• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Teknik Penangkaran Ular Sanca Hijau (Chondropython viridis) di CV Terraria Indonesia dan Taman Reptilia Taman Mini Indonesia Indah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Teknik Penangkaran Ular Sanca Hijau (Chondropython viridis) di CV Terraria Indonesia dan Taman Reptilia Taman Mini Indonesia Indah"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

KAJlAN TEKNIK PENANGKARAN

ULAR SANCA HIJAU

(Chondropjttlzon viridis)

DI

CV

TERRARIA INDONESIA DAN TAMAN REPTILIA

,

TAMAN MINI INDONESIA INDAH

.. 1

Atit Kusuma Hapsari

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA KUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

Atit Kusuma Hapsari (E03498045). Kajian Teknik Penangkaran Ular Sanca Hijau (Chondropython viridis) di CV Terraria Indonesia dan Taman Reptilia Taman Mini Indonesia Indah. (Di bawah bimbingan Ir. Agus Priyono, MS dan Ir. Burhanuddin Masy'nd, MS).

Pemanfaatan ular oleh manusia semakin beragan1 macamnya, diantaranya sebagai obat, bahan baku produk fashion, dan juga sebagai binatang peliharaan. Makin beragam dan banyaknya pemanfaatan ular oleh manusia dapat mengakibatkan semakin tingginya tingkat permintaan akan ular. Jika melihat kondisi lingkungan saat ini, dimana tekanan terhadap habitat sahva semakin tinggi, maka sudah saatnya manusia tidak lagi mengandalkan dam untuk memenuhi kebutuhan &an satwa.

Penangkaran adalah jalan keluar untuk dapat memenuhi kebutuhan sahva tanpa hams memburunya di alanl. Mengelola usaha penangkaran bukanlah ha1 yang mudah, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Penelitian ini menitikberatkan pada aspek teknis penangkaran. Penelitian dilakukan di CV Terraria Indonesia dan Taman Reptilia TMII. Kedua penangkaran tersebut mempunyai tujuan yang berbeda dalam pengelolaan penangkarannya. CV Terraria bergerak untuk tujuan ekonomi, sedangkan Taman Reptilia TMIl bergerak untuk tujuan wisata.

CV Terraria dan Taman Reptilia TMII memiliki bentuk dan sistem penangkaran yang sama, yaitu penangkaran exsitu dengan sistem pengelolaan intensif. Dalam pengadaan bibit, CV Terraria mendapatkannya dari alam dan hasil breeding, sedangkan Taman Reptilia TMII mendapatkannya dari penangkar lain, sumbangan, dan import. PemiIihan bibit di CV Terraria dilakukan berdasarkan warna ular, kesehatan ular, dan asd daerah. Kriteria tersebut dimaksudkan supaya didapatkan calon induk yang berkualitas. Di Taman Reptilia, pemilihan bibit berdasarkan keunikan jenis sehingga dapat menarik perhatian pengunjung.

(3)

minggu dan calon induk selama 2 tahun. Di Taman Reptilia, teknik adaptasi dan aklimatisasinya sama untuk semua jenis, lamanya 1-2 minggu.

Sistem perkandangan di CV Terraria dibagi berdasarkan umur ular, ukuran ular, fungsi kandang. Taman Reptilia membaginya berdasarkan fungsi saja. Bentuk dan ukuran kandang yang digunakan dikedua tempat tersebut berbeda. CV Terraria memilih bentuk dan ukuran kandang yang kecil dan sederhana. Bahan pembuatan kandang terbuat dari plastik dengan substrat berupa kertas koran. Pemilihan tersebut didasarkan atas kepraktisan, kemudahan dalam memperoleh kandang, dan juga keefisienan tempat. Kandang di Taman Reptilia berukuran besar dan terbuat dari kaca. Kandang didesain seindah mungkin supaya terlihat alami dan menarik.

Dalam ha1 pakan, jenis pakan yang diberikan di CV Terraria dan Taman Reptilia berbeda. CV Terraria memberikan tikus putih seminggu sekali, sedangkan Taman Reptilia memberikan anak ayam sebagai pakan utama dan marmut sebagai pakan selingan. Pemberian pakan utama dan pakan selingan dilakukan seminggu sekali pada hari yang berbeda. Pakan selingan diberikan untuk menutupi kurangnya zat kalsium pada anak ayam. Mattison (1988) menyatakan bah~ra kandungan zat kalsium pada anak ayam tergolong rendah sehingga kurang baik untuk pertumbuhan sahva. Pakan diberikan dalam keadaan hidup.

Penyakit pada ular dapat disebabkan oleh stres, sanitasi kandang

yAg

kurang baik, dan tcrtular penyakit yang berasal dari daerah lain (Maiiison 1988; Hoaegger, 1975). Penyebab penyakit yang terakhir merupakan ha1 yang dapat menyebabkan penyakit parah ataupun kematian pada ular. Penyakit yang menyerang ular di CV Terraria adalah mouth-rot> radang gusi, flu, kutu, cacing, dan konstipasi. Penyakit yang menyerang ular di Taman Reptilia adalah mouth-rot, radang gusi, kutu, cacing, maag, flu, dan anoreksia. Yenyakit yang sering menyerang ular di kedua tempat tersebut umumnya adalah penyakit yang ringan, oleh karena itu penanganannya dilakukan sendiri oleh pengelola. Obatdbatan yang digunakan merupakan obat-obatan yang digunakan oleh manusia, hanya dengan dosis yang berbeda.
(4)

oleh induknya atau dipindahkan ke inkubator. Suhu inkubator berkisar antara 30°C-32°C dengan

RH

sekitar 90 %-92 %. Telur akan menetas dalam 53 hari.

Berbeda dengan CV Tenaria, kegiatan reproduksi di Taman Reptilia bukanlah hal yang dipnoritaskan. Tidak ada perlakuan khusus terhadap ular-ular yang akan berkembang biak. Ular-ular yang berkembang biak di Taman Reptilia adalah ular-nlar yang dikandangkan lebih dari satu ekor ular dalam satu kandang, seperti ular Taliwangsa, ular Karung, ular Dipong, dan ular Sanca Batik. Telur-telur yang dihasilkan biasanya dibiarkan di kandang atau dipindahkan ke kandang karantina dan diletakkan di suatu kotak dengan substrat b e ~ p a vermikulit. Persentase telur yang dapat menetas tidaklah banyak, kurang dari 50 %.

Pengamatan terhadap perilaku reproduksi dilakukan di CV Terratia pada ular Sanca Hijau (Chonropyfhon viridis) yang berasal dari Papua dan Kepulauan AN. Perilaku reproduksi yang tejadi meliputi perilaku mendekati pasangan, courtship, dan kopulasi. Waktu rata-rata yang diperlukan oleh ular Sanca Hijau yang berasal dari Papua untuk melakukan pendekatan, courtship, dan kopulasi secara berturut-tumt adalab 9,67 menit, 123 menit, dan 621,67 menit. Total waktu mulai dari pendekatan hiigga selesai kawin adalah 932 menit atau 15 jam 32 menit. Sedangkan untuk ular Sanca Hijau yang b e d dari Kepulauan AN, waktu rata-rata yang diperlukan untuk pendekatan, courtship, dan kopulasi adalah 13 menit; 101,67 menit, dan 680,67 menit. Total walcdunya 944 menit atau 15 jam 44 menit. Dari hasil perhitungan didapatkan thi,,, untuk pendekatan, courtship, dan kopulasi masing-masing sebesar 0,79; 0,38; dan 0,30. Jika dibandigkan tub, yang nilainya sebesar 4,604 maka dapat diambil kesimpulan bahwa durasi dari tahapan perilaku reproduksi ular Sanca Hijau (Chondropython viridis) yang berasal dari Papua dan Kepulauan Am tidak berbeda nyata atau dapat dikatakan relatif sama.

(5)

KAJlAN

TEKNM PENANGKARAN

ULAR SANCA HIJAU

(Chondropython viridis)

Dl CV TERRARIA INDONESIA DAN TAMAN REPTILU

TAMAN MINI INDONESIA INDAH

ATIT KUSUMA HAPSARI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gela~

Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOSOR

BOGOR

(6)

Judul Penelitian : K ~ J I A N TEKNIK PENANGKARAN ULAR SANCA HIJAU (Chondropython viridis) DI CV TERRARIA INDONESIA DAN TAh4AN REPTILIA TAMAN MMI INDONESIA MDAH Nama Mahasiswa : ATlT KUSUMA HAPSARI

Nomor Pokok : E03498045

Departemen / Fakultas : KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN / KEHUTANAN

Pembimbing 1 Pembimbing I1

f

Ir. Agus Priyono, MS Ir. Burhanuddin Masy'ud, MS Tanggal : Tanggal :

Mengetahui :

Ketua Departemen Konservasi Surnberdaya Hutan Fakultas Kehutanan

Tanggal: :i

FEB

2004

(7)

RIWAYAT HIDUP

Atit Kusuma Hapsari lahir di Jakarta tahun 1979. Pemah bersekolah di Sekolah Dasar Negeri VI Ciputat Tangerang dan lulus pada tahun 1992. Kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama 19 di Jakarta dan lulus pada tahun 1995. Setelah itu, bersekolah di Sekolah Menengah Umum 70 Bulungan Jakarta dan lulus pada tahun 1998. Selama menuntut ilmu di SMU 70, pemah mengikuti kegiatan ekstrakulikuler Palang Merah Remaja (PMR) dan Rohani Islam.

(8)

KATA PENGANTAR

Skripsi dengan judul "Kajian Teknik Penangkaran Ular Sanca Hijau (Chondropython viridis) di CV Terraria Indonesia d a i Taman Reptilia Taman Mini Indonesia Indah" ini disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan di CV Terraria Indonesia dan Taman Reptilia Taman Mini Indonesia Indah selama 4 bulan. CV Terraria Indonesia dan Tanian Reptilia TMII menipunyai tujuan yang berbeda dalam pengelolaan penangkarannya, yang satn bergerak untuk tujuan ekspor dan yang satunya lagi bergerak untuk tujuati wisata. Skripsi ini membahas mengenai aspek teknis penangkaran yang diterapkan di kedua tempat tersebut.

Bab pertama &lam skripsi ini berisi tentang latar belakang, tujuan dan manfaat dari penelitian. Bab kedua me~apakan tinjauan pustaka hasil studi literatur mengenai biologi ular secara m u m dan juga mengenai aspek teknis penangkaran nlar. Tinjauan pustaka ini dijadikan bahan acuan atau pun bahan perbandingan dengan kondisi di lapangan. Bab ketiga adalah metodologi penelitian yang berisi mengenai lokasi dan waktu penelitian, teknik pengumpulan data di lapangan, dan pengolahan data yang telah diperoleh. Kondisi umum kedua pemsahaan dapat dilihat pada bab keempat. Bab kelima l n e ~ p ~ k a ~ l liasil dan penibahasan penelitian ini yaig nieliputi bentuk dan sisteni penangkaran, pengadaan bibit, adaptasi dan akliniatisasi, perkandangan, pakan satwa, penyakit dan kesehatan, reproduksi dan teknik penetasan telur, perilaku reproduksi, clan penilaian aspek teknis penangkaran. Bab keenam atau bab terakhir dari skripsi ini berisi kesimpnlan dan saran dari penelitian.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini mungkin masih banyak kekurangannya, oleh karena itu saran dan kritik yang dapat memperbaiki kekurangan skripsi ini akan diterima dengan pikiran terbuka.

(9)

DAFTAR IS1

DAFTAR IS1 ... ;... i ...

DAFTAR TABEL 111

DAFT- GAMB AR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN v

I . PENDAHULUAN

A

.

Latar Belakan 1

B . Tujuan Penelitian 2

C

.

Manfaat Peneliiian ... 2 I1

.

TINJAUAN PUSTAKA

A

.

Klasifikasi Ular ...

,

... 3 B . Morfologi Ul ar ... ... 3 C

.

Distribusi dan Geografi Ular 4 D

.

Perilakn Ular ... 4 1 . Basking (be je~nur) ... 5

...

2 . Mak an 5

3 . Shedding (ganki kulit)

...

3 4

.

Reproduksi ... 6

.

.

...

5 . Pertahanan d m 7

...

E

.

Pemanfaatan Ular 8

. .

F . Defimsi Penangk arm ... 9

G . Ketentuan-ketentuan Dalam Usaha Penangkaran ... 9 ...

H . Aspek Teknis Penangkaran 10 1 . Bentuk dan Sistem Penangkar 11

. .

...

2 . Pengadaan Blbtt I 1

...

3

.

Adaptasi

dan

Aklimatisasi 11

...

4

.

Perkandangan 12

...

.

5 Pakan dan Air 12

...

6

.

Fenyakit dan Perawsm Kesehaian 13

7

.

Reproduksi

dan

Teknik Penetasan Telu 15 ...

.

8 Pemcliharaan Satwa 17

...

.

(10)

HI. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

.

. .

. . . .

. . .

.

. . .

..

...

.. .

..

.

. . .

. . .

.. .

. .

. . .

. . .

. . .. .

.

. . . .

..

. .. 19

. .

B. Metode penellban ..

.

..

.

. . .

. . .

. .

. .

. . .

.

.

. . .

. .

. . . .

..

. .

. . .

. . .

. . .

.

. .

.

. . .

. .

. . . . , , . . . , . . . . ,

.

.19

1. Alat-alat.: .

. .

. . .

.

. . .

. .

. . .

. .

. . . .

.

. .

.

. . .

.

. . . .

.

. .

.

. . .

. . . .

. . .

. .

. . . .

.

, . . . , . . . ,

.

, . . . .. . I 9 . 2. Metode pengambilan data 9 a. Studi literatur.. . . .

.

. . .

. . .

. . .

. .

. . .

. .

.

. .

. . .

. .

. . .

.

. . .

. . .

. . .

. .

. . .

.

. . . . 19

b. PengamSilan data di lapangan 19 3. Metode analisis data 21 a. Perilaku reproduksi ... ... . ..

...

... ...

...

... ...

...

... ... ... .. . ... ... . .. ... ... ... ... .. 21

b. Penilaian aspek teknis penangk

awn...

22

N . KONDISI UMUM PERUSAHAAN A. CV Ternria Indonesia.. . .

. . .

. . .

. . .

. . .

. .

24

B. Taman Reptilia Taman Mini Indonesia Indal 25 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Benluk dan Sistem Penangkar 27 .

.

B. Pengadaan Blb~t.. . .

. . . .

. . .

. .

. . .

. . .

. . .

. . . .

. . .

. . .

. . .

.

.

.

. . .

. . .

. . . .27

C. Adaptasi dm Aklimatisas' 29 D. Perkandangan ...

...

.

..

... ...

...

... ... ... ... ... ... ...

...

... ... ...

...

... ...

...

... ... ...

...

...

3 I E. Pakan Satwa

...

... ... ...

...

...

...

... ...

... ...

... ... ...

... ...

...

...

... ...

...

... ...

...

...

....

.45

F. Penyakit dan Kesehatan.. . . .. .

..

. .

. . .

.

...

. . .

.

.

. . . . .. .

.. .

. . . ... .

. . .

. . . .. . .

.. ..

. 48

G. Reproduksi dan Teknik Penetasan Telur..

.

..

. . . .

.

..

. . .

. . .

.

. . .

.

. . .

. . .

.. 51

H. Perilaku Reproduksi..

. ..

. . .. .

. . .

..

. . .

. . .

5

I. Penilaian Aspek Teknis Penangkamn..

. . .

. ... .. . . ..

. . .

.. . .

..

. . .

.

. . .

.

. .

...

60

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

...

... ...

...

... ...

...

... ...

...

...

... ... ...

...

...

...

... ... ... ... 65

DAFTAR PUSTAKA .

.

. .. . . .

. ... . .

. . . . ..

. . .

. . .

.. ..

. . .. . .

..

. . . .

.. . .. . . ., ,

... ...

67
(11)

Tabel 1

.

Distribusi famili ular di dunia ... 4

Tabel 2 . Penyakit-penyakit akibat ketidakseimbangan zat makanan ... 14

Tabel 3 . Indikator dan penilaian terhadap aspek teknis penangkaran ... 22

Tabel 4

.

Jumlah pengunjung Taman Reptilia TMII ... 26 .

TabeI 5

.

Sumber bibit ular di CV Terraria dan Taman Reptilia TMII ... 27

Tabel 6 . Adaptasi dan aklimatisasi yang dilakukan di CV Terraria dan Taman Reptilia TMI

...

29 [image:11.599.88.523.105.510.2]

Tabe! 7 . Pembagian kandang ular di CV Terraria dan Taman Reptilia TMII ... 32 ... Tabel 8

.

Pengaturn pemberian pakan di CV Terraria dan Taman Reptilia TMII 45 Tabel 9

.

Durasi dan frehensi perilaku reproduksi ular Sanca Hijau (Chondropython

...

viridis) yang berasal dari Papua 56

Tabel 10 . Durasi dan frehensi perilaku reproduksi ular Sanca Hijau (Chondropython

viridis) yang berasal dari Kepulauan 56

(12)

DAFTAR GAMBAR

[image:12.595.101.502.114.530.2]

@unbar 1 . Struktur organisasi CV Terraria Indonesia ... 24

Gambar 2 . Struktur organisasi Tarnan Reptilia TMII 26 Gambar 3

.

Papan penunjuk kandang ... 39

Gambar 4

.

Denah kandang di CV Terraria Indonesia 42 Gambar 5

.

Denah kandang di Taman Reptilia TMII

...

44

Gambar 6

.

Peternakan tikus yang terdapat di CV Terraria ... 47

Ganlbar 7 . Alat sesing dengan ber~nacam ukuran ... 52

Gan~bar 8

.

Inkubator yang digunakan di CV Terraria ... 54

Gambar 9 . Telur ular Sanca Hijau (Chondropython viridis) yang telah menetas ... 54

Gambar i O . Perilaku mendekati pasangan ... 57

... Gambar 11

.

Perilaku bercumbu (courtship) ... 58

Gambar 12 . Perilaku kopulasi ... 59 ... Gambar 13 . Kandang untuk ular berukuran kecil 69 Gambar 14

.

Kandang untuk ular bedcuran sedan 69

... Gambar 15 . Kandang untuk ular berukuran besar 69

...

Gambar 16 . Kandang untuk ular berukuran sangat besar 69 ... Gambar 17 . Kandang pembiakkan 69

... Gambar 18 . Kandang pameran luar berukuran kecil 70 Gambar 19

.

Kandang pameran luar berukuran besar 70

... Gambar 20

.

Kandang pameran luar berukuran sangat besar 70

... Gambar 21 . Kandang pameran dalam berukuran kecil 70

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1

.

Gambar kandang ular yang dipergunakan di CV Terraria Indonesia ... 69

2 . Gambar kandang ular yang dipergunakan di Taman Reptilia TMII ... 70

3

.

Hasil pengamatan perilaku reproduksi ular Sanca Hijau (Chondropython viridis) yang berasal

dari

Papua ... 71

4

.

Hasil pengamatan perilaku reproduksi ular Sanca Hijau (Chondropyfhon viridis) y a ~ g berasal dari Kepulauan Aru ... 72

5 . Perhilungan uji beda terbadap rata-rata dari data durasi perilaku reproduksi ... 73

6 . Dab stock keadaan hewan di CV Terraria Indonesia ... 77

(14)

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ular merupakan salah satu hewan dari kelas Reptilia yang hidup di sebagian besar belahan dunia dan menghuni berbagai habitat, mulai dari hutan, padang pasir hingga perairan. Bentuk tubuhnya yang menyerupai pipa, tanpa lengan dan kaki, dan kulitnya yang bersisik adalah ciri-ciri u m m dari ular j a g sudah tidak asing lagi di,mata manusia.

Hubungan antara manusia dengan ular adalah hubungan yang unik dan kompleks. Sejak berabad-abad jlang lalu hingga sekarang, manusia memiliki persepsi yang berbeda- beda mengenai hewan reptilia ilii. Sebagian manusia menganggap ular adalah jelmaan setan yang berada di dunia untuk mengganggu kehidupan manusia. Berbagai macarn ramuan: mantra, dan jimat digunakan untuk menjauhkan ular dari din dan lingkungan mereka. Namun, ada juga manusia yang menganggap ular adalah hewan yang memiliki kekuatan untuk mempepanjang usia dan menyembuhkan berbagai macam penyakit.

Pemanfaatan ular oleh manusia diiakukan untuk berbagai macan1 tujuan. Ada orang- oraug yang memelihara dan menyembah ular karena mereka percaya ular memiliki kekuatan mistis. Selain itu, ular juga dipelihara untuk kesenangan dan hobi. Ular juga dimanfaatkan untuk obat dari berbagai macanl penyakit, mulai dari penyakit kulit hingga penpakit dalam. Dan yang tidak kalah populer adalah pemanfaatan kulit ular sebagai bahan baku dalan: produk-produk fashion, seperti dompet, sepatu, tas, dan jaket.

Beragamnya pemanfaatan ular oleh manusia yang kian lama kian meningkat menyebabkan tingginya tingkat permintaan akan ular. Pemenuhan terhadap permintaan tersebut diperoleh dari usaha penangkaran, tetapi ada juga yang berasal dari perburuan di dam. Perburuan ular di alam yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan penurunan popuiasi ular. Hasil penelitian Kelompok Studi Herpetologi Fakultas Biologi

UGM

menyebutkan bahwa di tahun 2001, jumlah ular rang ditangkap

dan

diperjualbelikan oleh pemburu di Yogyakarta adalah sebanyak 76.000 ekor ular per bulannya. Jika perburuan ini terus berlangsung, maka keseimbangan ekosistem akan terganggu. Dampaknya tidak hanya bagi lingkungan, tetapi juga bagi manusia. Oleh karena itu, perburuan liar h m s segera diatasi. Salah satu caranya adalah dengan menyadarkar, masyarakat mengenai damp* perbums1 liar terhadap ekosistem.
(15)

di Indonesia. Pada usaha penangkaran, satwa sengaja dikembangbiakkan dan hasilnya digunakan baik untuk tujuan konservasi maupun untuk tujuan komersial. Pengelolaan usaha penangkaran tidaklah semudah yang dibayangkan. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan oleh para penangkar untuk menjamin kelangsungan usahanya, antara lain aspek hukum, aspek ekonomi, aspek sosial budaya, dan juga aspek teknis penangkaran. Penelitian ini lebih dititikberatkan pada aspek teknis penangkatan. Aspek-aspek teknis tersebut meliputi bentuk dan sistem penangkaran, pengadaan bibit, adaptasi dan aklimatisasi, perkandangan; pakan dan air, penyakit dan perawatan kesebatan, serta reproduksi dan teknik penetasan telur.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum :

a. Mengetahui teknik-teknik penangkaran ular yang diterapkan pada ular Sanca Hijau (Chondropython viridis) di CV Terraria dan Taman Reptilia TMII.

b. Menilai dan membandingkan teknik-teknik penangkaran yang diterapkan di CV

Terraria dan Taman Reptilia TMII. 2. Tujuan Khusus :

a. Mengamati perilaku reproduksi ular Sanca Hijau (Chondropython viridis) yang berasal dari Papua dan Kepulauan

Aru

di CV Terraria.

b. Menganalisa persmaan dan perhedam perilaku reproduksi ular Sanca Hijau

(Chondropython viridis) yang berasal dari Papua dan Kepulauan.Am di CV Terraria.

C. Manfaat Penelitian

(16)

a.

TJNJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi Ular

Secara sistematik, ular Sanca Hijau (Chondropython viridis) dalam kelas Reptilia dapat diklasifikasikan Wattison, 1988; Goin et al., 1978), sebagai berikut :

Class Reptilia Ordo Testudines Ordo Rhynchocephalia Ordo Squamata

Subordo Amphisbaenia Subordo Serpentes

Family Boidae

Genus Chondropython

Species Chondropyrhon vrridis Subordo Sauna

Ordo Crocodylia

Ular termasuk dalam subordo Serpentes. Terdapat sebelas (1 1) famili ular yang tersebar di seluruh dunia, yaitu famili Typhlopidae, Anomalepidae, Leptotyphfopidae, Acrochordidae, Aniliidae, Boidae, Uropeltidae, Xenopeltidae, Colubridae, E!apidae, dan Viperidae (Goin et al., 1978; Moms &Moms, 1965).

B. Morfologi Ular

Ular memiliki tubuh yang panjang seperti pipa, seluruh tubulmya tertutup oleh sisik. Ukuran ular be-, mulai dari yang berukuran 100 milimeter hingja mencapai 9 meter (Goin et al.,1978). Panjang ekor ular tidak pemah lebih panjang dari badannya dan ekomya juga tidak bisa berregenerasi (Hedinger, 1975). Shuktur mata ular termasuk unik, ular tidak memiliki kelopak mata tapi di matanya terdapat suatu membran sebagai pelindung yang disebut brille (Moms & Morris, 1965). Monis & Morris (1965) juga menyatakan bahwa ular tidak memiliki telinga luar. Ular menangkap getaran suara melalui tulang rahangnya, kemudiz~ ke tdmg gang aLilli rxileitiskan getaran suzra ierse'o-ti. Ulaz mevipunyai l i h h yang panjang dan bercabang, lidah ini menangkap paxtikei kimia

dari

udara. Hal ini memiliki peranan penting dalam mengidentifikaji mangsa, musuli, dan juga pasqan (Goin et al.,
(17)

.

C. Distribusi dan Geografi UIar

Ular mendiami berbagai macam habitat di dunia, kecuali di kutub. Mereka dapat ditemui di bawah tanah, sungai, rawa, pepohonan, g u m pasir, bahkan laut. Terdapat

*

2700 jenis ular di dunia (Goin et al.,1978). Distribusi famili ular di dunia dapat dilihat pada tabel di

bawah ini.

Tabel 1. Distribusi famili ular di dunia.

aral dari An~erika Utara

(Sumber : Goin et al., 1978; Moms &Moms, 1965)

Penyebaran ular berbisa terbanyak di dunia terdapat di Asia, kedua di Amerika (hampir 100 jenis ular berbisa dapat ditemui di benua tersebut), ketiga di Afrika dan Australia dengan jumlah ular berbisa antara 70 hingga 80 jenis, clan yang terakhir adalah Eropa, yang hanya

memiliki 7 jenis ular berbisa (Moms & Moms, 1965).

D. Perilaku Ular

[image:17.595.85.472.199.464.2]
(18)

1. Basking (be jemur)

Ular, sebagai salah satu hewan reptilia, tergolong dalam hewan poikiloterm. Laju metabolisnya rendah dan ular tidak dapat memproduksi panas yang diperlukan untuk mempertahankan suhu tubuhnya (Goin et al., 1978). Reptilia hams menyerap panas dari lingkuugan, seperti tanah, air, udara, sinar matahari, dan juga permukaan dari tempat mereka beristirdlat. Pada pagi hari, ular akan keluar dari sarangnya untuk bebejemur hingga suhu tubuh yang diperlukan untuk beraktivitas tercapai. Perilaku iui dikenal dengan istilah basking. Suhu yang diperlukan oleh hewan reptilia untuk dapat melakukan aktivitas berkisar antara 4OC

-

46OC (Goin et al., 1978). Pada suatu usaha penangkaran, basking dilakukan pada pagi hari selama 15 menit per minggu (Junaedi, 1999).

2. Makan

Reutang menu makanan ular sangat lebar, dari serangga seperti rayap hingga babi &pat ditemukan dalam menunya (Monis & Monis, 1965). Untuk memperoleh makanan, ular sanca hijau mengamati mangsanya, saat mangsanya lengah ular &an menggigitnya dan membelitnya hiugga mangsa mati lemas. Setelah itu ular baru menelan mangsanya dengan posisi kepala terlebih dahulu (Kustiarto, 2002). Beberapa jenis ular tidak kesulitan dalam menelan mangsanya yang masill bergerak, namuu ada juga beberapa jenis ular yang tidak dapat melakukannya. Oleh karena itn, beberapa jenis ular melumpuhkan mangsanya terlebih dahulu sebelum memakannya. Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk melumpuhkan mangsa, yaitu dengan membelitnpa hingga lemas dan dengan bisanya yang beracun (Moms

& Moms, 1965).

3. Shedding (ganti kulit)

Proses shedding dimulai dengan penggosokan wajah ular pada suatu permukaan yang kasar. Setelah kdit di sekitar bibimya terkelupas, ular akan bergerak inaju untuk melepaskan kulit lamanya sedikit demi sedikit (Moms & Moms, 1965). Pada saat shedding, yang terkelupas adalah lapisan jaringan luar dari epidermis. Ketika siklus shedding tejadi, lapisan jaringan l u x akan terpisah secara simultan pada seluruh hagian tubuh der~gan iapisan jarir.gzn dalm. Lapisan janngan dalam im meuggantikan lapism jaringan iuar yang telah terlepas (Goin et al., 1978).

(19)

kemungkinan kulit lamanya robek. Untuk mengatasinya, ular akan menggesek-gesekan badannya selama beberapa hari sampai kulit terakhimya terkelupas (Moms & Morris, 1965). Di penangkaran, anakan ular yang mengalami kesulitan saat shedding akan dipindahkan ke kandang yang dilengkapi dengan Iumut basah (Junaedi, 1999).

Anak ular berganti kulit lebih sering daripada ular deivasa (Moms & Moms, 1965). Morris & Moms (1965) juga menyatakan bahiva frekuensi pergantian kulit lebih dipengamhi oleh temperatur lingkungan. Kenaikan 10°F akan menyebabkan peniugkatan frekuensi , shedding menjadi dua kali lebih banyak. Proses shedding dapat berlangsung selama beberapa menit hingga beberapa hari. Pada saat ini ular dalam kondisi yang rentan sehingga umumnya ular akan bersembunyi selama beberapa hari.

4. Reproduksi

Musim berbiak ular di daerah temperate diatur oleh tem~jeratur clan photoperoidisme, sedangkan di daerah tropika kebanyakan ular dapat bereproduksi sepanjang tahun (Goin et al., 1978). Reptil siap berbiak uralau belum mencapai ukuran maksimalnya. Pada beberapa jenis, kematangan seksual lebih tergautung pada ukuran (Blum, 1986). Ular dm kadal butuh ~vaktu kira-kira tiga tahun untuk mencapai kematangan seksual (Goin et al., 1978). Di penangkaran, ular biasanya akan berbiak setelah ganti kulit. Ular yang akan berbiak biasanya tidak memiliki nafsu makan. Ular jantan dikatakan siap berbiak jika gelisah saat didekatkan dengan ular betina, sedangkan betina yang siap berbiak akan mendekati jantan tersebut (Junaedi, 1999).

Tahapan perilaku reproduksi pada sebagian besar vertebrata terdiri dari dua fase (Blum, 1986), yaitu :

a. Fase seksual

4 Mendekati pasangan

Pada tahap ini peran betina sangatlah pasif, ular jantanlah yang akan mendekati pasangannya. Ular jantan menemukan dan mengenali betina melalui bau (Moms &

Morris, 1965).

t Courtship (bercumhu)

(20)

membelit betina sambil meraba lubang kloaka betina. Ular betina yang mulai terangsang akan membalas dan mengikuti gerakan membelit dan melingkari yang dilakukan oleh ular jantan. Hal ini dilakukan hingga betina mengalami rangsangan yang ditandai dengan membesamya lubang kloaka (Sentanu, 1999).

t ' Kopulasi

Kopulasi adalah proses bersatunya organ reproduksi jantan dan betina (Moore, 1987). Kopulasi dimulai dengan masuknya organ reproduksi ular jantan (hemipenis) ke &lam kloaka betina dengan melakukan gerakan-gerakan untuk mendorong (Sentanu, 1999). Kopulasi dapat berlangsung selama beberapa menit, jam, bahkan ada juga y i g sampai beberapa hari (Moms & Moms, 1965).

b. Fase perawatan anak

Ular piton umumnya mengerami dan menjaga telumya hingga menetas. Ular dari genus ini termasuk temogenik, mereka dapat menaikan suhu tubuhnya hingga beberapa derajat dan suhu lingkungan untuk mengerami telumya (Blum, 1986).

Fertilisasi pada reptil umumnya tejadi beberapa saat setelah kopulasi, namun beberapa jenis ular di daerah temperate dapat menyimpan sperma yang masuk ke tubuhnya dan mengatur waktu terjadinya fertilisasi (Goin et al., 1978). Telur biasanya diletakkan di tempat-tempat yang tersembunyi, di bawah dedaunan, ataupun di lubang-lubang (Moms &

Morris, 1965). Jumlah telur yang dilmsilkan oleh induk betina bervariasi tergantung dari jellis ulampa. Python reticzrlnhu dapat bertelur hingga 80 butir telur, sedangkan Python molttnrs

dapat bertelur sebanyak 10-100 butir telur (Geus, 1992). Di penangkaran, penetasan dilakukan di inkubator. Dan hasil penelitian Junaedi (1999), rata-rata tingkat keberhasilan penetasan telur ular di penangkaran adalah 85,65 %. Setelah menetas, bayi ular lllemiliki struktur dan perilaku yang sama persis dengan induknya (Goin et al., 1978). Ba!i ular biasanya lebih agresif dari induknya (Moms &Moms, 1965).

5. Pertahanan din

Musuh utama ular adalah manusia, dan yang kedua adalah ular lain (Monis &

(21)

Umurnnya ular lebih memilih untuk menghindar bila bertemu dengan musuhnya, namun jika terpaksa ular juga memiliki beberapa cara untuk mempertahankan din. Ular memiliki wama dan corak yang berbeda-beda. Beberapa ular berbisa mempunyai wama pang mencolok untuk memberi peringatan kepada siapapun yang mendekatinya, namun ada juga ular tak berbisa yang meniru wama dan corak dari ular berbisa untuk menglundari din dari predator (Goin et al., 1978). Sclain itrl, beberapa ular lainnpa memiliki wama dan corak yang mirip dengan habitat mereka sehingga dapat mengelabui musuh ataupun mangsanpa. Ular derik dan kobra memiliki cam yang khas untuk mengusir pengganggunya (Moms & Moms, 1965). Ular derik menggoyangkan ekomya sehingga berderik untuk meruperingati dan mengusir pengganggunya, sedangki kobra menegakan tubuh depannya dan melebarkan daerah di sekitar lehernya, bahkan beberapa jenis kobra dapat meludahkan racun untuk melumpuhkan musuhnya. Ular yang tidak berbisa mempertahankan din dengan menggigit lawannya, menusuk dengan ekomya seperti Tjyhlops dan Oligodon, atau mendorong lawannya dengan kepala seperti ular m p u t (Moms & Moms, 1965).

E. Pemanfaatan Ular

Sejak dahulu ular telah banyak dimanfaatkan oleh manusia. Di India dan Birina, ular digunakan dalam suatu pertunjukan, contolmya adalab peniup seruling dengan ular kobranya (Morris & Morris, 1965). Selain ulamya itu sendiri, semua bagian dari ular juga dimanfaatkan untuk berbagai macam kebutul~an. Kulit ular banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan dasi, ikat pinggang, kantung tembakau, tas tangan, sepatu, koper, dan penutup kursi. Kulit ular bahkan juga telah digunakan untuk mencegah dan mengobati rematik, radang tenggorokan, krarn, sakit punggung, dan juga keseleo (Moms & Moms, 1965).

Daging 1lla.r tehh di!co~?sumsi o!sh masyarakat

&.

sc!urui~ be:dxin dunia. Dagii~g ular tersebut dikonsumsi sebagai bahan makanan ataupun obat (Morris & Moms, 1965). Pada tahun 1938 di Amerika Utara, menu .masakan yang terbuat dari ular derik dapat ditemui di restoran. Sebagai obat, daging ular serta lemaknpa dipercaya dapat mengobati gatal-gatal dan koreng-koreng (Wibowo, 2000). Daging ular juga dikonsumsi oleh orang-nrang Gina u n ~ mencegah dan mengobati berbagai macam penyakit termasuk TBC, malaria, dan epilepsi (Moms &Moms, 1965). Wibowo (2000) dalamartikelnya menyebutkan bahwa organ kobra diyakini mampu menyembuhkan sekaligus menangkal datangnya penvakit, empedv dm
(22)

penyakit dalam, dan 0taknj~a konon mampu meningkatkan gairah seksual. Dalam dunia medis, bisa ular dimanfaatkan untuk membuat serum sebagai pengobatan terhadap gigitan ular berbisa (Moms & Moms, 1965).

F. Definisi Penangkaran

Definisi penangkaran telah banyak dikemukakan oleh banyak orang. Pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 8 tahun 1999 disebutkan bahwa penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran tumbuhan dan sahva liar dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Pembesaran itu sendiri adalah upaya memelihara dan membesarkan benih atau bibit anakan dari tumbuhan dan satwa liar dengan tetap mempertahankan kemumian jenisnya. Helvoort (1986) dolorn Alikodra (1993) menyatakan penangkaran satwa liar addah perkembangbiakan dan pemeliharaan sahm liar dalam keadaan terkurung oleh manusia untuk mencapai tujuan tertentu.

Tujuan penangkaran satwa liar terbagi menjadi dua, jlaitu penangkaran untuk tujuan konservasi dan penangkaran untuk tujuan sosial-ekonomi-budaya. Penangkaran untuk tujuan konservasi adalah penangkaran yang menunjang usaha-usaha pelestarian jenis-jenis sahr-a serta plasma nutfahpya, scdangkan penangkaran untuk tujuan sosial-ekonomi-budaya adalah penangkaran yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia (Masy'ud, 200 1).

G. Ketentuan-ketentuan Dalam Usaha Penangkaran

Dalam UU No. 5 tahun 1990 dinyatakan bahwa pemanfaatan jenis sahva liar dapat dilaksanakan dalarn bentuk penangkaran. Kegiatan penangkaran dapat dilakukan oleh orang secara pribadi, badan hukum, koperasi, atau lembaga konservasi atas ijin menteri (PP No. 8

tahun 1999, pasal 9). Syarat-syarat yang hams dipenuhi dalam mendirikan suatu usaha penangkaran menurut PP No. 8 tahun 1999, adalah :

a. Mempekerjakan dan memiliki tenaga ahli di bidang penangkaran jellis yang bersangkutan. b. Memiliki tempat dan fasilitas penangkaran yang memenuhi syarat-syarat teknis.

c. Membuat dan menyerahkan proposal kerja.

Peraturan pemerintah tersebut juga mengatu mengenai kewajiban penangkar dalanl menyelenggarakan kegiatan penangkarannya, yaitu :

a. Membuat buku induk tumbuhan atau satwa liar yang ditangkarkan.

(23)

c. Membuat dan meuyampaikan laporan berkala kepada pemerintah.

d. Menjaga kemumian jenis sahva liar yang dilindung sampai pada generasi pertama.

Para penangkar juga diberi hak untuk menjual hasil penangkarannya dengan pertimbangan standar kualifikasi penangkaran (PP No. 8 tahun 1999), sebagai berikut :

a. Batas jumlah populasi jenis tumbuhan dan satwa hasil penangkaran. b. Profesior~alisme kegiatan penangkaran.

c. Tingkat kelangkaan jenis turnbuhan dan satwa yang ditangkarkan. ,

Hasil penangkaran yang boleh diperdagangkan adalah satwa liar generasi kedua dan generasi berikutnya (PP No. 8 tahun 1999; KepMen No. 522Kpts-1111997).

Terdapat empat kritena yang hams diperhatikan dalam mengembangkan komoditi sahva liar (Alikodra, 1993), yaitu :

a. Objek (satwa liar)

Populasinya di alam masih mencukupi, keadaan spesies dan proses pemeliharaannya serta pemanfaatannya relatif tidak berbeda dengan ternak-ternak yang ada, diperlukan untuk mencukupi kebutuhan protein secara nasional, mencukupi kebutuhan untuk kegemarm atau hobi.

b. Penguasaan ilmu dan teknologi

Pengetahuan tentang ekologi sahm liar serta teknologi sang dikuasai sesual dengan keadaan perkembangan dunia.

c. Tenaga terampil

Tenaga terampil temtama digunakan untuk menggali data dasar ekologi, ataupun cam

pengelolaan satwa pada proses domestikasi. d. Masjrarakat

Hal ini berkenaan dengan sosial dan budaya masyarakat untuk menerima produk atau komoditi sang baru.

H. Aspek Teknis Penangkaran

(24)

1. Bentuk dan Sistem Penangkaran

Berdasarkan bentuk dm sistemnya, penangkaran yang akan menjadi objek penelitian ini a d a l d ~ penangkaran exsitu dengan sistem penangkaran intensif. Penangkaran exsitu merupakan penangkaran yang dikembangkan diluar habitat alarninya atau dilingkungan sekitar manusia (Masy'ud, 2001). Sistem penangkaran ditentukan dengan intensitas manusia dalam pengelolaan suatu usaha penangkaran. Sistem penangkaran intensif memiliki ciri-ciri (Masy'ud, 2001), sebagai berikut:

a. Dibuatkan kandang khusus.

b. Kebutuhan makanan satwa diberikan dan disediakan secarapenuh oleh penangkar. c. Perkawinan satwa diatur, baik dzngan cara kawin alami maupun kawin buatan atau

dengan menggunakan teknologi reproduksi lainnya.

d. Perawatan kesehatan dan pengendalian penyakit dilakukan secara teratur dan kontinyu.

2. Pengadaan Bibit

Bibit untuk keperluan penangkaran dapat diambil dari habitat a l a ~ atau sumber- sumber lain yang sah, seperti penangkaran lain atau lembaga konservasi (PP No. 8 tahun 1999). Kualitas bibit yang digunakan dalam penangkaran perlu mendapat perhatian serius, khususnya &lam h d variasi genetiknya. Makin tinggi variasi genetik dari bibit yang digunakan makin tinggi kualitasnya sebagai induk, demikian pula kualitas yang diiarapkan pada keturunannya. Thohari (1987) menyatakan bahwa penangkaran satwa liar yang menggunakan bibit dalam jumlah sedikit mempunyai suatu konsekuensi kemungkinan tejadinya inbreeding yang dapat membawa pengaruh jelek dalam kualitas keturunannya. Pada seleksi yang ditujukan untuk menghasilkan kemampuan produksi dari suatu bibit, populasi hewan yang dikembangbiakan hams memiliki persyaratan dalam variasi genetik yang nyata, dan persentase dalam kemampuan menurunkan sifat adalah positif (Thohari, 1987). Vanasi genetik suatu populasi dapat dibasiiican secara buatan dengan hibridisasi ataupun dengan mutasi.

3. Adaptasi dan Aklimatisasi

(25)

dan juga untuk mencegah masuknya penyakit dari luar melalui satwa terseb~it (Honegger> 1975).

4. Perkandangan

Kandang adalah tempat hidup satwa dengan ukuran tertentu yang diberi batas berupa pagar atau dinding dan atau atap, baik tertutup semua atau sebagian (Masy'ud, 2001). Kandang hams dibuat senyaman mungkin bagi sahva, sehingga sahva dapat tetap melakukan aktivitasnya (Wing, 195 1). Bentuk dan ukuran kandang ditentukan berdasarkan ukuran tubuh ular, umur ular, dan juga perilaku ular itu sendiri (www.darkwar.com, 2003). Di penangkaran, kandang berbentuk seperti akuarium tertutup yang terbuat dari bahan kaca atau plastik. Ukurannya 30,5 x 20,32 x 20,32 cm3 untuk anak ular dengan kapasitas maksimum 12 ekor, sedangkan untuk ular dewasa ukummya 70 x 50 x 27 cm3 dengan kapasitas 6 ekor (Junaedi, 1999).

Secara umum, kandang ular sebaiknya mempunyai panjang minimal

+

dari panjang tubuh ular dan lebamya f % dari panjang badan ular ~~._d_a_r~kw~r,r,c.oom, 2003). Kandang juga hams dilengkapi dengan tempat air dan tempat, bertengger atau memanjat, temtama untuk jenis-jenis ular yang biasa hidup di pepohonan. Selain itu, perlu juga disediakan lubang atau tempat bersembunyi bagi ular di dalam kandang sehingga ular dapat merasa lebih m a n dan nyaman. Substrat yang digunakan d a l m kandang bisa bempa kertas koran, wcahan kulit kayu, chips kayu, ataupun bebatuan (www.darkwar.com, 2003). Kertas koran sangat baik jika digunakan sebagai substrat, namun tidak akan terlihat indah untuk kandang pameran. Sedangkan cacahan kulit kayu, chips kayu, dan bebatuan sangat indah bila digunakan sebagai substrat, tetapi sulit untuk membersihkamya bila terkena kotoran.

5. Pakan dan Air

(26)

Di penangkaran, umumnya ular diberi tikus dewasa dan ayam sebagai rnakanannya dan untuk anak ular diberi tikus, cecak, atau tokek &lam ukuran kecil (Junaedi, 1999). Selain itu, ular juga diberi tarnbahan suplemen seperti Calsona (Ca dan Mg), Davitmon (Vitamin A: B, C, E, dan K), dan Neurobion (Vitamin B dan pengaktif fungsi syaraf). Pemberian pakan dilakukan satu kali seminggu untuk ular de\vasa dan dua kali seminggu untuk anak ular. Kadang beberapa pemelihara ular lebih suka menggunakan makanan beku untuk memberi makan ulamya. Makanan beku mi dianggap lebih baik daripada makanan yang masih hidup karena pemelihara khawafir kalau makanan yang masih hidup tersebut dapat menggigit atau melukai ular (www.darkwar.com, 2003; Breen, 1974).

6. Penyakit dan Peraxvatan Kesehatan

Penyakit-penyakit yang biasanya menyerang ular adalah penyakit mulut, kutu: cacing, dan flu (Breen, 1974). Penyakit mulut ditandai dengan gejala bintik putih pada mulut yang lama kelamaan melebar dan akhimya menyebabkan necrosis pada mulut. Penyakit ini termasuk penyakit yang menular, oleh karena itu alangkah baiknya jika ular yang terkena penyakit ini dipisahkan dari ular-ular yang lain. Pengobatan penyakit mulut cenderung mudah, cukup dengan mengoleskan antiseptik pada mulut ulat sccara teratur hingga penyakitnya sembuh. Untuk mengatasi kutu dapat dilakukan dengan langsung mencahutnya dari kulit, tetapi lebih baik dengan meneteskan minyak atau gliserin pada kutu tersebut sehingga nantinya kutu akan terlepas dengan sendirinya (Breen, 1974). Breen (1974) juga menyebutkan tentang pengobatan penyakit flu dalam bukunya, yaitu dengan menempatkan ular yang terkena flu pada kandang dengan suhu 80°F. Umumnya flu akan sembuh dalam beberapa hari, tetapi jika penyakit flunya serius maka untuk mengatasinya hanya dengan menyuntikkan antibiotik.

Untuk mencegah masuknya dan penularan penyakit dari luar, sebaiknya ular yang baru datang dikarantinakan terlebih dahulu sebelum disatukan dengan ular-ular yang lain. Pengaturan fasilitas karantina (Honegger, 1975), sebagai berikut :

a. Kandang karantina terpisah jauh dari kandang-kandang lainnya.

b. Petugas karantina hanya bertugas di kandang karantina dan tidak menangani kandang !aiimya.

(27)

d. Semua kandang hams dapat didisinfektan atau disterilisasi. e. Periksa feses satwa secara rutin untuk mendeteksi penjakit.

Penyakit satwa, termasuk ular, juga dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan zat makanan. Jika makanan yang diberikan terlalu berlebihan maka ular dapat menjadi terlalu gemuk. Reptil yang gemuk memiliki tingkat toleransi yang rendah terhadap peningkatan suhu lingkungan, tinzkat infeksi yang tinggi, dan kemandulan bagi reptil janti'n (Wallach & HOE

1982). Sedangkim kekurangan dalam pemberian pakan dapat menyebabkan kematian karena kekurmgan kalori. Penyakit-penyakit yang tejadi karena ketidakseimbangan zat makanan dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.

akibat ketidakseimbangan zat makanan. Penyakit

Kelebilian karbollidrat menyebabkan obesitas dan keknrangan dalam jangka panjang &pat menyebabkan Ilypoglycemic sllock. Kelebilian protein disertai deludrasi mengakibatkan pernbengkakm dan nyeri pada persendian. Kekurangan protein dapat nlenghanlbat reproduksi dan pernbentukan cangkang telw.

Kekurangan air yang Pala1 dapal uieriggariggu Cungsi ginjal.

Kekurangan vitamin A dapat menglianlbat peliullibulm. palpebral edema, dan hyperkeratosis.

Kekurangan Vitamin Bi menyebabkan penurnnan berat badan secara iaonis walanpun sahva mendapat cukup makanan.

Kekurangan Vitamin C menyebabkan te jadinya mdang pada knlit dan jaringan lendir yang kalau terinfeksi ole11 mikoorganisme dapat mengakibatkan necrotic stomatitis.

Kekurangan Vitamin D mengakibatkan sendi-sendi pada pertu!angm Zenjadi kurang lentw Kelebihm Vitan~in D menyebabkan pengapuran pada sendi-sendi pertulangan termasuk aorta d m pembnluli d a d ginjal.

Keknrangan Vitamin E mengakibatkan dystrophy pada otot. Kekurangan mineral sering te qadi pada penan- reptil, lial ini dapat menyebabkan fibrous osteodystropl~y.

Tabel No. 1. 2 . 3. 4. 5. 6 . 7. 8. 9. (Sumber

2. Penyakit-penyakit Zat Makanan Karbollidrat

Protein

Air Vitamin A

VitaninB~

Vitainin C

VitaminD

VitaminE Mineral

[image:27.602.96.509.285.670.2]
(28)

7. Reproduksi dan Teknik Penetasan Telur

Reproduksi atau pengembangbiakkan satwa dalam suatu usaha penangkaran mempakan ha1 yang sangat penting karena indikator keberbasilan usaba penangkaran dapat dilihat dari keberbasilan pengelola dalam mengembangbiakkan satwa yang ditangkarkannya. Terdapat beberapa faktor yang hams diperhatikan dalam mengembangbiakkan reptil (Honegger, 1975), yaitu :

a. Ruang

Sangatlab penting untuk menyediakan kandang yang cukup luas untuk reptil yang akan dikembangbiakkan, karena pada umumnya reptil perlu ruang yang luas saat bercumbu atau saat melakukan perilaku reproduksinya.

b. Suhu

Reptil sebaiknya ditempatkan pada kandang dengan suhu optimum bagi reptil untuk dapat melakukan proses psikologisnya. Suhu kandang sebaiknya berkisar antam 25°C

-

32°C pada siang hari dan 20°C

-

2I0C pada malam hari (www.darkwar.com, 2003). Kandang dapat dilengkapi dengan lubang atau tempat memanjat sehingga ular dapat bersembunyi saat panas lingkungan terlalu tinggi.

c. Cahaya

Ular dapat beraktivitas pada siang hari (diurnal) ataupun pada malam hari (nocturnal). Beberapa jenis reptil membutuhkan sinar ultraviolet, khususnya untuk pertumbuban anakan, narnun beberapa jenis ular yang sensitif seperti Diymarchon, Spilotes, dan

Dendroaspis, tidak baik jika terkena siuar ultraviolet secara langsung. d. Kelembaban

Walaupun reptil terlindungi dari dehidrasi karena fungsi kulit dan sisiknya, tetap saja kelembaban di kandang h m s diperhatikan, temtama untuk jenis-jenis yang berasal dari hutan hujan tropis clan sekitarnya. Reptil tidak nyaman dengan kelembaban yang terlalu tinggi, bahkan spesies yang berasal dari gurun pun tidak men~ukai jika kelembaban di lingkungannya terlalu tinggi.

e. Makanan

(29)

tersebut. Selain itu, tikus yang baw saja dimatikan dapat disuntikan dengan multivitamin, tewtama pada masa-masa reproduksi.

f. Penentuan jenis kelanin

Penentuan jenis kelamin pada ular yang masih mu& sangat sulit dilakukan. Untuk melakukannya perlu digunakan suatu alat tertentu. Lain halnya dengan ular dewasa, ular dewasa lebih mudah dibedakan jenis kelaminnya. Jenis kelamin ular umuinnya &pat ditentukan dengan membandingkan jumlah sisik pada perut atau panjang ekor dengan lebarnya. Metode dengan meraba untuk melihat alat kelamin jantan pada kloaka juga dapat dilakukan.

g. Perkembangbiakkan

Reptil yang ditempatkan pada kondisi optimal kenlungkinan besar dapat berkembang biak dengan baik. Sebaiknya saat perkembangbiakkan, ular ditempatkan di suatu tempat yang jaub dari aktivitas manusia sehingga ular tidak terganggu. Tiap kandang dapat dilengkapi dengan fasilitas untuk bersarang. Jika setelah beberapa viaktu tidak tejadi perkembangbiakkan maka perlu iiilakukan suatu perubahan untuk mengetahui kondisi optimal yang diperlukan ular tersebut untuk berkembang biak.

Dalam suatu perkembangbiakkan perlu diperhatikan garis keturunan ular yang akan dibiakkan. Jangan sampai perkawinan inbreeding tejadi karena ketuman yang dihasilkan dari perkawinan ini umunnya rentan dalam kemampuan reproduksi, kekuatan satwa tidak baik, dan penampilan bibitnya juga kurang bagus. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi te jadinya inbreeding dalam penangkaran (Thohari, 1987) :

a. Pengambilan bibit satwa dari populasi yang berbeda.

b. Melakukan tes heterozigositas pada satwa yang akan digunakan sebagai bibit. Lebih tinggi derajat heterozigositasnya, nilai satwa sebagai bibit lebih baik.

c. Melakukan pencatatan silsilah yang teratur untuk setiap individu yang ditangkarkan. d. ivfemasukkan individu-individu baru secara bekala, yang bukan nerapakan sat\i-a

inbreed atau yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengan satwa yang telah ada. Individu barn tersebut &pat berasal dari populasi alam ataupun dari tempat penangkaran lain.

(30)

per tahun. Kehilangan keragaman genetik dalam 50 individu hanya sebanyak 1 % per tahun sehingga populasi tersebut akan dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama (Primack et al., 1998).

Selanjutnya telur yang dihasilkan dari perkembangbiakkan ular dipindahkan ke rnang inkubator untuk pengeraman. Sebelum dipindahkan ke mang inkubator, telw-telw tersebut harus diberi tanda pada bagian telw yang menghadap ke atas untuk menandakan posisi mereka di sarang. Media untuk telur dapat bempa campwan peat gravel yang lembab atau campuran '11 peat gravel dengan '13 pasir (Honegger, 1975). Ukuran inkubator beragam, salah

satunya berukuran 4 s 4 x 2,5 m3. Suhu dan kelembaban dalam inkubator berkisar antara 26°C

-

30DC dengan kelembaban antara 75 %

-

100 % (Junaedi, 1999; Honegger, 1975). Lamanya pengeraman biasanya antam 59 sampai 69 hari.

Pengontrolan terhadap telur-telur di inkubator sangatlah penting untuk dilakukan. Telur yang permukaannya basah dan kotor ataupun berjamur sebaiknya dipisahkan d a i telur lain untnk mencegah penularannya ke telur yang lain. Pengaturan suhu dan kelembaban harus sangat diperhatikan karena berdasarkan beberapa penelitian suhu dan kelembaban yang tidak stabil dapat menyebabkan cacat pada pertumbuhan reptil dalam telur atau kegagalan dalam menetas.

8. Pemeliharaan Satwa

(31)

9. Ketenagake jaan

(32)

IIT.

METODE

PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di dua lokasi penangkaran ular yang terdapat di daerah Jabotabek, yaitu CV Terama Ind. di Gunung Sindur, Serpong dan Taman Reptilia Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Lama penelitian adalah empat bulan, yaitu pa& bulan April 2003 hingga Juli 2003.

B. Metode Penelitian 1. Alat dan Bahan

Kamera Pita ukur Tennometer Stopviatch atau jam AIat-alat tulis

Ular Sanca Hijau (Chondropython viridis) yang berasal dari Papua dan Kepulauan

AN @ 3 pasang.

2 . Metode Pengambilan Data a. Studi literatur

Studi literatur dilakukan uutuk mengumpulkan data yang &pat menunjang penelitian dan dapat dijadikan acuan ataupun perbandingan dengan kondisi di lapangan. Data tersebut dipisahkan menjadi dua bagian, yaitu data mengenai satwanya (ular) dan data mengenai penangkaran. Data tentang ular meliputi klasifikasi, morfologi, distribusi, perilaku, dan pemanfaatannya. Data tentang penangkaran meliputi definisi penangkaran, ketentuan-ketentuan yang mengatur penangkaran, dan aspek teknis penangkaran.

b. Pengambilan data di lapangan

>

Wawancara
(33)

(i). Kondisi umum perusahaan (nama pe~S&aan, tahun berdirinya, tujuan perusahaan, skala perusahaan, status kepemilikan perusal~aan, ketetapan hukum pendirian perusahaan, iokasi perusahaan, dan struktur organisasi pe~sahaan).

(ii). Bentuk dan sistem penangkaran.

(iii). Pengadaan bibit (asal bibit, jumlah bibit, jenis bibit, ciri-ciri bibit yang dipunakan, cara memperoleh bibit).

(iv). Adaptasi dan aklimatisasi.

(v). Perkandangan (klasifikasi kandang, jumlah kandang, tata let& kandang, ukuran kandang, bahan pembuatan kandang, ukuran kandang, fasilitas kandang, substrat, kapasitas kandang, perawatan kandang).

(vi). Pakan (jenis, jumlah, waktu pemberiannya, frekuensi, cara pengadaannya: cara penyajian, penamb&an suplemen dan vitamin).

(vii). Penyakit dan perawatan kesehatan (jenis penyakit, cara pencegahan dan pengobatan, jenis obat).

(viii). Reproduksi dan teknik penetasan telur (penentuan jenis kelanlin, penjodohan, perkawinan, musim kawin, perswangan, inkubator, jumlah telur, sex ratio, penetasan telur)

(iu). Pemeliharaan (perawatan anakan, perawatan ular Gswasa)

(x). Ketenagakejaan (jenis pekejaan, jumlah tenaga keja, latar belakang pendidikan, pelatihan).

P Pengamatan dan pengukuran

Pengamatan clan pengukuran dilakukan terhadap perilaku reproduksi ular sanca. Ular yang diamati perilaku reproduksinya adalah ular Sanca Hijau (Chondropyfhon viridis) yang berasal dari Papua dan Kepulauan

h,

minimal masing-masing sebanyak tiga pasang. lnduk yang dikawinkan adalah induk yang memiliki ciri-ciri (Sentanu, 1999), sebagai berikut:

.

ukuran ular jantan 135-142 cm. - *

ukuran ular betina i42-150 cm.

wama induk betina lebih term2 dari uiarjantan.

jika kloaka pejantan dipegang biasanya mengeluarkan spema.

(34)

Perilaku reproduksi yang diamati, meliputi : (i). Mendekati pasangan

Perilaku ini ditandai dengan pergerakan ular jantan mendekati ular betina yang terdapat di kandang tersebut.

(ii). Courtship (Bercumbu)

Perilaku ini dimulai saat ular jantan menyusuri dan menyentuh tubuh ular betina. Pada saat bercumbu ini ular jantan akan melilitkan tubuh dan ekomya pada ular betina sambil meraba kioaka ular betina.

(iii). Kopulasi

Kopulasi adalah bersztunya organ reproduksi jantan dan betina (Moore, 1987). Tejadinya kopulasi dimulai dengan masuknya hemipenis ke dalanl kloaka ular betina. Ejakxlasi umumnya te jadi tiga menit setelah kopulasi, ha1 ini ditandai dengan mengendumya lilitan ular jantan yang akan menyebabkan terangkatnya lubang kloaka ular betina (Sentanu, 1999).

3. Metode Analisis Data a. Perilaku reproduksi

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran terhadap perilaku reproduksi masixg-masing jenis ular akan dibandingkan rata-ratanya. Uji beda terhadap rata-rata dari data yang diperoleh dianalisis secara statistik (Steel & Torrie,

1993). Hivotesis

& : := p, : durasi perilaku reproduksi ular Sanca Hijau (Chondropython viridis) yang

berasal dari Papua dan Kepulauan Aru tidak berbeda nyata.

HI :

:

% pl : durasi perilaku reproduksi ular Sanca Hijau (Chondropython viridis) yang

berasal dari Papua dan Kepulauan Aru berbeda nyata.

Kriteria u i

tKtung < , maka terima

Ho.

(35)

b. Penilaian Aspek Teknis Penangkaran

Penilaian terhadap aspek teknis penangkaran dilakukan berdasarkan Pedoman Standar Kualifikasi Penangkaran Tu~nbuhan dan Sahva Liar (Hasil diskusi pada Kegiatan Proyek Pemantapan Perlindungan Hutan dan Konsewasi Alam tahun 2002). Data-data hasil nmvancara dan pengamatan di lapangan yang merupakan indikator dari aspek teknis penangkaran diberi skor 1, 3, atau 5, berturut-turut mulai dari )Ian$ terburuk hingga yang terbaik. Skor tersebut kemudian dikalikan dengan bobot relatif dari masing-masing indikator usaha penangkaran. Jumlah total hasil perkalian antara nilai bobot relatif masing-masing indikator usaha penangkaran dengan skor disebut sebagai total skor.

Pada penilaian terhadap aspek teknis penangkaran, total skor maksimum dan mininlum yang mungkin diperoleh CV Terraria adalah 2,3865 dan 0,4773, sedangkan untuk Taman Reptilia TMlI total skor maksimum dan minimumnya 2,429 dan 0,4858. Jika skor yang didapat semakin mendekati skor maksimum, maka semakin baik aspek teknis yang diterapkan pada usaha penangkaran dan begitu juga sebaliknya.

Tabel 3. Peniiaian terinadap aspek teknls penangkaran.

Bobot s Skor No.

1.

.

2.

3.

4. 5. 6.

Bobot 0,144 0,037 0,016 0,021 0,005 0,Ol Indikator

Tempat usaha : Tanah lnilik Tempat u d a : Tanall HGU Tempat n ~ h a : Tanah sews

Metode reproduksi/propogasi : Bioteknologi Metode reproduksi/propogasi : Semi alami Metode reproduksi/propogasi : Alami

[image:35.602.109.509.575.705.2]
(36)
[image:36.602.93.510.104.510.2]
(37)

IV.

KONDISI UMUM PERUSAHAAN

A. CV Terraria Indonesia

CV Tenaria Indonesia berdiri pada tahun 1988. Penangkaran ini terdapat di Desa Curug, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lokasi tersebut dipilih karena di daerah ini masih tersedia tanah yang cllkup luas yang diperlukan untuk kegiatan penangkaran. Tanah tempat berdirinya penangkaran ini merupakan tanah milik dengan luas 3100 mZ. Berikut ini adalah surat-surat yang diperlukan untuk mendirikan suatu usaha penangkaran :

M e notaris.

SIUP

Tanda D a f k Perusahaan (TDP). Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Surat domisili.

Perijinan dari BKSDA. SK dari Di jen PKA.

.- hstalasi karantina.

Penangkaran ini bertujuan untuk memenuhi permintaan terhadap satwa reptilia clan amphibia sebagai hewan peliharaan. Pegawai yang bekerja di CV Terraria berjumlah 21 orang. Struktur organisasi CV Terraria dapat dilihat pada bagan di bawah ini.

Struktur Organisasi CV Terraria Ind.

Ular

(38)

Penangkaran ini terbagi menjadi beberapa bagian. Pertama, bagian penyortiran atau penyeleksian untuk reptil dan amphibi yang bam datang. Bagian ini terdapat di daerah depan penangkaran. Kedua, kandang-kandang pemeliharaan. Ketiga, tempat pengembangbiakkan reptil. Keempat, tempat karantina bagi satwa yang ditangkarkan. Kelima, tempat temak tikus. Selain itu terdapat juga kantor pengelola, ruang istirahat karyawan, dan juga tempat tinggal bagi peneliti reptil yang terdapat di CV Terraria.

,CV Terraria menangkarkan reptil, temtama ular. Jenis-jenis reptil yang ditangkarkan umumnya termasuk dalam jenis-jenis satwa yang dilindungi atau tergolong dalam apendix 11. Hasil tangkarannya dijual kepada konsumennya yang terdapat di Amerika dan Jepang. Selain dari hasil penangkaran, CV Terraria juga memperdagangkan satwa reptilia dan amphibia yang tidak tergolong satwa yang dilindungi. Reptil dan amphibi ini diperoleh dengan cara pengambilan langsung dari alam. Sistem pengambilatn~ya telah diatur dan ditentukan oleh

\

I pemerintah. Sistem ini disebut sebagai sistem kuota. Besar kuota ditentukan setiap tahun, besamya dapat bembah sesuai dengan kondisi populasi sahva di alam dan juga kondisi pemsahaan penangkaran.

Evaluasi terhadap penangkaran dilakukan secara mtin setiap tahun. Dalam setal~un evaluasi dapat dilakukan sebanyak tiga kali. Pemsahaan penangkaran juga membuat laporan dari hasil pekerjaannya di penangkaran setiap bulan untuk dilaporkan kepada pemerintah.

B. Taman Reptilia Taman Mini Indonesia Indah

Taman Reptilia mulai dibangun sekitar bulan April 1999. Pendirian Taman Reptilia ini diprakarsai oleh Dr. Soenartono Adisoemarto. Ide a~valnya didasari karena melihat ketertarikkan masyarakat terhadap satwa liar yang hidup dibandingkan dengan satwa liar yang diawetkan. Tujuan pendirian Taman Reptilia adalah untuk konservasi, pendidikan, dan jnga penangkaran. Taman Reptilia pertama kali dibuka untuk umum pada tanggal 19 April

2000.

(39)

Struktur Organisasi Taman Reptilia TMll

Manager

[image:39.605.105.489.111.349.2]

'7

Gambar 2. Slmklur orga~usasi Taman Reptilia Taman Mini Indonesia lndah

I

Asisten Mzager

I

I I

I

I I . I

Kandang-kandang yang terdapat di Taman Reptilia TMII terbagi menjadi kandang dalam, kandang luar, dan kandang karantiria. Selain itu terdapat juga Amphitheater yang

Kahg Pemeliharaan dan Perawatan Saka

Staf Pemelihamn dan perawatan SW

menyajikan atraksi bersama reptil. Ada juga taman Sentuh yang dapat dimanfaatkan oleh

Kasubag Konsemi dan Pameran

P

Staf Museum Kasubag Urusan

Dalam

I

I

I

pengunjung untuk dapat menyentuh dan b e d n - m a i n bersama reptil yang telah jinak.

Satpam

Fasilitas lain yang terdapat disana adalah toko souvenir. Jumlah pengunjung Taman Reptilia TMII dalam tiga tahun terakhir dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Kebersihan

me

Boy

u

I

(Sumber : Tzmm F.eptilia

TMII,

2003)

Tabel 4. Jumlah pengunjung Taman Reptilia TMII. Tahun Jumlah Pengunjung (orang)

(40)

V.

BASIL.

DAN PEMBAHASAN

A. Bentuk dan Sistem Penangkaran

Bentuk penangkaran ular di kedua pernsahaan, baik CV Terraria maupun Taman Reptilia Taman Mini Indonesia Indah mernpakan penangkaran exsitu, yaitu penangkaran yang dikembangkan di luar habitat alaminya atau di sekitar lingkungan manusia. Sistem penangkarannya termasuk intensif. Pada sistem ini pengelolaannya secara penuh diatur oleh manusia, meliputi :

a. Pembuatan kandang untuk satwa.

b. Pemberian dan penyediaan pakan oleh pengelola. c. Pengaturn perkawinan.

d. Perawatan kesehatan dan pengendalian penyakit.

Hal yang perlu diperbatikan dalam sistem pengelolaan intensif adalah seringuya terjadi kontak antara satwa dengan manusia. Hemsworth et al. (1997) mengatakan bahwa satwa yang dipelibara secara intensif sering menunjukkan sifat takut pada manusia. IN dapat menimbulkan stres pada satwa. Oleh karena itu diperlukan keahlian, kesabam, dan ketekunan yang cukup tinggi bagi orang-orars yang bekerja dengan satwa, sehingga satbra dapat hidup dengan baik di dalam suatu penangkaran.

B. Pengadaan Bibit

Bibit sangat penting bagi kelzgsungan usaha penangkaran. Ketersediaan bibit yang baik dapat menjamin proses regenerasi satwa di penangkaran. Sumber bibit dapat diperoleb dari berbagai macam tempat. Bibit untuk keperluan penangkarari dapat diarnbil dari habitat alam atau sumber-sumber lain yang sah, seperti penangkaran lain atau lembaga konservasi (PP No. 8 tahun 1999).

(41)
[image:41.608.94.519.87.300.2]

I

(

b. Hasil pembiakan di penangkaran.

I

b. 5 % dari jumlah anakan Tabel 5. Sumber bibit ular di CV Terraria dan Taman Reptilia TMII.

No. 1.

2.

I

I

c. ~mport

I

Penangkaran C V T e d a

TMlf

Bibit Chondropyrhon viridis yang sekarang ini terdapat di CV Terraria Ind. berasal dari Papua dan Kepulauan Aru. Sumber bibit didapat dari alam dan juga hasil breeding. Bibit yang berasal dari alam diperoleh melalui suplier yang terdapat di daerah asal bibit. Jumlah bibit yang diambil tidak boleh melebihi kuota yang telah ditetapkan dan juga sesuai dengan kebutuhan penangkaran. Bibit yang akan dijadikan induk ditentukan dari asal daerah, kesehatan, dan wama ular.

Sejak akhir tahun 90-an pengelola CV Tenaria sudah mengurangi pengambilan bibit dari alam dan menggunakan induk yang berasal dari hasil breeding. Jumlah anakan yang akan dijadikan calon induk sebanyak 5 persen dari jumlah anakan yang telah dihasilkan. Pada tahun 2000 CV Terraria menghasilkan anakan ular sebanyak 900 ekor, maka anakan yang akan dijadikan calon induk sekitar 45 ekor. Dalam membesarkan anakan untuk dijadikan calon induk, pengelola hams mengetahui secara pasti induk anakan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah te jadinya inbreeding.

Taman Reptilia TMII memperoleh sumber bibitnya dari tempat-tempat penangkaran seperti Penta Exomania, selain itu ada juga yang langsung didatangkan dari luar negeri. Sedangkan sebagiannya lagi diperoleh

dari

sumbangan, baik dari perorangan secara pribadi, kelompok ataupun organisasi, dan perusahaan. Jenis-jeuis yang dipilih oleh pengelola adalah jenis-jenis yang unii &I dapzt ri~enarik perhatian pengunjur~g yang cla'ag.

Tman Reptilia

Sumber Bibit

a. Alam (F'apua clan Kepulauan AN).

Exomania).

b. Snmbangan pribadi atau kelompok.

Keterangan a. Iumlahnya 5-10 ekor per

tahun

a. Penangkar lain (scpeni Penta

pengelola adalal~ jenis-jenis yang unik dan menarik.

tal1.m ekan jadi calon induk.

(42)

C. Adaptasi dan Aklimatisasi

Adaptasi dan aklimatisasi dimaksudkan untuk membiasakan din satwa terhadap lingkungan yang b m dan juga untuk mencegah m a s u h ~ ~ a penyakit dari luar. Pencegahan penularan penyakit dari luar dapat dilakukan dengan pengaturan fasilitas karantina (Honegger, 1975), sebagai berikut :

a. Pemis?han kandang karantina dazi kandang-kandag lainfiya.

b. Petugas yang bertugas di kandang karantina tidak inenangani kandang lainnya c. Penempatan ular dalam kandang secara individu

d. Semua kandang hams dapat didisinfektan atau disterilisasi e. Pemeriksaan feses satwa secara rutin untuk mendeteksi penyakit.

Fasilitas karantina di CV Terraria clan Tanlan Reptilia TMII belum sepenuhnya maksimal, terutania niengenai petugas kandang karantina dan pemeriksaan feses sahya. Kedua ha1 tersebut penting untuk diperhatikan, khususnya bagi sahva yang berasal dari alam atau luar negeri karena kondisi satwa yang berasal dari dua tempat tersebut tak diketahui secara pasti.

Tabel 6. Adaptasi dan aklimatisasi yang dilakukan di CV Terraria dan Taman Reptilia TMII. Penangkaran

CV Terraria

Taman Rcptilia

Adaptasi dan Aklirnatisasi a. Satwa yang tidak ditangkarkan.

Dilelakkan di tempat penyortiran alau seleksi, ketnudiarl dikandangkan secara soliter.

Satwa yang sehat langsung direndam dalam air dengan ketinggian 15-20 cm selama 2-3 jam, lalu dipindalkan ke kandang yang kering.

Satwa yang sakit dibersihkan dari kotoran dan diobati. b. Sahva yang ditangkarkddijadikan calon induk.

.

Diletakkan di tempat karantina dan dikandangkan secara soliter. Satwa dibersihkan dan diperiksa kesehatannya.

.

Kondisi satvrn dipantau secara intensif di tempat karantina llingga satwa siap untuk diawinkan.

Satwa diletakkan di tempat karantina dan dikandangkan secara soliter. Satwa dibsrsihka' dm dipiksa kcschalmya.

J'ia ditemui adanya penyakit, satwa langsung diobati.

[image:42.602.89.497.380.710.2]
(43)

Adaptasi dan aklimatisasi yang dilakukan di CV Terraria dibedakan untuk satwa yang akan ditangkarkan dan untuk satwa yang tidak ditangkarkan. Satwa yang ditangkarkan adalah reptil yang akan dijadikan calon induk, sedangkan satwa yang tidak ditangkarkan adalah reptil-amphibi yang datang dan disiapkan untuk dijual ke konsumen. Pada jenis-jenis yang tidak ditangkarkan, reptil-amphibi yang baru datang diletakkan di tempat penyortiran untuk memisahkan satwa yang sehat, sakit, dan yang telah mati. Satwa-sahva tersebut ditempatkan secara soliter di kandang-kandang. Setelah itu, satwa-satwa tersebut direndam dalam air dengan ketinggian 15-20 cm. Lama perendaman sekitar 2-3 jam, kemudian satwa dipindahkan ke kandang kering. Perendaman tersebut dimaksudkan untuk membersihkan kotoran yang menempel pada tubuh satwa.

Satxva yang sakit segera dipisahkan dari yang lain dan diobati. Penyakit-penyakit sang sering terdapat pada sahva yang berasal dari d a m adalah cacingan dan kutu. Pada beberapa hari pertarna, sabra-satwa tersebut hanya diberi minum saja karena biasanya mereka tidak mempunyai nafsu makan. Setelah sahva mulai terbiasa dengan lingkungannya yang baru dan mau makan, baruiah satwa diberi makanan secara teratur.

Reptil yang akan ditangkarkan dan dijadikan calon induk diletakkan di tempat karantina hingga satwa siap untuk dikawinkan. Tempat karantina ini terletak di bagian belakang penangkaran. Calon induk yang berasal dari alarn butuh waktu dua tahun hingga satwa siap untuk berreproduksi, s x h g k a n waktu yang dibutuhkan untuk calon induk yang berasal dari hasil breeding lebih singkat, sekitar 1 bulan. Penanganan terhadap calon induk ini dilakukan secara intensif. Pakan reptil, kesehatan reptil, dan kebersihan kandang benar-benar dijaga dan diperbatikan. Hal ini dilakukan supaya calon induk dapat berreproduksi dengan baik saat dikawinkan dengan pasangannya.

Perlakuan terhadap reptil-amphibi yang barn datang di Taman Reptilia TMII tidak dibedakan seperti halnya di CV Terraria. Semua reptil-anphibi yang baru datang atau baru dibeli ditempatkan di kandang karantina. Di sana, satwa dipindahkan ke &lam kandang yang sesuai dengan ukuran tubnhnya dan diperiksa kesehatannya. Jika terdapat penyakit maka satwa tersebut akan langsung diobati. Pada awalnya sa&a hanya diberi mjnum saja, setelah' hari ketiga satwa baru mulai diberi makan.

(44)

Tiga atau empat han setelah kandang disterilkan, barulah reptil-amphibi dapat dimasukkan ke kandang.

Peranan adaptasi dan aklimatisasi sangat penting dalam suatu penangkaran exsitu karena satwa dipelihara dalam suatu lingkungan yang sangat berbeda dengan daerah asalnya. Jika satwa tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya maka satwa dapat mengalami stres, lama kelamaan kondisi kesehatannya akan menurun dan pada akhirnya mati. Intfikator satwa telah dapat menerima lingkungan barunya adalah nafsu makan satwa yang normal, perilakunya tidak menyimpang, dan dapat bereproduksi (Payne et al., 1999).

D. Perkandangan

Sistem pembagian kandang, pemilihan bentuk dan ukuran kandang di CV Terraria dan Taman Reptilia TMII memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan-perbedaan tersebut dirangkum dalam Tabel 7. Kandang-kandang di CV Terraria dibedakan menurut umur ular, ukuran ular, dan juga fungsi kandang. Berdasarkan umur, kandang ular dibedakan menjadi kandang anakan dan kandang ular remajaldewasa. Sedangkan berdasarkan ukuran tuboh ular, kandang dibedakan menjadi kandang kecil, sedang, besar, dan sangat besar. Dan berdasarkan fungsi, kandang dibedakan menjadi kandang pemeliharaan, kandang reproduksi, dan kandang karantina.

Pada Taman Reptilia, pembagiar. kandang ditentukan hanya berdasarkan fungsinya, yaitu kandang pameran dan kandang karantina. Kandang pameran terbagi menjadi dua tempat, yaitu kandang luar dan kandang dalam. Kandang luar digunakan untuk menempatkan jenis-jenis ular yang tidak berbisa, sedangkan kandang dalam untuk ular yang berbisa. Penempatan ular berbisa di kandang dalam dilakukan dengan tujuan untuk memberi kesan misterius dan berbahaya. Kandang karantina digunakan sebagai tempat adaptasi dan aklimatisasi bagi satwa-satwa yang baru datang. Kandang ini juga digunakan untuk menempatkan satwa-sahva yang t

Gambar

Tabel 1 . Distribusi famili ular di dunia
Gambar 2 . Struktur organisasi Tarnan Reptilia TMII
Tabel 1. Distribusi famili ular di dunia.
Tabel 2. Penyakit-penyakit akibat ketidakseimbangan zat makanan.
+7

Referensi

Dokumen terkait