupa lava andesitik.
Pada sisi timur Gunung Tatawiran dan sisi barat Gunung Mahawu terjadi sesar
normal yang berarah Utara-Selatan. Akibat sesar ini diantara kedua gunung
lemah inilah kemudian muncul titik-titik erupsi baru yang membentuk kompleks
Lokon-Empung.
Fase pertama adalah erupsi pembentukan Bukit Pineleng, menghasilkan batuan
Lava Pineleng (Pi.l) dan dilanjutkan dengan erupsi fase kedua yang membentuk
Bukit Punuk, menghasilkan Lava Punuk 1 (P.l1) dan Lava Punuk 2 (P.l2). Lava
tersebut umumnya bersifat andesitik dengan piroksen sebagai masa dasar.
Fase ketiga adalah erupsi pembentukan Gunung Empung, yang umumnya
menghasilkan lava. Satuan batuan ini sebagian tersebar ke arah Timur-Timurlaut.
Satuan batuan tersebut dikelompokkan menjadi satuan Lava Empung Tua 1
(ET.l1), Lava Empung Tua 2 (ET.l2), Lava Empung Tua 3 (ET.l3), Lava Empung
Tua 4 (ET.l4), Lava Empung Tua 5 (ET.l5), umumnya bersifat andesitik-andesitik
basaltik.
Fase keempat pembentukan Gunung Lokon. Pada fase ini terjadi perselingan
antara erupsi efusif yang menghasilkan satuan batuan lava dan erupsi eksplosif
yang menghasilkan endapan satuan batuan aliran piroklastik dan jatuhan yang
penyebarannya sebagian besar ke arah Timur sampai Selatan. Secara berurutan
satuan batuan ini terdiri dari satuan batuan Lava Lokon 1 (L.l1), Lava Lokon 2
(L.l2), Aliran Piroklastik Lokon 1 (L.ap1), Lava Lokon 3 (L.l3), Aliran
Piroklastik Lokon 2 (L.ap2), Lava Lokon 4 (L.l4), Aliran Piroklastik Lokon 3
(L.ap3), Lava Lokon 5 (L.l5), Lava Lokon 6 (L.l6) dan Jatuhan Piroklastik Lokon
(L.jp). Satuan batuan Lava Lokon umumnya bersifat andesitik basaltik.
Fase kelima pusat kegiatan kembali lagi ke Gunung Empung, secara berurutan
16
Empung 3 (E.l3), Lava Empung 4 (E.l4), Lava Empung 5 (E.l5), Lava Empung 6
(E.l6) dan diakhiri dengan erupsi yang menghasilkan endapan Jatuhan Piroklastik
Empung (E.jp), penyebarannya hanya disekitar puncak.
Fase keenam terjadi pada tahun 1829 berupa letusan samping (flank eruption)
Gunung Lokon dan mengambil tempat pada sadel diantara Gunung Lokon dan
Gunung Empung. Pusat erupsi tersebut kini dikenal sebagai Kawah Tompaluan.
Fase ini merupakan fase terakhir dan masih berlangsung hingga sekarang. Satuan
batuan yang dihasilkan terdiri dari satuan Aliran Piroklastik Tompaluan (T.ap)
dan Jatuhan Piroklastik (T.jp). Letusan besar terakhir terjadi pada tahun 1991,
menghasilkan endapan aliran piroklastik (awan panas) yang mengalir ke arah
Lembah Pasahapen dan jatuhan piroklastik berupa bom, lapili dan abu (Hidayat
BAB III
TEORI DASAR
3. 1. Gelombang Seismik
Gelombang seismik merupakan gelombang yang menjalar di dalam bumi
disebabkan adanya deformasi struktur, tekanan ataupun tarikan karena sifat
keelastisan kerak bumi. Gelombang ini membawa energi kemudian menjalarkan
ke segala arah di seluruh bagian bumi dan mampu dicatat oleh seismograf
(Siswowidjoyo, 1996).
3.1.1. Gelombang badan (body wave)
1. Gelombang primer (P)
Gelombang Primer atau gelombang kompresi merupakan gelombang
badan (body wave) yang memiliki kecepatan paling tinggi dari gelombang
S. Gelombang ini merupakan gelombang longitudinal partikel yang
merambat bolak balik dengan arah rambatnya. Gelombang ini terjadi
karena adanya tekanan. Karena memiliki kecepatan tinggi gelombang ini
memiliki waktu tiba terlebih dahulu dari pada gelombang S. Kecepatan
gelombang P (VP) adalah ±5 – 7 km/s di kerak bumi, > 8 km/s di dalam
Gambar 8. Ilustrasi gerak gelombang primer (Hidayati, 2010)
2. Gelombang sekunder (S)
Gelombang S atau gelombang transversal (Shear wave) adalah salah satu
gelombang badan (body wave) yang memiliki gerak partikel tegak lurus
terhadap arah rambatnya serta waktu tibanya setelah gelombang P.
Gelombang ini tidak dapat merambat pada fluida, sehingga pada inti bumi
bagian luar tidak dapat terdeteksi sedangkan pada inti bumi bagian dalam
mampu dilewati. Kecepatan gelombang S (VS) adalah ± 3 – 4 km/s di
kerak bumi, > 4,5 km/s di dalam mantel bumi, dan 2,5 – 3,0 km/s di
dalam inti bumi (Hidayati, 2010).
Gambar 9. Ilustrasi gerak gelombang sekunder (Hidayati, 2010)
3.1.2. Gelombang permukaan (surface wave)
1. Gelombang Love
Gelombang ini merupakan gelombang yang arah rambat partikelnya
20
merupakan gelombang transversal, kecepatan gelombang ini di permukaan
bumi (VL) adalah ± 2,0 – 4,4 km/s (Hidayati, 2010).
Gambar 10. Ilustrasi gerak gelombang Love (Hidayati, 2010)
2. Gelombang Rayleigh
Gelombang Rayleigh merupakan jenis gelombang permukaan yang
memiliki kecepatan (VR) adalah ± 2,0 – 4,2 km/s di dalam bumi. Arah
rambatnya bergerak tegak lurus terhadap arah rambat dan searah bidang
datar (Hidayati, 2010).
3.2. Gempa Vulkanik
3.2.1. Definisi gempa vulkanik
Gempa vulkanik (gunungapi), yaitu gempa yang terjadi karena adanya aktivitas
gunungapi, baik berupa gerakan magma yang menuju ke permukaan maupun
letusan atau hembusan gas yang dikeluarkan dari tubuh gunungapi (Hidayati,
2010).
3.2.2. Klasifikasi gempa vulkanik
Klasifikasi gempa vulkanik dikelompokkan oleh T. Minakami berdasarkan bentuk
rekaman gempa, perkiraan hiposenternya dan perkiraan proses yang terjadi di
dalam tubuh gunungapi (Suantika, 2007).
1. Gempa vulkanik dalam (tipe A/VA)
Sumber dari tipe gempa ini terletak di bawah gunungapi pada kedalaman 1
sampai 20 km, biasanya muncul pada gunungapi yang aktif. Gempa tipe A
dapat disebabkan oleh adanya magma yang naik ke permukaan yang
disertai rekahan-rekahan. Ciri utama dari gempa tipe A ini adalah selisih
waktu tiba gelombang Primer (P) dan gelombang Sekunder (S) sampai 5
detik dan berdasarkan sifat fisisnya, gempa ini bentuknya mirip dengan
22
Gambar 12. Contoh rekaman seismik gempa tipe A (Hidayati, 2010)
2. Gempa vulkanik dangkal (tipe B/VB)
Sumber gempa vulkanik tipe B diperkirakan kurang dari 1 km dari kawah
gunungapi yang aktif. Gerakan awalnya cukup jelas dengan waktu tiba
gelombang S yang tidak jelas dan mempunyai nilai magnitudo yang kecil.
Selisih waktu tiba gelombang p dan gelombang s kurang dari 1 detik.
Gambar 13. Contoh rekaman seismik gempa tipe B (Hidayati, 2010)
Dalam pelaksanaanya, untuk membedakan gempa vulkanik dangkal dan
dalam dibedakan dari bisa dibacanya waktu tiba gelombang S. Bila waktu
tiba gelombang S tidak dapat dibaca dikategorikan sebagai gempa
vulkanik dangkal dan bila dapat dibaca (walau di bawah 1 s) dikategorikan
3. Gempa letusan
Gempa letusan disebabkan oleh terjadinya letusan yang bersifat eksplosif.
Berdasarkan hasil pengamatan seismik sampai saat ini dapat dikatakan
bahwa gerakan pertama dari gempa letusan adalah push-up atau gerakan
ke atas. Dengan kata lain, gempa letusan ditimbulkan oleh mekanisme
sebuah sumber tunggal yang positif.
Gambar 14. Contoh rekaman seismik gempa letusan (Hidayati, 2010)
4. Gempa tremor
Gempa tremor merupakan gempa yang menerus terjadi di sekitar
gunungapi, jenis gempa ini dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :
a. Tremor Harmonik, getaran yang menerus secara sinusoidal.
Kedalaman sumber gempa diperkirakan antara 5 – 15 km dan
b. Tremor Spasmodik, getaran terus menerus tetapi tidak beraturan.
Sumber gempabumi diperkirakan mempunyai kedalaman antara 45
-60 km.
Salah satu contoh dari tremor adalah letusan tipe Hawaii yang selalu
berulang tiap beberapa detik dan akan berakhir dalam waktu yang cukup
24
berulang-ulang, sehingga dalam seismogram terlihat sebagai getaran yang
menerus saling bertumpukan.
Gambar 15. Contoh rekaman seismik gempa tremor harmonik (Hidayati, 2010)
Gambar 16. Contoh rekaman seismik gempa tremor spasmodik (Hidayati, 2010)
3.2.3. Parameter fisis gelombang gempabumi
Adapun parameter fisis gelombang gempabumi, yaitu sebagai berikut:
1. (S-P), yaitu selisih waktu antara gelombang primer dan gelombang
sekunder pada seismograf yang dinyatakan dalam detik.
2. Durasi gempa, yaitu waktu yang diperlukan oleh suatu gelombang gempa
dari saat waktu tiba gelombang Primer sampai gelombang gempa berhenti
sama sekali yang dinyatakan dalam detik.
3. Waktu terjadinya gempa (t0) adalah waktu tiba gelombang P pada
seismograf dikurangi hasil perhitungan waktu yang diperlukan oleh
Gambar 17. Parameter fisis gelombang gempabumi (Hidayati, 2010)
3.3. Penentuan Hiposenter dan Episenter Gempa Vulkanik
Titik dalam perut bumi yang merupakan sumber gempa dinamakan hiposenter
atau focus. Sedangkan, episenter merupakan lokasi dipermukaan yang merupakan
proyeksi vertikal dari titik hiposenter. Gempa dangkal menimbulkan efek
goncangan yang lebih dahsyat dibanding gempa dalam. Ini karena letak fokus
lebih dekat ke permukaan, dimana batu-batuan bersifat lebih keras, sehingga
melepaskan lebih besar regangan (strain).
3.3.1. Menghitung hiposenter dan episenter dengan metode Lingkaran
Metode lingkaran merupakan salah satu metoda konvensional dalam penentuan
episenter dan hiposenter. Teknik ini dapat digunakan baik untuk kasus dua stasiun
maupun tiga stasiun serta diturunkan dari anggapan bahwa gelombang seismik
merambat dalam medium homogen isotropis, sehingga kecepatan kecepatan
gelombang tetap dalam penjalarannya (Suantika, 2007).
Pada penentuan episenter dan hiposenter dibutuhkan hasil rekaman gempa, yaitu
waktu tiba gelombang P, waktu tiba gelombang S pada tiap stasiun. Juga selisih
26
bertambahnya jarak tempuh (D) kedua gelombang tersebut. Hubungan yang lebih
jelas dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 18. Penjalaran gelombang P dan S
Untuk itu diperlukan terlebih dahulu jari-jari lingkaran (D) yang dihitung sebagai
berikut :
D = K (ts – tp) (1)
=
(2)Dimana k adalah konstanta Omori , Vp dan Vs adalah cepat rambat gelombang
primer (P) dan gelombang sekunder (S) dalam km/s. Serta nilai Vp > Vs. tp dan ts
adalah waktu tiba gelombang P dan S dalam detik, serta tp < ts. Sedangkan Vp/Vs
merupakan perbandingan antara cepat rambat gelombang P dan gelombang S. to
adalah waktu terjadinya gempa bumi.
Jarak tempuh gelombang P dan S dari pusat gempa (S) ke stasiun (R) adalah:
D = Vp (tp – to) ; D = Vs (ts – to) (3)
Untuk menentukan waktu terjadinya gempa, dibutuhkan posisi koordinat stasiun
pengamatan, kecepatan gelombang primer dan sekunder (Vp dan Vs), dan waktu
Dari persamaan (3.3), maka persamaan untuk menentukan waktu terjadinya
gempa dapat ditentukan sebagai berikut:
(4)
Untuk kasus tiga stasiun maka jari-jari lingkaran dihitung untuk setiap stasiun,
lalu dibuat lingkaran dengan pusat pada masing-masing stasiun dengan jari-jari
lingkaran yang telah dihitung. Pada daerah yang dibatasi oleh perpotongan ketiga
lingkaran maka ditarik ketiga garis dari titik-titik perpotongannya sehingga
diperoleh suatu segitiga. Perpotongan garis bagi ketiga sisi-sisi segitiga tersebut
adalah episenter.
Gambar 19. Episenter tiga lingkaran (Hidayati, 2010)
rA = K (ts – tp) (6)
rB = K (ts – tp) (7)
rC = K (ts – tp) (8)
dengan, E = Episenter
H = Hiposenter EH= kedalaman
28
3.3.2. Menghitung hiposenter menggunakan metode Geiger
Metode Geiger menggunakan data waktu tiba gelombang P dan atau gelombang
S. Anggapan yang digunakan adalah bahwa bumi terdiri dari lapisan datar yang
homogen isotropik, sehingga waktu tiba gelombang gempa yang karena
pemantulan dan pembiasan untuk setiap lapisan dapat dihitung. Cara yang
digunakan dengan memberikan harga awal hiposenter, kemudian menghitung
waktu rambat gelombang untuk setiap stasiun yang digunakan. Dari perhitungan
ini didapatkan residu, yaitu perbedaan antara waktu rambat gelombang yang
diamati dengan waktu rambat gelombang yang dihitung untuk setiap stasiun.
Berikut ini kode dari metode Geiger, yang terdiri dari kode utama
RelocationGeigerMethod.m , dan kode-kode pendukung seperti ray tracing, event
gather, dan matrix jacobi.
ri
=
+
+
+
(9)dimana ri adalah residual atau deviation time antara calculation time dan
observation time. Di ruas kanan merupakan perkalian turunan waktu tempuh
terhadap posisi hiposenter (x,y,z) serta origin time. Persamaan ini dapat diubah
dalam persamaan matrix dan diselesaikan secara iteratif. Adapun kode-kode yang
digunakan dapat dilihat pada Lampiran I (Syahputra, 2012).
Perkembangan perhitungan numerik dan teknik komputasi dewasa ini
mengisyaratkan bahwa metode ini adalah yang paling cocok digunakan.
Berdasarkan metode ini ditulis program-program lokalisasi sumber gempa seperti
komputasinya. Meskipun demikian, metode Geiger ini masih mempunyai
kesalahan perhitungan, terutama apabila data yang digunakan berasal dari stasiun
dengan jarak yang relatif jauh. Variasi kecepatan gelombang seismik pada jarak
tersebut ternyata tidak dapat dihitung dengan tepat. Variasi kecepatan gelombang
sebesar lebih kurang 0,2 km/detik ternyata memberikan kesalahan penentuan
posisi hiposenter sampai beberapa puluh kilometer. Oleh karena itu, metode ini
hanya dapat digunakan dengan tepat untuk menentukan posisi hiposenter dan
waktu asal dari suatu gempa yang bersifat lokal (Salomo, 2012).
3.4. Atenuasi Gelombang Seismik dan Q-factor
Pada penyebaran gelombang di Bumi kita ketahui bahwa idealnya bumi memiliki
sifat murni elastis, sehingga gelombang seismik mengalami refleksi, refraksi dan
transmisi energi pada batas kontrol amplitudo dari pulsa seismik. Bumi
sebenarnya tidak elastis sempurna, dan propagasi gelombang mengalami
pelemahan seiring dengan berjalannya waktu karena berbagai mekanisme
pelepasan energi (Lay dan Wallace, 1995).
Pengaruh atenuasi terhadap sinyal seismik dapat dilihat pada penurunan
amplitudo dan melebarnya sinyal (panjang gelombang). Hal ini menunjukan
bahwa atenuasi merupakan gabungan antara pengurangan energi dan penyerapan
frekuensi secara simultan, karena medium yang dilewati gelombang seismik
memiliki tingkat redaman yang berbeda-beda maka penyerapan frekuensi oleh
medium tersebut tidak sama.
Dalam media nyata, amplitudo suatu sistem osilasi meluruh dengan waktu nol.
30
konversi energi kinetik menjadi panas, yang terjadi karena gesekan, gaya
redaman. Gelombang gempa yang merambat di dalam bumi akan kehilangan
amplitudo dan dilemahkan. Kedua mekanisme yang berkontribusi pada kejadian
ini adalah atenuasi intrinsik/ anelastik dan atenuasi semu.
Hasil dari atenuasi intrinsik/ anelastik adalah hilangnya mekanisme aktual seperti
resonansi teredam, relaksasi dan kekentalan. Kesemuanya terkait dengan gesekan
internal medium.
Atenuasi semu mungkin dihasilkan dari efek geometri, seperti refraksi, refleksi,
dan hamburan (scattering). Hamburan energi gelombang dipercaya karena
perbandingan inhomogenitas dalam skala ke panjang gelombang pada gelombang
elastis. Atenuasi ini linier dan bergantung pada frekuensi (Joan dkk, 1996)
Perpindahan energi potensial (posisi partikel) ke energi kinetik (kecepatan
partikel) berturut-turut sebagai sebuah propagasi gelombang tidak sepenuhnya
dapat kembali seperti perpindahan mineral selama dislokasi atau penyebaran
panas pada batas butir yang menghasilkan energi gelombang. Kesamaan proses
ini biasa dideskripsikan sebagai gesekan internal (internal friction), dan efek dari
gesekan internal dapat dimodelkan dengan penggambaran gejala logis karena
proses mikrosopik yang komplek.
Penggambaran sederhana dari atenuasi dapat dibentuk dari gerak bolak-balik atau
Gambar 20. Model gejala logis untuk atenuasi seismik (Lay dan Wallace, 1995)
Ilustrasi pegas di atas merepresentasikan proses elastisitas dalam Bumi. Gaya f
merepresentasikan gesekan yang berlawanan dengan gerak massa. Pada gambar
diatas massa m ditambahkan pada sebuah pegas dengan konstanta k (k adalah
ukuran kekakuan pegas) terdorong-dorong sepanjang permukaan penampang.
Persamaan gerak untuk gabungan sistem gaya pemulihan pegas ke gaya inersia
diberikan oleh perpindahan massa:
m ̈ +kx = 0 (10)
solusi umum untuk persamaan ini adalah osilasi harmonik:
x = + (11)
ω0 = ⁄
Saat massa ditarik maka akan terjadi gerakan yang belanjut terus menerus,
sehingga terjadi osilasi pada frekuensi alami pada sistem ω0. Atenuasi dapat
dikenali dengan penambahan gaya redaman, seperti gesek antara perpindahan
massa dan permukaan penampang. Pada kasus ini ada penambahan gaya, sesuai
32
m ̈+ ̇ + kx = 0 (12)
atau
̈ + ̇ + = 0 (13)
dimana, = ( ⁄ ), dan = (k/m)1/2. dan disebut koefisien gesekan.
Penyelesaian dari persamaan (13) adalah
x(t) = sin √1 − , (14)
dimana = A(ε). Persamaan ini adalah osilasi selaras yang meluruh
secara eksponensial terhadap waktu. Jika ε = 0 (tidak teratenuasi), Pers (14)
kembali pada Pers (11). ε dapat dinyatakan dalam formula faktor kualitas (quality
factor), Q-factor:
ε = (15)
Dengan menggunakan Pers (15), amplitudo sebagai fungsi waktu dapat dituliskan
menjadi
A(t) = / (16)
dimana Q-factor merupakan fraksi dari energi gelombang yang hilang per siklus
saat gelombang merambat. Dengan kata lain
=
∆ (17)Q =
dimana, E = energi tegangan (strain) maksimum dalam volum
-∆E = energi yang hilang disetiap siklus karena ketidaksempurnaan
elastisitas material (medium)
Hal ini lebih mudah dipahami dalam istilah logaritma pengurangan, δ, yang mana
merupakan logaritma dari rasio amplitudo siklus osilasi berurutan
δ = ln(A1/A2) (19)
Karena energi sebanding dengan kuadrat amplitudo, sehingga
2 ln A = ln E (20)
Dengan menggabungkan Pers (16) dengan (19), dimana amplitudo satu periode
(T0 = 2π/ω0) akan memberikan
Q = π/ δ (21)
Sehingga persamaan untuk amplitudo sebagai fungsi jarak waktu tempuh adalah:
A(x) = (22)
dimana, A0 = Amplitudo awal
f = frekuensi gelombang seismik (Hz)
v = cepat rambat gelombang seismik primer dalam medium (km/s)
Q = Q-factor
Dari persamaan (14) diketahui bahwa peluruhan terjadi secara eksponensial
34
Penentuan nilai Q-factor akan didasarkan pada analisis grafik hubungan antara
puncak-puncak suatu event gempa dengan waktu kejadiannya (t).
Persamaan (22) menunjukan bahwa nilai konstanta Q-factor gelombang
high-frekuensi akan teratenuasi lebih cepat daripada gelombang low-frekuensi. Ini
dikarenakan untuk jarak tertentu gelombang high-frekuensi lebih cepat terosilasi
daripada gelombang low-frekuensi. Waktu tempuh gelombang bergantung pada
darimana sumber berasal. Sehingga pulsa melebar pada jarak yang berurutan.
Pulsa komponen high-frekuensi kemudian menghilang selama atenuasi.
Energi yang hilang selama proses nonelastis ini biasanya diukur oleh atenuasi
intrinsik dan diparameteri oleh Q (Q-factor). Nilai Q-factor yang lebih besar
menunjukkan atenuasi yang kecil. Jika Q-factor mendekati nol maka berarti
atenuasinya sangan kuat. Q-factor untuk gelombang P (Q ) didalam bumi secara
sistematis lebih besar daripada Q-factor untuk gelombang S (Qβ). Sehingga
atenuasi intrisik yang terjadi selama penjalaran gelombang dikaitkan dengan
perpindahan lateral dari efek kisi dan batas butir (Lay dan Wallace, 1995).
Q-factor dapat didefinisikan sebagai perbandingan antar frekuensi dominan
gelombang seismik terhadap koefisien atenuasinya, sehingga Q-factor bergantung
terhadap faktor atenuasi medium. Jadi dapat disimpulan bahwa Q-factor
merupakan ukuran kemampuan suatu medium untuk meloloskan gelombang yang
melaluinya.
Secara umum, Q-factor meningkat seiring dengan membesarnya densitas suatu
batuan) tersebut. Tabel 2 menunjukkan nilai Q-factor untuk beberapa jenis batuan
oleh Sherrif dan Geldart, 1955 dalam Ernawati 2011.
Tabel 2. Nilai Q untuk beberapa jenis batuan (Sherrif dan Geldart, 1955 dalam Ernawati 2011)
Didalam kajian ilmu teknik, atenuasi biasanya diukur dalam satuan desibel per
satuan panjang medium (kabel, tembaga, udara, air, serat optik, dan sebagainya)
maka satuan dari atenuasi sering dituliskan dB/cm atau dB/km. Namun, atenuasi
yang diukur dalam penelitian ini adalah atenuasi dari rekaman gelombang seismik
yang berupa gelombang sinusoidal, maka satuan dari atenuasi gelombang dapat
dituliskan dB/λ. Dimana λ merupakan simbol untuk panjang gelombang dalam SI
adalah meter (m). Dengan kata lain, satuan dari atenuasi rekaman gelombang
36
Pengukuran Q-factor sebenarnya bervariasi lateral dengan urutan kekuatan atau
magnituda dalam bumi, perbedaannya jauh lebih besar daripada kecepatan
seismik yang diamati (10% variasi). Mekanisme atenuasi intrinsik (batas butir dan
kerusakan kristal batuan akibat gesekan ) sangat sensitif terhadap tekanan dan
kondisi temperatur. Ini berarti bahwa, Q-factor akan bervariasi di dalam bumi
sebagai fungsi temperatur yang heterogen. Daerah tektonik aktif biasanya
memiliki aliran panas yang relatif tinggi dan atenuasi tinggi dari daerah yang
memiliki aliran panas rendah atau daerah yang lebih dingin. Ini merupakan bentuk
dari aktivasi termal pada mekanisme atenuasi (Lay dan Wallace, 1995).
Sumber gempa yang lebih dangkal yang terletak pada tubuh gunungapi juga akan
menghasilkan atenuasi gempa yang tinggi dan intensitasnya akan menurun lebih
cepat (Zobin, 2012).
3.5. Hubungan Aktivitas Vulkanik dengan Letusan Gunungapi
Gempabumi pada gunungapi disebabkan oleh adanya aktivitas vulkanik, baik
berupa gerakan magma yang menuju ke permukaan maupun letusan atau
hembusan gas yang dikeluarkan dari tubuh gunungapi. Letusan gunungapi
disebabkan oleh gaya yang berasal dari dalam bumi akibat terganggunya sistem
kesetimbangan magma (kesetimbangan suhu, termodinamika dan hidrosratik) dan
sistem kesetimbangan geologi (kesetimbangan gaya tarik bumi, kimia-fisika, dan
panas bumi). Dan letusan gunungapi adalah suatu kenampakan gejala vulkanisme
ke arah permukaan, atau suatu aspek kimiawi pemindahan tenaga ke arah
dipengaruhi oleh keluaran panas pada saat magma mendingin dan tekanan gas
selama pembekuannya (Siswowidjoyo, 1996).
Pada Gambar 20 diperlihatkan dengan jelas bagaimana letusan gunungapi terjadi.
Magma yang mengandung gas, sedikit demi sedikit naik ke permukaan karena
massanya yang lebih ringan dibanding batu-batuan padat di sekelilingnya.
Sehingga menyebabkan gempa vulkanik yang menyebabkan rekahan-rekahan
pada dinding magma. Rekahan akibat desakan magma ini menyebabkan sumbat
magma runtuh dan air yang berada diatas sumbat masuk ke magma dan mendidih
dengan cepat. Tekanan uap akibat air yang mendidih inilah yang dapat
menimbulkan ledakan sehingga, tekanan magma keatas menjadi lebih mudah
karena adanya retakan pada sumbat magma. Seluruh air pada danau pun langsung
menyentuh magma langsung berubah menjadi uap yang bertekanan tinggi
sehingga tekanan magma mendesak keatas semakin tak terbendung. Akibat
letusan ini rekahan-rekahan dapat menimbulkan longsoran baik ke dalam maupun
ke luar. Apabila tekanan magma cukup besar maka akan terjadi letusan magmatik
yang menyebabkan dinding kawah runtuh. Letusan ini dapat menyebabkan
keluarnya lahar, material vulkanik bercampur air, debu dan awan vulkanik.
Gempa vulkanik biasa terjadi sebelum, sesaat maupun sesudah letusan. Tetapi
gejala tersebut tidak selalu sama pada tiap-tiap gunungapi. Mungkin saja terjadi,
gempa vulkanik sebelum letusan jumlahnya lebih banyak dari pada sesudahnya.
Suatu kenyataan bahwa meskipun gunungapi itu mempunyai batuan yang sejenis,
bahkan pada gunungapi yang sama sekalipun, gejala kegempaan sehubungan
dengan letusan tidak selalu sama. Perbedaan diantaranya disebabkan oleh struktur
38
perubahan kekentalan magma, proses mineralisasi dalam magma ketika terjadi
pendinginan dalam perjalanannya menuju kepermukaan bumi yang dapat merubah
mekanisma letusan dan masih banyak kemungkinan – kemungkinan lainnya
(Siswowidjojo, 1996).
3.6.Sistem Penerima Seismograf
Untuk memperoleh data seismik, instrumentasi yang digunakan adalah
seismograf, dan untuk saai ini hampir seluruh Pos Gunungapi di Indonesia
menggunaan seismograf yang bekerja dengan sistim RTS (Radio Telemetry
System) baik digital maupun analog. Data ditransmitkan ke Pos pemngamatan
dengan tenik propagasi gelombang radio. Di Pos data diterima Receiver,
didemodulasikan oleh diskriminator menjadi tegangan analog kembali, dan
direkam ke seismogram dengan galvanometer, ini adalah prinsip RTS analog.
Untuk RTS digital prinsipnya hampir sama, hanya pada transmiter, data yang
dimodulasikan sudah berupa data-data digital. Tentunya dengan mengubah data
analog seismometer menjadi digital menggunakan ADC (Analog to Digital
Converter).
Berbeda dengan seismograf analog yang amplitudo rekaman gelombangnya dalam
satuan milimeter (mm), amplitudo rekaman gelombang seismik digital tidak
memiliki satuan. Namun untuk memperoleh satuan dari amplitudo rekaman
seismik digital maka perlu dilakukan konversi terlebih dahulu. Konversi yang
dilakukan bergantung spesifikasi alat yang digunakan (Ernawati, 2011).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam konversi amplitudo rekaman seismik
digital adalah:
1. Sensitivitas alat
Setiap seismograf memiliki sensitivitas yang berbeda-beda, bergantung
40
LS-1 Ranger memiliki sensitivitas 345 V/(m/s) dan frekuensi alami
alat 1 Hz
L4-C memiliki sensitivitas 300 V/(m/s) dan frekuensi alami alat 1 Hz
L 22 memiliki sensitivitas 77 V/(m/s) dan frekuensi alami alat 2 Hz
2. Perbesaran alat
3. Nilai digital dari rekaman Datamark LS 7000
Pada Datamark LS 7000, 1 digit = 2.4445 x 10-6 Vm/s.
Jadi, harga konversi amplitudo digital adalah:
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dimulai Pada bulan November 2012 hingga April 2013 dan bertempat
di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Bandung, Jawa
Barat dan di Laboratorium Pengolahan dan Pemodelan Data Geofisika, Jurusan
Teknik Geofisika, Fakultas Teknik, Universitas Lampung.
Tabel 3. Jadwal Penelitian
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Laptop (Operation System Windows)
2. Software Seisan, Swarm2, GAD, Origin 7.0 dan Mathlab 11.
42
ketinggian Gunung Lokon serta data koordinat kelima stasiun seismik.
4.3. Prosedur Penelitian
4.3.1. Menentukan waktu tiba gelombang primer (P) dan gelombang
sekunder (S)
Data rekaman seismik yang diperoleh berupa data rekaman aktivitas vulkanik per
10 menit yang terekam di empat stasiun pemantau gunungapi di Gunung Lokon.
Sebelum dilakukan picking watu tiba gelombang P dan S terlebih dahulu
dilakukan identifikasi gempa vulkanik A dan vulkanik B lalu dikelompokkan
berdasarkan waktu pra letusan, fase letusan, dan pasca letusan. Data seismik yang
diperoleh adalah data dengan format seisan maka pembacaan data gelombang
seismik digital dilakukan dengan menggunakan software Seisan. Software ini
membaca gempa per 10 menit yang berasal dari kelima stasiun di Gunung Lokon.
Berikut ini adalah tampilan dari software Seisan:
Namun karena untuk menentukan waktu tiba gelombang P dan S dengan software
ini agak sulit, maka data yang sudah diidentifikasi sebagai gempa vulkanik A dan
vulkanik B di konversi ke dalam format sac file agar dapat dibaca dengan
softwareSwarm2 untuk kemudian dilakukan picking waktu tiba gelombang P dan
S nya.
Gambar 23. Tampilan pembacaan serta picking waktu tiba gelombang P dan S
Hasil picking berupa data waktu tiba gelombang P dan S kemudian dicatat dalam
notepad.
4.3.2. Menentukan Hiposenter Gempa
Hiposenter gempa ditentukan dengan menggunakan software GAD (Geiger’s
method with Adaptive Damping). Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Membuat file stasiun dalam notepad simpan dalam format “.dat”
2. Membuat file kecepatan (Velocity.dat)
3. Membuat file waktu tiba gelombang atau hasil picking (Arrival.dat)
44
5. Tempatkan semua file (stasiun, kecepatan, waktu tiba, dan hasil) dalam
satu folder bersama dengan software GAD. Kemudian di run.
6. Hasil run GAD dapat dilihat di result.dat, dari sini diperoleh koordinat x, y
dan z hiposenter gempa dan rms nya lalu dicatat.
4.3.3. Plotting Hiposenter
Plotting hiposenter dan episenter dilakukan dengan software Origin 7.0 dan
Mathlab11 (script di lampiran). Untuk plotting dengan software Origin 7.0
langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Membuka data kontur, stasiun dan data waktu tiba gelombang P dan S .
2. Membuat data penampang Barat – Timur dan Utara – Selatan gunung
Lokon dari data kontur.
3. Membuat peta kontur gunung Lokon.
4. Membuat penampang Barat – Timur dan Utara – Selatan.
5. Plotting episenter pada peta kontur.
6. Plotting hiposenter pada peta penampang.
4.3.4. Koefisien Atenuasi
Seperti yang sudah dijelaskan pada Bab III, koefisien atenuasi gelombang
diperoleh dari persamaan peluruhan gelombang, yaitu:
= A(ε)
Dimana ε merupakan koefisien gesekan atau koefisien atenuasi yang biasa
disimbolkan dengan α. Sedangkan persamaan untuk amplitudo sebagai fungsi
jarak waktu tempuh adalah (pers 22):
Sehingga untuk memperoleh nilai koefisien atenuasi gelombang, maka harus
ditentukan persamaan eksponensial dari peluruhan gelombang seismik tersebut
dengan picking nilai amplitudo puncak gelombang tertinggi seismik terhadap
waktu.
Gambar 24. Tampilan cara menentukan nilai amplitudo gelombang
Kemudian nilai dari puncak tersebut diplot dalam bentuk scatter dan ditentukan
persamaan eksponensialnya dengan melakukan curvefitting.
46
Fitting dilakukan dengan menggunakan persamaan Eksponensial 2 Mode 2
dengan rumus
y =
.
Gambar 26. Tampilan kurva persamaan Eksponensial
Selanjutnya grafik scatter ini kemudian dikembalikan datanya dengan data
seismik sehingga hasilnya akan seperti gambar berikut.
Nilai koefisien atenuasinya dapat dilihat langsung pada nilai b di kolom kecil pada
grafik di atas. Persamaan eksponensial tersebut kemudian disetarakan dengan
persamaan atenuasi amplitudo gelombang (pers 22) untuk memperoleh hubungan
antara koefisien atenuasi (b) dengan Q-factor. Selanjutnya dianalisis Q-factor dan
karakteristik peluruhan sinyal gelombang gempa nya berdasarkan pra letusan, fase
4.4. Diagram Alir
48 Analisis Hasil
Selesai
Identifikasi gempa tipe A dan tipe B Rekaman Seismik Gunung Lokon
Pengelompokkan Gempa Pra letusan, Fase letusan, dan Pasca letusan
Picking tp dan ts masing-masing stasiun
Waktu tiba gelombang P (tp) dan S (ts)
Menentukan Hiposenter
Plotting Hiposenter dan Episenter
Menentukan koefisien atenuasi (b)
Pers. Eksponensial dan Koefisien Atenuasi
Penyetaraan Pers. Atenuasi dan Pers. Eksponensial
Korelasi b (koef. Atenuasi) dengan Q-factor
Peta Episenter dan Hiposenter gempa vulkanik Gunung Lokon
Mulai
Data Kontur Gunung Lokon
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan analisis, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Tipe gempa vulkanik di Gunung Lokon yang muncul pada pra letusan
adalah gempa vulkanik dalam (VA) dan vulkanik dangkal (VB).
Sedangkan pada fase letusan dan pasca letusan didominasi oleh gempa
vulkanik dangkal (VB) saja.
2. Gempa-gempa vulkanik yang terjadi pada Gunung Lokon lebih
diakibatkan oleh aktivitas vulkanik daripada tektonik.
3. Range nilai b pra letusan antara -2.7×10-1 s/d -4×10-2 dB/λ, fase letusan
antara -5.9×10-1 s/d -2×10-2 dB/λ, dan pasca letusan antara -5.8×10-1 s/d
-4×10-2dB/λ.
4. Q-factor pra letusan besar karena sumber gempa dalam sehingga waktu
tempuh lambat, densitas tinggi, energi yang hilang kecil, atenuasi
gelombang kecil dan karakteristik kurva peluruhan landai.
5. Q-factor fase letusan kecil karena sumber gempa dangkal sehingga waktu
tempuh cepat, densitas kecil, energi yang hilang besar, gelombang
6. Q-factor pasca letusan sedikit meningkat namun lebih kecil dibanding pra
letusan karena, sumber gempa dangkal sehingga waktu tempuh gelombang
cepat, aktifitas vulkanik berkurang, temperatur dan tekanan rendah
menyebabkan atenuasi gelombang kecil namun tidak terlalu signifikan
sehingga karakteristik kurva atenuasi tidak terlalu landai namun juga tidak
terlalu curam.
7. Lapisan batuan pada Gunung Lokon memiliki densitas yang besar dan
berdasarkan Tabel 2 nilai Q-factor pada Gunung Lokon antara 75 – 300
λ/dB.
6.2. Saran
Dari hasil pengolahan data disarankan:
1. Penentuan waktu tiba gelombang P dan gelombang S lebih teliti dan
hati-hati.
2. Menggunakan metode penentuan hiposenter gempa yang lebih akurat.
3. Menggabungkan data metode geofisika lain guna informasi mitigasi
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2013. Tektonika Lempeng. http://id.wikipedia.org/w/index.
php?title=Berkas:Tectonic plates boundaries_detaileden.svg& filetimestamp=200808312 31447. Tanggal Akses 1 November 2013 pukul 20.00 WIB.
Ernawati, E. 2011. Identifikasi Medium Bawah Permukaan Gunung Sinabung,
berdasarkan Nilai Q-factor. Skripsi jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA, Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.
Fridolin, H. 2013.
http://dearthurjr.blogspot.com/2013/06/morfologi-gunung-kelud.html. Tanggal Akses 3 Juli 2013 pukul 10:42 WIB.
Gunawan, H. 2010. Studi Geofisika Gunungapi Lokon Berdasarkan Pengolahan
Data Deformasi dan Seismik. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Bandung.
Haerani, N., Kristianto, Gunawan, H., Kushendratno, dan Wittiri, S. R. 2010.
Studi Terpadu Seismik Dan Deformasi Di Gunungapi Lokon, Sulawesi Utara.Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 1 No. 3 Desember 2010: 151 – 164.
Hidayat, Y., Suparman, Y., Setiawan, S., Wahidin., Sukanda., Supriadi, Dedi.,
Sulaiman., Safei. 2007. Laporan Penyelidikan Geofisika
Gunungapi Lokon, Sulwesi Utara. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Bandung. Hal 1,3,7-10.
Hidayati, S. 2010. Pengenalan Seismologi Gunungapi. Diklat Pelaksana Pemula
Pengamat Gunungapi Baru. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Bandung.
Joan, L. L., William, B. A., Lloyd, L. L. 1996. Attenuation of Seismic Waves in
Kristianto, Gunawan, H., Haerani, N., Mulyana, I., Basuki, A., Primulyana, S.,
dan Bina, F. R. 2012. Gejala Awal Letusan Gunung Lokon
Februari 2011 - Maret 2012. Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 3 No. 3 Desember 2012: 151 - 168.
Lay, T., dan Wallace, T. C. 1995. Modern Global Seismology. Academic Press.
San Diego.
Mulyadi, D., Hendrasto, M., Suraji., I. 1990. Peta Geologi Gunungapi Komplek
Lokon Sulawesi Utara. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Bandung.
Salomo, D. 2012.
http://dimas-salomo.blogspot.com/2012/02/penentuan-pusat-gempa/.Tanggal Akses 14 Januari 2012 pukul 11:13 WIB.
Siswowidjojo, S. S. 1996. Pengantar Seismologi Gunungapi dan Hubungannya
dengan Kegiatan Gunungapi. Kursus Pengamat Gunungapi TK.II. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Bandung.
Suantika, I. G. 2007. Seismologi Gunungapi. Bahan Ajar Diklat Pejabat
Fungsional Pengamat Gunungapi Pelaksana. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Bandung.
Suparman, Y., Iguchi, M., Hendrasto, M., dan Kristianto. 2009. Comparison of
Focal Mechanisms and Source Parameters of Volcano-tectonic Earthquakes between Active and Normal Periods at Lokon Volcano, Nort Sulawesi, Indonesia.JICA Report.
Syahputra, A. 2012.
http://earthmax.wordpress.com/2012/05/27/a-simple-code-for-hypocenter-relocation-using-geigers-method/. Tanggal Akses 6 April 2013 pukul 12:44 WIB.
Topinka. 2001. Major Volcanoes of Indonesia. USGS/CVO.
Zobin, V. M. 2012. Introduction to Volcanic Seismology, Second Edition. Elsevier
Format penulisan Kecepatan, Waktu tiba gelombang, Stasiun, Hasil pengolahan dengan GAD dan script program Mathlab.
1. Kode RelocationGeigerMethod.m
clear,clc
%% Simple Geiger Method %% Load DataCatalog
[FileName,PathName] = uigetfile(‘*.txt’,'Select the data catalog’); Data = load([PathName FileName]);
%% Check Event Gather
[EventID EventHypo First Last] = EventGather(Data);
%% Velocity Model
[FileName,PathName] = uigetfile(‘*.txt’,'Velocity 1-D Model’); Velocity = load([PathName FileName]);
VelocityLayer = Velocity(:,2); TopOfLayer = Velocity(:,1);
VelocityModel = struct(‘VelocityLayer’,VelocityLayer,’TopOfLayer’,TopOfLayer’);
%% Calculate the Time Deviation of Initial Hypocenter for i=1:size(Data,1)
Sumber = Data(i,1:3); Penerima = Data(i,4:6);
if ite ==1
%Ray Tracing using shooting method based on Snell’s Law, only %direct wave
[RayPath TravelTime] = RayTracingShootingMethod(Sumber, Penerima, VelocityModel);
plot3(UpdatedHypo(:,1),UpdatedHypo(:,2),UpdatedHypo(:,3),’.k’)
% NewData = [NewData DelayTimeAll];
% [filename, pathname] = uiputfile(‘*.txt’, ‘Save as data catalog’); % save(filename,’NewData’,'-ASCII’)
2. Kode RayTracingShootingMethod.m
function [RayPath TravelTime] = RayTracingShootingMethod (Sumber, Penerima, VelocityModel)
RayTracingZ = [RayTracingZ Receiver.Z];
deltaZ = Source.Z – VelocityModel.TopOfLayer(nLay); deltaRI = tan(deg2rad(ArrivalAngle(i)))*deltaZ;
deltaZ = VelocityModel.TopOfLayer(nLay+1) – VelocityModel.TopOfLayer(nLay); deltaRI = tan(TransmissionAngle)*deltaZ;
Error = abs(DeltaError(i)); end
end
if (DeltaError(1) * DeltaError(3) < 0) ArrivalAngle(2) = ArrivalAngle(3); elseif (DeltaError(1) * DeltaError(3) > 0) ArrivalAngle(1) = ArrivalAngle(3); TravelTime = TravelTimeCalculation (RayPath, VelocityModel);
function TravelTime = TravelTimeCalculation (RayPath, VelocityModel) TravelTime =0;
if Depth >= TopOfLayer(j) && Depth < TopOfLayer(j+1) NumberOfLayer = j;
end
function [RowOfJacobi] = MatrixJacobi(RayPath,VelocityModel)
dtdx = dtdx + ((RayPath.X(i+1)-RayPath.X(i))/Divider); dtdy = dtdy + ((RayPath.Y(i+1)-RayPath.Y(i))/Divider); dtdz = dtdz + ((RayPath.Z(i+1)-RayPath.Z(i))/Divider); end
RowOfJacobi = [dtdx dtdy dtdz 1];
4. Kode EventGather.m
function [EventID EventHypo First Last] = EventGather(Data) First = 1;
a. Format penulisan file Velocity.dat, yaitu sebagai berikut:
Baris 1: jumlah layer
Baris 2: ketidak seragaman koordinat Z dalam kasus jumlah layer= 1. Baris ini dilewati oleh program.
Baris 3: nilai kecepatan gelompang P, dituliskan dalam format f8.3 untuk setiap layer.
Baris 4: nilai kecepatan gelombang S, dituliskan dalam format f8.3 untuk setiap layer.
b. Data file velocity.dat yang digunakan dalam perhitungan hiposenter:
nzLayer : 2 (15x,i4)
zLayer : 0.0 (15x,5f8.3)
VpL(nzLayer+1): 2.8 3.9 (15x,6f8.3)
Kolom 1-10: YYMMDDHHmm
Kolom 11: spasi atau “,”
Kolom 12-14: kode stasiun (3 karakter)
Kolom 15: spasi atau “,”
Kolom 16-21: waktu tiba gelombang P dalam format f6.3. Jika tidak ada data maka dituliskan “99.990”
Kolom 22: spasi atau “,”
Kolom 23: polarisasi gelombang P, dituliskan “+” atau “-“ atau spasi.
Kolom 24: spasi atau “,”
Kolom 25: jika awalan dari gelombang P jelas, dituliskan “I”, sebaliknya jika tidak jelas dituliskan “E”.
Kolom 26: spasi atau “,”
Kolom 27-32: waktu tiba gelombang S, ditulis dalam format f6.3. Jika tidak ada data maka dituliskan “99.990”.
Kolom 33: spasi atau “,”
Kolom 34: jika awalan dari gelombang S jelas, dituliskan “I”, sebaliknya jika tidak jelas dituliskan “E”.
b. Contoh data file Arrival.dat yang digunakan dalam perhitungan hiposenter gempa Gunung Lokon, yaitu sebagai berikut:
1204011440 EMP 22.701 + I 24.805 I 1204011440 KIN 22.904 + I 25.611 I 1204011440 WLN 23.367 + E 25.536 I 1204011440 TTW 22.972 + E 25.632 I
7. Stasiun (Station.dat)
a. Format penulisan file Station.dat, yaitu sebagai berikut:
Baris 1: Jumlah stasiun
Baris 2: Kode stasiun (3 karakter) dengan koordinat stasiun (X,Y,Z) dalam meter.
8. Hasil (Results.dat)
Contoh tampilan hasil pengolahan GAD gempa vulkanik Gunung Lokon. nst : 5
Travel time residual rms= .144sec.
9. Script program hiposenter Mathlab
Script program hiposenter 3D Mathlab, yaitu sebagai berikut:
r')
95. 1205251027 1.775 0.853 -0.007 VB
96. 1205251748 2.102 0.654 -0.012 VB
97. 1205251948 -1.063 0.497 0.15 VB
98. 1205252116 -0.736 0.393 0.32 VB
99. 1205261004 1.916 1.257 -0.154 VB
2. Tabel nilai koefisian atenuasi (α)
No. Waktu kejadian gempa Koefisien atenuasi gelombang gempa (α) (dB/λ)
EMP KIN SEA WLN (UD) WLN(EW) WLN (NS)
10. 1205020753 -5.00E-02 -4.00E-02 -7.00E-02
11. 1205020758 -1.30E-01 -1.20E-01 -9.00E-02
12. 1205020826 -1.20E-01 -1.50E-01 -1.10E-01
13. 1205020826 -9.00E-02 -1.40E-01 -6.00E-02
14. 1205020845 -2.80E-01 -4.00E-01 -1.70E-01 -5.90E-01
15. 1205020915 -8.00E-02 -1.60E-01 -8.00E-02 -2.20E-01
16. 1205020932 -2.10E-01 -2.80E-01 -6.00E-02 -9.00E-02
17. 1205041343 -2.60E-01 -2.70E-01 -1.10E-01 -1.80E-01
18. 1205051158 -9.00E-02 -3.10E-01 -7.00E-02 -1.00E-01
19. 1205060856 -5.00E-02 -1.30E-01 -4.00E-02
20. 1205061231 -1.20E-01 -1.20E-01 -5.00E-02
21. 1205061256 -1.60E-01 -3.20E-01 -5.00E-02 -9.00E-02
22. 1205070923 -1.20E-01 -1.70E-01 -1.40E-01 -1.40E-01
23. 1205080753 -2.60E-01 -2.40E-01 -1.00E-01 -2.70E-01
24. 1205082203 -1.10E-01 -1.70E-01 -4.00E-02
25. 1205082359 -1.70E-01 -2.40E-01 -5.00E-02
26. 1205121011 -2.40E-01 -1.20E-01 -5.00E-02
27. 1205121725 -1.60E-01 -1.20E-01 -8.00E-02 -7.00E-02
28. 1205121953 -1.50E-01 -1.00E-01 -5.00E-02 -1.20E-01
29. 1205130555 -8.00E-02 -8.00E-02 -7.00E-02 -1.00E-01