• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekologi Makan Burung Pantai Dan Kaitannya Dengan Kondisi Lingkungan Lahan Basah Wonorejo, Surabaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ekologi Makan Burung Pantai Dan Kaitannya Dengan Kondisi Lingkungan Lahan Basah Wonorejo, Surabaya"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

EKOLOGI MAKAN BURUNG PANTAI DAN KAITANNYA

DENGAN KONDISI LINGKUNGAN LAHAN BASAH

WONOREJO, SURABAYA

NANANG KHAIRUL HADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Ekologi Makan Burung Pantai dan Kaitannya dengan Kondisi Lingkungan Lahan Basah Wonorejo, Surabaya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Nanang Khairul Hadi

(3)

iii

RINGKASAN

NANANG KHAIRUL HADI. Ekologi Makan Burung Pantai dan Kaitannya dengan Kondisi Lingkungan Lahan Basah Wonorejo, Surabaya. Dibimbing oleh YENI ARYATI MULYANI dan YUSLI WARDIATNO.

Lahan basah Wonorejo yang terletak di kawasan Important Bird Area (IBA) Pantai Timur Surabaya telah diketahui sebagai lokasi persinggahan bagi burung pantai yang melakukan migrasi. Aktivitas utama burung pantai selama berada di lokasi persinggahan adalah mencari pakan dan istirahat. Penelitian ini bertujuan untuk menggali infomasi mengenai komunitas burung pantai, aktivitas mencari makan, potensi pakan, dan kondisi lingkungan lahan basah Wonorejo.

Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2015 hingga Maret 2016. Lokasi penelitian berada di lahan basah Wonorejo, Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya. Pengamatan burung pantai dilakukan di tambak dan hamparan lumpur dengan menggunakan metode konsentrasi. Pengambilan sampel makrozoobentos dan substrat dengan menggunakan metode core dan ayakan. Pengukuran kualitas air dilakukan secara langsung di lapangan dan analisis di laboratorium.

Hasil penelitian mendapatkan 21 spesies burung pantai yang terdiri dari tiga famili. Famili yang paling mendominasi adalah Scolopacidae, Charadriidae, dan Recurvirostridae. Nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan di hamparan lumpur (H’= 2,37 E= 0,59) lebih tinggi dibanding di tambak (H’= 2,18 E= 0,46). Jenis burung dengan kelimpahan tertinggi di tambak adalah Tringa nebularia

(20%) dan Limosa limosa (20%), sedangkan di hamparan lumpur Tringa totanus

(17%), Pluvialis fulva (14%) dan Calidris ferruginea (14%).

Terdapat dua aktivitas utama burung pantai, yaitu makan dan beristirahat. Aktivitas makan lebih banyak dilakukan di hamparan lumpur (77,25%) dibanding di tambak (19,15%), sedangkan aktivitas istrahat/tidak makan lebih banyak dilakukan di tambak (80,84%) dibanding di hamparan lumpur (22,74%). Perilaku makan burung pantai yang termasuk kedalam kelompok visual terdiri dari 5 jenis, lebih visual 7 jenis, dan lebih tactile 9 jenis. Selain itu perilaku makan berdasarkan tipe pergerakan paruh yang lebih dominan pecking terdiri dari 5 jenis, jab 3 jenis dan probe 9 jenis.

Terdapat 11 jenis makrozoobentos yang terdiri dari lima kelompok yaitu Crustacea, Bivalvia, Gastropoda, Coleoptera, dan Polychaeta. Nilai keanekaragaman makrozoobentos di tambak (H’= 0,63) lebih tinggi dibanding hamparan lumpur (H’= 0,40), namun nilai kemerataan di hamparan lumpur lebih tinggi (E= 0,37) dibandingkan di tambak (E= 0,27). Kepadatan makrozoobentos di hamparan lumpur didominasi oleh Bivalvia (97%) sedangkan di tambak didominasi oleh Crustacea (86%). Bivalvia dan Crustacea merupakan salah satu pakan utama burung pantai. Hasil analisis terhadap kualitas air pada kedua lokasi pengamatan secara umum masih dalam batas normal untuk mendukung kehidupan makrozoobentos. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kelimpahan burung pantai mempunyai korelasi sangat erat dengan kepadatan makrozoobentos (p < 0,01; r = 1,0).

(4)

SUMMARY

NANANG KHAIRUL HADI. Feeding Ecology of Shorebirds and it’s Relation to the Environment Condition of Wonorejo Weltands, Suarabaya. Supervised by YENI ARYATI MULYANI dan YUSLI WARDIATNO.

Wonorejo wetland is located in the Important Bird Area (IBA) of Surabaya East Coast, and it is known as a stopover site of migratory shorebirds. The main activities of shorebirds during stopover are feeding and resting. This study aims to explore information shorebirds species visiting Wonorejo wetlands, their foraging activity, potential food, and environmental conditions of Wonorejo wetlands.

This study was conducted from November 2015 to March 2016. The research location is situated in Wonorejo wetlands, District of Rungkut, Surabaya. Observation of shorebirds were done at ponds and mudflats using concentration count. Sampling of macrozoobenthos and substrate using cores and sieve. Water quality measurements were carried out directly in the field and laboratory analysis.

The results showed that there are 21 species of shorebirds of three families, Scolopacidae, Charadriidae, and Recurvirostridae. Scolopacidae was the most dominant family. The indices of diversity and evenness in the mudflats (H'= 2,37 E= 0,59) was higher than in ponds (H'= 2,18 E= 0,46). The species with the highest abundance in the ponds were Tringa nebularia (20%) and Limosa limosa (20%), whereas in the mudflats Tringa totanus (17%), Pluvialis fulva (14%) and Calidris ferruginea (14%) were the dominant species.

Therea are two main activities observed were foraging and resting. Foraging was done more in mudflats (77,25%) than in ponds (19,15%), while resting activity was mostly done in ponds (80,84%) than in the mudflats (22,74 %). Feeding behavior of shorebirds are included in the visual group consisting of 5 species, more visual 7 species, and more tactile 9 species. In addition, feeding behavior based on the type of beak movement that more dominant pecking consists of 5 species, jab 3 species, and probes 9 species.

Eleven species of macrozoobenthos that consists of five groups: Crustaceans, bivalves, gastropods, Coleoptera, and Polychaeta were recorded. The diversity index of macrozoobenthos in ponds (H’= 0,63) was higher than that in the mudflats (H'= 0,40), but the evennes index in the mudflats was higher (E= 0,37) compared to those in the ponds (E= 0,27). Macrozoobenthos density on mudflats was dominated by bivalves (97%), while in the ponds it was dominated by crustaceans (86%). Bivalves and crustacean are the main feed of shorebirds. Analysis of the water quality in the two observation sites shows that values of are within normal limits for the life of macrozoobenthos. The results of this study indicate that the abundance of shorebirds is closely correlated with the density of macrozoobenthos (p < 0,01; r = 1,0).

(5)

v

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

EKOLOGI MAKAN BURUNG PANTAI DAN KAITANNYA

DENGAN KONDISI LINGKUNGAN LAHAN BASAH

WONOREJO, SURABAYA

NANANG KHAIRUL HADI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

vii

(8)
(9)

ix

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2015 sampai Maret 2016 ini adalah burung pantai, dengan judul Ekologi Makan Burung Pantai dan Kaitannya dengan Kondisi Lingkungan Lahan Basah Wonorejo, Surabaya.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Yeni A. Mulyani, MSc dan Bapak Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Jarwadi B. Hernowo MScF selaku penguji luar yang telah banyak memberi saran dan masukan. Di samping itu, rasa terima kasih penulis sampaikan kepada Mas Iwan ‘Londo’ Febrianto, ST, Cipto Dwi Handono, SSi, dan Mas Kamal ITS yang telah banyak membantu selama pengambilan data di lapangan. Terima kasih kepada Cak Malik dan Cak Ratno yang telah mendampingi selama di lapangan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kelompok petani tambak Trunojoyo khususnya Pak Dar, Pak Il, dan Pak Kan yang telah mengizinkan penulis untuk mengambil sampel di tambaknya dan juga Bu Rum yang telah banyak membantu dan menyediakan konsumsi selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas doa, dukungan dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2016

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat 3

METODE PENELITIAN 3

Waktu dan Lokasi 3

Alat dan Bahan 4

Pengambilan Data Burung Pantai 4

Pengambilan Sampel Makrozoobentos 5

Analisis Substrat 5

Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Hasil 7

Kondisi Habitat 7

Potensi Pakan 9

Komunitas Burung Pantai 14

Aktivitas Burung Pantai 19

Pembahasan 24

Kondisi Fisik Kimia Perairan 24

Potensi Pakan 26

Komunitas Burung Pantai 29

Aktivitas Burung Pantai 31

KESIMPULAN DAN SARAN 34

Kesimpulan 34

Saran 34

(11)

xi

DAFTAR TABEL

1 Parameter fisika dan kimia yang diamati beserta metode/alat

pengukurannya 5

2 Hasil pengukuran faktor fisika kimia di habitat tambak dan

hamparan lumpur di lahan basah Wonorejo 8

3 Jenis-jenis makrozoobentos yang terdapat di lahan basah

Wonorejo 10

4 Nilai keanekaragaman (H’) dan kemerataan (E) makrozoobentos

di tambak dan hamparan lumpur 11

5 Daftar jenis burung pantai di lahan basah Wonorejo pada habitat

tambak dan hamparan lumpur serta status migrasinya 17 6 Nilai indeks keanekaragaman (H’) dan kemerataan (E) burung

pantai di tambak dan hamparan lumpur 17

7 Proporsi aktivitas burung pantai di tambak dan hamparan lumpur 21 8 Pengelompokan burung pantai berdasarkan perilaku makannya

secara visual atau tactile 23

9 Perilaku makan burung pantai berdasarkan tipe pergerakan paruh 24

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi penelitian burung pantai di lahan basah Wonorejo 4 2 Kondisi tambak yang ditumbuhi pohon mangrove pada bagian

tepi dan pematang 7

3 Hamparan lumpur merupakan tanah terbuka yang sangat luas dan

muncul ketika air luat sedang surut 8

4 Proporsi kelompok makrozoobentos berdasarkan jumlah

spesiesnya di lahan basah Wonorejo 9

5 Proporsi kepadatan kelompok makrozoobentos di tambak dan

hamparan lumpur 12

6 Grafik kepadatan makrozoobentos di tambak dan hamparan

lumpur 13

7 Penyebaran makrozoobentos berdasarkan kedalaman 14 8 Gajahan pengala dan biru-laut ekor hitam termasuk dalam famili

Scolopacidae sedang beristirahat di tambak dalam kelompok

besar 15

9 Cerek jawa merupakan salah satu jenis dari famili Charadriidae

dan merupakan jenis penetap 15

10 Bagang bayam timur salah satu anggota famili Recurvirostridae

yang banyak ditemukan di lokasi penelitian 16 11 Persentase kelimpahan burung pantai di tambak dan hamparan

lumpur 19

12 Aktivitas burung pantai di lahan basah Wonorejo 20 13 Proporsi aktivitas makan burung pantai di tambak dan hamparan

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Burung pantai merupakan istilah yang digunakan bagi kelompok jenis burung air yang keberadaannya sangat bergantung pada ekosistem pantai. Secara taksonomis, burung pantai tergolong dalam 2 famili besar yaitu Charadriidae dan Scolopacidae dan beberapa jenis lainnya yang termasuk ke dalam famili Jacanidae, Rostratulidae, Haematopodidae, Recurvisrostridae, Burhinidae, Glareolidae, dan Phalaropidae. Jumlah jenis burung pantai di seluruh dunia telah teridentifikasi sebanyak 214 jenis; 65 jenis diantaranya tercatat di Indonesia (Howes et al. 2003).

Sebagian besar burung pantai merupakan burung migran, yang menempuh jarak sangat jauh, mencapai puluhan ribu kilometer, untuk menghindari musim dingin di belahan bumi utara menuju belahan bumi selatan. Burung pantai yang bermigrasi ke wilayah Indonesia umumnya berasal dari belahan bumi utara (Tirtaningtyas dan Febrianto 2013). Dalam perjalanan migrasinya, burung pantai akan singgah pada beberapa tempat untuk beristirahat sambil mengisi ulang energi sebelum melanjutkan perjalanan atau kembali ke tempat asalnya untuk berbiak. Tempat-tempat yang disinggahi umumnya daerah pantai yang terdapat hamparan lumpur atau pantai berpasir yang datar dan luas. Selain itu, burung pantai juga singgah di lahan basah lainnya, seperti rawa, danau, sawah, dan tambak.

Lahan basah Wonorejo (LBW) yang terletak di kawasan Important Bird Area (IBA)Pantai Timur Surabaya telah diketahui sebagai lokasi persinggahan bagi burung pantai yang melakukan migrasi (Rombang dan Rudyanto 1999). Berdasarkan laporan Nurdini (2010) setidaknya terdapat 53 jenis burung air, termasuk jenis burung pantai, yang tercatat di LBW. Fungsi LBW sebagai lokasi singgah burung pantai menjadi penting untuk dilestarikan, agar burung-burung tersebut dapat terus memanfaatkan LBW sebagai lokasi untuk beristirahat dan mencari makan selama periode musim migrasi.

Lahan basah Wonorejo juga berperan sebagai sistem penyangga kehidupan Kota Surabaya. Keberadaanya sangat penting sebagai daerah resapan air dan pengendalian banjir. Selain itu lahan basah tersebut juga berfungsi sebagai daerah ekowisata, pelestarian mangrove, dan daerah penghasil sumberdaya perikanan melalui budidaya tambak. Namun di balik semua itu ancaman terhadap kawasan ini sangat tinggi. Alih fungsi lahan menjadi perumahan merupakan masalah utama. Jika tidak dilakukan pengendalian terhadap hal tersebut, maka dikhawatirkan luasan lahan basah akan terus berkurang. Selain itu pencemaran sungai yang berasal dari limbah domestik dan industri juga menghawatirkan. Hasil penelitian Hadiputra dan Damayanti (2013) menunjukkan adanya kandungan logam berat Cu pada makrozoobentos yang terdapat di ekosistem mangrove Wonorejo. Adanya pencemaran tersebut dapat menurunkan kondisi lingkungan perairan dan pada akhirnya juga akan berpengaruh terhadap burung pantai yang terdapat di LBW.

(14)

adalah Gastropoda, Bivalvia, Polychaeta, Crustacea, dan larva serangga (Masero et al. 1999; Howes et al. 2003; Placyk & Harrington 2004; Jing et al. 2007).

Ekologi makan burung pantai mempelajari faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku makan dan pemilihan jenis pakan burung pantai. Howes

et al. (2003), Jing et al. (2007), Zou et al. (2008) dan Santos et al. (2009) mengungkapkan bahwa perilaku makan dan distribusi burung pantai dipengaruhi oleh ketersediaan makrozoobentohs. Selain itu, distribusi serta struktur komunitas makrozoobentos dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti kondisi substrat, temperatur, salinitas, oksigen terlarut, dan bahan organik (Perus dan Bansdorff 2004).

Kehadiran burung pantai di suatu lokasi lahan basah dapat dijadikan indikator dalam pengkajian mutu dan produktivitas lahan basah (Howes et al.

2003). Namun sampai saat ini, informasi mengenai komposisi serta ekologi makan burung pantai di LBW masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis komposisi burung pantai, potensi pakan, dan keterkaitan burung pantai dengan makrozoobentos. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak-pihak terkait sebagai bahan pertimbangan untuk pengelolaan kawasan LBW.

Rumusan Masalah

Lahan basah Wonorejo merupakan areal lahan basah yang memiliki arti penting sebagai habitat singgah bagi burung pantai yang melakukan migrasi. Fungsi lahan basah Wonorejo adalah sebagai penyedia pakan bagi burung pantai, lokasi istirahat, dan areal untuk bersarang bagi jenis penetap. Bagi jenis burung pantai yang melakukan migrasi, keberadaan pakan sangat penting untuk mengisi ulang energi sebelum mereka kembali ke tempat asalnya untuk berbiak.

Pakan merupakan kebutuhan dasar bagi burung pantai untuk hidup dan berkembangbiak. Pakan utama burung pantai adalah makrozoobentos. Burung pantai cenderung berkumpul serta terkonsentrasi pada daerah yang banyak terdapat mangsa dan dirasakan paling menguntungkan untuk dimakan. Aktivitas mencari pakan burung pantai sangat erat kaitannya dengan keberadaan pakan. Lokasi-lokasi yang digunakan oleh burung pantai dalam mencari pakan menandakan bahwa di lokasi tersebut banyak terdapat makrozoobentos. Keberadaan makrozoobentos dapat menandakan kondisi perairan atau lahan basah. Sehingga keberadaan burung pantai terutama ketika sedang mencari pakan dapat menandakan kondisi lingkungan lahan basah tersebut.

Berkaitan dengan uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan utama dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana komposisi burung pantai di lahan basah Wonorejo?

2. Bagaimana aktivitas mencari makan burung pantai di lahan basah Wonorejo? 3. Bagaimana komposisi makrozoobentos sebagai pakan burung pantai yang

terdapat di lahan basah Wonorejo?

(15)

3

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menduga komposisi jenis, indeks keanekaragaman dan kelimpahan burung pantai di lahan basah Wonorejo.

2. Mendeskripsikan aktivitas mencari makan burung pantai di lahan basah Wonorejo.

3. Menduga komposisi jenis, indeks keanekaragaman dan kepadatan makrozoobentos di lahan basah Wonorejo.

4. Menganalisis hubungan antara burung pantai dengan makrozoobentos.

Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai informasi ilmiah mengenai ekologi makan burung pantai di lahan basah Wonorejo.

2. Sebagai masukan bagi pihak-pihak terkait dalam upaya konservasi habitat burung pantai dan pengelolaan kawasan lahan basah Wonorejo.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi

(16)

Gambar 1 Peta lokasi penelitian burung pantai di lahan basah Wonorejo

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain teropong binokuler dan monokuler Nikon, kamera DSLR dan lensa zoom 75-300 mm, GPS

receiver Garmin map 65s, alat tulis, jam tangan, buku panduan identifikasi burung MacKinnon dan buku identifikasi burung air di kawasan Asia, Corer pipa paralon utuk mengambil sampel tanah atau sedimen (ukuran diameter 4 inci dan panjang 50 cm), ayakan ukuran 1 mm, pinset, kaca pembesar (loop), kantung plastik dan botol spesimen, serta alkohol 70%.

Pengambilan Data Burung Pantai

(17)

5

(tactile), atau kombinasi keduanya. Selain itu juga diamati perilaku makan berdasarkan tipe pergerakan paruh yaitu peck, jab, dan probe.

Pengambilan Sampel Makrozoobentos

Pengambilan makrozoobentos dilakukan dengan metode core dan ayakan (Howes et al. 2003). Jumlah stasiun pengambilan sampel yaitu sebanyak 9, dengan rincian 7 stasiun di areal tambak dan 2 stasiun di hamparan lumpur. Pengambilan sampel tanah/sedimen menggunakan corer dilakukan sampai kedalaman 10-40 cm. Pada setiap titik diambil sebanyak 6 core. Sedimen yang diperoleh dari masing-masing core kemudian dimasukkan kedalam ember dan dicampur dengan air. Sedimen yang telah tercampur dengan air kemudian diayak, sehingga partikel atau bentos yang ukurannya lebih besar dari 1 mm dapat disaring dan tertinggal dalam ayakan. Seluruh makrozoobentos yang tersaring kemudian dimasukkan dalam plastik spesimen dan diawetkan dengan menggunakan alkohol 70%. Selanjutnya makrozoobentos yang telah diawetkan dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi dan dianalisis.

Analisis Substrat

Pengambilan sampel substrat dilakukan dengan menggunakan core. Sampel kemudian dianalisis di laboratorium untuk mengetahui tekstur atau fraksi sedimen. Pengukuran partikel sedimen menggunakan metode saringan bertingkat. Tekstur sedimen kemudian dikelompokkan menjadi beberapa kelas berdasarkan komposisi pasir, debu, dan liat. Selanjutnya sedimen tersebut dianalisis menggunakan segitiga tekstur tanah untuk melihat tipe sedimen.

Pengukuran Fisik Kimia Perairan

Pengukuran terhadap parameter fisika kimia perairan dilakukan secara langsung di lapangan dan dianalisis di laboratorium. Pengukuran parameter fisika-kimia perairan yang dilakukan di lapangan mencakup suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut (DO). Selanjutnya parameter fisika-kimia yang akan dianalisis di laboratorium adalah BOD dan tipe sedimen. Mengenai parameter dan metode yang digunakan dalam pengukuran fisik kimia perairan tersaji dalam Tabel 1.

Tabel 1 Parameter fisika dan kimia yang diamati beserta metode/alat pengukurannya

(18)

Analisis Data

Analisis data untuk menghitung keanekaragaman spesies burung pantai dan makrozoobentos dihitung dengan menggunakan indeks Shannon-Wiener (H’) dan indeks kemerataan (E) (Magurran 2004).

Data kepadatan bentos dianalisis menggunakan rumus sebagai berikut :

Ki = . � �� �

Keterangan : Ki = Kepadatan makrozoobentos jenis ke-i (ind/m2)

Ni = Jumlah individu makrozoobentos jenis ke-i pada setiap corer

(individu) A = Luas corer (cm2)

10.000 = Nilai konversi dari cm2 ke m2

Analisis kelimpahan burung dilakukan dengan menjumlahkan seluruh total perjumpaan dengan individu burung pada setiap lokasi pengamatan, kemudian dihitung nilai rata-ratanya dan kemudian disajikan dalam bentuk persentase. Aktivitas burung pantai dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk persentase berdasarkan jumlah individu burung yang teramati aktivitasnya, yaitu makan dan tidak makan/istirahat. Analisis aktivitas dilakukan pada setiap jenis burung pantai dan dipisah berdasarkan lokasi yaitu tambak dan hamparan lumpur. Hasil analisis aktivitas seluruh jenis burung pantai disajikan dalam tabel. Perilaku makan juga dianalisis secara deskriptif dengan mengelompokkan berdasarkan perilaku dalam menangkap mangsa lebih mengandalkan penglihatan (visual) atau peraba dengan menggunakan ujung paruh (tactile), atau kombinasi keduanya, pengelompokan tersebut mengacu pada Kober (2004). Analisis pengelompokan perilaku dalam menangkap mangsa dilakukan berdasarkan hasil pengamatan di lapangan lalu diperkuat dengan studi literatur dan disajikan dalam bentuk tabel. Selain itu juga dianalisis dan dideskripsikan perilaku makan berdasarkan tipe pergerakan paruh yaitu pecking, jab, dan tactile yang mengacu pada Howes et al. (2003). Peck dapat diartikan sebagai pergerakan paruh yang ditujukan untuk mengambil suatu mangsa dari permukaan substrat. Jab adalah aktivitas pergerakan dimana hampir setengah bagian dari paruh terbenam dalam sedimen. Probe adalah aktivitas pergerakan dimana lebih dari setengah bagian paruh dibenamkan dalam sedimen. Analisis perilaku makan berdasarkan tipe pergerakan paruh ini dihitung berdasarkan jumlah individu burung yang sedang mencari makan, dari jumlah tersebut dikelompokkan kedalam tiga kategori yaitu peck, jab, dan probe, kemudian dibuat persentase pada setiap jenis sehingga dapat diketahui perilaku dominan masing-masing jenis burung pantai antara peck, jab, dan probe.

(19)

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Kondisi Habitat Tambak

Habitat tambak berupa daerah terbuka dengan luasan sekitar 225 ha. Pada bagian tepi dan pematang tambak banyak ditumbuhi pohon mangrove jenis Api-api

Avicennia sp, dan pada beberapa tambak juga terdapat jenis Rhizophora sp. Komoditas yang dibudidayakan di tambak adalah ikan bandeng Chanos chanos dan udang, namun saat ini umumnya petani membudidayakan bandeng. Sistem budidaya tambak masih secara tradisional, yaitu dengan mengandalkan pakan alami yang terdapat di tambak. Ketinggian air di tambak sekitar 10-20 cm pada bagian tengah, sedangkan pada bagian tepi umunya lebih dalam hingga mencapai 1 m (Gambar 2).

Gambar 2 Kondisi tambak yang ditumbuhi pohon mangrove pada bagian tepi dan pematang

Hamparan Lumpur

(20)

Gambar 3 Hamparan lumpur merupakan tanah terbuka yang sangat luas dan muncul ketika air luat sedang surut

Kondisi Fisik Kimia Perairan

Substrat merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi kehidupan makrozoobentos. Setiawan (2008) menyatakan bahwa tekstur atau tipe substrat merupakan salah satu parameter sedimen yang berpengaruh terhadap kehidupan bentos, jenis sedimen tersebut sangat menentukan kepadatan dan komposisi hewan bentos. Hal ini didukung oleh Jumilawaty (2012) bahwa tekstur sedimen mempengaruhi kehadiran dan kelimpahan spesies makrozoobentos. Hasil analisis substrat di tambak rata-rata didominasi oleh fraksi debu (78,66%) pasir (17,50%) dan liat (3,83%) sedangkan di hamparan lumpur didominasi oleh fraksi debu (89,58%) pasir (7,92%) dan liat (4,99%). Sehingga substrat di tambak termasuk dalam tipe lempung berdebu sedangkan di hamparan lumpur termasuk tipe debu. Tekstur debu ukurannya lebih halus dan lunak, sedangkan lempung berdebu lebih kasar dan padat.

Tabel 2 Hasil pengukuran faktor fisika kimia di habitat tambak dan hamparan lumpur di lahan basah Wonorejo

Parameter Tambak Hamparan Lumpur

pH 8,7 7,9

Suhu (°C) 32,9 31,1

Salinitas (0/00) 8,2 15,0

DO (mg/l) 8,2 6,6

BOD (mg/l) 13,2 4,0

Substrat Lempung berdebu Debu

(21)

rata-9

rata di tambak 32,9oC dan di hamparan lumpur 31,1oC. Nilai salinitas di hamparan

lumpur lebih tinggi dibanding di tambak (masing-masing 15 dan 8,2). Tingginya nilai salinitas di hamparan lumpur karena letaknya di pantai dan langsung dipengaruhi air laut. Kadar oksigen terlarut (DO) di tambak lebih tinggi dari hamparan lumpur (masing-masing 8,2 mg/l dan 6,6 mg/l). Namun kadar DO pada kedua lokasi tersebut masih tergolong baik. Nilai BOD di hamparan lumpur lebih rendah dari tambak (masing-masing 4 mg/l dan 13,2 mg/l). Semakin rendah nilai BOD maka kondisinya semakin baik.

Potensi Pakan Komposisi dan Keanekaragaman Makrozoobentos

Pakan utama burung pantai adalah makrozoobentos. Hasil sampling selama penelitian tercatat 11 jenis makrozoobentos yang terdiri dari Crustacea (4 spesies), kemudian Bivalvia, Gastropoda, Coleoptera (masing-masing 2 spesies) dan Polychaeta (1 spesies) (Tabel 3). Crustacea merupakan kelompok hewan air yang terdiri dari jenis-jenis udang, lobster, dan kepiting. Terdapat 4 jenis yang termasuk dalam kelompok Crustacea yaitu Corophium sp, Hyale sp, Gammarus sp, dan Mysis

sp. Bivalvia merupakan kelompok kerang-kerangan dengan ciri khas yaitu memiliki sepasang cangkang. Terdapat 2 jenis yang tergolong dalam kelompok Bivalvia yaitu Lithopaga sp dan jenis dari famili Margaritiferidae. Gastropoda merupakan kelompok siput, ditemukan dua jenis yaitu Nassarius sp dan Nerita sp. Coleoptera adalah kelompok insekta yang fase larvanya hidup di dasar perairan, terdapat dua jenis yaitu Berosus sp dan Agabus sp. Polychaeta merupakan kelompok cacing yang hidup pada sedimen lembut, ditemukan satu jenis yaitu Nereis sp. Crustacea, Polychaeta, dan Coleoptera banyak ditemukan di daerah tambak, sedangkan Bivalvia dan Gastropoda banyak ditemukan di hamparan lumpur.

Gambar 4 Proporsi kelompok makrozoobentos berdasarkan jumlah spesiesnya di lahan basah Wonorejo

Crustacea 37%

Bivalvia 18% Gastropoda

18% Coleoptera

18%

(22)

Jenis-jenis makrozoobentos yang terdapat di lahan basah Wonorejo cukup berbeda antara tambak dan hamparan lumpur. Kelompok Crustacea, Polychaeta, dan Coleoptera hanya ditemukan di daerah tambak, sedangkan Bivalvia dan Gastropoda hanya ditemukan di hamparan lumpur (Tabel 3). Hal ini sangat terkait dengan kondisi perairan dan substrat antara kedua lokasi pengamatan cukup berbeda. Kondisi perairan di tambak cukup tenang, tidak terdapat arus, salinitas lebih rendah, air yang terdapat di tambak berasal dari sungai Avour dan sungai Londo, pergantian air hanya terjadi saat awal tanam bibit dan pada saat panen. Kondisi substrat di tambak lebih padat dibanding hamparan lumpur. Jenis-jenis dari kelompok Crustacea banyak ditemukan di tambak yang genangan airnya cukup dalam. Coleoptera ditemukan di tambak yang terdapat hutan mangrove di bagian tepinya. Polychaeta ditemukan pada tambak yang kondisi substratnya lunak.

Kondisi periaran di hamparan lumpur langsung dipengaruhi oleh air laut, terletak di daerah pasang surut dan merupakan derah pertemuan antara air laut dan air tawar karena letaknya di dekat muara sungai, sehingga lokasi ini kaya aliran energi. Namun juga sangat rentan terhadap pencemaran yang terbawa oleh aliran sungai karena dapat terpengaruh secara langsung. Salinitas lebih tinggi dibanding tambak, serta kondisi substratnya lebih lembut/lunak. Kelompok Bivalvia banyak ditemukan di sekitar muara sungai Avour dengan kondisi substrat yang lunak, sementara Gastropoda ditemukan di bagian tengah hamparan lumpur pada substrat yang lebih keras.

Tabel 3 Jenis-jenis makrozoobentos yang terdapat di lahan basah Wonorejo

Kelompok Nama Ilmiah Tambak Hamparan Lumpur Crustacea Corophium sp. √ -

Bivalvia Margaritiferidae - √

Lithophaga sp. - √

Gastropoda Nassarius sp. - √

Nerita sp. - √

Nilai keanekaragaman makrozoobentos di tambak (H’= 0,63) lebih tinggi dibandingkan di hamparan lumpur (H’= 0,40). Namun nilai kemerataan di hamparan lumpur lebih tinggi (E= 0,37) dibandingkan tambak (E= 0,27) (Tabel 4). Jumlah spesies di tambak lebih banyak (7 spesies) dibanding hamparan lumpur (4 spesies), namun total kepadatan makrozoobentos lebih tinggi di hamparan lumpur (73.368 individu/m2).

(23)

11

sehingga perairan di lokasi tersebut sudah tidak stabil. Kondisi tersebut juga diperkuat dengan nilai kemerataan yang juga rendah, dari nilai kemerataan dapat dilihat bahwa dalam komunitas makrozoobentos di lokasi penelitian terdapat jenis yang mendominasi.

Tabel 4 Nilai keanekaragaman (H’) dan kemerataan (E) makrozoobentos di tambak dan hamparan lumpur

Tambak Hamparan Lumpur

Jumlah Spesies 7 4

Kepadatan (Jumlah Individu/m2) 27.385 73.368

H' 0,63 0,40

E 0,27 0,37

Kepadatan Makrozoobentos

Total kepadatan makrozoobentos di hamparan lumpur sebanyak 73.368 individu/m2 atau sebesar 72,82% dari total kepadatan makrozoobentos pada kedua

lokasi, sedangkan di tambak sebanyak 27.385 individu/m2 atau sebesar 27,18%. Kepadatan makrozoobentos yang terdapat di hamparan lumpur terdiri dari Bivalvia (97%) dan Gastropoda (3%), sedangkan di tambak terdiri dari Crustacea (86%), Polychaeta (10%), dan Coleoptera (4%) (Gambar 5).

Crustacea 86% Polychaeta

10%

Coleoptera 4%

(24)

Gambar 5 Proporsi kepadatan kelompok makrozoobentos di tambak dan hamparan lumpur

Jenis makrozoobentos dengan nilai kepadatan tertinggi di lokasi tambak adalah Mysis sp (22.932 Individu/m2), sedangkan di hamparan lumpur adalah

Lithophaga sp (66.248 Individu/m2) (Gambar 6). Mysis sp banyak ditemukan di tambak dengan karateristik air yang dalam. Mysis sp adalah jenis udang kecil yang umumnya hidup di daerah air tawar atau air payau. Lithophaga sp banyak ditemukan di hamparan lumpur khususnya yang dekat dengan muara sungai Avour. Cara hidupnya dengan membenamkan diri pada substrat lunak. Lithophaga sp adalah jenis kerang ukuran medium yang termasuk dalam famili Mytilidae yang umumnya hidup di daerah laut atau pesisir.

Bivalvia 97% Gastropoda

3%

Hamparan lumpur

127 127 381

22.932

2.675

889

254

0 5000 10000 15000 20000 25000

Corophium sp.

Hyale sp. Gammarus sp.

Mysis sp. Nereis sp. Berosus sp. Agabus sp.

CRUSTACEAE POLYCHAETA COLEOPTERA

In

d

/m

2

(25)

13

Gambar 6 Grafik kepadatan makrozoobentos di tambak dan hamparan lumpur

Penyebaran Makrozoobentos Berdasarkan Kedalaman

Penyebaran makrozoobentos berdasarkan kedalaman sangat tergantung dengan kedalaman dan tekstur sedimen. Kedalaman sedimen di tambak rata-rata sekitar 10-15 cm pada bagian tengah, sedangkan pada bagian tepi lebih dalam hingga mencapai 25-30 cm. Pada bagian tengah tambak tekstur sedimen lebih padat sedangkan pada bagian tepi lebih lunak karena sering dilakukan pengerukan secara berkala oleh petani tambak. Kedalaman sedimen di hamparan lumpur pada bagian yang dekat dengan muara sungai berkisar antara 25-30 cm, sedangkan pada bagian tengah atau yang jauh dari muara sungai rata-rata sekitar 20-25 cm. Tekstur sedimen di hamparan lumpur lebih lunak dan halus, namun pada bagian tengah lebih padat.

Hasil analisis terhadap penyebaran makrozoobentos berdasarkan kedalaman dapat diketahui bahwa jumlah jenis dan kepadatan makrozoobentos semakin berkurang seiring bertambahnya kedalaman. Makrozoobentos pada kedua habitat lebih banyak ditemukan pada kedalaman 0-10 cm. Pada kedalaman 20-30 cm tidak ditemukan makrozoobentos. Polychaeta ditemukan di kedalaman 0-10 cm (90%) dan 10-20 cm (10%) serta Bivalvia juga ditemukan pada kedalaman 0-10 cm (80%) dan 10-20 cm (20%), sedangkan kelompok lainnya yaitu Crustacea, Coleoptera, dan Gastropoda seluruhnya ditemukan pada kedalaman 0-10 cm (Gambar 7). Penyebaran berdasarkan kedalaman ini menunjukkan bahwa makrozoobentos yang terdapat di lokasi penelitian berpotensi mudah ditangkap oleh burung pantai yang sedang mencari makan karena sebarannya lebih banyak pada lapisan atas substrat.

4.572

Margaritiferidae Lithophaga sp. Nassarius sp. Nerita sp.

(26)

Gambar 7 Penyebaran makrozoobentos berdasarkan kedalaman

Komunitas Burung Pantai

Komposisi dan Keanekaragaman Spesies Burung Pantai

Selama penelitian tercatat sebanyak 21 spesies burung pantai yang terdiri dari tiga famili (Tabel 5). Famili dengan jumlah jenis tertinggi adalah Scolopacidae (14 Spesies), kemudian disusul Charadriidae (5 Spesies) dan Recurvirostridae (2 Spesies). Famili Scolopacidae dikenal memiliki jumlah jenis cukup banyak yang terdiri dari trinil, kedidi, biru-laut, gajahan, dan berkik (Gambar 8). Jenis-jenis dari famili Scolopacidae persebarannya sangat luas. Umumnya hidup di lahan basah terbuka, daerah pantai, hamparan lumpur, rawa, dan tambak.

0%

Mysis sp. Nereis sp. Berosus sp. Agabus sp.

Crustacea Polychaeta Coleoptera

Margaritiferidae Lithophaga sp. Nassarius sp. Nerita sp.

Bivalvia Gastropoda

Hamparan lumpur

(27)

15

Gambar 8 Gajahan pengala dan biru-laut ekor hitam termasuk dalam famili Scolopacidae sedang beristirahat di tambak dalam kelompok besar

Famili Charadriidae secara global sebenarnya juga memiliki jumlah jenis yang cukup banyak, namun di lokasi penelitian hanya ditemukan 5 jenis. Hal ini diduga karena terkait dengan kesesuaian habitat, jenis-jenis dari famili Charadriidae umumnya memiliki ukuran kaki yang lebih pendek dibandingkan famili Scolopacidae, sehingga lebih menyukai daerah kering seperti gosong lumpur, tambak kering, dan daerah pantai (Gambar 9). Sedangkan kondisi habitat di lokasi penelitian lebih banyak daerah yang tergenang dibandingkan daerah yang kering. Famili Recurvirostridae memiliki jumlah jenis yang lebih sedikit dibanding dua famili lainnya, dan di Indonesia diketahui hanya terdapat dua jenis. Kedua jenis tersebut ditemukan di lokasi penelitian. Famili Recurvirostridae umumnya hidup di daerah rawa, tambak, dan area tergenang lainnya. Ukuran kakinya sangat panjang sehingga cocok untuk berjalan di habitat berair atau tergenang (Gambar 10).

(28)

Gambar 10 Bagang bayam timur salah satu anggota famili Recurvirostridae yang banyak ditemukan di lokasi penelitian

Berdasarkan status migrasinya, 19 jenis burung pantai yang ditemukan adalah jenis migran, sedangkan 2 jenis lainnya, gagang bayam timur Himantopus leucocephalus dan cerek jawa Charadrius javanicus, merupakan jenis penetap (Tabel 5). Jenis migran yang ditemukan umumnya berasal dari belahan bumi utara, kecuali gagang bayam belang Himantopus himantopus yang kemungkinan melakukan migrasi lokal, karena jenis tersebut tidak berbiak di lokasi penelitian.

Nilai keanekaragaman burung pantai di hamparan lumpur lebih tinggi (H’= 2,37) dibanding tambak (H’= 2,18) dan nilai kemerataan di hamparan lumpur juga lebih tinggi (E= 0,59) dibanding tambak (E= 0,46) (Tabel 6). Jumlah spesies di tambak lebih banyak (19 spesies) dibandingkan di hamparan lumpur (18 spesies) (Tabel 6), namun total individu lebih banyak di hamparan lumpur (4428 individu) dibandingkan di tambak (3066 individu). Jenis yang hanya ditemukan di tambak diantaranya gagang bayam belang Himantopus himantopus, berkik ekor lidi

(29)

17

Tabel 5 Daftar jenis burung pantai di lahan basah Wonorejo pada habitat tambak dan hamparan lumpur serta status migrasinya

Nama Lokal Nama Ilmiah Tambak Hamparan

Lumpur

Cerek pasir besar Charadrius leschenaultii √ √ M

Cerek pasir mongolia Charadrius mongolus √ √ M

Recurvirostridae

Gagang bayam belang Himantopus himantopus √ - M

Gagang bayam timur Himantopus leucocephalus √ √ R

Scolopacidae

Kedidi leher merah Calidris ruficollis √ √ M

Kedidi besar Calidris tenuirostris √ √ M

Kedidi jari panjang Calidris subminuta √ √ M

Trinil bedaran Xenus cinereus - √ M

Trinil kaki hijau Tringa nebularia √ √ M

Trinil kaki merah Tringa totanus √ √ M

Trinil pantai Actitis hypoleucos √ √ M

Trinil rawa Tringa stagnatilis √ √ M

Trinil semak Tringa glareola √ - M

Keterangan : M: Migran, R: Penetap

Tabel 6 Nilai indeks keanekaragaman (H’) dan kemerataan (E) burung pantai di tambak dan hamparan lumpur

Tambak Hamparan Lumpur Jumlah Spesies 19 18

Total Individu 3066 4428

H’ 2,18 2,37

E 0,46 0,59

Kelimpahan Burung Pantai

(30)

selebihnya 2,3% merupakan famili Recurvirostridae. Hasil analisis korelasi menggunakan uji Spearman menunjukkan bahwa kelimpahan burung pantai mempunyai korelasi yang sangat erat dengan kepadatan makrozoobentos (p < 0,01) dengan koefisien korelasi sebesar 1,0.

Jenis paling dominan dengan kelimpahan individu paling tinggi di tambak adalah trinil kaki hijau Tringa nebularia (20%) dan biru laut ekor hitam Limosa limosa (20%), kemudian disusul oleh trinil kaki merah Tringa totanus (18%), sedangkan di hamparan lumpur paling tinggi adalah trinil kaki merah Tringa totanus (17%) kemudian disusul cerek kernyut Pluvialis fulva (14%) dan kedidi golgol Calidris ferruginea (14%) (Gambar 11). Trinil kaki merah dan biru laut ekor hitam hidup secara berkelompok. Jumlah individu dalam satu kelompok berjumlah sekitar 80-100 individu dan umumnya ketika beristirahat mereka bergabung dengan kelompok lainnya, sehingga jumlahnya bertambah banyak.

(31)

19

Gambar 11 Persentase kelimpahan burung pantai di tambak dan hamparan lumpur

Jenis burung pantai dengan kelimpahan individu paling rendah di tambak adalah berkik ekor lidi Gallinago stenura, gagang bayam belang Himantopus himantopus, cerek kalung kecil Charadrius dubius, cerek pasir besar C. leschenaultii, dan trinil pantai Actitis hypoleucos, sedangkan di hamparan lumpur adalah cerek kalung kecil Charadrius dubius, kedidi besar Calidris tenuirostris, trinil pantai Actitis hypoleucos, dan cerek jawa C. javanicus.

Aktivitas Burung Pantai

(32)

Gambar 12 Aktivitas burung pantai di lahan basah Wonorejo

Terdapat beberapa burung pantai yang aktivitas makannya lebih dominan dibanding aktivitas lainnya atau berstirahat. Pada lokasi tambak beberapa jenis burung pantai yang aktivitas makannya lebih dominan diantaranya adalah cerek jawa (88,21%), cerek kalung kecil (100%), Gagang bayam belang (100%), kedidi golgol (100%), kedidi leher merah (100%), Trinil pantai (100%), dan kedidi jari panjang (100%). Pada lokasi hamparan lumpur yang aktivitas makannya lebih dominan diantaranya adalah cerek jawa (100%), cerek kalung kecil (100%), Gagang bayam timur (100%), berkik ekor hitam (80%), kedidi golgol (81,51%), kedidi leher merah (81,82%), trinil bedaran (100%), trinil kaki hijau (100%), trinil pantai (100%), trinil rawa (89,38%), kedidi besar (71,43%), dan kedidi jari panjang (100%) (selengkapnya di Tabel 7).

Burung pantai yang mencari makan di hamparan lumpur umumnya berkumpul pada bagian yang dekat dengan muara sungai Avour. Pada bagian ini kondisi substrat umumnya lebih lunak, sehingga jenis-jenis burung berparuh panjang seperti trinil, gajahan, biru-laut, kedidi lebih mudah menusukkan paruhnya untuk mencari mangsa. Pada saat mencari makan di hamparan lumpur, burung pantai cenderung berkelompok dalam jumlah yang besar.

(33)

21

Tabel 7 Proporsi aktivitas burung pantai di tambak dan hamparan lumpur

Nama lokal Nama ilmiah

(34)

Gambar 13 Proporsi aktivitas makan burung pantai di tambak dan hamparan lumpur

Perilaku Makan

Perilaku mencari makan yang dilakukan oleh burung-burung pantai yang terdapat di lahan basah Wonorejo cukup berbeda. Kober (2004) menyebutkan bahwa dalam mencari makan terdapat jenis burung pantai yang lebih mengandalkan indra penglihatan (visual), indra peraba (tactile), dan terdapat juga yang mengandalkan keduanya (visual dan tactile). Berdasarkan hasil pengamatan terdapat beberapa jenis burung pantai yang lebih mengandalkan penglihatannya seperti jenis-jenis cerek yaitu cerek jawa, cerek kalung kecil, cerek kernyut, cerek pasir besar, dan cerek pasir mongolia. Jenis burung pantai yang mengandalkan indra peraba yaitu paruh atau ujung paruh yang sensitif dalam hal ini dikenal sebagai

tactile tidak terdapat di lokasi penelitian. Umumnya yang mencari makan dengan teknik tactile adalah jenis-jenis dari genus Limnodromus sp atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai trinil-lumpur. Jenis tersebut umumnya mencari makan di

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Charadrius javanicus

Charadrius dubius Pluvialis fulva Charadrius leschenaultii Charadrius mongolus Himantopus himantopus Himantopus leucocephalus Gallinago stenura Limosa lapponica Limosa limosa Numenius phaeopus Calidris ferruginea Calidris ruficollis

Xenus cinereus Tringa nebularia

Tringa totanus Actitis hypoleucos Tringa stagnatilis Tringa glareola Calidris tenuirostris Calidris subminuta

(35)

23

daerah lumpur atau substrat lunak dengan cara menusuk-nusukkan paruhnya ke susbtrat dan mendapatkan makanan yang terdapat di dalam substrat tersebut. Jenis

Limnodromus sp tidak ditemukan di lokasi penelitian.

Terdapat juga jenis burung pantai yang mengandalkan keduanya (visual dan

tactile). Meskipun mengandalkan keduanya, namun terdapat beberapa jenis yang lebih dominan visual dibanding tactile dan sebaliknya terdapat jenis yang lebih dominan tactile dibanding visual. Sehingga dalam pengelompokan ini dibagi menjadi dua, yaitu lebih visual dan lebih tactile. Jenis-jenis yang masuk dalam kelompok burung pantai yang mengandalkan keduanya (visual dan tactile) namun lebih dominan visual diantaranya adalah berkik ekor lidi, trinil bedaran, trinil kaki hijau, trinil kaki merah, trinil pantai, trinil rawa, dan trinil semak. Jenis-jenis yang lebih dominan tactile diantaranya gagang bayam belang, gagang bayam timur, biru-laut ekor blorok, biru-biru-laut ekor hitam, gajahan pengala, kedidi golgol, kedidi leher merah, kedidi besar, dan kedidi jari panjang (Tabel 8).

Tabel 8 Pengelompokan burung pantai berdasarkan perilaku makannya secara

visual atau tactile

Visual Keduanya Tactile

Lebih Visual Lebih Tactile Cerek jawa Berkik ekor lidi Gagang bayam belang - Cerek kalung kecil Trinil bedaran Gagang bayam timur

Cerek kernyut Trinil kaki hijau Biru-laut ekor blorok Cerek pasir besar Trinil kaki merah Biru-laut ekor hitam Cerek pasir mongolia Trinil pantai Gajahan pengala

Trinil rawa Kedidi golgol Trinil semak Kedidi leher merah

Kedidi besar

Kedidi jari panjang *Pengelompokan berdasarkan Kober (2004)

Selain perilaku makan yang mengandalkan visual atau tactile, terdapat juga perilaku makan burung pantai yang didasarkan pada pergerakan paruh. Howes et al. (2003) menyatakan setidaknya terdapat tiga tipe pergerakan paruh yaitu peck,

jab dan probe. Peck dapat diartikan sebagai pergerakan paruh yang ditujukan untuk mengambil suatu mangsa dari permukaan substrat. Jab adalah aktivitas pergerakan dimana hampir setengah bagian dari paruh terbenam dalam sedimen. Probe adalah aktivitas pergerakan dimana lebih dari setengah bagian paruh dibenamkan dalam sedimen. Beberapa jenis burung pantai yang perilaku makannya lebih dominan

pecking diantaranya adalah cerek jawa, cerek kalung kecil, cerek pasir besar, cerek pasir mongolia, dan trinil pantai. Jenis yang lebih dominan jab diantaranya adalah trinil kaki hijau, trinil kaki merah, dan kedidi besar. Jenis yang lebih dominan probe

(36)

Tabel 9 Perilaku makan burung pantai berdasarkan tipe pergerakan paruh

Nama Lokal Nama Ilmiah Pecking Jab Probe n

Cerek jawa Charadrius javanicus 86,5 9,6 3,8 208 Cerek kalung kecil Charadrius dubius 75 25 0 8 Cerek kernyut Pluvialis fulva 17,8 35,6 46,7 225 Cerek pasir besar Charadrius leschenaultii 70,1 23,4 6,5 77 Cerek pasir mongolia Charadrius mongolus 75 22,2 2,8 180 Gagang bayam belang Himantopus himantopus 0 0 100 2 Kedidi leher merah Calidris ruficollis 29,4 54,6 16,0 119 Trinil bedaran Xenus cinereus 0 0 100 8 Kedidi jari panjang Calidris subminuta 31,0 55,2 13,8 29 *Pengelompokan berdasarkan Howes et al. (2003)

Pembahasan

Kondisi Fisik Kimia Perairan

(37)

25

Sedimen yang terdapat di tambak berasal dari endapan yang terbawa oleh air sungai yang masuk ke tambak pada saat air laut pasang. Para petani tambak secara rutin memasukkan air ke tambak pada saat tambaknya sedang aktif. Pada saat panen, air di tambak dikuras dan akan diisi kembali ketika akan memasukkan bibit ikan atau udang. Substrat di tambak lebih keras diduga karena adanya komposisi fraksi pasir yang lebih tinggi dibanding hamparan lumpur. Selain itu, pengerasan terjadi karena pada saat panen kondisi tanah dibiarkan kering selama satu minggu bahkan lebih, sehingga sedimen lumpur mengering dan menjadi padat.

Tipe substrat pada kedua lokasi pengamatan merupakan habitat yang sesuai bagi makrozoobentos. Jumilawaty (2012) menyatakan bahwa tipe sedimen lempung berdebu dan tipe substrat yang lunak dan berlumpur sangat cocok bagi kehidupan makrozoobentos. Karakteristik substrat sangat mempengaruhi kepadatan dan komposisi makrozoobentos, sehingga secara tidak langsung juga dapat mempengaruhi kepadatan burung pantai yang mencari makan di lokasi tersebut.

Salinitas di hamparan lumpur lebih tinggi dibanding di tambak. Hal tersebut terjadi karena hamparan lumpur terletak di dekat pantai dan terpengaruh langsung oleh air laut, sedangkan tambak berada di tengah-tengah daratan dan jarang terpengaruh air laut. Selain itu, pengaruh air tawar di daerah tambak lebih tinggi. Masukan air tawar berasal dari air hujan yang tertampung di tambak dan juga air tawar yang berasal dari sungai. Masukan air tawar di hamparan lumpur lebih banyak berasal dari aliran sungai karena letaknya dekat dengan muara. Effendi (2003) menyebutkan bahwa pada perairan pesisir, nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai. Fluktuasi salinitas di daerah sekitar muara sebenarnya lebih tinggi, karena sangat bergantung pada musim, topografi estuari, pasang surut, dan jumlah masukan air tawar. Nybakken (1992) menyebutkan pada daerah estuari memiliki fluktuasi salinitas yang maksimum. Pengukuran salinitas pada penelitian kali ini dilakukan pada saat musim hujan, dan pada saat air laut mulai pasang. Hasil tersebut mungkin akan berbeda jika dilakukan pada musim dan kondisi pasang surut yang berbeda.

Derajat keasaman (pH) merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi struktur komunitas dan penyebaran makrozoobentos (Sanchez et al. 2006). pH merupakan faktor pembatas bagi organisme akuatik. Nilai pH di kedua lokasi yaitu berkisar antara 7,91-8,74. Secara umum nilai pH di lokasi penelitian masih dapat mendukung kehidupan makrozoobentos. Effendi (2003) menyebutkan bahwa sebagian besar biota akuatik, termasuk makrozoobentos sangat sensitif terhadap perubahan pH dan lebih menyukai pH sekitar 7-8,5.

Suhu pada suatu badan air sangat dipengruhi oleh waktu dalam hari, penutupan awan, musim, aliran serta kedalaman badan air (Effendi 2003). Suhu air di lahan basah Wonorejo berkisar antara 30-34oC, dengan suhu rata-rata di tambak 32,96oC dan di hamparan lumpur 31,15oC. Suhu air di hamparan lumpur lebih

(38)

maksimal toleransi untuk keseimbangan populasi makrozoobentos yaitu sekitar 32oC.

Kadar oksigen terlarut (DO) dapat dipengaruhi oleh dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik (Effendi 2003). Nilai DO di tambak lebih tinggi dibanding di hamparan lumpur. Hal tersebut diduga karena hamparan lumpur terletak dekat muara sungai Avour sehingga banyak mendapat masukan bahan organik yang terbawa oleh aliran sungai yaitu berupa limbah hasil dari kegiatan industri maupun rumah tangga. Adanya bahan organik yang tinggi berdampak terhadap turunnya kadar oksigen terlarut dalam air karena proses dekomposisi yang relatif tinggi. Selain itu, di sekitar tambak masih banyak terdapat tegakan pohon mangrove sehingga suplai oksigen dari alam lebih besar dan kontinyu. Namun, kadar DO pada kedua lokasi masih tergolong baik untuk mendukung kehidupan makrozoobentos.

Hasil pengukuran kebutuhan oksigen biokimiawi (BOD) menunjukkan nilai BOD tertinggi di tambak yaitu 13,2 mg/l, sementara di hamparan lumpur 4 mg/l. Hal ini diduga karena terdapat bahan organik atau mikroba dalam jumlah yang tinggi. Menurut Effendi (2003) nilai BOD suatu perairan dipengaruhi oleh suhu, keberadaan mikroba serta kandungan bahan organik. Bahan organik yang terdapat di tambak diduga berasal dari sungai yang terbawa masuk ke tambak pada saat pengisian air dan juga akibat adanya penambahan pupuk organik yang dilakukan oleh petani tambak untuk menumbuhkan lumut dan plankton sebagai pakan alami ikan bandeng. Nilai BOD dapat digunakan untuk menilai kualitas air, semakin tinggi nilai BOD maka semakin rendah kualitas air. Sehingga dapat diketahui bahwa berdasarkan nilai BOD kualitas air di hamparan lumpur lebih baik dibanding di tambak. Berdasarkan Kep. MENLH No.51 tahun 2004 menetapkan ambang batas maksimum kandungan BOD bagi kehidupan biota laut adalah 20 mg/l.

Potensi Pakan

Komposisi dan Keanekaragaman Makrozoobentos

Terdapat 11 jenis makrozoobentos yang terdiri dari lima kelompok yang terdapat di lokasi penelitian yaitu Crustacea, Bivalvia, Gastropoda, Polychaeta, dan Coleoptera. Hasil ini lebih sedikit jika dibandingkan hasil penelitian Jumilawaty (2012) yang menemukan 26 jenis makrozoobentos di pantai timur Sumatera Utara yang terdiri dari empat kelompok yaitu Bivalvia, Crustacea, Gastropoda dan Polychaeta dan hasil penelitian Fitriana (2006) yang menemukan 20 jenis mkrozoobentos di hutan mangrove Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali yang terdiri dari empat kelompok yaitu Polychaeta, Crustacea, Gastropoda, dan Pelecypoda. Perbedaan terhadap jumlah jenis yang ditemukan diduga karena adanya pengaruh kondisi lingkungan perairan, perbedaan metode sampling, jumlah titik sampel, serta luas areal penelitian.

(39)

27

makrozoobentos di lokasi penelitian hampir seluruhnya potensial bagi burung pantai.

Crustacea merupakan kelompok yang memiliki jumlah jenis paling banyak di lokasi penelitian dan seluruhnya ditemukan di daerah tambak. Hal tersebut karena Crustacea memiliki sebaran yang sangat luas dan umumnya mendominasi pada komunitas fauna benthik pada kebanyakan ekosistem mangrove (Kennish 1990). Daerah tambak yang berada di lahan basah Wonorejo sebelumnya merupakan ekosistem mangrove yang dikonversi menjadi pertambakan, namun masih banyak terdapat sisa-sisa hutan mangrove serta pohon-pohon mangrove di pinggiran tambak. Persebaran Bivalvia dan Gastropoda hanya di hamparan lumpur. Hal ini sangat terkait dengan kondisi substrat yang lebih lunak di hamparan lumpur yang sangat cocok sebagai habitat jenis-jenis dari kelompok Bivalvia dan Gastropoda.

Nilai keanekaragaman makrozoobentos pada kedua lokasi pengamatan yaitu tambak (H’= 0,63) dan hamparan lumpur (H’= 0,40) tergolong rendah (H’<1,00). Fitraiana (2006) menyebutkan bahwa pada nilai keanekaragaman makrozoobentos yang rendah menandakan bahwa pada kedua lokasi tersebut miskin, produktivitasnya rendah, tekanan ekologi yang berat dan ekosistem tidak stabil. Nilai keanekaragaman makrozoobentos paling tinggi adalah di tambak. Hal tersebut diduga karena kondisi habitat dan substrat yang lebih beragam dibandingkan di hamparan lumpur. Odum (1993) menyebutkan bahwa kondisi substrat di dasar perairan akan menentukan komposisi jenis dan kelimpahan makrozoobentos. Pada penelitian kali ini pengambilan contoh makrozoobentos dilakukan pada tujuh tambak yang kondisinya cukup berbeda, terutama kondisi substrat, tutupan tajuk, luas tambak, ketinggian air, posisi tambak dekat dengan sungai atau tidak. Selain itu diduga tekanan faktor lingkungan di tambak lebih rendah dibanding hamparan lumpur. Pada hamparan lumpur berbagai tekanan seperti kondisi salinitas yang berfluktuasi, serta banyaknya bahan organik dan bahan pencemar yang mungkin terbawa oleh aliran sungai yang bermuara di dekat hamparan lumpur. Kober (2006) menyebutkan bahwa fluktuasi salinitas pada daerah pasang surut menyebabkan rendahnya jumlah spesies yang hidup di daerah tersebut. Hanya jenis-jenis makrozoobentos tertentu yang dapat beradaptasi terhadap fluktuasi tersebut dan dapat bertahan hidup di hamparan lumpur. Selain itu, seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa adanya bahan organik dan bahan pencemar yang terbawa oleh arus sungai dan mungkin terakumulasi di daerah estuari mempengaruhi kandungan oksigen terlarut, yaitu mengurangi kadar oksigen dalam air. Sehingga hanya jenis-jenis makrozoobentos yang bisa beradaptasi yang dapat bertahan.

Nilai indeks kemerataan makrozoobentos di tambak (0,27) dan hamparan lumpur (0,37) juga relatif rendah karena nilainya mendekati 0. Nilai kemerataan yang rendah menggambarkan bahwa kondisi periaran di lahan basah Wonorejo secara umum tidak stabil, telah terganggu, dan mengalami tekanan. Dari nilai tersebut juga dapat diketahui bahwa sebaran jumlah individu pada setiap jenis tidak merata dan terdapat jenis yang mendominasi. Kelompok Bivalvia jenis Lithopaga

(40)

Kepadatan Makrozoobentos

Kelompok Bivalvia paling mendominasi di hamparan lumpur. Hal ini terkait dengan tipe substrat dan kondisi perairan. Diduga kedua jenis Bivalvia yang terdapat di hamparan lumpur merupakan jenis yang mampu beradaptasi terhadap berbagai tekanan di habitat tersebut. Bivalvia termasuk kedalam filter feeder yang memperoleh makanannya dengan cara menyaring material yang tersuspensi di dalam air, baik berupa zat organik maupun plankton. Kebanyak filter feeder cara hidupnya dengan mengubur diri di dalam sedimen dan menonjolkan organ pencari makan di permukaan sedimen. Bivalvia yang terdapat di hamparan lumpur hidup secara berkelompok dan pada saat pengambilan sampel menggunakan corer jumlah yang tertangkap cukup melimpah sehingga nilai kepadatannya sangat tinggi. Sebaran vertikal Bivalvia yang terdapat di hamparan lumpur paling tinggi jumlahnya berada pada kedalaman 0-10 cm, lebih dari 10 cm jumlahnya sangat sedikit bahkan jika lebih dalam sudah tidak terdapat Bivalvia tersebut. Ukuranya juga bervariasi, mulai ukuran yang sangat kecil (<1 cm) hingga ukuran sedang. Kondisi itulah yang diduga menyebabkan burung pantai banyak mencari makan di hamparan lumpur. Selain karena jumlahnya yang banyak, potensi pakan yang berada di hamparan lumpur lebih banyak pada lapisan substrat atas sehingga lebih memudahkan bagi burung pantai untuk mendapatkan mangsa tersebut. Khususnya bagi jenis-jenis burung pantai perilaku makannya mencari mangsa di dalam substrat seperti trinil, gajahan, biru-laut, gagang-bayam, dan kedidi. Jenis Bivalvia yang paling mendominasi adalah Lithophaga sp.

Crustacea paling mendominasi di tambak. Hal ini diduga terkait dengan kondisi perairan. Jenis Crutacea yang banyak ditemukan di tambak umumnya adalah jenis yang biasa hidup di air tawar dan air payau. Nilai salinitas di tambak cukup rendah dibanding hamparan lumpur dan pada saat pengambilan data kondisinya lebih sering hujan sehingga air tambak banyak mendapat masukan air tawar yang berasal dari air hujan. Selain itu pada saat musim hujan, hampir semua tambak tergenang dan kondisi tersebut sangat manguntungkan bagi jenis-jenis Crustacea karena sebagian besar ditemukan pada tambak yang cukup dalam. Burung pantai yang mencari makan pada tambak yang tergenang umumnya dalah jenis yang berkaki panjang seperti gagang-bayam timur, trinil-kaki hijau, dan trinil semak. Pada saat mencari makan, jenis-jenis tersebut sering teramati menusukkan paruhnya kedalam air, diduga mereka sedang menangkap jenis-jenis Crustacea yang berada dalam air. Jenis Crustacea yang paling mendominasi adalah Mysis sp yaitu udang berukuran kecil.

Penyebaran Makrozoobentos Berdasarkan Kedalaman

(41)

29

Berkurangnya jumlah jenis dan individu (kepadatan) makrozoobentos seiring bertambahnya kedalaman diduga dipengaruhi oleh kondisi substrat dan kandungan bahan organik. Kondisi substrat di tambak dan hamparan lumpur semakin dalam kondisinya semakin padat dan liat, kecuali substrat pada bagian tepi muara sungai Avour yang relatif lebih lunak yang didominasi oleh pasir dan debu halus sehingga memungkinkan bagi Bivalvia untuk menempati substrat yang lebih dalam. Kadungan bahan organik merupakan salah satu yang mempengaruhi persebaran vertikal makrozoobentos. Endapan yang dibawa air tawar dan air laut akan membentuk sedimen dan kaya akan bahan organik yang menjadi cadangan makanan bagi organisme estuari (Dahuri 2005).

Polychaeta dan Bivalvia ditemukan pada kedalaman 0-20 cm, namun jumlah paling banyak pada kedalaman 0-10 cm. Kedua kelompok tersebut cara hidupnya dengan membenamkan diri di dalam substrat. Keduanya merupakan mangsa potensial bagi burung pantai dengan ukuran paruh panjang yang perilaku makannya dengan cara menangkap mangsa di dalam substrat (probe) seperti jenis gajahan, biru-laut, dan trinil. Gastropoda yang ditemukan adalah jenis yang hidup di permukaan substrat, sehingga kelompok ini menjadi mangsa potensial bagi jenis burung pantai berparuh pendek yang perilaku makannya dengan cara mengejar dan menangkap mangsa yang terlihat di permukaan substrat (pecking) seperti jenis cerek. Crustacea dan Coleoptera yang ditemukan merupakan kelompok yang hidup pada lapisan atas substrat. Cara hidup jenis-jenis dari kelompok Crustacea dan Coleoptera yang ditemukan yaitu dengan cara membuat lubang kecil pada substrat hingga kedalaman 5 cm sehingga kedua kelompok ini berpotensi sebagai mangsa dari jenis burung pantai yang perilaku makannya dengan cara menusukkan paruhnya pada lapisan atas substrat seperti jenis kedidi, cerek kernyut, gagang bayam, dan beberapa jenis trinil.

Komunitas Burung Pantai

Komposisi dan Keanekaragaman Spesies Burung Pantai

Selama penelitian tercatat sebanyak 21 spesies burung pantai yang terdiri dari tiga famili. Jumlah ini lebih banyak dari hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Firdaus dan Aunurohim (2015) yang menemukan 7 jenis burung pantai di Wonorejo. Jumlah tersebut juga lebih banyak jika dibandingkan dengan hasil penelitian di lokasi lain oleh Iqbal et al. (2012) yang menemukan 7 jenis burung pantai di Pulau Bangka, Sumatera dan 20 jenis di pantai timur Sumatera Utara (Iqbal et al. 2010). Perbedaan jumlah spesies yang ditemukan diduga dipengaruhi oleh perbedaan waktu pengamatan, musim migrasi, kondisi lahan basah, ketersediaan tempat untuk beristirahat dan mencari makan, potensi pakan, serta kondisi lingkungan seperti curah hujan. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Firdaus dan Aunurohim di ekosistem mangrove Wonorejo menemukan jumlah yang lebih sedikit karena waktu pengamatan yang dilakukan tidak pada saat puncak migrasi. Penelitian tersebut dilakukan pada bulan April-Juni, sedangkan puncak musim migrasi umumnya terjadi pada bulan Oktober-November. Selain itu lokasi pengamatan dan metode yang digunakan juga berbeda.

(42)

banyak yang umumnya ditemukan di daerah hamparan lumpur, rawa, pantai atau di lahan basah terbuka (MacKinnon et al. 2010). Hasil penelitian di pantai timur Sumatera Utara yang dilakukan oleh Iqbal et al. 2010 juga menemukan jenis burung pantai paling banyak dari famili Scolopacidae yaitu sebanyak 17 jenis serta hasil penelitian Jumilawaty (2012) yang juga menyebutkan famili paling mendominasi adalah Scolopacidae. Namun penelitian lain yang juga dilakukan oleh Iqbal et al.

2012 di Pulau Bangka Sumatera yang paling banyak adalah jenis burung panta dari famili Charadriidae atau jenis-jenis cerek. Hal tersebut diduga sangat terkait dengan kondisi habitat dan substrat yang terdapat di Pulau Bangka lebih banyak daerah pasir dengan substrat yang lebih kasar/keras. Kondisi tersebut merupakan habitat yang cocok untuk jenis-jenis cerek atau famili Charadriidae.

Sebagian besar burung pantai yang terdapat di lokasi penelitian merupakan burung migran dan hampir seluruhnya berasal dari bumi bagian utara. Menurut Tirtaningtyas dan Febrianto (2013) sebagian besar burung pantai melakukan migrasi dari lokasi berkembang biaknya di belahan bumi utara menuju belahan bumi selatan. Hal tersebut sebagai bentuk adaptasi untuk bertahan hidup saat di belahan bumi utara mengalami musim dingin yang ekstrim.

Nilai keanekaragaman burung pantai di hamparan lumpur lebih tinggi dibanding di tambak. Hal ini diduga terkait dengan kondisi habitat serta ketersediaan pakan yang lebih banyak di hamparan lumpur. Tian et al. (2008) menyebutkan bahwa keanekaragaman jenis burung pantai sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti pasang surut, tutupan lahan, dan ketersediaan makrozoobentos Pada saat air laut sedang surut, hamparan lumpur akan muncul berupa tanah terbuka yang luas. Kondisi tersebut sangat menguntungkan bagi burung pantai untuk mendarat guna mencari makan atau beristirahat. Kepadatan bentos di hamparan lumpur lebih tinggi, hal tersebut diduga yang menyebabkan burung pantai berkumpul dalam jumlah banyak di lokasi tersebut. Ketersediaan pakan dalam jumlah yang tinggi sangat menguntungkan untuk burung pantai karena lebih mudah untuk mendapatkan mangsa. Selain itu, diduga hamparan lumpur merupakan tempat yang aman bagi burung pantai dari serangan predator, karena pada tanah terbuka yang luas seluruh pergerakan yang dapat mengancam lebih mudah teramati sehingga mereka memiliki kesempatan untuk menghindar atau terbang pindah ke tempat lain

Kelimpahan Burung Pantai

Total individu yang tercatat di di lokasi penelitian sebanyak 7.494 individu. Jumlah tersebut lebih sedikit jika dibandingkan jumlah total individu burung pantai di pantai timur Sumatera Utara khususnya di Pantai Ancol dan Bagan Percut (masing-masing 15.540 individu dan 7.852 individu), namun lebih banyak jika dibandingkan dengan di Tanjung Balai (4.477 individu) (Iqbal et al. 2010).

(43)

31

limosa sebanyak 2.700 individu, trinil kaki merah Tringa totanus sebanyak 4.500 individu, dan cerek kernyut Pluvialis fulva sebanyak 400 individu, sedangkan dua lainnya yaitu trinil kaki hijau Tringa nebularia dan kedidi golgol Calidris ferruginea dalam jumlah yang lebih sedikit (masing-masing 50 individu dan 7 individu).

Hasil analisis korelasi menyebutkan bahwa kelimpahan burung pantai berkorelasi dengan kepadatan makrozoobentos. Howes et al. (2003) menyatakan bahwa burung pantai cenderung berkumpul pada daerah yang banyak terdapat pakan makrozoobentos. Jumilawaty (2012) juga menyebutkan bahwa sebaran burung pantai terutama pada saat mencari makan sangat ditentukan oleh kelimpahan makrozoobentos.

Aktivitas Burung Pantai

Aktivitas makan burung pantai banyak dilakukan di hamparan lumpur. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Jumilawaty (2012) yang menyebutkan bahwa aktivitas makan burung air di Percut Sei Tuan Sumatera Utara lebih banyak dilakukan di hamparan lumpur. Willems (2010) menyebutkan bahwa hamparan lumpur yang terletak di daerah pasang surut merupakan lokasi penting bagi burung pantai dalam mencari makan. Adanya aliran energi yang cukup tinggi di area hamparan lumpur karena letaknya yang berdekatan dengan muara sungai menyebabkan tingginya biota air yang hidup di area tersebut khususnya makrozoobentos yang merupakan pakan utama burung pantai.

Pada saat mencari makan, burung pantai di lokasi penelitian cenderung berkelompok dalam jumlah besar. Menurut Howes et al. (2003) burung pantai yang mencari makan dengan cara berkelompok lebih menguntungkan, karena mangsa yang terganggu akan lebih mudah ditemukan. Jenis yang berkelompok umunya terdiri dari kedidi golgol, kedidi leher merah, trinil rawa, trinil kaki merah, gajahan pengala, trinil kaki hijau, cerek pasir mongolia, dll. Namun terdapat juga yang teramati lebih sering mencari makan sendiri-sendiri atau tidak bergabung dalam kelompok, seperti trinil pantai, cerek kernyut, dan cerek jawa.

Gambar

Grafik kepadatan makrozoobentos di tambak dan hamparan
Gambar 1 Peta lokasi penelitian burung pantai di lahan basah Wonorejo
Gambar 2  Kondisi tambak yang ditumbuhi pohon mangrove pada bagian tepi dan
Gambar 3  Hamparan lumpur merupakan tanah terbuka yang sangat luas dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perangkat Daerah, perlu menetapkan Peraturan Walikota tentang Pembentukan, Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Malang

Dalam unit ini peserta diajak untuk mendiskusikan bagaimana pengelola sekolah, yaitu kepala sekolah, guru dan komite sekolah serta orangtua siswa, dengan dukungan dari

Pemberian pupuk kandang kelinci berpengaruh nyata meningkatkan tinggi tanaman, total luas daun, dan bobot kering tajuk, dengan dosis terbaik sementara untuk

Penyulang yang segera akan dibangun dari trafo 2 dan trafo 3 yaitu penyulang Kawasaki, Fino, Kaze, dan Scoopy. Dari keempat penyulang ini tugasnya untuk membantu

Kun pienpuun metsäkuljetuksen tehoajanmenekit ilmaistaan absoluuttisina arvoina (kuva 34), kuorman teko ja purku on koneellisen kaato-kasauksen jäljiltä 20 minuuttia

Dan sesungguhnya Allah telah menjadikan bagi orang yang membaca doa yang agung ini, dengan syarat ia adalah orang yang beriman lagi tulus, pahala yang setara dengan pahala orang

Di Indonesia sendiri praktek-praktek pengambilalihan lahan itu terjadi karena pembangunan perkebunan sawit, dimana Pemerintah Indonesia sendiri telah mencanangkan

Produksi ikan budidaya rata-rata tertinggi terdapat pada tambak di Kanal III yang memiliki ukuran mangrove terkecil dan produksi terendah terdapat pada tambak di