• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIMENSI EKONOMI BAHASA AL-QUR'AN: Studi Teks dan Konteks Ayat-ayat Al-Qur'an Dalam Perspektif Balàgah dan Tektolinguistik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DIMENSI EKONOMI BAHASA AL-QUR'AN: Studi Teks dan Konteks Ayat-ayat Al-Qur'an Dalam Perspektif Balàgah dan Tektolinguistik"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

1

DIMENSI EKONOMI BAHASA AL-QUR'AN:

Studi Teks dan Konteks Ayat-ayat Al-Qur'an

Dalam Perspektif Balàgah dan Tektolinguistik

Oleh

Dr. Muhbib Abdul Wahab, MA. A.Pendahuluan

Al-Qur‘an merupakan kitab suci penuh mukjizat, baik dari segi isi maupun redaksi bahasanya. Semua ayat Al-Qur‘an diyakini benar berasal dari Allah

subëànahu wa ta„àlà, disampaikan kepada Nabi Muëammad êallallàhu „alaihi wa sallam melalui malaikat Jibril. Kemukjizatan Al-Qur‘an tidak hanya terjadi selama masa kenabian, melainkan terus berlangsung sepanjang masa. Kemukjizatan

Al-Qur‘an dari segi bahasanya tidak hanya menginspirasi umat Islam untuk mengungkap keindahan dan kedalaman maknanya, melainkan juga meneliti redaksi, pilihan kata (diksi), implikasi semantik, kesan dan pesan yang ditimbulkannya.

Pemahaman dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur‘an secara kontekstual dapat mengantarkan kita kepada pemaknaan ekonomi bahasa (al-iqtiêàdul lugawì)

Al-Qur‘an. Berbasis teori-teori dalam ilmu balàgah dan tekstolinguistik, penulis mengajukan tesis bahwa bahasa Al-Qur‘an itu sangat ekonomis: efisien, singkat, padat, bernas, dan bermakna luas. Dimensi ekonomi bahasa Al-Qur‘an dapat dilihat dari segi konteks linguistiknya (diksi, redaksi, keserasian, keseimbangan, dan intensi makna) dan konteks sosio-kulturalnya (asbàbun nuzùl, konteks sosio-historis dan sosio-kultural teks itu hadir).

(2)

2

berbagai konteksnya yang memiliki multimakna seperti: memukul (sesuatu), membuat (perumpamaan), mendirikan (tenda), meniup (terompet), menghalangi, pergi, menikah, cenderung, merusak, mencegah, mengalikan, mencetak (koin) dan sebagainya1, melainkan juga terungkap dari rahasia di balik ketepatan, keserasian,

dan keseimbangan atau proporsionalitas (ta‟àdul) dalam pemilihan kosakata, irama, formula kata, hingga ta‟àdul ma‟nawi (keseimbangan makna).2

Tulisan ini merupakan hasil kajian tekstolinguistik3 secara kritis terhadap

sejumlah aspek atau dimensi ekonomi bahasa A-Qur‘an. Studi ekonomi bahasa ( al-iqtiêàdul lugawi) sendiri merupakan salah satu jenis kajian baru dalam dunia linguistik yang, menurut penulis, sangat menarik, diaplikasikan dalam melihat dan memakai teks dan konteks redaksi ayat-ayat Al-Qur‘an. Dengan memahami berbagai dimensi ekonomi bahasa Al-Qur‘an, terutama dalam persepektif Balàgah4 (eloquence,

1 Mengenai contoh redaksi konteks penggunaan kata

ََبَرَض lebih detil, lihat Aëmad Abù Sa‘d, Mu‟jam at-Taràkìb wa al-„Ibàràt al-Iêíilàëiyyah al-„Arabiyyah al-Qadìm minha wa al-Muwallad,

(Beirut: Dàrul ‗Ilmi lil Malàyín, 1987), Cet. I, h. 6.

2 Keseimbangan atau proporsionalitas penggunaan bahasa dalam Al-Qur‘an merupakan

kajian baru yang sangat menarik, karena dapat mengungkap berbagai dimensi keseimbangan dan keserasian ungkapan maupun pesan ayat-ayat al-Qur‘an. Keseimbangan dimaksud, antara lain, meliputi: keseimbangan fonologis (misalnya antara bunyi vokal dan konsonan), kesimbangan dalam delasi, keseimbangan morfologis, keseimbangan derivasi (musytaqqàt), keseimbangan dalam kedudukan kata (mawàqi‟ul i‟ràb), dan keseimbangan makna (ta‟àdul ma‟nawi). Lebih lanjut, lihat Ibtisàm Šàbit Muëammad, at-Ta‟àdul fil „Arabiyyah: Diràsah Ëawtiyyah Ëarfiyyah Naëwiyyah, (Bagdàd: Markaz al-Buëùš wad Diràsàtil Islàmiyyah, 2009).

3 Tekstolinguistik („Ilmul Lugatin Nashshí atau ‗Ilm Nashshil Lugah) merupakan salah satu

disiplin ilmu baru yang merupakan pengembangan dari tekstologi („Ilmun Nashsh) atau aplikasi dari linguistik terhadap teks. Tekstolinguistik berkaitan erat dengan ilmu sastra, balaghah, syair (puisi), gaya bahasa (al-uslùb), psikologi, sosiologi, filsafat, dan sebagainya. Tekstologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari konstruksi teks lisan (verbal) maupun non-verbal (tertulis). Ilmu juga diartikan sebagai kajian linguistik terhadap perangkat bahasa mengenai koherensi teks (tamàsuk nashshì), baik dari segi bentuk dan semantiknya (form and meaning). Kajian dalam tekstolinguistik menekankan pentingnya konteks (siyàq) dan adanya latar belakang bagi penerima pesan ketika melakukan analisis teks. Dengan kata lain, tekstolinguistik merupakan ilmu yang mengkaji teks sebagai unit kebahasaan terbesar, dengan memperhatikan berbagai aspeknya seperti koherensi, keterpaduan, referensi, konteks teks, peran pengirim dan penerima teks, baik lisan maupun tulis. Lihat Shubhi Ibrahim al-Faqi, „Ilmul Lugatin Naêêì Baina an-Naîariyyah wa at-Taíbìq: Diràsah Taìbíqiyyah „ala as-Suwar al-Makkiyah,(Kairo: Dàr Qubà‘, 2000), Jilid I, h. 33-36.

4 Dalam „Ilmul Ma‟ànì misalnya terdapat topik kajian seputar al-ìjàz (bracylogy), yaitu ekspresi

(3)

3 rhetoric) dan Tekstolinguistik –salah satu ilmu baru yang merupakan pengembangan dari tekstologi (‟ilmun nashsh) atau aplikasi linguistik terhadap pemaknaan teks, pembaca, pengkaji, dan penafsir (mufassir) Al-Qur‘an akan semakin yakin bahwa redaksi Al-Qur‘an itu merupakan integrasi teks dan konteks yang sangat ekonomis: diksi, intensi, dan aktualisasi yang efisien, efektif, sekaligus progresif. Pilihan kosakata (ikhtiyàr mufradàt), ungkapan, ragam jumlah ismiyyah atau fi‟liyyah (kalimat nomina dan verba), berikut gaya bahasa Al-Qur‘an (al-uslùbul Qur‟aní) dipastikan sarat makna, rahasia estetika, stilistika, dan nilai sastra yang tinggi, sehingga pesan dan makna selalu aktual dan kontekstual. Pembacaan dan pemaknaan teks dan konteks ayat-ayat Al-Qur‘an pada gilirannya dapat mengungkap secara lebih

mendalam dan indak kandungan dan pesan Al-Qur‘an.

Permasalahannya kemudian adalah bagaimana fenomena ekonomi bahasa Al-Qur‘an itu dipahami dalam persepektif ilmu balàgah dan tekstolinguistik? Jika diyakini bahwa tidak penggunaan bahasa Al-Qur‘an yang ―sia-sia, tanpa maksud dan

tujuan‖, apa saja dimensi yang dapat diungkap dan dijelaskan dari fenomena iqtiêàd lugawì dalam Al-Qur‘an? Bagaimana formulasi konteks dan implikasi ekonomi bahasa Al-Qur‘an terhadap pemaknaan dan penafsirannya? Tulisan ini berupaya

menjawab beberapa permasalahan tersebut dengan dilandasi tesis bahwa bahasa Arab Al-Qur‘an itu sarat dengan kemukjizatan linguistik (i‟jàz lugawí), antara lain tercermin pada fenomena ekonomi bahasanya: singkat kata, tetapi padat makna; efisien ungkapan, tetapi kaya pesan; dan ringkas dalam pelafalan, tetapi bernas dalam memberi wawasan.

menunjukkan makna yang beragam dengan menggunakan ungkapan yang sedikit, ringkas, tanpa merusak atau mengurangi maknanya. Ìjàz kemudian diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu

ìjàzul qishar dan ìjàz al-ëažf. Yang pertama merupakan formulasi ìjàz yang didasarkan pada penggunaan delasi (ëažf). Sedangkan yang kedua merupakan formulasi ìjàz disebabkan oleh penggunaan delasi beberapa ungkapan, berdasarkan penunjuk atau indikator (qarà‟in) terhadap ungkapan yang didelasikan. Lihat Abdurraëmàn Èasan Èabannakah al-Maidànì, Balàgah al-„Arabiyyah: Ususuhà, wa „Ulùmuhà, wa Funùnuhà, (Damaskus: Dàrul Qalam, 1996), Juz II, Cet. I, h. 26-29. Balagah sendiri umumnya dipahami sebagai ilmu yang mempelajari kesesuaian kalàm

(4)

4 B.Teks dan Konteks

1. Konsep Dasar Teks

Teks dalam bahasa Arab disebut nashsh. Kata

َّص

ن

dalam dunia bahasa Arab menunjukkan sejumlah makna yang dapat dilihat dari empat segi, yaitu: (a) mengangkat, meninggikan, dan memperlihatkan (al-raf‟u wal iîhàr), (b) konsistensi dan reliabilitas (al-istiqàmah wal šabàt), (c) berakhir pada sesuatu (al-intiëà‟ fisy syai‟), dan (d) konstruksi dan gerakan (al-tarkìb wal ëarakah).5 Menurut Ibnu Manzhùr,

naêê (teks) mengandung arti mengangkat, meninggikan, atau menjadikan tampak

atau terlihat, sehingga dari kata ini muncul kata

ةصَِم

(panggung, mimbar, podium) yang umumnya menonjol, berada dalam posisi yang lebih tinggi agar dapat dilihat oleh audien. Naêê juga berarti target atau tujuan akhir sesuatu6, karena melalui

teks, penyampai pesan (mursil) bermaksud mengantarkan dan memahamkan apa yang menjadi target dan tujuannya (ìêàl ar-risàlah wal ma‟na).

Karena itu, al-Jurjànì mendefinisikan teks (naêê) sesuatu yang membuat makna semakin jelas terhadap yang tampak pada mutakallim (pembicara, penyampai pesan); teks mengantarkan pembicaraan pada (kejelasan) makna.7 Dalam perspektif ilmul Uêùl, teks (naêê) dipahami sebagai lafaî yang terdapat dalam Al-Qur‘an dan as-Sunnah yang dijadikan sebagai dalil untuk penetapan hukum suatu masalah.8 Teks

itu adalah îahir (aspek luar) dari redaksi ayat Al-Qur‘an atau hadits Nabi.

Dalam linguistik modern, teks dipahami sebagai serangkaian kalimat yang saling berkaitan; atau setiap kalimat yang saling bertautan dan unsur-unsurnya memiliki relasi satu sama lain.9 Teks mengandung arti wacana atau alenia tertulis

5 Maëmùd Èasan al-Jàsim, Ta‟wìl al-Naêê Al-Qur‟ani wa Qaýàyàn Naëwi, (Damaskus: Dàrul

Fikril Mu‘àêir, 2010), h. 40

6 Ibn Manzhùr, Lisànul „Arab, entri nashaha; lihat juga Raddat Allah, Dalàlatus Siyàq,

(Mekkah: Jàmi‘ah Ummil Qura, 2003), h. 251-252.

7 Al-Jurjànì, Kitâb al-Ta‟rìfàt, Tahqiq Ibràhìm al-Ibyàri, (Kairo: Dàrul Bayàn lit Turàš, tt.), h.

309.

8 Ibn Èazm al-Adalùsì, al-Ihkàm fi Ushùlil Aëkàm, (Beirùt: Dàrul Àfàqil Jadìdah, 1400 H), Jilid

I, h. 42.

(5)

5

maupun verbal (diucapkan) –seberapa pun panjangnya— dengan ketentuan merupakan satu kesatuan yang utuh.10 Wacana adalah organisasi bahasa di atas

kalimat atau di atas klausa. Wacana merupakan seperangkat preposisi yang saling berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi penyimak atau pembaca. Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap.11

Teks memang mengemban ‖tugas komunikatif‖ (waîìfah tawàêuliyyah).

Karena itu, teks juga dimaksudkan sebagai ‖bangunan kebahasaan yang terstruktur

sedemikian rupa yang menjalankan fungsi komunikatif, baik mengandung makna (penunjukan) yang jelas maupun masih mengadung ta‟wìl.12

Dalam hal ini, Tammàm Èassàn menegaskan bahwa teks bahasa Arab merupakan konstruksi kata dan kalimat yang mengandung pesan atau makna. Makna itu dipahami dari relasi antarkata, antarkalimat, dan antarparagraf sebagai sebuah sistem terpadu. Menurutnya, penggunaan bahasa, lisan maupun tulis, yang kemudian membentuk teks, pada akhirnya bermuara kepada dua hal: sistem ( al-niîàm) dan ekstensifikasi (tawassu‟). Sebagai sistem, penggunaan bahasa Arab potensial memiliki multimakna bagi satu konstruksi (mabna), baik pada tataran morfologis maupun leksikal. Misalnya saja, partikel (adàt)

ام

dapat berarti nàfiyah

(negasi), istifhàmiyyah (kata tanya), syaríiyyah (kondisional), ta‟ajjubiyyah (eksklamasi), dan seterusnya sesuai dengan keberadaannya dalam sistem kalimat (teks). Demikian pula kata

"برض"

dapat berarti memukul seperti dalam kalimat:

ابلكَمدا اَ برض

;

dapat juga berarti membuat seperti:

اثمَهاَبرض

atau berarti bepergian seperti:

َاذإو

10mad ‗Afìfì, Naëwun Naêê: Ittijàh Jadìd fid Darsin Naëwi, (Kairo: Maktabah Zahràisy Syarq,

2001), h. 23.

11 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: Gramedia, 1984), h. 208; dan Henry

Guntur Tarigan, Pengajaran Wacana, (Bandung: Angkasa, 2009), Edisi Revisi, h.24.

(6)

6

َ:ءاس لاَةروسَُ...ةاصلاَنمَاورصقتَنأَحا جَمكيلعَسيلفَضرأاَيَمتبرض

ٔٓٔ

َ

dan dapat

pula berarti ‖kali‖ (bilangan) seperti:

...ةتسَيَةسمَبرض

dan seterusnya.13

Sementara itu, penggunaan bahasa yang bermuara pada ekstensifikasi adalah berupa mutasi (al-naql) konstruksi kata atau kalimat dari makna yang populer kepada makna yang lain, baik pada tataran sintaksis maupun tataran leksikal. Para ahli nahwu dalam hal, antara lain, memberikan contoh mutasi kalimat informatif (jumlah khabariyyah) beralih makna do‘a seperti:

كيفَ هاَ كراب

; kalimat tanya beralih makna kalimat pengingkaran seperti:

؟كيلعَ هاَ ةمعنَ رك تأ

; sementara mutasi pada tataran leksikal dapat dijumpai pada sejumlah fenomena penggunaan lafaî yang berubah dari makna hakiki menjadi makna majàzi (metafor).

Hal ini menjadi bahasan utama ‗Ilmul Bayàn (art of tropes).14

Sebagai peristiwa komunikasi, menurut Tammâm mengutip pendapat Beaugrande, teks harus memenuhi tujuh kriteria berikut: (1) kohesi (al-sabk) atau keterkaitan gramatikal (ar-rabíun naëwì), (2) koherensi (al-ta‟lìq) atau keterpaduan semantik (at-tamasuk ad-dalàlì), (3) intensionalitas (al-qashd) atau tujuan teks, (4) akseptabilitas (al-qabùl), sikap penerima atau pembaca teks terhadap keberterimaan pesan teks, (5) informativitas (al-ma‟lùmiyyah, al-I‟làmiyyah), prediksi terjadinya informasi atau tidaknya, dan (6) situasionalitas (al-mawqif), dan intertektualitas ( al-tanàshsh). Semua itu bergantung pada pengguna atau pembaca teks. Ketujuh kriteria ini menjalankan prinsip-prinsip formatif (pembentukan) dan prinsip-prinsip regulatif yang menentukan dan menciptakan komunikasi. Prinsip-prinsip regulatif yang dimaksud adalah (1) efisiensi (al-kafà‟ah), (2) efektivitas (al-ta‟tsìr), dan (3) relevansi (al-munàsabah).15 Dalam konteks ini, kajian ekonomi bahasa Al-Qur‘an

melihat dan mencermati penggunaan kata, ungkapan, kalimat, dan gaya bahasa dari

13 Tammàm Hassàn, Maqàlàt fi l Lugah wal Adab, (Kairo: ‗Àlamul Kutub, 2006), Jilid I, h.

475-476.

14 Tammàm Èassàn, Maqàlàt fil Lugah wal Adab, Jilid I, h. 476.

(7)

7

segi efisiensi dan keekonomiannya yang dipadukan dengan luasnya makna yang dapat diungkap.

Di manapun dan kapanpun, teks bahasa dikendalikan oleh relasi linguistik (kebahasaan) yang mempunyai dua aspek: lafîi dan maknawi. Karena esensi bahasa, termasuk bahasa Al-Qur‘an, adalah sinergi antara makna dan mabna, antara form

dan function, atau antara simbol dan pesan. Relasi ini bekerja untuk mengoherensikan dan menyatupadukan semua yang menjadi bagian atau unsur pembentuk teks. Dari relasi sub-sub teks inilah, interpretasi dan pemaknaan dilakukan.16

Eksistensi teks pada dasarnya meniscayakan makna yang progresif. Karena teks selalu terbuka untuk dimaknai. Teks itu bermakna dinamis, karena relasi antara teks dengan makna bukan hubungan statis, dan pasti. Menurut Heideger, dan Gadamer teks bahasa tidak memiliki dalàlah (penunjukan makna) tunggal, karena bahasa tidak mesti menunjuk sesuatu.17 Karena itu, teks-teks, tidak mesti

menunjuk sesuatu, dan makna tertentu.

Memahami teks-teks agama (Al-Qur‘an dan hadits Nabi), pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan memahami teks-teks lain sebagai sistem simbol (tanda). Secara sederhana, Al-Qur‘an berisi pelbagai tanda (al-àyah). Jika simbol-simbol bahasa tidak menunjuk secara langsung pada realitas objektif-eksternal (al-wàqi„ul khàrijì al-mawýù„ì), tetapi, simbol bahasa tersebut menunjuk pada pandangan, pemahaman, dan pikiran dalam komunitas tertentu, maka bahasa tersebut berada

dalam ranah ―budaya‖ karena bahasa merupakan subsistem budaya.18 Pada tataran

inilah pemahaman teks Al-Qur‘an perlu dikaitkan dengan aspek sosial budaya di

mana teks itu lahir dan dikonstruksi. Asbàbun nuzùl dan sistem sosial budaya yang mengitari teks atau ayat-ayat Al-Qur‘an menjadi penting ditelusuri dan

16 Maëmùd Èasan al-Jàsim, Ta‟wìlun Naêê…, h. 131.

17 Naêr Èàmid Abù Zayd, Isykàliyyàtul Qirà‟ah wa Àliyyàtut Ta‟wìl, (Beirùt: al-Markazus Šaqàfí

Al-‗Arabì, 1999), Cet. V, h. 42.

18 ‗Azmì Islàm, Mafhùm al-Ma„nâ: Diràsah Taëlìliyyah, (Kuwait: Fakultas Adab, Universitas

(8)

8

direkonstrusi guna memperoleh pemaknaan dan pemahaman yang lebih kontekstual.

2. Konsep Dasar Konteks

Jika naëwu mempelajari relasi antarkata dalam struktur kalimat dan memberikan konteks internal kebahasaan (as-siyàqul lugawì ad-dàkhilì), maka balàgah berupaya melampaui konteks internal kebahasaan itu dengan aspek eksternal, di luar bahasa, atau sering disebut dengan muqtaýal ëàl atau siyàq al-mawqif (konteks situasi dan kondisi di luar teks, seperti: kondisi penerima pesan, persistiwa sosial, sistem sosial budaya, dan sebagainya).

Konteks dalam bahasa Arab disebut siyàq, berasal dari s-w-q, yang mengandung arti: keberturutan, keberlanjutan (at-tawàli) atau kehadiran ( al-tawàrud). Dengan kata lain, konteks meniscayakan kehadiran unsur-unsur bahasa yang dilihat secara berlanjut dan menyeluruh. Menurut Tammàm, konteks dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, keberlanjutan unsur-unsur yang menjadikan struktur dan kohesi itu terjadi. Inilah yang disebut dengan konteks teks (siyàqun naêê). Kedua, keberlanjutan dan kehadiran peristiwa yang menyertai penggunaan bahasa dan mempunyai relasi dengan komunikasi. Inilah yang disebut dengan konteks situasi (sosial) atau siyàqul mawqif. Kedua konteks tersebut mempunyai relasi seperti relasi umum dan khusus, yang disebut dalàlatun naêê (penunjukan atau makna teks) atau qarìnatun naêê (indikator teks).19

Konteks teks atau konteks bahasa itu sendiri merupakan objek kajian naêwu (al-naëwu mawýù‟uhu as-siyàq).20 Karena, menurut Tammâm, nahwu mengkaji relasi

antarkata dalam struktur kalimat sebagai sebuah sistem. Karena itu, pemahaman terhadap kehadiran unsur-unsur yang membentuk kata, kalimat, paragraf dan wacana sangat menentukan makna. Konteks hadir dalam spektrum bahasa yang luas dan menyeluruh, meliputi konstruksi morfologis, semantik, dan kosakata,

19 Tammàm Èassàn, Maqàlàt fil-Lugah wal Adab, Jilid II, h. 65.

20 Tammàm Èassàn, al-Ushùl: Diràsah Epistimùlujiyyah lil Fikril Lugawí „indal „Arab: al-Naëw

(9)

9

leksikon, serta mencakup aneka makna bahasa: makna konvensional, makna rasional, dan makna natural. Dengan kata lain, qarìnatus siyàq (indikator konteks)

merupakan qarìnah paling menentukan makna gramatikal maupun makna

kontekstual teks itu sendiri.21 Sebagai contoh, sabda Rasulullah berikut:

َلوسرَلاق

َملسمَ اورَُءا اَنمَءا اَامإَملسوَ يلعَهاَىلصَها

Jika diartikan secara leterlek, maka

hadis ini tidak dapat dipahami dengan baik: ―Air itudari air‖.22 Jika dilihat konteks

sosial, hadis yang sangat singkat (ekonomis) ini berkaitan dengan peristiwa yang dialami oleh seorang sahabat dari Baní Sàlim, pada saat Nabi dan Abu Sa‘íd al

-Khudrí pergi ke kampung Quba‘, maka pesan yang disampaikan Nabi intinya adalah bahwa mandi wajib (janàbah) disebabkan oleh air sperma. Jadi, al-mà‟ yang pertama itu berarti guslul janàbah, sedangkan al-mà‟ yang kedua adalah manìyyul yumna (air sperma) yang keluar, baik disebabkan oleh mimpi atau hubungan suami istri.

Konteks mempunyai signifikansi yang strategis dalam menentukan makna teks yang dikehendaki. Karena itu, ulama bahasa Arab di masa lalu merumuskan

signifikansi teks dengan pernyataan: ‖

لاقمَماقمَلكل

‖ (Setiap konteks mempunyai

teks atau ungkapannya tersendiri). Hal ini mengandung arti bahwa pemahaman terhadap konteks, baik konteks kebahasaan (as-siyàqul lugawì) maupun konteks non-kebahasaan (as-siyàqu ghairul lugawì), seperti misalnya asbàbun nuzùl dalam penafsiran suatu ayat, menjadi suatu kemestian. Tammàm misalnya memberikan

21 Tammàm Èassàn, al-Bayân fi Rawâ‟i Al-Qur‟an: Diràsah Lugawiyyah wa Uslùbiyyah lin Naêê

Al-Qur‟ànì,(Kairo: ‗Àlamul Kutub, 2000), Jilid I, h. 173.

22

Konteks sosial dari hadis tersebut dapat dipahami dari kelengkapan hadis berikut: ا ثدح ىيحي نب ىيحي بويأ نب ىيحيو

ةبيتقو باو رجح ن لاق ىيحي نب ىيحي ا ثدح نورخآا لاقو انربخأ

ليعمسإ

رفعج نبا و و نع

رمن يبأ نبا ي عي كيرش نع يردخلا ديعس يبأ نب نمحرلا دبع نع

يبأ ىلص ها لوسر عم تجرخ لاق

ذإ ىتح ءابق ىلإ ني ثاا موي ملسو يلع ها خرصف نابتع باب ىلع ملسو يلع ها ىلص ها لوسر فقو ملاس ي ب يف ا ك ا

نع لجعي لجرلا تيأرأ ها لوسر اي نابتع لاقف لجرلا ا لجعأ ملسو يلع ها ىلص ها لوسر لاقف رازإ رجي جرخف ب ءاملا نم ءاملا امنإ ملسو يلع ها ىلص ها لوسر لاق يلع اذام نمي ملو تأرما َ

َملسمَ اورُ َ

(10)

10

contoh bagaimana makna leksikal

اِإ

tidak selamanya berarti ―kecuali‖ (istišnà‟), misalnya dalam surat Íàhà/20:2-3 berikut:

ََ ةَرِكْذَتََاِإَ

ٕ

ََ ىَقْشَتِلَََناَءْرُقْلٱَََكْيَلَعَاَْلَزنَأ

اَم

ٖ

َ َ ىَشَََْنَمِل

.

Dalam ayat ini, konteks (keseluruhan dan keterpaduan

unsur-unsur bahasa dalam ayat ini) menghendaki makna istišnà‟ (eksepsi) tersebut ditransformasi menjadi makna istidràk (

نكل

, tetapi) karena frase pada ayat setelah

اإ

itu merupakan frase penetapian dari ayat sebelumnya23: ―Tidaklah Kami

menurunkan Al-Qur‘an kepadamu (Muëammad) agar kamu menderita, tetapi

(bukan kecuali) agar menjadi peringatan bagi orang mau mendekatkan diri dengan

hati penuh takwa.‖ (QS. Íàhà/20: 2-3). Dengan kata lain, melalui konteks, kita dapat memahami adanya mutasi makna (naqlul ma‟na) dari makna leksikal menjadi makna kontekstual yang lebih relevan dan tepat untuk dimengerti pesannya.

Konteks tidak dapat dipisahkan dari struktur bahasa. Struktur linguistik

Al-Qur‘an pada umumnya mengandung multi-interpretasi. Namun demikian, pemahaman terhadap konteks redaksi ayat memungkin kita menyingkap makna yang lebih mendekati kebenaran. Dengan kata lain, pemahaman konteks membuat interpretasi ayat-ayat Al-Qur‘an tidak terkungkung oleh makna leksikal (ma‟na mu‟jamì) suatu lafaî atau ungkapan. Pengalihan makna leksikal menjadi makna

kontekstual mutlak dipengaruhi oleh pemahaman pembaca teks A-Qur‘an. Mutasi

dan transformasi makna sedemikian penting atau signifikan, karena Al-Qur‘an

memang diturunkan dan ditransmisikan dengan makna dan lafaî sekaligus dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Sedemikian signifikansinya konteks teks dan konteks sosial, Tammàm Èassàn misalnya memberi contoh pemaknaan ayat berikut dengan pemahaman yang sangat logis dan menarik:

َ

ٕٔٓ

َ:

ٖ

/نارمع

َ

لآ

َ

ََنوُمِلْسم

َ

مُتنَأَو

َ

َاِإ

َ

َنُتوََُ

َ

ََاَو

Jika

diartikan secara leksikal, maka redaksi terjemahannya adalah: ―Dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Muslim.‖ Secara sepintas, penerjemahan tersebut seolah

(11)

11

tidak ―bermasalah‖. Akan tetapi jika dipahami secara rasional, maka seharusnya:

―mati itu tidak perlu dilarang‖ (semua manusia pada akhirnya pasti mati, tanpa

harus dilarang). Karena itu, konteks redaksi ayat tersebut bukan melarang ―mati‖, melainkan ―memerintahkan umat Muslim untuk berpegang teguh atau berkomitmen kuat (iltizàm wa istiqàmah) kepada Islam hingga mati‖.24 Jadi, makna

kontekstual ayat yang hampir selalu dibaca khatib pada setiap Jum‘at tersebut

adalah: ―Kalian harus memiliki komitmen dan sikap istiqamah yang kuat dalam beriman dan berislam hingga meninggal dunia dengan husnul khàtimah‖.

Oleh karena itu, konteks mempunyai banyak fungsi, antara lain adalah (a) mengukuhkan kepastian suatu penunjukan makna yang masih mengandung kemungkinan, (b) menjelaskan yang bersifat global, rujukan prenomina dan bacaan yang tepat suatu kata dalam struktur kalimat, dan (c) merevisi penafsiran yang kurang atau tidak tepat, dan (d) menolak praduga adanya ayat-ayat yang saling bertentangan.25

Dalam kajian linguistik modern, pemahaman terhadap konteks dilandasi oleh sebuah asumsi bahwa sistem bahasa itu, termasuk bahasa Al-Qur‘an, saling berkaitan satu sama lain di antara unsur atau unit-unitnya, dan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Karena itu, dalam menentukan makna, diperlukan adanya penentuan berbagai konteks yang melingkupinya. Teori yang dikembangkan oleh Wittgenstein maupun K. Ammer ini menegaskan bahwa makna suatu kata dipengaruhi oleh empat konteks, yaitu: (a) konteks kebahasaan, (b) konteks emosional, (c) konteks situasi dan kondisi, dan (d) konteks sosio-kultural.26

Konteks kebahasaan terkait erat dengan konstruksi bahasa itu sendiri. Kata mempengaruhi makna kalimat. Akan tetapi, kalimat (keseluruhan rangkaian kata) mempengaruhi makna kata tertentu dalam kalimat itu. Artinya, makna kontekstual diperoleh dan dipahami dari keseluruhan konstruksi kata yang membentuk

24 Tammàm Hassàn, al-Bayàn fi Rawà‟i‟ Al-Qur‟an... h. 164.

25Abdullah, Zaid ‘Umar, ‖al-Siyàq Al-Qur‘àni wa Ašaruhu fil Kasyfi ‘an al-Manà‘ni‖, diakses

dari http://alukah.net., 20 April 2010.

26 Farìd ‗Iwaý Haidar, „Ilmud Dalàlah: Diràsah Naîariyyah wa Tathbîqiyyah, (Kairo: Maktabatul

(12)

12

kalimat.27 Kata

"لللصفلا"

dalam enam kalimat berikut maknanya pasti berbeda,

meskipun akar katanya sama. Perhatikan dan pahami konteks enam kalimat berikut:

ٔ

َانأرق

سما اَلصفلا

َ

."كيديَنبَةيبرعلا"َباتكَنم

(bab, bagian)

ٕ

َلمأَو َعيبرلاَنإ

لصف

ََ

.ة سلاَلوصفَنم

(musim)

ٖ

َيَنآاَا نإ

لوأاَلصفلا

َ

يساردلاَماعلاَاذ َنم

َ.

(semester)

ٗ

َاند اش

ياثلاَلصفلا

َ

.ةيحرس اَنم

(babak, episode)

٘

َملتسي

َلماععلا

َرارق

لمعلاَنمَلصفلا

(pemutusan hubungan kerja, PHK)

ٙ

َُلنِإ

ۥ

َ

َ لْولَقَل

َ

َ للْصَف

َ

//رالطلا

ٛٙ

َ:

ٖٔ

(firman pemisah (antara yang hak dan

yang batil)

َ

Konteks kebahasaan berkaitan dengan struktur kata dalam kalimat yang dapat menentukan makna yang berbeda, seperti taqdìm (posisi didahulukan) dan ta‟khìr

(diakhirkan), seperti:

"

باللتكلاَةءارللقَقأَدللمأ"

berbeda dengan:

"دللمأَاللمَأَباللتكلاَةءارللق"

. Konteks emosional dapat menentukan makna bentuk kata dan strukturnya dari segi kuat dan lemahnya muatan emosional, seperti dua kata yang berarti "membunuh", yaitu:

"

لللتق"وَ"لاللتغا

"

; yang pertama digunakan dalam pengertian membunuh orang yang mempunyai kedudukan sosial yang tinggi dan dengan motif politis, sedangkan yang kedua berarti membunuh secara membabi buta dan ditujukan kepada orang yang tidak memiliki kedudukan sosial yang tinggi. Konteks situasi adalah situasi eksternal yang membuat suatu kata berubah maknanya karena adanya perubahan situasi. Sedangkan konteks kultural adalah nilai-nilai sosial dan kultural yang mengitari kata yang menjadikannya mempunyai makna yang berbeda dari makna leksikalnya. Makna yang demikian dapat dijumpai dalam peribahasa, seperti:

البزلاَليلسلاَ للب

maknanya adalah "Nasi telah menjadi bubur", bukan "Air bah telah mencapai tempat yang tinggi".

Menurut J.R. Firth, teori konteks sejalan dengan teori relativisme dalam pendekatan semantik bandingan antarbahasa. Makna sebuah kata terikat oleh lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu. Teori ini juga mengisyaratkan bahwa sebuah kata atau simbol tidak mempunyai makna jika ia terlepas dari konteks. Namun demikian, ada yang berpendapat bahwa setiap kata

27 Muëammad ‗Alì al-Khùlì, „Ilmud Dalàlah („Ilmul -Ma‟na), (‗Amman: Dàrul Falàë, 2001), h.

(13)

13

mempunyai makna dasar atau primer yang terlepas dari konteks situasi. Kata baru mendapatkan makna sekunder sesuai dengan konteks situasi. Singkatnya, hubungan makna itu, bagi Firth, baru dapat ditentukan setelah masing-masing kata berada dalam konteks pemakaian melalui beberapa tataran analisis, seperti leksikal, gramatikal, dan sosio-kultural.28 Dengan demikian, teks dan konteks ayat, pada

gilirannya, dapat mengantarkan kita kepada penelusuran ekonomi bahasa

Al-Qur‘an, sehingga dapat diketahui dimensi dan implikasi keekonomiannya.

C. Dimensi Ekonomi Bahasa Al-Qur’an 1. Definisi Ekonomi Bahasa A-Qur’an

Penggunaan bahasa dapat diklasifikasikan menjadi dua: berbahasa ekonomis dan tidak ekonomis. Jika dibandingkan dengan bahasa lainnya, bahasa Arab memiliki sejumlah karakteristik yang unik. Selain dinilai sebagai lughatul isytiqàq (bahasa yang kaya derivasi, turunan kata), bahasa Arab juga dinilai sebagai bahasa yang ekonomis.29 Ungkapannya ringkas atau pendek, tetapi maknanya luas,

mendalam, dan kontekstual. Jadi, ekonomi (iqtiêàd) merupakan salah satu ciri khas bahasa Arab30, termasuk bahasa A-Qur‘an.

Menurut Fakhruddin Qabawah, ekonomi bahasa (iqtiêàd lugawì) adalah penyampaian sebesar mungkin pesan (makna) oleh pengguna bahasa dengan sesedikit mungkin penggunaan pemikiran dan ungkapan.31 Dengan kata lain,

ekonomi bahasa berorientasi kepada efisiensi penggunaan kata-kata, ungkapan, frase, dan kalimat, tetapi mengandung makna dan pesan yang luas dan mendalam.

28Faríd ‗Iwaý Èaidar, „ilmud Dalàlah..., h. 157.

29Bahasa Arab, antara lain, memiliki karakteristik yang elastis (murùnah), menganut sistem derivasi dan analogi (isytiqàq wa qiyàs) yang komprehensif, dan memiliki perbendaharaan kata (šarawàt lugawiyyah wa mufradàt) yang kaya dan adaptif (mampu beradaptasi menyesuaikan dengan perkembangan zaman). Mengenai karakteristik bahasa Arab sebagai bahasa Semit, lihat selengkapnya ulasan Aëmad Muëammad Qaddùr, Madkhal ila Fiqhil Lugatil „Arabiyyah, (Damaskus: Dàrul Fikr, 1999), h. 52-55.

30 Menurut Tammàm Èassàn, bahasa Arab mempunyai tiga karakteristik utama, yaitu:

durjiyyaut tanîìm (gradasi sistematika), iqtiêàd (ekonomi), dan muràwagatul labs (peniadaan bias). Ekonomi bahasa Arab terlihat pada penggunaan kata, ungkapan, dan kalimat yang ringkas, singkat, dan padat, tetapi mengandung makna yang luas dan mendalam. Lihat Tammàm Èassàn, Maqàlàt fil Lugah wal Adab, Jilid II, h. 289 dan seterusnya.

31 Fakhruddìn Qabàwah, al-Iqtiêàdul Lugawì fi Ëiyagatil Mufrad, (Giza: al-Syarikatul Miêriyyah

(14)

14

Ekonomi bahasa juga mengandung pengertian efisiensi pemikiran dalam berbahasa, karena aktivitas berbahasa pasti didahului dengan berpikir.

Bahasa Al-Qur‘an merupakan bahasa yang paling ekonomis: singkat, padat dan tepat, baik dari segi diksi, intensi, dan ekspresinya. Tujuan ekonomi bahasa

Al-Qur‘an adalah pertama, takhfìf (peringanan dan pemudahan), baik pada level fonetik (pelafalan, pengucapan) maupun pada level morfologis (konstruksi kata menjadi lebih ringan, tidak berat dalam pengucapan maupun penulisannya). Selain itu, ekonomi bahasa Al-Qur‘an juga dimaksudkan untuk memberikan rukhêah

(dispensasi). Hal ini sesuai dengan semangat ayat berikut:

َْدَقَلَو

َ

اَنْرسَي

َ

ََناَءْرُقْلٱ

َ

َِرْكِذلِل

َ

َْلَمَلف

َ

نِم

َ

َ رِكدم

َ

/رمقلا

٘ٗ

َ:

ٔٚ

َ

Artinya: ―Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?‖ (QS. Al-Qamar/54: 17)

Kedua, kontekstualisasi substansi makna dan mabna (konstruksi bahasa), baik pada tataran diksi maupun tataran ekspresi, termasuk gaya bahasa. Sebagai contoh, pesan yang berisi perintah tidak selalu dan selamanya menggunakan verba imperatif (fi‟lul amr) atau verba muýàri‟ (present and future tense) yang didahului dengan lamul -amr. Dalam konteks ini Al-Qur‘an menampilkan maêdar (infinitive) sebagai pengganti amr, seperti dalam ayat berikut:

َ

ََا

َ

ََليِء

ٓ

َ َرْسِإ

َ

ٓ

َِنَب

َ

ََق َثيِم

َ

اَنْذَخَأ

َ

َْذِإَو

ََنوُدُبْعَلت

َ

َاِإ

َ

ََللٱ

َ

َِنْيَدِل َوْلٱِبَو

َ

ةرقبلاَُ ....ا ناَسْحِإ

/

ٕ

َ :

ٖٛ

َ

(Dan (ingatlah) ketika Kami

mengambil janji dari Bani Isràìl, "Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua…) (QS. al-Baqarah/2: 83)

(15)

15

Dalam tiga ayat tersebut terdapat ism mawêùl, yaitu dan al-laži. Biasanya setelah ism mawêùl terdapat êilah mawêùl yang dibarengi dengan ýamìr yang merujuk kepada mawêùl -nya sebelumnya. Pada ayat pertama dan kedua, setelah bimà

terdapat fi‟il (verba) yang biasanya disertai ýamìr (prenomina), sehingga redaksi yang biasanya digunakan orang Arab adalah bimà kànù yaksibùnahu. Demikian pula pada ayat ketiga, setelah al-laži, orang Arab biasanya meenghubungkan shilah mawshùl-nya itu dengan ýamìr, sehingga redaksinya menjadi al-laži „amilùhu. Namun demikian, peniadaan ýamìr tersebut, membuat lebih ringan (akhaffu) diucapkan, tidak membuat makna menjadi kabur, dan tetap kontekstual.

Keempat, ekonomi bahasa Al-Qur‘an juga didesain untuk penyesuaian ritme

(al-íqà‟, rhytme) redaksi dalam serangkaian ayat yang puitis dan menyentuh kalbu. Misalnya ayat berikut:

ٗ

ٕٓ

/ ط

َ

ىَلُعْلٱ

َ

َِت َو َمسلٱَو

َ

ََضْرَْأٱ

َ

ََقَلَخ

َ

َْنِِ

َ

َ ايِزَت

.

Secara gramatikal, sifat al-„ulà asalnya adalah al-„ulyà, bentuk muannaš dari al-a‟là (yang sangat tinggi), namun untuk menyesuaikan dengan ritme dan irama (musikalitas) ayat, maka huruf yà‟ didelasi, sehingga menjadi al-„ulà. Ritme ayat yang dipadu dengan naîm (versivication) atau keteraturan dan keindahan struktur dan gaya bahasa, menjadikan delasi yà‟tersebut lebih mengena dan mempesona. Dalam aspek inilah terkandung salah satu bentuk kemukjizatan al-Qur‘an dari segi bahasanya.32

Dalam konteks ini, musikalitas ayat-ayat Al-Qur‘an termasuk sangat unik dan

tiada duanya di masa turunnya. Orang Arab mengakui dan mengagumi orisinalitas ritme dan keindahan lantunan ayat-ayat Al-Qur‘an. Ketika dibacakan, menurut

Muêíafà Ëàdiq ar-Ràfi‘í, lagu dan ritme ayat itu serasa tidak dibacakan, melainkan

mengalir bagaikan lantunan lagu yang merasuk dalam kalbu. Karena itu, kemukjizatan bahasa Al-Qur‘an (al-i‟jàzul lugawí al-bayànì) tidak hanya terletak pada akurasi (diqqah) pemilihan kata (diksi), keserasian ungkapan dan kalimat, melainkan pada kesempurnaan bahasa (al-kamàlul lugawì), pengulangan (at-takràr), keelokan gaya bahasa, dan musikalitasnya yang berkualitas, merdu, dan puitis.33

2. Aneka Dimensi Ekonomi Bahasa Al-Qur’an

32Abdul ‗Aîím Ibràhím al-Maì‘aní, Khaêàiêut Ta‟bíril Qur‟àní waSimàtuhul Balàgiyyah,

(Kairo: Maktabtu Wahbah, 1992), Jilid I, Cet. I, h. 156.

(16)

16

Diakui bahwa bahasa Al-Qur‘an, mulai pemilihan kosakata (diksi), ungkapan („ibàrah) kalimat (jumlah), akurasi penggunaan gaya bahasa (uslùb) dan ritme (íqà‟) menunjukkan kebalagahan tingkat tinggi dan tidak mungkin dibuat atau ditirukan oleh siapapun. Ekonomi bahasa Al-Qur‘an, menurut penelusuran penulis, setidak-tidaknya hadir dalam enam dimensi. Dimensi lafaî dan anmàí

(struktur dan pola kalimat) menjadi dimensi paling menonjol dalam ekonomi bahasa Al-Qur‘an.

Pertama, dimensi delasi (hadzf). Banyak redaksi ayat Al-Qur‘an yang berdiksi delasi, baik pada tataran huruf, kata, atau kalimat. Misalnya saja delasi pada tataran huruf seperti: ٤

َ رْمَأََِلُكَنِمَمَِِِرََِنْذِإِبَاَميِفََُحورلٱَوََُةَكِئ َلَمْلٱََُلزَلَلت

atau

َعِطْسَتَََْلَاَمََُليِوْأَتَََكِل

ذ

ٕٛ

َ ا رْلبَصََِْيَلع

.34 Dari segi morfologi (sharaf), verba

لّز ت

itu mengikuti wazan

(formula): لعفتت (tatafa‟alu), terjadi delasi satu huruf. Sedangkan ayat berikut

َ

َْمُتْفِخ

َ

َْنِإَف

ٖ

َاوُلوُعَلتََاَأََ َنْدَأَََكِل َذََْمُكُ َْيَأََْتَكَلَمَاَمََْوَأََ ةَدِح َوَلفَاوُلِدْعَلتََاَأ

mengandung delasi pada

jawab syarath setelah fa‟. Jika dicermati terjemahan ayat ini (Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim), maka setidak-tidak ada dua kata atau satu kalimat yang didelasi, yaitu :

ةأرم

اوحكناف

sehingga menjadi lebih ekonomis: singkat, padat, dan bernas!

Kedua, dimensi majàz (metofor), yaitu pengalihan atau mutasi makna (naqlul

ma‟na) pada level leksikal dari makna hakiki kepada makna metafor karena adanya

qarìnah (indikator) dan „alàqah fanniyah (relasi artistik) yang mengharuskan pengalihan makna kepada yang lebih rasional. Dimensi ekonomi bahasa Al-Qur‘an

34Menurut ‗Alí as-Ëàbùnì, dalam ayat tersebut terdapat ìjàz bil ëažf berupa delasi huruf tà‟ (lam tasìi‟). Delasi dalam konteks ayat ini menunjukkan pendek atau sedikitnya kesabaran Mùsa

(17)

17

dari segi majàz merupakan bagian dari kajian „ilmul bayàn.35 Sebagai contoh adalah

ayat berikut:

َِلَ لْسَو

َ

ََةَيْرَقْلٱ

َ

َِتلٱ

َ

ا ُك

َ

اَميِف

َ

ََرِعْلٱَو

َ

َِتلٱ

َ

اَْلَلبْلقَأ

َ

اَميِف

َ

انِإَو

َ

ََنوُقِد َصَل

َ

سنوي

/

ٔٓ

َ:

ٕٛ

َ

Dalam ayat tersebut terdapat delasi kata “ahl” sebelum al-qaryah, karena tidak

mungkin dan tidak rasional ―al-qaryah ditanyai. Yang ditanyakan pastilah penduduk kampung/negeri itu, sehingga wajar jika ayat tersebut diterjemahkan

menjadi: ―Dan tanyalah (penduduk) negeri tem-pat kami berada, dan kafilah yang datang bersama kami. Dan kami adalah orang yang benar." (QS. Yunus/10: 82)

Ketiga,ta‟addud al-ma‟na li al-mabna al-wàëid (multimakna dari sebuah konstruksi kata). Hal ini, antara lain, seperti telah diuraikan sebelumnya, makna kata ýaraba

yang beragam itu. Demikian pula makna adawàt (partikel), misalnya min, yang bisa berarti: dari, sebagian, termasuk, sebab, berupa, di, dan sebagainya sesuainya dengan konteksnya. Multimakna dari sebuah kata ini menunjukkan bahwa bahasa Al-Qur‘an itu ekonomis, tidak boros.

Keempat, an-naql (pengalihan, mutasi) makna. Dalam bahasa Arab, kalimat verba tidak selama menunjukkan pernyataan atau berita tertentu. Tidak sedikit, kalimat verba digunakan dalam konteks berdoa, sehingga terjadi pengalihan makna dari makna ikhbàri menjadi makna do‘a. Misalnya:

َعموَ،كيلعَكرابوَ،كلَهاَكراب

امك يب

َ

.رخَ ي

Ungkapan semacam ini tentu saja lebih ekonomis karena dapat

―menghemat‖ penyebutan:

ا برَوأَّممللا

. Ungkapan ekonomis semacam ini juga tidak jarang diposisikan sebagai jumlah mu‟tariýah (kalimat sisipan) yang mengandung arti

35 Menurut Tammàm Èassàn, „ilmul bayàn merupakan ilmu taktik leksikologis, dengan

(18)

18

doa dan harapan baik, seperti:

ملسوَ يلعَهاَىلص

setelah penyebutan nama Nabi Muëammad.

Kelima, peniadaan kata kerja bantu (al-af‟alul musa‟idah atau auxiliary verb) dalam mengekspresikan antara subjek (mubtada‟) dan khabar (prediket) pada jumlah ismiyyah. Berbeda dengan bahasa Inggris yang dalam struktur kalimatnya memerlukan kata kerja bantu seperti: are, is, am, kalimat bahasa Arab, khususnya

jumlah ismiyyah pada umumnya tidak memerlukannya, sehingga kalimatnya menjadi lebih ekonomis, seperti beberapa ayat berikut:

ٔ

-َُللٱ

َ

َُروُن

َ

َِت َو َمسلٱ

َ

َِضْرَْأٱَو

َ

...

َ

/رو لاُ

ٕٗ

َ:

ٖ٘

َ

ٕ

-اَمِإ

َ

ََنوُِمْؤُمْلٱ

َ

َ ةَوْخِإ

/تارج اَُ...

ٜٗ

َ:

ٔٓ

َ

ٖ

-/صاخإاَُُدَمصلاَُها

ٕٔٔ

َ:

ٕ

َ

Keenam, diksi nomina invinitive (ism maêdar)36 yang kuantitas hurufnya lebih

sedikit, sehingga pelafalannya menjadi ringan dan mudah. Diksi ism maêdar dalam Al-Qur‘an juga memperlihatkan dimensi ekonomi bahasa Al-Qur‘an, seperti dalam beberapa ayat berikut yang mengandung kata ―syùrà”, lebih ringkas daripada

musyàwarah atau wifàq, lebih singkat daripada muwàfaqah:

ٔ

.

ََنيِذلٱَو

َ

اوُباَجَتْسٱ

َ

َْمَِِِرِل

َ

اوُماَقَأَو

َ

ََة وَلصلٱ

َ

َْمُُرْمَأَو

َ

َ ىَروُش

َ

َْمُمَلْليَلب

َ

ا َِِو

َ

َْمُم َْلقَزَر

َ

ََنوُقِفُي

َ

/ىروشلا

ٕٗ

ٖٛ

Artinya: ―… dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka…‖ (QS. as-Syùrà/42: 38)

ٕ

.

َنِإ

َ

ََم َمَج

َ

َْتَناَك

َ

ا داَصْرِم

َ

ٕٔ

َ

ََنِغ طلِل

َ

ا باَ لَم

َ

ٕٕ

َ

ََنِثِب ل

َ

اَميِف

َ

ا باَقْحَأ

َ

ٕٖ

َ

َا

َ

ََنوُقوُذَي

َ

اَميِف

َ

ا دْرَلب

َ

ََاَو

َ

ا باَرَش

َ

ٕٗ

َ

َاِإ

َ

ا ميَِم

َ

ا قاسَغَو

َ

ٕ٘

َ

َ ءاَزَج

َ

ا قاَفِو

َ

ٕٙ

36Ismul maêdar adalah bentuk kata yang setara dengan maêdar dari segi maknanya, namun

(19)

19

Artinya: ―Sungguh, (neraka) Jahanam itu (sebagai) tempat mengintai (bagi penjaga yang mengawasi isi neraka), menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui

batas. Mereka tinggal di sana dalam masa yang lama, mereka tidak merasakan kesejukan di

dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan nanah,

sebagai pembalasan yang setimpal.‖ (QS. An-Naba‘/78: 21-26)

D.Implikasi Ekonomi Bahasa dalam Penafsiran Ayat

Dimensi-dimensi ekonomi bahasa Al-Qur‘an ternyata membawa sejumlah

implikasi penting dalam kajian bahasa dan sastra di satu pihak, dan dalam pemaknaan dan penafsiran ayat-ayat al-Qur‘an di lain pihak. Jika tiga ayat berikut

yang di dalamnya terdapat kata ―

لّز ت

‖ dan ―

لز تت

‖:

ٔ

-َُلزَلَلت

َ

َ َلَمْلٱ

ٓ

َُةَكِئ

َ

َُحورلٱَو

َ

اَميِف

َ

َِنْذِإِب

َ

مَِِِر

َ

نِم

َ

َِلُك

َ

َ رْمَأ

َ

:ردقلا

ٗ

ٕ

-َْلَ

َ

َْمُكُئِبَلنُأ

َ

َ ىَلَع

َ

نَم

َ

َُلزَلَلت

َ

َُنِط َيشلٱ

َ

ٕٕٔ

َ

َُلزَلَلت

َ

َ ىَلَع

َ

َِلُك

َ

َ كافَأ

َ

َ ميِثَأ

َ

ٕٕٕ

َ

ََنوُقْلُلي

َ

ََعْمسلٱ

َ

َْمُُرَلثْكَأَو

َ

ََنوُبِذ َك

َ

ٕٕٖ

َ

َ:ءارعشلاُ

ٕٕٔ

-ٕٕٖ

َ

ٖ

-َنِإ

َ

ََنيِذلٱ

َ

اوُلاَق

ٓ

َ

اَلبَر

َ

َُللٱ

ََُث

َ

اوُم َقَلتْسٱ

ٓ

َ

َُلزَلَلتَلت

َ

َُمِمْيَلَع

َ

َ َلَمْلٱ

ٓ

َُةَكِئ

َ

َاَأ

َ

اوُفاَََ

ٓ

َ

ََاَو

َ

اوُنَزََْ

ٓ

َ

اوُرِشْبَأَو

ٓ

َ

َِة َْْٱِب

َ

َِتلٱ

َ

َْمُت ُك

َ

ََنوُدَعوُت

َ

:تلصف

َ

ٖٓ

َ

dianalisis secara kontekstual, maka secara balàgah, dapat dipahami dan diungkap mengapa pada dua ayat pertama, salah satu tà‟ pada verba tersebut didelasi, sementara pada ayat yang terakhir (surat Fuêêilat) tidak didelasi?

Menurut ulama balàgah, pemilihan

لَز ن ت

dengan delasi salah satu tà‟ pada surat al-Qadar tersebut menunjukan sedikitnya malaikat turun, yaitu hanya pada

lailatul qadri, terjadi sekali setahun dan hanya di bulan Ramadan saja37. Jadi, salah

satu rahasia mengapa ta‟ didelasi dalam surat al-Qadar adalah menunjukkan kesesuaian(munàsabah) antara substansi ayat yang menunjukkan sedikitnya malaikat turun, dengan pengurangan jumlah huruf pada verba

لَز ن ت

tersebut.

37 Fàýil Ëàlië as-Sàmirràì, Balàgatul Kalimah fit Ta’bìril Qur’ànì,(‗Ammàn: Dàr ‗Ammàr,

(20)

20

Berbeda dengan

لَز ن ت ت

pada surat fuêêilat tersebut yang tà‟-nya tidak didelasi, penyebutan tà‟ sesuai dengan formula (wazn) tatafa‟alu menunjukkan banyak frekuensi malaikat turun. Dalam konteks ini, dapat dipahami bahwa malaikat yang turun menghampiri orang-orang Mukmin pada saat kematian mereka

untuk menyampaikan ―kabar gembira berupa surga‖ itu sangat sering, bahkan

setiap saat sepanjang tahun, tidak seperti lailatul qadar yang hanya sekali dalam setahun.38

Memahami teks Al-Qur‘an dengan metodologi ilmiah, antara lain linguistik teks („ilmul lugatin nashshì) atau tekstologi („ilmun nashshì) sangat penting dan relevan untuk pemaknaan dan penafsiran, baik pada level leksikon, morfologis, sintaksis maupun semantik dan stilistik ayat. Pendekatan balàgah dan tekstolinguistik dapat membantu memahami teks secara objektif, epistemologis dan dalam lingkup

rasionalitas manusia, bukan ‗rasio‘ Tuhan yang diyakini sebagai hulu teks tersebut.

Kedua pendekatan tersebut dalam tradisi Islam terbukti dapat memproduksi tafsir (al-tafsìr) dan takwil (al-ta‟wìl). Keduanya tidak bisa dipisahkan, saling berkaitan. Menurut Imam Ali bin Abi Thalib, teks tidak bisa berbicara secara parsial, dan memberi makna (arti) sendiri. Namun, ia membutuhkan manusia. ― Al-Qur‟an, bayna dafftay al-Muêëaf là yaníiq, wa innamà yatakallamu bihi al-rijàl‖ (

Al-Qur‘an dalam muêëaf ini, tidak berbicara, dan hanya dengan [perantara] manusia ia berbicara). Kalimat Imam Ali tersebut ditujukan pada kaum Khawarij yang memahami otoritas dalil pada teks an sich, bukan pada otoritas interpretasi. Seolah-olah, Al-Qur‘an berbicara sendiri dan memberi makna tanpa keterlibatan manusia, padahal interpretasi manusialah yang memberi makna dan menentukan pesan yang dikandungnya, tentu dengan menggunakan seperangkat pendekatan dan metodologi. Namun demikian, keterlibatan manusia dalam memahami teks juga dibantu oleh pemahamannya terhadap konteks teks itu sendiri dan konteks sosialnya melalui balàgah dan tekstolinguistik tersebut. Dalam analisis intertekstual (tanàshsh), dikenal ungkapan: ―an-Nashshu yufassiru ba‟ýuhu ba‟ýan‖ (teks itu saling

38 Fàýil Ëàlië as-Sàmirràì, Balàgatul Kalimah

(21)

21

memberi tafsir/penjelasan satu sama lain). Dalam konteks inilah, pendekatan balàgah dan tekstolinguistik memberi kontribusi positif sebagai ―pintu masuk‖

dalam memahami teks sekaligus memantapkan hasil analisis intertekstual menjadi penafsiran dan pemaknaan yang lebih kontekstual.

Implikasi lain dari ekonomi bahasa Al-Qur‘an adalah bahwa umat Islam

dididik untuk belajar berpola hidup ekonomis, sederhana, tetapi tetap lugas dan tegas. Selain itu, ekonomi bahasa Al-Qur‘an pada gilirannya dapat melatih kita

untuk memilah dan memilih diksi yang tepat dan akurat, sehingga dalam berbahasa atau menyampaikan pesan tidak terjadi pemborosan yang diperlukan, sehingga membuat audien menjadi bosan, dan pesan yang dikomunikasikan menjadi tidak efektif dan bermakna secara persuasif. Dengan kata, melalui kajian ekonomi bahasa Al-Qur‘an, kita dapat belajar berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang

singkat, padat, tepat, dan berkesan kuat.

E. Kesimpulan

Dari kajian dan analisis tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa selain indah, puitis, dan mudah, bahasa Al-Qur‘an itu sangat ekonomis: singkat padat,

ringkas bernas, dan bermakna luas. Keekonomian bahasa Arab menunjukkan bahwa bahasa Al-Qur‘an akan selalu melampaui zaman, selalu aktual, dan kontekstual. Keserasian, keseimbangan, dan keekonomian yang ditimbulkan dari ayat-ayat Al-Qur‘an selalu menghadirkan kesan, pesan, dan wawasan baru jika

dibaca dan dipahami dengan ketulusan dan kesungguhan hati.

Ekonomi bahasa Al-Qur‘an hadir dalam berbagai dimensi, utamanya adalah dimensi delasi dan pemilihan diksi yang berdispensasi, ringan, mudah, tetapi tidak mengurangi dan membuat makna mengalami deviasi (penyimpangan). Sebaliknya, ritme dan musikalitas ayat tetap mempesona dan menyentuh hati sanubari. Ekonomi bahasa Al-Qur‘an menunjukkan betapa pentingnya manusia belajar

(22)

22

Ekonomi bahasa Al-Qur‘an dapat semakin berfungsi dalam komunikasi kita jika

pemahamannya didekati melalui balàgah dan tekstolinguistik secara integratif.

Daftar Pustaka

‗Afífí, Aëmad, Naëwun Naêê: Ittijàh Jadìd fid Darsin Naëwi, Kairo: Maktabah

Zahrà‘isy Syarq, 2001.

Abdullah, Zaid ‘Umar, ‖al-Siyàq Al-Qur‘àni wa Ašaruhu fil Kasyfi ‘an al-Manà‘ni‖,

diakses dari http://alukah.net., 20 April 2010.

Abù Sa‘d, Aëmad, Mu‟jam at-Taràkìb wa al-„Ibàràt al-Iêíilàëiyyah al-„Arabiyyah al-Qadìm minha wa al-Muwallad,Beirut: Dàrul ‗Ilmi lil Malàyín, Cet. I, 1987.

Abù Zayd, Naêr Èàmid, Isykàliyyàtul Qirà‟ah wa Àliyyàtut Ta‟wíl, Beirùt: al-Markazus

Šaqàfí Al-‗Arabí, Cet. V, 1999.

Al-Adalùsì, Ibn Èazm, al-Ihkàm fi Ushùlil Aëkàm, Jilid I, Beirùt: Dàrul Àfàqil Jadìdah, 1400 H.

Ad-Daqar, ‗Abdul Ganì, Ad-Mu‟jam al-Qawà‟idil „Arabiyyah, Damaskus: Dàrul Qalam, Cet. III, 2001.

As-Ëàbùní, Muëammad ‗Alí, Ëafwatut Tafàsir, Kairo: Dàrus Ëàbùnì, 1997. Èassàn, Tammàm , Ijtihàdàt Lugawiyyah,Kairo: ‗Àlamul Kutub, 2007.

Èassàn, Tammàm, al-Bayân fi Rawâ‟i Al-Qur‟an: Diràsah Lugawiyyah wa Uslùbiyyah lin Naêê Al-Qur‟àní,(Kairo: ‗Àlamul Kutub, Jilid I, 2000)

Èassàn, Tammàm, Ushùl: Diràsah Epistimùlujiyyah lil Fikril Lugawí „indal „Arab: al-Naëw – Fiqhul Lugah – al-Balàgah, Kairo: ‗Àlamul Kutub, Cet. II, 2000. Èassàn, Tammàm, Maqàlàt fil Lugah wal Adab,Jilid II, Kairo: ‗Àlam al-Kutub, 2006. Al-Faqi, Shubhi Ibrahim, „Ilmul Lugatin Naêêì Baina an-Naîariyyah wa at-Taíbìq: Diràsah Taìbíqiyyah „ala as-Suwar al-Makkiyah,Kairo: Dàr Qubà‘, Cet. I, 2000. Guntur Tarigan, Henry, Pengajaran Wacana, (Bandung: Angkasa, Edisi Revisi, 2009.

Haidar, Faríd ‗Iwaý, „Ilmud Dalàlah: Diràsah Naîariyyah wa Tathbîqiyyah, Kairo: Maktabatul Adab, 2005.

Ibn Manzhùr, Lisànul „Arab, entri nashaha, Beirut: Dàrul Fikr, tt.

Islàm, ‗Azmí, Mafhùm al-Ma„nâ: Diràsah Taëlíliyyah, Kuwait: Fakultas Adab, Universitas Kuwait, 1986.

Al-Jàsim, Maëmùd Èasan, Ta‟wìl al-Naêê Al-Qur‟ani wa Qaýàyàn Naëwi, Damaskus:

Dàrul Fikril Mu‘àêir, 2010.

Al-Jurjànì, Kitâb al-Ta‟rífàt, Tahqiq Ibràhìm al-Ibyàri, Kairo: Dàrul Bayàn lit Turàš,

tt.

Al-Khùlí, Muëammad ‗Alí , „Ilmud Dalàlah („Ilmul -Ma‟na), ‗Amman: Dàrul Falàë,

2001.

Kridalaksana, Harimurti, Kamus Linguistik, Jakarta: Gramedia, 1984.

Al-Maì‘aní, Abdul ‗Aîím Ibràhím, Khaêàiêut Ta‟bíril Qur‟àní waSimàtuhul Balàgiyyah,

(23)

23

Al-Maidàní, ‗Abdurraëàn Èasan Èabannkah, al-Balàgah al-„Arabiyyah: Ususuhà, wa „Ulùmuhà, wa Funùnuhà, Damaskus: Dàrul Qalam, Juz II, Cet. I, 1996.

Al-Maràgì, Aëmad Muêíafà, „Ulùm al-Balàgah: al-Bayàn wal Ma‟àní wal Badí‟, Beirut: Dàrul Kutub al-‗Ilmiyyah, Cet. IV, 2012.

Muëammad, Ibtisàm Šàbit, at-Ta‟àdul fil „Arabiyyah: Diràsah Ëawtiyyah Ëarfiyyah Naëwiyyah, Bagdàd: Markaz al-Buëùš wad Diràsàtil Islàmiyyah, 2009.

Nawawi, Imam, Syarë an-Nawawi „ala Muslim,bàb innamal mà‘u minal mà‘i, Kairo:

Darul Khair, 1996.

Qabàwah, Fakhruddìn, al-Iqtiêàdul Lugawì fi Ëiyagatil Mufrad, Giza: al-Syarikatul Miêriyyah al-‗Àlamiyyah, 2001.

Qaddùr, Aëmad Muëammad, Madkhal ila Fiqhil Lugatil „Arabiyyah, Damaskus: Dàrul Fikr, 1999.

Raddatullah, Dalàlatus Siyàq, Mekkah: Jàmi‘ah Ummil Qura, 2003.

Ar-Ràfi‘í, Muêíafà Ëàdiq, I‟jàzul Qur‟àn wal Balàgah an-Nabawiyyah, Kairo:

Maìba‘atul Muqtaìaf, 1928.

As-Sàmirràì, Fàýil Ëàlië, Balàgatul Kalimah fit Ta‟bíril Qur‟àní, ‗Ammàn: Dàr

‗Ammàr, Cet. V, 2009.

Referensi

Dokumen terkait

Mata kuliah ini memberikan pemahaman gempa dan penyebabnya, susunan lapisan bumi dan teori pelat tektonik, pengaruh gaya gempa pada bangunan-bangunan teknik sipil,

Adanya kelainan kromosom dipercaya sebagai risiko kehamilan di usia 40 tahun. Pertambahan usia dapat menyebabkan terjadinya kelainan terutama pada pembelahan kromosom.

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat

Sasaran dari kegiatan Kunjungan Kerja Komisi VII DPR RI ke Blok Migas Sijunjung PT Rizki Bukit Barisan Energi Provinsi Sumatera Barat adalah melihat langsung

Maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis pada perhitungan beban kerja mental mahasiswa Universitas XYZ Yogyakarta jurusan Teknik Industri

Untuk peserta Seleksi Tertulis dan Keterampilan Komputer harap mengambil undangan di kantor KPU Kota Jakarta Pusat pada Hari Sabtu tanggal 2 Juli 2016 pukul 01.00 WIB

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa jamu gendong kunyit asam memiliki aktivitas antidiabetes yang ditandai dengan terjadinya penurunan kadar glukosa darah dan terjadi

Persepsi masyarakat pengelola lahan terhadap lingkungan dan manfaat hutan Dalam penelitian ini dilakukan identifikasi tentang manfaat keberadaan hutan di wilayah DAS