PERBEDAAN TINGKAT POLA ASUH ORANGTUA DARI ANAK AUTISME BERDASARKAN USIA, PENDIDIKAN, DAN PEKERJAAN
Oleh:
MONIKA AYUNINGRUM
100100239
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERBEDAAN TINGKAT POLA ASUH ORANGTUA DARI ANAK AUTISME BERDASARKAN USIA, PENDIDIKAN, DAN
PEKERJAAN
“Proposal penelitian ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran”
Oleh :
MONIKA AYUNINGRUM 100100239
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Perbedaan Tingkat Pola Asuh Orangtua dari Anak Autisme Berdasarkan Usia, Pendidikan, dan Pekerjaan
Nama : Monika Ayuningrum NIM : 100100239
Pembimbing Penguji I
(dr.Elmeida Effendy, M.Ked(KJ), (dr. Hemma Yulfi, DAP&E, Sp.KJ) Med.Ed)
(NIP :197205011999032004) (NIP :197410192001122001)
Penguji II
(dr. Kristo A. Nababan, Sp. KK) (NIP : 196302081989031004)
Medan, Januari 2014 Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Autisme adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan jenis gangguan perkembangan pervasif anak yang mengakibatkan gangguan keterlambatan pada bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial. Pola asuh orangtua pada anak autisme sangat penting, maka perlu dikaji seberapa besar pengaruhnya terhadap anak autisme.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat pola asuh orangtua dari anak autisme berdasarkan usia, pendidikan, dan pekerjaan.
Metode penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross sectional yang dilakukan pada 25 orang tua dari anak autisme di Sekolah Luar Biasa Al-Azhar, Sekolah Luar Biasa E Negeri Pembina Tingkat Provinsi Medan, dan Yayasan Pembina Anak Cacat Medan. Alat ukur yang digunakan adalah pedoman observasi dan wawancara Home Inventory. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji korelasi dengan p < 0,05.
Hasil tingkat pola asuh orangtua dari anak autisme terbanyak dengan kategori pola asuh cukup sebanyak 13 orang (52,0%). Terdapat perbedaan tingkat pola asuh dengan usia (p=0.047). Tidak terdapat perbedaan tingkat pola asuh dengan tingkat pendidikan (p=0.589). Terdapat perbedaan tingkat pola asuh dengan status pekerjaan (p=0.028).
ABSTRACT
Autism is a term used to describe a type of pervasive developmental disorder resulting in impaired children in the field of cognitive delays,language, behavior, communication, and social interaction. Parents on parenting a child with autism is very important, it is necessary to study how big influence on children with autism.
The purpose of this study was to determine differences in the level of parenting parents of children with autism by age, education, and employment.
Methods this study is a cross sectional analytic design conducted in 25 parents of children with autism in Special Schools Al-Azhar, Extraordinary E State School Trustees Provincial Field, and Field Disabled Children Foundation Trustees. Measuring instruments used were observation and interviews Home Inventory. Data analysis was performed using correlation test with p <0.05.
Results the level of parenting parents of children with autism highest category of parenting quite as many as 13 people (52.0%). There are differences in the level of parenting with age (p = 0.047). There was no difference in the level of parenting education level (p = 0589). There are differences in the level of parenting with employment status (p = 0.028).
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum Wr.Wb.,
Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan karya tulis ilmiah ini dengan judul “Perbedaan
Tingkat Pola Asuh Orangtua dari Anak Autisme Berdasarkan Usia, Pendidikan,
dan Pekerjaan”.
Penulis menyadari bahwa penyusunan karya tulis ilmiah ini dapat
terselesaikan berkat dorongan, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. dr. Elmeida Effendy, M.Ked (KJ), Sp.KJ, selaku dosen pembimbing yang
telah meluangkan waktu untuk memberikan petunjuk dan bimbingan dalam
penyusunan karya tulis ilmiah.
3. Kepada dosen penguji dalam karya tulis ilmiah ini, dr. Hemma Yulfi,
DAP&E, M.Med.Ed selaku penguji I dan dr. Kristo A.Nababan, Sp.KK selaku
penguji II yang telah bersedia menjadi penguji dan terimakasih telah
memberikan saran-saran dan meluangkan waktunya.
4. dr. Yuki Yunanda, selaku dosen penasehat akademik penulis selama menjalani
5. Ayahanda Marsono dan Ibunda Rukini tercinta yang telah memberi semangat,
dorongan, bantuan moral, spiritual yang tak pernah putus dan cinta kasih.
6. Kakak, dr. Evi Anggraini, MMR., dr. R. Muhammad Aviv Pasa., dan dr. Nio
Angelado, MMR atas semangat, dorongan, dan cinta kasih.
7. Sahabat yang telah memberikan banyak ide, Al Firman, Rahmat Kurniawan
A.P, Dwi Meutia, Arnella Hutagalung, Arnelli Hutagalung, Nur Shareena
Baharudin, Priskatin Dea, Derizkalia Syahputri, Gheavita Chandara Dewi,
Jannatun Naimah, Nabila Al Fista, Citra Mega, dll yang tidak bisa disebutkan
satu per satu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan karya tulis ilmiah ini
masih jauh dari sempurna sehingga saran dan kritik yang bersifat membangun
sangat diperlukan untuk penulis. Harapan penulis semoga karya tulis ilmiah ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amin Ya Robbal Alamin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Medan , Desember 2013
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
ABSTRAK ... iii
ABSTRACT ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR LAMPIRAN... x
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1.Latar Belakang ... 1
1.2.Rumusan Masalah ... 3
1.3.Tujuan Penelitian ... 4
1.4.Manfaat Penelitian ... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1.Autisme ... 5
2.1.1.Definsi ... 5
2.1.2.Penyebab ... 6
2.1.3.Manifestasi Klinik ... 8
2.1.4.Penatalaksanaan Terapi ... 11
2.2.Pola Asuh Orang Tua ... 12
2.3.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh ... 14
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 15
3.1.Kerangka Konsep ... 15
3.2.Definisi Operasional ... 15
3.2.1. Pola Asuh Orang Tua ... 15
3.2.3. Usia ... 16
3.2.4. Tingkat Pendidikan ... 16
3.2.5. Status Pekerjaan... 17
3.3.Hipotesis ... 18
BAB 4 METODE PENELITIAN ... 19
4.1.Jenis Penelitian ... 19
4.2.Waktu dan Tempat Penelitian ... 19
4.3.Populasi dan Sampel ... 19
4.3.1. Populasi ... 19
4.3.2. Sampel ... 20
4.4.Metode Pengumpulan Data ... 20
4.5.Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 21
BAB 5 HASIL PENELITIAN... 22
5.1. Hasil Penelitian ... 22
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 22
5.1.1.1. SLB-E Negeri Pembina Medan ... 22
5.1.1.2. Yayasan Perguruan Al-Azhar ... 22
5.1.1.3. Yayasan Pembina Anak Cacat Medan ... 23
5.2. Karakteristik Responden ... 23
5.2.1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia ... 24
5.2.2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin ... 24
5.2.3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Status Pekerjaan ... 24
5.2.4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 25
5.2.5. Distribusi Aspek-Aspek Pola Asuh ... 25
5.2.6. Distribusi Berdasarkan Pola Asuh ... 26
5.2.7. Hubungan Usia dan Pola Asuh ... 26
5.2.8. Hubungan Tingkat Pendidikan, Pekerjaan, dan Pola Asuh ... 27
5.3. Pembahasan ... 27
5.3.2. Status Pekerjaan ... 28
5.3.3. Tingat Pendidikan ... 28
5.3.4. Pola Asuh ... 29
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 31
6.1. Kesimpulan ... 31
6.2. Saran ... 31
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
5.1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia 24
5.2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Status Pekerjaan 24
5.3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Pendidikan 25
5.4. Distribusi Aspek-Aspek Pola Asuh 25
5.5. Distribusi Berdasarkan Pola Asuh 26
5.6. Hubungan Usia dan Pola Asuh 26
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Daftar Riwayat Hidup
LAMPIRAN 2 Ethical Clearance LAMPIRAN 3 Surat Izin Penelitian
LAMPIRAN 4 Lembar Penjelasan
LAMPIRAN 5 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)
LAMPIRAN 6 Kuesioner Penelitian
LAMPIRAN 7 Data Induk
ABSTRAK
Autisme adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan jenis gangguan perkembangan pervasif anak yang mengakibatkan gangguan keterlambatan pada bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial. Pola asuh orangtua pada anak autisme sangat penting, maka perlu dikaji seberapa besar pengaruhnya terhadap anak autisme.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat pola asuh orangtua dari anak autisme berdasarkan usia, pendidikan, dan pekerjaan.
Metode penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross sectional yang dilakukan pada 25 orang tua dari anak autisme di Sekolah Luar Biasa Al-Azhar, Sekolah Luar Biasa E Negeri Pembina Tingkat Provinsi Medan, dan Yayasan Pembina Anak Cacat Medan. Alat ukur yang digunakan adalah pedoman observasi dan wawancara Home Inventory. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji korelasi dengan p < 0,05.
Hasil tingkat pola asuh orangtua dari anak autisme terbanyak dengan kategori pola asuh cukup sebanyak 13 orang (52,0%). Terdapat perbedaan tingkat pola asuh dengan usia (p=0.047). Tidak terdapat perbedaan tingkat pola asuh dengan tingkat pendidikan (p=0.589). Terdapat perbedaan tingkat pola asuh dengan status pekerjaan (p=0.028).
ABSTRACT
Autism is a term used to describe a type of pervasive developmental disorder resulting in impaired children in the field of cognitive delays,language, behavior, communication, and social interaction. Parents on parenting a child with autism is very important, it is necessary to study how big influence on children with autism.
The purpose of this study was to determine differences in the level of parenting parents of children with autism by age, education, and employment.
Methods this study is a cross sectional analytic design conducted in 25 parents of children with autism in Special Schools Al-Azhar, Extraordinary E State School Trustees Provincial Field, and Field Disabled Children Foundation Trustees. Measuring instruments used were observation and interviews Home Inventory. Data analysis was performed using correlation test with p <0.05.
Results the level of parenting parents of children with autism highest category of parenting quite as many as 13 people (52.0%). There are differences in the level of parenting with age (p = 0.047). There was no difference in the level of parenting education level (p = 0589). There are differences in the level of parenting with employment status (p = 0.028).
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Autisme adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan jenis
gangguan perkembangan pervasif anak yang mengakibatkan gangguan
keterlambatan pada bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi
sosial. Autisme mempengaruhi perkembangan anak, baik fisik maupun mental.
Apabila tidak dilakukan intervensi secara dini dengan tatalaksana yang tepat,
perkembangan yang optimal pada anak tersebut sulit diharapkan. Mereka akan
semakin terisolir dari dunia luar dan hidup dalam dunianya sendiri dengan
berbagai gangguan mental serta perilaku yang semakin mengganggu. Tentu
semakin banyak pula dampak negatif yang akan terjadi (Veskariyanti, 2008).
Istilah autisme pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Leo Kanner tahun
1943, seorang psikiater dari John Hopkins University yang menangani sekelompok anak-anak yang mengalami kelainan sosial berat, hambatan
komunikasi, dan masalah perilaku. Anak-anak ini menujukkan sifat menarik diri
(withdrawal), membisu, dengan aktivitas repetitive, dan stereotipik serta memalingkan pandangannya dari orang lain (Davidson, 2008). Anak autisme
dianggap mempunyai salah satu dari sekelompok kelainan perkembangan fungsi
otak yang mengakibatkan berbagai macam kelainan perilaku. Dalam DSM-IV
(Diagnostic and Statistical Manual of Mental), anak autisme secara kolektif digolongkan pada pervasive developmental disorder (Kasran, 2003).
` Autisme bisa mengenai siapa saja, tidak ada perbedaan status sosial-ekonomi,
pendidikan, golongan etnis, atau bangsa. Biasanya autisme lebih sering ditemukan
pada anak laki-laki dibanding perempuan, dengan angka perbandingan 5 : 1.
Penyebab terjadinya autisme hingga saat ini belum diketahui secara pasti, tapi
diperkirakan disebabkan oleh kelainan sistem saraf dalam berbagai derajat berat
Saat ini jumlah anak autisme semakin meningkat. Berdasarkan data Pusat
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat atau Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyatakan bahwa pada tahun 2006, menunjukkan peningkatan anak autisme yang lebih besar yaitu sekitar 60 per
10.000 kelahiran, atau satu diantara 150 penduduk. Tahun 2008, rasio anak
autisme 1 dari 100 anak, maka di tahun 2012, terjadi peningkatan yang cukup
memprihatinkan dengan jumlah rasio 1 dari 88 orang anak saat ini mengalami
autisme. Prevalensi terbaru ini dikemukakan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) America Serikat pada Maret 2013 prevalensi anak autisme meningkat menjadi satu berbanding 50 dalam kurun waktu setahun terakhir.
Di Inggris saat ini perbandingan antara anak normal dan autisme 1:100.
Pada beberapa daerah di Amerika angka ini bisa mencapai satu diantara 100
penduduk. Angka sebesar ini dapat dikatakan sebagai “wabah”, sehingga di
Amerika autisme telah dinyatakan sebagai national alarming. Berdasarkan data dari Departemen Pendidikan Amerika bahwa angka peningkatan anak autisme di
Amerika cukup mengerikan, yaitu sebesar 10% sampai 17% pertahun. Jumlah
anak autisme di Amerika saat ini sebanyak 1,5 juta orang anak. Pada dekade
berikut diperkirakan akan terdapat sekitar empat juta anak autisme di Amerika
(Sutadi, 2008).
Yayasan Autisme Indonesia menyatakan adanya peningkatan prevalensi
autisme, dimana sepuluh tahun yang lalu jumlah anak autisme di Indonesia
diperkirakan 1 : 5000 anak, sekarang meningkat menjadi 1 : 500 anak . Tahun
2.000 silam, staf bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak anak autisme di Indonesia
(Moore, 2010).
Apabila anak autisme tidak mendapat penanganan secara dini, kondisi
autis akan menjadi permanen. Oleh karena itu tatalaksana terapi harus dilakukan
perkembangan otak anak berada pada tahap cepat dan mempunyai keberhasilan
yang cukup tinggi terutama bagi anak autisme murni tanpa penyulit lain.
Mengingat intensitas terapi merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kesembuhan anak autisme, untuk mencapai hasil terapi yang
maksimal anak autisme harus ditangani selama anak bangun. Intensitas yang ideal
adalah 40 jam dalam seminggu rata-rata 8 jam sehari. Pada anak yang masih
berusia balita, terputusnya proses terapi selama satu minggu saja sudah
menyebabkan kemunduran perilaku yang sangat banyak (Handojo, 2003).
Permasalahan yang sering muncul meskipun anak autisme telah mengikuti
program terapi di tempat terapi autisme dan mendapat terapi obat-obatan, namun
masih ditemukan anak autisme yang tidak memperoleh kesembuhan secara
optimal. Oleh karena itu tanggung jawab program terapi anak autisme bukan
hanya pada terapis atau dokter, tetapi yang terpenting adalah asuhan dari orang
tua.
Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama
mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik,
membimbing, dan mendisiplin serta melindungi anak untuk mencapai
kedewasaanya sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat (Aisyah,
2010).
Yusuf (2009), menyatakan bahwa pola asuh merupakan sikap orang tua
dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara orang
tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orang tua
menunjukkan otoritasnya, dan cara orang tua memberikan perhatian serta
tanggapan terhadap anaknya. Menurut Harlock (2008), pola asuh orangtua anak
autisme dipengaruhi oleh usia, tingkat pendidikan, kelas sosial dan pekerjaan,
konsep tentang peran orangtua, kepribadian orangtua, kepribadian anak, dan usia
anak.
Mengingat bahwa pola asuh orang tua pada anak autisme sangat penting,
Berdasarkan dari kondisi permasalahan tersebut, peneliti tertarik mengkajinya
melalui penelitian tentang pengaruh pola asuh orang tua terhadap anak autisme.
1.2. Perumusan Masalah
Bagaimanakah perbedaan tingkat pola asuh orangtua dari anak autisme
berdasarkan usia, pendidikan, dan pekerjaan?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan
tingkat pola asuh orangtua dari anak autisme berdasarkan usia, pendidikan, dan
pekerjaan.
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Mendapatkan informasi pola asuh orangtua yang memiliki anak
autisme.
2. Mengetahui perbedaan tingkat pola asuh orang tua dari anak autisme
berdasarkan usia.
3. Mengetahui perbedaan tingkat pola asuh orang tua dari anak autisme
berdasarkan tingkat pendidikan.
4. Mengetahui perbedaan tingkat pola asuh orang tua dari anak autisme
berdasarkan pekerjaan.
1.4. Manfaat Penelitian
Secara umum hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran dalam upaya penanganan anak autisme. Adapun secara
khusus penelitian ini diharapkan mendatangkan manfaat sebagai berikut:
1.4.1. Bagi ilmu pengetahuan, yaitu dapat menambah keragaman ilmu
pengetahuan dan penelitian bagi dunia kedokteran umumnya, khususnya
1.4.2. Bagi pihak pengelola sekolah luar biasa autisme, yaitu memberikan
masukan dalam rangka pemberian informasi yang berkaitan dengan pola
asuh orang tua terhadap anak autisme.
1.4.3. Bagi peneliti selanjutnya, yaitu dapat digunakan sebagai referensi untuk
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Autisme
2.1.1. Definisi
Autisme bukan suatu penyakit tetapi berupa sindroma (kumpulan gejala)
terjadi penyimpangan perkembangan sosial, gangguan kemampuan berbahasa dan
kepedulian terhadap sekelilingnya sehingga anak seperti hidup dalam dunianya
sendiri. Dengan kata lain pada anak autisme terjadi kelainan emosi, perilaku,
intelektual, dan kemauan (Yatim, 2007).
Istilah autisme berasal dari bahasa Yunani. kata autos yang berarti diri sendiri dan isme yang berarti paham. Ini berarti bahwa autisme memiliki makna keadaan yang menyebabkan anak-anak hanya memiliki perhatian terhadap
dunianya sendiri. Autisme adalah kategori ketidakmampuan yang ditandai dengan
adanya gangguan dalam komunikasi, interaksi sosial, pola bermain, dan perilaku
emosi. Gejala autisme mulai terlihat sebelum anak-anak berumur tiga tahun.
Keadaan ini akan dialami di sepanjang hidup anak-anak tersebut (Muhammad,
2008).
Menurut Huzaemah (2010), autisme adalah gangguan perkembangan
kompleks yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak, sehingga
mengakibatkan gangguan pada perkembangan komunikasi, perilaku, kemampuan
sosialis, sensoris, dan belajar. Biasanya gejala sudah mulai tampak sebelum usia
anak 3 tahun.
Gulo (1982), menyebutkan autisme berarti preokupasi terhadap pikiran
dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada
pikiran subjektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu penderita autisme disebut orang yang hidup di
Autisme menurut para ahli dari National Society for Childrenand Adult with Autism adalah gejala kelainan perilaku yang manifestasinya muncul sebelum usia 30 bulan dengan karakteristik gambaran: 1) gangguan pola dan kecepatan
perkembangan; 2) gangguan respon terhadap berbagai stimuli sensori; 3)
gangguan bicara, bahasa, kognisi dan komunikasi nonverbal; dan 4) gangguan
dalam kemampuan mengenal orang, kejadian dan objek (Tsai et al, 2001).
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa autisme merupakan
gejala kelainan perkembangan pada anak yang disebabkan karena kerusakan otak,
sehingga menimbulkan gangguan dalam interaksi sosial, gangguan bicara dan
berbahasa, komunikasi nonverbal, kognisi, dan gangguan perilaku yang
cenderung stereotip. Gangguan ini sudah tampak pada anak di bawah usia 3 tahun.
Perilaku autistik menurut Handojo (2003), digolongkan menjadi 2 jenis
yaitu:
1. Perilaku yang eksesif (berlebihan) adalah perilaku yang hiperaktif dan tantrum
(mengamuk) berupa menjerit, menyepak, menggigit, mencakar dan memukul,
dan juga sering menyakiti diri sendiri.
2. Perilaku yang defisit (berkekurangan) ditandai dengan gangguan bicara,
perilaku sosial kurang sesuai (naik ke pangkuan ibu bukan untuk kasih sayang
tapi untuk meraih kue), bermain tidak benar, dan emosi tanpa sebab (misalnya
tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab).
2.1.2. Penyebab
Penyebab terjadinya autisme adalah adanya kelainan pada otak (Handojo,
2003). Menurut Veskariyanti (2008), autisme disebabkan karena kondisi otak
yang secara struktural tidak lengkap, atau sebagian sel otaknya tidak berkembang
sempurna, ataupun sel-sel otak mengalami kerusakan pada masa
perkembangannya. Penyebab sampai terjadinya kelainan atau kerusakan pada otak
belum dapat dipastikan, namun ada beberapa faktor yang diduga sebagai
dan jamur, kekurangan nutrisi dan oksigenasi, obat-obatan serta akibat polusi
udara, air, dan makanan;banyak mengandung Monosodium Glutamate (MSG), pengawet atau pewarna.
Gangguan atau kelainan otak tersebut terjadi sejak janin dalam kandungann,
yaitu saat fase pembentukan organ-organ (organogenesis) pada usia kehamilan
trimester pertama (0-4 bulan). Hal ini mengakibatkan neuro-anatomis pada bagian
otak berikut ini: 1) lobus parietalis, menyebabkan anak autisme tidak peduli
dengan lingkungan sekitar; 2) serebelum (otak kecil) terutama pada lobus VI dan
VII menimbulkan gangguan proses sensoris, daya ingat, berpikir, berbahasa dan
perhatian; 3) sistem limbik yang disebut hipokampus dan amigdala. Kelainan
pada hipokampus mengakibatkan gangguan fungsi kontrol terhadap agresi dan
emosi serta fungsi belajar dan daya ingat, sehingga anak autisme kurang dapat
mengendalikan emosi, terlalu agresif atau sangat pasif, timbulnya perilaku atau
gerakan yang diulang-ulang, aneh, dan hiperaktif serta kesulitan menyimpan
informasi baru. Kelainan pada amigdala mengakibatkan gangguan berbagai
rangsang sensoris (pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, dan rasa
takut).
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa laki-laki 3-4 kali berisiko lebih
tinggi dari wanita. Sementara risiko autisme jika memiliki saudara kandung yang
juga autisme sekitar 3%. Studi lain menunjukkan, saudara kembar dengan jenis
kelamin yang sama tapi merupakan monozigotik, mempunyai risiko 300 kali lebih
besar dari pada dizigotik (Yoder, 2004).
Beberapa kasus terjadinya anak autisme berhubungan dengan infeksi
virus (rubella kongenital atau cytomegalic inclusion disease), fenilketonuria
(suatu kekurangan enzim yang sifatnya diturunkan), dan sindroma-x yang rapuh
(kelainan kromosom). Abnormalitas yang paling sering terjadi yaitu duplikasi
pada kromosom 15 dan kromosom seks. Bagian 15q dari kromosom yang didapat
secara maternal ditemukan paling banyak berpengaruh pada individu yang
salah satu gambaran klinis spektrum autisme. Bahkan akhir-akhir ini, gen ini
dilaporkan ikut berpartisipasi dalam pengkodean gen 3-gamma-aminobutyric acid (GABA)-A receptor subunits (Trottier, 1999).
Sedangkan menurut Budiman (2001), peningkatan kasus autisme selain
karena faktor kondisi dalam rahim seperti terkena virus toksoplasmosis
sitomegalovirus, rubella atau herpes dan faktor herediter, juga diduga karena
pengaruh zat-zat beracun, misalnya timah hitam (Pb) dari knalpot kendaraan,
cerobong pabrik, cat tembok, kadmium (Cd) dari batu baterai, serta air raksa (Hg)
yang juga digunakan untuk menjinakkan kuman untuk imunisasi. Demikian pula
antibiotik yang memusnahkan hampir semua kuman baik dan buruk di saluran
pencernaan, sehingga jamur merajalela di usus. Logam-logam berat yang
menumpuk di dalam tubuh wanita dewasa masuk ke janin lewat demineralisasi
tulang lalu tersalur ke bayi melalui Air Susu Ibu (ASI).
Peresepan antibiotik yang berlebihan adalah masalah yang tidak dapat
dipisahkan dari autisme dan sudah memicu timbulnya resistensi organisme
terhadap antibiotik sehingga organisme semakin sulit untuk dieradikasi (Jepson,
2003). Selain itu, penggunaan antibiotik yang berlebihan dapat mengganggu
keseimbangan mikroorganisme di tubuh (Herbert, 2002). Anak-anak autisme
mempunyai masalah khusus pada keadaan ini karena pada penelitian akhir-akhir
ini menunjukkan bahwa anak-anak autisme mempunyai aktivitas T-helper 1 Lymphocyte yang rendah (Jepson, 2003). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Warren (1995) dalam Trottier (1999), anak-anak autisme menunjukkan kelainan
cell-mediated immunity termasuk kelainan aktivasi sel T dan penurunan jumlah
helper-inducer lymphocytes. Keadaan ini menyebabkan rendahnya kemampuan untuk membersihkan organisme yang berbahaya dan mengembalikan
keseimbangan flora normal intestinal. Ini dapat menghasilkan pertumbuhan jamur
yang berlebihan dan bakteri yang persisten di saluran cerna mereka. Organisme
tersebut dapat mengganggu proses pencernaan yang normal dan menghasilkan
metabolit yang berbahaya yang berbahaya yang pada akhirnya berpengaruh pada
2.1.2. Manifestasi Klinik
Secara umum karakteristik klinik yang ditemukan pada anak autisme
menurut Yatim (2007), meliputi:
1. Sangat lambat dalam perkembangan bahasa, kurang menggunakan bahasa,
pola berbicara yang khas atau penggunaan kata-kata tidak disertai arti yang
normal.
2. Sangat lambat dalam mengerti hubungan sosial, sering menghindari kontak
mata, sering menyendiri, dan kurang berinteraksi dengan lingkungan
sekitarnya.
3. Ditandai dengan pembatasan aktivitas dan minat, anak autisme sering
memperlihatkan gerakan tubuh berulang, seperti bertepuk-tepuk tangan,
berputar-putar, memelintir atau memandang suatu objek secara terus
menerus.
4. Pola yang tidak seimbang pada fungsi mental dan intelektual, anak autisme
sangat peka terhadap perubahan lingkungan, dan bereaksi secara emosional.
Kemampuan intelektual sebagian besar mengalami kemunduran atau
inteligensia yang rendah dan sekitar 20 persen mempunyai inteligensia di atas
rata-rata.
5. Sebagian kecil anak autisme menunjukan masalah perilaku yang sangat
menyimpang seperti melukai diri sendiri atau menyerang orang lain.
Ada 3 kelompok gejala yang harus diperhatikan untuk dapat
mendiagnosis autisme, yaitu dalam interaksi sosial, dalam komunikasi verbal, dan
nonverbal serta bermain dan dalam berbagai aktivitas serta minat. Namun
demikian, anak-anak autisme kemungkinan sangat berbeda satu dengan yang lain,
tergantung pada derajat kemampuan intelektual serta bahasanya. Baik anak yang
mutisme (membisu) dan suka menyendiri maupun anak yang mampu bertanya
dengan tata bahasa yang benar tapi tidak sesuai dengan situasi yang ada, keduanya
mempunyai diagnosis yang sama, yaitu autisme. Dapat pula terjadi salah
diagnosis pada keadaan fungsi intelektual yang ekstrem (sangat tinggi atau sangat
meningkatnya usia, membuat diagnosis autisme yang dibuat setelah masa
kanak-kanak lewat, menjadi kurang dapat dipercaya (Masra, 2002).
Sedangkan untuk diagnostik anak autisme yaitu berdasarkan kriteria
diagnostik menurut ICD – 10 1993 (International Classification of Disease) dari
WHO maupun DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual) 1994, dari grup Psikiatri Amerika (dalam Kaplan dan Sadock, 2010), keduanya menetapkan
kriteria yang sama untuk anak autisme.
Kriteria DSM-IV untuk Autisme:
A. Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2) dan (3), dengan minimal 2 gejala
dari (1) dan masing-masing 1 gejala (2) dan (3).
(1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbul balik. Minimal
harus ada 2 gejala dari gejala-gejala ini:
a. Tidak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai: kontak
mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik yang
kurang setuju.
b. Tidak bisa main dengan teman sebaya.
c. Tidak bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain.
d. Kurangnya hubungan sosial dan emosional timbal balik.
(2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi seperti, minimal 1 dari
gejala-gejala di bawah ini:
a. Bicara terlambat atau bahkan sama sekali tidak berkembang (dan
tidak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain
tanpa bicara).
b. Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi.
c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang.
d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang bisa
meniru.
(3) Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dari perilaku, minat
a. Mempertahankan satu minat atau lebih, dengan cara yang sangat khas
dan berlebih-lebihan.
b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik dan rutinitas yang tidak
ada gunanya.
c. Ada gerakan-gerakan yang aneh, khas dan diulang-ulang.
d. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda.
B. Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam
bidang:
a. Interaksi sosial.
b. Bicara dan berbahasa.
c. Cara bermain yang kurang variatif.
C. Bukan disebabkan oleh Sindrom Rett atau Gangguan Disintegratif masa kanak.
2.1.3. Penatalaksanaan Terapi
Tujuan terapi pada anak dengan gangguan autisme menurut Kaplan dan
Sadock (2010), adalah mengurangi masalah perilaku serta meningkatkan
kemampuan belajar dan perkembangannya, terutama dalam keterampilan bahasa.
Tujuan ini dapat tercapai dengan baik melalui suatu program terapi yang
komprehensif dan bersifat individual, dimana pendidikan khusus dan terapi wicara
merupakan komponen yang paling utama. Adapun program terapi meliputi: 1)
pendekatan edukatif berupa pendidikan khusus dan latihan terstruktur; 2) Terapi
perilaku dengan menggunakan prosedur modifikasi perilaku yang spesifik; 3)
Psikoterapi secara individual, baik dengan atau tanpa obat; 4) Terapi dengan
obat-obatan, khususnya bagi anak autisme dengan gejala-gejala seperti: tempertantrum, agresif, melukai diri sendiri, hiperaktifitas, dan stereotip.
Menurut Danuatmaja (2003), penatalaksanaan terapi anak autisme ada 5
jenis, diantaranya:
Terapi dengan obat-obatan yang bertujuan memperbaiki komunikasi, respon
terhadap lingkungan, dan menghilangkan perilaku aneh serta diulang-ulang.
2.1.3.2. Terapi biomedis
Terapi ini bertujuan memperbaiki metabolisme tubuh melalui diet dan
pemberian suplemen. Terapi ini didasarkan banyaknya gangguan fungsi
tubuh, seperti gangguan pencernaan, alergi, daya tahan tubuh rentan, dan
keracunan logam berat.
2.1.3.3. Terapi wicara
Terapi ini umumnya menjadi keharusan bagi anak autisme karena mereka
mengalami gangguan bicara dan kesulitan berbahasa.
2.1.3.4. Terapi perilaku
Terapi ini bertujuan agar anak autisme dapat mengurangi perilaku tidak wajar
dan menggantinya dengan perilaku yang diterima oleh masyarakat.
2.1.3.5. Terapi okupasi
Terapi ini diberikan pada anak yang memiliki gangguan perkembangan
motorik kurang baik. Bertujuan untuk menguatkan, memperbaiki koordinasi,
dan keterampilan motorik halus.
Suatu tim kerja terpadu yang terdiri dari tenaga pendidik, tenaga medis
(psikiater, dokter anak), psikolog, ahli terapi wicara, pekerja sosial, dan perawat
sangat diperlukan agar dapat mendeteksi dini serta memberi penanganan yang
sesuai dan tepat waktu. Semakin dini terdeteksi dan mendapat penanganan yang
tepat, akan dapat tercapai hasil yang optimal (Masra, 2002).
2.2 Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu pola dan asuh. Menurut Kamus Saku
Bahasa Indonesia (2010), pola adalah model, cara, sistem, kerja atau ragam
sedangkan kata asuh adalah menjaga, merawat, dan mendidik anak. Pola asuh
dan norma tata nilai yang berlaku pada masyarakat (Hurlock, 2008). Pengasuhan
anak adalah bagian dari proses sosialisasi tata pergaulan keluarga yang mengarah
pada terciptanya kondisi kedewasaan dan kemandirian anggota keluarga atau
masyarakat (Godam, 2008).
Menurut Petranto (2006), pola asuh orang tua ini sangat mempengaruhi
bagaimana kelak anak berperilaku, bentuk-bentuk kepribadian anak secara
keseluruhan. Pola asuh anak akan mempengaruhi harga dirinya dikemudian hari.
Harga diri seseorang bisa dikatakan baik bila ia merasa diterima oleh kelompok
sosialnya, merasa mampu, dan merasa berharga. Hal-hal ini adalah yang
diinginkan oleh setiap orang tua pada anaknya. Setiap orang tua yang merasa
memiliki anak-anak dengan perasaan tersebut di atas tentu bangga dan merasa
tidak sia-sia membesarkannya dan merasa apa yang telah diperbuatnya kepada
anak memang adalah hal yang benar. Jadi pola asuh orang tua adalah pola
perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke
waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak dari segi negatif maupun
positif.
Kreativitas anak tidak terlepas dari pengasuhan orang tua/pendidik dalam
arti bahwa kreativitas anak erat hubungannya dengan pola asuh yang diberikan
oleh orangtua/pendidik juga orang tua berperan membenahi mental hygiene anak, karena itu merupakan prasyarat utama bagi terbentuknya kepribadian yang
mantap. Pada tahap selanjutnya kepribadian ini merupakan modal bagi
penyesuaian diri anak dengan lingkungannya yang memberikan dampak bagi
kesejahteraan keluarga secara keseluruhan. Melalui pendidikan yang diberikan
oleh orang tua, anak akan memenuhi sifat kemanusiaannya dan berkembang dari
insting-insting biogenetik yang primitif untuk belajar terhadap respon-respon yang
diterimanya (Aisyah, 2010).
Aspek-aspek asuhan dikemukakan oleh Bradley et al (2003), dengan pengukuran HOME Inventory (Home Observation Measurement Environment).
secara fisik (mainan dan pembelajaran materi) dan sosial (dukungan emosi dan
respon) yang diberikan kepada anak oleh pengasuhnya di lingkungan rumah dan
orang yang memberi pengasuhan. Skala HOME meliputi 6 aspek, yaitu tanggap rasa dan kata, penerimaan terhadap perilaku anak, pengorganisasian lingkungan
anak, penyediaan mainan untuk anak, keterlibatan orangtua terhadap anak, dan
kesempatan variasi asuhan anak.
Instrumen HOME dapat digunakan untuk mengukur kualitas dan kuantitas dari perkembangan kognitif, emosional, dan sosial anak (Bradley et al, 2003).
HOME Inventory memberikan informasi yang objektif, gambaran aktifitas yang dilakukan oleh anak, dan menawarkan aspek lingkungan positif dan negatif yang
sesuai dengan kebutuhan anak (Mayes et al, 2012).
2.3. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh
Hurlock (2008) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh, yaitu:
a. Pendidikan orang tua
Orang tua yang mendapat pendidikan yang baik, cenderung menetapkan pola
asuh yang lebih demokratis ataupun permisif dibandingkan dengan orang tua
yang pendidikannya terbatas. Pendidikan membantu orang tua untuk lebih
memahami kebutuhan anak.
b. Kelas sosial dan Pekerjaan
Orang tua dari kelas sosial menengah cenderung lebih permisif dibanding
dengan orang tua dari kelas sosial bawah.
c. Konsep tentang peran orang tua
Tiap orang tua memiliki konsep yang berbeda-beda tentang bagaimana
seharusnya orang tua berperan. Orang tua dengan konsep tradisional cenderung
memilih pola asuh yang ketat dibanding orang tua dengan konsep
d. Kepribadian orang tua
Pemilihan pola asuh dipengaruhi oleh kepribadian orang tua. Orang tua yang
berkepribadian tertutup dan konservatif cenderung akan memperlakukan anak
dengan ketat dan otoriter.
e. Kepribadian Anak
Tidak hanya kepribadian orang tua saja yang mempengaruhi pemilihan pola
asuh, tetapi juga kepribadian anak. Anak yang ekstrovert akan bersifat lebih terbuka terhadap rangsangan-rangsangan yang datang pada dirinya
dibandingkan dengan anak yang introvert. f. Usia anak
Tingkah laku dan sikap orang tua dipengaruhi oleh anak. Orang tua yang
BAB 3
KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah diagram yang menampilkan keterkaitan antara
variabel independen dan variabel dependen yang diteliti (Mukhtar, 2011).
Variabel bebas Variabel terikat
Keterangan:
: variabel yang diteliti
3.2. Definisi Operasional 3.2.1. Pola Asuh Orang Tua
a. Definisi
Pola asuh orang tua adalah pola perilaku orangtua baik ayah atau ibu dalam
merawat, membesarkan, mendidik, dan memperlakukan anak-anaknya,
mulai sejak lahir sampai saat penelitian.
b. Alat ukur
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah HOMEInventory.
1.Usia
2. Tingkat pendidikan
Pola asuh orangtua
terhadap anak autisme
c. Cara ukur
Cara pengukurannya dengan melakukan pengamatan, wawancara secara
langsung berdasarkan kuesioner.
d. Hasil pengukuran
Hasil pengukuran pada penelitian ini ada 3 yaitu, kurang (skor antara 0-25),
cukup (skor antara 26-36), baik (skor antara 37-45).
e. Skala ukur
Skala ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala ordinal.
3.2.2. Autisme
a. Definisi
Autisme adalah gangguan perkembangan yang disebabkan oleh adanya
kerusakan pada otak, sehingga mengakibatkan gangguan pada
perkembangan komunikasi, perilaku, kemampuan sosial, sensoris, dan
belajar.
b. Alat ukur
Alat ukur berupa data administrasi lembaga.
c. Cara ukur
Cara pengukurannya dengan melakukan observasi langsung berdasarkan
data administrasi lembaga.
d.Hasil Pengukuran
Hasil pengukuran pada penelitian ini ada 2 yaitu anak autisme dan bukan
anak autisme.
e.Skala Ukur
3.2.3. Usia
a. Definisi
Usia adalah lama waktu perjalanan hidup responden (orangtua) sejak
dilahirkan sampai sekarang yang dinyatakan dalam satuan tahun.
b. Alat ukur
Alat pengukuran berupa wawancara.
c. Cara ukur
Cara pengukurannya dengan melakukan wawancara secara langsung.
d. Hasil pengukuran
Usia dibagi menjadi 3 kategori yaitu dewasa awal (20-40 tahun), dewasa
madya/ tengah (41-65 tahun), dan dewasa akhir (>65 tahun).
e. Skala ukur
Skala ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kategorik
(ordinal).
3.2.4. Tingkat Pendidikan
a. Definisi
Tingkat pendidikan adalah riwayat pendidikan formal terakhir yang telah
ditempuh oleh responden (orangtua).
b. Alat ukur
Alat pengukuran berupa wawancara.
c. Cara pengukuran
d. Hasil pengukuran
Hasil pengukuran pada penelitian ini dibagi berdasarkan tingkat pendidikan
(dasar, menengah, dan tinggi).
e. Skala ukur
Skala ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah ordinal.
3.2.5. Status Pekerjaan
a. Definisi
Status Pekerjaan adalah kondisi apakah seseorang bekerja atau tidak bekerja
b. Alat ukur
Alat pengukuran berupa wawancara.
c. Cara ukur
Cara pengukurannya dengan melakukan wawancara secara langsung.
d. Hasil pengukuran
Hasil pengukuran pada penelitian ini ada 2, yaitu bekerja dan tidak bekerja.
e. Skala ukur
Skala ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala nominal.
3.3 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah adanya perbedaan tingkat pola asuh
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan penelitian
menggunakan pendekatan cross sectional, yaitu penelitian yang dilakukan dengan sekali pengamatan pada saat tertentu terhadap objek yang berubah, berkembang
atau tumbuh menurut waktu (Aswin, 2001).
4.2. Waktu dan Tempat 4.2.1. Waktu Penelitian
Penelitian akan dilakukan dari bulan Juli-September 2013.
4.2.2 Tempat penelitian
Penelitian dilakukan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Al-Azhar Medan,
Sekolah Luar Biasa (SLB) E Pembina Tingkat Provinsi Medan, dan Yayasan
Pembina Anak Cacat (YPAC) Medan. Adapun pertimbangan memilih lokasi
tersebut adalah karena menurut data sekolah luar biasa di kota Medan, Sekolah
Luar Biasa (SLB) Al-Azhar, Sekolah Luar Biasa (SLB) E Negeri Pembina
Tingkat Provinsi Medan dan Yayasan Pembina Anak Cacat (YPAC) Medan
memiliki siswa autisme, mempunyai tipe sekolah luar biasa terlengkap, sebagai
tempat rehabilitasi sosial, dan lokasi penelitian terjangkau dengan peneliti.
4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2002). Populasi
Biasa Al-Azhar, Sekolah Luar Biasa E Negeri Pembina Tingkat Provinsi Medan,
dan Yayasan Pembina Anak Cacat Medan.
4.3.2 Sampel
Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
total sampling yaitu semua populasi penelitian dijadikan sebagai sampel pada penelitian ini (Notoatmodjo, 2010).
Sampel dalam penelitian yaitu orang tua dari anak autisme di Sekolah
Luar Biasa (SLB) Al-Azhar Medan, di Sekolah Luar Biasa (SLB) E Negeri
Pembina Tingkat Provinsi Medan, dan di Yayasan Pembina Anak Cacat (YPAC)
Medan.
4.4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan dan wawancara
langsung berdasarkan kuesioner oleh peneliti untuk mengetahui pengaruh pola
asuh orangtua pada anak autisme. Prosedur pengumpulan data yang dilakukan
adalah dengan mengajukan surat permohonan izin penelitian ke pihak Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dan mengajukan surat permohonan izin
melaksanakan penelitian di Sekolah Luar Biasa Al-Azhar dan Yayasan Pembina
Anak Cacat Medan. Untuk Sekolah Luar Biasa E Pembina Tingkat Provinsi
Medan, surat permohonan izin melaksanakan penelitian mengajukan terlebih
dahulu ke kantor Dinas Pendidikan Provinsi Medan lalu mengajukan surat
permohonan izin melaksanakan penelitian di Sekolah Luar Biasa E Pembina
Tingkat Provinsi Medan. Selanjutnya, menentukan responden penelitian. Setelah
itu, melakukan koordinasi dengan pengelola sekolah tentang rencana kegiatan
penelitian. Menjelaskan tujuan penelitian, mengumpulkan data dan meminta
kesediaan responden untuk ikut serta dalam dengan mengisi surat pernyataan
persetujuan yang telah disediakan. Melakukan wawancara mendalam serta
pengamatan langsung terhadap perilaku partisipasi orang tua dalam menangani
data terkumpul kemudian dilakukan entry data dan selanjutnya melakukan penyusunan laporan penelitian. Tahap selanjutnya dilakukan seminar hasil.
4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data 4.5.1. Metode Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan metode statistik secara komputerisasi.
Data yang dikumpulkan ditabulasi dalam bentuk distribusi frekuensi. Pengolahan
data adalah suatu proses dalam memperoleh data ringkasan atau angka ringkasan
dengan menggunakan cara-cara tertentu (Wahyuni, 2008) yaitu :
1. Editing
Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data.
2. Coding
Data yang telah dikumpul dan dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya kemudian
diberi kode secara manual sebelum diolah dengan komputer.
3. Entry
Data dibersihkan kemudian dimasukkan ke program komputer. menggunakan
program statistik.
4. Cleaning data
Pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam program komputer
guna menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data.
5. Saving
4.5.2. Metode Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis ini dilakukan terhadap tiap-tiap variabel penelitian. Pada umumnya
hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan prosentasi dari tiap variabel
(Sigarlaki, 2000).
2. Analisis Bivariat
Analisis yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan
atau korelasi, yaitu satu variabel bebas (pola asuh orang tua) dan satu variabel
BAB 5
HASIL PENELITIAN 5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
5.1.1.1. SLB-E Negeri Pembina Medan
SLB-E Negeri Pembina Medan mulai berdiri dari tahun 1983 dan
diresmikan pada tanggal 14 Maret 1986 oleh Bapak Dirjen Dikdasmen. Sekolah
yang terletak di Jalan Karya Ujung, Helvetia Timur, Medan ini dibangun di atas
areal seluas 2,5 Ha yang terdiri dari TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB. SLB-E
Negeri Pembina merupakan bagian dari Pendidikan Khusus (PK) dan Pendidikan
layanan Khusus (PLK) di wilayah Sumatera Utara yang dibentuk sebagai sumber
pengembangan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program pendidikan bagi
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dan anak yang memerlukan pendidikan
layanan khusus. SLB-E Negeri Pembina Medan dalam proses pendidikannya
diperuntukkan bagi anak berkebutuhan khusus meliputi: tunanetra (gangguan
penglihatan), tunarungu (gangguan pendengaran), tunagrahita (gangguan
intelektual), tunadaksa (gangguan gerak anggota tubuh), tunawicara (gangguan
berbicara), tunalaras (gangguan perilaku dan emosi) dan autis.
5.1.1.2. Yayasan Perguruan Al-Azhar
Sekolah Luar Biasa (SLB) Al-azhar didirikan pada tanggal 15 Juli 2007,
sebagai wujud amanah Almarhumah Hj. Rachman Nasution dalam melengkapi
satuan pendidikan mulai dari PG, TK, SLB sampai Universitas. SLB Al-azhar
berada di Jalan Pintu Air IV No. 214 Kuala Berkala, Padang Bulan Medan.
Sekolah Luar Biasa (SLB) Al-azhar Medan berupaya mendidik dan membimbing
anak-anak berkebutuhan khusus dalam mengoptimalisasikan potensi-potensi yang
mereka miliki, agar mandiri dalam hidupnya. Hal ini sesuai dengan amanat
5.1.1.3. Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan
YPAC Medan berlokasi di Jalan Adinegoro No. 2 Kelurahan Gaharu
Kecamatan Medan Timur dengan luas tanah 4.574 m². Yayasan ini terletak di
samping kantor KPU Sumatera Utara dan bersebelahan dengan kantor Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) serta letaknya juga berdekatan dengan kantor Poltabes
Medan. Letak yayasan yang strategis membuat yayasan ini menjadi salah satu
tempat pilihan sekolah luar biasa untuk para penyandang cacat, khususnya
penyandang tuna daksa dan tuna grahita.
YPAC Cabang Medan dikukuhkan pendiriannya pada tanggal 5 Februari
1972 melalui surat keputusan pengurus pusat yayasan No. 19/SK/PH/YPAC/85.
Sesuai dengan UU No. 16 Tahun 2003 tentang yayasan maka YPAC Cabang
Medan berubah status menjadi YPAC Medan berdasarkan Akta Notaris Henry
Tjong, SH No. 31 tanggal 18 Februari 2004. YPAC Medan adalah sebuah
Yayasan Nir-Laba yang membina anak-anak berkemampuan dan berkebutuhan
khusus di kawasan Medan dan sekitarnya.
5.2 Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini adalah orang tua dari anak autisme yang
bersekolah di Sekolah Luar Biasa Negeri Pembina Medan, Al-Azhar, dan YPAC
yaitu berjumlah 25 responden orang tua anak autisme. Pada penelitian ini,
perbandingan tingkat pola asuh orangtua dari anak autisme berdasarkan usia,
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia
Kategori Usia Frekuensi Persen
20-40 10 40,0
41-65 14 56,0
>65 1 4,0
Total 25 100,0
Dari tabel 5.1. dapat diketahui bahwa sampel usia 20-40 tahun dengan
jumlah 10 orang (40,0%), sampel usia 41-65 tahun dengan jumlah 14 orang
[image:41.595.111.517.413.522.2](56,0%), sampel usia >65 tahun dengan jumlah 1 orang (4,0).
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Frekuensi Persen
Laki-laki
Perempuan
Total
13 52,0
12 48,0
25 100,0
Dari tabel 5.2. didapati bahwa jumlah sampel jenis kelamin perempuan
sebesar 12 orang (48,0%) yang lebih kecil dari sampel dengan jenis kelamin
laki-laki sebesar 13 orang (52,0%).
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Status Pekerjaan
Status Perkerjaaan Frekuensi Persen
Tidak Berkerja
Berkerja
Total
1 4,0
24 96,0
[image:41.595.117.519.644.750.2]Dari tabel 5.3. didapati bahwa status pekerjaan sampel yang paling
banyak adalah bekerja sebanyak 24 orang (96,0%) dan yang paling sedikit adalah
[image:42.595.112.504.215.323.2]yang tidak bekerja sebanyak 1 orang (4,0%).
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan
Pendidikan Frekuensi Persen
Sekolah Menengah Pertama
Sekolah Menengah Atas dan PT
Total
6 24,0
19 76,0
25 100,0
Dari tabel 5.4 didapati tingkat pendidikan orangtua Sekolah Menengah
Pertama (SMP) dengan jumlah 6 orang (24,0%) dan yang paling banyak adalah
Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat dan Perguruan Tinggi dengan jumlah 19
orang (76,0%).
Tabel 5.5. Distribusi Aspek-Aspek Pola Asuh Orangtua
Kategori
Aspek Pola Asuh Orang Tua
Kurang Cukup Baik Total
F % F % F % F %
Tanggap rasa & kata 2 8 10 40 13 52 25 100
Penerimaan terhadap perilaku anak 11 44 10 40 4 16 25 100
Pengorganisasian lingkungan 10 40 12 48 3 12 25 100
Penyediaan mainan 17 68 6 24 2 8 25 100
Keterlibatan orang tua terhadap anak 2 8 11 44 12 48 25 100
[image:42.595.112.518.468.712.2]Berdasarkan tabel 5.5. dapat dilihat bahwa pola asuh orang tua pada aspek
tanggap rasa dan kata seluruhnya sebanyak 13 orang tua (52%) termasuk pada
kategori baik, penerimaan terhadap perilaku anak sebagian pada tingkat cukup 11
orang tua (44%), pengorganisasian lingkungan anak pada kriteria cukup sebanyak
12 orang tua (48%), penyediaan mainan anak kategori kurang sebanyak 17 orang
tua (68 %), keterlibatan orang tua terhadap anak pada tingkat baik 12 orang tua
(48%), dan kesempatan variasi asuhan anak kategori cukup sebanyak 13 orang tua
[image:43.595.113.522.308.443.2](52%).
Tabel 5.6. Distribusi Berdasarkan Pola Asuh Orangtua
Pola Asuh Frekuensi Persen
Kurang Cukup
Baik
Total
8 32,0
13 52,0
4 16,0
25 100,0
Berdasarkan tabel 5.6. dapat dilihat tingkat pola asuh orangtua dari anak
autisme dengan kategori pola asuh kurang sebanyak 8 orang (32%), kategori
Tabel 5.7. Hubungan Usia dan Pola Asuh
Correlations
Usia Pola Asuh
Usia
Pearson Correlation
1 ,401*
Sig. (2-tailed) ,047
N 25 25
Pola Asuh
Pearson Correlation
,401* 1
Sig. (2-tailed) ,047
N 25 25
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Berdasarkan tabel 5.7. dapat dilihat bahwa penelitian ini menggunakan
hipotesis dua arah (two-tailed) dengan tingkat kepercayaan 95%, yang berarti jika didapati nilai p < 0,05. Setelah dianalisis, didapati nilai p = 0,047. Karena nilai p
yang diperoleh lebih kecil dari 0,05, dapat disimpulkan terdapat hubungan antara
Tabel 5.8. Hubungan Tingkat Pendidikan, Pekerjaan, dan Pola Asuh
Correlations
Perkerjaan Pendidikan Pola Asuh
Perkerjaan
Pearson Correlation
1 ,363 -,440*
Sig. (2-tailed) ,074 ,028
N 25 25 25
Pendidikan
Pearson Correlation
,363 1 -,114
Sig. (2-tailed) ,074 ,589
N 25 25 25
Pola Asuh
Pearson Correlation
-,440* -,114 1
Sig. (2-tailed) ,028 ,589
N 25 25 25
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Berdasarkan tabel 5.8. dapat dilihat bahwa hubungan pekerjaan dan pola
asuh tersebut signifikan (bermakna) karena P (alpha) sebesar 0.028 (p<0.05). Hubugan pendidikan dan pola asuh tidak signifikan karena P (alpha) sebesar
0,589, dengan (p>0.05).
5.3. Pembahasan 5.3.1. Usia
Dari 25 responden sebagian besar orang tua berada pada kategori usia
dewasa middle age yaitu usia 41-65 tahun (56,0%). Hal ini berarti semakin besar peluang dan pengalaman untuk berpartisipasi dalam penanganan anak autis di
rumah ataupun di sekolah semakin banyak karena berdasarkan pengalaman yang
pertumbuhan dan perkembangan anak. Karena perkembangan ini yang akan
menunjukan bagaimana kemampuan anak berhubungan dengan dunia luar,
mengekspresikan dirinya dan bersosialisasi.
Dijelaskan psikolog anak sekaligus pengajar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia, Rose Mini Adi Prianto, M.Psi, "Sebenarnya tidak ada
perbedaan, tinggal bagaimana cara orangtua men-treat anaknya dengan cara yang cocok atau bagus. Jadi misalkan anak perlu stimulasi, diberikan stimulasi yang
sesuai."
Dalam kepustakaan Wong (2001), menyatakan bahwa usia tertentu adalah
baik untuk menjalankan peran pengasuhan. Apabila terlalu muda atau terlalu tua,
mungkin tidak dapat menjalankan peran tersebut secara optimal karena diperlukan
kekuatan fisik dan psikososial.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang pernah diteliti oleh Lasiyati dan
Ervin (2012) sebagian besar orang tua masih dapat melakukan pengasuhan yang
baik karena umur yang mereka miliki masih dalam usia yang dapat dikatakan siap
secara fisik maupun psikosialnya. Hal ini berhubungan dengan pola asuh karena
merupakan salah satu hal yang berhubungan secara langsung (Kail, 2000).
5.3.2. Status Pekerjaan
Untuk status pekerjaan didapati status pekerjaan sampel yang paling
banyak adalah bekerja sebanyak 24 orang (96,0%). Status pekerjaan dapat
mempengaruhi partisipasi orang tua dalam menangani anak autis di rumah. Ibu
yang tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga diharapkan penanganan anak
autis dilakukan semaksimal mungkin.
Belum ada penelitian yang membahas tentang pekerjaan dan pola asuh
orangtua dari anak autisme, namun dalam penelitian ini mayoritas pekerjaan
orang tua yang anaknya mengikuti pendidikan sekolah luar biasa untuk anak autis
ini erat kaitannya dengan pembiayaan pendidikan anak yang cukup tinggi.
dari keluarga dengan ekonomi yang mampu yang mengikuti terapi ini dan dari
segi keterikatan waktu dengan pekerjaan responden yang bekerja memiliki waktu
yang fleksibel untuk menjemput anak dan mengantarkan anak ke sekolah ataupun
ke tempat terapi.
5.3.3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan orangtua mayoritas adalah Sekolah Menengah Atas
(SMA) sederajat dan Perguruan Tinggi dengan jumlah 19 orang (76,0%).
Pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan responden dalam
penelitian ini memberikan pola pikir yang baik dan pemahaman tentang autisme
cukup tinggi sehingga dapat cepat tanggap untuk memberikan terapi untuk anak
yang menderita autis. Pendidikan merupakan suatu bimbingan yang diberikan
terhadap seseorang dalam membentuk pola pikir yang maju dan menuju kearah
cita-cita tertentu yang menentukan sikap untuk berbuat dan mengisi kehidupan
untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan.
Semakin tinggi pendidikan formal seseorang maka semakin tinggi pola
pikir seseorang mudah seseorang menerima informasi dan melakukan
pemanfaatan terhadap pelayanan kesehatan yang ada untuk meningkatkan kualitas
hidupnya (Notoatmodjo, 2003).
Latar belakang pendidikan orang tua dapat mempengaruhi pola pikir orang
tua kemudian juga berpengaruh pada aspirasi atau harapan orang tua kepada
anaknya, semakin tinggi pendidikan orang tua maka dapat menerima segala
informasi dari luar, terutama tentang cara pengasuhan yang baik (Wong, 2001).
Teori lain tentang faktor pendidikan juga dikemukakan oleh Hibana
(2002) yaitu orang tua yang telah mendapatkan pendidikan yang tinggi, akan
memiliki pengetahuan yang baik dalam mengasuh anak.
Disebutkan dalam penelitian Lasiyati dan Ervin (2012) bahwa semakin
tentang pengasuhan anak sehingga orang tua dapat menerapkan pola asuh yang
tepat untuk anaknya.
Variabel ini memiliki hubungan dengan pola asuh (Jullie et all, 2010).
Tetapi menjadi tidak berhubungan karena perbedaan jenis sampel.
5.3.4. Pola Asuh
Tingkat pola asuh orangtua dari anak autisme terbanyak dengan kategori
pola asuh cukup sebanyak 13 orang (52,0%). Hal ini menunjukkan bahwa
partisipasi orang tua dalam penanganan anak autis dilakukan secara optimal dan
maksimal. Penelitian lain di Sekolah Luar Biasa Bina Anggita Yogyakarta oleh
Evi (2007) menyatakan bahwa pola asuh orang tua terhadap anak autisme dengan
kategori baik sebanyak 7 orang (70%).
Dalam penelitian ini ternyata pola asuh berhubungan dengan usia,
hubungan tersebut cukup kuat dengan p<0,05. Pola asuh berhubungan dengan
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penelitian, maka dapat diambil
kesimpulan mengenai perbedaan tingkat pola asuh orang tua dari anak autisme
berdasarkan usia, pendidikan, dan pekerjaan sebagai berikut:
1. Tingkat pola asuh orangtua dari anak autisme terbanyak dengan kategori
pola asuh cukup sebanyak 13 orang (52,0%).
2. Terdapat perbedaan tingkat pola asuh dengan usia (p=0.047).
3. Tidak terdapat perbedaan tingkat pola asuh dengan tingkat pendidikan
(p=0.589).
4. Terdapat perbedaan tingkat pola asuh dengan status pekerjaan (p=0.028).
6.2. Saran
Dari seluruh proses penelitian yang telah dijalani oleh penulis dalam
menyelesaikan penelitian ini, maka dapat diungkapkan beberapa saran yang
mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berperan dalam penelitian ini.
Adapun saran tersebut, yaitu:
1. Bagi pihak pengelola sekolah hendaknya lebih meningkatkan pemberian
informasi tentang autisme terutama mengenai cara penanganan anak autis
di rumah dan tetap memberikan dorongan kepada keluarga untuk memberi
dukungan kepada anak sehingga terdapat perubahan anak autisme yang
meningkat melalui pertemuan orang tua, komunikasi terbuka antar orang
tua dan pihak sekolah, memberi pelatihan bagi orang tua tentang cara
melakukan terapi, sehingga keluarga dapat melanjutkan apa yang telah
diajarkan di sekolah ketika anak di rumah.
2. Bagi keluarga hendaknya tetap memberikan dukungan kepada anak
program yang telah disusun secara konsisten, berkelanjutan dan disiplin
tinggi.
3. Lingkungan masyarakat sekitar anak autisme hendaknya terlibat dalam
memberikan dukungan.
4. Bagi institusi pendidikan diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah
studi kepustakaan dan diharapkan menjadi suatu masukan yang berarti dan
bermanfaat bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara
5. Saran bagi dinas terkait, termasuk dinas sosial, dinas pendidikan dan dinas
kesehatan dapat memberikan perhatian lebih baik kepada daerah-daerah
atau penduduk dengan kebutuhan khusus dengan pendekatan holistik
terhadap orang tua dan sang anak. Terutama pendidikan tambahan seperti
penyuluhan ke rumah-rumah atau menumbuhkan kesadaran para orang tua
agar mau bersama-sama secara kelompok untuk meningkatkan
pegetahuannya tentang pola asuh anak.
6. Perlu penelitian lanjutan yang lebih mendalam dengan menghubungkan
Daftar Pustaka
Aisyah, S, 2010. Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Tingkat Agresivitas
Anak. Available from:
American Psychiatric Association., 2000. Pervasive developmental disorders. In Diagnostic and statistical manual of mental disorders (Fourth edition---text revision (DSM-IV-TR). Washington, DC: American Psychiatric Association, 69-70.
Anggraini, E., 2007. Pengaruh Pola Asuh Orangtua terhadap Anak Autisme di
Sekolah Luar Biasa Bina Anggita Yogyakarta.
Arikunto, S., 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Aswin, S., 2001. Metodologi Penelitian Kedokteran. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM.
Budiman, M., 2001. Penanganan Dini bagi Anak Autis. Intisari.
Bradley, et al., 2003. The child care HOME Inventories: Assessing the quality of family child care homes. Early Childhood Research Quarterly. 18;
294-309.
CDC. 2013. Prevalence of Autism Spectrum Disorders-Autism and
Developmental Disabilities Monitoring Network, 14 Sites, United States.
MMWR;61 (No. SS-03). Available from:
23 April 2013].
Davidson, J., 2008. Autistic culture online: virtual communication and cultural
expression on the spectrum. Available from:
Ginanjar, S.A., 2005. Penanganan Perilaku dan Kurikulum bagi Anak Autis. Jakarta: Yayasan Mandiga.
Godam., 2008. Jenis/Macam Tipe Pola Asuh Orang Tua pada Anak&Cara
Mendidik Mengasuh Anak yang Baik. Available from:
Handojo, Y., 2003. Autisme : Petunjuk Praktis & Pedoman Materi Untuk Mengajar Anak Normal, Autis & Perilaku Lain. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.
Herbert, J.D., 2002. Separating Fact from Fiction in the Etiology and Treatment of
Autism. Available from:
[Accesed 25 April 2013].
Hurlock, E., 2008. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Huzaemah., 2010. Kenali Autisme Sejak Dini. Jakarta: Pustaka Populer Obor. Jepson, B.M.D., 2003. Understanding Autism: The Physiological Basis and
Biomedical Intervention Options of Autism Spectrum Disorders,
Children’s Biomedical Center of Utah. Available from:
Kail, R. V. dan cavanaugh, J. C. The growing child 2th edition. New York :
Harper Collons Publisher.
Masra, F., 2002. Autisme: Gangguan Perkembangan Anak. Jakarta: FKM-UI.
Mayes, Lewis., 2012. The Cambridge Handbook of Environment in Human Development. Cambridge: Cambridge University Press.
Moore, A., 2010. Jenis Kelainan Pada Anak. Jogyakarta : Kalamboti. Muhammad, J, K, A., 2008. Special education for special children.
Mukhtar, Z., et al, 2011. Desain penelitian klinis dan Statistika Kedokteran. 1st ed. Medan: USU Press, 1-26.
Notoatmodjo, S., 2010. Metodelogi Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Papalia, D E., Olds, S. W., & Feldman, Ruth D. (2001). Human development (8th ed.). Boston: McGraw-Hill.
Petranto, I., 2006. Rasa Percaya Diri Anak Adalah Pantulan Pola Asuh Orangtuanya. Jakarta:Kawan Pustaka.
Sarwono, S., 2009. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali Press.
Sutadi, R., 2008. Penatalaksanaan Holistik Autisme. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Trottier, G., Srivastara, L., Walker, C.D., 1999. Etiology of Infantile Autism: a
Review of Recent Advance in Genetic and Neurobiological Research.
Journal of Psychiatry and Neuroscience. Available from:
[Accesed 24 April 2013].
Wahyuni, A., 2008. Statistika Kedokteran. Jakarta Timur: Bamboedoea Communication.
Veskariyanti, A.G., 2008. 12 Terapi Autis Paling Efektif & Hemat : untuk Autisme, Hiperaktif, dan Retardasi Mental. Yogyakarta : Percetakan Galangpress.
Widada, R.H., et al., 2010. Kamus Saku Bahasa Indonesia. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka.
Wong, D.L, dkk. 2001. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, edisi 6. Jakarta: EGC. Yasilati, dkk. 2012. Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Perkembangan
Personal
Sosial, Motorik dan Bahasa Anak Prasekolah di Paud Al-Hidayah.
Yatim, F., 2007. Autisme : Suatu Gangguan Jiwa pada Anak-anak. Jakarta : Pustaka Populer Obor.
Yessi, N., 2008. Peran Ayah pada Perkembangan Sosio-Emosional Anak Autis.
Semarang.
Yoder, K.E., 2004. Exploring Autism: the Search for a Genetic Etiology, Penn State College of Medicine. Available from:
April 2013].
Riwayat Hidup Peneliti
Nama : Monika Ayuningrum
Tempat/Tgl Lahir : Cirebon/ 06 November 1991
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jl. Prof. Picauly No. 18 Medan
Orangtua : Marsono (ayah)
Rukini (ibu)
Status : Belum menikah
Riwayat Pendidikan
1999 – 2004 : SD YKPP Bajubang- Jambi
2004 – 2007 : SMP Negeri 5 Cirebon
2007 – 2010 : SMA Negeri 6 Cirebon
Riwayat Pelatihan
Masa Orientasi Pengenalan (MOP) HMI Komisariat FK USU 2010
Workshop Hewan Coba, Scientific Class, & Seminar Update Kedokteran 2010
Latihan Kepemimpinan dan Manajemen Mahasiswa Lokal BEM PEMA FK USU – ISMKI 2011
National Symposium & Workshop PEMA FK USU 2011
Upgrading dan Konterpen Pengurus PEMA FK USU 2012
Seminar KTI dan Update Kedokteran SCORE PEMA FK USU 2012
Upgrading dan Konterpen Pengurus PEMA FK USU 2013
Riwayat Organisasi
Anggota Biro Administrasi dan Kesektariatan HMI Komisariat FK USU 2010-2011
Anggota Biro Kreativitas HMI Komisariat FK USU 2011-2012
Sekertaris Biro Kreativitas HMI Komisariat FK USU 2012-2013
Bendahara Umum KAM AR-RAHMAH 2011-2012
Anggota Divisi PO3 SCORE PEMA FK USU 2011-2010
Sekertaris Divisi Jurnal SCORE PEMA FK USU 2012-2013
Anggota Departemen Infokom dan Eksternal PEMA FK USU 2011-2012
PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN PERBEDAAN TINGKAT POLA ASUH ORANGTUA DARI ANAK AUTISME
BERDASARKAN USIA, PENDIDIKAN, DAN PEKERJAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama :
Alamat :
Nomor Telepon:
Dengan ini saya menyatakan tidak berkeberatan dan bersedia menjadi
responden untuk diwawancara dan pengamatan pada anak saya pada penelitian
yang akan dilakukan oleh Monika Ayuningrum dari Program Studi Kedokteran
Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.
Medan, 2013
Peneliti Responden