• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep ruang dan waktu dalam primbon serta aplikasinya pada masyarakat jawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep ruang dan waktu dalam primbon serta aplikasinya pada masyarakat jawa"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP RUANG DAN WAKTU DALAM PRIMBON

SERTA APLIKASINYA PADA

MASYARAKAT JAWA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh:

Bay Aji Yusuf NIM: 101032121611

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul KONSEP RUANG DAN WAKTU DALAM PRIMBON

SERTA APLIKASINYA PADA MASYARAKAT JAWA telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta pada 27 Juli 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada Program Studi

Perbandingan Agama.

Jakarta, 27 Juli 2009

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dra. Ida Rosyidah, M.A. Maulana, M.A.

NIP: 19630616 199003 2002 NIP: 19650207 199903 1001

Anggota,

Prof. Suwarno Imam S Drs. Agus Darmaji, M.Fils. NIP: 150 033 254 NIP: 19610827 199303 1002

(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur bagi Allah SWT atas segala

limpahan hidayah, rahmat dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga Allah limpahkan kepada

Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia menuju kehidupan

yang lebih berperadaban.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam menyelesaikan penulisan

skripsi ini terdapat banyak uluran tangan dari berbagai pihak. Oleh karena itu

ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada

pihak-pihak tersebut, terutama kepada :

1. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Dr. M. Amin Nurdin, MA; Ketua

Jurusan Perbandingan Agama, Dra. Ida Rosyidah, MA; Sekretaris Jurusan,

Maulana, MA; serta seluruh civitas akademika Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Hamid Nasuhi, MA selaku pembimbing dalam penulisan skripsi ini

yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaganya serta kesabaran

memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga membuka

cakrawala berpikir dan nuansa keilmuan yang baru.

3. Prof. Suwarno Imam S dan Drs. Agus Darmaji, M. Fils selaku penguji

penulisan skripsi ini yang telah menguji penulis dengan teliti sehingga

skripsi ini menjadi lebih baik.

4. Ayahanda, Tubagus Asmamuni R.H. dan Ibunda, Babay Chapsyah yang

penulis cintai dan hormati sepanjang hidup, yang dengan rasa cinta dan

(4)

penulis hingga sekarang ini. Munajat yang beliau gubah di setiap waktu

telah memberikan kekuatan lahir dan batin bagi penulis dalam mengarungi

bahtera kehidupan.

5. Kakanda-kakanda tercinta, Ir. Tb. Bay Adam Hasyim beserta Istri, Tb. Bay

Amri Hakim, S.Ag beserta istri dan Adinda-adinda tersayang, Tb. Bay

Harkat Firdaus, Tb. Bay Ageng Rochman, dan Tb. Bay Achmad Al-Imam

yang tak pernah henti memberikan semangat dan motivasi kepada penulis.

Mereka merupakan telaga inspirasi yang tak pernah kerontang.

6. Kawan-kawan jurusan Perbandingan Agama angkatan 2001-2002 yang

telah mendahului dan yang masih tertinggal di kampus.

7. Ade “Faiz” Faizal yang telah banyak berkorban dan direpotkan penulis

dari awal sampai akhir penulisan skripsi ini.

8. Aa Isol (terima kasih telah memberi spirit yang luar biasa). Rahman Halim dan Aip Ngaco (terima kasih untuk saran-sarannya), Shopienya Pippo

(terima kasih untuk printernya), Ridwan Barqoi (terima kasih untuk

pinjaman uangnya), Hasiolan (terima kasih sudah menemani penulis dari

awal menyerahkan proposal skripsi sampai sidang munaqosyah), Rizky

Syam (terima kasih telah menyediakan konsumsi untuk sidang), Bang Idik

dan Agien (terima kasih untuk kamera dan pemotretan sidang), Bang

Bogs, Bang Idik, Anton, Rifki Arsilan, Rio, Jhonday, Cuplay, Oland,

Agin, Bohal (terima kasih atas kehadirannya pada sidang munaqosyah).

9. Keluarga Besar KM. UIN JAKARTA (dari Senior sampai Junior); Bang Bogs, Bang Mixil, Bang Irfan, Bang Awa, Bang Sahal dan Teh Iyuy, Bang

(5)

Nyong, Dedi CS, Ibing Lasso, Mumun, Ebe dan Noey, Mustoleh Borang,

Roni van Java, Paskih Hidayat, Hasiolan, Husni Mubarok, Rifki Arsilan,

Ridwan Fokus, Akbar el-Wasil, Rizky Syam, Yoga, Cak Iphoenk, Itba

Pedro, Ka Joy, Ka Roy, Jhonday, Munir Zhiro-zhiro, Trio Rio, Bung

Adam, Paung, Cepot, Syifa, Agien, Uchil, Rahma Dahsyat, Upie

Soulmate, Soraya, Lupus, Pippo, Manto, Cuplu, Mumu, Syifak, Panden,

Surya Deno, Alan Pamungkas, Andai, Pandai, Adit, Ridwan Barqoi, Hj.

Mahesa, Ncek, Aang, Pandai, Cuplay dan lain-lain.

10.Keluarga Besar penghuni Pondok Mungil (Bang Bhotz, Joy Kutil, Dens

Gembel, Ebi Kambing, Sindu, Adit Bulu, Tebe dan lain-lain), Keluarga

Besar Pisangan (Bang Idik, Bang Ojie, Bang Bhul, Ghalo, Awe, Chipluks,

Dhepaks), Keluarga Besar KPA Arkadia (Ncang Bendo, Bang Jaing, Bang

Dedi Black, Jangkar, Khole, Juho, Muchel, Basis Kecap dan lain-lain),

Keluarga Besar penghuni Pohon Sukun (Bang Ats, Nyamuk, Risdiklat,

Ajhon, Baginda, Alan Sumanjaya, Ibing Lasso), Keluarga Besar Gank

Sanyo, Keluarga Besar HIMATA dan HMB, Keluarga Besar Teater

Syahid, Keluarga Besar FORDIS, Keluarga Besar FAC, Keluarga Besar

Partai Boenga, Keluarga Besar KM. Raya, Keluarga Besar Tambal Band,

Keluarga Besar Wali Band, Kawan-kawan Pesanggrahan dan sekitarnya,

Kawan-kawan TK, SD, Ibtidaiyah, Diniyah, Tsanawiyah, Aliyah.

11.Wanita-wanita yang pernah “hinggap” dan yang masih “hinggap” dalam

kehidupan penulis yang selalu memotivasi penulis untuk menyelesaikan

kuliah.

(6)

Akhirnya penulis hanya bisa berdoa semoga dukungan, bimbingan,

perhatian, dan motivasi dari semua pihak kepada penulis selama perkuliahan

sampai selesainya skripsi ini menjadi amal ibadah dan bisa memberikan manfaat

pada penulis khususnya dan para pembaca karya ini pada umumnya. Amin.

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Metodologi Penelitian... 6

D. Tujuan Penulisan ... 6

E. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II SEJARAH PENULISAN PRIMBON A. Definisi Primbon ... 8

B. Lintasan Sinkretisme Jawa... 11

1. Sinkretisme Hindu Jawa... 11

2. Sinkretisme Jawa-Islam ... 14

C. Muncul dan Berkembangnya Primbon ... 20

BAB III KONSEP RUANG DAN WAKTU DALAM PRIMBON A. Definisi Ruang dan Waktu ... 26

1. Definisi Ruang ... 27

2. Definisi Waktu... 28

B. Konsep Ruang dalam Primbon... 29

(8)

BAB IV APLIKASI PRIMBON PADA MASYARAKAT JAWA

A. Perhitungan Waktu dalam Primbon... 33

B. Perhitungan Ruang dalam Primbon... 35

C. Aplikasi Primbon Pada Masyarakat Jawa... 38

1. Membaca Jodoh dalam Primbon ... 41

2. Membaca Gejala Alam dalam Primbon ... 48

BAB V PENUTUP A....Kes impulan ... 50

B....Sar an ... 52

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyebaran agama Islam di pulau Jawa segera diikuti dengan

berkembangnya kepustakaan Islam, baik yang tersurat dalam bahasa dan huruf

Arab, atau yang telah digubah dalam bahasa Melayu. Berkembangnya

kepustakaan agama Islam, ternyata dengan cepat mempengaruhi

perkembangan tradisi dan kepustakaan Jawa.

Pada masa Demak berkuasa, pengaruh kepustakaan Islam menimbulkan

jenis kepustakaan Jawa yang isinya mempertemukan tradisi Jawa yang oleh

Simuh disebut kepustakaan Islam kejawen. Kepustakaan Islam kejawen ini lebih berkembang kemudian pada masa kerajaan Mataram, terutama dalam

pemerintahan Sultan Agung.

Masa keemasan Sultan Agung rupanya bukan hanya terlihat dalam

kekuatan militernya yang mampu menundukkan

pemberontakan-pemberontakan di wilayah pesisir yang didukung golongan santri, melainkan

juga berperan dalam perkembangan sosial-budaya.1

Perbedaan antara masyarakat pesantren yang mempergunakan

perhitungan tahun Hijriyah, dengan masyarakat kejawen yang umumnya tetap berpegang pada tahun Saka, menimbulkan masalah sosial yang cukup rumit. Untuk kokohnya sendi kerajaan perlu ada kompromi dari kedua sistem

perhitungan tahun tersebut.

1

(10)

Pada tahun 1633 Masehi, Sultan Agung berhasil menyusun dan

mengumumkan berlakunya sistem perhitungan tahun yang baru bagi seluruh

kerajaan Mataram, yakni perhitungan tahun Jawa, yang hampir secara

keseluruhan menyesuaikan dengan tahun Hijriyah, berdasarkan atas perjalanan

bulan. Namun awal perhitungann Jawa ini tetap pada tahun satu Saka, yaitu tahun 78 Masehi.2

Bagi masyarakat pesantren, tidak ada masalah untuk menerima

perhitungan tahun Jawa yang dibuat oleh Sultan Agung, karena tahun Jawa

disesuaikan dengan tahun Hijriyah yang berdasarkan atas peredaran bulan, dan

begitu juga nama-nama hari dan bulan mempergunakan nama-nama yang

terdapat dalam pesantren. Sebaliknya bagi masyarakat kejawen, perubahan dari tahun Saka yang berdasarkan atas peredaran matahari ke tahun Jawa yang berdasarkan peredaran bulan, sebenarnya menghadapi persoalan yang cukup

rumit. Namun persoalan ini dapat diatasi, karena awal perhitungan tahun Saka tetap dipertahankan. Dengan cara demikian, Sultan Agung berhasil

menyeragamkan perhitungan tahun di antara masyarakat pesantren dengan

masyarakat kejawen pada umumnya. Kesatuan perhitungan tahun sangat penting bagi penulisan Serat, Babad, dan pelaksanaan tradisi kejawen. Di samping itu, pembaharuan perhitungan juga merupakan sumbangan yang

sangat penting bagi perkembangan proses Islamisasi tradisi dan kebudayaan

Jawa, yang telah berlangsung semenjak berdirinya kerajaan Jawa-Islam

Demak.3

2

Simuh, Mistik Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, h. 12.

3

(11)

Konversi dari kerajaan Hindu-Buddha ke Islam menimbulkan jenis

kepustakaan Jawa yang isinya mempertemukan tradisi Jawa yang disebut

primbon, serat dan suluk. Dalam hal ini Simuh menamakannya dengan Kepustakaan Islam Kejawen. Berdirinya kerajaan Mataram ternyata lebih menyuburkan perkembangan kepustakaan Islam kejawen.

Primbon sebenarnya dikenal di berbagai suku di Nusantara, tetapi

tampaknya lebih menggejala pada masyarakat Jawa, Bali, dan Lombok.4

Bahkan Alfani Daud menemukan tradisi perhitungan waktu primbon pada

masyarakat Islam Banjar.5

Ajaran dalam primbon, erat kaitannya dengan waktu. Sehingga ketika di

Jawa terjadi konversi dari tahun Saka yang menggunakan perhitungan matahari menjadi tahun Jawa yang menggunakan perhitungan peredaran bulan

memunculkan konsekuensi yang sangat tinggi bagi perhitungan primbon yang

menjadi pegangan masyarakat Jawa.

Dalam masyarakat Jawa, waktu adalah tatanan yang berada di luar

semua hal, termasuk manusia dan peristiwa-peristiwa. Terdapat suatu waktu

yang asali dan primordial, dan semua peristiwa berakar dalam waktu asali itu, serta mendapatkan identitas dan mutunya di sana. Semua peristiwa alami

dikuasai oleh takdir, dan semua peristiwa manusiawi harus menyesuaikan diri

dengan keteraturan yang telah ditetapkan. Arti waktu bagi seseorang dapat

berbeda dengan arti waktu bagi yang lain. Setiap orang memperoleh ketentuan

waktunya sendiri-sendiri, bagi seseorang merupakan waktu yang baik, bagi

4

Jacob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia (Jakarta: Qalam, 2002), h. 81.

5

(12)

yang lain tidak baik. Waktu itu bukan linear, tetapi siklis, teratur dalam periodisitas-periodisitas.6

Selain itu masyarakat Jawa memandang semua penghuni kosmos memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Seluruh kosmos besar ini semuanya memiliki tempatnya sendiri-sendiri yang saling berhubungan dan saling

melengkapi. Ruang geografis sangat dipentingkan, dengan tempatnya yang

relatif. Tempat konkret itu menentukan kedudukan seseorang, juga tempatnya dalam kosmos ini.7 Takdir atau nasib manusia ditentukan oleh kedudukan waktu pada saat manusia hadir di dunia ruang. Maka pemahaman tentang

waktu ini memegang peranan kunci dalam memahami tempat manusia di

dunia.

Setiap benda dan peristiwa di dunia ini sering tergantung dalam

ketertiban agung ruang absolut. Bumi ini juga tergantung dalam tata tertib rotasi bulan dan matahari. Matahari dan bulan tergantung pada tata tertib

jalannya bintang-bintang. Dan bintang-bintang seluruh semesta tergantung

pada ruang absolut.8

Tidak bisa dipungkiri bahwa kemunculan primbon merupakan sintesa

dari kebudayaan Jawa kuno yang telah mapan dengan kebudayaan Islam yang

datang kemudian. Sultan Agung Mataram merupakan tokoh yang sangat

berperan penting dalam mensinteSakan kedua kebudayaan tersebut. Ia mengubah perhitungan tahun Saka Jawa kuno yang menggunakan perhitungan

6

Jacob Soemarjo, Arkeologi Budaya Indonesia, h. 85.

7

Ibid., h.86.

8

(13)

matahari (syamsiyah) dengan perhitungan bulan (qamariyah) dan memulai angka tahunnya dengan tahun Saka.9

Dengan demikian perhitungan tahun yang digunakan adalah

menggunakan perhitungan bulan seperti halnya tahun Hijriyah, namun

memulai angka tahunnya dengan perhitungan tahun Saka, sehingga muncullah perhitungan Jawa dengan menetapkan hari-hari pasaran seperti Pon, Wage, Pahing, Kliwon, dan Legi. Perhitungan waktu yang digunakan primbon yang banyak ditulis pada masa Mataram Islam merupakan buah karya dari

pemikiran Sultan Agung.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar pembahasan skripsi ini tidak meluas, perlu adanya pembatasan

yang jelas dalam penulisannya. Setidaknya penulisan skripsi ini bukan untuk

merasionalkan primbon atau menjelaskan sisi irasonalnya, melainkan untuk

melihat sejauh mana konsep ruang dan waktu dalam tradisi primbon tersebut

serta hubungannya dalam kehidupan beragama.

Penulisan skripsi ini dirumuskan dalam satu pertanyaan:

1. Bagaimana konsep ruang dan waktu dalam tradisi primbon serta

aplikasinya dalam masyarakat Jawa?

9

(14)

C. Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan 1. Metodologi Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian library research, yakni dengan menelusuri sumber-sumber pustaka yang berhubungan dengan tema yang dibahas. Bahan-bahan berupa buku primer dan sekunder, kitab, naskah kuno dan artikel yang diperoleh dari beberapa perpustakaan baik

Perpustakaan Fakultas, Perpustakaan Universitas, Perpustakaan Nasional, dan

Perpustakaan Daerah. Adapun buku primer yang menjadi referensi dalam

penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku Primbon Betaljemur Adammakna karya Harya Tjakraningrat edisi bahasa Indonesia.

2. Teknik penulisan

Teknik penulisan dalam skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” yang diterbitkan CeQDA (Center For Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2006 M./1427 H.

D. Tujuan Penulisan

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk:

1. Memperluas khazanah intelektual

2. Memahami konsep ruang dan waktu dalam primbon serta mencari

(15)

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terbagi menjadi 5 bab. Bab 1, Berisi tentang signifikansi tema

yang diangkat, pembatasan dan perumusan masalah, metodologi penelitian

dan teknik penulisan, tujuan penulisan serta sistematika penulisan. Bab 2,

menjelaskan sejarah munculnya primbon dengan melihat kondisi sosial

keduanya serta perkembangannya hingga sekarang.

Pada bab 3, menguraikan definisi Ruang dan Waktu menurut para filosof,

konsep ruang dan waktu dalam tradisi primbon.

Sementara pada bab 4, membahas tentang aplikasi primbon pada

masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-hari yang berupa perhitungan dalam

melakukan segala sesuatu. Bab 5, berisi tentang kesimpulan penelitian serta

(16)

BAB II

SEJARAH PENULISAN PRIMBON

A. Definisi Primbon

Primbon merupakan buku yang berisi perhitungan, perkiraan, ramalan

dan sejenisnya mengenai hari baik dan buruk untuk melakukan segala sesuatu,

serta perhitungan untuk mengetahui nasib dan watak pribadi seseorang

berdasarkan hari kelahiran, nama dan ciri-ciri fisik.10 Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer disebutkan bahwa primbon merupakan kitab yang berisi ramalan perhitungan baik, buruk dan sebagainya.11 Umumnya primbon

bersifat anonim. Kalaupun ada nama yang tertera, sebagian besar hanya merupakan penyusunnya saja. Kecuali seri Betaljemur Adammakna yang ditulis pangeran Harya Tjakraningrat dari kesultanan Yogyakarta.

Suwardi Endraswara menyebutkan bahwa primbon merupakan gudang

ilmu pengetahuan. Mistikus Jawa disebut juga primbonis. Karena segala gerak

dan tingkah lakunya didasarkan pada kitab primbon. Karena primbon memuat

berbagai macam persoalan hidup.

Dalam hal ini Suwardi membagi ajaran primbon sebagai berikut:12

1. Pranata Mangsa

Merupakan cara membaca gejala alam semesta. Atau disebut juga

tafsir ngalam semesta. Biasa digunakan kaum tani pedesaan untuk menghitung waktu tandur (menanam padi) atau nelayan untuk mengetahui waktu melaut.

10

Behrend, Primbon (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2001), h. 2.

11

Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: DEPDIKBUD, 1991), h. 1191.

12

(17)

2. Petungan

Petungan merupakan hitung-hitungan neptu (nilai numerik). Misalnya dalam mencari kecocokan jodoh, nama laki-laki dan perempuan

dihitung sedemikian rupa sesuai dengan abjad Jawa yang 20, kemudian

dibagi tujuh. Maka sisanya adalah kondisi yang akan terjadi jika menikah.

3. Pawukon

Pawukon Merupakan rumusan perhitungan waktu, baik hari, pasaran, bulan ataupun tahun

4. Pengobatan

Merupakan wejangan pengobatan tradisional. 5. Wirid

Wirid, biasanya berupa sastra Wedha. Di dalamnya terkandung pesan, sugesti, larangan yang menuju ke suatu titik mistik. Yang bertujuan

agar terciptanya keharmonisan manusia Jawa dengan sesamanya, alam

semesta dan Tuhan.

6. Aji-Aji

Aji-aji merupakan gambaran hidup supranatural orang Jawa. Menurut masyarakat kejawen, mantra memiliki kekuatan supranatural yang luar biasa jika diyakini.

7. Kidung

Syair yang berisi wejangan dan sebagainya.

8. Ramalan/Jangka

(18)

bersifat luas, seperti apa yang terjadi dalam masyarakat diramalkan dalam

Jangka Jayabaya. 9. Tata Cara Slametan

Merupakan tata cara ritual orang Jawa sebagai tanda syukur, tolak

bala ataupun yang lainnya.

10.Donga/Mantra

Donga atau mantra seperti halnya wirid dan aji-aji, tetapi menggunakan ayat-ayat al-Qur’an yang ejaannya dijawakan.

11.Ngalamat/Sasmita Gaib

Ngalamat biasanya berupa fenomena aneh di alam semesta.

Masyarakat kejawen menganggap fenomena ganjil tersebut sebagai pertanda.13

Primbon merupakan catatan-catatan yang dianggap penting mengenai

segala sesuatu yang berhubungan dengan pedoman hidup dan tatanan tradisi.

Dalam primbon, misalnya, terdapat catatan mengenai berbagai mantra dan

rumusan mencari waktu-waktu tertentu yang dianggap baik (untung; Jawa) untuk melakukan segala sesuatu dan waktu-waktu yang dianggap jelek (naas; Jawa) untuk melakukan sesuatu.

Primbon yang tertua ditulis pada masa Mataram Islam. Ini menunjukkan

bahwa sebelum Mataram, bahkan sebelum masuknya Islam ke Jawa, Primbon

belum didokumentasikan secara tertulis. Namun demikian, akar primbon yang

berupa ramalan astrologi telah lama dengan Serat Jayabaya atau yang biasa dikenal sebagai ramalan Jayabaya.14

13

Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa (Tangerang: Cakrawala, 2003), h. 119.

14

(19)

Perhitungan Jawa yang digunakan dalam primbon baru ditetapkan oleh

Sultan Agung setelah melihat dua masyarakat yang hidup di Jawa, yang oleh

Clifford Geertz disebut, Santri dan Abangan.15 Rupanya Sultan Agung hendak mendamaikan masyarakat Santri yang menggunakan perhitungan Hijriyah (bulan) dan masyarakat Abangan yang menggunakan perhitungan tahun Saka (matahari). Ia kemudian menetapkan perhitungan Jawa dengan menggunakan

perhitungan bulan, diambil dari kalender Hijriyah, namun dimulai dari tahun

Saka saat itu serta menggunakan nama-nama pasaran Jawa (Pon, Wage, Pahing, Kliwon dan Legi,).16 Perhitungan inilah yang digunakan dalam primbon.

B. Lintasan Sinkretisme Jawa 1. Sinkretisme Hindu Jawa

Semenjak awal Masehi, tradisi kebudayaan Jawa yang telah mapan

mulai menyerap pengaruh agama dan unsur-unsur kebudayaan

Hindu-Buddha. Dari pelacakan sejarah bisa disimpulkan bahwa datangnya

pengaruh Hindu-Buddha melalui lapisan atas. Yakni melalui penggubahan

para cendekiawan Jawa yang mengenal bahasa Sansekerta dan dapat

membaca kepustakaan Hindu, terutama karya-karya sastra keagamaan

Mahabarata dan Ramayana. Oleh karena itu, J.W.M. Bakker dalam bukunya Agama Asli Indonesia menyimpulkan bahwa agama Hindu dan Buddha tidak diterima secara utuh di Jawa. Akan tetapi melalui proses

Jawanisasi. Selain itu, pengaruh Hindu dan Buddha hanya mengakar pada

15

Clifford Geertz, Santri, Priyai, Abangan (Yogyakarta: Ganesha, 1981), h. 102.

16

(20)

lapisan atas masyarakat Jawa. Sedangkan lapisan bawah di pedesaan

umumnya tetap dikuasai alam pikiran dan tradisi animisme-dinamisme.17 Yang menarik, pengaruh Hindu ini bisa dimanfaatkan oleh lapisan

cendekiawan Jawa untuk menciptakan kebudayaan tulisan. Sehingga

muncullah berbagai macam karya sesudah cendekiawan Jawa menggubah

tulisan Hindu menjadi huruf Jawa yang terkenal sebagai abjad

hanacaraka”. Masyarakat Jawa juga meminjam perhitungan tahun Saka menjadi alat mencatat peristiwa-peristiwa sejarah mereka. Dengan

demikian, pengaruh Hindu meningkatkan taraf kebudayaan Jawa dari tradisi

lisan menjadi tradisi tulisan. Selain itu, pengaruh Hindu juga memunculkan

lapisan cendekiawan Jawa yang makin lama kekuasaannya makin luas,

sehingga lapisan ini menjelma menjadi lapisan para priyai Jawa.

Berkaitan dengan meluasnya kekuasaan lapisan priyai, maka

muncullah kerajaan-kerajaan Jawa-Hindu baik di Jawa Tengah (Mataram

kuno), Jawa Barat dan kemudian Jawa Timur yang puncak kebesarannya

pada masa Majapahit. Maka sebagai hasil pengolahan unsur-unsur

Hinduisme yang terutama dikelola oleh para priyai Jawa beserta sastrawan

dan budayawannya, tradisi kehidupan dan kebudayaan Jawa tersusun dua

lapis, yakni lapisan atas (priyai) dan lapisan bawah di pedesaan.18

Masyarakat petani pedesaan yang merupakan mayoritas dan yang

menjadi lapisan bawah tetap pada tradisi religi animisme-dinamisme, di mana pengaruh Hindu-Buddha hanya menjamah bagian luarnya. Adapun

kehidupan kepercayaan dan tradisi kehidupannya tetap dijiwai religi

17

Rahmat Subagja, Agama Asli Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), h. 43.

18

Suwarno Imam, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam Berbagai Kebatinan Jawa

(21)

aslinya. Sebaliknya, lapisan priyai yang mengembangkan kebudayaan

istana sangat dipengaruhi filsafat ajaran Hindu-Buddha dan menjelma

menjadi kebudayaan yang halus dan tinggi. Tradisi kehidupan masyarakat

pedesaan masih tetap mengandalkan kebudayaan lisan, sebaliknya, tradisi

kehidupan masyarakat istana telah beralih ke kebudayaan tulisan.19

Meskipun kehidupan lapisan para priyai tidak melepaskan tradisi

animisme-dinamisme asli, atau bahkan diganti dengan Hinduisme, namun perbedaan antara lapisan wong cilik (desa) dengan peradaban lapisan priyai yang lebih halus dan tinggi cukup mencolok.

Dalam perkembangan kehidupan masyarakat dan kebudayaan Jawa

yang makin dijiwai oleh sikap dan faham feodalisme, maka lapisan masyarakat dan kebudayaan priyai yang halus merupakan tipe ideal bagi

masyarakat pada umumnya. Sehingga sikap hidup orang pedesaan pada

umumnya berusaha meniru gaya hidup priyai.

Bisa disimpulkan bahwa taraf peradaban seseorang diukur dari

seberapa jauh ia sanggup meniru tata cara dan gaya priyaisme ini. Simuh menyebut model masyarakat seperti ini sebagai “Negara Teater”. Di mana

masyarakat pedesaan mengkiblat gaya kehidupan istana seperti para

penonton memusatkan perhatian pada tingkah laku pemain drama yang

sedang berkiprah di atas panggung. Itulah puncak kebesaran kerajaan

Majapahit yang kemudian harus dihadapi para penyebar agama baru, yaitu

Islam.

19

(22)

Adanya dua lapisan sosial dengan dua tipe budaya yang tingkat

perbedaannya cukup menonjol, langsung atau tidak pasti akan mewarnai

corak interaksi antara agama dan kebudayan Islam dengan tradisi kejawen.20

2. Sinkretisme Jawa-Islam

Berdirinya kesultanan Demak yang merupakan kekuasaan Islam,

meskipun tidak berumur panjang, tetapi mempunyai arti yang sangat

penting bagi penyebaran agama dan kebudayaan Islam. Begitu pentingnya

kedudukan kesultanan Demak, sehingga sastrawan Jawa yang menciptakan

Serat dan Babad menjadikannya sebagai titik tolak zaman peralihan. Yaitu peralihan dari zaman Hindu-Buddha ke zaman Islam.

Dari hasil penelitian sejarah, diperkirakan bahwa agama Islam

menyebar ke Indonesia, khususnya di Jawa, melalui jaringan perdagangan

dan pengembaraan ulama-ulama Sufi yang merupapkan juru dakwah

sesudah kekhalifahan Baghdad runtuh pada tahun 1258 M. Sangat mungkin

guru-guru Thariqat mengembara sambil berdagang dan menyiarkan agama. Hal ini dikuatkan dengan corak pemikiran Islam Nusantara yang sejak

semula amat diwarnai ajaran Sufisme (tasawuf). 21

Setidaknya sejak abad ke-13 M, Islam menjadi kekuatan baru di

Nusantara dengan munculnya kesultanan Samudera Pasai di Aceh yang

beragama Islam. Namun baru pada abad ke-16 M kekuatan politik Islam

baru menonjol dengan berdirinya kesultanan Demak. Demikian pula

pengaruh pemikiran keagamaan yang menonjol muncul pada abad ke-16 M.

20

Suwarno Imam, Konsep Tuhan, Manusia, h. 54.

21

(23)

Di Jawa muncul naskah-naskah yang memuat ajaran-ajaran

ke-Islaman, terutama Tasawuf dengan ditemukannya naskah berabjad Jawa

yang disebut sebagai het boek van bonang. Demikian pula di Aceh, pada abad 16 M mulai muncul naskah-naskah Melayu yang berisi ajaran

ke-Islaman yang terutama hasil karya empat tokoh ulama sufi Hamzah Fansuri,

Syamsudin Sumatrani, Al Raniri dan Abdul Rauf Sinkel.

Lambat laun, agama Islam menyebar dan diterima masyarakat,

terutama masyarakat pesisir Jawa yang tidak terlalu terkena pengaruh

Hindu. Oleh karena itu daerah pesisir merupakan ladang yang paling subur

bagi penyebaran agama baru (Islam), karena di daerah tersebut sangat tipis

menerima pengaruh Hindu-Buddha. Setelah itu maka segera muncul sistem

pendidikan dan pengajaran agama, walaupun sederhana, namun cukup

teratur yang kemudian terkenal dengan sebutan pesantren.

Nama santri sendiri merupakan warisan dari kosa-kata Hinduisme,

namun isinya adalah Islam. Maka penyebaran agama Islam merupakan

kekuatan peradaban baru yang mulai mengakar di sepanjang pesisir pulau

Jawa sebagai basis kekuatannya, dan secara perlahan memasuki pedalaman

yang didominasi pengaruh Hindu-Buddha dan kepercayaan Jawa asli. Islam

yang menyebar pesat pada akhirnya memudarkan kekuasaan Majapahit

yang merupakan benteng terakhir bagi kerajaan Jawa-Hindu, dan kemudian

runtuh pada tahun 1518 M.22

Runtuhnya kekuasaan Majapahit disusul dengan berdirinya kerajaan

Demak yang merupakan pewaris tradisi Majapahit. Beralihnya kekuasaan

22

(24)

secara damai ke tangan kesultanan Demak tidak berarti melenyapkan

peradaban Istana Majapahit, melainkan terjadinya proses Islamisasi secara perlahan terhadap peradaban Istana Jawa-Hindu tersebut.23

Dengan peralihan kekuasaan dari Kerajaan Hindu-Jawa pedalaman ke

kerajaan Islam pesisir, yang kemudian diikuti konversi agama dari

Hindu-Buddha ke Islam, artinya dalam pemerintahan zaman feodal dengan konsep “Negara Teater”, maka agama masyarakat Jawa berkiblat pada agama

rajanya. Sehingga masyarakat Jawa banyak memeluk Islam, meskipun

hanya sekedar mengucapkan syahadat tanpa dibarengi dengan kewajiban syari’at. Dari sini mulailah adanya dua varian dalam kalangan umat Islam Jawa, yakni Santri dan Abangan.24

Ciri yang membedakan antara dua varian di atas hanyalah pada taraf

keislaman mereka. Santri adalah yang telah menyadari dan mentaati rukun

Islam yang lima. Ukuran kesadarannya adalah ketaatan menjalankan Shalat

lima waktu yang merupakan tiang agama. Adapun varian Abangan belum aktif melakukan shalat lima waktu secara sadar, namun dengan pengakuan

dan penerimaan dua kalimah syahadat, berarti mereka sudah Islam.

Menurut Purbatjaraka, peralihan kekuasaan dari Majapahit ke Demak

menyebabkan para Priyai dan Cendekiawan Jawa yang kehidupannya

bergantung pada istana, akhirnya harus mendekati sastrawan dan

budayawan Jawa dengan tokoh-tokoh pesantren pendukung kesultanan

Demak. Bahkan banyak pula para cendekiawan dan para priyai Jawa yang

23

H.J. De Graaf dan Pegeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa (Jakarta: Grafiti Pers, 1986), h. 3.

24

(25)

kemudian berguru pada para penyebar Islam yang dikenal dengan sebutan

Wali.

Sebuah contoh, dalam Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa Jaka Tingkir dari daerah pedalaman pergi ke Demak. Akhirnya Jaka Tingkir

diambil menantu Sultan Demak. Jaka Tingkir merupakan priyai kejawen yang kemudian berguru pada Sunan Kudus, seorang wali yang disucikan

masyarakat Jawa. Di dalam pesantren Kudus ini, Jaka Tingkir menjadi

teman seperguruan Arya Panangsang, seorang pemuka masyarakat Santri dari Jipang.25

Proses mengalirnya para priyai Jawa ke Demak diikuti dengan

pertemuan kebudayaan istana dengan kebudayaan pesantren. Menurut

Purbatjaraka, hal ini menyebabkan munculnya kitab-kitab Jawa yang

memuat hal-hal keIslaman. Memang semenjak berdirinya kesultanan

Demak pada abad ke-16 M, mulai nampak terjadinya akulturasi kebudayaan Jawa-Hindu dengan kebudayaan pesantren.

Dalam hal ini yang paling berperan adalah para sastrawan dan

budayawan yang bertujuan memperkaya dan meningkatkan warisan budaya istana masa lalu. Simuh menyebut proses ini sebagai Islamisasi warisan budaya istana, bukan Jawanisasi Islam. Hal ini berdasarkan empat pertimbangan.26

25

W.L. Olthof (penyusun), Babad Tanah Jawi Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647

(Yogyakarta: Narasi, 2007), h. 47.

26

(26)

Pertama, warisan budaya istana yang sangat halus dan adi luhung pada zaman Islam hanya bisa dipertahankan dan dimasyarakatkan apabila

dipadukan dengan unsur Islam.

Kedua, para pujangga dan sastrawan Jawa sangat memerlukan bahan untuk berkarya. Sedangkan hubungan dengan Hinduisme telah terputus

pada masa kekuasaan Islam. Satu-satunya sumber yang mendampingi

kitab-kitab kuno hanya kitab-kitab-kitab-kitab pesantren, baik dari naskah melayu, Jawa

Pegon, atau Arab. Selain itu, para pujangga dan sastrawan Jawa tahu betul

bahwa dalam lingkungan pesantren terdapat sumber-sumber konsep

ketuhanan, etika dan falsafah kebatinan yang kaya. Hal itu menguatkan

pengkajian para sastrawan dalam memperkaya khazanah budaya Jawa.

Ketiga, pertimbangan stabilitas sosial budaya dan politik. Adanya dua lingkungan budaya, yakni pesantren dan kejawen perlu dijembatani agar terjalin saling pengertian dan menghindarkan atau mengeliminasi

konflik-konflik yang mungkin terjadi. Salah satu contoh yang jelas adalah usaha

Sultan Agung untuk menggabungkan perhitungan kalender Saka dengan Hijriyah.

Keempat, pihak istana sendiri sebagai pendukung dan pelindung agama, tentu merasa perlu mengulurkan tangan untuk menyemarakkan siar

Islam. Maka semenjak Sultan Demak, muncullah upacara keagamaan yang

disebut Sekaten, Grebeg Maulud dan sebagainya. 27

Pertimbangan-pertimbangan inilah yang memungkinkan proses

akuturasi sehingga membagi Islam Jawa menjadi dua varian. Di dalam

27

(27)

kebudayaan pesantren, unsur-unsur kebudayaan Jawa yang dipandang tidak

bertentangan dengan syari’at Islam diinkulturasikan untuk mendukung

kebudayaan Islam.

Proses pengolahan unsur-unsur lama ke dalam Islam inipun mengalami

keberagaman pula. Bagi para santri di daerah-daerah pedesaan, di mana

unsur tarikat sangat dominan, mereka lebih bersikap akomodatif dengan

tradisi animisme-dinamisme warisan budaya lama. Maka perbedaan antara

yang telah nyantri dengan yang masih abangan hanya dalam taraf kesadaran

menjalankan Shalat lima waktu.

Istilah santri itu sendiri adalah contoh konkret dari proses inkulturasi

warisan budaya lama. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa akulturasi

bersifat evolutif, tidak serta merta berubah. Akar lama yang positif untuk mendukung suasana baru tidak akan tercabut sama sekali.

Adapun dalam kalangan Islam kejawen, yang terjadi sebaliknya, yaitu unsur-unsur Islam yang diserap dan diinkulturasikan dalam kebudayaan

Jawa. Sehingga warna Islamnya juga mengalami keberagaman. Dalam

masyarakat pedesaan di mana sistem religi animisme-dinamisme menguasai cara hidup mereka. Pengaruh Islam berjalan secara alamiah melalui

pergaulan dan dakwah. Dengan demikian, unsur-unsur Islam merembes dan diinkulturasikan dalam tradisi budaya pedesaan.

Sebagaimana dalam kebudayaan pesantren dalam menyerap dan

(28)

bertentangan dengan sufisme, hingga kini menurut Simuh belum dapat diterima.28

Proses sinkretisme dari Hindu-Buddha dengan kebudayaan asli Jawa hingga terjadi akulturasi dengan Islam yang datang kemudian,

memunculkan para intelektual yang tidak hanya bercorak ketuhanan dan

etika seperti Suluk, tetapi juga memunculkan filsafat kosmologi Jawa seperti primbon yang baru muncul pada masa Mataram.

C. Muncul dan Berkembangnya Primbon

Suatu hal yang mesti diketengahkan di sini adalah pertumbuhan dan

perkembangan sastra dan kepustakaan Islam kejawen. Kepustakaan Islam Kejawen mulai berkembang subur pada abad ke-17 hingga abad ke-19 M. Yakni sesudah beralihnya pusat kesultanan ke daerah pedalaman dalam masa

kekuasaan Pajang pada pertengahan abad ke-16 M dan kemudian disusul

dengan berdirinya kesultanan Mataram.29

Kesultanan Pajang berdiri setelah Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir)

sebagai menantu Demak menjadi penguasa setelah menang perang dengan

Arya Panangsang, Adipati Jipang, yang sama-sama merasa pewaris kerajaan

Demak setelah terbunuhnya Susuhunan Prawata pada tahun 1549 M.30

Sultan Hadiwijaya memilih Pajang di daerah pedalaman sebagai pusat

kerajaan karena ia berasal dari pedalaman, yakni keturunan Pengging. Selain

itu, sebagian besar pendukungnya berada di pedalaman. Berbeda dengan

Jipang yang banyak mendapat dukungan dari daerah pesisir. Namun

28

Simuh, “Kajian Keislaman dalam Pandangan Kejawen,” h. 8.

29

Hasanu Simon, Misteri Syeikh Siti Jenar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 436.

30

(29)

kesultanan Pajang tidak berlangsung lama dan digantikan kesultanan Mataram

di bawah kepemimpinan Panembahan Senapati (Sutawijaya) sejak tahun 1578

Masehi.

Dalam kesultanan Mataram ini, amat diraSakan perlunya mempertemukan tradisi kejawen dengan unsur-unsur kebudayaan pesantren atau pesisiran bagi terciptanya stabilitas sosial politik dan kebudayaan, yang

oleh H.J. De Graaf dinyatakan sebagai puncak kebesaran dan kekuasaan

Mataram.31

Semenjak masa kesultanan Demak, Pesantren merupakan satu-satunya

sistem pendidikan yang cukup teratur sesudah sistem pendidikan Mandala

pada masa Hindu tergusur. Sultan Mataram sendiri belum sempat mendirikan

sistem pendidikan secara teratur. Karena bukan merupakan kebutuhan yang

mendesak. Sehingga pada masa itu hingga pertengahan abad ke-19 M, para

Priyai Jawa, terutama calon sastrawan dan pujangga kenamaan seperti Yasadhipura, Ranggawarsita, Mangkunegara IV dan lainnya secara khusus

pada masa mudanya dikirim ke pesantren.

Pesantren merupakan pendidikan dengan kitab-kitab agama dan sastra

yang melimpah. Pengaruh sastra pesantren dan melayu yang juga telah

diislamkan menumbuhkan sastra pesisiran yang membentang sepanjang

daerah-daerah pesisir pulau Jawa dan Madura. Karya-karya sastra tersebut

merupakan sumber utama dalam mengembangkan dan memperkaya sastra

Jawa Kraton pada masa Mataram.

31

(30)

Setelah Sultan Agung berhasil menundukan bupati-bupati pesisiran dari

daerah pesantren yang tidak tunduk dan tidak mau mengakui kekuasaan

Mataram, maka hampir seluruh Jawa berada di bawah kekuasaan Mataram.

Persoalan yang sejak lama harus diatasi adalah stabilitas sosial, politik dan

budaya.

Sejak masa kesultanan Pajang, persoalan yang sangat rumit adalah

menghadapi perlawanan bupati-bupati pesisir yang mendapat dukungan

masyarakat pesantren dan legitimasi para wali. Masalah ini tidak hanya diatasi

dengan menggunakan kekuatan senjata saja.32

Sebagai raja yang bijaksana dan mempunyai wawasan sosial budaya

yang luas, Sultan Agung segera mempelopori langkah pembaruan sosial

budaya. Pada mulanya ia menggunakan politik integrasi dengan pernikahan.

Hal ini nampak dengan mengawinkan bupati Cakraningrat I, penguasa daerah

Madura dengan saudara perempuan Sultan sendiri. Demikian pula dengan

perkawinan Pangeran Pekik, bupati Surabaya dengan putri Pandan Sari,

saudaranya yang lain. Hal ini diikuti dengan upaya pendekatan kultural, yakni

pengislaman warisan kultur Jawa.

Nampaknya Sultan Agung juga menyadari benar bahwa di Jawa terdapat

dua kekuatan yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan

sejarah masyarakat Jawa pada umumnya. Yakni masyarakat pesantren dengan

budaya barunya, dan masyarakat kejawen yang masih terikat ketat warisan budaya lama yang ber-intikan mistik Hindu-Buddha. Jurang perbedaan ini

tercermin dalam cara mereka mempergunakan perhitungan tahun. Masyarakat

32

(31)

pesantren berpegang pada kalender Hijriyah atas dasar perjalanan bulan

(lunar/qamariyah), sedangkan masyarakat kejawen menggunakan tahun Saka atas dasar pergerakan matahari (solar/syamsiyah).

Sultan Agung berusaha menciptakan keselarasan dan stabilitas

sosial-politik bagi kebesaran kerajaan Mataram. Maka ditempuhlah sosial-politik Islamisasi

perhitungan tahun Saka yang dirubahnya jadi perhitungan tahun Jawa yang disesuaikan dengan Hijriyah yang menggunakan perhitungan bulan.

Penciptaan tahun Jawa yang mulai diberlakukan sejak tahun 1633 M

merupakan bentuk perpaduan antara perhitungan Hijriyah dan Saka. Karena secara keseluruhan menyesuaikan dengan tahun Hijriyah, baik mengenai

bilangan dan nama-nama hari setiap minggunya ataupun nama-namanya.

Namun awal perhitungan tahunnya tetap mempertahankan tahun Saka, yaitu bermula dari tahun 78 Masehi sebagai tahun pertama. Dengan demikian angka

tahun karya-karya kejawen sebelum tahun 1633 Masehi tidak perlu dirubah dan disesuaikan.33

Selain itu hari-hari kejawen disertakan dengan dan dipadukan dengan hari-hari Hijriyah menjadi hari pasaran, seperti Senin Pahing, Selasa Pon dan sebagainya. Maka perubahan itu tidak menimbulkan kegoncangan bagi

berlakunya tradisi dan ilmu kejawen. Oleh karena itu sistem perhitungan tahun Jawa ciptaan Sultan Agung ini cukup memuaskan kedua belah pihak, bisa

diterima dalam masyarakat pesantren dan kejawen tanpa menimbulkan kesulitan dan kegoncangan. Jadi sebenarnya tahun Jawa ini cukup unik,

karena merupakan perpaduan antara tahun Hindu, Jawa dan Islam.

33

(32)

Pergantian hitungan kalender Saka (matahari) ke hitungan Hijriyah (bulan) yang melahirkan kalender Jawa, mempunyai peranan yang sangat

besar bagi munculnya penulisan primbon. Karena memang, dasar penulisan

primbon adalah perhitungan Qamariyah (bulan). Sehingga wajar jika dalam beberapa hal menggunakan saduran kata-kata bulan Arab seperti Safar,

Dulka’dah dan lainnya. Selain itu jelas terlihat dalam nama-nama Penget Palintangan yang rupanya menyadur nama-nama buruj (zodiak) dalam bahasa Arab, saperti Kamluon, Sur, dan lain sebagainya.34

Perbandingan Palintangan Primbon dengan Buruj Ilmu Hikmah

! !

" # $% & ' ( )* $ +

, - . ( )* (

/ 0 * $ 1

) 2

)

3 *

/ % 0 ) ( ) & %

2 4 5 ) . 1 &) +

6 7 $ (

1 8 1 - . 1 $ 1

" 1 " $ 5 "%

7 &

+ %

9 . "% !

Dari sini dapat disimpulkan bahwa primbon belum muncul pada masa

Hindu-Buddha. Bahkan jangka (ramalan) Jayabaya baru dituliskan Ranggawarsita pada masa Mataram Islam. Sehingga bisa dipastikan

(33)

munculnya primbon karena adanya pengaruh dari sufisme Persia, seperti

perhitungan dalam tradisiilmu hikmah ataupun ilmu falaq.

Hal ini dikuatkan dengan kentalnya konsep makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (manusia) yang dalam bahasa Jawa disebut jagat gedhe dan jagat cilik, terdapat dalam ilmu hikmah dengan sebutan ‘alam al ‘ulya dan ‘alam al adna.35 Sehingga gerak makrokosmos mempengaruhi nasib mikrokosmos.

Selain itu keduanya mempunyai kemiripan dalam menempatkan huruf.

Di mana huruf, baik abjad Jawa ataupun Hijaiyah, bukanlah tanpa makna.

Setiap huruf mempunyai nilai numeriknya sendiri yang disebut neptu. Dalam primbon, jelas tersirat bahwa nama seseorang mempengaruhi watak dan

semua yang dilakukannya. Sehingga dalam mencari jodoh, seseorang harus

menghitung neptu pasangan laki-laki dan perempuan dengan rumusan tertentu.36

Pada mulanya, primbon hanyalah catatan-catatan pribadi yang

diwariskan turun temurun di lingkungan keluarga, terutama di kalangan

masyarakat Jawa. Namun pada awal abad ke-20 primbon mulai dicetak dan

diedarkan secara bebas. Primbon cetakan tertua berangka tahun 1906 Masehi,

diterbitkan oleh De Bliksem dengan ketebalan 36 halaman. Namun primbon

tersebut belum tersusun secara sistematis.

35

Ade Faizal, Tradisi Ilmu Hikmah, Dari Sufisme Persia Hingga Kyai Nusantara (Jakarta: Lemlit UIN, 2009), h. 5.

36

(34)

Di Perpustakaan Nasional terdapat banyak jenis primbon seperti Kitab Ta’bir, Primbon Padhukunan Pal-Palan, Mantra Siwastra Raja, Lontarak Bola dan lain-lain.37

Primbon yang ditulis lebih sistematis terbit pada tahun 1930-an.

Selanjutnya primbon bukan lagi sekedar catatan keluarga, tetapi justru sudah

menjadi petunjuk praktis dalam kehidupan. Seri Primbon Betaljemur Adammakna terbitan Yogyakarta misalnya, disusun secara berseri dengan Attasadhur Adammakna dan Lukmanakim Adammakna dalam dua bahasa, Jawa dan Indonesia. 38

37

Behrend, Primbon, h. 2.

38

(35)

BAB III

KONSEP RUANG DAN WAKTU DALAM PRIMBON

A. Definisi Ruang dan Waktu

Manusia dan alam semesta sama-sama mengada dalam ruang dan

waktu. Sejak seorang manusia dilahirkan hingga kematiannya, ia berada dalam

ruang dan waktu dunia ini. Tetapi penjelasan mengenai apa itu ruang dan

waktu, rupanya sejak zaman Yunani dan Upanishad di India, hinga sekarang

belum ada jawaban yang memuaskan. Karenanya tetap akan muncul

jawaban-jawaban berikutnya dalam filsafat kosmologi.

Ketika St. Agustinus ditanya mengenai waktu, ia menjawab “Saya tahu

apa itu waktu. Tetapi jika saya diminta menjelaskannya, saya tidak tahu”.39

1. Definisi Ruang

Adapun ruang, Anton Bekker membaginya dalam empat golongan

pemikiran. Golongan pertama adalah Subjektif, golongan ini menyatakan bahwa ruang itu konsep subyektif saja tanpa realitas. Seperti penjelasan

Kant, bahwa tempat dan ruang merupakan konsep tanpa dasar objektif.

Hanya bentuk subjektif dalam persepsi. Kaum positivis juga berpendapat

bahwa ruang dan waktu tidak mempunyai arti. Sebab keduanya bukan

realitas empiris yang dapat dibuktikan dengan metode empiris ilmiah.40

Golongan kedua adalah golongan Realisme-Ekstrim, realitas tersendiri. Penganutnya kebanyakan para filsuf Timur dan filsuf

39

Jacob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, h. 83.

40

(36)

Sokrates di Barat. Menurut golongan ini, ruang bersifat tak terbatas, abadi,

tak terobservasi, dan menjadi syarat kemungkinan ekstensi, tetapi tidak

sama dengan ekstensi. Ruang terbagi menjadi dua, yakni ruang yang

memuat dunia, dan ruang yang kosong di seberang sana.

Golongan ketiga ialah mereka yang melihat ruang sebagai konsep

dengan dasar riil. Aristoteles misalnya menyatakan bahwa ruang adalah riil

sejauh terdapatkan keleluasaan berdimensi dengan panjang, lebar, dan

tingginya. Ruang absolut tidak ada, harus bertolak, yaitu realitas yang

berbeda dengan substansi kosmos. Ruang merupakan konsep logis saja, tetapi dengan satu landasan dalam kenyataan. Adapun golongan terakhir

adalah kaum eksistensialis. Ruang selalu dihidupi dalam praktis.

2. Definisi Waktu

Anton Bakker menggolongkan pemikiran tentang waktu dalam 4

golongan. Golongan pertama adalah golongan subjektivisme. Golongan ini

menyatakan, bahwa waktu itu sesuatu yang tidak riil, hanya merupakan

bentuk subjektif-individual yang berasal dari pikiran. Ruang dan waktu

adalah konstruksi-konstruksi yang bersifat relatif, terbatas dan ilusif.

Pandangan ini terdapat di Barat ataupun Timur. Di Barat dimulai dari

Parmenides dan Zeno di zaman Yunani, sampai Descarters, John Locke,

David Hume, Kant, Hegel, dan Carnap di abad XX. Sedang di dunia Timur

diwakili Budhis yang menyatakan “Masa lalu, masa depan, ruang fisik dan

individu-individu tidak lebih dari deretan nama-nama bentuk pemikiran,

kata-kata dari kebiasan umum”.41

(37)

Golongan kedua adalah Realisme Ekstrem, yang menyatakan bahwa waktu itu realitas absolut otonom yang universal, tidak memiliki kesatuan

intrinsik, tetapi hanya menunjukkan urutan-urutan murni. Pandangan yang

bersifat spiritual ini berkembang di kalangan filsuf India purba seperti

Kaum Jaina, Nyaya dan Vaiseshika sekitar 500 SM. Mereka menyatakan

bahwa waktu adalah substansi nonmaterial yang riil. Substansi unitaris yang

terbatas, abadi, noneksisten dan tak terbagikan. Waktu itu hanya satu yang

menampung dan meresapi segala yang ada. Di samping itu ada waktu

empiris yang memungkinkan adanya perubahan-perubahan. Waktu empiris

oleh konvensi manusia diletakkan atas waktu riil itu.

Pandangan demikian juga dianut oleh manusia Indonesia kuno, di

mana primbon muncul. Di Barat juga terdapat pendapat seperti ini pada

Newton, Whitehead, Clarke dan Alexander.

Golongan ketiga adalah Realis Lunak, yang berpendapat bahwa waktu merupakan aspek perubahan riil, tetapi dihasilkan oleh subjek dan

terabstraksi dari kreativitas pengkosmos. Penganutnya antara lain adalah Aristoteles, Agustinus, Thomas Aquinas, dan Einstein.

Golongan terakhir ialah kaum Subjektivisme Lunak, yang banyak dianut eksistensialis. Dalam hal ini Henri Bergson menyatakan bahwa

waktu itu memang riil, tetapi selalu berciri kualitatif, tidak bereksistensi dan

tidak terukur, sebab kesadaran manusia memang tidak bereksistensi.42

(38)

B. Konsep Ruang dalam Primbon

Seperti yang ditunjukkan oleh Anton Bakker, Indonesia menganut

paham ruang dan waktu sebagai realisme-ekstrim. Waktu adalah tatanan yang berada di luar semua hal, termasuk manusia dan peristiwa-peristiwa. Terdapat

suatu waktu yang asali dan primordial, dan semua peristiwa berakar dalam

waktu asali itu, serta mendapatkan identitas dan mutunya di sana. Semua

peristiwa alami dikuasai oleh takdir, dan semua peristiwa manusiawi harus

menyesuaikan diri dengan keteraturan yang telah ditetapkan. Arti waktu bagi

seseorang dapat berbeda dengan arti waktu bagi yang lain. Setiap orang

memperoleh ketentuan waktunya sendiri-sendiri, bagi seseorang merupakan

waktu yang baik, bagi yang lain tidak baik. Waktu itu bukan linear, tetapi

siklis, teratur dalam periodisitas-periodisitas.

Pandangan tentang ruang pun realistis-ekstrim. Semua penghuni

kosmos memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Seluruh kosmos besar ini semuanya memiliki tempatnya sendiri-sendiri yang saling berhubungan dan

saling melengkapi. Ruang geografis sangat dipentingkan dengan tempatnya

yang relatif. Tempat konkret itu menentukan kedudukan seseorang, juga

tempatnya dalam kosmos ini.43

Ruang sejati juga absolut, menyeluruh dan holistik. Ruang absolut ini

menjadi dasar dari ruang relatif pula, dan berada di dalamnya. Ruang manusia

dan semesta yang relatif itu tersusun dalam tata tertib holistik dalam ruang

absolut. Hubungan antara ruang relatif dengan ruang absolut adalah

ketergantungan padanya. Setiap benda dan peristiwa dalam ruang relatif,

(39)

tersusun dalam tata tertib menyeluruh dengan ruang absolut. Setiap benda dan

peristiwa dalam ruang relatif tersusun dalam tata tertib menyeluruh dengan

ruang absolut.

Setiap benda dan peristiwa di dunia ini saling tergantung dalam

“ketertiban agung” ruang absolut. Bumi ini juga tergantung pada tata tertib

rotasi bulan dan matahari. Matahari dan Bulan tergantung pada tata tertib

jalannya bintang-bintang. Dan bintang-bintang seluruh semesta tergantung

dari ruang absolut tadi. Inilah sebabnya dalam primbon, semua hal di dunia

manusia memiliki pola hubungan satu sama lain. Setiap benda menempati

ruangnya sendiri yang relatif terhadap keberadaan benda-benda yang lain.

Keyakinan ini seperti membuat primbon seolah-olah merupakan ‘ngelmu gathuk’ (ilmu mencocokkan). Kesan demikian bisa saja terjadi, karena pola menghubung-hubungkan itu tidak baku.44

C. Konsep Waktu dalam Primbon

Takdir atau nasib manusia ditentukan oleh kedudukan waktu pada saat

manusia hadir di dunia ruang. Maka pemahaman tentang waktu ini memegang

peranan kunci dalam memahami tempat manusia di dunia. Waktu yang

non-material menentukan tempat dan ruang yang non-material. Manusia dan

benda-benda serta peristiwa-peristiwa adalah material. Karena absolutnya peranan

waktu yang universal dan otonom ini, primbon memperinci hitungan waktu

sampai hal yang sekecil-kecilnya, yakni hitungan jam. Tetapi juga menghitung

(40)

hal yang sebesar-besarnya, yakni windu atau periode delapan tahunan. Bahkan yang delapan tahunan ini diperluas menjadi 64 tahun.

Hitungan waktu dalam Primbon berbeda sekali dengan hitungan waktu

modern. Sebuah kelahiran hanya dicatat tanggal, hari, bulan dan tahunnya.

Dalam Primbon, kelahiran seseorang dicatat dari mulai jamnya, hari pasaran,

tanggal, paringkelannya (hitungan pasaran dalam sebulan), wukunya (hitungan minggu dalam jumlah 30 minggu), nama tahun, nama bulan, nama

windu.45 Ketepatan waktu absolut itu dihitung serinci-rincinya, sebab

pemahaman ini akan sangat menentukan ruang gerak subjek di tempatnya.

Jelaslah bahwa pandangan orang Jawa terhadap ruang dan waktu tidak

jauh berbeda dengan pandangan Timur, terutama India dan juga filsuf-filsuf

Yunani sebelum Aristoteles. Pandangan Plato boleh dikatakan mirip dengan

pandangan Timur. Waktu itu absolut dan berada di luar waktu manusia ini.

Waktu absolut memberikan dampak terhadap keberadaan manusia di

tempatnya masing-masing. Waktu yang non-material itu meresapi semua yang

ada dalam ruang. Waktu faktor unitaris yang abadi, yang hadir dalam tempat

dan ruang kosmos.

Primbon mendasarkan diri pada filsafat objektif (realis) tentang waktu dan ruang. Waktu dan ruang benar-benar ada, bukan hanya berada dalam

pikiran manusia. Waktu dan ruang itu absolut adanya dan berada di luar waktu

dan ruang semesta yang relatif. Waktu dan ruang relatif manusia bersumber

pada waktu dan ruang absolut. Waktu absolut adalah waktu yang ‘sekarang’

dan selalu ‘sekarang’. Kategori masa lalu, masa sekarang dan yang akan

(41)

datang adalah konvensi manusia dan nilainya relatif. Waktu relatif ini

ditentukan adanya oleh waktu absolut yang objektif riil itu.

Di belakang Primbon terdapat gambaran bahwa ada ruang dan Waktu

yang Tunggal, Satu dalam dirinya, dan Absolut, Nyata. Pada ketunggalan itu

masuk di dalamnya ruang dan waktu relatif manusia. Pandangan Primbon

tentang ruang dan waktu, berbeda dengan pandangan kaum Subjektivis keras

maupun lunak, yang menyatakan bahwa ruang dan wktu sepenuhnya ‘tak ada’,

tidak objektif, tidak riil. Semua itu hanya konstruktif pikiran manusia belaka,

lantas jadi konvensi umum.46

(42)

BAB IV

APLIKASI PRIMBON PADA MASYARAKAT JAWA

A. Perhitungan Waktu dalam Primbon

Kunci Primbon adalah memahami Waktu absolutnya terlebih dahulu.

Penemuan waktu ini akan dapat menentukan di mana letak seorang manusia

dalam Ruang semesta, khususnya dalam ruang relatifnya di dunia ini. Karena

tempat seorang manusia telah ditemukan berdasarkan kemunculannya dalam

Waktu, maka semua gerak-geriknya harus diatur berdasarkan Waktu tersebut,

kalau manusia itu mau selamat. Begitu pula kala seseorang mau mencelakakan

orang lain, maka dia harus mengetahui letak dan tempat orang lain tersebut

dalam pola tata tertib Waktu dan Ruangnya dalam alam semesta (kosmos).47

Para maling penganut Primbon di Jawa, misalnya, jika ingin selamat

menjalankan profesinya, juga harus mempelajari Primbon yang disebut

kalamunyeng atau Kalamudeng. Kapan hari yang baik baginya untuk maling, berdasarkan hitungan tempat tinggal dan tanggal lahir si maling tersebut.

Dalam hal ini keselamatan masyarakat juga dapat dihitung berdasarkan letak

dan tempat masyarakat tersebut dalam tata tertib Kosmos Agung itu.

Dengan demikian, Primbon memperlakukan kategori waktu secara

semesta dan rinci. Dasar perhitungan waktu semesta itu berdasarkan dari

agama Hindu. Dalam agama Hindu diajarkan tentang adanya Hari Brahma dan

Malam Brahma. Hari Brahma adalah waktu penciptaan segala material dunia

(43)

dan semesta ini. Di sini tidak dipermasalahkan apakah penciptaan semesta

material itu dengan cara emanasi atau dengan cara creatio ex nihilio.

Dalam Hindu, masa penciptaan semesta berlangsung dalam empat waktu

besar, yakni Kertayuga, Dwaparayuga, Tertayuga dan Kaliyuga. Masa

Kertayuga adalah masa keemasan penciptaan dunia, sebab semua makhluk

ciptaan bertingkah laku sempurna, sehingga keadaan manusia secara tertib

kosmologi. Sehingga dalam keadaan damai dalam kemakmuran. Tetapi dalam

masa berikutnya, manusia di dunia telah ada yang bertingkah laku chaos terhadap kosmos, sehingga hampir separuh manusia bertingkah laku tidak tertib kosmologis. Ketentraman hidup manusia mulai terganggu,

kejahatan-kejahatan dilakukan oleh setengah jumlah manusia yang ada.48

Pada masa berikutnya, gejala tidak tertib kosmos ini semakin banyak, sehingga tiga perempat jumlah manusia berlaku jahat, yang disebut Tertayuga.

Dan pada masa akhir penciptaan dalam Hari Brahma ini, dapat dikatakan

semua makhluk mansia berbuat jahat, chaos, yang dapat mengguncangkan kosmos. Inilah masa Kaliyuga.

Pola pemikiran kosmos yang demikian itulah yang menyebabkan setiap manusia Jawa mengalami masa-masa krisis sosial, entah lantaran kelakuan

manusia atau alam, selalu ingat sebagai masa Kaliyuga, sehingga akhir dunia

semakin dekat.

Guna menghindari hal tersebut, manusia selalu tergerak untuk berusaha

agar tertib dunia dikembalikan seperti semula, yakni zaman emas Kertayuga.

Zaman seperti ini ditandai dengan munculnya seseorang atau beberapa orang

(44)

yang menyatakan diri sebagai memperoleh ‘wahyu’ Dunia Absolut, untuk

memimpin rakyat memusnahkan unsur-unsur Kaliyuga, yakni mereka yang

hidup dalam kegelapan moral. Inilah gerakan milenier, hitungan ribuan

tahun.49

Apabila dunia ini akhirnya kiamat pada masa akhir Kaliyuga, maka

tibalah masa tiada material. Inilah masa Pralaya, masa dihancurkannya dunia

oleh kekuatan-kekuatan semesta. Saat yang amat mengerikan. Berlangsunglah

masa Malam Brahma. Kemudiain peristiwa penciptaan Brahma akan berulang

kembali dengan mengalami proses periodisasi yang sama seperti sebelumnya.

Pola berfikir demikian itu mengisyaratkan bahwa segala sesuatu ‘yang ada’

secara material ini menjalani proses pengulangan-pengulangan. Semesta tidak

berproses secara linear, tetapi sirklar, seperti malam dan siang, musim hujan

dan musim kemarau, tahun berganti tahun.

Primbon diletakkan dalam kerangka berfikir Harai Brahma, hanya saja

tidak jelas di masa yang mana. Apakah ini masa Kaliyuga, Dwaparayuga atau

Tertayuga. Yang jelas bukan masa Kertayuga. Masa yang disebut Caturyuga

ini tengah berlangsung sekarang. Mungkin masa Primbon sudah memasuki

masa Kaliyuga, yang entah berapa ribu tahun usianya.50

49

Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), h. 42.

50

(45)

B. Perhitungan Ruang dalam Primbon

Ruang relatif yang material ini bergantung atau bagian dari ruang absolut

yang riil. Ruang subjek dalam primbon ditetapkan tempatnya dalm empat kiblat kalimo pancer, empat arah mata angin dengan satu pusat, yaitu timur, barat, utara, selatan, tenggara, timur laut, barat laut, barat daya, dan pusat.

Penghitungan lima atau sembilan ruang ini khas masyarakat sawah. Dalam

masyarakat yang murni hidup dalam berladang atau berburu, bahkan maritim,

hanya dikenal pembagian tiga, yakni timur-barat-tengah, utara-selatan-tengah.

“Tengah” di situ tidak menyatukan dualisme ruang yang ada, masing-masing

terpisah. Hanya di masyarakat sawah seperti Jawa dan Bali, ruang empat-lima ini dikenal. Ini disebabkan masyarakat sawah amat menekankan pentingnya

lokasitas, komunalitas, solidaritas, dan sistem organisasi terpusat untuk

menangani masalah persawahan yang memerlukan lahan yang lebih luas dan

tenaga kerja petani yang lebih banyak. Untuk menangani tenaga kerja yang

begitu banyak, dan menangani perairan persawahan yang begitu luas,

diperlukan suatu pengorganisasian yang terpusat dan kuat. Perlu ada pusat.

Pusat inilah yang mengatur ruang dalam pembagian empat. Pembagian itu

sesuai dengan pembagian waktu pasaran, yakni Kliwon di pusat, Pon di barat,

Wage di utara, Legi di Timur dan Pahing di selatan.

Jacob Soemarjo berpendapat bahwa primbon asli Jawa berdasarkan

sistem penanggalan qamariyah(bulan) yang membagi satu bulan dalam enam

pasaran. Dan enam pasaran ini menciptakan paringkelan. Satu tahun ditandai

oleh empat musim, yakni Mareng, Ketiga, Labuh, dan Rendheng. Ketika

(46)

menetapkan tempat waktu daam ruang 4 satu pusat, atau ruang 8 satu pusat.

Pada penempatan waktu dalam ruang kalender surya ini, terpaksa diadakan

pengualangan waktu. Tepatnya adalah Rabu di pusat, Jumat di Timur, Selasa

di Barat, Kamis di Utara, Minggu di Selatan, Sabtu di Tenggara, Senin di

Barat Daya. Tetapi di Barat Laut, terpaksa dipasang lagi hari rabu, dan untuk

di Timur Laut dipasang hari Kamis.51

Ruang subjek dalam ruang relatif ini ditentukan oleh hari dan

pasarannya. Seperti sudah diutarakan di muka, bahwa setiap hari dalam

minggu telah ditetapkan tempat ruangnya, dan setiap hari pasaran juga telah

ditetapkan tempat ruangnya. Jika seseorang dilahirkan pada hari Rabu (barat)

dan pasarannya Pon (barat), maka orang itu berada di ruang barat tepat. Tetapi

jika seseorang lahir hari Sabtu (selatan) dan pasarannya Pon (barat), maka

tempat ruangnya ada di antara barat-selatan. Gabungan waktu-ruang kelahiran

seseorang ini, jika dihubungkan dengan kesatuan-kesatuan waktu lainnya,

seperti jam, bulan, wuku, paringkelan, dan tahun, akan melahirkan berbagai ketentuan keselamatan, kelestarian, keberuntungan kecelakaan, sakit,

kematian, kerugian dan lain-lain, jika dia bergerak ke arah ruang tertentu.

Hubungan antar subjek yang menguntungkan dan merugikan juga

ditentukan oleh tempat ruang masing-masing. Disinilah terdapat perhitungan

yang sulit dan berbelit-belit dalam primbon, sehingga diperlukan pakarnya

yang memiliki catatan yang lengkap terdapat makna semua hubungan

ruang-waktunya. Inilah sebabnya para pakar primbon memerlukan bantuan

lambang-lambang angka untuk setiap kategori ruang-waktu. Hitungan itu tak lebih dari

51

(47)

sembilan angka saja, sehingga terdapat sembilan rumusan makna untuk setiap

koordinat waktu dan ruangnya. Itulah yang disebut petungan (perhitungan) yang arti akhirnya sama dengan primbon. 52

C. Aplikasi Primbon dalam Masyarakat Jawa

Pandangan dasar Primbon adalah bahwa waktu dan ruang itu riil,

objektif dan absolut. Hal ini berbeda dengan pandangan manusia modern yang

menilai waktu dan ruang hanyalah ‘konstruksi pikiran’, jadi subjektif, ‘tidak

ada’, dan relatif. Waktu dan ruang itu tidak menyangkut moralitas. Primbon

sendiri bukan ajaran moral. Primbon adalah pengetahuan atau ‘ilmu slamet’, bagaimana menjalani hidup di ruang dan waktu dunia ini secara selamat,

aman, sejahtera, terhindar dari malapetaka dan musibah. Ilmu slamet ini juga tidak menyangkut selamat di alam kematian. Primbon adalah petunjuk tentang

mana yang ‘boleh’ dan ‘tidak boleh’. Yang boleh, bahkan harus, merupakan

jalan selamat, sedang yang tidak boleh merupakan jalan kecelakaan, dalam

hidup konkret ini.53

Karena waktu dan ruang itu netral moralitas, maka dalam waktu dan

ruang juga terdapat apa yang disebut ‘baik’ atau selamat, dan apa yang disebut

‘tidak baik’ atau tidak selamat. Waktu itu baik dan tidak baik sekaligus, begitu

pula ruang itu baik dan tidak baik. Waktu yang sama dan ruang yang sama,

bagi dua subjek yang koordinat waktu dan ruangnya amat berbeda dalam tertib

kosmos ini, maka waktu dan ruang itu bagi yang satu ‘baik’ dan bagi yang lain ‘tidak baik’. Waktu dan Ruang itu mengandung paradoks di dalam dirinya.

52

Ibid., h. 90.

(48)

Waktu dan Ruang absolut juga mengandung paradoks absolut. Brahman itu

sebuah paradoks absolut.

Aspek ‘tidak baik’ dalam waktu dan ruang inilah yang justru mendapat

perhatian utama orang Jawa. Waktu yang tidak baik dikuasai oleh Bathara

Kala, bukan Brahman itu sendiri. Apalagi kalau kepercayaan itu bersifat

pantheistik, sebab waktu dan ruang tidak lain Brahman sendiri, juga segala

yang ada ini adalah emanasi atau pancaran Dzat Brahman. Bathara Kala mengincar dan awas bagi mereka yang melanggar larangan atau tabu dalam hitungan Primbonnya. Pelanggaran terhadap tabu ini hanya dapat dibetulkan atau disucikan lewat upacara ruwatan kepada Bathara Kala, sang penguasa

waktu. Primbon dan ruwatan tidak dapat dipisahkan bagi orang yang melanggar tabu. Itulah sebabnya, bagi orang Jawa primbon dianggap penting.

Waktu (kala) adalah Bathara Kala yang menguasai kesatuan-kesatuan waktu mulai dari jam sampai yuga. Misalnya, pada jam berapa dua pasang pengantin harus melaksanakan upacara pernikahannya? Bagi pasangan yang

pasarannya Pon dan Wage, lebih baik diselenggarakan pada jam 03.30 sampai 05.59, karena pada jam tersebut bermakna rejeki dan slamet bagi keduanya. Pasangan ini hendaknya menghindari pernikahan pada jam 08.25 sampai

10.11, lantaran pada jam-jam itu keduanya tabu. Pada jam yang disebut belakangan justru amat baik untuk dua pasangan yang dilahirkan pasaran Legi dan Pahing.

Referensi

Dokumen terkait