• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Emisi Debu Jatuh Dan Total Suspended Particulate Dari Tanah Andosol Untuk Memprakirakan Penurunan Kualitas Udara Ambien

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor Emisi Debu Jatuh Dan Total Suspended Particulate Dari Tanah Andosol Untuk Memprakirakan Penurunan Kualitas Udara Ambien"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

FAKTOR EMISI DEBU JATUH DAN TOTAL SUSPENDED

PARTICULATE DARI TANAH ANDOSOL UNTUK

MEMPRAKIRAKAN PENURUNAN KUALITAS UDARA

AMBIEN

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Faktor Emisi Debu Jatuh dan Total Suspended Particulate dari Tanah Andosol untuk Memprakirakan Penurunan Kualitas Udara Ambien” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Gamal Hamiresa

(4)
(5)

RINGKASAN

GAMAL HAMIRESA. Faktor Emisi Debu Jatuh dan Total Suspended Particulate

dari Tanah Andosol untuk Memprakirakan Penurunan Kualitas Udara Ambien. Dibimbing oleh ARIEF SABDO YUWONO dan SYAIFUL ANWAR.

Kualitas udara ambien adalah faktor yang penting pada kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, namun dengan meningkatnya pembangunan fisik kota, pusat-pusat kota dan pusat-pusat industri, kualitas udara ambien telah mengalami perubahan yang semakin menurun. Debu jatuh (DF) dan partikel tersuspensi total (TSP) sering digunakan untuk mengkarakterisasi kualitas udara di dekat sumber debu. Kedua parameter penting ini berkontribusi terhadap penurunan kualitas udara sehingga perlu diukur sesuai dengan peraturan pemerintah Republik Indonesia (PP41 / 1999). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) mengukur konsentrasi dari parameter DF dan TSP, (2) mengetahui faktor-faktor emisi yang dipengaruhi oleh kecepatan angin, kadar air tanah, persentase tutupan lahan, dan (3) menganalisis distribusi frekuensi ukuran DF.

Penelitian dilakukan dari bulan September 2015 sampai Februari 2016 pada skala laboratorium terowongan uji, di mana permukaan tanah ditutupi oleh tanah Andosol yang berasal dari .Kabupaten Tanggamus di Provinsi Lampung. Metode gravimetri menggunakan Dustfall Canister digunakan untuk mengukur konsentrasi DF, sesuai dengan SNI 13-4703-1998. Pengukuran TSP dilakukan sesuai dengan SNI 19-7119.3-2005 dengan menggunakan High Volume Air Sampler. Analisis distribusi ukuran dustfall itu dilakukan dengan pengamatan langsung menggunakan mikroskop digital.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa konsentrasi DF sekitar 5 ton/ km2.bulan. Rata-rata TSP adalah sekitar 116 mg / Nm3. Kedua konsentrasi DF dan TSP yang dibangkitkan, masih lebih rendah dari ambang batas baku mutu PP 41/1999, dan berkorelasi positif dengan kecepatan angin, berkorelasi negatif dengan kadar air tanah dan persentase tutupan lahan. emisi persamaan Faktor emisi yang dipengaruhi oleh kecepatan angin, kadar air tanah dan persentase tutupan lahan telah dikembangkan dan telah siap implementasi di lapangan untuk memprakirakan penurunan kualitas udara ambien, akibat bangkitan DF dan TSP pada tanah Andosol yang berasal dari Kabupaten Tanggamus. Distribusi ukuran DF didominasi oleh fraksi 10-100 µm.

Kata kunci: Andosol, bangkitan debu jatuh, distribusi ukuran debu jatuh, faktor

(6)

SUMMARY

GAMAL HAMIRESA. Emission Factor of Dustfall and Total Suspended Particulate from Andisol Soil for Ambient Air Quality Change Assessment. Supervised by ARIEF SABDO YUWONO and SYAIFUL ANWAR.

Ambient air quality is an important factor in the lives of human and other livings, but with increasing physical development of cities, urban centres and industrial centres , the concentration of pollutants in the air increased that deteriorated the air quality. Dustfall (DF) and Total Suspended Particulate (TSP) are often used to characterize air quality near the source of the dust. These two important parameters that contribute to air quality deterioration are required to be measured in accordance with government regulation of the Republic of Indonesia (PP41/1999). The purposes of the study were to (1) measure the concentration of both DF and TSP, (2) determine the emission factors that were affected by wind speed, soil moisture content, land cover percentage, and (3) analyse the frequency distribution of DF size.

The study was conducted in September 2015 until February 2016 in a laboratory scale tunnel where the soil surface was covered by Andisol soil originated from Tanggamus Municipality in Lampung Province. The gravimetric method using dustfall canister was used to measure the concentration of DF according to SNI 13-4703-1998. Measurement of TSP was carried out according to SNI 19-7119.3-2005 by using High Volume Air Sampler. Analysis of the size distribution of the dustfall was carried out by direct observation using a digital microscope.

The research results showed that concentration of DF about 5 tons/ km2.month. Average TSP was about 116 µg/ Nm3. Both of concentration of DF and TSP generation was lower than the quality standard limit of PP 41/1999, and was positively correlated with wind speed, negatively correlated with soil moisture content and the percentage of land cover. The developed emission factor equations as affected by wind speed, soil moisture content and land cover percentage are at this point ready for field implementation to predict the ambient air quality change due to the DF and TSP generation by Andisol from Tanggamus. Dustfall size was dominated by fraction of 10-100 µm.

Keywords: Andisol, dustfall generation, dustfall size distribution, emission

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

FAKTOR EMISI DEBU JATUH DAN TOTAL SUSPENDED

PARTICULATE DARI TANAH ANDOSOL UNTUK

MEMPRAKIRAKAN PENURUNAN KUALITAS UDARA

GAMAL HAMIRESA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul “Faktor Emisi Debu Jatuh dan Total Suspended Particulate dari Tanah Andosol untuk Memprakirakan Penurunan Kualitas Udara Ambien” dapat diselesaikan. Penelitian dilaksanakan sejak bulan September 2015 sampai bulan Februari 2016.

Terima kasih disampaikan kepada Bapak Dr Ir Arief Sabdo Yuwono, MSc dan Bapak Dr Ir Syaiful Anwar, MSc selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberi arahan dan nasehat dalam penulisan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr Ir Erizal, MAgr selaku penguji luar komisi dan Dr Ir Yanuar Jarwadi Purwanto, MS selaku penguji wakil program studi saat pelaksanaan ujian sidang atas segala arahan dan saran perbaikan yang diberikan kepada penulis.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri (Ety Herwati), anak-anak dan menantu (Hegia, Sugeng, Reswari, Syahwira), cucu-cucu (Abang dan Au), serta seluruh keluarga besar, atas segala doa, kasih sayangnya, serta kesabarannya.

Karya ilmiah ini jauh dari sempurna, tetapi diharapkan karya ilmiah ini tetap memberikan informasi dan pengetahuan yang bermanfaat bagi akademisi khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Bogor, Agustus 2016

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Pencemaran Udara 4

Debu Jatuh (Dustfall) dan TSP (Total Suspended Particulate) 6

Emisi dan faktor emisi 8

Karakteristik Tanah Andosol 10

3 METODE PENELITIAN 12

Tempat dan Waktu Penelitian 12

Kerangka Penelitian 12

Penyiapan Bahan Uji, Pengendalian Kadar Air Tanah, Kecepatan

Angin dan Media Tutupan Lahan 13

Pengukuran Debu Jatuh dan TSP 13

Penyusunan Faktor Emisi 14

Pengukuran Distribusi Ukuran Partikel 15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 15

Debu Jatuh dan Korelasinya dengan Kecepatan Angin, Kadar Air

Tanah serta Persentase Tutupan Lahan 15

TSP dan Korelasinya dengan Kecepatan Angin, Kadar Air Tanah

serta Persentase Tutupan Lahan 17

Pendugaan Bangkitan Debu Jatuh dan TSP 18

Analisis Distribusi Ukuran Partikel Debu Jatuh 20

5 SIMPULAN DAN SARAN 20

Simpulan 20

Saran 21

DAFTAR PUSTAKA 22

LAMPIRAN 27

(14)

DAFTAR TABEL

1. Hasil pengukuran debu jatuh (DF) pada 3 tingkat kecepatan angin

(W) dan kadar air tanah (S) 16

2. Hasil pengukuran TSP pada 3 tingkat kecepatan angin (W) dan kadar

air tanah (S). 17

3. Nilai koefisien determinasi (R2) dalam hubungan antara garis

kecenderungan dengan bangkitan DF dan TSP pada masing-masing kecepatan angin (W), kadar air tanah (S) dan tutupan lahan (L) 19

4. Nilai P, Korelasi Pearson (R), koefisien determinasi (R2), dan

kontribusi relatif (C) dari bangkitan DF dan TSP terhadap kecepatan angin (W), kadar air tanah (S) dan tutupan Lahan (L) 19

DAFTAR GAMBAR

1. Bagan alir kerangka penelitian 12

2. Skema percobaan pengukuran debu jatuh dan TSP dalam tunnel. 14 3. Hasil bangkitan DF pada tiga variasi (a) kecepatan angin; (b) kadar

air; (c) tutupan lahan 16

4. Hasil bangkitan TSP pada tiga variasi (a) kecepatan angin; (b)

kadar air; (c) tutupan lahan 18

5. Distribusi ukuran partikel debu jatuh tanah Andosol di 3 titik

canister 20

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta jenis tanah di pulau Sumatra (Sumber : FAO Unesco Soil Map

of South Easth Asia, 1964) 28

2. Peta Jenis Tanah Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung

(Sumber : Pusat Penelitian Lingkungan Hidup-IPB) 29

3. Gambar kondisi lokasi pengambilan contoh tanah Andosol di

Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung 29

4. Gambar alat pengoperasian Terowongan Uji (Tunnel) 30 5. Gambar alat, bahan dan perangkat lunak pengukuran DF, TSP dan

distribusi ukuran partikel 30

6. Data bangkitan DF pada variasi tutupan lahan berdasarkan

pengukuran sebenarnya dan dibandingkan dengan perhitungan

menggunakan Faktor Emisi. 31

7. Data bangkitan TSP pada variasi tutupan lahan berdasarkan

pengukuran sebenarnya dan dibandingkan dengan perhitungan

menggunakan Faktor Emisi. 31

8. Contoh gambar hasil pengamatan distribusi ukuran partikel DF

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kualitas udara ambien adalah faktor yang penting pada kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, namun dengan meningkatnya pembangunan fisik kota, pusat-pusat kota dan pusat-pusat industri, kualitas udara ambien telah mengalami perubahan yang semakin menurun (Almuhanna 2015; Lu et al. 2015; Zhao & Shi 2012). Menurut PP 41 Tahun 1999, pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Zhao & Shi (2012) menyatakan bahwa semakin meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil (minyak) menyebabkan udara di sekitar (udara ambien) menjadi makin tercemar oleh gas-gas buangan hasil pembakaran.

Pada kegiatan pengelolaan lingkungan hidup, khususnya pengelolaan kualitas udara ambien adalah sangat penting untuk menentukan konsentrasi zat pencemar di dalam udara ambien (Zhang et al. 2014; Wang et al. 2015). Apabila semakin banyak kandungan zat pencemar dalam udara ambien maka akan mengindikasikan bahwa kualitas udara ambien semakin menurun. Demikian sebaliknya semakin sedikitnya zat pencemar tersebut di dalam udara ambien, menandakan bahwa kualitas udara ambien semakin meningkat. Kesimpulan ini tentunya didapat dengan melakukan pengukuran-pengukuran terhadap polutan udara, serta menurut Chen & Chu (2015) melakukan suatu prakiraan dampak dengan menggunakan model matematika.

Debu jatuh (dustfall, DF) dan partikel tersuspensi total (total suspended particulate, TSP) merupakan dua parameter penting dalam kualitas udara ambien (udara luar ruang/outdoor). Keberadaan dan efek kedua parameter yang bersangkut paut dengan “debu” ini terhadap kualitas udara ambien pada suatu

lokasi identik dengan kondisi kualitas udara ambien di lokasi tersebut (Andrić et al. 2013; Hahnenberger & Nicoll2014). Efeknya bagi kesehatan manusia antara

lain adalah penyakit batuk, sakit tenggorokan, bronkhitis akut dan kronik, asma, pneumonia, kanker paru dan bahkan kematian. Debu jatuh dan TSP merupakan parameter- parameter penyebab infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) (Yuwono

et al. 2014; Zhang et al. 2010; Lu et al. 2015; Almuhanna 2015). Penelitian

Winckelmans et al. (2015) menunjukkan bahwa pada tingkat di luar batas standar

kualitas udara ambien, paparan partikulat dapat mengurangi berat lahir pralahir dan polusi udara dapat juga meningkatkan risiko bayi yang kecil untuk usia kehamilan, tidak hanya di kalangan bayi yang lahir cukup bulan, tetapi lebih luas lagi di kalangan bayi yang lahir antara 32 dan 36 minggu kehamilan.

Dinamika atmosfer adalah faktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam masalah pencemaran udara (Soedomo 2001; Yunfei et al. 2010; Andrić et al.

(16)

2

juga Pardyjak et al. (2008) pada penelitiannya juga mengungkapkan bahwa difusi atmosfir kecepatan angin dan turbulensi sangat mempengaruhi transportasi dan deposisi debu udara. Mahowald et al. (2014) menyatakan bahwa tingginya

bangkitan debu ke udara ambien dipengaruhi oleh empat hal yaitu (1) angin yang kuat, (2) tanah yang kering, (3) vegetasi yang jarang atau berjarak jauh satu dengan lainnya, dan (4) saltating particles atau partikel tanah yang terdistribusi

oleh angin.

Untuk memprakirakan kualitas udara ambien khususnya kandungan DF dan TSP, apakah menurun ataupun meningkat, diperlukan data bangkitan (generation)

serta faktor emisi DF dan TSP dari permukaan tanah yang terkoreksi dengan kondisi lingkungan dan iklim setempat. Ketiadaan mengenai data bangkitan dan faktor emisi ini mengakibatkan prakiraan dan verifikasi penilaian terhadap parameter kualitas udara ambien khususnya untuk bangkitan DF dan TSP tidak mempunyai acuan yang sesuai dengan kondisi khas Indonesia.(Yuwono et al.

2014)

Rochimawati et al. (2014) menyatakan bahwa saat ini untuk sementara

waktu, ketika menaksir bangkitan DF dan TSP dalam udara ambien di Indonesia digunakan sebuah persamaan empiris dari Niemeier yang berasal dari California (USA) yang tidak sesuai dengan kondisi di Indonesia. Ketidaksesuaian ini antara lain dipandang dari aspek jenis tanah, kondisi iklim dan cuaca serta aktifitas manusia di atas lahan yang menjadi penyebab timbulnya DF dan TSP tersebut.

Prakiraan bangkitan DF dan TSP dari sepuluh jenis tanah (Aluvial/ Entisol/ Inceptisol, Latosol/ Oxisol, Ultisol/ Podsolik Merah Kuning, Andosol/ Andisol dan Grumusol/ Vertisol) di Pulau Jawa telah diteliti oleh Amaliah et al. (2014),

Rochimawati et al. (2014), dan Yuwono et al. (2014). Bangkitan dan faktor emisi DF dan TSP untuk permukaan lahan dengan contoh tanah dari pulau Sumatra sedang diteliti saat ini.

Atas dasar tersebut di atas, penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data bangkitan dan faktor emisi untuk parameter DF dan TSP di atas permukaan lahan dengan jenis tanah Andosol. Lokasi yang dipilih pada penelitian ini adalah di pulau Sumatra yaitu di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung.

Perumusan Masalah

Yuwono et al. (2014) dan Amaliah et al. (2014) menyatakan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh para pemangku kepentingan ketika melaksanakan pengelolaan kualitas udara ambien di Indonesia dewasa ini adalah saat menentukan konsentrasi DF dan TSP dalam udara ambien di suatu lokasi, sebagai akibat adanya berbagai macam kegiatan manusia, seperti pertambangan, transportasi, pembukaan lahan, pembangunan kawasan perumahan, konversi lahan, pengolahan tanah, dan penggundulan hutan. Permasalahan ini timbul karena ketiadaan data mengenai besarnya bangkitan DF dan TSP yang berasal dari permukaan lahan yang ada di Indonesia serta sebagai akibat dari bermacam-macam kegiatan manusia.

(17)

3 Pengendalian bangkitan DF dan TSP dapat dilakukan dengan efektif dan efisien jika telah diketahui besarnya pengaruh faktor-faktor kecepatan angin, kadar air tanah (Fecan et al. 1999; Wang et al. 2015) dan persentase tutupan lahan terhadap

bangkitannya. Carvalho & Freitas (2011) menyatakan bahwa strategi pengelolaan kualitas udara harus mempertimbangkan kontribusi relatif dari berbagai sumber polusi udara, yaitu sumber-sumber alam & antropogenik.

Pertanyaan penelitian yang muncul dari perumusan masalah di atas diantaranya adalah :

1. Bagaimana korelasi antara kecepatan angin, kadar air tanah, serta % tutupan lahan terhadap bangkitan DF dan TSP pada tanah Andosol yang berasal dari Kabupaten Tanggamus, sesuai dengan Mahowald et al. (2014) bahwa angin yang kuat, tanah yang kering, vegetasi yang jarang, akan mempengaruhi jumlah debu yang terdistribusi di udara ambien

2. Bagaimana faktor emisi DF dan TSP dapat digunakan untuk pengelolaan kualitas udara. Model faktor emisi yang dimaksud adalah berdasarkan kecepatan angin, kadar air air tanah, dan persentase tutupan lahan, untuk tanah Andosol yang berasal dari Kabupaten Tanggamus

3. Bagaimana karakteristik fisik DF yang dibangkitkan, dengan cakupannya yaitu sejauh mana debu jatuh dapat teremisikan pada ukuran yang membahayakan dan bagaimana distribusi ukuran partikel DF di udara ambien, bersumber dari tanah Andosol yang berasal dari Kabupaten Tanggamus

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Mengukur bangkitan DF dan TSP dalam udara ambien pada skala laboratorium dengan berbagai tingkat kecepatan angin, kadar air tanah dan persentase tutupan lahan, untuk jenis tanah Andosol yang berasal dari Kabupaten Tanggamus.

2. Menyusun faktor emisi bangkitan DF dan TSP berdasarkan kecepatan angin, kadar air tanah dan persentase tutupan lahan, untuk jenis tanah Andosol yang berasal dari Kabupaten Tanggamus.

3. Menganalisis karakteristik fisik berupa distribusi ukuran partikel DF untuk jenis tanah Andosol yang berasal dari Kabupaten Tanggamus.

Manfaat Penelitian

Manfaat hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Sebagai acuan untuk pengendalian pencemaran udara dengan cara mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi bangkitan TSP dan debu jatuh.

2. Sebagai dasar untuk menetapkan aturan terhadap suatu kegiatan yang berpotensi menimbulkan bangkitan debu jatuh dan TSP yang tinggi.

(18)

4

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian adalah :

1. Penelitian ini menggunakan contoh uji tanah jenis Andosol, yang berasal dari beberapa wilayah di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. 2. Penelitian ini dibatasi pada pengaruh kecepatan angin, kadar air tanah serta

persentase tutupan lahan terhadap bangkitan DF dan TSP.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Pencemaran Udara

Pencemaran udara adalah bertambahnya bahan atau substrat fisik atau kimia ke dalam lingkungan udara normal, yang sampai di suatu titik konsentrasi dapat dideteksi oleh manusia (yang dapat dihitung dan diukur) serta dapat memberikan efek pada manusia, binatang, vegetasi dan material (Sharratt dan Auvermann 2014). Pencemaran udara juga adalah adanya bahan polutan di atmosfer yang pada suatu titik konsentrasi akan mengganggu keseimbangan dinamik atmosfer dan mempunyai efek pada manusia dan lingkungannya (Lu et al. 2015). Jenis

parameter pencemar udara menurut Peraturan Pemerintah

Nomor 41 tahun 1999, meliputi Sulfur dioksida (SO2), Karbon monoksida (CO), Nitrogen dioksida (NO2), Oksidan (O3), Hidrokarbon (HC), PM10 , PM2.5, TSP, Pb (Timah Hitam), dan debu jatuh.

Narayanachari et al. (2014) mengemukakan bahwa penyebaran pencemaran di udara akibat suatu sumber emisi secara fisis akan berlangsung selama belum tercapainya kesetimbangan mekanik. Proses ini dikenal dengan nama proses difusi.

Selanjutnya Hahnenberger & Nicoll (2014) menjelaskan bahwa penyebaran polutan di udara juga dipengaruhi oleh faktor meteorologi yakni angin dan kestabilan udara. Angin ini menyebabkan terjadinya proses adveksi yaitu gerakan massa udara secara horizontal berupa badai debu. Besar badai debu-skala regional dapat menurunkan visibilitas dan kualitas udara ambien. Sedangkan kestabilan udara (gradien suhu secara vertikal) yang besar pada udara perkotaan, mengakibatkan konsentrasi polutan terbawa ke ketinggian dan dengan demikian konsentrasi berkurang di daerah permukaan kota urban.

Kaitan dengan beberapa penelitian yang pernah dilakukan tentang hubungan pencemaran udara dengan faktor meteorologi antara lain: Sissakian et al. (2013)

menyatakan bahwa penyebab utama terjadinya peningkatan debu dan badai debu regional adalah adanya perubahan drastis pada curah hujan tahunan dan suhu, selain itu penyebab lainnya seperti kesalahan rancangan awal, kesalahan pada pengelolaan air, juga lahan pertanian yang ditinggalkan. Kemudian Sissakian et al.

(19)

5 kecepatan angin lebih tinggi, partikel pasir di pasir badai bergerak dengan "saltation". Ketika antara satu butir saltating bertabrakan dengan yang lain, dampaknya dapat mengangkat partikel ke udara. Setelah mencapai maksimal ketinggian, partikel-partikel ini akan tertarik turun oleh kekuatan gravitasi dan kecepatan angin horisontal dan seterusnya kemudian proses berulang kembali.

Akpinar et al. (2009) dan Istantinova et al. (2013) menyimpulkan bahwa

kecepatan angin dan kelembaban terbukti berbanding terbalik terhadap konsentrasi SO2, yaitu semakin tinggi kecepatan angin dan kelembaban maka semakin rendah konsentrasi SO2 di udara. Sedangkan untuk peubah (variabel) suhu udara, didapatkan hasil bahwa suhu udara berbanding lurus terhadap konsentrasi SO2, yaitu semakin tinggi suhu maka konsentrasi SO2 dalam udara ambien juga semakin tinggi.

Dari penelitiannya Andrić et al. (2013) menyimpulkan bahwa polutan CO

dan NO2 signifikan berkorelasi dengan satu sama lain dan ada hubungan yang penting antara perubahan parameter meteorologi di lapisan atmosfir. Juga Arifiyanti et al. (2013) menyimpulkan bahwa dari hasil analisis regresi,

didapatkan bahwa besar konsentrasi CO memiliki hubungan yang signifikan dengan kelembaban, suhu dan kecepatan angin. Konsentrasi CO memiliki hubungan yang positif dan cukup kuat dengan kelembaban. Sebaliknya, suhu memiliki hubungan negatif dan cukup kuat terhadap konsentrasi CO dan kecepatan angin memiliki hubungan negatif dan kuat terhadap konsentrasi CO.

Al Katheeri et al. (2012) menerangkan bahwa pada variasi musiman, konsentrasi tertinggi NO2 dan SO2 dicatat selama musim dingin untuk wilyah Uni Emirat Arab sedangkan kecepatan angin tidak banyak mempengaruhi konsentrasi polutan gas dan dianggap sebagai konsentrasi pada tingkat latar belakang daerah. Untuk di Indonesia Limbong et al. (2013) menyimpulkan bahwa hubungan antara

peubah kelembaban udara dengan konsentrasi NO2 adalah sangat kuat dan korelasi negatif (-) serta hubungan tidak signifikan. Untuk suhu udara dengan konsentrasi NO2 hubungannya adalah sangat kuat dan korelasi positif (+) dan signifikan. Arah dan kecepatan angin dengan konsentrasi NO2 hubungan kedua peubah tersebut cukup, korelasi negatif (-) serta sifat hubungannya signifikan.

Penelitian Yunfei et al. (2010) menyimpulkan bahwa selama rentang waktu yang panjang (1951-2006) East Asian Monsoon (EAM) saling berhubungan

dengan dust weather frequency (DWF). Pada suatu periode, EAM memiliki

beberapa dampak yang mempengaruhi DWF hal ini terkait dengan suhu udara permukaan dan curah hujan selama periode tersebut, pada skala interannual

sesuai dengan kondisi daerah sumber pasir-debu. Sebuah East Asian winter monsoon (EAWM) yang kuat ataupun lemah mungkin dapat maju (mendesak) terjadinya DWF, dan begitu sebaliknya untuk East Asian summer monsoon

(EASM).

(20)

6

Debu Jatuh (Dustfall) dan TSP (Total Suspended Particulate)

Menurut definisi Micovic et al. (2010), debu jatuh (dustfall) adalah merupakan partikel kasar padat dan cair, dengan diameter aerodinamis > 10µm, yang dikumpulkan melalui pengendapan gravitasi dalam wadah mulut terbuka untuk jangka waktu yang ditetapkan dalam berat per satuan luas waktu. Debu jatuh juga bisa merujuk pada bentuk aerosol dengan diameter sama atau lebih besar dari PM10 dan memiliki kemampuan untuk menetap setelah penghentian sementara di udara (Gorham 2002). Menurut Hai et al. (2007), debu jatuh secara alamiah dihasilkan oleh tanah kering yang terbawa oleh angin maupun muntahan letusan gunung berapi. Debu tersebut jatuh akibat pengaruh gravitasi maupun karena terikat oleh air hujan. Debu jatuh ini dapat berasal dari badai debu (dust storm) maupun debu biasa (non dust storm). Badai debu (dust storm) adalah angin kuat yang menyebabkan debu terbang ke udara dan bergerak, sedangkan non dust storm adalah keadaan dimana debu yang terdapat pada cuaca baik dengan kondisi

angin yang normal.

Amaliah (2014) menerangkan bahwa bangkitan debu jatuh mempunyai perbedaan yang besar ketika kondisi meteorologi, permukaan tanah dan jenis tanah berbeda. Berdasarkan penelitian Laurent et al. (2006) , konsentrasi debu jatuh sangat tergantung pada kecepatan angin, kekasaran permukaan, dan stabilitas atmosfer. Debu jatuh yang dihasilkan dari permukaan tanah karena tererosi oleh angin setempat paling rentan terjadi pada daerah kering dan semi kering dengan kondisi permukaan tanah yang halus dan kering, tanpa vegetasi dan angin kencang (Fecan et al. 1999 ).

Koren dan Kaufman (2004) menerangkan bahwa pola pergerakan angin, debu dapat berdampak secara lokal maupun global terhadap ekosistem. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kadar air tanah setempat. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa tanah berpasir merupakan sumber debu yang dapat mengganggu kesehatan. Kecepatan angin minimum diperlukan untuk dapat mengangkat partikel-partikel dari permukaan tanah sehingga menghasilkan debu jatuh yang bergantung pada ukuran partikelnya. Tanah dengan ukuran partikel lebih kasar memerlukan kecepatan angin lebih tinggi untuk dapat membawa partikel-partikel tersebut. Selanjutnya Washington et al. (2003) menjelaskan karena adanya variasi temporal maka udara ambien pada daerah yang dekat dengan sumber akan mengandung konsentrasi debu tertinggi daripada daerah yang berada lebih jauh dari sumbernya.

Debu total suspended particulate (TSP) merupakan partikel dengan

diameter kurang dari 100 µm. Beberapa karakteristik yang dimiliki partikel atau partikulat antara lain adalah ukuran, distribusi ukuran, bentuk kepadatan, kelengketan, sifat korosif, reaktivitas dan toksisitas. Dari beberapa karakteristik tersebut, ukuran partikel dianggap menjadi parameter penting yang perlu diketahui.(Rochimawati 2014). Dijelaskan juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999 dan dalam SNI 19-7119.3-2005, bahwa TSP adalah fraksi padatan dari udara yang dihisap melalui filter menggunakan pompa vakum dengan laju alir 1.13-1.70 m3/menit sehingga partikel tersuspensi yang berukuran 0.1 µm sampai 100 µm menempel di filter (efisiensi 99.95% untuk partikel berukuran 0.3 µm). Effisiensi menempelnya partikel berukuran lebih besar dari 20

(21)

7 posisi atap sampler, dan kenaikkan kecepatan. Jumlah partikel yang terakumulasi pada filter dianalisis secara gravimetri. TSP kemudian dinyatakan sebagai bobot

partikulat yang terkumpul per satuan volume contoh uji yang diambil (µg/Nm3). Partikulat di atmosfer dapat menyebabkan berubahnya radiasi matahari yang dapat diserap oleh permukaan bumi (Kaufman et al. 2002). Partikulat juga dapat mengurangi intensitas radiasi matahari sehingga mempengaruhi proses fotosintesis dan menghambat pertumbuhan tanaman. Pada beberapa orang yang sensitif, partikel tersuspensi dapat mengakibatkan penyakit asma dan penyakit pernapasan lainnya. Selain itu, aerosol partikel tersuspensi dapat bertindak sebagai inti kondensasi awan dan mempengaruhi produktivitas hujan (Levin et al. 1996).

Secara alamiah DF dan TSP dapat dihasilkan dari tanah kering yang terbawa oleh angin. Kecepatan angin dapat mengakibatkan terangkatnya partikel-partikel halus dari permukaan tanah sehingga menghasilkan debu. Penelitian Liu et al. (2004) menunjukkan bahwa konsentrasi debu jatuh meningkat dengan meningkatnya erosi tanah akibat angin.

Almuhanna (2015) pada penelitian tentang debu jatuh akibat badai debu di Oasis Al-Ahsa di Arab Saudi menyatakan bahwa sebuah mikrofotograf dari debu jatuh yang tertangkap oleh mikroskop stereo dissection menunjukkan bahwa

partikel debu memiliki berbagai warna dan ukuran, dan terlihat kandungan serat dan puing-puing vegetatif.

Zhang et al. (2010) membuat kesimpulan bahwa pada kurun waktu penelitian dari tahun 1980 ke tahun 2000-an, konsentrasi TSP, dan intensitas debu jatuh memiliki perubahan tata ruang yang sama. TSP memiliki dampak kuat pada kualitas udara ambien di kota-kota utara dan pedalaman Cina dibandingkan dengan kota-kota selatan dan pesisir. Umumnya, pasir dan badai debu menjadi faktor penyebab utama yang mempengaruhi variabilitas temporal dan distribusi spasial DF dan TSP di Cina. menunjukkan bahwa udara dipengaruhi oleh sumber-sumber antropogenik di Qinghai Lake.

Zhao & Shi (2012), yang telah mengambil Shanghai-Nanjing sebagai subjek penelitian mendapatkan fakta kesimpulan bahwa hubungan antara konsentrasi TSP, suhu dan tekanan atmosfer udara ternyata memiliki korelasi yang lemah.

(22)

8

Wang et al. (2015) juga menjelaskan bahwa penyiraman dapat mengurangi potensi emisi debu yang tertiup angin dari jalan beraspal yang diuji dengan 50-99% pada kecepatan angin yang berbeda. Penyiraman adalah efektif untuk mengurangi emisi debu buronan dari permukaan kering bila diterapkan di tempat yang tepat dan pada jumlah yang tepat. Efektivitas penekan debu lainnya yang dapat bertahan lebih lama atau lebih hemat biaya, seperti stabilisator polimer dan surfaktan, dapat dievaluasi dengan metode yang digunakan.

.

Emisi dan faktor emisi

Kristensson et al. (2004). menyatakan bahwa sampai saat ini kendaraan

bermotor masih menjadi kontributor utama dalam hal pencemaran udara di berbagai daerah perkotaan. Untuk dapat mengidentifikasi, sejauh mana lalu lintas atau kendaraan yang berbeda jenis itu berkontribusi terhadap polusi kota maka diperlukan informasi rinci dari emisi. Faktor emisi dapat digunakan untuk tujuan ini dan pengertian faktor emisi disini adalah sebagai jumlah spesies yang dipancarkan per km kendaraan per volume bahan bakar yang dikonsumsi. Kemudian Kristensson et al. (2004) menandaskan bahwa ada tiga cara untuk mendapatkan faktor emisi, yaitu: (1) melalui pengukuran terowongan jalan; (2) melalui pengukuran pemodelan dispersi ‘’inversi’’ jalan-ngarai; dan (3) melalui pengukuran model kotak massa konservasi jalan terbuka.

Roy et al. (2010) menambahkan bahwa faktor emisi dapat digunakan untuk mengukur debu yang dihasilkan oleh peledakan pada tahap perencanaan atau operasi penambangan. Oleh karena itu faktor emisi adalah merupakan instrumen yang berguna untuk penyusunan rencana pengelolaan lingkungan Sebelum bekerja dengan polusi udara akibat pertambangan batubara permukaan sebagian waktu akan berkaitan dengan pemantauan dan analisis debu yang akan dihasilkan oleh operasi pertambangan. Pengkajian dampak lingkungan (AMDAL), rencana pengelolaan dan pemantuan lingkungan (RKL dan RPL) merupakan persyaratan hukum untuk pelaksanaan proyek-proyek pertambangan baru atau untuk perluasan proyek operasi. Untuk tujuan kuantifikasi, nilai emisi debu peledakan adalah diperlukan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengembangkan faktor emisi untuk peledakan

(23)

9 bahwa penelitiannya memberikan semacam wawasan ilmiah mendasar dalam kuantifikasi emisi debu akibat aktivitas pertambangan batubara.

US Environmental Protection Agency juga telah memperkenalkan “Kompilasi Faktor Emisi Polutan Udara” (AP-42). Faktor emisi dan inventaris emisi adalah instrumen dasar untuk pengelolaan kualitas udara ambien. Prakiraan emisi adalah penting untuk mengembangkan strategi pengendalian emisi, menentukan penerapan perizinan dan program pengendalian, memastikan efek sumber dan strategi mitigasi yang tepat. Faktor emisi adalah nilai representatif yang menghubungkan kuantitas suatu polutan yang dilepas ke atmosfer dengan kegiatan yang berhubungan dengan pelepasan polutan. Faktor-faktor ini biasanya dinyatakan sebagai bobot polutan dengan satuan berat dibagi volume, jarak, atau durasi aktivitas yang memancarkan polutan (misalnya, kilogram partikel yang dipancarkan per megagram batubara terbakar). Faktor-faktor tersebut akan memberikan prakiraan emisi dari berbagai sumber polusi udara. Pada kebanyakan kasus, faktor-faktor ini hanyalah rata-rata dari semua data kualitas yang tersedia, dan umumnya dianggap sebagai perwakilan dari rata-rata jangka panjang untuk semua fasilitas yang masuk dalam kategori sumber (yaitu, rata-rata populasi). (US EPA 2015).

Niemeier & Shafizadeh (2004) menjelaskan bahwa sumber emisi secara umum dibagi ke dalam dua kategori yaitu: sumber diam (stasioner source), dan

sumber bergerak (mobile source). MENLH (2007) juga menyebutkan bahwa dengan pola pengelompokan yang lain, sumber-sumber emisi dari suatu rencana kegiatan dapat saja terdiri dari sumber titik (point source), sumber ruang (volume source), sumber area (area source), dan sumber garis (line source). Salah satu

contoh sumber titik yang banyak terdapat dalam suatu rencana kegiatan adalah cerobong (stack). Banyak komponen kegiatan mengeluarkan emisi yang tergolong

sebagai emisi liar (fugitive emission) karena polutan-polutan tersebut akan langsung terlepas ke udara tanpa melalui sistem penangkapan polutan dan pelepasan terkendali di suatu titik, seperti halnya cerobong atau ventilasi udara.

MENLH (2013) dan US EPA (2015) memberikan persamaan umum untuk

(24)

10

Saat ini, Indonesia belum memiliki dokumen/publikasi yang memuat faktor-faktor emisi yang berlaku nasional. Beberapa publikasi di luar negeri yang memuat referensi faktor-faktor emisi untuk berbagai fasilitas dan kategori industri berdasarkan tingkat aktivitas di negara dimana faktor emisi tersebut disusun diantaranya selain U.S. EPA AP-42 adalah: EMEP/CORINAIR, dan IPCC. Adopsi faktor-faktor emisi dari publikasi tersebut sebaiknya dilakukan secara berhati-hati karena adanya perbedaan kondisi/karakteristik pengoperasian. (MENLH 2013). Namun meskipun demikian dalam kaitan pendugaan dampak bangkitan debu jatuh dan TSP untuk wilayah pulau Jawa penelitian Yuwono et al.

(2014) telah berhasil membuat suatu persamaan faktor emisi yang saat ini sudah siap untuk implementasi lapangan dengan cara hanya memasukkan kadar air tanah dan kecepatan angin lokal.

Karakteristik Tanah Andosol

Tanah di daerah pegunungan vulkanik dicirikan oleh warna tanah hitam atau gelap karena tingginya kandungan bahan organik, gembur, ringan dan licin jika dipirid dengan jari tangan. Tanah dengan sifat-sifat demikian disebut tanah Andosol. Istilah Andosol berasal dari bahasa Jepang yang berarti tanah hitam (An = hitam; do = tanah). (BBSDLP 2014). Di Jepang tanah hitam yang berkembang dari abu vulkanik diberi nama Kurobokudo atau black fluffy soils (Shindo &

Honma 1998). “Ando soils” pertama kali diperkenalkan pada tahun 1947 dalam pemetaan tanah tinjau (reconnaissance) di Jepang oleh ahli-ahli tanah dari Amerika (Shoji et al. 1993; Katou & Kozai 2010; Rennert et al. 2014).

Andosol hanya dijumpai pada bahan vulkanik yang tidak padu, pada ketinggian 750 sampai 3.000 m di atas permukaan laut (m dpl). Andosol dijumpai pada daerah beriklim tropika basah dengan curah hujan antara 2,500-7,000 mm tahun-1 dengan suhu yang sejuk (suhu rata-rata < 22oC). Didefinisikan juga bahwa tanah Andosol sebagai tanah yang mempunyai horison A molik, atau A umbrik dan mungkin juga terdapat di atas horison B kambik; atau horison A okhrik dan horison B kambik; tidak mempunyai horison diagnostik lain (kecuali jika tertimbun oleh 50 cm atau lebih bahan baru); pada kedalaman sampai 35 cm atau lebih mempunyai satu atau kedua-duanya dari: (a) bulk density (pada kandungan air 1/3 bar) dari fraksi tanah halus (kurang dari 2 mm) kurang dari 0.85 g cm-3 dan kompleks pertukaran didominasi oleh bahan amorf, (b) 60% atau lebih adalah abu vulkanik vitrik, abu atau bahan piroklastik vitrik yang lain dalam fraksi debu, pasir dan kerikil. (FAO/UNESCO 1997; Mahowald et al. 2014; Rennert et al. 2014; BBSDLP 2014).

(25)

11 yang tinggi terhadap fosfat dan tanah Andosol yang berasal dari bahan induk liparit mempunyai retensi P yang paling tinggi. Demikian juga halnya dengan pH tanah, tanah Andosol di Indonesia memiliki kisaran pH yang cukup lebar yaitu antara 3.4 sampai 6.7 dengan rata-rata 5.4. Namun kisaran pH antara 4.5 sampai 5.5 merupakan kisaran pH yang paling banyak sedangkan yang kedua terbanyak adalah pada kisaran pH antara 5.5 sampai 6.5. Tanah Andosol yang bersifat masam berasal dari daerah bercurah hujan tinggi dan mempunyai bahan induk bersifat liparitik, yaitu dari dataran tinggi Toba di Sumatera Utara. Tanah Andosol yang mempunyai pH lebih dari 6.5 berasal dari daerah beriklim kering yaitu dari Nusa Tengggara Timur dan dari daerah yang mempunyai bahan induk basaltik. (Shoji et al. 1993; Ranst et al. 2008; Wakindiki & Omondi 2012; Mahowald et al.

2014; Rennert et al. 2014; BBSDLP 2014)

Sifat fisika tanah Andosol memiliki sifat yang khas dan berkaitan erat dengan tingginya kandungan alofan. Alofan merupakan salah satu bahan bentuk non kristalin terpenting yang berkontribusi pada bobot isi (bulk density) yang rendah dari tanah Andosol melalui pengembangan struktur tanah berpori. Mineral ini memiliki banyak lubang-lubang yang memungkinkan keluar masuknya molekul-molekul air. Tanah Andosol selain memiliki kandungan bahan organik yang tinggi, bobot isi rendah, daya menahan air tinggi, total porositas tinggi, tetapi juga tanah ini bersifat gembur dengan konsistensi kurang plastis dan tidak lekat. Tanah ini bila basah bersifat berminyak (greasy) dan menyemir (smeary). Selain itu tanah Andosol juga mempunyai sifat kering tak balik (irreversible). Penyebabnya adalah akibat dari adanya: (1) liat silikat amorf yang memiliki nilai ZPC (zero point of charge) lebih besar daripada mineral-mineral kristalin biasa

dan (2) adanya oksida-oksida terhidrat yang menyebabkan presipitasi kembali ( co-precipitation). Dikemukakan juga bahwa sifat fisika penting lainnya dari Andosol

adalah struktur tanahnya. Struktur tanah Andosol terdiri atas makrostruktur dan mikrostuktur. Makrostruktur dijumpai pada horizon A yang dicirikan oleh struktur granular yang khas, yang terbentuk oleh proses yang disebut mountain granulation. Struktur ini berlainan dengan struktur granular tanah-tanah lainnya karena satuan-satuan strukturnya sangat resisten terhadap daya rusak air hujan. Kerena ketahanannya ini dan terasa seperti pasir pada musim kering, maka unit-unit struktur tersebut disebut pasir semu(pseudo-sand) (Shoji et al. 1993; Ranst et al. 2008; Ranst et al. 2008; Katou & Kozai 2010; Wakindiki & Omondi 2012;

BBSDLP 2014)

Bobot isi tanah Andosol di Indonesia sangat bervariasi, yaitu berkisar dari 0.37 sampai 0.90 g cm-3. Rendahnya bobot isi tanah Andosol ini tidak terlepas dari pengaruh kandungan mineral amorf yang dominan. Pada tanah Andosol yang didominasi oleh mineral amorf, jumlah pori mikro cukup banyak terutama pori intra dan inter partikel dari alofan. Tanah Andosol yang mempunyai bobot isi paling tinggi adalah tanah Andosol dari Gunung Soputan, Sulawesi Utara. Tingginya berat isi tanah tersebut karena kandungan pasirnya yang cukup tinggi yaitu mencapai 84% dan kandungan C-organik yang hanya 1.24% . Sifat tanah Andosol yang khas inilah yang membuat mereka rentan terhadap proses erosi, baik erosi angin maupun erosi air dan cryoturbation (Shoji et al. 1993; Ranst et al.

(26)

12

3

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kampus IPB Dramaga, Bogor dengan contoh uji tanah yang diperoleh dari Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung yaitu pada wilayah-wilayah yang berjenis tanah Andosol. Lampiran 1 memperlihatkan peta jenis tanah di pulau Sumatra, lampiran 2 memperlihatkan peta jenis tanah untuk Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung. Kondisi lokasi pengambilan contoh tanah Andosol di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung digambarkan pada lampiran 3. Lokasi pengambilan contoh uji tanah Andosol di Kabupaten Tanggamus ini berada di lokasi pertanian dan perkebunan sehingga masih memiliki tutupan vegetasi yang cukup baik. Waktu penelitian dilaksanakan dari September 2015 sampai dengan Februari 2016.

Kerangka Penelitian

Kerangka penelitian yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan penelitian melalui beberapa tahap yang mencakup pengumpulan data awal; pengukuran konsentrasi DF dan TSP pada skala laboratorium disertai pengendalian kecepatan angin, kadar air serta persentase tutupan lahan; pengukuran distribusi ukuran partikel dengan menggunakan mikroskop digital yang dilengkapi dengan kamera; dan penyusunan faktor emisi. Tahap awal, yaitu pengukuran awal dan pengukuran laboratorium selalu diikuti dengan pengukuran suhu dan kelembaban udara, guna memasukkan pengaruh kedua parameter tersebut. Tahap berikutnya penyusunan faktor emisi serta analisis dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Excel dan Minitab 16. Bagan alir penelitian disajikan pada Gambar 1.

(27)

13

Penyiapan Bahan Uji, Pengendalian Kadar Air Tanah, Kecepatan Angin dan Media Tutupan Lahan

Bahan uji yang digunakan adalah bahan tanah terganggu (disturbed) jenis

tanah Andosol yang berasal dari Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung. Sesuai hasil analisis Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Faperta IPB, tanah Andosol yang digunakan ini memiliki kelas tekstur lom berpasir, nilai C-organik tanah 2.46 % dan nilai pH tanah 5.42.

Penyiapan diawali dengan membuat satu variasi kadar air tanah (KAT) untuk pengamatan hari pertama dengan % tertinggi, yaitu dengan cara tanah disiram dengan sejumlah air yang terukur, kemudian diaduk agar KAT merata. Penambahan air dihentikan bila KAT telah mencapai nilai % yang diinginkan atau % yang tertinggi. Saat pengadukan, bagian tanah yang telah diaduk tidak boleh diinjak kembali, hal ini untuk menjaga supaya tidak terjadi perubahan nilai densitas pada tanah. Variasi KAT ini diukur dan dikendalikan agar tetap berada dalam selang kadar air tanah 17-44 %. Tanah kemudian ditebar di dalam tunnel

secara merata dengan ketinggian ± 3 cm. Pengamatan hari berikutnya dilakukan dengan cara yang sama untuk KAT dengan % sedang dan hari ketiga untuk KAT dengan % rendah, sehingga selama pengamatan tiga hari pertama telah dibuat tiga variasi kadar air yang berbeda (tinggi, sedang, rendah). Pengaturan variasi KAT tiga hari pertama ini dengan cara yang sama diulangi kembali pada pengamatan tiga hari kedua dan pengamatan tiga hari ketiga.

Variasi kecepatan angin menggunakan pengaturan kecepatan yang sudah terpasang pada kipas. Pengamatan tiga hari pertama, dilaksanakan pada kecepatan angin tingkat ke 1. Pengamatan tiga hari kedua dengan cara yang sama dilaksanakan pada kecepatan angin tingkat ke 2. Dan pengamatan tiga hari ketiga dengan cara yang sama dilaksanakan pada kecepatan angin tingkat ke 3.

Persentase tutupan lahan disimulasikan dengan menggunakan jenis tanaman padi huma dengan tinggi tanaman ± 15 cm yang ditempatkan pada 4 buah nampan berdimensi 80 cm x 60 cm, masing-masing nampan bernilai 10 % tutupan. Tutupan lahan yang disimulasikan adalah 10 %, 20 %, 30 % dan 40 % dilaksanakan dari hari ke 10 sampai hari ke 13, dengan menggunakan kecepatan angin tingkat ke 1 dan KAT dengan nilai % terendah.

Pengukuran Debu Jatuh dan TSP

Skema terowongan (tunnel) uji disajikan pada gambar 2, Tipe tunnel adalah

tipe jalur terbuka dengan ukuran standard sesuai kebutuhan penelitian (Yuwono et al. 2014). Pada lampiran 4 dan lampiran 5 memperlihat alat, bahan serta perangkat lunak yang digunakan selama pelaksanaan penelitian ini. Bangkitan DF diukur sesuai dengan ketentuan dalam SNI 13-4703-1998 tentang Penentuan Kadar Debu di Udara dengan Penangkap Debu Jatuh. Alat dan bahan yang digunakan untuk mengukur konsentrasi DF adalah dustfall canister Model AS-2011-1, filter Whatman #41 (ø 47mm), neraca analitik OHAUS, dan Universal Oven UNB 400

(28)

14

menggunakan High Volume Air Sampler [STAPLEX; TFIA-2] selama satu jam. Filtrat yang diperoleh kemudian disimpan dalam ruang stabilisasi dalam kondisi kelembaban relatif dan suhu terkendali sebelum dilakukan penimbangan. Konsentrasi partikel tersuspensi di udara ambien di terowongan dihitung dengan mempertimbangkan waktu pemaparan, laju volumetrik aliran udara dari HVAS dan perbedaan massa antara filter dan filtrat.

Pengamatan pada skala laboratorium terowongan uji dilakukan selama tiga belas hari. Setiap hari pengamatan melakukan kegiatan yaitu (1) pengambilan data KAT dan kecepatan angin pada lokasi pengamatan sebanyak 6 kali pengambilan data (pagi dan sore) dan dengan ulangan sebanyak 4 kali setiap pengambilan data; (2) pengambilan data bangkitan debu jatuh sebanyak 3 kali ulangan pada waktu yang bersamaan, dengan waktu pengukuran sekitar 12 jam; (3) pengambilan data TSP sebanyak 1 kali di pagi hari selama 1 jam.

Penyusunan Faktor Emisi

Mengacu pada Amaliah et al. (2014) dan Rochimawati et al. (2014), teknik

analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik Korelasi Pearson. Selain itu digunakan juga teknik pemilihan model garis kecenderungan (trendline) berupa diagram untuk membantu memprediksi arah bangkitan DF dan TSP.

Tahap penyusunan faktor emisi meliputi (1) mengukur dan mengumpulkan data DF, TSP, kecepatan angin, kadar air dan % tutupan lahan; (2) mengkorelasikan antara data DF dan TSP masing-masing dengan data kecepatan angin, kadar air dan % tutupan lahan dalam bentuk diagram; (3) membuat beberapa alternatif persamaan garis kecenderungan dari data korelasi pada diagram; (4) melakukan pemilihan model matematika terbaik dengan cara menentukan persamaan yang memiliki koefisien determinasi (R2) relative tertinggi; dan (5) menyusun faktor emisi berdasarkan persamaan garis kecenderungan yang dipilih (Mahowald et al. 2014); McTainsh & Strong 2007).

Chen & Chu (2015) menyatakan bahwa persen kontribusi relatif dapat dipertimbangkan pada proses penyusunan faktor emisi.

(29)

15

Pengukuran Distribusi Ukuran Partikel

Pengukuran distribusi ukuran partikel bangkitan DF pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan mikroskop digital model MD 3000 Binokuler yang dilengkapi dengan kamera digital. Pengamatan dilakukan dengan menempatkan sampel DF pada kaca spesimen di bawah lensa mikroskop. Pemandangan dalam mikroskop diproyeksikan ke layar pantau pada laptop,

selanjutnya gambar proyeksi disimpan secara digital sebagai file gambar. Pengukuran dilakukan pada file yang sudah disimpan dengan menggunakan perangkat lunak Corel Photo Paint. Partikel debu diukur pada satuan µm.

Distribusi ukuran partikel bisa diketahui dengan cara mengelompokkan partikel debu berdasarkan ukuran yang sama (Azmi et al. 2015).

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Debu Jatuh dan Korelasinya dengan Kecepatan Angin, Kadar Air Tanah serta Persentase Tutupan Lahan

Hasil pengukuran bangkitan DF pada variasi kecepatan angin dan kadar air tanah diperlihatkan pada Tabel 1. Hasil pengukuran bangkitan DF pada variasi tutupan lahan diperlihatkan pada Lampiran 6. Dari data yang dihasilkan terdapat hubungan nyata antara bangkitan DF, kecepatan angin, dan kadar air tanah. Amaliah et al. (2014) menyatakan bahwa korelasi antara bangkitan DF dan kecepatan angin serta korelasi antara bangkitan DF dan kadar air tanah pada pengukuran di lapangan tanah adalah kuadratik. Hubungan kuadratik ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar air tanah dan atau penurunan kecepatan angin sampai batas tertentu tidak akan berpengaruh signifikan terhadap penurunan bangkitan DF yang terbentuk (Kellogg dan Griffin 2006; Laurent et al. 2006 ; Hai et al. 2007; Feng et al. 2008). Kecepatan angin 2-5 km/j mempengaruhi 20%

(R2 = 45%), dan kadar air tanah 18-33% mempengaruhi 37% (R2 = 83%) terhadap bangkitan DF pada pengukuran di atas tanah Andosol.

Gambar 3 memperlihatkan adanya korelasi antara bangkitan DF, kecepatan angin, kadar air tanah, dan persentase tutupan lahan dengan nilai P yang

dihasilkan kurang dari α (0.05). Korelasi Pearson yang dihasilkan menunjukkan bahwa bangkitan DF berkorelasi negatif dengan kadar air tanah (R = -0.93) dan persentase tutupan lahan (R = -1.00), dan berkorelasi positif dengan kecepatan angin (R = 0.67).

Tabel 1 juga memperlihatkan bahwa bila dihitung secara rata-rata konsentrasi DF dalam udara ambien dari permukaan tanah Andosol pada 3

(30)

16

Tabel 1 Hasil pengukuran debu jatuh (DF) pada 3 tingkat kecepatan angin (W) dan kadar air tanah (S)

(31)

17

TSP dan Korelasinya dengan Kecepatan Angin, Kadar Air Tanah serta Persentase Tutupan Lahan

Hasil pengukuran Total Suspended Particulate (TSP) di laboratorium

menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi TSP dalam udara ambien dari permukaan tanah Andosol pada 3 tingkat kecepatan angin adalah sekitar 116

µg/Nm3. Konsentrasi TSP tertinggi terjadi pada kecepatan angin tingkat ke-3 yaitu dengan nilai 140 µg/Nm3. Bangkitan terendah terjadi pada kecepatan angin TSP pada pengukuran di atas tanah Andosol.

Tabel 2 Hasil pengukuran TSP pada 3 tingkat kecepatan angin (W) dan kadar air tanah (S).

Wakindiki & Omondi (2012) menyatakan bahwa bahan organik mempengaruhi sifat-sifat tanah baik secara fisika, kimia maupun mineralogi, tetapi masih sedikit informasi tentang hubungan bahan organik dengan pola pergerakan dan penyimpanan air dalam tanah Andosol. Oleh karena itu dugaan sementara adalah kandungan bahan organik dapat juga mempengaruhi pelepasan bangkitan TSP, sehingga dapat mengakibatkan ketidak-konsistenan nilai R2 pada penelitian ini.

Feng et al. (2007) mengungkapkan bahwa konsentrasi rata-rata TSP secara

(32)

18

dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan antara kadar TSP dan suhu udara di daerah tropis.

Hasil pengukuran bangkitan TSP pada variasi tutupan lahan diperlihatkan pada Lampiran 7. Pada Gambar 4(c) menunjukkan hubungan antara bangkitan TSP dan persentase tutupan lahan pada pengukuran di terowongan uji. Perhitungan ini menghasilkan korelasi Pearson (R) -1.00 yang menunjukkan

adanya kenaikan persentasi bangkitan TSP apabila persentase tutupan lahan menurun.

Gambar 4 Hasil bangkitan TSP pada tiga variasi (a) kecepatan angin; (b) kadar air; (c) tutupan lahan

Pendugaan Bangkitan Debu Jatuh dan TSP

Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi (R2) terbaik untuk bangkitan DF adalah persamaan secara eksponensial. sedangkan R2 terbaik untuk bangkitan TSP adalah garis kecenderungan pada persamaan secara logaritmik, Dengan demikian, model matematika faktor emisi untuk bangkitan DF adalah persamaan eksponensial. dan untuk bangkitan TSP adalah persamaan logaritmik.

Tabel 4 memperlihatkan nilai kemungkinan hubungan antara bangkitan DF dan TSP demgan peubah kecepatan angin, kadar air tanah dan tutupan lahan adalah < 0.05 artinya hubungan memiliki korelasi yang kuat. Peubah bebas memberikan pengaruh dari sedang sampai sangat kuat terhadap peubah terikat. Hubungan antara kadar air tanah dan tutupan lahan dengan bangkitan DF dan TSP memperlihatkan korelasi negatif. Penggabungan nilai kontribusi relatif dari ketiga peubah bebas pada masing masing bangkitan DF dan bangkitan TSP adalah memberikan jumlah 1 (satu). Kontribusi relatif ini berfungsi sebagai faktor pengali didalam persamaan faktor emisi yang akan disusun.

(33)

19

Tabel 3 Nilai koefisien determinasi (R2) dalam hubungan antara garis kecenderungan dengan bangkitan DF dan TSP pada masing-masing kecepatan angin (W), kadar air tanah (S) dan tutupan lahan (L)

Hubungan Garis kecepatan angin (W), kadar air tanah (S) dan tutupan Lahan (L)

DF (ton/km2.bulan) TSP (µg/Nm3) kontribusi relatif pada Tabel 4 dan persamaan garis kecenderungan pada Gambar 3 dan 4, dilakukan penggabungan peubah kecepatan angin, kadar air tanah dan tutupan lahan baik untuk parameter DF maupun TSP. Setiap peubah bebas dikalikan dengan masing masing nilai kontribusi relatif. Dari proses penggabungan 3 peubah bebas diperoleh persamaan faktor emisi. Hasil faktor emisi DF dan TSP yang diperoleh, dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut : eAds DF = (3.7e0.07W)*0.20+(8.7e-0.02S)*0.36+(6.3e-1.4L)*0.44 ...……….... (2) eAdsTSP = (121.1ln(W)-52.5)*0.28 +(-56.7ln(S)+312.6)*0.26

+(-6.8ln(L)+75.8)*0.46 ...………….…….. (3) Dimana eAdsDF adalah Faktor emisi DF dalam ton/km2.bulan, eAdsTSP

adalah Faktor emisi TSP dalam (µg/Nm3), W adalah kecepatan angin dalam km/j, S kadar air dalam %, L adalah tutupan lahan dalam %.

Hasil perhitungan bangkitan DF dengan menggunakan faktor emisi diperlihatkan pada Lampiran 6, sedangkan hasil perhitungan TSP menggunakan faktor emisi diperlihatkan pada Lampiran 7. Pada Lampiran 6, hasil Chi-Square

perhitungan adalah 0.227 lebih rendah dibanding Chi-Square tabel yaitu 0.798.

(34)

20

Analisis Distribusi Ukuran Partikel Debu Jatuh

Tanah Andosol dari Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung didominasi oleh DF yang berukuran 10-100 µm dan dibuktikan oleh analisis pada 3 canister

yang terpasang. Semua canister tidak mendapat DF yang berukuran 0-2.5 µm

yang berpotensi sebagai PM2.5. Distribusi ukuran partikel DF yang dihasilkan oleh tanah Andosol ini disajikan pada Gambar 5. Berdasarkan distribusi ukuran

partikelnya, DF yang berukuran < 10 µm lebih banyak terendapkan pada canister

1 (paling jauh dari blower), sementara partikel > 10 µm paling banyak diendapkan

pada canister No.3yang lebih dekat dengan blower. Gambar 5 juga menunjukkan

bahwa PM10 juga diendapkan pada semua canister yang terpasang. Lampiran 8 memperlihatkan contoh gambar partikel yang teramati pada pengamatan distribusi ukuran partikel DF dibawah mikroskop.

1. Penelitian ini memperlihatkan bahwa konsentrasi DF rata-rata sekitar 5 ton/km2.bulan. Konsentrasi DF tertinggi adalah 6 ton/km2.bulan sedangkan yang terendah adalah 4 ton/km2.bulan. Rata-rata konsentrasi TSP sekitar

116 µg/Nm3. Konsentrasi TSP tertinggi 140 µg/Nm3. Bangkitan TSP

terendah 92 µg/Nm3. Seluruh bangkitan DF dan TSP dari tanah Andosol dalam penelitian ini masih dibawah baku mutu sesuai PP 41/ 1999. Emisi DF dan TSP dari tanah Andosol dipengaruhi oleh kecepatan angin, kadar air tanah dan tutupan lahan.

2. Faktor emisi bangkitan DF dan TSP dari tanah Andosol dipengaruhi oleh kecepatan angin, kadar air tanah dan tutupan lahan.

(35)

21 Faktor emisi DF adalah

eAds DF = (3.7e0.07W)*0.20+(8.7e-0.02S)*0.36+(6.3e-1.4L)*0.44 ………….. (2) dan faktor emisi TSP adalah

eAdsTSP = (121.1ln(W)-52.5)*0.28 +(-56.7ln(S)+312.6)*0.26

+(-6.8ln(L)+75.8)*0.46. ……… (3) 3. Dari hasil pengamatan distribusi ukuran partikel, DF belum teremisikan

pada ukuran yang berbahaya (0-2.5µm) dan distribusi ukurannya didominasi oleh DF yang berukuran 10-100 µm.

Saran

1. Untuk menmyempurnakan aplikasi dilapangan, faktor emisi yang diperoleh dari penelitian ini perlu dilanjutkan dengan penelitian uji coba dan validasi faktor emisi di lapangan.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang mengkaji hubungan bahan organik dengan pola pergerakan dan penyimpanan air dalam tanah Andosol, yang dapat mempengaruhi pelepasan bangkitan DF dan TSP ke udara.

(36)

22

DAFTAR PUSTAKA

Akpinar EK, Akpinar S, Öztop HF. 2009. Statistical analysis of meteorological factor and air pollutiom at winter months in Elazig, Turkey. Journal of Urban and Environmental Engineering (JUEE). 3(1): 7-16.

Al Katheeri E, Al Jallad F, Al Omar M. 2012. Assessment of gaseous and particulate pollutants in the ambient air in Al Mirfa City, United Arab Emirates. Journal of Environmental Protection. 3: 640-647. doi: 10.4236/jep.2012.37077.

Almuhanna EA. 2015. Dustfall associated with dust storms in the Al-Ahsa Oasis of Saudi Arabia. Open Journal of Air Pollution. 4: 65-75. doi:

10.4236/ojap.2015.42007.

Amaliah L, Yuwono AS, Mulyanto B. 2014.Prediction of dustfall generation over an Andisol and Entisol soil and negative impact to human health. Scholars Journal of Engineering and Technology (SJET). 2(3B): 426-431.

Amaliah L. 2014. Analisis Bangkitan Debu Jatuh Udara Ambien Dari Lima Jenis Tanah Utama di Pulau Jawa. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Andrić EK, Radanović T, Topalović I, Marković B, Sakač N. 2013. Temporal

variations in concentrations of ozone, nitrogen dioxide, and carbon monoxide at Osijek, Croatia. Advances in Meteorology. 2013(3): 18-25. doi:

10.1155/2013/469786

Arifiyanti F, Sudarno, Handayani DS. 2013. Pengaruh kelembaban, suhu, arah dan kecepatan angin terhadap konsentrasi karbon monoksida (CO) dengan membandingkan dua volume sumber pencemar di area pabrik dan di persimpangan jalan (Studi Kasus: PT. Inti General Yaja Steel dan Persimpangan Jrakah). Jurnal Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro.

2(1): 40-49 .

Azmi A, Yuwono AS, Erizal, Kurniawan A, Mulyanto B. 2015. Analysis of Dustfall Generation from Regosol Soil in Java Island, Indonesia. ARPN Journal of Engineering and Applied Sciences. 10: 8184-8191.

[BBSDLP] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2014. Tanah Andosol di Indonesia Karakteristik, Potensi, Kendala, dan Pengelolaannya untuk Pertanian. Bogor (ID). BBSDLP-Litbang-Kementerian Pertanian RI.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1998. Standar Nasional Indonesia - SNI 13-4703-1998: Penentuan kadar debu di udara dengan penangkap debu jatuh (Dust fall collector). Jakarta (ID). BSN.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1998. Standar Nasional Indonesia - SNI 19-7119.3-2005: Udara ambien – Bagian 3: Cara uji partikel tersuspensi total menggunakan peralatan high volume air sampler (HVAS) dengan metoda gravimetri. Jakarta (ID). BSN.

(37)

23 Chen M, Chu W. 2015. Photocatalytic degradation and decomposition

mechanism of fluoroquinolones norfloxacin over bismuth tungstate: experiment and mathematic model. Applied Catalysis B:Environmental.

168(20): 175-182. doi:10.1016/j.apcatb.2014.12.023.

[FAO/UNESCO] Food and Agricultural Organization of the United Nations/ United Nations Educational. Scientific and Cultural Organization. 1997. Soil Map of The Worlds. Rome(IT). FAO-UNESCO.

Fecan F, Marticorena B, Bergametti G. 1999. Parametrization of the increase of the aeolian erosion threshold wind friction velocity due to soil moisture for arid and semi-arid areas. Annales Geophysicae. 17: 149-157.

Feng JL, Zhu LP, Ju JT, Zhou LP, Zhen XL, Zhang W, Gao SP. 2008. Heavy dustfall in Beijing, on April 16-17, 2006: Geochemical properties and indications of the dust provenance. Geochemical Journal. 42: 221-236

Feng Y, Xue Y, Chen X, Wu J, Zhu T, Bai Z, Fu S, Gu C. 2007. Source Apportionment of Ambient Total Suspended Particulates and Coarse Particulate Matter in Urban Areas of Jiaozuo, China. Journal of the Air and Waste Management Association. 57: 561-575.

Ghose MK. 2003. Emission factors for the quantification of dust in Indian coal mines. Journal of Scientific & Industrial Research. 63: 763-768.

Gorham R. 2002. Air Pollution From Ground Transportation; An assessment of Causes, Strategies and Tactics, and Proposed Actions For The International Community. United Nations.

Hahnenberger M, Nicoll K. 2014. Geomorphic and land cover identification of dust sources in the eastern Great Basin of Utah, USA. Geomorphology. 204(54): 657-672. doi:10.1016/j.geomorph.2013.09.013.

Hai C, Yuan C, Liu G, Li X, Zhang F, Zhang X. 2007. Research on the component of dust fall in Hohhot in comparison with surface soil components in different lands of inner Mongolia Plateau. Water, Air, and Solid Pollution. 190: 27-34

Istantinova DB, Hadiwidodo M, Handayani DS. 2013. Pengaruh kecepatan angin kelembaban dan suhu udara terhadap konsentrasi gas pencemar sulfur dioksida (SO2) dalam udara ambien di sekitar PT. Inti General Yaja Steel Semarang. Jurnal Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro. 2(1): 30-39.

Katou H, Kozai N. 2010. Anion adsorption and transport in an unsaturated high-humic Andosol. Makalah. Dalam: 19th World Congress of Soil Science, Soil Solutions for a Changing World di Brisbane, Australia, 1-6 Agustus. Kaufman YJ, Tanre D, Boucher O. 2002. A Satellite View of Aerosols in the

Climate System. Nature. 419(6903): 215-223.

Kellogg CA, Griffin DW. 2006. Aerobiology and the global transport of desert dust. Trendst in Ecology and Evolution. 21(11): 638-644.

doi:10.1016/j.tree.2006.07.004.

Koren I, Kaufman YJ. 2004. Direct wind measurements of Saharan Dust Events from Terra and Aqua Satellites. Geophysical Research Letters. 31(6): 80-84.

(38)

24

Laurent B, Marticorena B, Bergametti G, Mei F. 2006. Modeling Mineral Dust Emissions From Chinese and Mongolian Deserts. Global and Planetary Change. 52(7): 121-141. doi:10.1016/j.gloplacha.2006.02.012

Levin Z, Ganor E, Gladstein V. 1996. The effects of desert particles coated with sulfate on rain formation in the Eastern Mediterranean. Journal of Applied Meteorology. 35 (9): 1511-1523.

Limbong GH, Hadiwidodo M, Sudarno. 2013. Pengaruh kelembaban suhu, arah dan kecepatan angin terhadap konsentrasi nitrogen dioksida (NO2) dengan membandingkan 2 volume sumber pencemar di area pabrik dan di persimpangan jalan (studi kasus: PT. Inti General Yaja Steel dan persimpangan jrakah), Jurnal Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro. 2(1): 50-59.

Liu LY, Shi PJ, Gao SY, Zou XY, Erdon H, Yan P, Li XY, Ta WQ, Wang JH, Zhang CL. 2004. Dustfall in China’s Western Loess Plateau as influenced by dust storm and Haze Events. Atmospheric Environment. 38: 1699-1703. Lu F, Zhou L, YanXu, Zheng T, Guo Y, Wellenius GA, Bassig BA, Chen X, the Earth system. Journal Aeolian Research. 15: 53-71.

McTainsh G, Strong C. 2007. The role of aeolian dust in ecosystems.

Geomorphology. 89(4): 39–54. doi:10.1016/j.geomorph.2006.07.028.

[MENLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Kualitas Udara: Memprakirakan Dampak Lingkungan. Jakarta (ID). Deputi Bidang Tata

Lingkungan - Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

[MENLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2013. Pedoman Penyusunan Inventarisasi Emisi Pencemar Udara di Perkotaan. Jakarta (ID). Deputi

Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan-Kementerian Lingkungan Hidup.

Micovic V, Alebic-Juretic A, Matkovic N, Crvelin G. 2010. Dustfall measurement in Primorsko-Goranska County, 1975-2008. Arh Hig Rada Toksikol.

2010(61): 37-43. doi: 10.2478/10004-1254-61-2010-1952

Narayanachari KL, Suresha CM, Prasad MS, Pandurangappa C. 2014. Time dependent advection diffusion model of air pollutants with removal mechanisms. International Journal of Environmental Sciences. 5(1): 34-50.

doi: 10.6088/ijes.2014050100004.

Niemeier DA, Shafizadeh K. 2004. Air Quality Analysis of MDT Transportation Improvements, Cost-Effectiveness Analysis of the MACI Program. Helena

MT (US). Montana Department of Transportation.

Pardyjak ER, Speckart SO, Yin F, Veranth JM. 2008. Near source deposition of vehicle generated fugitive dust on vegetation and buildings: Model development and theory. Atmospheric Environment. 42(4): 6442-6452. doi:

Gambar

Gambar kondisi lokasi pengambilan contoh tanah Andosol  di
Gambar 1  Bagan alir kerangka penelitian
Gambar 2 Skema percobaan pengukuran debu jatuh dan TSP dalam tunnel.
Tabel 1   Hasil pengukuran debu jatuh (DF) pada 3 tingkat kecepatan angin (W) dan kadar air tanah (S)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Bioindikator pasif adalah suatu spesies organisme, penghuni asli di suatu habitat, yang mampu menunjukkan adanya perubahan yang dapat diukur (misalnya

Jawaban : Untuk paket pekerjaan ini dapat diberikan uang muka dengan nilai paling tinggi 30 % ( tiga puluh perseratus ) dari nilai kontrak. Pokja ULP akan

Dalam konteks yang lebih luas, aktivitas investor relations digunakan sebagai alat untuk mengurangi asimetri informasi antara perusahaan dengan pelaku pasar, dengan

Sehubungan dengan hasil evaluasi penawaran saudara, perihal penawaran Pekerjaan Pembangunan Jalan Rusunawa - AMP Adhi Karya , dimana perusahaan saudara termasuk

Hasil penelitian diolah dengan pendekatan analisis teoretik-deskriptif yang menekankan analisisnya pada data-data numerikal yang diolah dengan metode statistika, dalam hal

jabatan manajer adalah jabatan yang tepat untuk Danny karena dengan. menjabatnya Danny sebagai manajer, Danny dapat mengerti

NILAI AKHIR SEMESTER PROGRAM S1 TEKNIK SIPIL. FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Sarung tangan yang kuat, tahan bahan kimia yang sesuai dengan standar yang disahkan, harus dipakai setiap saat bila menangani produk kimia, jika penilaian risiko menunjukkan,