• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAHLAKU HARIAN DAN TINGKAHLAKU MAKAN ULAR SANCA HIJAU (Morelia viridis) DI CV TERRARIA INDONESIA SKRIPSI JERRY JERROMIAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINGKAHLAKU HARIAN DAN TINGKAHLAKU MAKAN ULAR SANCA HIJAU (Morelia viridis) DI CV TERRARIA INDONESIA SKRIPSI JERRY JERROMIAS"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAHLAKU HARIAN DAN TINGKAHLAKU MAKAN

ULAR SANCA HIJAU (Morelia viridis)

DI CV TERRARIA INDONESIA

SKRIPSI JERRY JERROMIAS

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

(2)

RINGKASAN

JERRY JERROMIAS. D14101073. 2005. Tingkahlaku Harian Dan Tingkahlaku Makan Ular Sanca Hijau (Morelia viridis) Di CV Terraria Indonesia. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Hj. Sri Supraptini Mansjoer

Pembimbing Anggota : Prof. drh. D.T.H Sihombing, M.Sc., Ph.D.

Ular sanca hijau (Morelia viridis) merupakan hewan dari Ordo Squamata yang sebagian besar kegiatannya di pepohonan (arboreal), dan aktif pada malam hari sehingga disebut hewan nokturnal. Ular sanca hijau mempunyai ciri khas, berwarna kuning atau merah kecoklatan pada saat muda, dan berwarna hijau saat dewasa. Pupil mata vertikal, kepala tampak besar dengan leher yang semakin mengecil. Ular sanca hijau merupakan jenis ular yang statusnya sudah terdaftar dalam APENDIX III, atau dengan kata lain sudah dilindungi dan bukan tidak mungkin ular dari spesies lain akan segera menyusul.

Penelitian ini dilakukan di penangkaran CV. Terraria Indonesia yang berada di Desa Gunung Sindur, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Bogor yang berlangsung dari bulan Mei sampai dengan Juni 2005. Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi dasar dari tingkahlaku yang ditampilkan ular sanca hijau di kandang penangkaran. Dalam penelitian ini digunakan ular sanca hijau (Morelia viridis) dewasa sebanyak enam ekor.

Metode pengamatan yang digunakan dalam penelitian tingkahlaku harian adalah metode ad libitum sampling dan pengamatan tingkahlaku khusus (makan) dengan metode focal animal sampling dan metode one zero untuk pencatatan. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif, analisis grafik, dan persentase. Peubah yang diukur pada tingkahlaku harian antara lain istirahat, bergerak (lokomosi), memeriksa (investigasi), makan dan minum (ingesti), perawatan tubuh (epimiletik), defekasi dan urinasi (eliminasi), tingkahlaku khusus (makan) antara lain mengamati/memeriksa, menerkam/meng-gigit, membelit, menelan, dan istirahat.

Hasil aktivitas harian ular sanca hijau meliputi istirahat (34,70%), bergerak (33,70%), memeriksa (30,90%), minum (0,25%), perawatan tubuh (0,45%), defekasi dan urinasi (0,00%). Proses tingkahlaku makan meliputi mengamati/memeriksa (3,65%), menerkam/menggigit (2,25%), membelit (20,80%), menelan (45,00%), dan istirahat (28,30%). Hasil yang didapat pada penelitian ini diharapkan dapat membantu pelestarian dan budidaya ular sanca hijau agar populasinya tidak mengalami penurunan dengan memberi perhatian pada lingkungan penangkaran guna meningkatkan kesejahteraan satwa ular sanca hijau.

(3)

ABSTRACT

Daily Behaviour and Eating Behaviour of Green Tree Python (Morelia viridis) in CV Terraria Indonesia

Jeromias, J., S.S. Manjoer, and D.T.H. Sihombing

Green tree python (Morelia viridis) is a nocturnal animal which mostly activities on trees (arboreal). The color of juveniles green tree python haves two basic type color, golden yellow and maroon. The color of juveniles are not permanent. There are many variation colors, and sometimes its shows extreme variation within these two types and it will changes into green when it becomes adult. It has vertical eye pupils, big visible head with narrow neck. Green tree python represents the groups of snakes which its status have been listed in Appendix III or in other word have been protected by regulation and in the short time other species will immediately following to be registered.

The aim of this research was to observe the daily and feeding behaviours in captivity, using ad libitum and focal animal sampling methods. The result of the observation in CV Terraria Indonesia as the exsitu conservation site, green tree pythons started their daily activities from 05.00 pm up to 05.00 am at their cages. Daily activitis of green tree pythons were resting (34.70%), locomotion (33.70%), investigation (30.90%), drinking (0.25%), epimiletic (0.45%), and elimination (defecation and urination) (0.00%). The feeding behaviour progress, were investigation (3.65%), nipping (2.25%), twisting (20.80%), swallowing (45.00%), and resting (28.30%). To conserve green tree pythons in order to avoid the degradation of populations, is developing through breeding conservation and give more attention to the environment facilities to improved the animal wellfare.

(4)

TINGKAHLAKU HARIAN DAN TINGKAHLAKU MAKAN

ULAR SANCA HIJAU (Morelia viridis)

DI CV TERRARIA INDONESIA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

JERRY JERROMIAS D14101073

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

(5)

Judul : Tingkahlaku Harian Dan Tingkahlaku Makan Ular Sanca Hijau (Morelia viridis) Di CV Terraria Indonesia

Nama : Jerry Jerromias NRP : D.14101073

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

(Dr. Ir. Hj. Sri Supraptini M.) (Prof. drh. D.T.H Sihombing, M.Sc., Ph.D.) NIP 130354159 NIP 130188196

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

(Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc) NIP 131624188

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Januari 1983 di D.K.I Jakarta. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Daniel Denny Susanto dan Ibu Sylvester Sylvie Darmawi.

Pendidikan dasar penulis diselesaikan pada tahun 1995 di SD Santa Maria Jakarta. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1998 di SMP Santa Maria Jakarta dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2001 di SMU Budi Mulia Jakarta.

Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Departemen Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) pada tahun 2001.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas semua limpahan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Tingkahlaku Harian dan Tingkahlaku Makan Ular Sanca Hijau (Morelia viridis) di CV Terraria Indonesia. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana peternakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Ular sanca hijau (Morelia viridis) merupakan hewan yang sebagian besar kegiatannya pada pepohonan (arboreal), dan aktif pada malam hari (nokturnal). Ular ini mempunyai ciri berwarna kuning atau merah kecoklatan pada saat muda, dan berwarna hijau saat dewasa, pupil mata vertikal, kepala yang tampak besar dengan leher yang semakin mengecil. Ular sanca hijau merupakan jenis ular yang statusnya sudah terdaftar dalam APENDIX III, dengan kata lain sudah dilindungi dan bukan tidak mungkin spesies lain akan segera menyusul. Salah satu cara untuk melestarikan ular sanca hijau agar populasinya tidak mengalami penurunan, bahkan punah adalah dengan mengembangkan melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian baik di habitat aslinya (insitu) maupun di luar habitat aslinya (exsitu). Penangkaran merupakan cara perlindungan dan pelestarian diluar habitat aslinya (exsitu).

Skripsi ini merupakan hasil penelitian mengenai Tingkahlaku harian dan Tingkahlaku makan ular sanca hijau di CV Terraria Indonesia yang terletak di Desa Gunung Sindur, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Bogor. Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga hasil yang didapat pada penelitian ini dapat membantu usaha teknik pembudidayaan dan pelestarian satwa ular sanca hijau, agar kekayaan alam Indonesia tersebut mendapat perhatian dan tidak mengalami kepunahan.

Bogor, September 2005 Penulis

(8)

DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ... i ABSTRACT... ii RIWAYAT HIDUP ... v KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 Manfaat... 3 TINJAUAN PUSTAKA ... 4 Klasifikasi... 4

Habitat dan Penyebaran ... 4

Karakteristik Biologis ... 5

Morfologi dan Anatomi ... . 5

Reproduksi ... 9

Tingkahlaku... 11

Tingkahlaku Istirahat dan Bergerak... 12

Tingkahlaku Makan dan Minum... 12

Tingkahlaku seksual... 13

Tingkahlaku Ganti Kulit dan Merawat tubuh... 14

Tingkahlaku Eliminasi ... 15

Penangkaran... 15

METODE... 16

Lokasi dan Waktu ... 16

Materi dan Peralatan ... 16

Pengumpulan Data ... 17

Tingkahlaku Harian ... 17

Tingkahlaku Makan... 17

Keadaan Umum Penangkaran... 18

Analisis Data... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN... 19

Keadaan Umum Penangkaran... 19

Lokasi penangkaran... 19

(9)

Kegiatan Ekspor ... 21 Pemeliharaan Satwa... 21 Tingkahlaku Harian... 22 Tingkahlaku Istirahat... 23 Tingkahlaku Bergerak ... 25 Tingkahlaku Memeriksa ... 26 Tingkahlaku Minum ... 28

Tingkahlaku Merawat Tubuh... 28

Tingkahlaku Makan ... 29 Tingkahlaku Mengamati/Memeriksa... 31 Tingkahlaku Menerkam/Menggigit... 32 Tingkahlaku Membelit... 32 Tingkahlaku Menelan ... 33 Tingkahlaku Istirahat... 34

SIMPULAN DAN SARAN ... 36

UCAPAN TERIMAKASIH... 37

DAFTAR PUSTAKA... 38

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Data Morfologi Ular Sanca Hijau (Morelia viridis) ... 8 2. Performa Reproduksi Ular Sanca Hijau (Morelia viridis) ... 11 3. Satwa Reptil Yang Telah Ditangkarkan dan Diekspor ... 21

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Ular Sanca Hijau Muda Sesaat Setelah Menetas... 6

2. Empat Ras Ular Sanca Hijau ... 6

3. Berbagai Macam Ukuran Sex Proof ... 8

4. Telur Ular Sanca Hijau... 9

5. Ular Sanca Hijau Sedang Mengeram ... 10

6. Tingkahlaku Istirahat Ular Sanca Hijau ... 12

7. Ular Sanca Hijau Sesaat Sebelum Menerkam Mangsanya ... 13

8. Tingkahlaku Kawin Ular Sanca Hijau ... 14

9. Tingkahlaku Ganti Kulit Ular Sanca Hijau ... 14

10. Keadaan Bangunan Penampungan... 20

11. Fasilitas Ternak Mencit dan Tikus Untuk Pakan Reptil ... 22

12. Frekuensi Tingkahlaku Harian Ular Sanca Hijau... 23

13. Tingkahlaku Istirahat ... 24

14. Frekuensi Tingkahlaku Istirahat Ular Sanca Hijau... 24

15. Tingkahlaku Bergerak... 25

16. Frekuensi Tingkahlaku Bergerak Ular Sanca Hijau ... 26

17. Tingkahlaku Memeriksa... 27

18. Frekuensi Tingkahlaku Memeriksa Ular Sanca Hijau... 27

19. Tingkahlaku Minum... 28

20. Tingkahlaku Menguap ... 29

21. Berbagai Ukuran Mencit dan Tikus Sebagai Pakan Ular... 30

22. Grafik Tingkahlaku Makan Ular Sanca Hijau... 30

23. Tingkahlaku Mengamati/Memeriksa ... 31

24. Tingkahlaku Menerkam/Menggigit ... 32

25. Tingkahlaku Membelit... 33

26. Tingkahlaku Menelan ... 34

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Aktivitas Harian Ular Sanca Hijau (Morelia viridis)... 41 2. Tingkahlaku Makan Ular Sanca Hijau (Morelia viridis) ... 43

(13)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Flora dan fauna sebagai pendukung kehidupan manusia harus senantiasa diperhatikan, dilestarikan dan dijaga kelangsungan hidupnya. Ketidakhadiran salah satu spesies saja di muka bumi ini, akan mengakibatkan pergeseran keseimbangan daur kehidupan makhluk hidup masa mendatang, manusia turut ambil bagian di dalamnya. Keberadaan satwa ular merupakan fenomena alam yang unik dan mengundang berbagai pertanyaan, karena karakter salah satu jenis reptilia ini cukup unik dan penuh misteri.

Ular adalah salah satu binatang yang masuk dalam rangkaian alur mata rantai kehidupan. Sampai saat ini, karena minimnya pengembangan studi tentang ular di masyarakat, paradigma masyarakat umum tentang ular cenderung negatif. Semua jenis ular terkesan menyeramkan dan mematikan, akibatnya banyak sekali ular yang mati sia-sia karena dianggap binatang yang berbahaya. Pada kenyataannya dari 2.700 spesies ular yang sudah tercatat di dunia, sebanyak 70% menetas dan sisanya melahirkan, dan hanya 25% yang memiliki bisa. Dari 250 spesies ular yang sudah tercatat di Indonesia hanya sekitar 5% yang berbisa dan mematikan sehingga perlu diwaspadai.

Sejak awal kehidupan manusia ular selalu menjadi makhluk yang ditakuti karena ular dianggap menyeramkan, mematikan dan karena itu sering pula didewakan dalam mitos, religi, dan medis. Orang Inggris kuno percaya bahwa ular memilki kekuatan untuk menyembuhkan, untuk mengobati penyakit, dokter selalu menggunakan ular untuk kesembuhan pasiennya. Orang-orang yang menyebut dirinya kaum “Druids”, percaya bahwa ular tertentu atau ular berbisa memiliki telur ajaib. Telur itu disebut dengan “Adders stones” (batu ular berbisa) yang dipercaya dapat memberikan keberuntungan dan menangkal berbagai penyakit. Di Irlandia tidak terdapat ular. Menurut cerita, Santo Patrick telah mengusir semua ular di Irlandia. Di Mesir, ular kobra dipuja sebagai Dewa Ejo, dan tidak hanya dipuja, tetapi juga sebagai hiasan di kepala pada waktu itu. Suku Indian (Arizona) dan Suku Aborigin (Australia) memuja Dewa Ular sebagai Dewa yang dapat memberikan hujan untuk tanah mereka dengan menarikan tarian ular. Di Afrika, beberapa ritual dalam beberapa suku di Afrika memasukkan tarian ular untuk memohon memberikan

(14)

kesuburan pada gadis-gadis. Di India ular king cobra dipercaya sebagai Dewa

Pencipta yang dipuja dengan mempersembahkan sesaji. Perayaan Nagpanchmi yang jatuh pada hari kelima bulan Hindu Shravana, selama perayaan patung ular dan sesaji dibawa ke candi. Cerita rakyat Cina kaya akan legenda dan fabel yang berkaitan dengan ular. Mereka sering mementaskan drama “Madam White Snake”, dan fabel yang paling terkenal adalah cerita tentang ular putih yang merupakan jelmaan dari seorang puteri cantik yang menikah dengan manusia dan memilki seorang putera. Ular juga digunakan sebagai lambang dalam penanggalan Cina.

Dalam hal religi, agama Hindu percaya bahwa ular king cobra merupakan simbol dari keberuntungan dan kesuburan. Dalam agama Budha dikisahkan, suatu saat ular sedang mengamati Sang Budha yang sedang bertapa di sebuah tempat yang terbuka, tetapi tiba-tiba jatuh di dekat Sang Budha, ular itu lalu menggulung tubuhnya dan mengangkat kepalanya kemudian melebarkan tudungnya untuk menghalau roh-roh yang datang untuk mengganggu Sang Budha, setelah selesai bertapa Sang Budha menggunakan jari tengah dan telunjuknya untuk memberkati ular tersebut dengan membuat tanda seperti mata pada tudungnya. Dalam agama Kristen ular dikutuk oleh Allah, “.... ia akan melata dengan menggunakan perutnya, dan keturunannya akan bermusuhan dengan manusia. Keturunan manusia akan meremukkan kepalanya dan ia akan meremukkan tumit manusia”. Allah juga memperingatkan bangsa Israel yang sudah mulai tidak setia kepada Allah dengan mengirimkan ular-ular berbisa dan mematuk mereka, kemudian Allah memberikan kuasa kepada Musa untuk membuat ular tembaga di atas tongkatnya, dan setiap orang yang melihat akan sembuh.

Dalam bidang medis, tubuh ular dapat digunakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam ilmu pengobatan Cina, sup ular dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit kulit, ada juga yang percaya meminum rendaman ular dengan anggur sebagai penawar dari gigitan ular dan juga sebagai obat kuat. Masih banyak lagi bagian dari tubuh ular yang dapat digunakan dalam pengobatan, antara lain bisanya yang digunakan sebagai penawar bisa, oleh karenanya dijadikan lambang kefarmasian di seluruh dunia.

Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk yang semakin pesat mengandung resiko semakin sempitnya ruang hidup ular. Kebutuhan manusia akan

(15)

ular juga mengalami peningkatan. Manusia terus memburu demi memenuhi

kebutuhan akan ular, beberapa diburu untuk dikonsumsi, diambil kulitnya, bagian tubuhnya diambil dan digunakan sebagai bahan dasar kosmetik, obat, dan untuk dijadikan hewan peliharaan. Selain itu ular juga mempunyai fungsi yang tidak kalah penting sebagai pemangsa dalam siklus rantai makanan. Ular sanca hijau diburu karena mempunyai warna kulit yang indah dan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi untuk dijadikan hewan peliharaan. Ular sanca hijau merupakan jenis ular yang statusnya sudah terdaftar dalam APENDIX III, atau dengan kata lain sudah dilindungi dan bukan tidak mungkin spesies lain akan segera menyusul.

Salah satu cara untuk melestarikan ular agar populasinya tidak mengalami penurunan bahkan punah adalah dengan mengembangkan melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian baik di habitat aslinya (insitu) maupun di luar habitat aslinya (exsitu). Penangkaran merupakan cara perlindungan dan pelestarian diluar habitat aslinya (exsitu). Kegiatan penangkaran dapat menunjang dalam upaya perlindungan dan pemanfaatan ular secara lestari. Dalam upaya pengembangan penangkaran ular sanca hijau, penelitian mengenai teknik penangkaran ular sanca hijau mutlak untuk dilakukan, yang sampai saat ini informasi mengenai hal tersebut masih sangat terbatas jumlahnya. Informasi tersebut selanjutnya dapat dijadikan sebagai data dasar untuk pembudidayaan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengumpulkan informasi dasar pola tingkahlaku ular sanca hijau (Morelia viridis) di penangkaran.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk membantu usaha pengembangan teknik pembudidayaan dan pelestarian satwa ular sanca hijau (Morelia viridis), agar kekayaan alam Indonesia tersebut mendapat perhatian dan tidak mengalami kepunahan.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi

Menurut Maxwell (2003), ular sanca hijau mempunyai klasifikasi sebagai berikut: Filum Chordata, Sub Filum Vertebrata, Kelas Reptilia, Sub Kelas Lepidasauria, Ordo Squamata, Sub Ordo Serpentes, Famili Boidae, Sub Famili Pythoninae, Genus Morelia, dan Spesies Morelia viridis.

Masih terdapat kerancuan pada beberapa literatur dan sumber-sumber informasi dari situs internet ular sanca hijau dimasukan dalam genus Chondropython, sehingga spesiesnya menjadi Chondropython viridis. Hal ini dikarenakan perubahan taksonomi dari Genus Chondropython menjadi Morelia baru terjadi tahun 1994. Perubahan taksonomi ini dikarenakan adanya keeratan hubungan antara ular sanca hijau dengan salah satu Genus dari Sub Famili Pythoninae, yaitu Morelia. Salah satu contoh ular dari Genus Morelia adalah ular sanca karpet (Morelia spilota), yang memiliki banyak kemiripan dengan ular sanca hijau (Bartlett dan Wagner, 1997).

Habitat dan Penyebaran

Selama proses evolusi berlangsung, margasatwa beradaptasi dengan berbagai faktor fisik, vegetasi dan margasatwa lain. Hasil adaptasi tersebut menyebabkan margasatwa menetap di suatu daerah dengan kondisi lingkungan yang sesuai dengan kehidupannya. Kondisi lingkungan tersebut meliputi tempat-tempat untuk mencari makan, minum, berlindung, bermain dan tempat berkembang biak yang secara keseluruhan disebut habitat (Alikodra, 1980).

Ular sanca hijau hidup di daerah beriklim tropis, dengan kelembaban relatif sekitar 80%, vegetasi lebat, suhu berkisar antara 22–32°C (Maxwell, 2003).

Penyebarannya meliputi hutan hujan tropis, pegunungan di Papua, kepulauan Salomon dan sedikit terdapat di Australia bagian utara (Stoops dan Wright, 1993).

Secara umum pada habitat aslinya ular muda akan memakan mamalia kecil seperti tikus, reptila seperti cicak, kadal atau tokek, dan kodok. Ular dewasa akan memakan mamalia, reptilia, dan burung (O’Shea dan Halliday, 2001). Makanan yang

terbaik bagi ular di penangkaran adalah seperti keadaan yang ada di alam, seperti tikus, burung, tokek, dan kadal (Schmidt, 1995).

Karakteristik Biologis Morfologi dan Anatomi

(17)

Ular adalah binatang yang mempunyai sisik, memiliki sepasang tulang rusuk

pada setiap ruas tulang belakang, mempunyai paru-paru, telurnya bercangkang, dan berdarah dingin. Ular hanya dapat mendengar melalui tulang tengkorak, yang meneruskan getaran dari tanah. Matanya tidak pernah berkedip tertutup sisik bening mengkilat (Carr, 1980). Ular sanca hijau memiliki semua organ dalam yang umum dimiliki oleh hewan bertulang belakang, seperti jantung, lambung, hati, empedu, usus, dan memiliki dua paru-paru (Weidensaul, 2004).

Semua jenis ular memiliki organ yang membantu dalam indera penciuman yang dinamakan Organ Jacobson’s. Semua jenis partikel di udara seperti: bau, tetes air, serbuk sari dan lain sebagainya ditangkap melalui lidah. Setelah lidah

dimasukkan semua unsur yang tertangkap kemudian di transfer ke unit khusus yang terdapat di langit-langit mulut yaitu Organ Jacobson’s. Lidah ular bercabang berguna untuk mengecap secara stereo, sehingga dapat menentukan arah mangsanya dari jauh. Ular memiliki tulang rahang yang unik, bagian rahang atas dan bawah terbagi dua dan memiliki pangkal tulang rahang yang berbentuk segiempat, yang secara keseluruhan dihubungkan dengan otot elastis sehingga ular dapat menelan mangsa yang lebih besar dari kepalanya (Stafford, 1986).

Menurut Schmidt (1995) ular sanca hijau yang masih muda mempunyai warna yang lebih bervariasi mulai dari kuning terang, coklat keputihan, coklat kemerahan, dan bahkan merah (Gambar 1). Ular ini memiliki sisik yang halus terutama pada bagian kepala, pupil mata yang vertikal, dan mempunyai ujung ekor prehensile berwarna hitam dengan sedikit putih. Semua jenis ular tidak memiliki kaki tetapi dalam famili ular-ular besar (Boidae), hal tersebut masih dapat dilihat dalam bentuk cakar yang terdapat di bagian anal (Geus, 1995). Selanjutnya

dinyatakan oleh Stafford (1986), ular dari famili Boidae adalah salah satu dari sedikit famili ular yang memiliki sisa kaki yang kecil akibat proses rudimenter berupa kuku terletak di mulut kloaka, yang merupakan peninggalan dari masa lalu.

(18)

Gambar 1. Ular Sanca Hijau Muda Sesaat Setelah Menetas

Sumber: Maxwell, (2003)

Terdapat empat perbedaan ras ular sanca hijau yang telah diketahui (Gambar 2), empat ras tersebut adalah ras Pulau Biak, ras Pulau Aru, ras daratan Sorong, dan ras dataran Merauke atau Cape York, Wamena (Maxwell, 2003).

a

b

(19)

Gambar 2. Empat Ras Ular Sanca Hijau a) Ras Aru, b) Ras Sorong, c) Ras

Biak, dan d) Ras Wamena

Sumber: Maxwell, (2003)

Perubahan dari fase anakan, remaja, menuju dewasa ditandai dengan adanya perubahan warna tiap individu. Tidak terdapat ketentuan di dalam proses perubahan warna pada ular sanca hijau seekor individu dapat berubah dengan cepat, bahkan dalam waktu semalam. Beberapa individu ada yang membutuhkan waktu sampai beberapa tahun untuk menyelesaikan perubahan warna dari anakan, remaja, menuju dewasa. Individu yang menetas dengan warna kuning memiliki perbedaan kelajuan dalam proses perubahan warna dibandingkan dengan individu yang menetas dengan warna gelap seperti merah, oranye, coklat atau hitam. Rata-rata ular sanca hijau muda akan memulai proses perubahan warna pada umur kira-kira enam bulan sampai satu tahun. Anakan yang lahir dengan warna kuning biasanya memulai proses

perubahan warna ditandai dengan munculnya beberapa warna hijau pada sisiknya. Beberapa sisik warna hijau kemudian akan menyebar ke seluruh bagian tubuh dan setelah beberapa lama akan menutupi hampir ke seluruh bagian tubuh. Proses perubahan ini kadang memakan waktu sangat cepat, tetapi seringkali membutuhkan waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan (Maxwell, 2003).

Ular sanca hijau mempunyai panjang tubuh maksimal 2,0 m, dengan panjang rata-rata 1,2 m. Ular sanca hijau jantan dewasa memiliki panjang tubuh rata-rata 1,2– 1,5 m dengan bobot yang berkisar antara 900–1.200 g, sedangkan ular sanca hijau betina dewasa memiliki panjang tubuh sedikit lebih panjang daripada jantan dengan bobot yang berkisar antara 1.200–1.500 g, bahkan dapat mencapai 2.000 g (Maxwell, 2003). Ular ini mempunyai badan yang tampak padat jika dilihat dari samping, dan memiliki kepala yang tampak besar dengan leher yang semakin mengecil,

mempunyai warna dasar hijau terang, terdapat juga sedikit warna kuning atau putih kusam berupa garis yang terletak di punggung (Coborn, 1992).

Ular sanca hijau jantan dan betina dapat dibedakan dari segi fisiknya, ular jantan memiliki bentuk kepala lebih ramping, memiliki ekor lebih panjang dan ramping, memiliki kuku di bagian anal (sisa kaki) lebih besar, serta memiliki badan lebih ramping daripada ular betina, akan tetapi dengan cara melihat secara fisik belum tentu dapat diketahui jenis kelaminnya secara pasti. Penentuan jenis kelamin

(20)

ular sanca hijau dapat melalui pengamatan pada bagian alat reproduksi dengan

menggunakan sex proof (Gambar 3).

Gambar 3. Berbagai Macam Ukuran Sex Proof

sex proof adalah sebuah alat yang dipakai untuk mengetahui jenis kelamin satwa reptil (ular dan kadal) yang penggunaannya dilakukan dengan cara dimasukkan ke dalam lubang kloaka, dimana ciri jantan dan betina dapat dibedakan dengan melihat panjang sex proof yang masuk ke dalam lubang kloaka. Individu jantan mempunyai ukuran sex proof lebih panjang dibandingkan dengan betina. Panjangnya ukuran sex proof individu jantan disebabkan oleh adanya organ hemipenis dengan saluran kloaka yang lebih panjang (Gow, 1989).

Tabel 1. Data Morfologi Ular Sanca Hijau (Morelia viridis)

Kriteria (satuan) Keterangan

Panjang untuk dewasa

Jantan (m) 1,3-1,5 Betina (m) 1,5-2,0 Panjang lahir (cm) ± 30,0 Bobot dewasa Jantan (g) 900-1.200 Betina (g) Bobot lahir (g) 1.800-2.000 ± 9,0

(21)

Sumber: Maxwell, (2003) dan Schmidt, (1995)

Reproduksi

Menurut Goin dan Goin (1978) daerah tropis dengan kondisi suhu cukup stabil dan curah hujan cukup tinggi mempengaruhi reproduksi reptil, sehingga potensi induk berkembang biak sepanjang tahun stabil. Waktu alami ular sanca hijau bertelur di habitat aslinya berkisar dari bulan Mei hingga Agustus (Schmidt, 1995).

Di daerah tropis dimana periode hibernasi tidak ada, menjadikan dewasa kelamin lebih cepat dicapai karena pertumbuhan tidak terputus (Goin dan Goin, 1978). Ular sanca hijau di kandang penangkaran mencapai dewasa kelamin pada umur tiga tahun dan memiliki bobot badan paling tidak 1.000 g dimana pada umur ini ular betina sudah dapat bertelur untuk yang pertama kalinya, sedangkan untuk jantan membutuhkan waktu 18 bulan (Maxwell, 2003).

Pada umumnya Reptilia adalah ovipar yaitu bertelur dan menetas diluar tubuh induk (Goin dan Goin, 1971). Menurut Gow (1989) ular sanca hijau adalah salah satu spesies ular ovipar. Selama pengeraman terbentuk gigi telur di bagian moncong bayi ular yang berguna dalam mempercepat proses penetasan. Selanjutnya dikatakan setelah bagian kepala bayi ular keluar dari cangkang telur, gigi telur ini akan tanggal. Secara alami induk ular sanca hijau di habitat aslinya membuat sarang dari dedaunan kering, kemudian meletakkan telurnya di dasar hutan maupun lubang-lubang kayu pada tempat yang cukup lembab dan cukup panas sehingga proses penetasan dapat berlangsung dengan baik. Telur yang dikeluarkan akan diikat oleh lendir sehingga telur tidak terpisah satu persatu. Bentuk telur umumnya agak bundar atau oval dengan kulit telur yang tidak mudah retak atau elastis (Gambar 4).

(22)

Gambar 4. Telur Ular Sanca Hijau

Sumber: Maxwell, (2003)

Setelah ular sanca hijau bertelur segera telur-telur tersebut dikumpulkan dengan cara menggerakkan ekor dan tubuhnya. Selanjutnya telur-telur ditutup dengan material di sekitarnya sehingga membentuk piramid yang dilingkarinya (Gambar 5). Tubuh melingkar membentuk spiral dan kepala menutupi bagian atas. Selama pengeraman tubuh induk mengalami peningkatan suhu tubuh di atas suhu lingkungan. Peningkatan suhu ini disebabkan oleh kontraksi otot-otot secara spasmodik yang dilakukan selama pengeraman (Gow, 1989).

Gambar 5. Ular Sanca Hijau Sedang Mengeram

Sumber: Maxwell, (2003)

Goin dan Goin (1971) menjelaskan bahwa panas dibutuhkan bagi pertumbuhan embrio. Pada Aves dan Mamalia endotermik, embrio memerlukan panas konstan yang berasal dari tubuh induknya. Akibatnya periode embriotik selalu konstan untuk setiap spesies. Pada Reptilia yang bersifat ektotermik penetasan sangat tergantung pada temperatur lingkungan yang sangat bervariasi dari tempat dan waktu. Kondisi ini menjadikan periode embriotik sangat bervariasi meskipun dari spesies yang sama.

Ular sanca hijau memiliki masa bunting antara 110-120 hari, dan bertelur selama 18–19 hari dengan jumlah telur 15–25 butir, dengan rata-rata ukuran telur

(23)

3,9x2,5 cm dan bobot rata-rata 15 g (Maxwell, 2003). Ular sanca hijau termasuk

pengeram sejati, karena menghasilkan panas yang berasal dari otot-otot yang mengejang. Dalam keadaan dierami secara alami oleh induknya telur ular sanca hijau akan menetas dalam waktu 50–62 hari, tetapi dalam inkubator dengan suhu 28-29°C membutuhkan waktu antara 50–65 hari (Schmidt, 1995).

Tabel 2. Performa Reproduksi Ular Sanca Hijau (Morelia viridis)

Kriteria (satuan) Keterangan

Umur dewasa kelamin

Jantan (bulan) ± 18,0

Betina (bulan) 25,0-27,0

Umur dikawinkan pertama kali

Jantan (tahun) ± 2,0

Betina (tahun) ± 3,0

Waktu bunting (hari) Masa pengeraman alami (hari)

Masa inkubasi (hari) Jumlah telur (butir)

Ukuran telur (cm) Bobot telur (g) 110-120 50-62 50-65 15-25 3,9x2,5 ± 15,0

Sumber: Maxwell, (2003) dan Schmidt, (1995)

Tingkahlaku

Menurut Tinbergen (1969), perilaku hewan adalah gerak-gerik hewan, dan cenderung dianggap sebagai gerak atau perubahan gerak, termasuk dari bergerak ke tidak bergerak. Tingkahlaku ini meliputi antara lain gerak pada waktu makan, kawin, mengeluarkan bunyi, bahkan perilaku ini dapat juga berupa sikap diam.

Tingkahlaku hewan dipengaruhi oleh faktor dalam dan luar dari individu yang bersangkutan. Faktor dalam antara lain hormon dan sistem syaraf, sedangkan faktor luar berupa cahaya, suhu dan kelembaban (Grier, 1984). Aktivitas ular secara

umum dapat berupa diam (istirahat), bergerak: melata, melompat atau memanjat, makan, minum, memeriksa, eliminasi, ganti kulit, kawin, dan bertelur (Taylor dan

O’Shea, 2004) .

Tingkahlaku istirahat dan bergerak (lokomotive behaviour). Menurut Coborn (1992) ular sanca hijau mempunyai tingkahlaku istirahat yang sangat unik yaitu dengan menggulung badannya pada batang pohon dengan letak kepalanya berada

(24)

tepat ditengah (Gambar 6). Menurut Taylor dan O’Shea (2004) ular memiliki empat

cara dalam bergerak; serpentine (gerakan ke samping bergelom-bang/berombak), rectilinear (gerakan seperti garis lurus), concertina (gerakan pegas), dan sidewinding

(gerakan menyamping). Kemudian diketahui bahwa ular bergerak tidak hanya dalam satu cara saja melainkan kombinasi dari empat cara tersebut tergantung kondisi.

Gambar 6. Tingkahlaku Istirahat Ular Sanca Hijau Sumber: Maxwell, (2003)

Tingkahlaku makan dan minum (ingestive behaviour). Tingkahlaku makan ular sanca hijau sama seperti ular sanca yang lainnya yaitu memulai gerakan dengan membentuk posisi huruf “S” (Gambar 7), kemudian dengan cep at menerkam dan membunuh mangsanya terlebih dahulu dengan membelit hingga mangsanya sulit untuk bernapas, setelah itu dengan bergantung di cabang batang pohon menggunakan ekornya ular ini akan mencari bagian kepala dari mangsanya (jika dalam keadaan normal) dan menelan mulai dari bagian kepala untuk menghindari kesulitan dalam menelan, lalu menelannya secara utuh (Maxwell, 2003). Pada tingkahlaku minum ular sanca hijau akan menjulurkan lidahnya sebagai indera perasa secara berulang-ulang untuk mendeteksi keberadaan sumber air, kemudian setelah mengetahui adanya sumber air ular sanca hijau akan meminumnya dengan menjulurkan lidahnya secara berulang-ulang (Stafford, 1986).

(25)

Gambar 7. Ular Sanca Hijau Membentuk Posisi Huruf “S” Sebelum

Menerkam Mangsanya

Sumber: Maxwell, (2003)

Tingkahlaku seksual (sexual behaviour). Pada tingkahlaku kawin awalnya pejantan akan menggosokkan dagunya disepanjang punggung tubuh betina secara berulang-ulang. Selanjutnya pejantan berusaha menyejajarkan tubuhnya di atas tubuh betina, membuat gerakan kejang dan mengkerut. Tindakan selanjutnya adalah pejantan membuat gerakan seperti gelombang dari arah ekor ke arah kepala, gerakan ini dimaksudkan merangsang betina untuk kopulasi. Pejantan akhirnya akan menggosokkan tubuh betina, mengangkat atau mendorong bagian bawah ekor betina untuk mendapatkan posisi yang cocok untuk kopulasi. Perilaku ini berulang-ulang sampai betina menjadi benar-benar responsif dan ekor mereka bergulung (Gambar 8). Apabila betina tidak siap untuk kopulasi ia akan mengibaskan ekornya kemudian melata menjauhi pejantan. Famili Boidae (Pythons dan Boas) pejantan menggunakan cloacal spurs untuk merangsang betina, pada saat kopulasi berlangsung kemudian diikuti dengan gerakan ekor yang kejang (Gow, 1989). Ular sanca hijau di penangkaran cenderung untuk melakukan perkawinan pada waktu malam, dan tidak menghiraukan manipulasi cahaya lampu (Stoops dan Wright, 1993).

(26)

Gambar 8. Tingkahlaku Kawin Ular Sanca Hijau

Sumber: Maxwell, (2003)

Tingkahlaku ganti kulit dan merawat tubuh (epimiletic behaviour). Ular sanca hijau sama seperti semua ular secara periodik akan melakukan proses pergantian kulit. Bayi ular sanca hijau secara normal akan mengganti kulit untuk pertama kali pada umur sekitar sepuluh hari setelah menetas, dan akan mengganti kulit secara periodik setiap empat sampai enam minggu sekali semasa hidupnya (Maxwell, 2003). Tingkahlaku dalam mengganti kulit ular sanca hijau akan menggesekkan badannya hingga seluruh kulit yang sudah tua terlepas (Gambar 9). Sebelum proses pergantian kulit terjadi akan tampak tanda-tanda fisik yaitu berupa mata dari ular tersebut akan tampak berwarna kebiruan, dan warna pada sisik menjadi kusam. Lapisan epidermis kulit ular yang dipenuhi oleh sisik sebagian besar terdiri dari keratin, benda mati sekaligus materi infleksibel. Jadi untuk perkembangan tubuhnya seekor ular harus sering mengganti kulit (Stafford, 1986).

(27)

Gambar 9. Tingkahlaku Ganti Kulit Ular Sanca Hijau

Sumber: Maxwell, (2003)

Tingkahlaku eliminasi (eliminative behaviour). Ular sanca hijau muda akan lebih sering melakukan eliminasi karena memiliki metabolisme lebih tinggi dibandingkan dengan dewasa. Ular sanca hijau seringkali eliminasi setelah proses mengganti kulit selesai. Perilaku eliminasi (defekasi dan urinasi) dari ular sanca hijau ditandai dengan melakukan gerakan menjulurkan ekornya hingga menyentuh dasar kandang kemudian dilanjutkan dengan mengeluarkan kotoran padat dan urin (Maxwell, 2003).

Penangkaran

Penangkaran merupakan kegiatan pembesaran dan pengembangbiakan satwa liar dan tumbuhan alam, dengan tetap mempertahankan galur murninya (Dephut, 1997). Dasar hukum penangkaran ular sanca hijau adalah sebagai berikut:

1) Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan ekosistemnya;

2) KEPPRES No. 43. Tahun 1978 tentang Ratifikasi Konservasi Internasional Perdagangan Flora dan Fauna Langka (CITES);

3) KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN No. 556/Ktps-II/1989 tentang Pemberian Ijin, Menangkap/Mengambil, Memiliki, Memelihara, dan Mengangkut, baik di dalam Negeri maupun ke Luar Negeri Satwa Liar,Tumbuhan Alam dan/ atau Bagian-bagiannya;

4) KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN No. 25/Ktps-II/1994 tentang Pembentukan Tim Akreditasi Penangkaran Satwa Liar dan Hasilnya; dan

5) KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PHPA No. 07/Ktps/Dj-IV/1998 tentang Penangkaran Satwa Liar dan Tumbuhan Alam.

(28)

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini telah dilaksanakan di penangkaran CV Terraria Indonesia yang berada di Desa Gunung Sindur, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Bogor. Penelitian berlangsung mulai awal bulan Mei sampai dengan bulan Juni 2005.

Materi dan Peralatan Hewan

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini ular sanca hijau (Morelia viridis) yang tersedia di penangkaran CV Terraria Indonesia, terdiri dari enam ekor ular sanca hijau dewasa (umur lebih dari 500 hari). Ular sanca hijau dikandangkan dalam enam buah kandang yang masing-masing berisi satu ekor.

Kandang

Kandang yang digunakan terbuat dari plastik berventilasi dengan ukuran 40x20x25 cm. Kandang tersebut diletakkan dalam ruangan beukuran 8x6 m.

Pakan

Ular sanca hijau diberi pakan berupa tikus (Rattus norvegicus) dewasa sebanyak satu ekor untuk sekali pemberian, dengan interval waktu pemberian satu minggu. Air minum diberikan ad libitum yang ditaruh di dasar kandang.

Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian antara lain: alat tulis, lampu berwarna merah, stopwatch dan kamera.

(29)

Pengumpulan Data Tingkahlaku harian

Tingkahlaku harian diamati dengan metode ad libitum sampling. Ad libitum sampling adalah metode pencatatan semua tingkahlaku yang dilihat dan diperagakan

pada waktu pengamatan (Altman, 1973). Pengamatan tingkahlaku hewan dapat diarahkan pada siklus harian yaitu pengamatan dengan menggunakan metode ad libitum sampling dan metode pencatatan one-zero sampling. One-zero sampling ialah

teknik pencatatan untuk mengetahui intensitas tingkahlaku dalam bentuk jumlah kali suatu tingkahlaku yang dilakukan pada waktu tertentu (Altman, 1973). Pengamatan

dengan menggunakan metode ad libitum sampling dibagi kedalam empat fase pengamatan dengan interval waktu pengamatan 15 menit, yaitu hari 1 (Fase I:

06.00-12.00 WIB) dan (Fase III: 18.00-24.00 WIB), hari 2 (Fase II: 06.00-12.00-18.00 WIB) dan (Fase IV: 24.00-06.00 WIB), sehingga setiap ulangan dilakukan pengamatan selama 24 jam. Pada tahap ini digunakan metode pencatatan one-zero sampling, jika hewan melakukan perilaku tertentu pada waktu selang pengamatan, diberi nilai satu dan jika

tidak ada perilaku diberi nilai nol. Waktu yang dibutuhkan untuk mengamati satu ekor ular dua hari, untuk seluruh individu sebanyak enam ekor ular dibutuhkan waktu 12 hari, dengan dua kali ulangan dibutuhkan waktu 24 hari. Tahap berikutnya

akan ditentukan urutan dan jenis perilaku ular sanca hijau.

Peubah-peubah yang akan diamati sebagai pengamatan tingkahlaku harian, adalah sebagai berikut:

a) tingkahlaku istirahat;

b) tingkahlaku bergerak (lokomotive behaviour); c) tingkahlaku memeriksa (investigative behaviour); d) tingkahlaku makan dan minum (ingestive behaviour);

e) tingkahlaku ganti kulit dan merawat tubuh (epimiletic behaviour); dan f) tingkahlaku eliminasi (eliminative behaviour).

Tingkahlaku makan

Tingkahlaku makan diamati dengan Focal animal sampling. Focal animal sampling adalah metode pegamatan tingkahlaku dengan mengamati hewan tertentu yang menjadi fokus pengamatan dengan waktu yang sudah ditentukan dan mencatat secara rinci semua gerakan yang terjadi, biasanya digunakan untuk berbagai kategori

tingkahlaku yang berbeda (Martin dan Bateson, 1993). Periode waktu focal animal sampling adalah pada waktu pemberian pakan di penangkaran, diamati pada delapan

ekor ular sanca hijau pada kandang yang berbeda. Perilaku makan dicatat sejak ular mengamati, memeriksa, menerkam, menggigit, membelit hingga mangsa ditelan.

Pencatatan meliputi deskripsi perilaku secara rinci dan waktu berlangsungnya perilaku makan.

(30)

Informasi lokasi, organisasi, dan manajemen penangkaran didapat melalui

wawancara dan pengamatan langsung.

Analisis Data

Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif merupakan penguraian dan penjelasan mengenai jenis aktivitas yang dilakukan, lama beraktivitas, frekuensi setiap aktivitas yang dilakukan dan ritme aktivitas. Informasi mengenai kejadian-kejadian tingkahlaku harian dan tingkahlaku makan ular sanca hijau di lokasi penangkaran meliputi peubah-peubah yang berhubungan dengan tingkahlaku.

Analisis perhitungan hasil pengolahan data mengenai tingkahlaku harian untuk mengetahui persentasi tingkahlaku dengan menggunakan persamaan

matematika (Martin dan Bateson, 1993):

=

y

x

x100%

Keterangan:

= persentasi tingkahlaku,

x

= jumlah kali kegiatan tingkahlaku yang diamati, dan

y

= jumlah kali seluruh tingkahlaku yang terjadi.

Selanjutnya data diinterpretasikan dalam bentuk persentase yakni menggambarkan proporsi pengggunaan lama waktu satwa beraktivitas dan frekuensi setiap aktivitas, tabel, dan grafik yakni menggambarkan peubah-peubah yang diukur dengan penyajian grafik yang menggambarkan intensitas tingkahlaku.

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penangkaran Lokasi Penangkaran

Lokasi penelitian berada di kandang penangkaran reptil CV Terraria Indonesia yang berada di Desa Curug, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor Jawa Barat, dengan luas 3.000 m2, yang terbagi menjadi dua yaitu tempat penampungan 1.000 m2 dan tempat pembiakkan 2.000 m2. CV Terraria Indonesia bergerak dalam perdagangan khusus reptil baik yang dilindungi undang-undang maupun yang tidak dilindungi undang-undang yang berorientasi ekspor. Kegiatan usaha ini berdasarkan pada peraturan pemerintah No. 162 / KPTS – V / 2000 tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.

(31)

CV Terraria Indonesia menyediakan fasilitas penangkaran dan non

penangkaran, yang dimaksud dengan non penangkaran adalah bertindaknya CV ini sebagai pengumpul satwa-satwa reptil khususnya yang akan diekspor ke luar negeri yaitu ke negara Amerika dan Jepang. Dalam kegiatan ekspor ini guna memenuhi pasar luar negeri satwa reptil dan amphibi dicari langsung dari daerah. Agar ditempat penampungan tidak terlalu banyak satwa dan untuk menghindari kematian selama ditampung maka pihak perusahaan menerapkan aturan bahwa satwa yang akan dikirim kepada perusahaan disesuaikan dengan pesanan permintaan dari perusahaan.

Fasilitas Penangkaran

Fasilitas yang digunakan untuk usaha penangkaran terdiri dari tiga bangunan berukuran besar. Bangunan pertama digunakan untuk mensortir satwa-satwa yang baru datang. Apabila ada permintaan terhadap satwa atau satwa tersebut tidak ditangkarkan, maka satwa tersebut akan tetap berada di bangunan pertama ini. Bangunan kedua bertindak sebagai tempat karantina bagi satwa-satwa yang akan ditangkarkan. Satwa dalam bangunan ini akan diperiksa kesehatannya sebelum dimasukkan ke bangunan ketiga yang bertindak sebagai tempat penangkaran. Setiap sisi bangunan yang dipergunakan ditutup kawat ram berukuran 1 cm, hal ini dikarenakan demi keamanan jika ada satwa yang terlepas dari kandang individu tidak akan keluar dari bangunan induk.

Bangunan pertama bertindak sebagai tempat penampungan berukuran 8x6 m berisi satwa-satwa yang ditampung seperti ular, cicak, tokek, kura-kura, dan biawak. Satwa-satwa tersebut dipisahkan kedalam kandang plastik dengan ukuran 40x25x30 cm dengan posisi ditumpuk empat menggunakan rak terbuat dari besi. Pada sudut ruangan terdapat inkubator menggunakan lampu untuk menetaskan telur-telur satwa reptil. Inkubator yang digunakan adalah buatan sendiri. Disamping ruang penampungan pertama terdapat ruang penampungan yang digunakan untuk menampung berbagai jenis kura-kura yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

(32)

Gambar 10. Keadaan Bangunan Penampungan

Keadaan bangunan penampungan (Gambar 10) terdiri dari a) untuk menampung ular dengan mnggunakan rak yang terbuat dari besi disusun empat tingkat, b) kandang yang terbuat dari kayu triplek, digunakan untuk menampung tokek, c) untuk menampung ular, biawak, dan kadal yang berukuran kecil, dan d) pintu masuk utama kandang penampungan.

Untuk kelancaran usahanya perusahaan memiliki kamar bagi karyawan dan fasilitas penelitian bagi mahasiswa yang akan melakukan penelitian di bidang reptil. Selain itu perusahaan menyediakan fasilitas air bersih. Air sangat penting bagi usaha penangkaran, selain digunakan untuk keperluan minum satwa, air juga digunakan untuk sanitasi satwa. Pembuangan limbah cair ini langsung ke lubang pembuangan yang berada di bawah bangunan sehingga tidak mencemari lingkungan sekitarnya.

Kegiatan Ekspor

Berbagai jenis satwa reptil dan amphibi yang diekspor oleh CV Terraria Indonesia diperoleh melalui perantara didaerah ataupun langsung ke berbagai daerah yang berpotensi jenis satwanya. Selain memperoleh langsung perusahaan telah mengupayakan penangkaran berbagai jenis satwa reptil. Usaha penangkaran yang dilakukan bertujuan untuk pelestarian satwa agar tidak terjadi kepunahan dihabitat

a

b

d

c

(33)

aslinya. Spesies-spesies reptil yang telah berhasil ditangkarkan dan diekspor oleh

perusahaan ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Satwa Reptil yang Telah Ditangkarkan dan Diekspor

No. Nama daerah Nama ilmiah Asal daerah

1. Ular sanca hijau Morelia viridis Papua 2. Ular sanca darah Python curtus Sumatera 3. Ular sanca batik Python reticulatus Sumatera, Jawa,

Kalimantan, dan Sulawesi 4. Ular sanca karpet Morelia spilota variegata Papua

5. Ular sanca kuning Morelia clastolepis Kepulauan Maluku 6. Ular sanca timor Python timorensis Timor

7. Biawak kuning Varanus rudicolis Papua

Pemeliharaan Satwa

Keberadaan satwa di lokasi penangkaran memerlukan perlakuan dan perawatan yang baik oleh petugas kandang agar satwa tetap dalam kondisi sehat. Perlakuan dan perawatan satwa yang meliputi kebersihan kandang, penyediaan air dan pakan satwa dilakukan setap hari kecuali pemberian pakan oleh setiap petugas kandang. Pemberian pakan untuk satwa dilakukan secara rutin setiap satu minggu sekali pada waktu kerja antara pukul 08.00-16.00 WIB. Pengadaan pakan berupa mencit atau tikus diusahakan sendiri oleh perusahaan dengan cara menernaknya.

(34)

Fasilitas ternak mecit dan tikus (Gambar 11) terletak ditengah lokasi

penangkaran antara kandang penampungan dengan kandang penangkaran. Ruangan yang dipergunakan untuk berternak mencit berjumlah dua buah, demikian juga dengan fasilitas ternak tikus, sehingga kandang yang dipergunakan bejumlah empat buah ruangan permanen, yang dikelilingi oleh kawat ram berukuran 1 cm, untuk mencegah mecit atau tikus keluar dari kandang.

Tingkahlaku Harian

Ular sanca hijau merupakan hewan yang hampir melakukan semua aktivitasnya pada malam hari, sehingga disebut hewan noktunal. Pada pagi dan siang hari, ular sanca hijau hanya berdiam diri membentuk gulungan di batang pohon, sesekali nampak menggerakkan tubuhnya. Ular sanca hijau mulai menggulung pada pukul 05.00, apabila tidak terdapat gangguan maka ular sanca hijau akan menggulung hingga memulai lagi aktivitasnya pada pukul 17.00.

Dengan pengamatan selama 24 jam didapatkan tingkahlaku harian ular sanca hijau sebagai berikut: istirahat (34,70%), bergerak (lokomosi) (33,70%), memeriksa (investigasi) (30,90%), minum (ingesti) (0,25%), dan merawat tubuh (epimiletik) (0,45%). Beberapa peubah yang dilakukan oleh ular sanca hijau tidak didapatkan selama pengamatan yaitu, eliminasi dan ganti kulit. Tidak adanya perilaku eliminasi dan ganti kulit dikarenakan terjadi diluar waktu pengamatan.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 18-19 WIB 20-21 WIB 22-23 WIB 24-01 WIB 02-03 WIB 04-05 WIB Waktu Pengamatan F re ku en si (ka li) istirahat lokomotive investigative ingestive epimiletic

(35)

Gambar 12. Frekuensi Tingkahlaku Harian Ular Sanca Hijau

Perilaku harian yang diekspresikan oleh ular sanca hijau dan telah diamati degan menggunakan metode Ad libitum sampling dengan metode pencatatan one-zero sampling berinterval 15 menit, atau pengamatan perilaku setiap 15 menit dengan interval 15 menit selama 24 jam. Pada grafik hanya ditampilkan pola tingkahlaku harian dimulai sejak pukul 18.00 sampai dengan pukul 06.00, hal ini karena ular sanca hijau merupakan hewan nokturnal (Gambar 12). Pengamatan perilaku harian tersebut dijelaskan dengan lebih rinci di bawah ini.

Tingkahlaku Istirahat

Tingkahlaku istirahat ular sanca hijau paling tinggi dibandingkan dengan aktivitas yang lain yaitu sebesar 34,70% dari seluruh tingkahlaku harian yang diamati. Tingkahlaku istirahat dalam pengamatan ini berupa ular diam menggulung tubuhnya di batang pohon yang telah disediakan di dalam kandang. Tingkahlaku istirahat yaitu apabila ular sanca hijau menggulung tubuhnya di batang pohon dengan posisi kepala disembunyikan atau dikeluarkan berada tepat ditengah gulungan bagian depan, dan bagian ekor dapat disembunyikan atau dikeluarkan tepat ditengah gulungan bagian belakang tanpa melakukan tingkahlaku lain (Gambar 13).

Gambar 13. Tingkahlaku Istirahat

Berdasarkan pengamatan mengenai tingkahlaku istirahat ular sanca hijau di kandang penangkaran didapatkan grafik pada Gambar 14 :

(36)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 16-17WIB18-19WIB20-21WIB22-23WIB24-01WIB02-03WIB04-05WIB Waktu Pengamatan Frekuensi (kali) Aru 1 Aru 2 Aru 3 Biak 1 Biak 2 Biak 3

Gambar 14. Frekuensi Tingkahlaku Istirahat Ular Sanca Hijau

Dengan pengamatan selama 24 jam didapatkan persentase tingkahlaku istirahat ular sanca hijau sebesar 34,70%, yang sebagian besar diekspresikan mulai pukul 05.00 sampai dengan pukul 17.00 WIB. Pada grafik hanya ditampilkan pola tingkahlaku istirahat dimulai sejak pukul 16.00 sampai dengan pukul 06.00, hal ini karena pada pengamatan pagi dan siang hari ular hanya beristirahat konstan tanpa melakukan gerakan apapun. Persentase tingkahlaku istirahat ular sanca hijau perekor sebagai berikut: Aru 1 (5,70%), Aru 2 (6,50%), Aru 3 (5,70%), Biak 1 (5,60%), Biak 2 (5,60%), dan Biak 3 (5,60%), dengan rerata 5,78%, simpangan baku 0,35%, dan koefisien keragaman 0,06.

Tingkahlaku Bergerak (Lokomotive)

Perilaku bergerak dilakukan ular sanca hijau dengan memanfaatkan otot-otot dan sisik yang berada di sepanjang perutnya. Ular sanca hijau melakukan perilaku tersebut pada potongan batang kayu yang dibentangkan secara horizontal didalam kandang soliter. Ular sanca hijau bukan ular yang aktif seperti kebanyakan ular arboreal yang lain, ular ini bergerak dengan sangat efisien. Setelah melakukan gerakan sekali atau dua kali merayap di batang kayu maka ular sanca hijau akan berhenti untuk beristirahat, sesekali terlihat mejulurkan lidahnya berulang-ulang untuk merasakan keadaan sekelilingnya (Gambar 15). Selama pengamatan jarang sekali terjadi ular sanca hijau berpindah tempat secara utuh, yang sering terjadi hanya melakukan gerakan dengan ekor menjadi tumpuan mencengkram pada batang kayu.

(37)

Gambar 15. Tingkahlaku Bergerak

Hal ini karena luasan kandang yang kurang memadai, sehingga sulit untuk berpindah tempat secara utuh. Gerakan lain yang sering terlihat adalah ular sanca hijau mendorong-dorong tutup kandang, hal ini dikarenakan ular dapat merasakan adanya aliran udara yang masuk melalui ventilasi udara disekitar tutup kandang.

0 2 4 6 8 10 12 14 16

06-07WIB08-09WIB10-11WIB01-12WIB14-15WIB16-17WIB18-19WIB20-21WIB22-23WIB24-01WIB02-03WIB04-05WIB

Waktu Pengamatan Frekuensi (kali) Aru 1 Aru 2 Aru 3 Biak 1 Biak 2 Biak 3

(38)

Dengan pengamatan selama 24 jam didapatkan persentase tingkahlaku

bergerak ular sanca hijau sebesar 33,70%, yang sebagian besar diekspresikan mulai pukul 17.00 sampai dengan pukul 05.00 WIB (Gambar 16). Persentase tingkahlaku bergerak ular sanca hijau perekor sebagai berikut: Aru 1 (6,20%), Aru 2 (6,20%), Aru 3 (6,40%), Biak 1 (4,90%), Biak 2 (4,40%), dan Biak 3 (5,60%), dengan rerata 5,62%, simpangan baku 0,81%, dan koefisien keragaman 0,14.

Tingkahlaku Memeriksa (Investigative)

Perilaku memeiksa dilkukan oleh ular sanca hijau pada saat memulai aktivitasnya, perilaku memeriksa dilakukan antara pukul 17.00 sampai dengan 05.00 WIB. Pemeriksaan keadaan sekeliling dilakukan dengan cara memandang dan menjulurkan lidahnya secara berulang-ulang, semakin cepat frekuensi menjulurkan lidahnya ular akan merasakan adanya ancaman (Gambar 17). Jika dirasakan aman, ular sanca hijau akan mulai bergerak dengan cara melata di batang kayu yang telah disediakan. Perilaku memeriksa juga diekspresikan oleh ular sanca hijau pada saat sebelum makan dan minum. Pakan atau air yang telah tersedia terlebih dahulu diperhatikan dan diperiksa sebelum dikonsumsi.

Gambar 17. Tingkahlaku Memeriksa

Berdasarkan pengamatan mengenai tingkahlaku memeriksa ular sanca hijau di kandang penangkaran didapatkan grafik pada Gambar 18 :

(39)

0 5 10 15 20 25 06-0 7WIB 08-0 9WIB 10-1 1WIB 01-1 2WIB 14-1 5WIB 16-1 7WIB 18-1 9WIB 20-2 1WIB 22-2 3WIB 24-0 1WIB 02-0 3WIB 04-0 5WIB Waktu Pengamatan Fr ek ue ns i ( ka li) Aru 1 Aru 2 Aru 3 Biak 1 Biak 2 Biak 3

Gambar 18. Frekuensi Tingkahlaku Memeriksa Ular Sanca Hijau

Dengan pengamatan selama 24 jam didapatkan persentase tingkahlaku memeriksa ular sanca hijau sebesar 30,90%, yang sebagian besar diekspresikan mulai pukul 17.00 sampai dengan pukul 05.00 WIB. Persentase tingkahlaku bergerak ular sanca hijau perekor sebagai berikut: Aru 1 (5,00%), Aru 2 (5,20%), Aru 3 (5,00%), Biak 1 (7,00%), Biak 2 (2,00%), dan Biak 3 (6,70%), dengan rerata 5,15%, simpangan baku 1,78%, dan koefisien keragaman 0,34. Pada ular Biak 2 dapat dilihat memiliki nilai persentase yang kecil jika dibandingkan dengan ular yang lain. Hal ini karena pada waktu pengamatan ular tersebut baru saja makan.

Tingkahlaku Minum (Ingestive)

Ular sanca hijau cukup efisien dalam menggunakan air. Selama pengamatan jarang sekali terlihat ular sanca hijau menghampiri air minum yang tersedia di dasar kandang, hanya lima kali tercatat ular sanca hijau minum. Perilaku minum ular sanca hijau dilakukan dengan cara medekatkan mulutnya ke tempat air minum yang telah disediakan kemudian lidahnya dijulurkan ke dalam air secara berulang-ulang (Gambar 19). Selama pegamatan juga terlihat ular sanca hijau menjilat air yang melekat pada sisi kandang.

(40)

Gambar 19. Tingkahlaku Minum

Dengan pengamatan selama 24 jam didapatkan persentase tingkahlaku minum ular sanca hijau hanya sebesar 0,25%. Selama pengamatan hanya lima kali tercatat ular sanca hijau minum. Dari enam ekor ular yang diamati hanya tiga ekor ular yang tercatat melakukan tingkahlaku minum yaitu Aru 1, Aru 3, dan Biak 1. Persentase tingkahlaku minum ular sanca hijau perekor sebagai berikut: Aru 1 (0,10%), Aru 2 (0,00%), Aru 3 (0,05%), Biak 1 (0,10%), Biak 2 (0,00%), dan Biak 3 (0,00%), dengan rerata 0,04%, simpangan baku 0,05%, dan koefisien keragaman 1,25.

Tingkahlaku Epimiletic (Merawat Tubuh)

Tingkahlaku merawat tubuh ular sanca hijau dilakukan tidak dipegaruhi oleh waktu. Selama pengamatan tercatat hanya sembilan kali ular sanca hijau melakukan perilaku merawat tubuhnya, yaitu dengan menguap. Perilaku menguap yaitu, ular sanca hijau membuka mulutnya dengan cara meregangkan kedua rahangnya ke arah atas dan bawah selama beberapa detik (Gambar 20). Perilaku menguap dilakukan ular sanca hijau dengan tujuan untuk memperbaiki posisi rahang agar tetap berada pada posisinya, dan untuk pertukaran antara oksigen dan karbondioksida. Selama pengamatan sempat terlihat ular sanca hijau merawat tubuhnya dengan cara menggesekkan bagian tubuhnya pada sisi kandang atau dengan batang kayu. Gerakan tersebut dilakukan karena terdapat bagian tubuh ular sanca hijau yang gatal.

(41)

Gambar 20. Tingkahlaku Menguap

Dengan pengamatan selama 24 jam didapatkan persentase tingkahlaku merawat tubuh ular sanca hijau hanya sebesar 0,45%. Selama pengamatan hanya sembilan kali tercatat ular sanca hijau melakukan tingkahlaku merawat tubuh. Dari enam ekor ular yang diamati hanya empat ekor ular yang tercatat melakukan tingkahlaku merawat tubuh yaitu Aru 1, Aru 2, Aru 3, dan Biak 1. Persentase tingkahlaku merawat tubuh ular sanca hijau perekor sebagai berikut: Aru 1 (0,15%), Aru 2 (0,05%), Aru 3 (0,05%), Biak 1 (0,20%), Biak 2 (0,00%), dan Biak 3 (0,00%), dengan rerata 0,07%, simpangan baku 0,08%, dan koefisien keragaman 1,14.

Tingkahlaku Makan

Ular sanca hijau termasuk satwa karnivora, yang hanya memakan daging. Ular sanca hijau yang berada di CV Terraria Indonesia hanya diberikan pakan berupa mencit dan tikus. Mencit dan tikus yang berfungsi sebagai pakan sebagian besar satwa reptil yang berada di CV Terraria Indonesia merupakan hasil ternak yang diusahakan sendiri oleh perusahaan. Mencit dan tikus yang diberikan sebagai pakan mempunyai perbedaan ukuran sesuai dengan kebutuhan, artinya untuk ular ukuran kecil sampai sedang diberikan pakan berupa mencit. Sedangkan untuk ular ukuran besar diberikan pakan berupa tikus. Mencit dan tikus yang diberikan di CV Terraria Indonesia sebagai pakan hidup (Gambar 21).

(42)

Gambar 21. Bebagai Ukuran Mencit dan Tikus Sebagai Pakan Ular

Waktu yang diperlukan pada perilaku makan sangat bervariasi, tergantung pada kondisi ular. Selama pengamatan tercatat waktu terlama yang dibutuhkan ular sanca hijau dalam perilaku makan adalah 75 menit oleh individu Merauke 3, hal ini berkaitan dengan proses menelan tikus dimulai dari bagian ekor. Sedangkan waktu tercepat adalah 27 menit oleh individu Aru 3, dan rata-rata waktu yang dibutuhkan pada perilaku makan ini adalah 44,5 menit (Gambar 22).

0 5 10 15 20 25 30 35 Men g am ati/m emer iksa Men e rka m/m engg igit Mem belit Men e lan Istir aha t T in g k ah L ak u W ak tu (m e n it ) A ru 1 A ru 3 Biak 1 Biak 2 Biak 3 Merauke 1 Merauke 2 Merauke 3

Gambar 22. Grafik Tingkahlaku Makan Ular Sanca Hijau

Waktu yang diperlukan pada perilaku makan ular sanca hijau perekor sebagai berikut: Aru 1 (42 menit), Aru 3 (27 menit), Biak 1 (42 menit), Biak 2 (45 menit), Biak 3 (33 menit), Merauke 1 (44 menit), Merauke 2 (48 menit), dan Merauke 3 (75 menit), dengan rerata 44,5 menit, simpangan baku 14,12 menit, dan koefisien keragaman 0,32. Persentase tingkahlaku makan ular sanca hijau sebagai berikut: mengamati/memeriksa (3,65%), menerkam/menggigit (2,25%), membelit (20,80%),

(43)

menelan (45,00%), dan istirahat (28,30%), dengan rerata 20,00%, simpangan baku

17,87%, dan koefisien keragaman 0,89.

Tingkahlaku mengamati/memeriksa. Pada tahap ini ular sanca hijau mengamati dan memeriksa pakan berupa tikus dengan cara bagian depan tubuhnya membentuk huruf ‘s’, mengarahkan padangan ke arah tutup kandang sambil menjulurkan lidahnya secara berulang-ulang dengan frekuensi yang semakin cepat (Gambar 23). Ular akan terus merasakan keberadaan dari mangsanya melalui panas tubuh yang dikeluarkan dari mangsanya yang ketakutan karena adanya ancaman dari pemangsa, sehingga membuat tikus panik dan membuat tikus semakin aktif bergerak mencari cara untuk menghindari serangan dari pemangsa.

Gambar 23. Tingkahlaku Mengamati/Memeriksa

Semakin aktif gerakan dari mangsanya membuat keberadaannya semakin mudah untuk dideteksi oleh ular. Rata-rata waktu yang dibutuhkan oleh satu ekor ular sanca hijau dalam tingkahlaku mengamati atau memeriksa selama pengamatan adalah 1,6 menit.

Tingkahlaku menerkam/menggigit. Perilaku menerkam atau menggigit ular sanca hijau dilakukan setelah dengan pasti mengetahui jenis dan jarak mangsanya. Ular sanca hijau mengetahui jenis dan jarak mangsanya dengan cara merasakan panas dan bau yang dikeluarkan oleh mangsanya melalui media udara. Panas dan bau tersebut ditangkap oleh indera perasa ular yaitu lidah yang bercabang, guna menangkapnya secara stereo.

(44)

Gambar 24. Tingkahlaku Menerkam/Menggigit

Setelah semua partikel di udara ditangkap dengan lidah, akan ditransfer ke unit khusus yang berada di langit-langit mulut yaitu organ jacobson. Organ jacobson kemudian meneruskannya ke otak, yang kemudian meneruskan menjadi sebuah tindakan menerkam/menggigit (Gambar 24). Rata-rata waktu yang dibutuhkan oleh satu ekor ular sanca hijau dalam tingkahlaku menerkam atau menggigit selama pengamatan adalah 1,0 menit.

Tingkahlaku membelit. Setelah menggigit mangsanya dengan cepat ular akan membelitnya. Ular sanca hijau membelit memanfaatkan seperempat panjang tubuh bagian depan. Ular sanca hijau membelit dengan cara melilit dengan membuat lingkaran pada badan mangsanya (Gambar 25). Perilaku membelit ini dilakukan oleh ular sanca hijau untuk melumpuhkan mangsanya. Mangsa akan pingsan ataupun mati karena belitan ini, tapi tidak akan mematahkan tulang dari mangsanya.

(45)

Gambar 25. Tingkahlaku Membelit

Prinsip kerja dari belitan ini adalah ular akan merasakan detak jantung dan gerakan yang ditimbulkan oleh mangsanya. Setiap gerakan dan detak jantung mangsa yang dirasakan oleh ular, ular tersebut akan mengencangkan belitan sampai pada akhirnya paru-paru korban tidak lagi dapat terisi oleh oksigen dan pada akhirnya mati lemas atau hanya pingsan. Rata-rata waktu yang dibutuhkan oleh satu ekor ular sanca hijau dalam tingkahlaku membelit selama pengamatan adalah 9,2 menit.

Tingkahlaku menelan. Proses menelan dilakukan setelah ular dengan pasti mengetahui mangsanya telah pingsan atau mati. Perilaku menelan pada tahap awal adalah melepaskan gigitan yang pertama untuk kemudian mencari bagian kepala mangsanya, atau dengan kata lain menelan searah dengan tumbuhnya rambut atau bulu mangsa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam proses menelan. Dalam proses menelan ular sanca hijau dibantu dengan lekukan-lekukan tubuhnya dan tekanan peristaltik.

Selama pengamatan hanya terdapat satu kali ular sanca hijau menelan dari bagian ekor, hal ini memakan waktu lebih lama jika dibandingkan dengan ular yang menelan melalui bagian kepala. Secara normal ular akan memulai menelan dari bagian kepala mangsanya. Rata-rata waktu yang dibutuhkan oleh satu ekor ular sanca hijau dalam tingkahlaku menelan selama pengamatan adalah 20,0 menit.

(46)

Gambar 26. Tingkahlaku Menelan

Proses tingkahlaku menelan (Gambar 26) ular sanca hijau dimulai dengan a) setelah mendapatkan posisi kepala dari mangsanya ular sanca hijau akan memulai menggigit, kemudian proses menelan dimulai, b) ular sanca hijau dengan mudah melanjutkan proses menelan setelah bagian kepala mangsanya telah tertelan lebih dahulu, c) proses menelan sudah sampai tahap akhir yaitu tinggal menyisakan bagian kaki belakang dan ekor dari mangsanya yaitu tikus, dan d) proses menelan telah selesai, kemudian ular sanca hijau akan kembali beristirahat dan memulai proses pencernaan.

Tingkahlaku istirahat. Setelah selesai proses menelan, ular akan melakukan perilaku istirahat dengan membuat gulungan. Sementara proses menelan masih berlangsung sampai pada akhirnya posisi mangsa berada tepat di bagian perut ular dengan bantuan tekanan selama proses menggulung pada batang kayu berlangsung. Ular memanfaatkan tekanan yang dihasilkan dari gesekkan yang terjadi selama proses menggulung. Rata-rata waktu yang dibutuhkan oleh satu ekor ular sanca hijau dalam tingkahlaku istirahat selama pengamatan adalah 12,6 menit.

a

b

d

c

(47)

Gambar 27. Tingkahlaku Istirahat

Tingkahlaku istirahat yang dilakukan oleh ular sanca hijau setelah proses menelan selesai dalam pengamatan ini berupa sikap ular diam menggulung tubuhnya di batang pohon yang telah disediakan di dalam kandang (Gambar 27). Tingkahlaku istirahat yaitu apabila ular sanca hijau menggulung tubuhnya di batang pohon dengan posisi kepala disembunyikan atau dikeluarkan berada tepat ditengah gulungan bagian depan, dan bagian ekor dapat disembunyikan atau dikeluarkan tepat ditengah gulungan bagian belakang tanpa melakukan tingkahlaku lain. Sesekali dalam posisi istirahat setelah tingkahlaku makan selesai ular sanca hijau akan menguap atau membuka mulutnya dengan lebar. Hal ini dilakukan oleh ular sanca hijau untuk mengembalikan letak rahangnya sehingga tepat berada di posisi yang benar, karena selama proses menggigit dan menelan rahang atas dan bawah dari ular sanca hijau sering kali bergeser dari posisinya untuk memudahkan dalam proses menelan, sehingga perlu dikembalikan ke posisi semula.

(48)

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Ular sanca hijau (Morelia viridis) merupakan hewan malam (nokturnal) yang memulai aktivitas pada sore hari sampai pada pagi hari, yaitu pukul 17.00 sampai dengan pukul 05.00 WIB. Pada pagi dan siang hari ular sanca hijau hanya beristirahat dengan mnggulung tubuhnya pada batang kayu yang tersedia di dalam kandang.

Tingkahlaku harian ular sanca hijau di penangkaran CV Terraria Indonesia meliputi, istirahat (34,70%), bergerak (33,70%), memeriksa (30,90%), minum (0,25%), dan perawatan tubuh (0,45%). Tingkahlaku makan meliputi mengamati/me-meriksa (3,65%), menerkam/menggigit (2,25%), membelit (20,80%), menelan (45,00%), dan istirahat (28,30%).

Perilaku makan ular sanca hijau dimulai dengan proses mengamati/me-meriksa, menerkam/menggigit, membelit hingga mangsa pingsan atau mati, kemudian menelannya secara utuh, setelah itu kembali istirahat. Proses menelan ular sanca hijau dimulai dengan menelan dari bagian kepala atau sesuai dengan arah tumbuhnya rambut atau bulu dari mangsanya. Rata-rata waktu yang dibutuhkan oleh seekor ular sanca hijau selama melaksanakan proses tingkahlaku makan adalah 44,5 menit.

Saran

Untuk penangkaran reptil lebih diperhatikan kesejahteraannya dalam hal penanganan, perkandangan, dan pakan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai aspek pemuliaan, reproduksi, penyakit, dan pengelolaan ular sanca hijau pada habitat alaminya sebagai upaya peningkatan pengelolaan di luar habitatnya.

Pengembangan usaha-usaha penangkaran satwa reptil di CV Terraria Indonesia dalam upaya pelestarian seyogyanya mendapat dukungan dari berbagai pihak, seperti halnya mendukung upaya konservasi insitu dan program penyelamatan terhadap spesies-spesies yang dilindungi, dan ada pembatasan jual-beli satwa reptil dalam dan luar negeri.

(49)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas semua berkat-Nya yang telah melimpahkan karunia dan rahmat-Nya hanya dengan pertolongan-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua orang tua yang banyak membantu baik materi, motivasi, serta kasih sayang yang tiada henti diberikannya. Juga kepada Ibu Dr. Ir. Hj. Sri Supraptini Mansjoer dan Bapak Prof. drh. D.T.H Sihombing, M.Sc., Ph.D. yang telah membimbing, mengarahkan, dan membantu penyusunan usulan proposal hingga tahap akhir penulisan skripsi. Selain itu ucapan terima kasih disampaikan kepada Ir. Salundik, MS dan Dr. Ir. H. Rachjan G. Pratas, M.Sc. yang telah menguji, mengkritik, dan memberikan sumbangan pemikiran serta masukan dalam penulisan skripsi ini.

Ucapan terima kasih Penulis sampaikan juga kepada seluruh staff menajemen CV. Terraria Indonesia yang banyak memberi bantuan dalam penelitian ini, kepada seluruh dosen Fakultas Peternakan, teman-teman seperjuangan Teknologi Produksi Ternak angkatan 38, teman-teman di Fakultas Peternakan, teman-teman kost P-12, lembaga studi ular Sioux, teman-teman pedagang burung, ikan hias, dan reptil Kartini, Hanggar, dan Barito, dan teman-teman Ikatan Pecinta Reptil Jakarta yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Terakhir penulis ucapkan terima kasih banyak kepada civitas akademika Fakultas Peternakan IPB. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, September 2005

(50)

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H. S. 1980. Erosi Keanekaragaman Jenis. Makalah Seminar. PHPA, Jakarta, Indonesia.

Altman, J. 1973. Observational Study of Behaviour: Sampling Methods. University of Chicago, Chicago, USA.

Bartlett, P. and E. Wagner. 1997. Pythons: A Complete Pet Owner’s Manual. Barron’s Educational Series, Inc., New York, USA.

Carr, A. 1980. Reptilia. Pustaka Alam Life, Tira Pustaka, Jakarta, Indonesia.

Coborn, J. 1992. Boas & Pythons and Other Friendly Snakes. T.F.H. Publications, Inc., New Jersey, USA.

Departemen Kehutanan. 1997. Penangkaran Satwa. Biro Humas Departemen Kehutanan, Jakarta, Indonesia.

Geus, A. 1995. The Proper Care of Snakes. T.F.H. Publications, Inc., New Jersey, USA.

Goin. 1971. Introduction to Herpertology Second Edition. W.H. Freeman and Company, San Fransisco, USA.

Goin. 1978. Introduction to Herpertology Third Edition. W.H. Freeman and Company, San Fransisco, USA.

Gow, G. 1989. The Complete Guide to Australian Snakes. Angus and Robertson Publisher, Sidney, Australia.

Grier, J. W. 1984. Biology of Animal Behavior. Times Mirror / Mosty College Publishing, St. Louis. Missouri, USA.

Martin, P. and P. Bateson. 1993. Measuring Behaviour: An Introductory Guide. Cambridge University Press, Cambridge, UK.

(51)

Maxwell, G. 2003. The Complete Chondro: A Comprehensive Guide To The Care

and Breeding of Green Tree Pythons. ECO Publising, Miami, USA. O’ Shea, M. and T. Halliday. 2001. Reptiles and Amphibians. Dorling Kindersly,

London, UK.

Schmidt, D. 1995. Breeding and Keeping Snakes. T.F.H. Publications, Inc., New Jersey, USA.

Stafford, P. J. 1986. Pythons and Boas. T.F.H. Publications, Inc., New Jersey, USA. Stoops, E. D. and A. T. Wright. 1993. Boas & Pythons Breeding and Care. T.F.H.

Publications, Inc., New Jersey, USA.

Taylor, B and M, O’Shea. 2004. The Great Big Books of Snakes & Reptiles. Hermes House Publications, London, UK.

Tinbergen, N. 1969. Perilaku Binatang. Tira Pustaka, Jakarta, Indonesia. Widensaul, S. 2004. Snakes of The World. Quantum Publishing, London, UK.

(52)

LAMPIRAN

Gambar

Tabel 1.  Data Morfologi Ular Sanca Hijau (Morelia viridis)
Gambar 5.  Ular Sanca Hijau Sedang Mengeram
Tabel 2. Performa Reproduksi Ular Sanca Hijau (Morelia viridis)
Gambar 6.  Tingkahlaku Istirahat Ular Sanca Hijau                 Sumber: Maxwell, (2003)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Digital Repository Universitas Jember Digital Repository Universitas Jember... Digital Repository Universitas Jember Digital Repository

Pada hari ini Jum’at tanggal Dua Puluh Enam bulan Agustus tahun Dua Ribu Enam Belas, bertempat di Ruang Sekretariat Kelompok Kerja (Pokja) Barang/ Jasa Lainnya Pada

Lemma 2.3 gives us a characterization of m -cluster tilting object such that the corresponding m -CTA is a Nakayama algebra of cyclic type.. We will

Kepada para peserta yang merasa keberatan atas penetapan tersebut diatas, diberikan hak untuk menyampaikan sanggahan baik secara sendiri maupun bersama-sama, mulai hari ini

Diamalkan dengan baik dan sungguh-sungguh. Karena itu penyadaran berarti memberikan pengertian yang baik dan mendalam tentang Sesuatu, kemudian memberiklan tuntunan pengalamannya

Dalam kaitan itu pada model pemberitaan di TVRI dapat di lihat kecenderungan pemberitaannya melalui analisis isi yang dilakukan s eca ra s istematis dengan

Metode survey adalah penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut,

The result found that the strength relationship between vocabulary mastery variable (X2) and reading ability on descriptive text variable (Y) if one of the