commit to user
i
``KAJIAN PENERBITAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN (IMB) OLEH
UNIT PELAYANAN TERPADU (UPT) PEMERINTAH KOTA
SURAKARTA UNTUK BANGUNAN APARTEMEN SEBAGAI UPAYA
MEWUJUDKAN PENATAAN BANGUNAN KOTA
BERBASIS BUDAYA JAWA
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh
Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh :
BRESTIARA GANINDYA
E. 0005120
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN PENERBITAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN (IMB) OLEH
UNIT PELAYANAN TERPADU (UPT) PEMERINTAH KOTA
SURAKARTA UNTUK BANGUNAN APARTEMEN SEBAGAI UPAYA
UNTUK MEWUJUDKAN PENATAAN BANGUNAN KOTA BERBASIS
BUDAYA JAWA
Oleh
Brestiara Ganindya
E.0005120
Disetujui untuk dipertahankan di depan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 8 Februari 2011
Pius Triwahyudi, S.H.,M.Si.
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan hukum (Skripsi)
KAJIAN PENERBITAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN (IMB) OLEH
UNIT PELAYANAN TERPADU (UPT) PEMERINTAH KOTA
SURAKARTA UNTUK BANGUNAN APARTEMEN SEBAGAI UPAYA
UNTUK MEWUJUDKAN PENATAAN BANGUNAN KOTA BERBASIS
BUDAYA JAWA
Oleh
Brestiara Ganindya
NIM. E 0005120
Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Kamis
Tanggal : 24 Maret 2011
DEWAN PENGUJI
1. Purwono Sungkowo R., S.H. : ... Ketua
2. Lego Karjoko, S.H.,M.H. :... Sekretaris
3.Pius Triwahyudi, S.H.,M.Si. :... Anggota
Mengetahui
Dekan,
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Brestiara Ganindya
NIM : E0005120
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
Kajian Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Oleh Unit Pelayanan Terpadu (UPT)
Pemerintah Kota Surakarta Untuk Bangunan Apartemen Sebagai Upaya Untuk
Mewujudkan Penataan Bangunan Kota Berbasis Budaya Jawa adalah betul-betul karya
sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini
diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian
hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi
akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya
peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 8 Februari 2011
Yang membuat pernyataan
Brestiara Ganindya
commit to user
v ABSTRAK
BRESTIARA GANINDYA. E 0005120, KAJIAN PENERBITAN IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN (IMB) OLEH UNIT PELAYANAN
TERPADU (UPT) PEMERINTAH KOTA SURAKARTA UNTUK
BANGUNAN APARTEMEN SEBAGAI UPAYA UNTUK MEWUJUDKAN PENATAAN BANGUNAN KOTA BERBASIS BUDAYA JAWA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum (Skripsi). 2011.
Tujuan penelitian ini berfungsi untuk mengetahui persyaratan dan prosedur izin mendirikan bangunan apartemen di Kota Surakarta, selain itu juga bertujuan untuk mengetahui harmonisasi peraturan perundang-undangan mengenai izin mendirikan bangunan apartemen..
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif dengan pendekatan perundang-undangan. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang diklasifikasikan menjadi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier atau penunjang. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu teknik pengumpulan data dengan mempelajari data sekunder. Analisis data yang dipergunakan adalah silogisme deduksi dengan metode intepretasi gramatikal. Berdasarkan pembahasan hasil penelitian ini diperoleh simpulan bahwa persyaratan dan prosedur penerbitan izin mendirikan bangunan apartemen di Kota Surakarta telah sesuai dengan perundang-undangan yang ada akan tetapi jika ditinjau dari segi sosial-budaya dan kaidah tata ruang, penerbitan izin mendirikan bangunan apartemen kurang sesuai. Prosedur dan persyaratan izin mendirikan bangunan terdapat dalam Perda Kota Surakarta Nomor 8 Tahun 1988 Tentang Bangunan Gedung sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang bangunan pada tingkat daerah. Untuk bangunan khusus seperti bangunan apartemen ada beberapa persyaratan tambahan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun. Selain itu pendirian bangunan apartemen wajib memperhatikan rencana umum tata ruang kota. Setiap peraturan perundangan yang mengatur suatu hal tidak boleh bertentangan dengan undang-undang lain yang mengatur hal yang sama pula. Dalam hal ini peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang izin mendirikan bangunan apartemen telah harmonis, meskipun demikian terdapat beberapa kekurangan pengaturannya di tingkat daerah sehingga kekuatan hukumnya kurang maksimal. Implikasi teoritis penelitian ini adalah memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum khususnya dalam menelaah setiap peraturan mengenai izin mendirikan bangunan khususnya bangunan apartemen, selain itu diharapkan dengan penulisan ini pemohon IMB yang akan mengajukan permohonan IMB berpedoman pada peraturan yang berlaku.
commit to user
vi ABSTRACT
BRESTIARA GANINDYA. E 0005120, STUDY PUBLISHING BUILDING PERMITS (IMB) BY UNIT PELAYANAN TERPADU (UPT) SURAKARTA CITY GOVERNMENT FOR THE APARTMENT BUILDING AS EFFORTS TO REALIZE `THE CITY BUILDING JAVA-BASED CULTURE. Faculty of Law University of Surakarta Eleven March. Legal Writing (Thesis). 2011
The purpose of this study to observe the requirements and procedures for apartment building permits in Surakarta, but it also aims to determine the harmonization of legislation on apartment building permits.
This research is a normative law is prescriptive regulatory approach. The type of data used are secondary data that are classified into primary legal materials, legal materials, secondary and tertiary legal materials or auxiliary. Data collection techniques used in this research is literature study of data collection techniques by studying the secondary data. Analysis of the data that was used is deductive syllogism with grammatical interpretation method. Based on the discussion of the research results obtained the conclusion that the requirements and procedures for the issuance of building permits has an apartment in the city of Surakarta in accordance with existing legislation, but if in terms of socio-cultural and spatial rules, issuance of building permits is less suitable apartment. The procedures and requirements for building permits contained in Perda Surakarta Number. 8 Year 1988 on Building Construction for the implementation of the Law building at the local level. For special buildings such as apartment buildings there are some additional requirements in accordance with Law No. 16 of 1985 on the Flats. In addition, the establishment of an apartment building shall take into account the general plan layout of the city. Any legislation that regulates a thing must not conflict with other laws governing the same thing too. In this case the legislation that regulates the apartment building permits have been harmonious, nevertheless there are some shortcomings so that its settings at the local level less than the maximum legal power. Theoretical implications of this research is to contribute ideas for the development of legal science, especially in reviewing each of the rules set forth in a company, other than that expected by the Company in writing to make a regulation should be based on existing regulations.
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Syukur kepada Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
atas pertolongan dan kebaikanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya
Penulisan Hukum (Skripsi) dengan judul “Kajian Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Oleh Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Pemerintah Kota Surakarta Untuk Bangunan Apartemen Sebagai Upaya Untuk Mewujudkan Penataan Bangunan Kota Berbasis Budaya Jawa”.
Penulisan Hukum ini membahas mengenai izin mendirikan bangunan
apartemen yang ditelaah berdasarkan aspek hukum, sosial-budaya, dan tata ruang
kota. Dalam penulisan hukum ini juga membahas mengenai harmonisasi peraturan
prundang-undangan yang mengatur izin mendirikan bangunan apartemen.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu, membimbing, memotivasi dan mendoakan sehingga penulisan hukum
ini dapat selesai, yaitu kepada :
1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Pius Triwahyudi, S.H., M.Si., selaku Dosen Pembimbing Penulisan
Hukum (Skripsi) yang telah memberikan bantuan, bimbingan, masukan
dan motivasi kepada penulis dalam penyusunan penulisan hukum (skripsi)
ini.
3. Ibu Dr. Igusti Ayu Ketut R.H., S.H., M.M., selaku ketua Bagian Hukum
Administrasi Negara yang telah memberikan izin kepada penulis untuk
menyelesaikan penulisan hukum.
4. Segenap Dosen dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta, atas bantuan dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis
selama masa perkuliahan.
5. Bapak Alqaf Hudaya, Ibu Netty Isdiyah antaryani, Bapak Purwito, Ibu
Sularmi, dan Ratna Nurajayanti yang tak pernah lelah memberikan doa,
commit to user
viii
6. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam
penulisan hukum (Skripsi) ini.
Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum ini tidak sempurna, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Saya berharap skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan orang lain.
Surakarta, 8 Februari 2011
commit to user
ix DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... .... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR... vii
DAFTAR ISI... ix
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah ... 1
B Rumusan Masalah ... 4
C Tujuan Penelitian ... 4
D Manfaat Penelitian... 5
E Metode Penelitian ... 6
F Sistematika Penulisan Hukum ... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A Kerangka Teori ... 12
1. Tinjauan Tentang Izin Mendirikan Bangunan ... 12
a. Pengertian Izin Mendirikan Bangunan ... 12
b. Tujuan dan Fungsi Izin dan Izin Mendirikan Bangunan . 12
2. Tinjauan Umum Tentang Perundang-Undangan ... 16
a. Pengertian Peraturan ... 16
b. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ... 16
c. Tata Urutan Perundang-undangan ... 18
commit to user
x
4. Tinjauan Unit Pelayanan Terpadu... 22
a. Pengertian Unit Pelayanan Terpadu ... 22
b. Tugas dan kewenangan Unit Pelayanan Terpadu (UPT). 22
c. Pertanggungjawaban Unit Pelayanan Terpadu (UPT) ... 23
5. Tinjauan Tentang Bangunan Rumah Susun atau Apartemen ... 24
a. Pengertian Bangunan Rumah susun atau Apartemen ... 24
b. Tujuan Pembangunan Rumah Susun ... 24
c. Syarat Pembangunan Rumah Susun ... 25
6. Tinjauan Tentang Tata Ruang ... 26
a. Pengertian Tata Ruang ... 26
b. Tujuan Penataan Ruang ... 27
c. Pelaksanaan Tata Ruang ... 27
7. Tinjauan Tentang Peraturan Perundang-undangan Mengenai Izin Mendirikan Bangunan ... 32
a. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ... 32
b. Undang-Undang Bangunan Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung ... 33
c. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang peraturan pelaksanaan Undang-Undang Bangunan Gedung ... 34
d. Peratuan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun ... 35
e. Perda Kota Surakarta Nomor 8 Tahun 1988 Tentang Bangunan Gedung ... 36
f. Perda Kota Surakata Nomor 8 Tahun 1993 Tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota ... 37
8. Tinjauan Tentang Kebudayaan ... 39
a. Pengertian Kebudayaan ... 39
b. Unsur-Unsur Kebudayaan ... 39
commit to user
xi
d. Keraton Surakarta ... 41
e. Arsitektur bangunan jawa……… 42
B Kerangka Pemikiran ... 43
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A Kajian Penerbitan IMB Bangunan Apartemen Terhadap
Kaidah-Kaidah Hukum, Sosial Budaya, dan Kaidah Tata Ruang
di Surakarta ... 46
1.IMB ditinjau dari Aturan-Aturan Hukum ... 46
2.IMB ditinjau dari Kaidah-Kaidah Sosial Budaya yang
Berlaku Dalam Masyarakat... 60
3.IMB ditinjau dari Kaidah-Kaidah Tata Ruang Kota ... 70
B Harmonisasi Perundang-Undangan Mengenai Izin
Mendirikan Bangunan Apartemen ... 90
BAB IV PENUTUP
A Simpulan ... 101
B Saran ... 102
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
xii
DAFTAR GAMBAR
commit to user
xiii
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada awalnya, manusia mendiami atau tinggal di atas permukaan tanah
untuk bercocok tanam dan mendirikan bangunan sebagai tempat tinggal bagi
dirinya sendiri maupun keluarganya. Akan tetapi sejalan dengan membaiknya
tingkat kesehatan pertumbuhan ekonomi negara yang semakin mantap, maka
peningkatan laju pertumbuhan penduduk semakin pesat. Dilain pihak, tanah
atau lahan yang tersedia relatif terbatas atau tetap. Apalagi pembangunan
perumahan secara horisontal menyebabkan semakin sempitnya lahan tanah
yang ada. Tidak jarang perebutan lahan tempat bercocok tanam maupun
bermukim menimbulkan berbagai sengketa, terutama sekali di kota-kota besar.
Maka kemudian orang memikirkan adanya bangunan vertikal dengan sistem
satuan baik untuk hunian seperti rumah susun, apartemen, kondominium, dan
sistem satuan untuk nonhunian seperti mall, bangunan kantor bertingkat yang
bergedung pencakar langit. Diharapkan dengan berdirinya bangunan
bertingkat baik hunian maupun nonhunian.dapat memaksimalkan penggunaan
lahan tanah menjadi lebih efisien.
Apartemen merupakan salah satu bentuk bangunan vertikal. Pengertian
apartemen itu sendiri dalam undang-undang sebenarnya adalah rumah susun,
dimana yang dimaksud rumah susun adalah :
“ Ba nguna n gedung bertingkat yang dibangun da la m suatu lingkungan, yang terbagi da la m ba gia n-ba gia n yang distrukturka n secara fungsiona l da la m a rah horizonta l ma upun vertica l dan merupa ka n satua n-satuan ya ng masing-ma sing da pat dimiliki dan diguna ka n seca ra terpisah, teruta masing-ma untuk tempat hunian, ya ng dilengka pi denga n ba gia n-bersa ma , benda -bersa ma dan ta nah bersa ma ”
(Ayat 1 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah
Susun).
Apartemen atau rumah susun diharapkan mampu mengatasi
permasalahan hunian di Indonesia termasuk di Surakarta. Para pekerja yang
commit to user
bertempat tinggal di pinggir kota sedangkan pekerjaan mereka berada di pusat
kota dapat memanfaatkan bangunan rumah susun untuk tempat tinggal
sementara sehingga tidak memakan banyak biaya dan waktu mereka.
The effect of distance from the city centre on selling price, ta x a ssessment a nd gross income is investigated for income property in proximity to the city centre (Christian Ja nssen : 2001)
Akan tetapi dalam pembangunannya, apartemen-apartemen di Surakarta
ternyata menuai banyak kontroversi. Beberapa golongan mengaku tidak setuju
terhadap pembangunan aprtemen tersebut karena ada beberapa hal yang telah
dilanggar mulai dari perizinan, gangguan terhadap lingkungan hidup, sampai
pelanggaran niai-nilai kebudayaan masyarakat kota Surakarta yang berbasis
budaya jawa. Masyarakatpun mengajukan beberapa keberatan hingga usulan
untuk menghentikan proyek pembangunan apartemen yang sedang berjalan.
Pembangunan ketiga apartemen di Kota Surakarta menjadi sebuah
kontroversi tersendiri, pasalnya baru pertama kali ini didirikan dan masyarakat
belum bisa menerima. Perangkat hukum yang ada belum bisa menjadi dasar
hukum yang kuat untuk pembangunan apartemen itu sendiri.
IMB (Izin Mendirikan Bangunan) merupakan otonomi masing-masing
daerah untuk melaksanakannya. IMB dituangkan dalam perda masing-masing
daerah. Di kota Surakarta sendiri, dalam pembagunan sebuah bangunan
berdasar pada Perda Nomor 8 Tahun 1988 Tentang Bangunan Dan Perda
Nomor 16 Tahun 1991 Tentang Bangunan Bertingkat.. Untuk bangunan yang
mempunyai dampak penting harus memperhatikan rencana umum tata ruang
kota yang dituangkan dalam Perda. Nomor 8 Tahun 1993 Tentang Rencana
Umum Tata Ruang Kota.
Kewenangan mengeluarkan IMB ini merupakan taggung jawab Walikota
Surakarta melalui UPT (Unit Pelayanan Terpadu) yang terdapat di kantor
balaikota Surakarta. UPT merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah kota
surakarta yang berwenang mengurusi segala masalah perizinan, jadi tidak
sekedar IMB, seperti misalnya izin penggunaan, izin lokasi, izin usaha
commit to user
Pemerintah Kota Surakarta yang dirasa sangat mudah memberikan Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) untuk bangunan tinggi dan modern di kota
Surakarta mendapat tanggapan dari aktivis Dewan Kesenian Surakarta (DKS)
dan Forum Penegak Keadilan dan Kebenaran (FPKK). Menurut mereka,
pembangunan gedung-gedung tinggi tersebut akan mempertebal rasa
kekalahan orang Jawa. Orang Jawa menggunakan Keraton Kasunan sebagai
panutan sekarang malah sudah tertutup dengan adanya gedung-gedung tinggi
tersebut. Gedung tinggi yang sedang berada dalam proses pembangunan
adalah Solo Paragon, Solo Center Point dan Kusuma Mulia Tower.
Bangunan itu tingginya lebih dari 20 lantai, padahal di Surakarta masih ada
Keraton dan juga Mangkunegaran. Jika dilihat dari estetika dan peraturan yang
ada ini bisa tidak tepat, FPKK meminta walikota mengkaji ulang IMB tiga
apartemen tersebut untuk izin peruntukannya dan ketinggian bangunan
(http://assyita.blogspot.com/2009/09/solo-belum-butuh-paragon.html).
Dalam pendirian bangunan khususnya apartemen tidak terlepas dari
kendala masalah perizinan dan persetujuan dari masyarakat setempat.
Perizinan yang dimaksud adalah izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Kota Surakarta yang seharusnya bisa menjadi dasar hukum
yang kuat bagi pendirian bangunan apartemen dan memperhatikan nilai-nilai
budaya masyarakat kota surakarta yang sudah dipegang teguh sejak lama.
Berdasarkan wacana di atas, peneliti membuat penulisan hukum dalam
bentuk skripsi dengan judul : “KAJIAN PENERBITAN IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN (IMB) OLEH UNIT PELAYANAN
TERPADU (UPT) PEMERINTAH KOTA SURAKARTA UNTUK
BANGUNAN APARTEMEN SEBAGAI UPAYA UNTUK
MEWUJUDKAN PENATAAN BANGUNAN KOTA BERBASIS
commit to user
B. Rumusan masalah
Dalam suatu penelitian sangat diperlukan adanya perumusan masalah
untuk mengidentifikasikan persoalan yang akan diteliti dan mengarahkan
peneliti sesuai tujuan penelitian. Berdasarkan latar belakang di atas, maka
penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk bangunan
apartemen oleh unit pelayanan terpadu (UPT) Pemerintah Kota Surakarta
sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sosial
budaya, dan kaidah tata ruang Kota Surakarta?
2. Apakah sudah ada harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait
penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk bangunan apartemen
baik di tingkat pusat maupun daerah?
C. Tujuan penelitian
Dalam suatu penelitian harus memiliki tujuan yang jelas dan pasti.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam melangkah sesuai
dengan maksud penelitian.
Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif :
Tujuan Obyektif merupakan tujuan untuk memperoleh data dalam
rangka mengetahui jawaban permasalahan. Sedangkan tujuan dari
penelitian ini sendiri adalah :
a. Untuk mengetahui apakah penerbitan Izin Mendirikan Bangunan
(IMB) oleh unit pelayanan terpadu (UPT) Pemerintah Kota Surakarta
untuk bangunan apartemen sudah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sosial-budaya, dan kaidah tata ruang di Kota
commit to user
b. Untuk Untuk mengetahui apakah sudah ada harmonisasi
perundang-undangan tentang penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk
bangunan apartemen baik di tingkat pusat maupun daerah.
2. Tujuan Subyektif :
Tujuan Subyektif merupakan motif subyektif penyusunan penelitian.
Tujuan dari penelitian ini antara lain sebagai berikut :
a. Untuk memperoleh data-data sebagai bahan penulisan hukum guna
memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar kesarjanaan dalam
bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
b. Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman penulis dalam bidang
Hukum Administrasi Negara khususnya dalam bidang Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) bangunan apartemen.
c. Untuk meningkatkan pemahaman tentang berbagai teori yang
diperoleh penulis selama kuliah.
D. Manfaat Penelitian
Tiap penelitian harus diyakini kegunaannya bagi pemecahan masalah
yang diselidiki baik untuk diri penulis maupun bagi orang lain. Adapun
manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis :
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya bagi pengembangan
Hukum Administrasi Negara mengenai penerbitan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) bangunan apartemen.
b. Sebagai bahan masukan untuk pengkajian dan penulisan karya ilmiah
commit to user
2. Manfaat Praktis :
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan
serta tambahan pengetahuan mengenai penerbitan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) bangunan apartemen;
b. Sebagai bahan masukan informasi pada instansi terkait dan
pihak-pihak yang membutuhkan informasi tentang Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) bangunan apartemen yang diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran untuk lebih menyempurnakan
dalam proses penerbitan (IMB) bangunan apartemen apabila terjadi
kesalahan yang merugikan lingkungan sekitar dan masyarakat kota
Surakarta yang kental akan budaya jawa;
c. Dapat meberikan masukan bagi Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Kota
Surakarta untuk menata dan megambil kebijaksanaan dalam proses
penyelesaian terhadap hambatan hambatan yang timbul dalam
penerbitan (IMB) bangunan apartemen yang tidak bertentangan dengan
budaya jawa atau hukum adat setempat.
E. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan
konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu;
sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak
adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu (Soerjono
Soekanto, 2006:42). Metodologi pada hakikatnya memberikan pedoman
tentang cara-cara seseorang ilmuan mempelajari, menganalisis, dan
memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapinya.
Adapun metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini
commit to user
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif atau penelitian
hukum kepustakaan. Disebut penelitian hukum normatif karena penelitian
ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis
atau bahan-bahan hukum yang lain. Sedangkan disebut sebagai penelitian
kepustakaan disebabkan penelitian dalam penelitian ini lebih banyak
dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian dalam penulisan hukum ini adalah Preskriptif dimana
memberikan preskripsi mengenai apa yang seharusnya merupakan hal
yang esensial dari penelitian hukum. Hal ini baik untuk keperluan praktek
maupun untuk penulisan akademis, preskripsi yang diberikan menentukan
nilai penelitian tersebut, maka langkah terakhir dari suatu penelitian yaitu
memberikan preskripsi berupa rekomendasi yang didasarkan pada
kesimpulan yang telah diambil. Berpegang pada karakteristik Ilmu Hukum
sebagai ilmu terapan, preskripsi yang diberikan di dalam kegiatan
penelitian hukum harus dapat atau setidaknya mungkin untuk diterapkan.
3. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, dimana
dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapat informasi dari
berbagai aspek mengenai isu hukum yang sedang dicoba untuk dicari
jawabannya. Pada penelitian ini digunakan pendekatan undang-undang
(statute approach), dengan menelaah dengan semua legislasi dan regulasi
yang bersangkutan dengan isu hukum yang sedang diteliti. Sehingga
dalam metode pendekatan perundang-undangan ini diperlukan pemahaman
commit to user
4. Jenis Data
Dalam penelitian ini menggunakan data sekunder. Karena penelitian
yang dilakukan penulis termasuk penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum kepustakaan, maka data yang dipergunakan adalah data
sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung
dari sumber pertama, antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi,
buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan
sebagainya.
5. Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan data yang
bersumber dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat antara lain: Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia baik sebelum perubahan maupun sesudah
perubahan, Undang-Undang Negara Republik Indonesia, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Daerah, Peraturan Walikota.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang menjelaskan
bahan hukum primer seperti buku-buku, artikel majalah dan koran,
hasil-hasil penelitian, pendapat pakar hukum maupun
makalah-makalah yang berhubungan dengan topik penulisan ini.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang
memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa dan ilmu hukum yang
commit to user
6. Teknik Pengumpulan Data
Karena penelitian ini adalah penelitian normatif, maka dalam
pengumpulan datanya dilakukan dengan studi kepustakaan atau studi
dokumen. Teknik ini merupakan cara pengumpulan data dengan membaca,
mempelajari, mengkaji dan menganalisis serta membuat catatan dari
peraturan perundan-undangan, buku literatur, dokumen dan hal-hal lain
yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
7. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan logika
deduktif. Menurut Jhony Ibrahim yang mengutip pendapatnya Benard
Arief Shiharta, logika deduktif merupakan suatu teknik utuk menarik
kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat
individual (Jhony Ibrahim, 2006;249). Sedangkan Prof. Peter Mahmud
Marzuki yang mengutip pendapatnya Philiphus M. Hadjon menjelaskan
metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles,
penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis major
(pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat
khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau
Conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2007; 47). Jadi yang dimaksud dengan pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif adalah
menjelaskan sesuatu dari hal-hal yang sifatnya umum, selanjutnya menarik
kesimpulan dari hal itu yang sifatnya lebih khusus.
Dalam penelitian ini data yang diperoleh dengan melakukan
inventarisasi sekaligus mengkaji dari penelitian studi kepustakaan, aturan
perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat membantu
menafsirkan norma tersebut dalam mengumpulkan data, kemudian data itu
diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap
terakhir adalah menarik kesimpulan dari data yang telah diolah, sehingga
commit to user
Bangunan (IMB) oleh Unit Pelayanan Terpadu Pemerintah kota Surakarta
untuk bangunan apartemen sudah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sosial budaya, dan kaidah tata ruang Kota
Surakarta, serta dapat mengetahui apakah sudah ada harmonisasi peraturan
perundang-undangan tentang pendirian bangunan apartemen baik di
tingkat pusat maupun daerah.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh dari penulisan
hukum yang disusun, maka penulis menyusun suatu sistematika penulisan
hukum sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini diuraikan mengenai pendahuluan dari penelitian
ini yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, dan kerangka penelitian hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada Bab II ini, penulis membagi menjadi dua kategori, yaitu
kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori
berisi: Tinjauan umum tentang Izin Mendirikan Bangunan,
Tinjauan Umum Tentang Legalitas Peraturan
Perundang-undangan, Tinjauan Umum Tentang Kaedah Hukum dan
Asas Hukum, Tinjauan Umum Tentang Unit Pelayanan
Terpadu (UPT), Tinjauan Umum Tentang Bangunan
Apartemen, Tinjauan Umum Tentang Tata Ruang, Tinjauan
Umum Tentang Peraturan Perundang-undangan Mengenai
Izin Mendirikan Bangunan, Tinjauan Umum Tentang
Kebudayaan. Kerangka pemikiran berisi : kerangka atau
commit to user
BAB III : PEMBAHASAN
Dalam bab III ini penulis akan menguraikan tentang
penerbitan Izin Mendirikan Bangunan yang diterbitkan oleh
Unit Pelayanan Terpadu kota Surakarta untuk bangunan
apartemen ditinjau dari peraturan perundang-undangan,m
sosial-budaya, tata ruang Kota Surakarta serta meneliti
harmonisasi peraturan perundang-undangan mengenai izin
mendirikan bangunan apartemen baik di tingkat pusat
maupun daerah.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab IV sebagai penutup penulis akan menyajikan
kesimpulan berdasarkan analisis data sebagai jawaban
permasalahan yang telah dirumuskan serta saran-saran yang
dapat peneliti berikan atas permasalahan yang peneliti teliti.
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Izin Mendirikan Bangunan
a. Pengertian Izin Mendirikan Bangunan.
Hukum perizinan adalah merupakan bagian dari Hukum
Administrasi Negara. Adapun yang dimaksud dengan perizinan adalah:
melakukan perbuatan atau usaha yang sifatnya sepihak yang berada di
bidang Hukum Publik yang berdasarkan wewenang tertentu yang
berupa penetapan dari permohonan seseorang maupun Badan Hukum
terhadap masalah yang dimohonkan.
Izin adalah perbuatan Hukum Administrasi Negara bersegi satu
yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkret berdasarkan
persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketetuan
peraturan perundang-undangan (Sjachran basah, 1995 : 3).
Menurut Prajudi Atmosudirdjo (1981), perizinan merupakan
perbuatan hukum yang bersifat administrasi negara yang diberikan
oleh pejabat atau instansi pemerintah yang berwenang dan diberikan
dalam bentuk suatu penetapan (beschikking). Suatu izin atau persetujuan atas sesuatu yang pada umumnya dilarang. Perizinan ini
merupakan penetapan atau keputusan yang bersifat positif (pengabulan
daripada permohonan seluruhnya atau sebagian) dan tergolong pada
penetapan positif yang memberikan keuntungan kepada suatu instansi,
badan, perusahaan, atau perorangan. Perizinan ini timbul dari strategi
dan teknik yang dipergunakan oleh Pemerintah untuk menguasai atau
mengendalikan berbagai keadaan, yakni dengan melarang tanpa izin
tertulis untuk melakukan kegiatan-kegiatan apapun yang hendak diatur
atau dikendalikan oleh Pemerintah. .
commit to user
Secara umum pengertian bangunan adalah sesuatu yang
memakan tempat. Menurut Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 8
Tahun 1988 tentang Bangunan pengertian bangunan adalah
bangunan-bangunan yang membentuk ruangan tertutup seluruhnya atau sebagian
beserta bangunan-bangunan lain yang berhubungan dengan bangunan
itu (ayat 6 Pasal 1 Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 8 Tahun
1988 tentang Bangunan).
Sedangkan pengertian mendirikan bangunan sebagaimana yang
diatur dalam Perda ini adalah : pekerjaan mengadakan bangunan
seluruhnya atau sebagian termasuk pekerjaan menggali menimbun
atau meratakan tanah yang berhubungan dengan pekerjaan
mengadakan bangunan itu. Jadi izin mendirikan bangunan yang
selanjutnya disingkat IMB adalah izin mendirikan/ merubah/
merobohkan bengunan yang dikeluarkan oleh walikotamadya kepala
daerah (ayat 14 Pasal 1 Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 8
Tahun 1988 Tentang Bangunan).
Mengenai pengaturan dari izin mendirikan bangunan diatur
oleh Perda setempat dimana bangunan itu akan didirikan. Namun pada
dasarnya tidak terlepas dari ketentuan atau undang-undang yang secara
garis besar/ umum dan menjadi dasar pembentukan peraturan di
Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dimana dalam Pasal 18
Undang-Undang Dasar 1945. Dari bunyi Pasal 18 Undang-Undang
Dasar 1945 dapat disimpulkan bahwa daerah Indonesia di bagi dalam
daerah provinsi. Provinsi dibagi lagi dalam daerah yang lebih kecil,
dan setiap daerah tersebut diberi kebebasan untuk mengurus dan
menyelenggarakan pemerintahan di daerahnya baik berupa Daerah
commit to user
b. Tujuan dan Fungsi Izin dan Izin Mendirikan Bangunan
Secara umum tujuan dan fungsi dari perizinan adalah untuk
pengendalian dari pada aktifitas pemerintah dalam hal-hal tertentu
dimana ketentuannya berisi pedoman-pedoman yag harus dilaksanakan
oleh baik yang berkepentingan ataupun oleh penjabat yang berwenang.
Selain itu tujuan dari perizinan itu dapat dilihat dari dua sisi yaitu:
1). Dari sisi pemerintah tujuan pemberian izin itu adalah :
a). Untuk melaksanakan peraturan apakah ketentuan-ketentuan
yang termuat dalam peraturan tersebut sesuai dengan kenyataan
dalam prakteknya atau tidak dan sekaligus untuk mngatur
ketertiban.
b). Sebagai sumber pendapatan daerah karena dengan adanya
permintaan permohonan izin maka secara langsung pendapatan
pemerintah akan bertambah karena setiap izin yang dikeluarkan
pemohon harus membayar retribusi terlebih dahulu. Semakin
banyak pula pendapatan dibidang retribusi tujuan akhirnya
yaitu untuk membiayai pembangunan.
2). Dari Sisi Masyarakat tujuan pemberian izin itu adalah:
a). Untuk adanya kepastian hukum;
b). Untuk adanya kepastian hak;
c). Untuk memudahkan mendapatkan fasilitas.
Bila bangunan yang didirikan telah mempunyai izin akan lebih
mudah mendapat fasilitas. Ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh
pemerintah mempunyai fungsi masing-masing. Begitu pula halnya
dengan ketentuan tentang perizinan mempunyai fungsi yaitu :
1). Sebagai fungsi penertib
Fungsi penertib dimaksudkan agar izin atau setiap izin atau
tempat-tempat usaha, bangunan dan bentuk kegiatan masyarakat lainnya
tidak bertentangan satu sama lain, sehingga ketertiban dalam setiap
commit to user
2). Sebagai fungsi pengatur
Fungsi mengatur dimaksudkan agar perizinan yang ada dapat
dilaksanakan sesuai dengan peruntukannya, sehingga terdapat
penyalahgunaan izin yang telah diberikan, dengan kata lain, fungsi
pengaturan ini dapat disebut juga sebagai fungsi yang dimiliki oleh
pemerintah.
Tujuan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) adalah untuk
melindungi kepentingan baik kepentingan pemerintah maupun
kepentingan masyarakat yang dutujukan atas kepentingan hak atas
tanah. Sedangkan fungsi dari Izin Mendirikan Bangunan ini dapat
dilihat dalam beberapa hal :
1). Segi Teknis Perkotaan
Pemberian Izin Mendirikan Bangunan sangat penting
artinya bagi Pemerintah Daerah guna mengatur, menetapkan dan
merencanakan pembangunan perumahan di wilayahnya sesuai
dengan potensial dan prioritas kota yang dituangkan dalam Master Pla n Kota. Untuk mendapatkan pola pembangunan kota yang terencana dan terkontrol tersebut, maka untuk pelaksanaan sutau
pembangunan di atas wilayah suatu kota diwajibkan memiliki Izin
Mendirikan Bangunan (IMB).
Dengan adanya pengaturan pembangunan perumahan
melalui izin ini, maka pemerintah didarah dapat merencanakan
pelaksanaan pembangunan berbagai sarana serta unsur kota dengan
berbagai instansi yang berkepentingan. Hal ini penting artinya agar
wajah perkotaan dapat ditata dengan rapi serta menjamin
keterpaduan pelaksanaan pekerjaan pembengunan perkotaan.
commit to user
2). Segi Kepastian Hukum
Izin Mendirikan Bangunan penting artinya sebagai
pengawasan dan pengendalian bagi pemerintah dalam hal
pembangunan perumahan. Mendirikan bangunan dapat menjadi
acuan atau titik tolak dalam pengaturan perumahan selanjutnya.
Bagi masyarakat pentingnya Izin Mendirikan Bangunan ini adalah
untuk mendapatkan kepastian hukum terhadap hak bangunan yang
dilakukan sehingga tidak adanya gangguan atau hal-hal yang
merugikan pihak lain dan akan memungkinkan untuk mendapatkan
keamanan dan ketentraman dalam pelaksanaan usaha atau
pekerjaan, selain itu Izin Mendirikan Bangunan tersebut bagi
pemilknya dapat berfungsi sebagai :
a). Bukti milik bangunan yang sah.
b). Kekuatan hukum terhadap tuntutan ganti rugi dalam hal :
(1). Terjadinya hak milik untuk keperluan pembangunan
yang bersifat untuk kepentingan hukum.
(2). Bentuk-bentuk kerugian yang diderita pemilik bangunan
lainya yang berasal dari kebijaksanaan dan kegiatan yang
dilakukan oleh Pemerintah.
2. Tinjauan Umum Tentang Legalitas Peraturan Perundang-undangan.
a. Pengertian Peraturan
Menurut pasal (1) angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan
Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh
lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara
umum.
b. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus
berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan
commit to user
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, asas
pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik meliputi:
1). Kejelasan tujuan
Yang dimaksud dengan “kejelasan tujuan” berdasarkan
penjelasan Pasal 5 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
2). Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat
Berdasarkan penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 yang dimaksud dengan asas “kelembagaan atau organ
pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan
Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat
Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenag.
Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal
demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak
berwenang.
3). Kesesuaian antara jenis dan materi muatan
Yang dimaksud dengan asas “kesesuaian antara jenis dan
materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi
muatan yang tepat dengan jenis Peraturan
Perundang-undangannya.
4). Dapat dilaksanakan
Yang dimaksud dengan asas “dapat dilaksanakan” adalah
bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan
tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun
sosiologis.
5). Kedayagunaan dan kehasilgunaan
Yang dimaksud dengan asas “kedayagunaan dan
Perundang-commit to user
undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan masyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
6). Kejelasan rumusan
Yang dimaksud dengan asas “kejelasan rumusan” adalah
bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan,
sistematika, dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa
hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interprestasi dalam pelaksanaannya.
7). Keterbukaan
Yang dimaksud dengan asas “keterbukaan” adalah bahwa
dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai
dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat
transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan
Perundang-Undangan.
c. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
Dalam menilik legalitas dari suatu ketentuan atau peraturan
perundang-undangan salah satu teori yang dapat digunakan untuk
menganalisis apakah suatu ketentuan perundang-undangan tersebut
legal atau tidak adalah teori Stufenba u Des Rechts yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Menurut teori Stufenba u Des Rechts, legalitas suatu peraturan perundang-undangan tersebut, yang artinya teori ini
menghendaki adanya tingkatan dalam peraturan perundang-undangan.
Hierarki atau tata urutan perundang-undangan merupakan
pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya. Jenis dan
hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan ketentuan Pasal 7
ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
commit to user
1). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2). Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
yang dimaksud Undang-Undang disini adalah sebagaimana
dijelaskan pada Pasal (1) angka 3 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 yakni Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama
Presiden. Sementara Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang sebagaimana diatur dalam Pasal (1) angka 4
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 adalah Peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal
kegentingan yang memaksa;
3). Peraturan Pemerintah, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal (1)
angka 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yakni Peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk
menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya;
4). Peraturan Presiden, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal (1)
angka 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yakni Peraturan
Perundang-undangan yang dibuat Presiden;
5). Peraturan Daerah, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal (1) angka
7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yakni Peraturan
Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah,
meliputi :
a). Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh dewan Perwakilan
Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur;
b). Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan
Perwakilan Daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota;
c). Peraturan Desa Peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan
Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama Kepala Desa atau
commit to user
Hal yang menjadi dasar hierarki tersebut adalah adanya asas
yang menyatakan bahwa peraturan yang kedudukannya lebih rendah
dari pada suatu kedudukan peraturan lain, tidak boleh bertentangan
dengan peraturan yang memiliki kedudukan di atasnya, di mana
Perundang-undangan suatu negara adalah merupakan suatu sistem
yang tidak menghendaki, membenarkan atau membiarkan adanya
pertentangan di dalamnya. Jika pertentangan antar peraturan
perundang-undangan itu terjadi, maka peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan perundang-undangan
yamg lebih rendah kedudukannya. Ini merupakan asas yang dikenal
dengan adagium yang berbunyi Lex Superior Derograt Legi Inferiori.
3. Tinjauan Umum Tentang Kaedah Hukum dan Asas Hukum
Agar suatu peraturan perundang-undangan dapat berlaku efektif,
maka secara substansial harus memperhatikan beberapa asas yaitu :
a. Undang-undang tidak berlaku surut; artinya suatu hanya boleh
diterapkan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-undang
tersebut serta terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan berlaku;
b. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula (Lex Superior Derograt Lex Impriori);
c. Undang-undang yang bersifat khusus mengenyampingkan
undang-undang yang bersifat umum (Lex Specia lis Derograt Lex Genera l), apabila pembuatnya sama; artinya terhadap peristiwa-peristiwa khusus
wajib diberlakukan undang-undang yang menyebutkan peristiwa
tersebut, walaupun bagi peristiwa khusus tersebut dapat pula
diberlakukan undang-undang yang menyebutkan peristiwa yang lebih
luas ataupun yang lebih umum, yang juga dapat mencakup peristiwa
khusus tersebut;
d. Undang-undang yang baru baru mengalahkan undang-undang yang
commit to user
yang lebih dahulu berlaku dan mengatur hal mengenai suatu hal
tertentu, tidak berlaku lagi apabila telah ada undang-undang baru yang
berlaku belakangan dan mengatur hal tertentu tersebut, akan tetapi
makna dan tujuannya berlainan atau berlawanan dengan
undang-undang yang lama tersebut;
e. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat; artinya adalah
undang-undang hanya dapat dicabut dan atau diubah oleh lembaga yang
membuatnya. Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan
yang salah satunya adalah menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 10 ayat
(1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi), sedangkan Mahkamah Agung diberikan wewenang
untukmenguji secara materiil hanya terhadap peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang saja (pasal 31 ayat (1)
Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).
Kewenangan tersebut memberikan makna bahwa Mahkamah Agung
dapat menyatakan bahwa suatu peraturan tertentu di bawah
undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum (harus ditinjau kembali)
karena bertentangan dengan peraturan di atasnya;
f. Undang-undang merupakan sarana untuk mencapai kesejahteraan
spiritual dan material bagi masyarakat maupun pribadi melalui
pelestarian maupun pembaharuan (inovasi)
Agar suatu peraturan perundang-undangan tidak hanya sebagai
suatu huruf mati, maka perlu dipenuhi persyaratan-persyaratan tertentu
yaitu :
a. Keterbukaan dalam pembuatannya;
b. Memberikan hak kepada anggota masyarakat untuk mengajukan
usulan-usulan dengan cara mengundang masyarakat yang berminat
commit to user
mengundang organisasi tertentu yang terkait untuk memberikan
masukan terhadap rancangan undang-undang yang disusun.
4. Tinjauan Umum Tentang Unit Pelayanan Terpadu (UPT)
a. Pengertian Unit Pelayanan Terpadu (UPT)
Dalam Pasal (2) Peraturan Walikota Surakarta Nomor 13
Tahun 2005 Tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan Walikota
Pada Koordinator Unit Pelayanan Terpadu Kota Surakarta
Menyebutkan bahwa pengertian UPT adalah unit pelayanan bagi
masyarakat yang memerlukan perijinan dan pelayanan dipimpin oleh
seorang koordinator (Peraturan Walikota Surakarta Nomor 13 Tahun
2005 Tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan Walikota Pada
Koordinator Unit Pelayanan Terpadu Kota Surakarta).
b. Tugas dan kewenangan Unit Pelayanan Terpadu (UPT)
Dalam pelaksanaan tugasnya koordinator menerima
pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah dari walikota Surakarta.
Menurut Pasal 4 Peraturan walikota di atas pengertian sebagian
pelimpahan kewenangan adalah meliputi bidang penyelenggaraan
pelayanan publik, baik perijinan maupun non perijinan. Sebagian
kewenangan walikota yang dilimpahkan kepada UPT antara lain:
1). Pemberian informasi pelayanan publik;
2). Penerimaan dan validasi berkas permohonan;
3). Penelitian atau pemeriksaan lapangan;
4). Penandatanganan pelayanan atau perijinan;
5). Penerimaan dan penyetoran biaya pelayanan publik;
6). Percetakan dokumen pelayanan publik;
7). Penyimpanan arsip elektronik.
Dalam Pasal 5 Peraturan Walikota Surakarta Nomor 13 Tahun
2005 Jenis perijinan yang diterbitkan oleh Unit Pelayanan Terpadu
(UPT) meliputi :
commit to user
2). Ijin Penggunaan Bangunan;
3). Advice Planning;
4). Ijin Lokasi;
5). Rekomendasi Lokasi;
6). Ijin Usaha Perdagangan (IUP);
7). Ijin Usaha Industri (IUI);
8). Tanda Daftar Gudang (TDG);
9). Tanda Daftar Perusahaan (TDP);
10). Ijin Gangguan;
11). Ijin Pemasangan Reklame.
c. Pertanggungjawaban Unit Pelayanan Terpadu (UPT)
Pertanggungjawaban Koordinator Unit Pelayanan Terpadu
(UPT) adalah bertanggung jawab atas sebagian kewenangan yang
dilimpahkan, dimana pelimpahan sebagian kewenangan tersebut
disertai dengan dukungan personil, peralatan atau perlengkapan,
pembiayaan dan dokumentasi. Pertanggungjawaban tersebut
disampaikan oleh koordinator Unit Pelayanan Terpadu (UPT) kepada
Walikota melalui Sekretaris Daerah Kota Surakarta.
Penarikan kewenangan yang dilimpahkan kepada koordinator
Unit Pelayanan Terpadu (UPT) dapat dilakukan oleh Walikota baik
sebagian maupun seluruhnya apabila (Pasal (7) Peraturan Waliota
Surakarta Nomor 13 Tahun 2005) :
1). Kewenangan yang dilimpahkan tidak dapat dilanjutkan karena
Pemerintah Daerah mengubah kebijakan;
2). Koordinator Unit Pelayanan Terpadu (UPT) mengusulkan untuk
commit to user
5. Tinjauan Umum Tentang Bangunan Apartemen
a. Pengertian Bangunan Apartemen.
Apartemen atau kondominium merupakan istilah yang dikenal
dalam sistem hukum Negara Italia. Kondominium terdiri atas dua suku
kata yaitu con yang berarti bersama-sama dan dominium yang berarti
pemilikan (Arie Sukanti, (a) 1994 :15). Di Negara Inggris dan amerika
menggunakan istilah Joint Property sedangkan Negara singapura dan Australia mempergunakan Strata Title. Banyaknya istilah yang dipergunakan kalangan masyarakat Indonesia seperti apartemen, flat,
kondominium, rumah susun (rusun) akan semakin membingunkan
awam.
Sebenarnya kalau dikembalikan kepada undang-undangnya,
yakni Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun,
maka kerancuan tidaklah perlu timbul, karena istilah yang
dipergunakan oleh undang-undang tersebut telah jelas dan tegas yakni
rumah susun. Adapun definisi rumah susun menurut undang-undang
tersebut adalah :
“ Ba nguna n gedung bertingkat yang dibangun da la m suatu lingkunga n, ya ng terba gi da la m bagian-ba gia n ya ng distrukturkan seca ra fungsiona l da la m a rah horizonta l ma upun vertica l dan merupa ka n satua n-satua n ya ng ma sing-ma sing da pat dimiliki dan diperguna ka n seca ra terpisa , teruta ma untuk tempat hunian, yang dilengka pi dengan bagian bersa ma , benda bersa ma da n ta nah bersa ma ” .
b. Tujuan Pembangunan Rumah Susun
Tujuan dari pembangunan rumah susun menurut Pasal 3
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun antara
lain adalah :
1). Ayat 1 huruf a : Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak
bagi rakyat, terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan
commit to user
2). Ayat 1 huruf b : Meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di
daerah pekotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya
alam dan menciptakan lingkungan pemukiman yang lengkap,
serasi, dan seimbang;
3). Ayat 2 : Memenuhi kebutuhan untuk kepentingan lainnya yang
berguna bagi kehidupan masyarakat.
c. Syarat Pembangunan Rumah Susun
Sistem bangunan yang berwujud kondominium berbeda dengan
sistem bangunan konvensional (sistem bangunan horizontal). Baik
struktur, kelengkapan, prasarana, dan fasilitas, lingkungan maupun
komunitas penghuninya.
Oleh karenanya dalam rangka pendirian bangunan yang
berbentuk kondominium mutlak diperlukan berbagai persyaratan yang
harus dipenuhi oleh suatu perusahaan pengembang. Adapun tujuan
dari persyaratan tersebut adalah untuk menjamin keselamatan,
keamanan, ketentraman, dan ketertiban penghunian serta keserasian
dengan lingkungan di sekitarnya.
Secara garis besar persyaratan-persyaratan dapat dibagi
menjadi dua sebagai berikut :
1). Persyaratan teknis selalu tertuang dalam rancang bangun yang
meliputi :
a). Ruang;
b). Struktur, komponen, dan bahan bangunan;
c). Kelengkapan bangunan kondominium;
d). Satuan rumah susun;
e). Bagian dan benda bersama;
f). Kepadatan dan tata letak bangunan;
commit to user
2). Persyaratan administrasi yang berupa izin antara lain mencakup:
a). Ijin lokasi (SP3L dan SIPPT);
b). Advice planning;
c). IMB (Ijin Mendirikan Bangunan);
d). ILH (Ijin Layak Huni);
e). Sertifikat tanah.
Ketentuan-ketentuan pokok mengenai persyaratan teknis dan
administratif pendirian rumah susun di atas, dijelaskan lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah
Susun pasal 8 sampai dengan pasal 37.
6. Tinjauan Umum Tentang Tata Ruang
a. Pengertian Tata Ruang
Keberadaan ruang yang terbatas dan pemahaman masyarakat
yang berkembang terhadap pentingnya penataan ruang sehingga
diperlukan penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif,
dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif,
dan berkelanjutan.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 merupakan UU yang
mnengatur mengenai penataan ruang sebagai pembaharuan dari UU
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang yang
sudah tidak sesuai dengan kebutuhan pengaturan penataan ruang. Di
dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan secara rinci berbagai
konsep mengenai penataan ruang. Adapun dalam tinjauan umum ini
hanya beberapa konsep dalam Undang-Udang tersebut yang akan coba
dipaparkan tentunya yang berkaitan dengan penelitian.
1). Pasal 1 ayat (1)
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan
commit to user
wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
2). Pasal 1 ayat 2
Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
3). Pasal 1 ayat 5
Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
4). Pasal 1 ayat 6
Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi
pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan
ruang.
b. Tujuan penataan ruang
Dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
disebutkan bahwa Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk
mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman,nyaman, produktif,
dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional dengan:
1). Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan
lingkungan buatan;
2). Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam
dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya
manusia; dan
3). Terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak
negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
c. Pelaksanaan tata ruang
Dalam undang-Undang Tata Ruang Pelaksanaan tata ruang
meliputi :
1). Perencanaan tata ruang (pasal 14)
a). Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan :
commit to user
(2). Rencana rinci tata ruang.
b). Rencana umum tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a secara berhierarki terdiri atas:
(1). Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
(2). Rencana tata ruang wilayah provinsi; dan
(3). Rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata
ruang wilayah kota.
c). Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b terdiri atas:
(1). Rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata
ruang kawasan strategis nasional;
(2). Rencana tata ruang kawasan strategis provinsi; dan
(3). Rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan rencana tata
ruang kawasan strategis kabupaten/kota.
d). Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b disusun sebagai perangkat operasional rencana umum
tata ruang.
e). Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a dan huruf b disusun apabila:
(1). Rencana umum tata ruang belum dapat dijadikan dasar
dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang; dan/atau
(2). Rencana umum tata ruang mencakup wilayah
perencanaan yang luas dan skala peta dalam rencana
umum tata ruang tersebut memerlukan perincian sebelum
dioperasionalkan.
f). Rencana detail tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf c dijadikan dasar bagi penyusunan peraturan zonasi.
g). Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat ketelitian peta rencana
commit to user
2). Pemanfaatan Ruang
a). Pasal 32
(1). Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan
program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya.
(2). Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilaksanakan dengan pemanfaatan ruang, baik
pemanfaatan ruang secara vertikal maupun pemanfaatan
ruang di dalam bumi.
(3). Program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk jabaran
dari indikasi program utama yang termuat di dalam
rencana tata ruang wilayah.
(4). Pemanfaatan ruang diselenggarakan secara bertahap
sesuai dengan jangka waktu indikasi program utama
pemanfaatan ruang yang ditetapkan dalam rencana tata
ruang.
(5). Pelaksanaan pemanfaatan ruang di wilayah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) disinkronisasikan dengan
pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah administratif
sekitarnya.
(6). Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan memperhatikan standar pelayanan
minimal dalam penyediaan sarana dan prasarana.
b). Pasal 33
(1). Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang
ditetapkan dalam rencana tata ruang dilaksanakan dengan
mengembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan air,
penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam
commit to user
(2). Dalam rangka pengembangan penatagunaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan kegiatan
penyusunan dan penetapan neraca penatagunaan tanah,
neraca penatagunaan sumber daya air, neraca
penatagunaan udara, dan neraca penatagunaan sumber
daya alam lain.
(3). Penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan untuk
pembangunan prasarana dan sarana bagi kepentingan
umum memberikan hak prioritas pertama bagi
Pemerintah dan pemerintah daerah untuk menerima
pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah.
(4). Dalam pemanfaatan ruang pada ruang yang berfungsi
lindung, diberikan prioritas pertama bagi Pemerintah dan
pemerintah daerah untuk menerima pengalihan hak atas
tanah dari pemegang hak atas tanah jika yang
bersangkutan akan melepaskan haknya.
(5). Ketentuan lebih lanjut mengenai penatagunaan tanah,
penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan
sumber daya alam lainnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
3). Pengendalian Pemanfaatan Ruang
a). Pasal 35
Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan
peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif,
serta pengenaan sanksi.
b). Pasal 36
(1). Peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
disusun sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan
commit to user
(2). Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata
ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang.
(3). Peraturan zonasi ditetapkan dengan:
(a) Peraturan pemerintah untuk arahan peraturan zonasi
sistem nasional;
(b)Peraturan daerah provinsi untuk arahan peraturan
zonasi sistem provinsi; dan
(c) Peraturan daerah kabupaten/kota untuk peraturan
zonasi.
c). Pasal 37
(1). Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 diatur oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut
kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2). Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana
tata ruang wilayah dibatalkan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3). Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau
diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal
demi hukum.
(4). Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur
yang benar tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan
rencana tata ruang wilayah, dibatalkan oleh Pemerintah
dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
(5). Terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan
izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat
dimintakan penggantian yang layak kepada instansi
commit to user
(6). Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat
adanya perubahan rencana tata ruang wilayah dapat
dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
dengan memberikan ganti kerugian yang layak.
(7). Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan
izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang
tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
(8). Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan izin
dan tata cara penggantian yang layak sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan
peraturan pemerintah.
7. Tinjauan Umum Tentang Peraturan Perundang-undangan Mengenai Izin
Mendirikan Bangunan (bangunan bertingkat rumah susun/apartemen)
a. Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Pengaturan mengenai izin mendirikan bangunan secara umum
terdapat dalam:
1). Pasal 28 D
a). Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum;
b). Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
2). Pasal 33
a). Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
asas kekeluargaan.
b). Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan