• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum

4.1.1 Letak dan luas

Lokasi penelitian terletak di Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah. Desa Grinting merupakan salah satu desa yang berlokasi di kawasan pesisir Pantai Utara Kabupaten Brebes. Sumber data mengenai letak dan luas, kependudukan serta perekonomian Desa Grinting diperoleh berdasarkan laporan monografi data statis dan dinamis Kabupaten Daerah Tingkat II Brebes Kecamatan Bulakamba tahun 2009.

Berdasarkan data tersebut Desa Grinting memiliki luas daerah sebesar 1.469,100 hektar, yang terbagi atas tanah sawah, tanah kering dan lain-lain. Untuk luas kawasan mangrove total di Desa Grinting diperkirakan sebesar kurang lebih sekitar 180,75 hektar atau sebesar 25,93% dari luas kawasan mangrove total di Kabupaten Brebes yaitu sebesar 697 hektar. Dengan kondisi 80,75 hektar berupa hamparan dan 100 hektar berupa wanamina. Keberadaan mangrove di Kabupaten Brebes terbagi di lima kecamatan, yaitu Kecamatan Brebes, Wanasari, Bulakamba, Tanjung dan Losari, dengan luasan terbesar berada di Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba (25,93%).

Sebagai salah satu desa yang berada di kawasan pesisir Pantai Utara Jawa, maka Desa Grinting memiliki potensi yang cukup besar dalam bidang perikanan, baik perikanan budidaya tambak maupun perikanan nonbudidaya. Luas kawasan daerah pertambakan tersebut sebesar 596,340 ha atau sebesar 40,59% dari luas total wilayah desa.

4.1.2 Kependudukan

Jumlah penduduk di Desa Grinting pada tahun 2009 adalah sebesar 15.317 jiwa, dengan jumlah laki-laki sebesar 7.791 dan perempuan sebesar 7.526. serta jumlah kepala keluarga di desa ini sebesar 5.183 kepala keluarga. Menurut tingkat pendidikan di Desa Grinting, tingkat pendidikan masyarakat tergolong rendah yaitu sebanyak 5.716 orang atau sebesar 33% orang yang belum tamat SD dan

(2)

sebanyak 2.783 orang atau sebesar 16% yang tidak tamat SD. Sedangkan tingkat pendidikan tertinggi yang paling banyak dimiliki penduduk Desa Grinting adalah lulusan SD yaitu 6.504 orang atau sebesar 38%. Selain itu, dilihat dari jenis mata pencahariannya penduduk Desa Ginting didominasi oleh buruh tani sebanyak 4.339 orang atau sebesar 40% serta petani dan peternak sebanyak 2.883 orang atau sebesar 27% (Gambar 9 dan 10).

Gambar 9. Jumlah penduduk Desa Grinting berdasarkan tingkat pendidikan

Gambar 10. Jumlah penduduk Desa Grinting berdasarkan mata pencaharian

4.1.3 Perekonomian

Kegiatan perekonomian yang ada di Desa Grinting adalah industri sedang (12 buah), industri kecil (6 buah) dan industri rumah tangga (14 buah). Selain itu terdapat kegiatan perekonomian lainnya yang berupa pertanian, perikanan tambak, peternakan, perdagangan dan lain-lain.

(3)

Berdasarkan data di atas, jumlah penduduk Desa Grinting didominasi oleh buruh tani dan petani atau peternak. Maka kegiatan usaha tani sebagian besar adalah lahan pertanian dengan berbagai jenis tanaman. Tanaman yang terdapat di Desa Grinting dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tanaman primer dan sekunder. Tanaman primer sebagian besar berupa bawang merah dengan luas tanaman sebesar 13,105 hektar. Sayuran dengan luas tanaman 1,050 hektar, buah-buahan 0,75 hektar, ketela pohon 0,420 hektar dan jagung 0,370 hekar. Sedangkan tanaman sekunder hanya berupa tanaman kelapa, dengan jumlah 772 pohon dan jumlah produksinya sebanyak 10.057 buah kelapa. Sementara kegiatan pertambakan merupakan usaha tani utama di daerah tersebut, mengingat luas lahan pertambakan merupakan yang terbesar yaitu mencapai 40,59% dari luas total wilayah desa.

4.1.4 Status Pengelolaan Tambak dan Mangrove di Desa Grinting

Pada awalnya produksi perikanan budidaya masyarakat Desa Grinting didominasi oleh komoditas ikan bandeng, dengan pencapaian produksi rata-rata sekitar 3-5 kuwintal per hektar. Kemudian sekitar tahun 1984-1986 masyarakat Desa Grinting diperkenalkan dengan jenis komoditas udang windu. Saat itu terjadi pencapaian produksi budidaya udang windu yang sangat pesat, baik melalui pola semi intensif maupun tradisional. Sehingga pada masa itu pencapaian produksi udang windu sangat mengesankan dan mengalami blooming dengan produksi rata-rata sebesar 1 ton per hektar melalui pola semi intensif pada tahun pertama. Kemudian seiring berjalannya waktu produksi udang windu mengalami penurunan, yaitu pada tahun 1988 didapat hasil rata-rata sebesar 7,5 kuwintal per hektar dan pada tahun 1989 hanya didapat produksi rata-rata sebesar 3 kuwintal per hektar. Hingga akhirnya pada tahun 1990 produksi budidaya udang windu mengalami gagal panen.

Menurut masyarakat sekitar hal ini disinyalir oleh adanya pencemaran yang disebabkan oleh pemaikaian obat-obatan dan juga kegiatan budidaya yang melupakan kaidah-kaidah daya dukung lingkungan sehingga mengakibatkan penurunan kualitas tanah pertambakan. Hal ini membuat para petani tambak resah dan beralih kembali pada komoditas ikan bandeng, namun hasil yang diperoleh

(4)

ternyata ikan bandeng yang dibudiayakan tidak dapat mencapai ukuran yang diinginkan. Berbagai upaya dilakukan oleh masyarakat untuk menangani kendala tersebut, agar kondisi lingkungan di sekitar menjadi subur kembali.

Pada tahun 1992, masyarakat melakukan kerja sama dengan Pemerintah Daerah melakukan berbagai kegiatan guna menanggulangi berbagai kendala tersebut. Kegiatan yang dilakukan adalah rehabilitasi lingkungan dengan penghijauan. Ada dua sasaran utama kegiatan, yaitu rehabilitasi lahan kosong untuk dijadikan kawasan lindung setempat dan rahabilitasi kawasan tambak menjadi tambak wanamina atau tumpangsari. Pola tambak tumpangsari merupakan kombinasi antara tambak dengan kegiatan konservasi hutan mangrove. Sistem tambak tumpangsari pada prinsipnya bertujuan untuk perlindungan terhadap vegetasi mangrove dengan memberikan hasil lain dari segi perikanan.

Pemerintah Daerah melalui Dinas Kehutanan serta Dinas Kelautan dan Perikanan bersama masyarakat melakukan kegiatan penanaman vegetasi mangrove. Target awal penanaman vegetasi mangrove yaitu berada pada pesisir pantai, sungai, saluran air dan pelataran tambak. Namun hingga saat ini masih terdapat pro dan kontra mengenai keberadaan mangrove dipelataran tambak. Perbedaan pendapat ini disebabkan adanya perbedaan pemahaman terkait dengan ekosistem mangrove. Sedangkan penanaman vegetasi mangrove di pesisir pantai hingga saat ini masih belum berhasil dan mangalami kendala.

Pada dasarnya bentuk sistem tumpangsari akan bervariasi menurut keadaan lokasi yang direhabilitasi. Dalam hal ini vegetasi mangrove ditanam di bagian tepi tambak atau tanggul. Pada mulanya posisi penanaman pohon mangrove dilakukan di tepi tambak dan di tengah, namun seiring berjalannya waktu keberadaan pohon mangrove yang berada di tengah tambak sudah tidak ada lagi. Hal ini dikarenakan adanya keluhan dari para pemilik tambak yang mengalami kendala ketika panen. Sehingga kondisi vegetasi mangrove yang ada saat ini terdapat pada tepian tambak atau tanggul, di sepanjang sungai dan saluran air. Berikut merupakan bentuk dan gambaran ilustrasi keberadaan vegetasi mangrove di kawasan pertambakan Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes (Gambar 11 dan 12).

(5)

Gambar 11. Ilustrasi keberadaan vegetasi mangrove di Desa Grinting

Gambar 12. Kondisi vegetasi mengrove di areal pertambakan

Untuk menjaga keberadaan ekosistem mangrove agar tetap terjaga maka diperlukan suatu pengelolaan. Pemerintah daerah beserta instansi terkait dan masyarakat setempat harus terlibat dalam upaya tersebut agar keberhasilan dapat dicapai. Karena keberhasilan atau kegagalan dari suatu kegiatan sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari seluruh stakeholder yang ada khususnya masyarakat setempat. Salah satu bentuk pengelolaan yang dilakukan adalah dengan dibentuknya kelompok Tani Hutan (KTH), yang terbentuk pada tahun

(6)

2007 dibawah binaan Dinas Kehutanan dengan nama Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP) Desa Grinting.

Kelompok Tani Hutan ini sebagian besar beranggotakan para pemilik tambak. Tujuan utama dibentuknya Kelompok Tani Hutan ini adalah untuk melestarikan ekosistem hutan mangrove di kawasan pertambakan. Selain itu juga dengan dibentuknya kelompok tersebut diharapkan dapat menciptakan penyuluh-penyuluh swadaya mengenai ekosistem mangrove dan dapat mengajak masyarakat untuk menjaga lingkungan dan menghijaukannya. Kegiatan yang dilakukan oleh kelompok tersebut hingga kini diantaranya adalah penyuluhan yang diberikan oleh penyuluh lapang dari Dinas Kehutanan, pengawasan terhadap ekosistem mangrove dari penebang liar, pembuatan papan larangan yang berkaitan terhadap ekosistem mangrove dan lain sebagainya (Lampiran 7).

Kemudian seiring berjalannya waktu kelompok tersebut bersama Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan Lembaga Hukum (Polsek) mengeluarkan suatu peraturan desa yang berkaitan dengan kelestarian ekosistem mangrove, yaitu Peraturan Desa (Perdes) No.III/01/2007. Perdes tersebut mengacu pada Undang-Undang (UU) No.5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Sehingga dalam pelaksanaannya hingga kini diharapkan kelompok tersebut mampu memperlihatkan kemajuan dan keberhasilan dalam upaya pelestarian lingkungan khususnya terhadap keberadaan ekosistem mangrove. Skema struktur Organisasi Kelompok Tani Hutan (KTH) SPKP Desa Grinting dapat dilihat pada Gambar 13.

Ketua BPD Kepala Desa

Penyuluh kehutanan Ketua LPMD

Wakil Ketua

Sekertaris Bendahara

Bidang Bidang Bidang Bidang Bidang Penyuluhan Kerjasama Bina usaha Keamanan Pariwisata

(7)

4.2 Hasil

4.2.1 Kondisi vegetasi mangrove

Vegetasi mangrove yang ditemukan pada lokasi penelitian didominasi oleh jenis Rhizophora mucronata. Selain itu terdapat juga Avcennia marina dan

Acanthus illicifolius, akan tetapi dalam jumlah yang relatif sedikit. Sehingga data yang digunakan berupa vegetasi mangrove dominan yaitu vegetasi mangrove jenis

Rhizophora mucronata. Keberadaan vegetasi mangrove jenis Rhizophora

mucronata yang mendominasi diduga karena jenis ini mampu memanfaatkan sumberdaya atau lebih cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat. Sehingga jenis ini mampu tumbuh lebih cepat khususnya pada daerah berlumpur yang tergenang (Suryawan, 2007).

Selain itu pertumbuhan R. mucronata sering mengelompok, karena propagul yang sudah matang akan jatuh dan langsung menancap ke tanah. Sementara untuk jenis A. marina mempunyai propagul berupa biji yang berkecambah, sehingga ketika matang dan jatuh ke tanah akan mengalami perkembangan sendiri atau menyebar karena terbawa air saat pasang. Pada lokasi penilitian, penanaman vegetasi mangrove jenis R. mucronata lebih ditujukan untuk memperkuat tanggul-tanggul sungai atau saluran air (Kanal) serta tambak yang ada di lokasi tersebut.

Vegetasi mangrove diamati pada transek yang terbuat dari tali plastik, dengan luas 100 meter persegi (10x10 m). Vegetasi mangrove tingkat pohon pada Kanal I, II dan III berturut-turut diperoleh jumlah tegakan dengan rata-rata sebanyak 33, 37 dan 17 individu tiap luas pengamatan. Vegetasi mangrove tingkat anakan pada Kanal I, II dan III diperoleh jumlah tegakan rata-rata sebanyak 16, 28 dan 20 individu tiap luas pengamatan. Dan vegetasi mangrove tingkat semai pada Kanal I, II dan III diperoleh jumlah tegakan rata-rata sebanyak 75, 692 dan 233 individu tiap luas pengamatan. Selain itu berdasarkan citra landsat mengenai data Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Brebes tahun 2008, pada Kanal II merupakan lokasi dengan kondisi luas mangrove tertinggi yaitu seluas 4,566 Ha. Sedangkan pada Kanal I dan III memiliki luasan mangrove sebesar 3,991 dan 3,329 Ha, dengan luasan terendah terdapat pada Kanal III. Kondisi vegetasi mangrove pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 14 dan Tabel 2.

(8)

Gambar 14. Jumlah tegakan rata-rata vegetasi mangrove tiap Kanal (individu/100m2).

Tabel 2. Luas mangrove tiap Kanal

4.2.2 Produksi ikan

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam penelitian ini terdapat dua jenis produksi ikan, yaitu produksi ikan budidaya dan produksi ikan nonbudidaya. Produksi ikan budidaya merupakan komoditas yang dipelihara di dalam tambak, dalam penelitian ini data yang dikumpulkan adalah jenis ikan bandeng (Chanos chanos). Ikan budidaya dipanen pada satu musim tertentu, tergantung ukuran yang diinginkan oleh pemilik tambak. Dalam penelitian ini tambak yang diambil data produksinya merupakan tambak yang memiliki masa pemeliharaan sekitar kurang lebih enam bulan. Sedangkan produksi ikan nonbudidaya atau ikan tangkapan merupakan komoditi yang ditangkap di alam dan tidak dipelihara di dalam tambak serta biasanya ditangkap setiap hari atau pada hari-hari tertentu oleh pemilik tambak maupun nelayan, dalam penelitian ini data yang diambil adalah jenis udang api-api (Metapenaeus spp). Udang ini ditangkap dengan menggunakan bubu yang dipasang disekitar pintu air atau ditangkap langsung oleh nelayan dengan menggunakan jaring disekitar Kanal atau kawasan mangrove. Hasil produksi ikan rata-rata pada tiap Kanal dapat dilihat pada Gambar 15.

Luas Panjang Kanal

Mangrove (Ha) (meter)

Kanal I 3,991 835,69

Kanal II 4,566 881,85

Kanal III 3,329 921,89

(9)

Berdasarkan data yang diperoleh, produksi ikan budidaya rata-rata terbesar berada pada tambak yang terletak di Kanal III, dengan jumlah produksi rata-rata sebesar 232,67 Kg/Ha/musim. Sedangkan pada tambak yang terletak di Kanal I dan II diperoleh produksi rata-rata sebesar 202,22 Kg/Ha/musim dan 183,33 Kg/Ha/musim dengan produksi terendah berada pada tambak di Kanal II. Sementara untuk produksi ikan nonbudidaya yaitu komoditi udang api-api, pada kawasan sekitar Kanal I, II dan III diperoleh produksi rata-rata sebesar 2,70 Kg/hari, 3,99 Kg/hari dan 1,94 Kg/hari, dengan produksi rata-rata terbesar berada di Kanal II dan yang terendah berada di Kanal III. Berdasarkan hasil tersebut maka pada Kanal I, II dan III potensi produksi ikan budidaya total mencapai 604,67 Kg/ha/musim, 550 Kg/ha/musim dan 700 Kg/ha/musim. Sedangkan untuk ikan nonbudidaya memiliki potensi produksi sebesar 13,48 Kg/hari, 19,94 Kg/hari dan 9,70 Kg/hari.

Gambar 15. Produksi ikan rata-rata yang diperoleh petani tambak dan nelayan di kawasan pesisir Desa Grinting.

(10)

4.2.3 Kondisi lingkungan (kualitas air dan kesuburan)

Pengambilan data kualitas air dilakukan sebanyak tiga kali selama lima bulan masa penelitian dan dilakukan di dua tempat, yaitu pada lingkungan pertambakan (di dalam tambak) dan pada saluran air atau Kanal (di luar tambak). Pengambilan data kualitas air ditujukan untuk mengetahui kondisi lingkungan pada saat masa pemeliharaan komoditas budidaya. Parameter kualitas air yang diukur meliputi kecerahan, salinitas, suhu, oksigen terlarut (DO), pH dan klorofil-a. Kondisi kualitas air pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 16 dan 17.

Kecerahan rata-rata di dalam tambak berkisar antara 25,33 - 45,86 cm. Nilai kecerahan tertinggi terdapat pada tambak di Kanal II dengan rata-rata sebesar 45,86 cm, sedangkan kecerahan terendah terdapat pada tambak di Kanal III dengan rata-rata sebesar 25,33 cm. Adapun kisaran nilai kecerahan rata-rata dalam tambak pada Kanal I, II dan III yaitu sebesar 16 - 43 cm, 29 - 56 cm dan 22,8 - 26,8 cm untuk tambak yang berada pada Kanal III. Sementara untuk kondisi di luar tambak nilai kecerahan rata-rata berkisar antara 17,78 - 20,56 cm, dengan nilai kecerahan rata-rata tertinggi berada di Kanal III, sedangkan yang terendah berada di Kanal II.

Salinitas rata-rata di dalam tambak pada tiap Kanal selama penelitian berkisar antara 42,33 - 50,44 ‰. Nilai rata-rata salinitas tertinggi terdapat pada tambak di Kanal I yaitu sebesar 50,44 ‰, sedangkan nilai rata-rata salinitas terendah berada pada tambak di Kanal II yaitu sebesar 42,33 ‰. Nilai salinitas rata-rata di dalam tambak pada Kanal I, II dan III selama penelitian berkisar antara 48,7 - 51,3 ‰, 39,3 - 44,7 ‰ dan 37,3 - 49,3 ‰. Sementara untuk kondisi di luar tambak, Kanal I memiliki nilai salinitas rata-rata tertinggi sebesar 36,33‰ dan Kanal III memiliki nilai salinitas rata-rata terendah sebesar 31,11‰.

Selama penelitian fluktuasi suhu air tidak terlalu besar, yaitu berkisar antara 26,22 - 26,78 0C di dalam tambak dengan suhu rata-rata tertinggi berada pada tambak di Kanal II dan terendah berada pada tambak di Kanal I. Untuk kondisi diluar tambak, Kanal II memiliki suhu rata-rata tertinggi selama penelitian sebesar 27,28 0C dan suhu terendah terdapat di Kanal I sebesar 26,22 0C. Kondisi tersebut sesuai dengan kondisi pada daerah tropis dengan suhu rata-rata > 25 0C dan umumnya jarang menunjukkan stratifikasi.

(11)

Kisaran nilai DO rata-rata selama penelitian untuk kondisi di dalam tambak yang berada pada Kanal I, II dan III adalah sebesar 1,90 - 3,79 mg/liter, 1,35 - 2,30 mg/liter dan 1,49 - 2,71 mg/liter. Dengan DO rata-rata tertinggi terdapat dalam tambak di Kanal I sebesar 2,62 mg/liter dan nilai rata-rata DO terendah terdapat dalam tambak di Kanal II sebesar 1,85 mg/liter. Sementara pada kondisi di luar tambak kisaran nilai DO rata-rata tertinggi terjadi pada Kanal II sebesar 2,76 mg/liter dan nilai terendah terdapat pada Kanal I sebesar 1,99 mg/liter. Nilai DO yang rendah diperoleh karena pada penelitian pengukuran kandungan DO dalam perairan dilakukan saat pagi hari (pukul 05.00 – 05.30). Hal ini dilakukan untuk mendapatkan nilai DO minimum, dengan asumsi bahwa ketersediaan oksigen di perairan telah dikonsumsi untuk proses repirasi pada saat sore hari menjelang malam hingga malam hari menjelang pagi.

Nilai pH air rata-rata di dalam tambak maupun di luar tambak selama penelitian pada tiap Kanal tidak menunjukkan perubahan yang besar dan memiliki kisaran pH rata-rata yang sama baik kondisi di dalam maupun di luar tambak, yaitu sebesar 7,44 - 7,72. Dengan nilai pH tertinggi terdapat dalam tambak di Kanal I dan terendah terdapat dalam tambak di Kanal III. Sedangkan untuk kondisi di luar tambak pH tertinggi terdapat pada Kanal I dan terendah terdapat pada Kanal II.

Nilai rata-rata kandungan klorofil-a dalam tambak selama penelitian memperlihatkan perbedaan yang mencolok. Nilai rata-rata kandungan klorofil-a dalam tambak berkisar antara 11,30 - 15,55 mg/cm3, dengan kandungan klorofil-a tertinggi terdapat pada tambak di Kanal III dan terendah terdapat pada tambak di Kanal I. Adapun kisaran kandungan klorofil-a rata-rata dalam tambak selama penelitian pada Kanal I, II dan III adalah sebesar 6,42 - 15,26 mg/cm3, 6,74 - 22,34 mg/cm3 dan 9,45 - 25,04 mg/cm3. Untuk kondisi di luar tambak kandungan klorofil-a berkisar antara 11,67 - 19,64 mg/cm3. Kanal II memiliki kandungan klorofil-a rata-rata tertinggi dan Kanal I memiliki kandungan klorofil-a rata-rata terendah. Kandungan klorofil-a dalam perairan dalam menggambarkan kandungan biomassa fitoplankton dalam perairan tersebut.

(12)
(13)
(14)

4.2.4 Analisis komponen utama

Untuk melihat hubungan atau keterkaitan antara keberadaan mangrove terhadap hasil produksi budidaya beserta kondisi lingkungan di dalam tambak dapat digunakan analisis komponen utama (Principal Component Analysis/PCA). Dalam melihat hubungan tersebut digunakan sebanyak sembilan variabel, diantaranya adalah produksi budidaya (PB), luas mangrove (LM), kecerahan, salinitas, suhu, DO, pH, Klorofil-a dan kedalaman. Kualitas air yang digunakan merupakan kondisi lingkungan yang diukur di dalam tambak.

Hasil analisis dari PCA dapat menjelaskan kualitas informasi yang dijelaskan oleh dua komponen utama berdasarkan pada nilai eigenvaleu (akar ciri), eigenvalue merupakan besarnya keragaman data pada setiap komponen utama. Komponen utama pertama memberikan kontribusi sebesar 55% dalam menjelaskan keragaman data yang diamati dengan nilai eigenvaleu yang diberikan sebesar 4,94. Sedangkan komponen utama kedua memberikan kontribusi sebesar 45% dalam menjelaskan keragaman data yang diamati dan nilai eigenvaleu yang diberikan sebesar 4,06 sehingga kedua komponen tersebut memberikan kontribusi sebesar 100% dari keragaman total, yang berarti bahwa PCA dapat menjelaskan data yang ada hingga 100% (Lampiran 7).

Gambar 18 menyajikan hubungan antar variabel-variabel yang diuji. Semakin dekat posisi variabel terhadap sumbu komponen utama (dengan sudut ≤ 450), maka variabel tersebut memiliki korelasi terhadap variabel lainnya yang juga berdekatan dengan sumbu komponen utama yang sama atau sudut yang dibentuk antar variabel ≤ 900

. Sedangkan perbedaan posisi atau koordinat (kuadran) menggambarkan arah korelasi (positif dan negatif). Berdasarkan Gambar 18 tampak bahwa keberadaan mangrove memiliki korelasi yang kuat terhadap hasil budidaya, akan tetapi arahnya berlawanan (korelasi negatif). Hal ini berarti apabila kegiatan budidaya meningkat maka akan mengakibatkan tekanan terhadap keberadaan mangrove sehingga mengakibatkan penurunan luas mangrove.

Hasil produksi budidaya juga memiliki korelasi negatif terhadap kecerahan dan pH. Dengan meningkatnya kecerahan dan pH maka akan menurunkan produksi dalam tambak. Sedangkan hasil budidaya dan kandungan klorofil-a di dalam tambak menggambarkan korelasi positif. Meningkatnya kandungan

(15)

klorofil-a yang dapat menggambarkan biomassa fitoplankton dalam tambak, dapat meningkatkan produksi budidaya yaitu sebagai pakan alami. Sementara itu keberadaan vegetasi mangrove dapat memberikan pengaruh terhadap beberapa variabel lingkungan. Matriks korelasi memberikan nilai hubungan antar variabel yang diuji (Lampiran 8).

Gambar 18. Hasil analisis komponen utama antara kondisi mangrove, kondisi lingkungan di dalam tambak dan produksi ikan budidaya

Selain itu, analisis komponen utama juga menggambarkan hubungan antara kondisi mangrove, kondisi lingkungan di luar tambak (Kanal) dan produksi ikan nonbudidaya. Hasil analisis PCA memberikan kualitas informasi yang didapat dari dua komponen utama berdasarkan nilai eigenvaleu (akar ciri). Komponen utama pertama didapat dengan nilai eigenvaleu yang diberikan sebesar 5,57 dan memberikan kontribusi informasi sebesar 62%. Sementara komponen utama kedua diperoleh dengan nilai eigenvaleu sebesar 3,43 dengan memberikan kontribusi informasi sebesar 38% sehingga kedua komponen utama tersebut dapat menjelaskan data yang ada sebesar 100% yang berarti PCA dapat memberikan informasi dari data sebesar 100% (Lampiran 9).

Dari Gambar 19 tampak bahwa keberadaan vegetasi mangrove memiliki hubungan atau korelasi yang sangat kuat terhadap produksi ikan nonbudidaya. Yang berarti bahwa semakin tinggi ukuran mangrove maka makin tinggi pula

Biplot on axes 1 and 2 (100% )

Kanal III Kanal II Kanal I PB LM Kecerahan Salinitas suhu DO pH Klorofil-a Kedalaman -3.5 -3 -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 -- axe 1 (55% ) --> -- a x e 2 (4 5 % ) -->

(16)

produksi ikan nonbudidaya. Selain itu terlihat adanya hubungan antara produksi ikan nonbudidaya, kandungan oksigen terlarut (DO) dan klorofil-a. Tingginya produksi ikan nonbudidaya dapat dipengaruhi oleh kandungan DO dan klorofil-a dalam perairan. Karena kedua parameter tersebut dapat menggambarkam kesuburan atau produktifitas suatu perairan. Sementara kandungan DO dan klorofil-a dalam perairan dapat dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara yang berasal dari dekomposisi serasah yang dihasilkan pohon mangrove di daerah tersebut. Maka keberadaan mangrove dapat mempengaruhi kondisi lingkungan sekitarnya, matriks korelasi menggambarkan nilai hubungan antar variabel yang disajikan pada Lampiran 9.

Gambar 19. Hasil analisis komponen utama antara kondisi mangrove, kondisi lingkungan di luar tambak dan produksi ikan nonbudidaya

4.2.5 Hubungan mangrove terhadap produksi ikan (budidaya dan nonbudidaya)

Berdasarkan data-data di atas dapat pula digambarkan mengenai hubungan antara kondisi mangrove terhadap produksi ikan budidaya maupun nonbudidaya (Gambar 20). Pada Gambar tersebut data produksi ikan yang digunakan merupakan data produksi ikan rata-rata tiap tahun. Sementara data luasan mangrove tiap Kanal diplotkan terhadap luasan areal kawasan pesisir yang diperkirakan masih dipengaruhi oleh keberadaan mangrove di kawasan tersebut.

Biplot on axes 1 and 2 (100% )

Kanal III Kanal II Kanal I PN LM Kecerahan Salinitas suhu DO pH Klorifil-a Kedalaman -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 -- axe 1 (62% ) --> -- a x e 2 (3 8 % ) -->

(17)

Penetuan luasan kawasan tersebut dibantu dengan menggunakan software Arc View GIS 3.2 terhadap citra landsat Kabupaten Brebes tahun 2008.

Berdasarkan Gambar 20, peningkatan luasan mangrove akan diikuti oleh peningkatan produksi ikan nonbudidaya. Sementara peningkatan kegiatan budidaya untuk meningkatkan produksi dapat menyebabkan terjadinya tekanan terhadap keberadaan mangrove sehingga luas mangrove akan berkurang. Gambar tersebut mencoba memberikan ilustrasi mengenai luas mangrove yang optimum bagi kegiatan perikanan pesisir baik budidaya maupun nonbudidaya. Terlihat bahwa luas mangrove sekitar kurang lebih 4 hektar merupakan kondisi mangrove yang baik untuk menghasilkan produksi ikan secara optimum.

Gambar 20. Hubungan keberadaan mangrove terhadap produksi ikan

4.3 Pembahasan

4.3.1 Kondisi mangrove dan perikanan

Kondisi ekosistem mangrove yang terdapat di kawasan pesisir Desa Grinting sebagian besar didominasi oleh vegetasi mangrove jenis Rhizophora mucronata (Lamk) dari suku Rhizophoraceae. Selain itu terdapat juga vegetasi mangrove jenis Avicennia marina (Forsk) dari suku Avicenniaceae dan Acanthus ilicifolius (Lamk) dari suku Acanthaceae namun dalam jumlah yang relatif sedikit. Data vegetasi mangrove yang dikumpulkan adalah jenis mangrove yang mendominasi di daerah tersebut, yaitu dari jenis Rhizophora mucronata. Berdasarkan uji statistik F yang dilakukan, diperoleh nilai Fhitung sebesar 13 dan

(18)

Ftabel sebesar 5,14 (Fhitung > Ftabel). Hal ini memberikan kesimpulan bahwa jumlah

tegakan mangrove memiliki perbedaan yang nyata di tiap Kanal (Lampiran 10). Berdasarkan Gambar 14, vegetasi mangrove pada tingkat pohon, anakan dan semai tertinggi terdapat pada Kanal II. Sementara mangrove tingkat pohon terendah dijumpai pada Kanal III, sedangkan mangrove tingkat anakan dan semai terendah dijumpai pada Kanal I. Perbedaan tersebut memberikan kontribusi terhadap perbedaan luasan mangrove pada Kanal tersebut. Berdasarkan Tabel 2, kondisi pada Kanal II memiliki luas mangrove tertinggi sebesar 4,566 hektar. Sedangkan Kanal III memiliki luas mangrove terendah sebesar 3,329 hektar. Luasan mangrove tersebut diperoleh dari analisis Arc View terhadap citra landsat mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Brebes tahun 2008, yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes.

Kondisi ekosistem mangrove di lokasi penelitian didominasi oleh vegetasi jenis R. mucronata. Secara umum ekosistem mangrove memperlihatkan adanya pola zonasi yang berkaitan erat dengan tipe tanah, keterbukaan, salinitas serta pengaruh pasang surut. Tipe tanah dengan substrat berlumpur sangat baik untuk tegakan R. mucronata dan diduga tekstur tanah di lokasi penelitian merupakan kondisi yang cocok bagi pertumbuhan dan perkembanagan tegakan R. mucronata. Selain itu R. mucronata mampu tumbuh pada salinitas yang tinggi hingga 55‰ (Noor, et al., 1999). Selain itu pertumbuhan R. mucronata sering mengelompok, karena propagul yang sudah matang akan jatuh dan langsung menancap ke tanah (Suryawan, 2007).

Gunawan dan Anwar (2005) menambahkan, perbedaan kondisi hutan mangrove pada tiap lokasi dapat disebabkan oleh hama dan penyakit tanaman, gangguan ternak, gangguan manusia, tingkat kesuburan serta kesesuaian tempat tumbuh. Akan tetapi keberadaan mangrove di Desa Grinting diduga lebih didominasi oleh pengaruh gangguan manusia. Tidak bisa dihindrai bahwa tiap kalangan masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda terhadap ekosistem mangrove. Hal ini diindikasikan akibat adanya faktor pemahaman yang rendah dari masyarakat terhadap peran dan manfaat keberadaan mangrove. Berdasarkan penelitian lain yang dilakukan oleh Fakur (2008) yang juga dilakukan di Desa Grinting, faktor tingkat pendidikan dan pemberian bantuan sarana insentif sangat

(19)

mempengaruhi keberhasilan rehabilitasi dan keberadaan hutan mangrove di Desa Grinting.

Selain itu gambaran umum lokasi penelitian merupakan kawasan pertambakan yang berasal dari tanah timbul, yang kemudian dilakukan kegiatan penghijauan dengan menanam pohon mangrove, meskipun tanah timbul yang terdapat di pesisir pantai sebenarnya merupakan habitat bagi tumbuh kembang vegetasi mangrove. Akan tetapi, ternyata tidak semua pemilik tambak di kawasan tersebut terlibat terhadap kegiatan tersebut. Sebagian para pemilik tambak menolak keberadaan mangrove di areal atau pelataran tambak mereka, karena dirasa akan mengganggu kegiatan budidaya. Sehingga upaya yang dapat dilakukan adalah rehabilitasi beberapa areal tambak untuk kegiatan wanamina dan lahan-lahan kosong untuk dijadikan kawasan lindung setempat. Hal tersebutlah yang diduga mengakibatkan adanya perbedaan kondisi mangrove pada lokasi penelitian.

Padahal tidak bisa dipungkuri bahwa ekosistem mangrove memberikan manfaat dan potensi yang besar bagi kegiatan perikanan pesisir. Beberapa penelitian lain telah dilakukan terkait fungsi atau manfaat keberadaan mangrove yang penting bagi sumberdaya ikan pesisir, baik secara langsung maupun tidak langsung. Keberadaan mangrove disinyalir dapat meningkatkan produktifitas lingkungan sekitarnya, sehingga akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan produksi ikan pesisir. Perikanan pesisir dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu perikanan budidaya dan perikanan nonbudidaya. Terkait dengan perikanan budidaya, dalam perkembangannya ekosistem mangrove sering dikonversi untuk kegiatan perikanan budidaya yaitu pembukaan lahan mangrove untuk dijadikan areal pertambakan.

Kegiatan budidaya tambak di Desa Grinting pada awalnya berasal dari tanah timbul di pesisir pantai, yang kemudian dilakukan kegiatan pemetakan dan pembuatan tambak. Sebagian besar tambak didominasi oleh komoditi bandeng dan pada tiap Kanal kondisi tambak memiliki pola pengelolaan yang berbeda-beda, yaitu ada tambak yang dikelola secara tradisional dan ada tambak yang dikelola secara semi intensif. Berdasarkan data hasil penelitian produksi ikan budidaya rata-rata tertinggi berada kawasan tambak di Kanal III sebesar 232,67

(20)

kg/ha/musim, sedangkan yang terendah berada pada kawasan tambak di Kanal II sebesar 183,33 kg/ha/musim. Namun berdasarkan uji statistik F yang dilakukan, diperoleh nilai Fhitung sebesar 0,52 sedangkan Ftabel sebesar 5,14 (Fhitung < Ftabel),

yang berarti bahwa hasil produksi ikan budidaya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada tiap Kanal (Lampiran 11).

Selain produksi budidaya, dalam kawasan mangrove di Desa Grinting diperoleh juga produksi ikan nonbudidaya (tangkapan). Penangkapan ikan tersebut biasanya dilakukan pada pintu air tambak dengan dipasang bubu atau langsung ditangkap oleh nelayan disekitar Kanal dengan menggunakan jaring. Berbeda halnya dengan produksi ikan budidaya, hasil uji statistik F yang dilakukan memberikan nilai Fhitung sebesar 9,61 sedangkan Ftabel sebesar 4,26

(Fhitung > Ftabel), yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang nyata terhadap

produksi tangkapan pada tiap Kanal (Lampiran 11). Produksi tangkapan terbesar terdapat pada Kanal II dengan rata-rata produksi sebesar 3,99 kg/hari dan produksi terendah terdapat pada Kanal III dengan rata-rata produksi sebesar 1,94 kg/hari. Namun ada satu faktor penting yang harus diperhatikan, yaitu pasang surut air laut. Karena sumberdaya ikan yang berada di daerah mangrove merupakan ikan yang terbawa oleh arus saat pasang dan kembali ke laut saat air surut.

Melihat perbedaan antara produksi ikan budidaya dan nonbudidaya tiap Kanal yang memiliki kondisi mangrove yang berbeda mengindikasikan bahwa terdapat suatu hubungan antara kondisi mangrove terhadap produksi ikan baik budidaya maupun nonbudidaya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada lokasi yang terdapat mangrove dengan kondisi yang berbeda, mengindikasikan adanya perbedaan kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap produktifitas lingkungan sekitar. Produktifitas kawasan pesisir tersebut khususnya lingkungan perairan, tentunya akan memberikan kontribusi terhadap produksi sumberdaya ikan di lingkungan tersebut.

Berdasarkan Gambar 19 dan hasil uji statistik, produksi ikan nonbudidaya memperlihatkan kondisi yang berbeda nyata pada tiap Kanal dan memiliki korelasi positif terhadap keberadaan mangrove. Produksi ikan nonbudidaya tertinggi berada pada Kanal II dengan luasan mangrove tertinggi dan produksi

(21)

terendah berada pada Kanal III yang memiliki luasan mangrove terendah. Hal ini menggambarkan hubungan berbanding lurus, dimana produksi meningkat seiring peningkatan ukuran dari mangrove.

Melihat kondisi tersebut mengindikasikan bahwa lingkungan di tiap Kanal memiliki tingkat kesuburan yang berbeda. Berdasarkan beberapa studi pustaka yang dilakukan, perairan yang ditumbuhi pohon mangrove memiliki kesuburan yang tinggi karena banyaknya bahan organik yang dihasilkan. Bahan organik berasal dari serasah pohon mangrove yang jatuh ke perairan dan mengalami perombakan. Substansi organik tersebut merupakan sumber unsur hara (nutrien) yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Sementara kesuburan suatu perairan dan potensi sumberdaya hayati umumnya ditentukan oleh besarnya biomasa dan produktifitas fitoplankton (Nontji, 1984 in Zuna, 1998), yang kemudian menjadi landasan penting bagi produksi perikanan di sekitarnya.

Produksi ikan nonbudidaya dalam hal ini adalah jenis udang api-api (Metapenaeus spp) memiliki kelimpahan yang tinggi di lokasi yang subur dengan ukuran mangrove yang tinggi yaitu pada Kanal II. Diduga daerah perairan yang memiliki mangrove yang baik menyediakan tempat bernaung serta menyedikan bahan makanan yang melimpah bagi larva ikan maupun udang. Suatu hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan linear yang signifikan antara produksi udang dan ukuran mangrove, yang dinyatakan oleh persamaan y = 5,437 + 0,1128x. Dimana y adalah produksi udang dan x merupakan area mangrove. Hubungan ini mengindikasikan bahwa pengurangan hutan pasang surut seperti misalnya untuk keperluan industri dan pertanian, akan menyebabkan pengurangan produksi udang tersebut (Martosubroto & Naamin, 1977).

Hal ini dapat dijelaskan pula oleh kandungan klorofil-a dan oksigen terlarut (DO) yang tinggi pada lokasi tersebut (Kanal II). Kandungan klorofil-a dapat menggambarkan besarnya biomasa fioplankton dan hanya fitoplankton yang memiliki klorofi-a, sementara fitoplankton merupakan mata rantai pertama dalam rantai makanan. Sehingga keberadaan fitoplankton sangat berpengaruh terhadap kelimpahan populasi hewan yang ada di perairan sekitarnya (Nur, 2002) dan

(22)

semakin tinggi biomasa fitoplankton akan semakin tinggi kandungan oksigen terlarut (DO) dalam perairan karena proses fotosintesis yang dilakukannya.

Menurut Soeroyo (1987), keberadaan udang di daerah mangrove disebabkan banyaknya ketersediaan pakan. Keberadaan udang tersebut tidak terlepas kaitannya dengan kelimpahan fitoplankton. Karena dalam siklus hidupnya udang memiliki hubungan terhadap keberadaan fitoplankton yang juga melimpah di Kanal II yaitu sebagai pakan alami. Menurut Suyanto dan Mujiman (2003), bahwa Diatomae dan Dinoflagellatae merupakan makanan bagi udang pada saat stadium zoea, kemudian pada stadium mysis udang memakan plankton dari jenis

Protozoa, Rotifera, Balanus dan Copepoda. Dan fitoplankton dari jenis

Cyanophyceae merupakan makanan yang baik bagi larva udang.

Rathod dan Kusuma (2006) menambahkan, Dinoflagellata dan diatom

merupakan makanan yang penting bagi udang khususnya dari jenis Metapenaeus

sp. Kemudian Primavera dan Lebata (1995) juga menambahkan bahwa lingkungan mangrove merupakan lingkungan yang cocok bagi udang. Kondisi lingkungan mangrove merupakan lingkungan dengan substrat yang lunak, hal ini memberikan kenyamanan bagi udang terkait kebiasaan dan cara makannya. Karena beberapa jenis udang seperti Metapenaeus spp memiliki kebiasaan menggali (burrowing), sehingga substrat di mangrove sangat cocok bagi kebiasaan udang tersebut.

Akan tetapi berbeda halnya dengan kondisi di atas, berdasarkan Gambar 18 dan hasil uji menggambarkan bahwa produksi budidaya tambak tidak memiliki perbedaan yang nyata di tiap Kanal dan memiliki hubungan atau korelasi yang negatif terhadap keberadaan mangrove. Produksi ikan budidaya rata-rata tertinggi terdapat pada tambak di Kanal III yang memiliki ukuran mangrove terkecil dan produksi terendah terdapat pada tambak di Kanal II dengan ukuran mangrove terbesar. Sehingga kondisi tersebut memberikan penjelasan bahwa peningkatan kegiatan budidaya tambak baik secara intensif maupun semi intensif dalam rangka pencapaian peningkatan produksi, akan mengakibatkan tekanan terhadap keberadaan mangrove. Sebab peningkatan produksi budidaya dapat dilakukan dengan pembuatan tambak yang lebih besar dan peningkatan padat penebaran benih dengan cara membuka areal mangrove, sehingga luasan mangrove menjadi

(23)

lebih sempit. Sehingga keberadaan mangrove sebagian besar dapat dijumpai hanya pada daerah di sepanjang sungai atau saluran air (Kanal).

Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Natharani (2007), yang menjelaskan bahwa keberadaan mangrove tidak selamanya berpengaruh terhadap produksi ikan budidaya. Pada dasarnya terdapat beberapa faktor lain yang sangat menentukan terhadap keberhasilan kegiatan budidaya tambak. Diantaranya adalah padat penebaran dan kualitas benih, sumberdaya manusia (SDM) dan sarana serta prasaran yang menunjang kegiatan budidaya tambak. Tidak lupa pula pengelolaan tambak yang ada sangat berpengaruh besar terhadap keberhasilan produksi budidaya.

Berdasarkan Gambar 18, produksi ikan budidaya memiliki hubungan atau korelasi positif dengan kandungan klorofil-a dalam perairan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa kandungan klorofil-a dapat menggambarkan biomassa fitoplankton dalam perairan. Sementara keberadaan fitoplankton dalam tambak dibutuhkan sebagai pakan alami dari ikan budidaya (Vannucci, 1998). Berdasarkan data, tambak yang berada pada Kanal III memiliki produksi ikan yang tinggi, hal ini dikarenakan di dalam tambak tersebut terdapat adanya klekap

yang melimpah sebagai pakan alami dari komoditi budidaya yaitu ikan bandeng. Sementara klekap merupakan campuran berbagai jasad renik yang tumbuh di dasar tambak dan penyusun utama dari klekap tersebut adalah Diatom dan

Cyanophyceae yang merupakan jenis dari fitoplankton (Soeseno, 1983).

Namun keberadaan klekap tidak serta merta disebabkan oleh keberadaan mangrove. Menurut penuturan salah seorang pemilik, tambak untuk menumbuhkan klekap di dalam tambak memerlukan suatu upaya, yaitu dengan pemberian pupuk dan pengeringan dasar tambak yang memerlukan intensitas cahaya yang tinggi. Sementara keberadaan mangrove di pelataran tambak dapat menjadi penghalang bagi penyinaran matahari ke dalam tambak. Dengan demikian pengelolaan tambak yang baik juga berperan dalam keberadaan klekap

di dalam tambak.

Pada saat penelitian, dalam kegiatan budidaya tambak memperlihatkan adanya suatu fenomena yaitu salinitas dalam tambak yang relatif sangat tinggi. Hal ini disebabkan oleh para pemilik tambak yang jarang melakukan pergantian

(24)

air tambak dan karena adanya proses penguapan yang mengakibatkan salinitas menjadi sangat tinggi. Berdasarkan data hasil penelitian yang dilakukan nilai salinitas di dalam tambak berkisar antara 42,33 - 50,44 ‰. Pada kisaran nilai salinitas tersebut kondisi di lokasi penelitian dapat digolongkan ke dalam perairan

hypersaline (Effendi, 2003).

Nilai salinitas yang tinggi dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan organisme air yang di dalamnya, yaitu dapat memperlambat laju pertumbuhannya. Karena sebagian besar energinya banyak digunakan untuk proses osmoregulasi dalam usaha menjaga keseimbangan tekanan cairan tubuh dengan lingkungannya (Poernomo, 1978 in Gunarto et al, 2003). Hasilnya berdasarkan penuturan sebagian para pemilik tambak, produksi budidaya yang diperoleh untuk jenis bandeng memiliki ukuran yang kerdil pada saat panen, sekitar kurang lebih 6 -7 bulan masa pemeliharaan.

Melihat adanya perbedaan hubungan antara produksi ikan budidaya dan nobudidaya terhadap keberadaan mangrove, tentunya dibutuhkan suatu pemikiran mengenai bagaimana mengelola ekosistem mangrove agar menunjang kedua kegiatan perikanan tersebut. Keberadaan mangrove perlu dilestarikan agar dapat dimanfaatkan secara ekologis dan ekonomis. Secara ekologis keberadaan mangrove dapat meningkatkan produktifitas perairan yang memberikan kenyamanan bagi sumberdaya ikan. Hal ini akan diikuti pula oleh meningkatnya produksi sumberdaya ikan tersebut, sehingga akan mendatangkan keuntungan bagi manusia sebagai konsumen dari segi ekonomis.

Berdasarkan data yang diperoleh, luasan mangrove pada tiap Kanal hanya berkisar sebesar 3,329 – 4,566 hektar dengan panjang Kanal rata-rata sebesar 879,81 meter dan lebar rata-rata mangrove ke arah kanan kiri Kanal hanya sebesar kurang dari 20 meter. Hal ini membuat kondisi mangrove kurang ideal dan optimal secara ekologi. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 201 tahun 2004 tentang kriteria baku dan pedoman penentuan kerusakan mangrove, terdapat penentuan sebesar 50 meter bagi sempadan sungai mangrove ke arah kanan kiri dari garis pasang tertinggi air sungai yang masih dipengaruhi pasang air laut. Sehingga kondisi saat ini di sepanjang Kanal hanya memberikan kondisi penutupan mangrove sebesar 47,76% (Kanal I), 51,78%

(25)

(Kanal II) dan 36,11% (Kanal III) dari kriteria baku. Sehingga terlihat hanya Kanal II yang memiliki kriteria dengan kondisi mangrove yang baik.

Gambar 20 memperlihatkan kondisi gabungan antara keberadaan mangrove terhadap produksi ikan budidaya dan nonbudidaya. Pada Gambar tersebut terlihat adanya perpotongan dari kedua kurva. Perpotongan tersebut merupakan titik keseimbangan (equilibrium) dimana diperoleh kondisi mangrove untuk menghasilkan produksi ikan budidaya dan nonbudidaya secara optimum. Keadaan optimum merupakan keadaan yang baik bagi faktor lingkungan untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan mahluk hidup. Sehingga pada gambar tersebut diperoleh suatu ilustrasi mengenai optimasi rasio antara lahan mangrove dengan lahan pesisir. Berdasarkan Gambar 20, luasan mangrove tiap Kanal kurang lebih sekitar 4 hektar merupakan kondisi dengan produksi ikan yang optimum, baik dari segi budidaya maupun nonbudidaya.

Namun kondisi tersebut tidak bisa untuk dijadikan suatu pedoman atau dasar dalam penentuan luas mangrove optimum. Mengingat ukuran atau kawasan yang menjadi objek penelitian serta kajian yang dilakukan relatif sempit. Karena masih terdapat suatu kajian yang berperan penting dalam penentuan luas optimum mangrove, yaitu dilihat dari aspek ekonomi. Sehingga penilitian ini hanya berusaha mengilustrasikan mengenai optimasi kondisi mangrove yang harus dipertahankan atau ditambahkan agar didapat keuntungan dari keberadaan mangrove baik secara ekonomis maupun ekologis. Sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 201 tahun 2004, kriteria baku kondisi penutupan mangrove yang baik bagi sempadan sungai mangrove yaitu 50 meter ke arah kiri kanan dari garis pasang tertinggi air sungai, dengan penutupan sebesar ≥ 50% dan jumlah tegakan ≥ 1000 pohon/hektar.

4.3.2 Implikasi penelitian bagi pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan pesisir Desa Grinting

Melihat kondisi hutan mangrove di lokasi penelitian yaitu di Desa Grinting, menggambarkan kondisi yang masih jauh dari ideal. Sebab luasan penutupan total hutan mangrove yang terdapat di Desa Grinting hanya sebesar < 50% dari luas kawasan pesisir rata-rata tiap Kanal. Hal yang perlu dilakukan adalah diadakannya kegiatan rehabilitasi untuk memperbaiki dan menambah

(26)

luasan hutan mangrove agar ideal. Secara garis besar teknik rehabilitasi kawasan mangrove terbagi dalam dua lokasi sasaran, yaitu rehabilitasi pada areal jalur hijau mangrove dan rehabilitasi pada areal di luar jalur hijau mangrove (Onrizal, 2002).

4.3.2.1Rehabilitasi pada areal jalur hijau mangrove

Kegiatan rehabilitasi yang dilakukan pada areal jalur hijau mangrove harus mendukung fungsi lindung kawasan mangrove tersebut. Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan adalah reboisasi atau penghijauan dengan jarak yang cukup rapat (1 x 1 m) dan ditanam dengan jenis mangrove yang sesuai dengan kondisi biofisik kawasan tersebut. Pada areal tersebut tidak dibenarkan adanya kegiatan selain kegiatan yang berhubungan dengan penanaman (reboisasi atau penghijauan). Pada lokasi penelitian keberadaan mangrove pada sungai utama dan saluran air atau Kanal merupakan mangrove yang harus dipelihara dan dijaga kelestariannya. Sehingga keberadaan mangrove tersebut dapat dapat dikategorikan kedalam kawasan atau areal jalur hijau mangrove.

4.3.2.2Rehabilitasi pada areal di luar jalur hijau mangrove

Berdasarkan fungsinya, areal di luar jalur hijau mangrove dapat berupa hutan budidaya. Rehabilitasi terhadap lokasi ini harus memperhatikan kondisi biofisik, sosial ekonomi masyarakat sekitar dan status kawasan. Agar tidak terjadi tumpang tindih pihak yang berwenang dalam melakukan pengelolaan terhadap suatu kawasan. Pengelolaan untuk kawasan tersebut dapat dilakukan dengan sistem silvofishery. Perbandingan luasan antara mangrove dan tambak pada sistem

silvofishery didasarkan pada status kawasan mangrove, kondisi tegakan dan tujuan pengelolaan.

Berdasarkan Perum Perhutani terdapat dua macam perbandingan antara mangrove dan lahan tambak yang dianggap dapat menjamin kelestarian ekosistem mangrove dan kelangsungan usaha tambak, yaitu sebesar (1) 80:20 diamana 80% areal berupa mangrove dan 20% berupa tambak dan (2) 30:70 dengan 30% berupa mangrove dan 70% berupa tambak. Perbandingan 80:20 diterapkan pada ekosistem mangrove yang masih utuh, sedangkan perbandingan 30:70 diterapkan

(27)

pada ekosistem mangrove yang telah dibuka atau banyak digarap guna peruntukan lain.

Berbagai penelitian lain dilakukan terkait dengan perbandingan yang optimum antara mangrove dan tambak, seperti yang dilakukan oleh Zuna (1998) yang menghasilkan rasio empang parit sebesar 54:46 yang mencoba melihat dari segi ekonomi dan ekologi walaupun dalam lingkup yang masih terbatas. Kemudian penelitian lain dilakukan oleh Nur (2002) yang menghasilkan optimasi rasio empang parit dengan lahan hutan mangrove sebesar 50:50 dan 60:40 yang menghasilkan nilai optimum bagi pemanfaatan ekosistem mangrove secara lestari untuk tambak tumpangsari. Berbagai perbedaan pendapat pada beberapa penelitian tersebut memberikan penjelasan bahwa perlu adanya kajian lebih lanjut untuk menentukan luas mangrove dan tambak yang optimal.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, kondisi pertambakan di Desa Grinting sebagian besar hanya berupa hamparan tambak. Sehingga hal yang perlu dilakukan adalah melakukan kegiatan budidaya ramah lingkungan dengan sistem

silvofishery. Secara umum terdapat beberapa bentuk dalam sistem tersebut, untuk menunjang kegiatan perikanan budidaya sistem silvofishery dengan bentuk komplangan merupakan alternatif yang tepat untuk dilakukan di kawasan pertambakan Desa Grinting. Selain itu, untuk menunjang keberhasilan budidaya perlu adanya peningkatan kualitas air dengan cara normalisasi irigasi tambak mengingat kondisi kualitas perairan di lokasi yang kurang baik.

Gambar

Gambar 9. Jumlah penduduk Desa Grinting berdasarkan tingkat pendidikan
Gambar 11. Ilustrasi keberadaan vegetasi mangrove di Desa Grinting
Gambar 13. Struktur Organisasi Kelompok Tani Hutan (KTH) Desa Grinting
Gambar 14. Jumlah tegakan rata-rata vegetasi mangrove tiap Kanal        (individu/100m 2 )
+7

Referensi

Dokumen terkait

Artinya nilai signifikan yang diperoleh lebih kecil dari 5% (0,00 &lt; 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran inkuiri terbimbing berpengaruh terhadap hasil

1 Para Wajib Pajak yang telah melakukan transaksi pemindatanganan harta dalam bentuk penjualan, pengalihan/tukar-menukar dan penyertaan dalam bentuk harta (inbreng atau

Variabel ekonomi makro yang digunakan dalam penelitian ini sebagai penentu tingkat pengembalian investasi saham, antara lain : tingkat pengembalian pasar (dalam model

Faktor keluarga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengaruh pihak-pihak yang memiliki hubungan darah secara langsung serta kerabat dekat terhadap status anak

- Pengamanan web server dari PHP Shell (Pengujian sebelum diamankan dan setelah diamankan) (Linux) - Eksploitasi PHP 7 (bypass disable_function &amp; open_basedir)

Alasan tingginya disiplin pada siswa kelas XII SMAN 3 Semarang tersebut juga terkait dengan penilaian siswa yang positif mengenai dimensi- dimensi dari sekolah, antara

1. Abdul Muhaya, M.A, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang dan pembimbing I. Muchsin Jamil, M.Ag, selaku pembimbing II yang telah berkenang

Analisis bivariat menggunakan analisis chi-square 11,13 untuk menilai pengaruh masing- masing variabel independen utama yaitu jumlah leukosit dan variabel lainnya