• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KINESIOTAPING TERHADAP KEKUATAN OTOTDORSAL Pengaruh Kinesio Taping Terhadap Kekuatan Otot Dorsal Flexor Ankle Pada Pasien Kusta Dengan Lesi Nerve Peroneus di Unit Rehabilitasi Kusta RSUD Kelet Provinsi Jawa Tengah.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH KINESIOTAPING TERHADAP KEKUATAN OTOTDORSAL Pengaruh Kinesio Taping Terhadap Kekuatan Otot Dorsal Flexor Ankle Pada Pasien Kusta Dengan Lesi Nerve Peroneus di Unit Rehabilitasi Kusta RSUD Kelet Provinsi Jawa Tengah."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KINESIOTAPING TERHADAP KEKUATAN OTOTDORSAL FLEXOR ANKLEPADA PASIEN KUSTADENGANLESI NERVE

PERONEUSDI UNIT REHABILITASI KUSTA RSUD KELET PROVINSI JAWA TENGAH

PUBLIKASI ILMIAH

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I

pada Jurusan Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan

Disusun Oleh:

ADRYAN ROY NIM : J120 151 091

PROGRAM STUDI S1 FISIOTERAPI FAKULTAS ILMU KESEHATAN

(2)

ii

HALAMAN PERSETUJUAN

PENGARUH KINESIO TAPING TERHADAP KEKUATAN OTOT DORSAL FLEXOR ANKLE PADA PASIEN KUSTA DENGAN LESI

NERVE PERONEUSDI UNIT REHABILITASI KUSTA RSUD KELET PROVINSI JAWA TENGAH

PUBLIKASI ILMIAH

Oleh:

ADRYAN ROY NIM. J120 151 091

Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji oleh:

Dosen Pembimbing

Umi Budi Rahayu., S.Fis., M.Kes

(3)

iii

HALAMAN PENGESAHAN

PENGARUH KINESIO TAPING TERHADAP KEKUATAN OTOT DORSAL FLEXOR ANKLE PADA PASIEN KUSTA DENGAN LESI

NERVE PERONEUSDI UNIT REHABILITASI KUSTA RSUD KELET PROVINSI JAWA TENGAH

Oleh :

ADRYAN ROY J120 151 091

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji

Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta Pada hari Jumat, 6 Januari 2017

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Dewan Penguji:

1. Umi Budi Rahayu., S.Fis., M.Kes (………)

2. Dwi Rosella K., S.Fis., M.Fis, Dipl. Cidesco (………)

3. Agus Widodo, S. Fis., M. Fis (………)

Dekan FIK UMS

Dr. Suwaji, M.Kes

NIP/NIDN : 195311231983031002/0023115301

(4)

iv

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam naskah publikasi ini tidak

terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu

perguruan tinggidan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau

pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis

diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila kelak terbukti ada ketidakbenaran pernyataan saya di atas, maka

akan saya pertanggungjawabkan sepenuhnya.

Surakarta, 6 Januari 2017

Penulis

ADRYAN ROY NIM.J120 151 091

(5)

1

PENGARUH KINESIO TAPING TERHADAP KEKUATAN OTOT DORSAL FLEXOR ANKLE PADA PASIEN KUSTA DENGAN LESI

NERVE PERONEUS DI UNIT REHABILITASI KUSTA RSUD KELET PROVINSI JAWA TENGAH UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Abstrak

Latar belakang: Penyakit kusta merupakan penyakit menular menahun disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi dan apabila mengenai nerve peroneus maka cacat yang timbul adalah kelemahan/kelumpuhan otot dorsal flexor ankle.Solusi yang ditawarkan oleh fisioterapi adalah pemasangan

kinesio taping untuk meningkatkan kekuatan otot.Tujuan:

Mengetahui pengaruh kinesio taping terhadap kekuatan otot dorsal

flexor ankle pada pasien kusta dengan lesi nerve

peroneus.Metode:Quasi experiment dengan desain Pre and post test with control group.Hasil: Data berdistribusi normal dan variansi homogen, uji hipotesis menggunakan Paired sample T-Test kelompok perlakuan (p=0,031< α = 0,05), sedangkan pada kelompok kontrol (p = 0,051 > α = 0,05). Hasil Independent sample T-Test (p = 0,190 > α = 0,05).Kesimpulan: Secara praktik ada pengaruh kinesio taping terhadap kekuatan otot dorsal flexor ankle pada pasien kusta dengan lesi nerve peroneus. Namun secara statistik tidak menunjukkan adanya perbedaan pengaruh kinesio taping dengan kelompok kontrol terhadap kekuatan otot dorsal flexor ankle.Kata Kunci: Kinesio taping, kekuatan otot, reaksi kusta

Abstracts

(6)

2

strength of dorsal flexor ankle muscle of leprosy patient with nerve peroneus lesion. However, statistically the effect of kinesio taping had been not found on strength of dorsal flexor ankle muscle.Key words: Kinesio taping. Leprosy reaction

1. PENDAHULUAN

Penyakit kusta adalah penyakit menular menahun dan disebabkan oleh kuman

kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang saraf tepi dan jaringan tubuh

lainnya kecuali susunan saraf pusat (Kandun, 2007).Jumlah kasus baru kusta di

dunia pada tahun 2011 adalah sekitar 219.075 kasus.Jumlah tersebut paling

banyak ditemukan di regional Asia Tenggara (termasuk Indonesia dengan jumlah

kasus baru 20.032) diikuti Amerika dan Afrika (Aditama, 2012).Salah satu ciri

khas kusta adalah timbulnya komplikasi kusta yaitu reaksi, dimana reaksi

merupakan suatu periode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan

suatu reaksi kekebalan (respon selular) atau reaksi antigen antibodi (respon

humoral) dengan akibat merugikan pasien (cacat).Reaksi kusta dapat terjadi

sebelum, selama dan setelah pengobatan (Aditama, 2012).

Proses terjadinya cacat kusta dapat melalui 2 (dua) proses yaitu infiltrasi

langsung Mycobacterium leprae ke susunan saraf tepi dan atau kerusakan akibat

peradangan saraf (neuritis) melalui reaksi kusta. Manifestasi kerusakan akibat

peradangan saraf tepi dapat berupa kerusakan/gangguan fungsi sensorik, motorik

dan otonom.Jika kerusakan saraf mengenai nerve peroneus maka cacat yang

timbul adalah kelemahan atau kelumpuhan kekuatan otot dorsal flexor

ankle.Masalahyang muncul akibat penurunan kekuatan otot dorsal flexor ankle

adalah dapat menyebabkan terjadinya jari-jari bengkok dan kemungkinan mutilasi

absorbsi (Aditama, 2012).

Kerusakan saraf yang terjadi kurang dari 6 bulan, bila diobati prednison

dengan tepat, tidak akan terjadi kerusakan saraf yang permanen (fungsi saraf

masih reversible). Bila kerusakan saraf ini sudah terlanjur menjadi cacat

permanen maka yang dapat dilakukan adalah upaya pencegahan cacat agar tidak

bertambah berat (Aditama, 2012).Salah satu peran fisioterapi pada upaya

(7)

3

parah. Menurut PMK No 65 tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Fisioterapi,

menjelaskan bahwa salah satu pendekatan fisioterapi muskuloskeletal adalah

dengan kinesio taping.Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah lesi nerve

peroneus berupa kelemahan atau kelumpuhan kekuatan otot dorsal fleksor ankle

adalah pemasangan kinesio taping untuk membantu meningkatkan kekuatan otot.

2. METODE PENELITIAN

Penelitianini telah dilakukan di Unit Rehabilitasi Kusta RSUD Kelet Provinsi

Jawa Tengah pada bulan Juni sampai Agustus 2016. Penelitian ini

menggunakandesain Quasi experiment. Teknik pengambilan sampel

yaitupurposive samplingdengan systematic random sampling.Jumlah sampel

dalam penelitian ini 19 responden, terdiri dari kelompok intervensi 9 responden

dan kelompok kontrol 10 responden.Analisa data menggunakan SPSS, Data

berdistribusi normal dan variansi sama atau homogen, maka uji hipotesa

menggunakan uji parametricIndependent T-test.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Analisis Univariat

Gambaran kekuatan otot dorsal flexor ankle pada kelompok intervensi dan

kelompok kontrol.

Tabel 1.

Gambaran Kekuatan Otot Dorsal Flexor Ankle Pada Kelompok Intervensi Dan Kelompok Kontroldi Unit Rehabilitasi Kusta RSUD Kelet Provinsi Jawa Tengah

Juni-Agustus 2016 (n=19) Variabel Kelompok

Rata-rata

Jumlah sampel

SD Kekuatan otot (min-max) Kekuatan otot

Hari ke 1 Intervensi Kontrol 1,22 1,00 9 10 1,302 1,155 0-3 0-3 Hari ke 14 Intervensi

Kontrol 1,67 1,40 9 10 1,581 1,075 0-4 0-3 Hari ke 28 Intervensi

(8)

4

Tabel 1 menunjukkan bahwa ada peningkatan nilai rata-rata kekuatan

otot dorsal flexor ankle pada kedua kelompok pada hari ke 1, hari ke 14 dan hari

ke 28 akan tetapi peningkatan pada kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan

dengan kelompok kontrol. Rata-rata peningkatan kekuatan otot pada kelompok

intervensi dimulai dari 1,22 menjadi 1,67 kemudian menjadi 2,33 nilai terendah 0

dan tertinggi 4. Sedangkan pada kelompok kontrol dimulai dari 1,00 menjadi 1,40

kemudian menjadi 1,60 nilai terendah 0 dan tertinggi 3.

Grafik 1

Gambaran Kekuatan Otot Berdasarkan Tipe ReaksiPada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Pada Pasien Kusta dengan Lesi Nerve Peroneus di Unit Rehabilitasi Kusta RSUD Kelet Provinsi Jawa Tengah Juni-Agustus 2016 (n= 19)

Berdasarkan hasil penelitian, jika dilihat dari peningkatan kekuatan otot

berdasarkan tipe reaksi baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol

menunjukkan bahwa peningkatan kekuatan otot pada reaksi tipe 2 lebih baik dari

pada reaksi tipe 1.Peningkatan kekuatan otot pada reaksi tipe 2 kelompok

intervensi meningkat pada hari ke 14 dan meningkat tajam pada hari ke

28.Sedangkan peningkatan kekuatan otot pada reaksi tipe 1 kelompok intervensi

meningkat pada hari ke 14 namun tidak terjadi peningkatan pada hari ke 28.

Gangguan fungsi saraf dapat terjadi pada reaksi tipe 1 maupun tipe

2.Kecacatan akibat gangguan fungsi saraf yang terjadi tergantung pada komponen

saraf yang terkena.Apakah sensorik, motorik, otonom ataupun kombinasi

ketiganya. Gejala reaksi tipe 2 baik pada kulit, saraf, limfonodus dan testis

umumnya akan menghilang dalam 10 hari atau lebih dan perjalanan reaksi dapat

berlangsung selama 3 minggu atau lebih (Aditama, 2012). 0

0.5 1 1.5 2 2.5 3

Hari ke 1 Hari ke 14 Hari ke 28

Ra

ta

-ra

ta

ke

kua

ta

n

ot

ot

Tipe 1 (Kontrol)

Tipe 2 (Kontrol)

Tipe 1 (Intervensi)

(9)

5

Pada kelompok intervensi terdapat 3 responden dengan reaksi tipe 1 dan

1 diantaranya tidak mengalami perbaikan kekuatan otot dorsal flexor ankle setelah

diberikan pengobatan prednison sesuai skema selama perawatan dan ditambah

intervensi kinesio taping. Sedangkan pada kelompok kontrol seluruh responden

mengalamai reaksi tipe 2 dan 6 diantaranya tidak mengalami perbaikan kekuatan

otot dorsal flexor ankle setelah diberikan pengobatan prednison sesuai skema

selama perawatan.Menurut keterangan responden yang tidak mengalami

perbaikan kekuatan otot, mereka mengalami reaksi berulang disebabkan stres

karena beban fikiran dimana mereka dikucilkan oleh keluarga dan lingkungan

serta merasa putus asa dan tidak ada motivasi untuk sembuh.Salah satu

manifestasi dari reaksi kusta adalah adanya peradangan pada saraf baik berupa

nyeri tekan saraf dan atau gangguan fungsi saraf salah satunya adalah penurunan

kekuatan otot. Jika faktor pencetus reaksi masih ada maka perbaikan fungsi saraf

yaitu peningkatan kekuatan otot juga akan terhambat.

Hal tersebut sesuai dengan Aditama (2012) yang menyatakan faktor

pencetus reaksi tipe 2 adalah stres fisik dan mental.Dimana menurut penelitian

Pujiastuti (2014) menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara dukungan

emosional keluarga dengan stres psikologis pada pasien reaksi kusta.

3.2 Analisis Bivariat

Perbedaan pengaruh kekuatan otot dorsal flexor ankle setelah pemasangan kinesio

taping pada kelompok intervensi dengan kelompok kontrol selama perawatan

Tabel 2.

Hasil Analisis Kekuatan Otot Dorsal Flexor Ankle Setelah Dipasang Kinesio taping Pada Kelompok IntervensiDengan Kelompok Kontrol Selama Perawatan di

Unit Rehabilitasi Kusta RSUD Kelet Provinsi Jawa Tengah Juni-Agustus 2016 (n=19)

Kelompok n Rata-rata selisih

SD 95% CI P

Selisih Intervensi Kontrol

9 10

1.11 0.60

0.782 0.843

0.279; 1.301 0.276; 1.298

0.190

Tabel 2.menunjukkan bahwa nilai p value (p = 0,190 > α = 0,05) artinya

(10)

6

tapingterhadap kekuatan otot dorsal flexor ankle pada kelompok intervensi

dibandingkan dengan kelompok kontrol selama perawatan.

Berdasarkan hasil penelitian selisih kekuatan otot dorsal flexor ankle

secara praktik sebenarnya ada perbedaan pengaruh karena bila dilihat dari nilai

rata-rata antara hari ke 1 ke hari ke 28 pada kelompok intervensi didapatkan nilai

rata-rata yang jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Nilai rata-rata

selisih peningkatan kekuatan otot pada kelompok intervensi sebesar 1,11

sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 0,60.

Grafik 2.

Gambaran Peningkatan Rata-rata Selisih Kekuatan Otot Pada Kelompok Intervensi Dan Kelompok Kontrol Pada Pasien Kusta dengan Lesi Nerve Peroneus di Unit Rehabilitasi Kusta RSUD Kelet Provinsi Jawa Tengah

Juni-Agustus 2016 (n=19)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata kekuatan otot dorsal

flexor ankle hari ke 1 pada kelompok intervensi adalah 1,22 kemudian pada hari

ke 28 menjadi 2,33 nilai terendah 0 dan tertinggi 4. Sedangkan pada kelompok

kontrol nilai rata-rata kekuatan otot dorsal flexor ankle hari ke 1 adalah 1,00

kemudian pada hari ke 28 adalah 1,60 nilai terendah 0 dan tertinggi 3. Rata-rata

selisih kekuatan otot dorsal flexor ankle pada kelompok intervensi sebesar 1,11

sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 0,60. Terdapat peningkatan nilai

rata-rata kekuatan otot dorsal flexor ankle pada hari 1 dan hari ke 28 pada kedua 1.22

1.67

2.33

1

1.4 1.6

0 0.5 1 1.5 2 2.5

Hari ke 1 Hari ke 14 Hari ke 28

Intervensi

Kontrol

Keterangan:

Rata-rata selisih kekuatan otot dari hari 1 ke hari 28 pada: Kelompok intervensi : 1.11

Kelompok kontrol : 0.6

(11)

7

kelompok tetapi peningkatan pada kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan

dengan kelompok kontrol.Hal tersebut menunjukkan bahwa secara praktik ada

perbedaan pengaruh kinesio taping terhadap kekuatan otot dorsal flexor anklepada

pasien kusta dengan lesi nerve peroneus.

Hasil analisis dengan Uji T Test, secara statistik tidak menunjukkan

adanya perbedaan pengaruh kinesio taping terhadap kekuatan otot dorsal flexor

ankle. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai p value (p = 0,190 > α = 0,05)

artinya Ho diterima, tidak ada beda pengaruh kinesio taping terhadap kekuatan

otot dorsal flexor ankle pada pasien kusta dengan lesi nerve peroneus.

Kedua kelompok memperoleh perawatan dan tindakan medis yang sama

sesuai dengan prosedur rumah sakit tetapi kelompok intervensi ditambah dengan 1

perlakuan yaitu pemasangan kinesio taping.Pada kelompok kontrol tidak

diberikan kinesio taping tetapi tetap mendapatkan perawatan dan tindakan medis

sesuai prosedur rumah sakit.Hal ini menunjukkan bahwa perawatan yang

diterapkan di rumah sakit tempat penelitian telah sesuai standar dan berhasil

meningkatkan kekuatan otot dorsal flexor ankle.Beberapa tindakan yang telah

diberikan diantaranya pemberian terapi prednison dan monitoring fungsi saraf

secara rutin setiap 14 hari.

Kekuatan otot ialah kemampuan otot mengembangkan ketegangan

maksimal tanpa memperhatikan faktor waktu (Giriwijoyo et al., 2013).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan otot adalah usia, jenis kelamin, ukuran cross

sectional otot, hubungan antara panjang dan tegangan otot pada waktu kontraksi,

tipe kontraksi, jenis serabut otot, ketersediaan energi dan aliran darah, kecepatan

kontraksi dan motivasi (Lesmana, 2012 dalam skripsi Fitriani, 2015). Salah satu

tujuan pemberian intervensi kinesio taping adalah meningkatkan kontraksi otot

yang mengalami kelemahan sehingga jika kontraksi otot baik maka kekuatan

ototpun akan meningkat (Kase, 2005).

Penurunan kekuatan otot pada pasien kusta merupakan salah satu

manifestasi dari reaksi kusta dimana pada saat reaksi kusta terjadi lesi atau

kerusakan saraf perifer. Klasifikasi cidera saraf menurut Seddon dibagi menjadi

(12)

8

penebalan saraf, nyeri, tanpa ada gangguan fungsi gerak, terjadi gangguan

sensorik. Tahap 2 (Axonotmesis) dimana pada tahap ini terjadi kerusakan saraf,

timbul paralisis tidak lengkap atau paralisis awal termasuk pada otot kelopak

mata, otot jari tangan, dan otot kaki. Penting sekali untuk mengenali tahap

kerusakan ini karena dengan pengobatan prednisone dengan tepat, tidak akan

terjadi kerusakan saraf permanen karena fungsi saraf masih reversible dan tahap 3

(Neurotmesis) terjadi diskontiunitas lengkap saraf, kelumpuhan akan menetap

pada stadium ini (Menorca et al., 2013; Putra, 2008; Aditama, 2012).

Kriteria sampel pada penelitian ini yang diambil adalah pasien kusta

yang berada di cidera saraf tahap 2 (Axonotmesis) yaitu kerusakan saraf tidak

lebih dari 6 bulan.Dalam menentukan tingkat kerusakan saraf peneliti hanya

menggunakan dasar keterangan langsung dari responden berdasarkan lamanya

gejala yang disadari dan dirasakan oleh responden.Jika responden mengatakan

gejala kurang dari 6 bulan maka dimasukkan sebagai sampel penelitian.Bisa jadi

sebenarnya gejala kerusakan saraf sudah terjadi sebelumnya (lebih dari 6 bulan)

namun responden tidak menyadarinya. Hasil penelitian ini dipengaruhi oleh tipe

reaksi dan status RFT akan tetapi dikarenakan jumlah kasus yang sangat jarang

peneliti tidak membedakan responden berdasarkan karakteristik responden (usia,

tipe reaksi dan status RFT).Sehingga hasil penelitian tidak sesuai dengan hipotesa

yang dibangun dikarenakan jumlah sampel yang didapatkan terlalu sedikit dan

waktu penelitian yang relatif pendek sehingga hasil yang didapatkan kurang dapat

digeneralisasikan.

3.3.Keterbatasan Penelitian:

3.3.1 Sampel dalam penelitian ini relatif sedikit dikarenakan kasus yang jarang

ditemui sehingga kesimpulan yang dihasilkan kurang dapat digeneralisasikan

untuk sampel yang lebih besar.

3.3.2 Pengukuran kekuatan otot menggunakan MMT (Manual Muscle Test)

yang mana tingkat subyektifitasnya cukup tinggi.

3.3.3 Dikarenakan jumlah kasus yang sangat jarang peneliti tidak membedakan

(13)

9

Karakteristik responden tersebut diduga mempengaruhi hasil penelitian sehingga

untuk menjadikan karakteristik responden sebagai counfonding factor.

3.3.4 Ada faktor lain yang mempengaruhi terjadinya reaksi kusta yang tidak

dapat dikendalikan oleh peneliti yaitu stres mental yang dialami oleh beberapa

responden. Dimana stres mental merupakan salah satu faktor pencetus reaksi kusta

sehingga jika reaksi kustanya tidak membaik akan berpengaruh terhadap

perbaikan kekuatan otot.

3.3.5 Pada penelitian ini dalam menentukan tingkat kerusakan saraf peneliti

hanya menggunakan dasar keterangan langsung dari responden berdasarkan

lamanya gejala yang disadari dan dirasakan oleh responden.

4. PENUTUP

Berdasarkan keterbatasan penelitian yang dijumpai, penulis merekomendasikan

bagi peneliti selanjutnya untuk dapat:

4.1 Mengembangkan dan melakukan penelitian dengan mengambil sampel

dari beberapa Rumah Sakit Kusta di Indonesia, menambahkan jumlah sampel

yang lebih representatif agar mampu menghasilkan kesimpulan yang lebih valid.

4.2 Menambah kriteria inklusi tentang pembatasan nilai kekuatan otot minimal

yang akan dijadikan responden atau menggunakan alat pengukuran kekuatan otot

seperti EMG (Electro Myelo Graphy) sehingga hasil pengukuranya lebih objektif.

4.3 Lebih mengamati karakteristik responden seperti tipe reaksi dan status

RFT karena diduga mempengaruhi hasil penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Aditama., TY. (2012). Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit

Kusta.Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan Kementerian Kesehatan RI. Jakarta

(14)

10

Giriwijoyo., S & Sidik., DZ. (2013). Ilmu Faal Olah Raga (Fisiologi Olah Raga). Remaja Rosdakarya. Bandung

Kandun., IN. (2007). Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit

Kusta.Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan Departemen Kesehatan RI. Jakarta

Kase., K. (2005). Ilustrated Kinesio Taping Fourth Edition. Of Ken Ikai Co. Ltd. Tokyo

Menorca, RM., Fussell, TS.,& Elfar, JC. (2013). Peripheral Nerve Trauma: Mechanisms of Injury and Recovery. Hand Clin. Vol 3:317-330. doi:10.1016/j.hcl.2013.04.002.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2015 Tentang Standar Pelayanan Fisioterapi. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta

Gambar

Grafik 2. Gambaran Peningkatan Rata-rata Selisih Kekuatan Otot Pada Kelompok

Referensi

Dokumen terkait

mudharabah pada Bank Syariah Mandiri Kcp Sengkang adalah dapat meningkatkan investasi dana pihak ketiga pada bank syariah karena jika bank menggunakan sistem

Sumber data penelitian yang digunakan adalah data sekunder yaitu data prosedur pengiriman paket pos internasional dan prosedur penerimaan paket pos internasional.. Metode

Guna Diagram indikator adalah untuk mengetahui tekanan rata-rata indikator  ( pi ) hal mana sangat diperlukan untuk menghitung tenaga tiap silinder alat Indikator ini dipasangkan

Evaluasi kegiatan dilakukan setelah acara selesai dilaksanakan dari evaluasi meliputi keberlangsungan kegiatan bahwa secara teknis acara berlangsung lancar tidak ada kendala,

Satuan geomorfologi ini memiliki luas yang meliputi 40% keseluruhan daerah penelitian yang letaknya berada pada bagian tengah, Timur Laut, dan Tenggara daerah penelitian..

C.Jenis-Jenis C.Jenis-Jenis peta peta Berdasarkan isinya 1.Peta umum -Peta Topografi -Peta Korografi -Peta Geografi 2.Peta khusus -Peta Pariwisata -Peta Perhubungan -Peta Iklim

Apabila dibandingkan dengan standar penyelenggaran PAUD, maka Kabupaten Pohuwato memiliki perbandingan guru siswa yang telah sesuai dengan Peraturan Menteri

Ketiga , wujud inisiasi Pemerintah Kabupaten Manggarai dalam mengatur alternatif penyelesaian sengketa tanah berbasis adat melalui Rancangan Peraturan Daerah tentang