• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektifitas Penerapan Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan (Studi Di Badan Arbitrase Nasional Indonesia Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Efektifitas Penerapan Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan (Studi Di Badan Arbitrase Nasional Indonesia Kota Medan)"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIFITAS PENERAPAN ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN

(STUDI DI BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA KOTA MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

FITRI HIDAYANTI 100200339

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

 

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat

dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan

salam senantiasa penulis panjatkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, yang

telah membimbing umat manusia dari masa kegelapan ke masa yang terang

benderang.

Penulisan skripsi ini adalah sebagai suatu persyaratan untuk kelak

memperoleh gelar Sarjana Hukum Jurusan Keperdataan pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan.

Oleh karena itu, guna memenuhi persyaratan tersebut, penulis mencoba

membuat skripsi dengan judul : “EFEKTIFITAS PENERAPAN ARBITRASE

DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN (Studi di Badan

Arbitrase Nasional Indonesia Kota Medan)”.

Disini penulis juga menyadari terhadap penulisan dan pembahasan skripsi

ini masih banyak dijumpai berbagai kekurangan baik dalam segi penguasaan

susunan bahasa ataupun substansi isi dari penulisan skripsi ini. Oleh sebab itu,

dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan adanya kritikan dan

saran yang dapat mendukung terwujudnya kesempurnaan tulisan ini.

Dalam penyelesaian skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan

bantuan-bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini

(3)

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahrial Pasaribu, DTM&H, Msc (CTM), Sp. A(K)

selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah membina dan

memberikan pandangannya dalam pendidikan di dalam kampus maupun di

luar kampus.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH,

M.Hum selaku Pembantu Dekan I, Bapak Syafruddin Hasibuan, SH,

M.Hum, DMF selaku Pembantu Dekan II, dan Bapak O.K. Saidin, SH,

M.Hum selaku Pembantu Dekan III.

3. Bapak Muhammad Husni, SH, MH selaku Dosen Pembimbing I serta

Dosen Wali Akademik penulis yang telah dengan ikhlas, sabar, serta

berbaik hati memberikan bimbingan, petunjuk, kritik, bantuan, dan saran

yang tak terhingga selama penulis menjalani pendidikan hingga

terselesainya skripsi ini. Terimakasih banyak, Pak. Semoga Bapak selalu

diberkahi berjuta kebaikan dan selalu dipeluk Allah dalam naungan kasih

sayang-Nya.

4. Ibu Maria Kaban, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah

dengan sabar, ikhlas, dan tulus memberikan bimbingan, petunjuk, kritik,

saran, dan motivasi yang sangat besar sehingga penulis semakin terpacu

untuk menyelesaikan skripsi ini hingga selesai. Terimakasih banyak, Buk.

Semoga kebahagiaan dan kasih sayang Tuhan selalu memeluk Ibu.

5. Bapak Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum selaku Dosen dan Ketua Departemen

(4)

banyak memberikan saran-saran serta pengarahan kepada penulis di saat

akan dilakukannya penulisan skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu para Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

yang telah mendidik dan membimbing penulis dari awal perkuliahan

hingga tingkat akhir menjadi Sarjana Hukum.

7. Seluruh staf Biro Pendidikan, yang telah banyak memberikan bantuan

dalam penyusunan skripsi ini.

8. Bapak Azwir Agus, SH, M.Hum selaku Sekretaris Badan Arbitrase

Nasional Kota Medan, yang memberikan banyak bantuan dan pengetahuan

dalam penyusunan skripsi ini.

Dan rasanya merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi penulis dalam

kesempatan ini untuk mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Ayahanda Yafizham, SH dan Ibunda Farida Hanum, S.Pd atas perjuangan,

pengorbanan, dan kasih sayang yang tak terhingga selama 21 tahun ini

dalam mendidik dan membesarkan penulis, serta selalu memberikan

semangat dan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih

Mama, Babah sudah menjadi tempat berbagi keluh kesah, tempat

bersandar, tempat berlindung, tempat bermanja, tempat mencurahkan

segalanya. Terima kasih sudah menjadi paket sempurna yang dikirim

Allah buat Anti di dunia ini. I love you super much, Ma, Bah. Semoga

Mama dan Babah selalu berada dalam lindungan penjagaan dan dekapan

(5)

2. Dan juga kepada adik-adikku, Marlia Ulfa, M.Rizky Maulana, dan Annisa

Zahra. Terimakasih sayang untuk kasih sayang, semangat, dan doa yang

selalu kalian berikan. Ayong loves you, three.

3. Terima kasih juga teruntuk Awlia Sofwan Lubis, SH yang selalu

memberikan bantuan, semangat, motivasi yang tiada hentinya. Terima

kasih ya Doping III. I don’t love you, but I love you more.

4. Sahabat-sahabatku Indah Pradini Naska, Hanny Luvika, Dhabitah

Amalina, Arifatul Khair, Reni Susanti, Naily Amalia, Khairunnisa,

Mentari Yolanda, Cindy Annisa, Rhanty Jusmadi, Michelle, Nabilla,

Rafika, Srik, yang telah memberikan semangat, bantuan, dan motivasi

dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Kak Fanny Dwi Lestari, SH yang berbaik hati membantu penulis demi

terselesainya skripsi ini.

6. Dan kepada teman-teman Mahasiswa baik teman satu angkatan dan junior

seluruhnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, serta senior

yang banyak memberikan arahan-arahan serta bimbingan kepada penulis.

Terakhir sebagai penutup kata, penulis mengharapkan agar tulisan ini

bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulisa sendiri di dalam

menambah wawasan ilmu hukum pada umumnya dan di bidang arbitrase pada

khususnya. Dan penulis juga berdoa semoga ilmu yang telah penulis dapatkan

dapat dipergunakan untuk kepentingan agama, nusa, maupun bangsa.

(6)

Hormat Penulis

(7)

ABSTRAK

*Fitri Hidayanti

**Muhammad Husni, SH, MH

***Maria Kaban, SH, M.Hum

Sesuai dengan perkembangan zaman yang sangat pesat, semakin banyak masalah atau sengketa yang terjadi dalam masyarakat. Penyelesaian sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui jalur litigasi di pengadilan dan berdampak terhadap penumpukan perkara yang masuk ke pengadilan dan berakibat terhadap lamanya suatu sengketa tersebut di proses. Mengingat dan mempertimbangkan hal tersebut, dibutuhkan suatu metode penyelesaian sengketa yang adil, cepat, dan ringan biaya. Salah satu metode penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan tersebut adalah arbitase, dimana arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa berdasarkan perjanjian yang ditengahi oleh seorang arbiter atau majelis arbiter yang berhak untuk mengambil keputusan.

Penulis menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dalam mewujudkan tulisan ini, dengan cara melakukan penelitian terhadap pustaka dan melakukan penelitian secara langsung mengenai efektifitas pelaksanaan arbitrase di Badan Arbitrase Nasional Kota Medan yang merupakan bagian dari lembaga arbitrase institusional di Indonesia, penelitian dengan melakukan wawancara langsung dengan sekretaris BANI.

Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, maka di dapatlah pengetahuan mengenai prosedur arbitrase yang dilakukan oleh BANI dimana tata cara pelaksanaannya sesuai dengan rule and procedural yang dibuat oleh BANI. Pihak yang bersengketa tunduk dan patuh terhadap putusan yang dikeluarkan oleh BANI karena bersifat final dan mengikat. Penulis juga mendapati pengetahuan mengenai faktor pendukung terlaksananya efektifitas arbitrase dalam penyelesaian sengketa perbankan yang dilakukan oleh BANI, yakni karena adanya keinginan para pihak terutama pihak bank untuk menyelesaikan sengketanya secara rahasia demi menjaga nama baik bank yang secara khusus merupakan lembaga fiduciary atau lembaga yang tumbuh dan berkembang karena kepercayaan masyarakat.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

ABSTRAK...v

DAFTAR ISI...vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1

B. Perumusan Masalah...10

C. Tujuan Penelitian...10

D. Manfaat Penelitian...11

E. Metode Penelitian...12

F. Keaslian Penulisan...13

G. Sistematika Penulisan...14

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE A. Defenisi Arbitrase, Sejarah dan Perkembangan Arbitrase di Indonesia...16

B. Unsur, Objek, serta Jenis Arbitrase...34

C. Kelebihan dan Kekurangan Arbitrase...43

(9)

BAB III : ARBITRASE SEBAGAI SALAH SATU PILIHAN HUKUM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN

A. Defenisi Sengketa Perbankan...52

B. Arbitrase Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian

Sengketa Perbankan di Luar Peradilan...64

C. Peran dan Prospek Penegakan Arbitrase di

Indonesia...68

BAB IV : EFEKTIFITAS PENERAPAN ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN MELALUI BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA

A. Prinsip dan Prosedur Pelaksanaan Arbitrase yang

Dilakukan Oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia

dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan...71

B. Faktor Penghambat Pelaksanaan Arbitrase yang

Dilakukan Oleh Badan Arbitrase Nasional

Indonesia...81

C. Keberhasilan dan Kegagalan Arbitrase dalam

Penyelesaian Sengketa Perbankan yang Dilakukan Oleh

Badan Arbitrase Nasional Indonesia...83

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

(10)

B. Saran...87

DAFTAR PUSTAKA...89

LAMPIRAN  

(11)

ABSTRAK

*Fitri Hidayanti

**Muhammad Husni, SH, MH

***Maria Kaban, SH, M.Hum

Sesuai dengan perkembangan zaman yang sangat pesat, semakin banyak masalah atau sengketa yang terjadi dalam masyarakat. Penyelesaian sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui jalur litigasi di pengadilan dan berdampak terhadap penumpukan perkara yang masuk ke pengadilan dan berakibat terhadap lamanya suatu sengketa tersebut di proses. Mengingat dan mempertimbangkan hal tersebut, dibutuhkan suatu metode penyelesaian sengketa yang adil, cepat, dan ringan biaya. Salah satu metode penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan tersebut adalah arbitase, dimana arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa berdasarkan perjanjian yang ditengahi oleh seorang arbiter atau majelis arbiter yang berhak untuk mengambil keputusan.

Penulis menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dalam mewujudkan tulisan ini, dengan cara melakukan penelitian terhadap pustaka dan melakukan penelitian secara langsung mengenai efektifitas pelaksanaan arbitrase di Badan Arbitrase Nasional Kota Medan yang merupakan bagian dari lembaga arbitrase institusional di Indonesia, penelitian dengan melakukan wawancara langsung dengan sekretaris BANI.

Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, maka di dapatlah pengetahuan mengenai prosedur arbitrase yang dilakukan oleh BANI dimana tata cara pelaksanaannya sesuai dengan rule and procedural yang dibuat oleh BANI. Pihak yang bersengketa tunduk dan patuh terhadap putusan yang dikeluarkan oleh BANI karena bersifat final dan mengikat. Penulis juga mendapati pengetahuan mengenai faktor pendukung terlaksananya efektifitas arbitrase dalam penyelesaian sengketa perbankan yang dilakukan oleh BANI, yakni karena adanya keinginan para pihak terutama pihak bank untuk menyelesaikan sengketanya secara rahasia demi menjaga nama baik bank yang secara khusus merupakan lembaga fiduciary atau lembaga yang tumbuh dan berkembang karena kepercayaan masyarakat.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dalam menjalani kehidupan, terkadang pasti terdapat situasi dimana ada

pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali oleh perasaan tidak

puas yang bersifat subjektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami oleh

perorangan maupun kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan

apabila terjadi conflict of interest. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua. Apabila pihak kedua dapat

menanggapi dan memuaskan pihak pertama, selesailah konflik tersebut.

Sebaliknya, jika reaksi dari pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau

memiliki nilai-nilai yang berbeda, terjadilah apa yang dinamakan sengketa.1

Sengketa adalah suatu pertentangan atas kepentingan, tujuan dan/ atau

pemahaman antara 2 (dua) pihak atau lebih. Sengketa akan menjadi masalah

hukum apabila pertentangan tersebut menimbulkan perebutan hak, pembelaan

atau perlawanan terhadap hak yang dilanggar, dan / atau tuntutan terhadap

kewajiban atau tanggungjawab.

Konflik atau sengketa biasanya bahkan terjadi karena hal-hal kecil, antara

lain sengketa yang terjadi antar tetangga karna tapak batas rumah, sengketa yang

terjadi di dalam perjanjian karena salah satu pihak melanggar kesepakatan yang

telah dibuat, sengketa dalam keluarga karena memperebutkan harta warisan, dan       

      1 

(13)

sebagainya. Juga ada sengketa yang terjadi di dunia perbankan. Pada hakikatnya,

tidak ada seorang pun yang menginginkan suatu konflik atau sengketa terjadi,

namun terkadang hal-hal yang menjadi penyebab munculnya atau timbulnya tidak

dapat dielakkan.

Dalam persengketaan, perbedaan pendapat dan perdebatan yang

berkepanjangan biasanya mengakibatkan kegagalan proses mencapai kesepakatan.

Keadaan seperti ini biasanya berakhir dengan putusnya jalur komunikasi yang

sehat sehingga masing-masing pihak mencari jalan keluar tanpa memikirkan nasib

ataupun kepentingan pihak lainnya. Agar tercipta proses penyelesaian sengketa

yang efektif, prasyarat yang harus dipenuhi adalah kedua belah pihak harus

sama-sama memperhatikan atau menjunjung tin ggi hak untuk mendengar dan hak

untuk di dengar. Dengan prasyarat tersebut proses dialog dan pencarian titik temu

(commond ground) yang akan menjadi panggung proses penyelesaian sengketa baru dapat berjalan. Jika tanpa kesadaran tentang pentingnya langkah ini, proses

penyelesaian sengketa tidak berjalan dalam arti yang sebenarnya.2

Ada 3 faktor utama yang mempengaruhi proses penyelesaian sengketa,

yaitu :

1. Kepentingan (interest)

2. Hak-hak (rights), dan

3. Status kekuasaan (power).3

Seperti diketahui, terdapat dua macam solusi penyelesaian sengketa, yaitu

litigasi dan non-litigasi. Litigasi merupakan cara penyelesaian sengketa tertua       

     2 

Ibid 

     3 

(14)

dimana proses penyelesaiannya diserashkan melalui lembaga pengadilan.

Kemudian berkembang pula proses penyelesaian sengketa secara non-litigasi

yakni alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui adanya

kerjasama dan itikad baik antara kedua belah pihak yang bersengketa untuk

menyelesaikan serta mengakhiri sengketa tersebut melalui bantuan pihak ketiga.

Dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat kritik

yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoritisi hukum. Peran dan fungsi

peradilan dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of time), biaya mahal (very expensive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum, atau dianggap terlalu formalistik (formalistic) dan terlampau teknis (technically).4

Dalam menggunakan penyelesaian sengketa secara litigasi dengan segala

kelemahannya tersebut, para pihak yang bersengketa harus bersabar menunggu

karena terjadinya penumpukan perkara di pengadilan. Untuk mengatasi

penumpukan tersebut dan agar para pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan

sengketa secara cepat dengan waktu yang relatif singkat dengan biaya yang ringan

pula, maka cara yang paling baik untuk ditempuh adalah melalui alternatif

penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Perkembangan penyelesaian sengketa melalui kerjasama (kooperatif) di

luar pengadilan atau yang disebut dengan alternatif penyelesaian sengketa yang

merupakan kebalikan penyelesaian sengketa melalui litigasi di dalam pengadilan.

Penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa menghasilkan

            4 

(15)

kesepakatan yang bersifat “win-win solution”, dijamin kerahasiaan sengketa para pihak, terhindar dari keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan

administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan

dan tetap menjaga hubungan baik.5

Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang dikenal dan biasa

digunakan dalam menyelesaikan sengketa adalah:

1. Konsultasi (pertukaran pikiran dengan pihak ketiga, dalam hal ini bisa

oleh konsultan hukum, untuk mendapatkan kesimpulan mengenai

penyelesaian sengketa yang sedang terjadi)

2. Negosiasi (penyelesaian melalui tawar-menawar oleh kedua belah pihak

yang bersengketa atau diwakili oleh masing-masing perwakilannya untuk

mendapatkan titik temu dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi)

3. Mediasi (penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga yang netral yang

disebut mediator, dimana mediator tersebut tidak memiliki kewenangan

mengambil putusan)

4. Konsiliasi (usaha mempertemukan keinginan-keinginan para pihak

sehingga tercapai persetujuan bersama)

5. Arbitrase (penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga yang disebut

arbiter, dimana arbiter dapat memberikan putusan)

Salah satu metode penyelesaian sengketa secara non-litigasi yang lazim

digunakan adalah arbitrase. Dasar pemeriksaan arbitrase yang dipakai di

Indonesia selama ini mengacu pada ketentuan hukum lama yakni Pasal 615       

     5 

(16)

sampai dengan Pasal 651 reglemen Acara Perdata (Reglement op de

Rechtsvordering, Staatsblad 1847 Nomor 52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia

yang Diperbarui (Het Herziene Indonesich Reglement, Staatsblad 1941 Nomor

44) serta Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura

(Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927 Nomor 227), yang dinilai

sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum pada

umumnya. Untuk itu, dibentuk Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.6

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut secara tegas langsung

mencabut ketiga jenis peraturan mengenai arbitrase sebelumnya, maka dengan

jelas segala bentuk ketentuan yang menyangkut arbitrase, termasuk penerapan

putusan arbitrase tunduk kepada Undang-Undang yang baru ini.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 selain mengatur mengenai

arbitrase, juga mengatur mengenai pranata hukum lainnya yang dapat digunakan

oleh dunia usaha untuk menyelesaikan sengketa bisnisnya. Peraturan mengenai

arbitrase dapat dijumpai pula dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968

tentang Persetujuan Atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara

Negara dan Warganegara Asing mengenai Penanaman Modal dan Keputusan

Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention on The

Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards. Dengan sendirinya

pelaksanaan ketentuan arbitrase sebagaimana yang tercantum dalam

Undang-            6 

(17)

Undang Nomor 5 Tahun 1968 dan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981

tersebut, berpedoman pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.7

Hal-hal yang dapat dikemukakan tentang arbitrase dalam Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 adalah :

1. Arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian

2. Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis

3. Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan

sengketa yang dilaksanakan di luar peradilan umum.

Dapat kita katakan bahwa pada dasarnya perjanjian arbitrase dapat

terwujud dalam bentuk suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang

tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul

sengketa (pactum de compromittendo) atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (akta kompromis).

Untuk memenuhi syarat subjektif, selain harus dibuat oleh mereka yang

demi hukum cakap bertindak dalam hukum, perjanjian arbitrase harus dibuat oleh

mereka yang demi hukum dianggap memiliki kewenangan untuk melakukan hal

yang demikian. Selain syarat subjektif tersebut, terdapat pula syarat objektif yang

harus dipenuhi. Menurut ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut,

objek perjanjian arbitrase atau dalam hal ini adalah sengketa yang akan

diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase (dan atau lembaga

alternatif penyelesaian sengketa lainnya) hanyalah sengketa di bidang

            7 

(18)

perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan

perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Tidak ada suatu

penjelasan resmi mengenai apa yang dimaksud dalam ketentuan pasal 5 ayat (1)

Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut, namun jika kita lihat pada

penjelasan pasal 66 huruf b Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, yang

berhubungan dengan pelaksanaan putusan arbitrase nasional, dimana dikatakan

bahwa yang dimaksud dengan “ruang lingkup hukum perdagangan” adalah

kegiatan-kegiatan antara lain di bidang:

-Perniagaan

-Perbankan

-Keuangan

-Penanaman modal

-Industri

-Hak kekayaan intelektual.8

Ini berarti bahwa makna ‘perdagangan’ sebagaimana disebutkan dalam

pasal 5 ayat (1) seharusnya juga memiliki makna yang luas sebagaimana

dijabarkan dalam penjelasan pasal 66 huruf b Undang-undang Nomor 30 Tahun

1999 tersebut. Hal ini juga sejalan dengan ketentuan selanjutnya dalam pasal 5

ayat (2), yang memberikan perumusan negatif, dimana dikatakan bahwa

sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa-sengketa

yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

Ini berarti kita harus melihat kembali ketentuan mengenai perdamaian yang diatur

            8 

(19)

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Bab Ke-delapan belas

Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864.9

Pranata arbitrase di Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru dan

telah lama dikenal. Arbitrase adalah pranata alternatif penyelesaian sengketa

terakhir dan final bagi para pihak. Sifat pribadi dari arbitrase memberikan

keuntungan-keuntungan melebihi proses ajudikisi di pengadilan. Arbitrase lebih

memberikan kebebasan, pilihan, otonomi, kerahasiaan kepada para pihak yang

bersengketa.

Kebebasan yang dimaksud adalah para pihak dapat memilih arbiter yang

menurut mereka diyakini mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar

belakang yang relevan dengan masalah yang disengketakan, disamping jujur dan

adil. Para pihak juga dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan

masalahnya termasuk proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase.

Pada prinsipnya siapa saja dapat menjadi arbiter asal mempunyai keahlian

yang diharapkan untuk menyelesaikan sengketa yang sedang terjadi. Seorang

arbiter bisa seorang ahli hukum, bisa juga seorang yang ahli bidang tertentu.10

Seorang hakim, jaksa, panitera, dan pejabat peradilan lainnya dilarang

ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter. Hal ini dimaksudkan agar terjamin adanya

objektivitas dalam pemeriksaan serta pemberian putusan akhir oleh arbiter atau

majelis arbiter.

            9 

Ibid. hlm.48       10 

(20)

Mengenai jumlah arbiter, bisa seorang saja yang merupakan arbiter

tunggal, atau bisa beberapa orang yang merupakan majelis arbiter yang akan

bertugas menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.11

Dari uraian diatas, arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian

sengketa di luar pengadilan yang mempermudah para pihak yang bersengketa

untuk menyelesaikan sengketanya tanpa mempermalukan para pihak karena

bersifat rahasia, juga penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan secara cepat

tanpa menimbulkan penumpukan perkara di pengadilan. Arbitrase juga

menguntungkan para pihak karena dilakukan dengan biaya yang ringan. Bagi

masyarakat yang memiliki kepentingan untuk menyelesaikan sengketa secara

cepat dan efisien, maka arbitrase ini adalah jawaban untuk penyelesaian sengketa

mereka. Yang diharapkan adalah hal ini sungguh-sungguh dilaksanakan oleh para

arbiter termasuk oleh lembaga yang menaungi pelaksanaan arbitrase di Indonesia

yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia, terutama Badan Arbitrase Nasional

Indonesia Kota Medan.

Berdasarkan uraian latar belakang dan beberapa alasan diatas, maka

mendorong penulis untuk mengadakan penelitian dengan judul “EFEKTIFITAS

PENERAPAN ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

PERBANKAN (Studi Kasus di Badan Arbitrase Nasional Indonesia Kota

Medan)”

            11 

(21)

B. Rumusan Masalah

Berkaitan dengan latar belakang masalah yang penulis kemukakan diatas

dan berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, serta penelaahan terhadap

perundang-undangan yang ada, serta dari berbagai literatur yang ada, maka

permasalahan-permasalahan yang hendak dikemukakan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah prinsip dan prosedur pelaksanaan arbitrase yang

dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia dalam

penyelesaian sengketa perbankan?

2. Apa sajakah faktor-faktor penghambat pelaksanaan arbitrase yang

dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia?

3. Bagaimanakah keberhasilan dan kegagalan arbitrase dalam

penyelesaian sengketa perbankan yang dilakukan oleh Badan Arbitrase

Nasional Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan

sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi tujuan dalam skripsi

ini adalah:

a. Untuk mengetahui prinsip dan prosedur arbitrase yang dilakukan oleh

Badan Arbitrase Nasional Indonesia Kota Medan dalam menyelesaikan

sengketa perbankan.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan

(22)

c. Untuk mengetahui bagaimana keberhasilan dan kegagalan arbitrase dalam

penyelesaian sengketa perbankan yang dilakukan oleh Badan Arbitrase

Nasional Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

a. Secara Teoritis

Hasil dari penelitian yang dituangkan dalam skripsi ini diharapkan dapat

bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum di Indonesia,

terutama dapat menambah pengetahuan di bidang arbitrase sebagai salah

satu alternatif penyelesaian sengketa perbankan.

Diharapkan skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan memberikan

gambaran yang nyata kepada kalangan masyarakat Indonesia mengenai

peran dan efektifitas arbitrase dalam pemeriksaan dan penyelesaian

sengketa perdata yang dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Kota

Medan.

b. Secara Praktis

Skripsi ini diharapkan bermanfaat bagi rekan mahasiswa, praktisi hukum,

pemerintah, serta masyarakat yang bersengketa sebagai pedoman dan

bahan rujukan dalam rangka menyelesaikan sengketa perbankan dengan

memberdayakan arbitrase, sehingga penegakan hukum dapat dilakukan

(23)

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah dilakukan secara yuridis

normatif. Penelitian yang dilakukan secara yuridis normatif ini merupakan

penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada peraturan

perundang-undangan yang mengatur tentang topik yang penulis angkat, kemudian

melihat kesesuaian antara hal yang ditentukan dalam peraturan hukum

tersebut dengan pelaksanaannya di lapangan berlakunya (dalam hal ini

menyangkut efektif atau tidak antara Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 dengan arbitrase yang dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional

Indonesia) dengan melakukan wawancara langsung dengan pihak Badan

Arbitrase Nasional Indonesia Kota Medan.

2. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian skripsi ini, penulis melakukan penelitian di Badan

Arbitrase Nasional Indonesia Kota Medan, sebagai instansi yang wajib

mematuhi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan topik

yang penulis bahas di dalam skripsi ini. Penulis memilih tempat tersebut

sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan tempat tersebut memenuhi

karakteristik bagi penulis untuk mendapatkan gambaran mengenai masalah

(24)

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, upaya pengumpulan data dilakukan dengan data

primer dan data sekunder dengan menggunakan metode sebagai berikut:

a. Studi Lapangan (Data primer)

Wawancara yaitu melakukan penelitian langsung ke lapangan

mengenai efektifitas dari peraturan hukum yang berkaitan dengan

topik skripsi penulis terhadap praktek di lapangan. Wawancara

dilakukan antara penulis dengan pihak Badan Arbitrase Nasional

Indonesia Kota Medan yang melakukan arbitrase dalam

penyelesaian sengketa perbankan.

b. Studi kepustakaan (Data Sekunder)

Dilakukan dengan mempelajari dan meneliti berbagai sumber

bacaan yang berkaitan dengan topik yang diangkat dalam skripsi

ini, seperti buku-buku hukum, makalah hukum, majalah hukum,

surat kabar, artikel hukum di internet, pendapat para sarjana yang

expert di dunia hukum, dan bahan-bahan lainnya.

F. Keaslian Penulisan

Penulis membuat tulisan ini dengan melihat perkembangan hukum saat ini

dan mengaitkannya dengan dasar-dasar hukum yang bersumber dari berbagai

literatur dan bahan bacaan dari berbagai referensi yang diperoleh dari

perpustakaan atau toko buku dan beberapa diantaranya diperoleh dari internet

maupun media massa. Sepanjang yang telah ditelusuri dan penulis ketahui

(25)

Sumatera Utara, tidak ada judul yang sama dengan apa yang ditulis oleh penulis.

Dengan demikian, penulis meyakini bahwa skripsi ini adalah merupakan murni

karya asli dari penulis.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini akan mempermudah dan penulisan dan

penjabaran penulisan skripsi dengan memberikan gambaran yang lebih jelas,

penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Bab ini memuat latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, keaslian

penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Umum Tentang Arbitrase

Menguraikan tentang hal-hal umum mengenai arbitrase sebagai

salah satu cara penyelesaian sengketa. Memuat semua hal

mengenai arbitrase mulai dari defenisi, sejarah dan perkembangan

arbitrase di Indonesia, unsur, objek, serta jenis arbitrase, kelebihan

dan kekurangan arbitrase, dan faktor-faktor yang mendorong para

pihak memberdayakan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa.

BAB III : Arbitrase Sebagai Salah Satu Pilihan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan

Membahas dan menguraikan arbitrase sebagai salah satu pilihan hukum dalam penyelesaian sengketa perbankan. Memuat hal

(26)

cara penyelesaian sengketa perbankan di luar pengadilan, serta

peran dan prospek penegakan arbitrase di Indonesia.

BAB IV : Efektifitas Penerapan arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia

Mendeskripsikan prinsip dan prosedur pelaksanaan arbitrase yang

dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia dalam

penyelesaian sengketa perbankan. Memaparkan faktor penghambat

pelaksanaan arbitrase yang dilakukan oleh Badan Arbitrase

Nasional Indonesia, serta keberhasilan dan kegagalan arbitrase

dalam penyelesaian sengketa perbankan yang dilakukan oleh

(27)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE

A.Defenisi, Sejarah dan Perkembangan Arbitrase di Indonesia

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan

umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh

para pihak yang bersengketa.12

Kata arbitrase berasal dari kata arbitrare (Latin), arbitrage (Belanda),

arbitration (Inggris), schiedspruch (Jerman), dan arbitrage (Perancis), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai

oleh arbiter arau wasit.13

Arbiter sebagai pihak ketiga yang menengahi menjalankan tugasnya dan

menyelesaikan sengketa dengan cara memberikan putusan. Dalam hal ini arbiter

harus berada di posisi netral dan tidak memihak kepada salah satu pihak yang

bersengketa. Selain dari itu yang paling esensi adalah ”indepensi” dari arbiter

dalam melaksanakan tugasnya, sehingga dapat diperoleh suatu putusan yang

“adil” dan “cepat” bagi para pihak yang berbeda pendapat, berselisih paham

maupun bersengketa.14 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arbitrase mempunyai arti sebagai usaha perantara dalam meleraikan sengketa.15

      

     12 UndangUndang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif, 

pasal 1 angka 1       13 

Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm.1       14 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, 

Op.Cit, hlm.70       15 

(28)

Dari pengertian yang diberikan oleh Undang-Undang No. 30 tahun 1999 serta

Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut, dapatlah ditarik beberapa unsur penting

dari arbitrase, yaitu:

1. Cara penyelesaian sengketa secara privat atau di luar pengadilan

2. Atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak

3. Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang sudah

terjadi

4. Dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter atau wasit) yang berwenang

mengambil keputusan.

5. Sifat putusannya adalah final dan mengikat.

Penjelasan secara etimologi ini menekankan tentang keberadaan pihak

ketiga yang memiliki tugas untuk menengahi kedua belah pihak yang sedang

menghadapi sengketa dan memberikan jalan keluar bagi penyelesaian sengketa

tersebut. Pihak ketiga ini berperan sebagai jembatan bagi para pihak dalam

menyelesaikan sengketanya dimana pihak ketiga ini dapat memberikan putusan

yang sifatnya final dan mengikat yang diharapkan dapat menemukan kesepakatan

serta memberikan kepuasan terhadap para pihak.

Secara terminologi, defenisi atau pengertian arbitrase menurut berbagai

pihak serta ahli hukum adalah:

Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya How Arbitration Works

mengartikan “arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah

(29)

dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima

putusan tersebut secara final dan mengikat.”16

Gary Goodpaster mengatakan bahwa “arbitration is the private adjudication of dispute parties, anticipating possible dispute or experiencing an actual dispute, agree to submit their dispute to a decision maker they in some fashion select.”17 (arbitrase adalah suatu penyelesaian secara pribadi oleh para pihak sengketa untuk mengantisipasi kemungkinan sengketa yang akan terjadi

atau sengketa yang sedang terjadi, para pihak setuju untuk menyerahkan sengketa

mereka kepada seorang pengambil keputusan yang akan memberikan beberapa

macam pilihan).

Dalam pengertian tersebut Gary Goodpaster memberikan pendapatnya

bahwa arbitrase tidak hanya diperjanjikan untuk menyelesaikan sengketa yang

sedang terjadi dan dialami oleh para pihak, tetapi juga sebagai langkah yang

diambil untuk mengantisipasi masalah yang akan terjadi dikemudian hari antara

para pihak.

Sementara itu menurut R. Subekti “arbitrase adalah penyelesaian atau

pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan

bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh

hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.”18

            16 

M. Husseyn Umar, Supriyani Kardono, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia (Jakarta,  Komponen Hukum Ekonomi Elips Project, 1995) hlm.2 

     17 

Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm.2       18 

(30)

Disini Subekti menekankan bahwa keputusan yang diambil oleh hakim

atau arbiter dalam penyelesaian sengketa harus ditaati oleh pihak yang

bersengketa. Mereka harus tunduk dan terikat kepada hasil keputusan tersebut.

Secara lebih terperinci, Abdulkadir Muhammad juga memberikan

pengertian “arbitrase adalah badan peradilan umum, yang dikenal khusus dalam

dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri

secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian

sengketa di luar pengadilan negara merupakan kehendak bebas pihak-pihak.

Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat

sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak

dalam hukum perdata.”19

Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa arbitrase adalah suatu bagian

dari peradilan umum yang memang telah dikenal secara khusus dalam dunia

perusahaan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di perusahaan. Arbitrase

ini merupakan cara penyelesaian sengketa yang dipilih sendiri berdasarkan

kehendak bebas dari pihak yang bersengketa berdasarkan perjanjian yang telah

mereka buat secara tertulis baik sebelum ataupun sesudah terjadinya sengketa

berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang telah diatur dalam hukum perdata.

Batasan arbitrase menurut Sudargo Gautama “arbitrase adalah cara-cara

penyelesaian hakim partikulir yang tidak terikat dengan berbagai formalitas, cepat

            19 

(31)

dalam memberikan keputusan, karena dalam instansi terakhir serta mengikat,

yang mudah untuk dilaksanakan karena akan ditaati para pihak.”20

Pernyataan Sudargo Gautama ini memberikan pengertian bahwa arbitrase

dilakukan dengan tidak sedikitpun terikat dengan berbagai formalitas seperti yang

dilakukan oleh pengadilan, keputusan yang diambil untuk menyelesaikan

sengketa dilakukan secara cepat dan mudah serta mengikat dan harus ditaati oleh

para pihak yang bersengketa.

Dalam Black Law Dicitionary dikatakan “Arbitration is the reference of a dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by arbitrator’s award issue after hearing at which both parties have and opportunity to be head. An arrangement for taking and abiding by the judgement of selected persons in some dispute matter, instead of carrying it to establish tribunal of justice, an is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and taxation of ordinary litigation.”21 (Arbitrase adalah suatu referensi terhadap penyelesaian sengketa yang dialihkan kepada orang ketiga yang

dipilih oleh para pihak yang bersengketa yang telah disetujui sebelumnya di awal

perjanjian untuk mematuhi apa yang diputuskan arbiter setelah arbiter mendengar

kesempatan kedua belah pihak menyampaikan pendapatnya. Pengaturan ini

termasuk untuk menerima dan mematuhi keputusan orang ketiga yang dipilih

tersebut dalam menyelesaikan sengketa, tidak membawa sengketa ke pengadilan,

            20 

Sudargo Gautama, Indonesia dan Arbitrase Internasional, dalam buku Rachmadi Usman,  hlm.3 

     21 Tommi Ricky Rosandy, “Pengantar Hukum Arbitrase di Indonesia”, artikel, 

(32)

yang dimaksudkan untuk menghindari formalitas, penundaan, biaya dan

perpajakan litigasi biasa).

Black Law Dicitionary menekankan bahwa penggunaan arbitrase adalah

untuk mencegah masuknya sengketa ke pengadilan untuk menghindari segala

macam bentuk formalitas di pengadilan yang memakan waktu yang lama dan

biaya yang tidak sedikit pula.

Z. Azikin Kusumah Atmadja dalam ceramahnya yang berjudul

Enforcement Of Foreign Arbital Awards, pada seminar yang diadakan oleh Badan

Arbitrase Nasional Indonesia bersama dengan International Chamber of

Commerce tanggal 13 September 1978 di Jakarta, mengartikan arbitrase sebagai

arbitration is the business community’s self regulatory practise of dispute settlement.”22 (arbitrase adalah praktik regulasi diri yang dilakukan komunitas bisnis terhadap penyelesaian sengketa).

Dari beberapa defenisi-defenisi yang telah disebutkan, antara satu sama

lain tidaklah terlalu berbeda. Dalam pengertian yang lebih sederhana, arbitrase

adalah cara penyelesaian sengketa di luar peradilan yang penyelesaiannya

diadakan berdasarkan perjanjian yang telah dibuat oleh pihak yang bersengketa

dengan bantuan pihak ketiga yang berhak mengambil keputusan terhadap

sengketa tersebut.

Pihak ketiga atau arbiter tersebut dipilih dan ditentukan oleh para pihak

yang bersengketa, dan sudah seharusnya arbiter memiliki kemampuan dan

keahlian dalam bidang tertentu dan dapat bertindak secara netral.

            22 

(33)

Pada prinsipnya siapa saja dapat menjadi arbiter asal emmpunyai keahlian

yang diharapkan untuk menyelesaikan sengketa yang sedang terjadi. Seorang

arbiter bisa seorang ahli hukum, bisa juga seorang ahli bidang tertentu.23

Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memnuhi

syarat-syarat sebagai berikut:

- Cakap melakukan tindakan hukum

- Berumur paling rendah 35 tahun

- Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai

dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa

- Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas

putusan arbitrase

- Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling

sedikit 15 tahun.24

Hakim, jaksa, panitera dan pejabat-pejabat peradilan lainnya tidak dapat

ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter.25

Tidak diperbolehkannya orang-orang atau pejabat-pejabat yang disebut

dalam ayat itu menjadi arbiter, adalah agar terjamin adanya pemeriksaan dan

pemberian putusan oleh arbiter secara objektif.

Mengenai jumlah arbiter, bisa seorang saja yang merupakan arbiter

tunggal, atau bisa beberapa orang yang merupakan majelis arbitrase yang akan

bertugas menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, hal ini sesuai dengan

            23 

Munir Fuady, Op.Cit, hlm.67 

     24 UndangUndang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif, 

Pasal 12 ayat 1       25 

(34)

ketentuan yang disebutkan dalam Pasal1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30

tahun 1999 yang menyebutkan “arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh

para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh

lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang

diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.” Dari kalimat “seorang atau lebih”

tersebut maka dapat diambil suatu kesimpulan pokok mengenai jumlah arbiter

yang diperbolehkan sesuai ketentuan yang berlaku.

Sweet and Maxwell dalam bukunya International Arbitration Law Review

mengemukakan dalam menentukan berapa orang kah yang sebaiknya menjadi

arbiter dalam satu kasus, apakah tiga orang ataukah cukup satu orang, beberapa

faktor dibawah ini patut dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai

berikut:

a. jumlah yang dipersengketakan

b. kompleksitas klaim

c. nasionalitas dari para pihak

d. kebiasaan dagang yang relevan atau bisnis atau profesi yang terlibat dalam

sengketa

e. ketersediaan arbiter yang layak

f. tingkat urgensi dari kasus yang bersangkutan26

            26 

(35)

Pengangkatan arbiter dapat dilakukan dengan penunjukan oleh para pihak,

penunjukan oleh hakim, dan penunjukan oleh lembaga arbitrase. Cara pertama

dengan penunjukan oleh para pihak dilakukan melalui pembuatan pactum de

compromittendo ataupun akta kompromis. Perjanjian tersebut harus memuat

ketentuan mengenai tata cara pengangkatan arbiter yang akan bertugas untuk

menyelesaikan sengketa para pihak tersebut. Yang penting untuk diingat,

walaupun arbiter ditunjuk dalam jumlah lebih dari satu orang atau lazimnya

disebut majelis arbiter, jumlahnya haruslah ganjil.

Tata cara dengan penunjukan langsung oleh para pihak ini adalah yang

paling baik dikarenakan para pihak telah menyepakati dari awal mengenai arbiter

yang akan menyelesaikan sengketa mereka. Dengan cara ini, proses pengangkata

arbiter adan pembentukan majelis arbiter akan lebih mulus, sehingga fungsi dan

kewenangan pemeriksaan dan penyelesaian persengketaan, mungkin akan lebih

cepat diselesaikan.27

Namun jika tidak terjadi kesepakan antara para pihak dalam pemilihan

atau penunjukan arbiter, maka para pihak dapat meminta bantuan kepada hakim

atau ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk arbiter yang akan menyelesaikan

sengketa mereka. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertera pada Pasal 13 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi “Dalam hal para pihak

tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada

ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua pengadilan Negeri

menunjuk arbiter atau majelis arbitrase”.

            27 

(36)

Dasar hakim atau ketua Pengadilan Negeri dalam menunjuk arbiter ini

adalah berdasarkan permohonan kedua belah pihak ataupun salah satu pihak

dengan menceritakan serta menjelaskan tentang tidak tercapainya kesepakatan

antara para pihak mengenai pemilihan atau penunjukan arbiter tersebut.

Penjelasan yang diberikan oleh para pihak ini berfungsi sebagai acuan atau dasar

untuk mencampuri hal mengenai penunjukan arbiter yang memang merupakan

wewenang dari pihak yang bersengketa.

Sweet dan Maxwell dalam bukunya International Arbitration Law Review

mengemukakan, apabila arbiter dipilih oleh lembaga arbitrase, maka dalam

memilih arbiternya sebaiknya beberapa hal berikut ini akan menjadi

pertimbangan, yaitu:

- Sifat dan hakikat dari sengketa

- Ketersediaan dari arbiter

- Identitas dari para pihak

- Independesi dari arbiter

- Syarat pengangkatan dalam kontrak arbitrase

- Saran-saran yang diberikan oleh para pihak28

Seorang yang telah dipilih atau ditunjuk untuk menyelesaikan suatu

sengketa dapat menerima ataupun menolak penunjukannya tersebut. Penerimaan

ataupun penolakannya tersebut wajib diberitahukan kepada para pihak secara

tertulis paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal penunjukkannya sesuai

dengan yang tertera dalam Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun

            28 

(37)

1999. Jika ia menerima, maka arbiter tersebut tidak dapat mengundurkan dirinya

dari tugasnya sebagai arbiter ketika sengketa belum selesai. Hal ini telah

ditekankan pada Pasal 19 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, namun

terdapat pengecualian jika para pihak setuju dan mengijinkan pengunduran diri

arbiter tersebut setelah didahului dengan pengajuan permohonan secara tertulis.

Dalam rangka menjalankan tugasnya, Arbiter harus netral, independen,

adil serta bebas dari benturan kepentingan dan afiliasi dengan salah satu pihak

yang bersengketa atau dengan masalah yang menjadi sengketa.29 Untuk sukses

menjalankan tugasnya tersebut, sudah sepatutnya arbiter tersebut adalah orang

yang profesional di bidangnya.

Sesuai ketentuan yang berlaku bahwa putusan arbitrase yang dikeluarkan

oleh arbiter diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera

Pengadilan Negeri. Penyerahan dan pendaftaran tersebut dilaksanakan dengan

cara melakukan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau dipinggir

putusan oleh Panitera Pengadilan Negerti dan arbiter atau kuasanya yang

menyerahkan, dan selanjutnya catatan tersebut menjadi akta pendaftaran.

Pencatatan ini menjadi satu-satunya dasar bagi pelaksanaan putusan arbitrase

tersebut.30

Seorang arbiter tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas

apapun yang dilakukannya selama proses penyelesaian sengketa berlangsung

selama yang diperbuatnya tersebut adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku

dan sesuai dengan ketentuan yang mengatur tentang penjalanan fungsi arbiter.       

     29 Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia, Arbiter/Mediator, artikel, 

http://www.bapmi.org/in/arbitrators_requirements.php diakses 9 Februari 2014       30 

(38)

Namun, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 ternyata memberikan

kemungkinan kepada para pihak untuk menuntut ganti kerugian dan penggantian

biaya yang dikeluarkannya serta menuntut tanggung jawab hukum lainnya dari

arbiter, seperti tertera di dalam Pasal 18, 19, 20, 21, 22, dan 56.

Berbicara tentang arbitrase, tidaklah sempurna jika tidak mengupas

tentang sejarah perkembangannya. Sejarah perkembangan arbitrase sangat

panjang dikarenakan arbitrase telah lama dikenal dalam peraturan

perundang-undangan sejak mulai berlakunya Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering

(Rv).

Sebagai kita ketahui pada waktu pemerintahan Hindia Belanda masih

menguasai Indonesia, penduduk Indonesia dibagi beberapa golongan yang

mendasari adalah pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling disingkat IS,

berdasarkan IS tersebut ditetapkan bahwa bagi golongan Eropa dan bagi mereka

yang disamakan berlaku hukum Barat. Sedangkan bagi golongan Bumi Putra

berlaku hukum adatnya masing-masing, tetapi dapat juga berlaku hukum barat

jika ada kepentingan sosial yang dibutuhkan. Bagi golongan Cina dan Timur

Asing lainnya sejak tahun 1925 telah ditetapkan bahwa bagi mereka berlaku

hukum Barat dengan beberapa pengecualian.

Karena adanya beberapa perbedaan hukum tersebut, konsekuensinya

adalah ada pula perbedaan badan-badan peradilan berikut hukum acaranya.

Peradilan untuk golongan Eropa dan mereka yang disamakan kedudukannya

dengan golongan tersebut adalah Raad Van Justitie dan Residentie-gerecht

(39)

acara yang termuat dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering yang

disingkat B. RV atau RV.

Untuk golongan bumi putra dan mereka yang disamakan kedudukannya

dengan golongan tersebut adalah Landraad sebagai peradilan sehari-hari dan

beberapa peradilan lainnya seperti peradilan kabupaten, peradilan daerah dan

sebagainya. Hukum acara yang dipergunakan adalah termuat dalam Herziene

Inlandsch Reglement disebut HIR, sedangkan untuk daerah pulau Jawa dan

Madura diatur menjadi satu dengan Rechtsreglement Buitengeswesten atau Rbg.

Tata peradilan pada waktu Zaman Hindia Belanda diataur sebagai berikut :

a. Untuk pulau Jawa dan Madura berlaku peraturan organisasi Peradilan dan

kebijakan kehakiman di Hindia Belanda (Reglement op de Rechterlijke

Organisatie en het Beleid der Justitie disingkat R.O).

b. Untuk Luar pulau Jawa dan Madura berlaku peradilan daerah seberang

laut (Rechtsreglemetn Buitengewesten / Rbg).

Sedangkan dasar hukum berlakunya Arbitrase pada zaman kolonial

Belanda ini adalah pasal 377 HIR dan pasal 705 RBG yang berbunyi : “Jika orang

Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan

oleh juru pisah maka mereka wajib mentaati peraturan pengadilan perkara yang

berlaku bagi bangsa Eropa”.31

Jadi pasal ini jelas memberi kemungkinan bagi pihak-pihak yang

bersengketa untuk menyelesaikannya diluar pengadilan. Namun demikian HIR

maupun Rbg tidak membuat aturan tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan

            31 

(40)

tersebut, pasal 337 HIR, 705 Rbg langsung menunjuk aturan pasal-pasal yang

terdapat dalam Reglement hukum Acara Perdata (Reglement opde Burgerlijke

disingkat Rv. S 1847-52 jo 1849- 63).32

Dengan mengacu kepada adanya politik hukum yang membedakan tiga

kelompok tersebut diatas, bagi golongan Bumi Putera, hukum perdata material

yang berlaku pada dasarnya diterapkan hukum adat. Pengadilannya tunduk pada

pengadilan Landraad sebagai peradilan tingkat pertama. Hukum acara yang

dipergunakan adalah HIR untuk daerah pulau Jawa dan Madura dan Rbg untuk

derah luar pulau Jawa dan Madura (tanah seberang).

Bagi golongan Timur Asing dan Eropa, Hukum perdata Materil yang

berlaku adalah Burgerlijk Wetboek / BW (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)

dan Wetboek van Kophandel / WvK (Kitab Undang Undang Hukum Dagang).

Hukum acaranya adalah Reglement Acara Perdata (RV).33

Pada zaman Hindia Belanda, arbitrase dipergunakan oleh para pedagang

baik sebagai eksportir mauapun importir dan pengusaha lainnya. Pada waktu itu

ada tiga badan arbitrase tetap yang dibentuk oleh pemerintah Belanda yaitu :

- Badan arbitrase bagai badan Ekspor hasil bumi Indonesia

- Badan arbitrase tentang kebakaran

- Badan arbitrase bagi asuransi kecelakaan.34

Pada waktu jepang masuk mengantikan kedudukan penjajahan belanda,

peradilan Raad Van Justitie dan residen tiegerecht dihapuskan. Jepang

membentuk satu macam peradilan yang berlaku bagi semua orang yang diberi       

(41)

nama (Tiboo Hooin). Badan peradilan ini merupakan lanjutan dari Landraad.

Hukum acaranya tetap mengacu kepada HIR dan Rbg.35

Mengenai berlakunya arbitrase ini, pemerintah Jepang mengeluarkan

Peraturan Pemerintah Balatentara Jepang yang menentukan bahwa “semua

badan-badan pemerintahan dan kekuasaan hukum dan undang-udang dari pemerintah

dahulu (Pemerintah Hindia Belanda) tetap diakui sah buat sementara asal tidak

bertentangan dengan aturan pemerintah militer Jepang.36

Kemudian untuk mencegah kevakuman hukum, pada waktu indonesia

merdeka diberlakukanlah aturan peralihan UUD 1945 tertanggal 18 Agustus 1945

yang menyatakan : “Segala Badan Negara dan peraturan yang ada langsung

berlaku, selama belum ada yang baru menurut UUD ini”

Pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden juga telah pengeluarkan peraturan

Nomor 2 yang dalam pasal (1) menyatakan : Segala Badan-badan Negara dan

peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada

tanggal 17 Agustus 1945 selama belum diadakan yang baru menurut UUD masih

berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar tersebut”.

Maka demikianlah pada waktu itu, untuk penyelesaian sengketa melalui

Arbitrase tetap berlaku ketentuan HIR, Rbg dan Rv. Mengenai badan

peradilannya dibeberapa bagian RI yang dikuasai Belanda sebagai pengganti

peradilan zaman Jepang, diadakan landrechter untuk semua orang sebagai

peradilan sehari-hari dan Appelraad sebagai peradilan dalam perkara perdata

tingkat kedua. Selanjutnya pada waktu terjadinya Republik Indonesia Serikat,

            35 

Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit. hlm.15       36 

(42)

landrechter ini manjadi Pengadilan Negeri sedangkan Appelraad menjadi

Pengadilan Tinggi, sesuai ketentuan yang berlaku didaerah-daerah yang tidak

pernah dikuasai oleh Pemerintah Belanda.37

Ketika berlakunya Undang Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 Tanggal

14 Januari 1951, maka pada dasarnya diseluruh indonesia hanya ada semacam

badan peradilan yaitu pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan

pengadilan tinggi sebagai pengadilan tingkat kedua atau manding dan Mahkamah

Agung sebagai pengadilan tingkat kasasi, namun diluar itu masih dikenal

pangadilan Adat dan Swapraja.

Pada zaman Republik Indonesia Serikat, menurut konstitusi yang berlaku

saat itu (konstitusi Republik Indonesia Serikat), dalam pasal 192 konstitusi RIS

tersebut dinyatakan bahwa :

a. Peraturan-peraturan, Undang Undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha

yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku (menurut Pasal 197

konstitusi RIS pada saat pemulihan kedaulatan, yaitu pada tanggal 27

Desember 1949) tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai

peraturan-peraturan dan ketentan-ketentuan RIS sendiri, selama ada sekedar

peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah

atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas

kuasa konstitusi ini.

b. Pelanjutan peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentan tata

usaha yang sudah ada sebagai diterangkan dalam ayat 1 hanya berlaku,

            37 

(43)

sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan ini tidak

bertentangan dengan ketentuan Piagam Pemulihan Kedaulatan Status UNI,

Persetujuan peralihan ataupun persetujuan-persetujuan yang lain yang

berhubungan dengan pemulihan kedaulatan dan sekedar

peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan konstitusi ini tidak memerlukan

peraturan-peraturan undang-undang atau tindakan menjalankan.38

Selanjutnya jika kita lihat ketentuan dalam Undang-Undang Dasar

Sementara 1950 pasal 142 menyatakan bahwa : ‘Peraturan undang-undang dan

ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 agustus tahun

1950 tetap berlaku dengan dengan tidak berubah bagi peraturan-peraturan dan

ketentuan RI sendiri, selama peraturan-peraturan dan

ketentuan-ketentuan ini tidak dicabut, ditambah atau di ubah oleh undang-undang dan

ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang-Undang Dasar ini”.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa semua

peraturan-peraturan yang sudah ada sejak zaman penjajahan Hindia Belanda dulu selama

belum diubah, ditambah atau diganti masih tetap berlaku. Jadi ketentuan arbitrase

yang diatur dalam Rv juga masih tetap berlaku. Keadaan ini masih terus berlanjut

sampai dikeluarkannya Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.39

            38 

Ibid. hlm.17       39 

(44)

Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka

kedudukan dan kewenangan dari arbitrase di Indonesia sudah semakin jelas dan

kuat.40

Dari penjelasan yang tadi diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan yang

menyatakan bahwa semua peraturan-peraturan yang sudah ada pada masa

penjajahan Hindia Belanda dulu selama belum dirubah, ditambah atau diganti

masih tetap berlaku. Jadi ketentuan tentang arbitrase yang diatur dalam Rv juga

tetap berlaku. Dan secara Institusional sejarah perkembangan arbitrase di

Indonesia mendapatkan momentumnya pada tahun 1977 dengan terbentuknya

Badan Arbitrase Nasional pada tanggal 13 Desember 1977 Keadaan ini terus

berlanjut sampai dikeluarkannya Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang merupakan pondasi bagi

Penyelesaian Sengketa Alternatif Non Litigasi. 41

Dalam perkembangannya, saat ini arbitrase telah banyak digunakan

khususnya para pelaku usaha yang lebih memilih arbitrase sebagai alternatif

penyelesaian sengketa dikarenakan lebih efisien dalam segitu waktu, usaha, serta

kerahasiaannya dibanding dengan menyelesaikan sengketa menggunakan jalur

litigasi yakni melalui peradilan umum. Di satu segi, pelaksanaan arbitrase juga

membantu dalam mengurangi laju sengketa yang masuk ke pengadilan.

            40 Munir Fuady, 

Op.Cit, hlm.30       41 

(45)

B. Unsur, Objek serta Jenis Arbitrase a. Unsur Arbitrase

Seperti yang telah diketahui sebelumnya, bahwa arbitrase adalah suatu

cara penyelesaian sengketa secara non-litigasi atau di luar peradilan yang di dasari

atas adanya perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak baik sebelum

ataupun sesudah terjadinya sengketa.

Dari defenisi atau pengertian tersebut dapat diambil suatu bagian

unsur-unsur dari arbitrase secara umum, yaitu meliputi :

a. penyelesaian sengketa

b. di luar peradilan umum

c. berdasarkan perjanjian tertulis42

Telah jelas bahwa pada poin c dikatakan bahwa unsur dari arbitrase adalah

berdasarkan perjanjian tertulis. Sebagaimana tertera di dalam pasal 1 angka 3

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 bahwa “perjanjian arbitrase adalah suatu

kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian

tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian

arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”. Dengan

adanya perjanjian arbitrase ini, berarti meniadakan hak para pihak yang

bersengketa untu mengajukan gugatan terhadap penyelesaian sengketa ke

Pengadilan Negeri.

Dikarenakan suatu perjanjian arbitrase dapat dibuat sebelum ataupun

sesudah terjadinya sengketa, maka bentuk klausula arbitrase pun dapat dibagi

            42 

(46)

menjadi dua bentuk yaitu klausula yang berbentuk pactum de compromittendo dan klausula yang berbentuk akta kompromis.

Klausula yang berbentuk pactum de compromittendo dibuat oleh para pihak dalam perjanjiannya sebelum timbulnya sengketa. Dalam hal ini para pihak

menyetujui atau menyepakati untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin akan

timbul atau terjadi dikemudian hari melalui arbitrase kepada lembaga arbitrase

ataupun arbitrase ad-hoc.

Pengaturan bentuk klausula pactum de compromittendo ini dapat dijumpai dalam pasal 27 Undang-Undang nomor 30 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa,

“para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi

antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase”. Sebelumnya diatur dalam

pasal 615 ayat (3) Rv yang menentukan “bahwa diperkenankan mengikat diri satu

sama lain, untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul di

kemudian hari, kepada pemutusan seorang atau beberapa orang wasit. Juga

dijumpai dalam pasal II ayat (2) Konvensi New York 1958 yang antara lain

menentukan “...the parties undertake to submit to arbitration all or any

differences....which may arise between them...”43

Suatu perjanjian arbitrase tidak dapat dibatalkan dikarenakan oleh hal-hal

sebagai berikut :

a. meninggalnya salah satu pihak

b. bangkrutnya salah satu pihak

c. novasi (pembaruan utang)

            43 

(47)

d. insolvensi atau keadaan tidak mampu membayar dari salah satu pihak

e. pewarisan

f. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok

g. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga

dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut

h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok44

Bentuk klausula lain adalah akta kompromis. Klausula ini dibuat setelah

timbul atau terjadinya sengketa. Pada perjanjian pokok yang telah dibuat

sebelumnya, para pihak belum mencantumkan klausula arbitrase, lalu setelah

terjadinya sengketa maka para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang

terjadi diantara mereka melalui arbitrase. Perjanjian mengenai hal tersebut dibuat

secara tersendiri serta terpisah dari perjanjian pokok yang mana di dalamnya

tertera mengenai penyerahan penyelesaian sengketa secara arbitrase.

Disimpulkan dari pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 bahwa

pembuatan suatu akta kompromis dapat diancam batal demi hukum jika tidak

memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. pemilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase oleh para pihak

dilakukan setelah sengketa terjadi

b. persetujuan mengenai tata cara penyelesaian sengketa harus dibuat secara

tertulis, tidak boleh diperjanjikan secara lisan

            44 

(48)

c. harus ditandatangani oleh para pihak. Jika para pihak tidak dapat

menandatangani perjanjian tersebut maka perjanjian tersebut dibuat dalam

bentuk akta notaris.

d. Isi dari perjanjian harus memuat masalah yang dipersengketakan, nama

lengkap dan tempat tinggal para pihak, nama lengkap dan tempat tinggal

arbiter atau majelis arbiter, tempat arbiter atau majelis arbiter akan

mengambil keputusan, nama lengkap sekretaris, jangka waktu

penyelesaian sengketa, pernyataan kesediaan arbiter serta pernyataan

kesediaan para pihak untuk menanggung segala biaya yang dibutuhkan

untuk penyelesaian sengketa.

Secara umum, klausula arbitrase akan mencakup :

1. Komitmen/kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrase

2. Ruang lingkup arbitrase

3. Apakah arbitrase akan berbentuk arbitrase institusional atau ad.hoc.

apabila memlikih bentuk ad.hoc, maka klausula tersebut merinci metode

penunjukan arbiter atau majelis arbitrase

4. Aturan prosedural yang berlaku

5. Tempat dan bahasa yang digunakan dalam arbitrase

6. Pilihan hukum substantif yang berlaku bagi arbitrase

7. Klausula-klausula stabilitasi dan hak kekebalan (imunitas).45

Menilik penjelasan yang telah diuraikan diatas, dapat diambil kesimpulan

bahwa unsur perjanjian tertulis tersebut merupakan ciri khas penyelesaian

            45 

(49)

sengketa melalui arbitrase. Karena tanpa adanya perjanjian tertulis yang dibuat

antara para pihak yang bersengketa, penyelesaian sengketa tidak dapat

diselesaikan melalui jalan arbitrase.

Berbicara tentang perjanjian, maka pembuatan perjanjian atau klausula

arbitrase juga tunduk pada aturan yang tertera di dalam hukum perjanjian pada

Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Jadi, sah atau tidaknya perjanjian arbitrase tidak terlepas dari syarat-syarat

sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata.46

b. Objek Arbitrase

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, objek memiliki arti hal, perkara,

atau orang yg menjadi pokok pembicaraan.

Berdasarkan pengertian objek tersebut, dapat ditarik suatu pemahaman

bahwa yang menjadi objek arbitrase adalah hal-hal yang dibahas dalam arbitrase

atau hal-hal yang dapat diselesaikan melalui jalan arbitrase.

Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar

pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian

sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hanyalah sengketa di bidang

perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan

perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

            46 

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini merupakan hasil dari wawancara mendalam yang dilakukan pada partisipan dan catatan lapangan yang ditemukan saat wawancara mendalam.Analisa data

Program Studi Diploma Teknik Informatika Fakultas Teknologi Informasi. Universitas Kristen Satya

Pada setiap permohonan pembukaan deposito, deposan harus membubuhkan tanda tangannya pada kartu Contoh Tanda Tangan, apabila permohonan pembukaan deposito dilakukan

Penelitian ini berdasarkan pada Yurisprudensi Nomor 11K/AG/2001 tanggal 10 Juli 2003 yang menyatakan bahwa pemberian ½ bagian dari gaji Tergugat kepada Penggugat

Terdiri dari tinjauan kasus meliputi penerapan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan ikterus patologis mulai dari pengkajian, interpretasi data, diagnosa masalah/potensial,

Mengingat pentingnya kedudukan Jakarta sebagai Ibukota Negara, maka telah dikeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan yang mengaturnya secara khusus yaitu Undang-undang Nomor

Aplikasi ini dilengkapi Macromedia Dreamweaver untuk dapat membantu dalam pembuatan program dalam membuat link menuju halaman yang diinginkan atau cara meletakkan program PHP

Students’ perception on pre - reading activities in basic reading ii class of the English Language Education Study Program of Sanata Dharma University.. Farzaneh, N.,