EFEKTIFITAS PENERAPAN ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN
(STUDI DI BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA KOTA MEDAN)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh
FITRI HIDAYANTI 100200339
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan
salam senantiasa penulis panjatkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, yang
telah membimbing umat manusia dari masa kegelapan ke masa yang terang
benderang.
Penulisan skripsi ini adalah sebagai suatu persyaratan untuk kelak
memperoleh gelar Sarjana Hukum Jurusan Keperdataan pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
Oleh karena itu, guna memenuhi persyaratan tersebut, penulis mencoba
membuat skripsi dengan judul : “EFEKTIFITAS PENERAPAN ARBITRASE
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN (Studi di Badan
Arbitrase Nasional Indonesia Kota Medan)”.
Disini penulis juga menyadari terhadap penulisan dan pembahasan skripsi
ini masih banyak dijumpai berbagai kekurangan baik dalam segi penguasaan
susunan bahasa ataupun substansi isi dari penulisan skripsi ini. Oleh sebab itu,
dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan adanya kritikan dan
saran yang dapat mendukung terwujudnya kesempurnaan tulisan ini.
Dalam penyelesaian skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan
bantuan-bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahrial Pasaribu, DTM&H, Msc (CTM), Sp. A(K)
selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah membina dan
memberikan pandangannya dalam pendidikan di dalam kampus maupun di
luar kampus.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH,
M.Hum selaku Pembantu Dekan I, Bapak Syafruddin Hasibuan, SH,
M.Hum, DMF selaku Pembantu Dekan II, dan Bapak O.K. Saidin, SH,
M.Hum selaku Pembantu Dekan III.
3. Bapak Muhammad Husni, SH, MH selaku Dosen Pembimbing I serta
Dosen Wali Akademik penulis yang telah dengan ikhlas, sabar, serta
berbaik hati memberikan bimbingan, petunjuk, kritik, bantuan, dan saran
yang tak terhingga selama penulis menjalani pendidikan hingga
terselesainya skripsi ini. Terimakasih banyak, Pak. Semoga Bapak selalu
diberkahi berjuta kebaikan dan selalu dipeluk Allah dalam naungan kasih
sayang-Nya.
4. Ibu Maria Kaban, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah
dengan sabar, ikhlas, dan tulus memberikan bimbingan, petunjuk, kritik,
saran, dan motivasi yang sangat besar sehingga penulis semakin terpacu
untuk menyelesaikan skripsi ini hingga selesai. Terimakasih banyak, Buk.
Semoga kebahagiaan dan kasih sayang Tuhan selalu memeluk Ibu.
5. Bapak Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum selaku Dosen dan Ketua Departemen
banyak memberikan saran-saran serta pengarahan kepada penulis di saat
akan dilakukannya penulisan skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu para Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
yang telah mendidik dan membimbing penulis dari awal perkuliahan
hingga tingkat akhir menjadi Sarjana Hukum.
7. Seluruh staf Biro Pendidikan, yang telah banyak memberikan bantuan
dalam penyusunan skripsi ini.
8. Bapak Azwir Agus, SH, M.Hum selaku Sekretaris Badan Arbitrase
Nasional Kota Medan, yang memberikan banyak bantuan dan pengetahuan
dalam penyusunan skripsi ini.
Dan rasanya merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi penulis dalam
kesempatan ini untuk mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Ayahanda Yafizham, SH dan Ibunda Farida Hanum, S.Pd atas perjuangan,
pengorbanan, dan kasih sayang yang tak terhingga selama 21 tahun ini
dalam mendidik dan membesarkan penulis, serta selalu memberikan
semangat dan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih
Mama, Babah sudah menjadi tempat berbagi keluh kesah, tempat
bersandar, tempat berlindung, tempat bermanja, tempat mencurahkan
segalanya. Terima kasih sudah menjadi paket sempurna yang dikirim
Allah buat Anti di dunia ini. I love you super much, Ma, Bah. Semoga
Mama dan Babah selalu berada dalam lindungan penjagaan dan dekapan
2. Dan juga kepada adik-adikku, Marlia Ulfa, M.Rizky Maulana, dan Annisa
Zahra. Terimakasih sayang untuk kasih sayang, semangat, dan doa yang
selalu kalian berikan. Ayong loves you, three.
3. Terima kasih juga teruntuk Awlia Sofwan Lubis, SH yang selalu
memberikan bantuan, semangat, motivasi yang tiada hentinya. Terima
kasih ya Doping III. I don’t love you, but I love you more.
4. Sahabat-sahabatku Indah Pradini Naska, Hanny Luvika, Dhabitah
Amalina, Arifatul Khair, Reni Susanti, Naily Amalia, Khairunnisa,
Mentari Yolanda, Cindy Annisa, Rhanty Jusmadi, Michelle, Nabilla,
Rafika, Srik, yang telah memberikan semangat, bantuan, dan motivasi
dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Kak Fanny Dwi Lestari, SH yang berbaik hati membantu penulis demi
terselesainya skripsi ini.
6. Dan kepada teman-teman Mahasiswa baik teman satu angkatan dan junior
seluruhnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, serta senior
yang banyak memberikan arahan-arahan serta bimbingan kepada penulis.
Terakhir sebagai penutup kata, penulis mengharapkan agar tulisan ini
bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulisa sendiri di dalam
menambah wawasan ilmu hukum pada umumnya dan di bidang arbitrase pada
khususnya. Dan penulis juga berdoa semoga ilmu yang telah penulis dapatkan
dapat dipergunakan untuk kepentingan agama, nusa, maupun bangsa.
Hormat Penulis
ABSTRAK
*Fitri Hidayanti
**Muhammad Husni, SH, MH
***Maria Kaban, SH, M.Hum
Sesuai dengan perkembangan zaman yang sangat pesat, semakin banyak masalah atau sengketa yang terjadi dalam masyarakat. Penyelesaian sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui jalur litigasi di pengadilan dan berdampak terhadap penumpukan perkara yang masuk ke pengadilan dan berakibat terhadap lamanya suatu sengketa tersebut di proses. Mengingat dan mempertimbangkan hal tersebut, dibutuhkan suatu metode penyelesaian sengketa yang adil, cepat, dan ringan biaya. Salah satu metode penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan tersebut adalah arbitase, dimana arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa berdasarkan perjanjian yang ditengahi oleh seorang arbiter atau majelis arbiter yang berhak untuk mengambil keputusan.
Penulis menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dalam mewujudkan tulisan ini, dengan cara melakukan penelitian terhadap pustaka dan melakukan penelitian secara langsung mengenai efektifitas pelaksanaan arbitrase di Badan Arbitrase Nasional Kota Medan yang merupakan bagian dari lembaga arbitrase institusional di Indonesia, penelitian dengan melakukan wawancara langsung dengan sekretaris BANI.
Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, maka di dapatlah pengetahuan mengenai prosedur arbitrase yang dilakukan oleh BANI dimana tata cara pelaksanaannya sesuai dengan rule and procedural yang dibuat oleh BANI. Pihak yang bersengketa tunduk dan patuh terhadap putusan yang dikeluarkan oleh BANI karena bersifat final dan mengikat. Penulis juga mendapati pengetahuan mengenai faktor pendukung terlaksananya efektifitas arbitrase dalam penyelesaian sengketa perbankan yang dilakukan oleh BANI, yakni karena adanya keinginan para pihak terutama pihak bank untuk menyelesaikan sengketanya secara rahasia demi menjaga nama baik bank yang secara khusus merupakan lembaga fiduciary atau lembaga yang tumbuh dan berkembang karena kepercayaan masyarakat.
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
ABSTRAK...v
DAFTAR ISI...vi
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1
B. Perumusan Masalah...10
C. Tujuan Penelitian...10
D. Manfaat Penelitian...11
E. Metode Penelitian...12
F. Keaslian Penulisan...13
G. Sistematika Penulisan...14
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE A. Defenisi Arbitrase, Sejarah dan Perkembangan Arbitrase di Indonesia...16
B. Unsur, Objek, serta Jenis Arbitrase...34
C. Kelebihan dan Kekurangan Arbitrase...43
BAB III : ARBITRASE SEBAGAI SALAH SATU PILIHAN HUKUM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN
A. Defenisi Sengketa Perbankan...52
B. Arbitrase Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian
Sengketa Perbankan di Luar Peradilan...64
C. Peran dan Prospek Penegakan Arbitrase di
Indonesia...68
BAB IV : EFEKTIFITAS PENERAPAN ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN MELALUI BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA
A. Prinsip dan Prosedur Pelaksanaan Arbitrase yang
Dilakukan Oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia
dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan...71
B. Faktor Penghambat Pelaksanaan Arbitrase yang
Dilakukan Oleh Badan Arbitrase Nasional
Indonesia...81
C. Keberhasilan dan Kegagalan Arbitrase dalam
Penyelesaian Sengketa Perbankan yang Dilakukan Oleh
Badan Arbitrase Nasional Indonesia...83
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
B. Saran...87
DAFTAR PUSTAKA...89
LAMPIRAN
ABSTRAK
*Fitri Hidayanti
**Muhammad Husni, SH, MH
***Maria Kaban, SH, M.Hum
Sesuai dengan perkembangan zaman yang sangat pesat, semakin banyak masalah atau sengketa yang terjadi dalam masyarakat. Penyelesaian sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui jalur litigasi di pengadilan dan berdampak terhadap penumpukan perkara yang masuk ke pengadilan dan berakibat terhadap lamanya suatu sengketa tersebut di proses. Mengingat dan mempertimbangkan hal tersebut, dibutuhkan suatu metode penyelesaian sengketa yang adil, cepat, dan ringan biaya. Salah satu metode penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan tersebut adalah arbitase, dimana arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa berdasarkan perjanjian yang ditengahi oleh seorang arbiter atau majelis arbiter yang berhak untuk mengambil keputusan.
Penulis menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dalam mewujudkan tulisan ini, dengan cara melakukan penelitian terhadap pustaka dan melakukan penelitian secara langsung mengenai efektifitas pelaksanaan arbitrase di Badan Arbitrase Nasional Kota Medan yang merupakan bagian dari lembaga arbitrase institusional di Indonesia, penelitian dengan melakukan wawancara langsung dengan sekretaris BANI.
Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, maka di dapatlah pengetahuan mengenai prosedur arbitrase yang dilakukan oleh BANI dimana tata cara pelaksanaannya sesuai dengan rule and procedural yang dibuat oleh BANI. Pihak yang bersengketa tunduk dan patuh terhadap putusan yang dikeluarkan oleh BANI karena bersifat final dan mengikat. Penulis juga mendapati pengetahuan mengenai faktor pendukung terlaksananya efektifitas arbitrase dalam penyelesaian sengketa perbankan yang dilakukan oleh BANI, yakni karena adanya keinginan para pihak terutama pihak bank untuk menyelesaikan sengketanya secara rahasia demi menjaga nama baik bank yang secara khusus merupakan lembaga fiduciary atau lembaga yang tumbuh dan berkembang karena kepercayaan masyarakat.
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam menjalani kehidupan, terkadang pasti terdapat situasi dimana ada
pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali oleh perasaan tidak
puas yang bersifat subjektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami oleh
perorangan maupun kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan
apabila terjadi conflict of interest. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua. Apabila pihak kedua dapat
menanggapi dan memuaskan pihak pertama, selesailah konflik tersebut.
Sebaliknya, jika reaksi dari pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau
memiliki nilai-nilai yang berbeda, terjadilah apa yang dinamakan sengketa.1
Sengketa adalah suatu pertentangan atas kepentingan, tujuan dan/ atau
pemahaman antara 2 (dua) pihak atau lebih. Sengketa akan menjadi masalah
hukum apabila pertentangan tersebut menimbulkan perebutan hak, pembelaan
atau perlawanan terhadap hak yang dilanggar, dan / atau tuntutan terhadap
kewajiban atau tanggungjawab.
Konflik atau sengketa biasanya bahkan terjadi karena hal-hal kecil, antara
lain sengketa yang terjadi antar tetangga karna tapak batas rumah, sengketa yang
terjadi di dalam perjanjian karena salah satu pihak melanggar kesepakatan yang
telah dibuat, sengketa dalam keluarga karena memperebutkan harta warisan, dan
1
sebagainya. Juga ada sengketa yang terjadi di dunia perbankan. Pada hakikatnya,
tidak ada seorang pun yang menginginkan suatu konflik atau sengketa terjadi,
namun terkadang hal-hal yang menjadi penyebab munculnya atau timbulnya tidak
dapat dielakkan.
Dalam persengketaan, perbedaan pendapat dan perdebatan yang
berkepanjangan biasanya mengakibatkan kegagalan proses mencapai kesepakatan.
Keadaan seperti ini biasanya berakhir dengan putusnya jalur komunikasi yang
sehat sehingga masing-masing pihak mencari jalan keluar tanpa memikirkan nasib
ataupun kepentingan pihak lainnya. Agar tercipta proses penyelesaian sengketa
yang efektif, prasyarat yang harus dipenuhi adalah kedua belah pihak harus
sama-sama memperhatikan atau menjunjung tin ggi hak untuk mendengar dan hak
untuk di dengar. Dengan prasyarat tersebut proses dialog dan pencarian titik temu
(commond ground) yang akan menjadi panggung proses penyelesaian sengketa baru dapat berjalan. Jika tanpa kesadaran tentang pentingnya langkah ini, proses
penyelesaian sengketa tidak berjalan dalam arti yang sebenarnya.2
Ada 3 faktor utama yang mempengaruhi proses penyelesaian sengketa,
yaitu :
1. Kepentingan (interest)
2. Hak-hak (rights), dan
3. Status kekuasaan (power).3
Seperti diketahui, terdapat dua macam solusi penyelesaian sengketa, yaitu
litigasi dan non-litigasi. Litigasi merupakan cara penyelesaian sengketa tertua
2
Ibid
3
dimana proses penyelesaiannya diserashkan melalui lembaga pengadilan.
Kemudian berkembang pula proses penyelesaian sengketa secara non-litigasi
yakni alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui adanya
kerjasama dan itikad baik antara kedua belah pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikan serta mengakhiri sengketa tersebut melalui bantuan pihak ketiga.
Dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat kritik
yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoritisi hukum. Peran dan fungsi
peradilan dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of time), biaya mahal (very expensive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum, atau dianggap terlalu formalistik (formalistic) dan terlampau teknis (technically).4
Dalam menggunakan penyelesaian sengketa secara litigasi dengan segala
kelemahannya tersebut, para pihak yang bersengketa harus bersabar menunggu
karena terjadinya penumpukan perkara di pengadilan. Untuk mengatasi
penumpukan tersebut dan agar para pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan
sengketa secara cepat dengan waktu yang relatif singkat dengan biaya yang ringan
pula, maka cara yang paling baik untuk ditempuh adalah melalui alternatif
penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Perkembangan penyelesaian sengketa melalui kerjasama (kooperatif) di
luar pengadilan atau yang disebut dengan alternatif penyelesaian sengketa yang
merupakan kebalikan penyelesaian sengketa melalui litigasi di dalam pengadilan.
Penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa menghasilkan
4
kesepakatan yang bersifat “win-win solution”, dijamin kerahasiaan sengketa para pihak, terhindar dari keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan
administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan
dan tetap menjaga hubungan baik.5
Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang dikenal dan biasa
digunakan dalam menyelesaikan sengketa adalah:
1. Konsultasi (pertukaran pikiran dengan pihak ketiga, dalam hal ini bisa
oleh konsultan hukum, untuk mendapatkan kesimpulan mengenai
penyelesaian sengketa yang sedang terjadi)
2. Negosiasi (penyelesaian melalui tawar-menawar oleh kedua belah pihak
yang bersengketa atau diwakili oleh masing-masing perwakilannya untuk
mendapatkan titik temu dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi)
3. Mediasi (penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga yang netral yang
disebut mediator, dimana mediator tersebut tidak memiliki kewenangan
mengambil putusan)
4. Konsiliasi (usaha mempertemukan keinginan-keinginan para pihak
sehingga tercapai persetujuan bersama)
5. Arbitrase (penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga yang disebut
arbiter, dimana arbiter dapat memberikan putusan)
Salah satu metode penyelesaian sengketa secara non-litigasi yang lazim
digunakan adalah arbitrase. Dasar pemeriksaan arbitrase yang dipakai di
Indonesia selama ini mengacu pada ketentuan hukum lama yakni Pasal 615
5
sampai dengan Pasal 651 reglemen Acara Perdata (Reglement op de
Rechtsvordering, Staatsblad 1847 Nomor 52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia
yang Diperbarui (Het Herziene Indonesich Reglement, Staatsblad 1941 Nomor
44) serta Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
(Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927 Nomor 227), yang dinilai
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum pada
umumnya. Untuk itu, dibentuk Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.6
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut secara tegas langsung
mencabut ketiga jenis peraturan mengenai arbitrase sebelumnya, maka dengan
jelas segala bentuk ketentuan yang menyangkut arbitrase, termasuk penerapan
putusan arbitrase tunduk kepada Undang-Undang yang baru ini.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 selain mengatur mengenai
arbitrase, juga mengatur mengenai pranata hukum lainnya yang dapat digunakan
oleh dunia usaha untuk menyelesaikan sengketa bisnisnya. Peraturan mengenai
arbitrase dapat dijumpai pula dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968
tentang Persetujuan Atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara
Negara dan Warganegara Asing mengenai Penanaman Modal dan Keputusan
Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention on The
Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards. Dengan sendirinya
pelaksanaan ketentuan arbitrase sebagaimana yang tercantum dalam
Undang- 6
Undang Nomor 5 Tahun 1968 dan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981
tersebut, berpedoman pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.7
Hal-hal yang dapat dikemukakan tentang arbitrase dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 adalah :
1. Arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian
2. Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis
3. Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan
sengketa yang dilaksanakan di luar peradilan umum.
Dapat kita katakan bahwa pada dasarnya perjanjian arbitrase dapat
terwujud dalam bentuk suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul
sengketa (pactum de compromittendo) atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (akta kompromis).
Untuk memenuhi syarat subjektif, selain harus dibuat oleh mereka yang
demi hukum cakap bertindak dalam hukum, perjanjian arbitrase harus dibuat oleh
mereka yang demi hukum dianggap memiliki kewenangan untuk melakukan hal
yang demikian. Selain syarat subjektif tersebut, terdapat pula syarat objektif yang
harus dipenuhi. Menurut ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut,
objek perjanjian arbitrase atau dalam hal ini adalah sengketa yang akan
diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase (dan atau lembaga
alternatif penyelesaian sengketa lainnya) hanyalah sengketa di bidang
7
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Tidak ada suatu
penjelasan resmi mengenai apa yang dimaksud dalam ketentuan pasal 5 ayat (1)
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut, namun jika kita lihat pada
penjelasan pasal 66 huruf b Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, yang
berhubungan dengan pelaksanaan putusan arbitrase nasional, dimana dikatakan
bahwa yang dimaksud dengan “ruang lingkup hukum perdagangan” adalah
kegiatan-kegiatan antara lain di bidang:
-Perniagaan
-Perbankan
-Keuangan
-Penanaman modal
-Industri
-Hak kekayaan intelektual.8
Ini berarti bahwa makna ‘perdagangan’ sebagaimana disebutkan dalam
pasal 5 ayat (1) seharusnya juga memiliki makna yang luas sebagaimana
dijabarkan dalam penjelasan pasal 66 huruf b Undang-undang Nomor 30 Tahun
1999 tersebut. Hal ini juga sejalan dengan ketentuan selanjutnya dalam pasal 5
ayat (2), yang memberikan perumusan negatif, dimana dikatakan bahwa
sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa-sengketa
yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Ini berarti kita harus melihat kembali ketentuan mengenai perdamaian yang diatur
8
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Bab Ke-delapan belas
Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864.9
Pranata arbitrase di Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru dan
telah lama dikenal. Arbitrase adalah pranata alternatif penyelesaian sengketa
terakhir dan final bagi para pihak. Sifat pribadi dari arbitrase memberikan
keuntungan-keuntungan melebihi proses ajudikisi di pengadilan. Arbitrase lebih
memberikan kebebasan, pilihan, otonomi, kerahasiaan kepada para pihak yang
bersengketa.
Kebebasan yang dimaksud adalah para pihak dapat memilih arbiter yang
menurut mereka diyakini mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar
belakang yang relevan dengan masalah yang disengketakan, disamping jujur dan
adil. Para pihak juga dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan
masalahnya termasuk proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase.
Pada prinsipnya siapa saja dapat menjadi arbiter asal mempunyai keahlian
yang diharapkan untuk menyelesaikan sengketa yang sedang terjadi. Seorang
arbiter bisa seorang ahli hukum, bisa juga seorang yang ahli bidang tertentu.10
Seorang hakim, jaksa, panitera, dan pejabat peradilan lainnya dilarang
ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter. Hal ini dimaksudkan agar terjamin adanya
objektivitas dalam pemeriksaan serta pemberian putusan akhir oleh arbiter atau
majelis arbiter.
9
Ibid. hlm.48 10
Mengenai jumlah arbiter, bisa seorang saja yang merupakan arbiter
tunggal, atau bisa beberapa orang yang merupakan majelis arbiter yang akan
bertugas menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.11
Dari uraian diatas, arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian
sengketa di luar pengadilan yang mempermudah para pihak yang bersengketa
untuk menyelesaikan sengketanya tanpa mempermalukan para pihak karena
bersifat rahasia, juga penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan secara cepat
tanpa menimbulkan penumpukan perkara di pengadilan. Arbitrase juga
menguntungkan para pihak karena dilakukan dengan biaya yang ringan. Bagi
masyarakat yang memiliki kepentingan untuk menyelesaikan sengketa secara
cepat dan efisien, maka arbitrase ini adalah jawaban untuk penyelesaian sengketa
mereka. Yang diharapkan adalah hal ini sungguh-sungguh dilaksanakan oleh para
arbiter termasuk oleh lembaga yang menaungi pelaksanaan arbitrase di Indonesia
yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia, terutama Badan Arbitrase Nasional
Indonesia Kota Medan.
Berdasarkan uraian latar belakang dan beberapa alasan diatas, maka
mendorong penulis untuk mengadakan penelitian dengan judul “EFEKTIFITAS
PENERAPAN ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
PERBANKAN (Studi Kasus di Badan Arbitrase Nasional Indonesia Kota
Medan)”
11
B. Rumusan Masalah
Berkaitan dengan latar belakang masalah yang penulis kemukakan diatas
dan berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, serta penelaahan terhadap
perundang-undangan yang ada, serta dari berbagai literatur yang ada, maka
permasalahan-permasalahan yang hendak dikemukakan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah prinsip dan prosedur pelaksanaan arbitrase yang
dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia dalam
penyelesaian sengketa perbankan?
2. Apa sajakah faktor-faktor penghambat pelaksanaan arbitrase yang
dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia?
3. Bagaimanakah keberhasilan dan kegagalan arbitrase dalam
penyelesaian sengketa perbankan yang dilakukan oleh Badan Arbitrase
Nasional Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan
sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi tujuan dalam skripsi
ini adalah:
a. Untuk mengetahui prinsip dan prosedur arbitrase yang dilakukan oleh
Badan Arbitrase Nasional Indonesia Kota Medan dalam menyelesaikan
sengketa perbankan.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan
c. Untuk mengetahui bagaimana keberhasilan dan kegagalan arbitrase dalam
penyelesaian sengketa perbankan yang dilakukan oleh Badan Arbitrase
Nasional Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
a. Secara Teoritis
Hasil dari penelitian yang dituangkan dalam skripsi ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum di Indonesia,
terutama dapat menambah pengetahuan di bidang arbitrase sebagai salah
satu alternatif penyelesaian sengketa perbankan.
Diharapkan skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan memberikan
gambaran yang nyata kepada kalangan masyarakat Indonesia mengenai
peran dan efektifitas arbitrase dalam pemeriksaan dan penyelesaian
sengketa perdata yang dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Kota
Medan.
b. Secara Praktis
Skripsi ini diharapkan bermanfaat bagi rekan mahasiswa, praktisi hukum,
pemerintah, serta masyarakat yang bersengketa sebagai pedoman dan
bahan rujukan dalam rangka menyelesaikan sengketa perbankan dengan
memberdayakan arbitrase, sehingga penegakan hukum dapat dilakukan
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah dilakukan secara yuridis
normatif. Penelitian yang dilakukan secara yuridis normatif ini merupakan
penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang topik yang penulis angkat, kemudian
melihat kesesuaian antara hal yang ditentukan dalam peraturan hukum
tersebut dengan pelaksanaannya di lapangan berlakunya (dalam hal ini
menyangkut efektif atau tidak antara Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 dengan arbitrase yang dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional
Indonesia) dengan melakukan wawancara langsung dengan pihak Badan
Arbitrase Nasional Indonesia Kota Medan.
2. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian skripsi ini, penulis melakukan penelitian di Badan
Arbitrase Nasional Indonesia Kota Medan, sebagai instansi yang wajib
mematuhi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan topik
yang penulis bahas di dalam skripsi ini. Penulis memilih tempat tersebut
sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan tempat tersebut memenuhi
karakteristik bagi penulis untuk mendapatkan gambaran mengenai masalah
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, upaya pengumpulan data dilakukan dengan data
primer dan data sekunder dengan menggunakan metode sebagai berikut:
a. Studi Lapangan (Data primer)
Wawancara yaitu melakukan penelitian langsung ke lapangan
mengenai efektifitas dari peraturan hukum yang berkaitan dengan
topik skripsi penulis terhadap praktek di lapangan. Wawancara
dilakukan antara penulis dengan pihak Badan Arbitrase Nasional
Indonesia Kota Medan yang melakukan arbitrase dalam
penyelesaian sengketa perbankan.
b. Studi kepustakaan (Data Sekunder)
Dilakukan dengan mempelajari dan meneliti berbagai sumber
bacaan yang berkaitan dengan topik yang diangkat dalam skripsi
ini, seperti buku-buku hukum, makalah hukum, majalah hukum,
surat kabar, artikel hukum di internet, pendapat para sarjana yang
expert di dunia hukum, dan bahan-bahan lainnya.
F. Keaslian Penulisan
Penulis membuat tulisan ini dengan melihat perkembangan hukum saat ini
dan mengaitkannya dengan dasar-dasar hukum yang bersumber dari berbagai
literatur dan bahan bacaan dari berbagai referensi yang diperoleh dari
perpustakaan atau toko buku dan beberapa diantaranya diperoleh dari internet
maupun media massa. Sepanjang yang telah ditelusuri dan penulis ketahui
Sumatera Utara, tidak ada judul yang sama dengan apa yang ditulis oleh penulis.
Dengan demikian, penulis meyakini bahwa skripsi ini adalah merupakan murni
karya asli dari penulis.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini akan mempermudah dan penulisan dan
penjabaran penulisan skripsi dengan memberikan gambaran yang lebih jelas,
penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Bab ini memuat latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, keaslian
penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan Umum Tentang Arbitrase
Menguraikan tentang hal-hal umum mengenai arbitrase sebagai
salah satu cara penyelesaian sengketa. Memuat semua hal
mengenai arbitrase mulai dari defenisi, sejarah dan perkembangan
arbitrase di Indonesia, unsur, objek, serta jenis arbitrase, kelebihan
dan kekurangan arbitrase, dan faktor-faktor yang mendorong para
pihak memberdayakan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa.
BAB III : Arbitrase Sebagai Salah Satu Pilihan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan
Membahas dan menguraikan arbitrase sebagai salah satu pilihan hukum dalam penyelesaian sengketa perbankan. Memuat hal
cara penyelesaian sengketa perbankan di luar pengadilan, serta
peran dan prospek penegakan arbitrase di Indonesia.
BAB IV : Efektifitas Penerapan arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia
Mendeskripsikan prinsip dan prosedur pelaksanaan arbitrase yang
dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia dalam
penyelesaian sengketa perbankan. Memaparkan faktor penghambat
pelaksanaan arbitrase yang dilakukan oleh Badan Arbitrase
Nasional Indonesia, serta keberhasilan dan kegagalan arbitrase
dalam penyelesaian sengketa perbankan yang dilakukan oleh
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE
A.Defenisi, Sejarah dan Perkembangan Arbitrase di Indonesia
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa.12
Kata arbitrase berasal dari kata arbitrare (Latin), arbitrage (Belanda),
arbitration (Inggris), schiedspruch (Jerman), dan arbitrage (Perancis), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai
oleh arbiter arau wasit.13
Arbiter sebagai pihak ketiga yang menengahi menjalankan tugasnya dan
menyelesaikan sengketa dengan cara memberikan putusan. Dalam hal ini arbiter
harus berada di posisi netral dan tidak memihak kepada salah satu pihak yang
bersengketa. Selain dari itu yang paling esensi adalah ”indepensi” dari arbiter
dalam melaksanakan tugasnya, sehingga dapat diperoleh suatu putusan yang
“adil” dan “cepat” bagi para pihak yang berbeda pendapat, berselisih paham
maupun bersengketa.14 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arbitrase mempunyai arti sebagai usaha perantara dalam meleraikan sengketa.15
12 Undang‐Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif,
pasal 1 angka 1 13
Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm.1 14 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani,
Op.Cit, hlm.70 15
Dari pengertian yang diberikan oleh Undang-Undang No. 30 tahun 1999 serta
Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut, dapatlah ditarik beberapa unsur penting
dari arbitrase, yaitu:
1. Cara penyelesaian sengketa secara privat atau di luar pengadilan
2. Atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak
3. Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang sudah
terjadi
4. Dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter atau wasit) yang berwenang
mengambil keputusan.
5. Sifat putusannya adalah final dan mengikat.
Penjelasan secara etimologi ini menekankan tentang keberadaan pihak
ketiga yang memiliki tugas untuk menengahi kedua belah pihak yang sedang
menghadapi sengketa dan memberikan jalan keluar bagi penyelesaian sengketa
tersebut. Pihak ketiga ini berperan sebagai jembatan bagi para pihak dalam
menyelesaikan sengketanya dimana pihak ketiga ini dapat memberikan putusan
yang sifatnya final dan mengikat yang diharapkan dapat menemukan kesepakatan
serta memberikan kepuasan terhadap para pihak.
Secara terminologi, defenisi atau pengertian arbitrase menurut berbagai
pihak serta ahli hukum adalah:
Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya How Arbitration Works
mengartikan “arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah
dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima
putusan tersebut secara final dan mengikat.”16
Gary Goodpaster mengatakan bahwa “arbitration is the private adjudication of dispute parties, anticipating possible dispute or experiencing an actual dispute, agree to submit their dispute to a decision maker they in some fashion select.”17 (arbitrase adalah suatu penyelesaian secara pribadi oleh para pihak sengketa untuk mengantisipasi kemungkinan sengketa yang akan terjadi
atau sengketa yang sedang terjadi, para pihak setuju untuk menyerahkan sengketa
mereka kepada seorang pengambil keputusan yang akan memberikan beberapa
macam pilihan).
Dalam pengertian tersebut Gary Goodpaster memberikan pendapatnya
bahwa arbitrase tidak hanya diperjanjikan untuk menyelesaikan sengketa yang
sedang terjadi dan dialami oleh para pihak, tetapi juga sebagai langkah yang
diambil untuk mengantisipasi masalah yang akan terjadi dikemudian hari antara
para pihak.
Sementara itu menurut R. Subekti “arbitrase adalah penyelesaian atau
pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan
bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh
hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.”18
16
M. Husseyn Umar, Supriyani Kardono, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia (Jakarta, Komponen Hukum Ekonomi Elips Project, 1995) hlm.2
17
Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm.2 18
Disini Subekti menekankan bahwa keputusan yang diambil oleh hakim
atau arbiter dalam penyelesaian sengketa harus ditaati oleh pihak yang
bersengketa. Mereka harus tunduk dan terikat kepada hasil keputusan tersebut.
Secara lebih terperinci, Abdulkadir Muhammad juga memberikan
pengertian “arbitrase adalah badan peradilan umum, yang dikenal khusus dalam
dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri
secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan negara merupakan kehendak bebas pihak-pihak.
Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat
sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak
dalam hukum perdata.”19
Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa arbitrase adalah suatu bagian
dari peradilan umum yang memang telah dikenal secara khusus dalam dunia
perusahaan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di perusahaan. Arbitrase
ini merupakan cara penyelesaian sengketa yang dipilih sendiri berdasarkan
kehendak bebas dari pihak yang bersengketa berdasarkan perjanjian yang telah
mereka buat secara tertulis baik sebelum ataupun sesudah terjadinya sengketa
berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang telah diatur dalam hukum perdata.
Batasan arbitrase menurut Sudargo Gautama “arbitrase adalah cara-cara
penyelesaian hakim partikulir yang tidak terikat dengan berbagai formalitas, cepat
19
dalam memberikan keputusan, karena dalam instansi terakhir serta mengikat,
yang mudah untuk dilaksanakan karena akan ditaati para pihak.”20
Pernyataan Sudargo Gautama ini memberikan pengertian bahwa arbitrase
dilakukan dengan tidak sedikitpun terikat dengan berbagai formalitas seperti yang
dilakukan oleh pengadilan, keputusan yang diambil untuk menyelesaikan
sengketa dilakukan secara cepat dan mudah serta mengikat dan harus ditaati oleh
para pihak yang bersengketa.
Dalam Black Law Dicitionary dikatakan “Arbitration is the reference of a dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by arbitrator’s award issue after hearing at which both parties have and opportunity to be head. An arrangement for taking and abiding by the judgement of selected persons in some dispute matter, instead of carrying it to establish tribunal of justice, an is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and taxation of ordinary litigation.”21 (Arbitrase adalah suatu referensi terhadap penyelesaian sengketa yang dialihkan kepada orang ketiga yang
dipilih oleh para pihak yang bersengketa yang telah disetujui sebelumnya di awal
perjanjian untuk mematuhi apa yang diputuskan arbiter setelah arbiter mendengar
kesempatan kedua belah pihak menyampaikan pendapatnya. Pengaturan ini
termasuk untuk menerima dan mematuhi keputusan orang ketiga yang dipilih
tersebut dalam menyelesaikan sengketa, tidak membawa sengketa ke pengadilan,
20
Sudargo Gautama, Indonesia dan Arbitrase Internasional, dalam buku Rachmadi Usman, hlm.3
21 Tommi Ricky Rosandy, “Pengantar Hukum Arbitrase di Indonesia”, artikel,
yang dimaksudkan untuk menghindari formalitas, penundaan, biaya dan
perpajakan litigasi biasa).
Black Law Dicitionary menekankan bahwa penggunaan arbitrase adalah
untuk mencegah masuknya sengketa ke pengadilan untuk menghindari segala
macam bentuk formalitas di pengadilan yang memakan waktu yang lama dan
biaya yang tidak sedikit pula.
Z. Azikin Kusumah Atmadja dalam ceramahnya yang berjudul
Enforcement Of Foreign Arbital Awards, pada seminar yang diadakan oleh Badan
Arbitrase Nasional Indonesia bersama dengan International Chamber of
Commerce tanggal 13 September 1978 di Jakarta, mengartikan arbitrase sebagai
“arbitration is the business community’s self regulatory practise of dispute settlement.”22 (arbitrase adalah praktik regulasi diri yang dilakukan komunitas bisnis terhadap penyelesaian sengketa).
Dari beberapa defenisi-defenisi yang telah disebutkan, antara satu sama
lain tidaklah terlalu berbeda. Dalam pengertian yang lebih sederhana, arbitrase
adalah cara penyelesaian sengketa di luar peradilan yang penyelesaiannya
diadakan berdasarkan perjanjian yang telah dibuat oleh pihak yang bersengketa
dengan bantuan pihak ketiga yang berhak mengambil keputusan terhadap
sengketa tersebut.
Pihak ketiga atau arbiter tersebut dipilih dan ditentukan oleh para pihak
yang bersengketa, dan sudah seharusnya arbiter memiliki kemampuan dan
keahlian dalam bidang tertentu dan dapat bertindak secara netral.
22
Pada prinsipnya siapa saja dapat menjadi arbiter asal emmpunyai keahlian
yang diharapkan untuk menyelesaikan sengketa yang sedang terjadi. Seorang
arbiter bisa seorang ahli hukum, bisa juga seorang ahli bidang tertentu.23
Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memnuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
- Cakap melakukan tindakan hukum
- Berumur paling rendah 35 tahun
- Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa
- Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas
putusan arbitrase
- Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling
sedikit 15 tahun.24
Hakim, jaksa, panitera dan pejabat-pejabat peradilan lainnya tidak dapat
ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter.25
Tidak diperbolehkannya orang-orang atau pejabat-pejabat yang disebut
dalam ayat itu menjadi arbiter, adalah agar terjamin adanya pemeriksaan dan
pemberian putusan oleh arbiter secara objektif.
Mengenai jumlah arbiter, bisa seorang saja yang merupakan arbiter
tunggal, atau bisa beberapa orang yang merupakan majelis arbitrase yang akan
bertugas menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, hal ini sesuai dengan
23
Munir Fuady, Op.Cit, hlm.67
24 Undang‐Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif,
Pasal 12 ayat 1 25
ketentuan yang disebutkan dalam Pasal1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30
tahun 1999 yang menyebutkan “arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh
para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh
lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang
diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.” Dari kalimat “seorang atau lebih”
tersebut maka dapat diambil suatu kesimpulan pokok mengenai jumlah arbiter
yang diperbolehkan sesuai ketentuan yang berlaku.
Sweet and Maxwell dalam bukunya International Arbitration Law Review
mengemukakan dalam menentukan berapa orang kah yang sebaiknya menjadi
arbiter dalam satu kasus, apakah tiga orang ataukah cukup satu orang, beberapa
faktor dibawah ini patut dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai
berikut:
a. jumlah yang dipersengketakan
b. kompleksitas klaim
c. nasionalitas dari para pihak
d. kebiasaan dagang yang relevan atau bisnis atau profesi yang terlibat dalam
sengketa
e. ketersediaan arbiter yang layak
f. tingkat urgensi dari kasus yang bersangkutan26
26
Pengangkatan arbiter dapat dilakukan dengan penunjukan oleh para pihak,
penunjukan oleh hakim, dan penunjukan oleh lembaga arbitrase. Cara pertama
dengan penunjukan oleh para pihak dilakukan melalui pembuatan pactum de
compromittendo ataupun akta kompromis. Perjanjian tersebut harus memuat
ketentuan mengenai tata cara pengangkatan arbiter yang akan bertugas untuk
menyelesaikan sengketa para pihak tersebut. Yang penting untuk diingat,
walaupun arbiter ditunjuk dalam jumlah lebih dari satu orang atau lazimnya
disebut majelis arbiter, jumlahnya haruslah ganjil.
Tata cara dengan penunjukan langsung oleh para pihak ini adalah yang
paling baik dikarenakan para pihak telah menyepakati dari awal mengenai arbiter
yang akan menyelesaikan sengketa mereka. Dengan cara ini, proses pengangkata
arbiter adan pembentukan majelis arbiter akan lebih mulus, sehingga fungsi dan
kewenangan pemeriksaan dan penyelesaian persengketaan, mungkin akan lebih
cepat diselesaikan.27
Namun jika tidak terjadi kesepakan antara para pihak dalam pemilihan
atau penunjukan arbiter, maka para pihak dapat meminta bantuan kepada hakim
atau ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk arbiter yang akan menyelesaikan
sengketa mereka. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertera pada Pasal 13 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi “Dalam hal para pihak
tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada
ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua pengadilan Negeri
menunjuk arbiter atau majelis arbitrase”.
27
Dasar hakim atau ketua Pengadilan Negeri dalam menunjuk arbiter ini
adalah berdasarkan permohonan kedua belah pihak ataupun salah satu pihak
dengan menceritakan serta menjelaskan tentang tidak tercapainya kesepakatan
antara para pihak mengenai pemilihan atau penunjukan arbiter tersebut.
Penjelasan yang diberikan oleh para pihak ini berfungsi sebagai acuan atau dasar
untuk mencampuri hal mengenai penunjukan arbiter yang memang merupakan
wewenang dari pihak yang bersengketa.
Sweet dan Maxwell dalam bukunya International Arbitration Law Review
mengemukakan, apabila arbiter dipilih oleh lembaga arbitrase, maka dalam
memilih arbiternya sebaiknya beberapa hal berikut ini akan menjadi
pertimbangan, yaitu:
- Sifat dan hakikat dari sengketa
- Ketersediaan dari arbiter
- Identitas dari para pihak
- Independesi dari arbiter
- Syarat pengangkatan dalam kontrak arbitrase
- Saran-saran yang diberikan oleh para pihak28
Seorang yang telah dipilih atau ditunjuk untuk menyelesaikan suatu
sengketa dapat menerima ataupun menolak penunjukannya tersebut. Penerimaan
ataupun penolakannya tersebut wajib diberitahukan kepada para pihak secara
tertulis paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal penunjukkannya sesuai
dengan yang tertera dalam Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
28
1999. Jika ia menerima, maka arbiter tersebut tidak dapat mengundurkan dirinya
dari tugasnya sebagai arbiter ketika sengketa belum selesai. Hal ini telah
ditekankan pada Pasal 19 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, namun
terdapat pengecualian jika para pihak setuju dan mengijinkan pengunduran diri
arbiter tersebut setelah didahului dengan pengajuan permohonan secara tertulis.
Dalam rangka menjalankan tugasnya, Arbiter harus netral, independen,
adil serta bebas dari benturan kepentingan dan afiliasi dengan salah satu pihak
yang bersengketa atau dengan masalah yang menjadi sengketa.29 Untuk sukses
menjalankan tugasnya tersebut, sudah sepatutnya arbiter tersebut adalah orang
yang profesional di bidangnya.
Sesuai ketentuan yang berlaku bahwa putusan arbitrase yang dikeluarkan
oleh arbiter diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera
Pengadilan Negeri. Penyerahan dan pendaftaran tersebut dilaksanakan dengan
cara melakukan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau dipinggir
putusan oleh Panitera Pengadilan Negerti dan arbiter atau kuasanya yang
menyerahkan, dan selanjutnya catatan tersebut menjadi akta pendaftaran.
Pencatatan ini menjadi satu-satunya dasar bagi pelaksanaan putusan arbitrase
tersebut.30
Seorang arbiter tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas
apapun yang dilakukannya selama proses penyelesaian sengketa berlangsung
selama yang diperbuatnya tersebut adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dan sesuai dengan ketentuan yang mengatur tentang penjalanan fungsi arbiter.
29 Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia, Arbiter/Mediator, artikel,
http://www.bapmi.org/in/arbitrators_requirements.php diakses 9 Februari 2014 30
Namun, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 ternyata memberikan
kemungkinan kepada para pihak untuk menuntut ganti kerugian dan penggantian
biaya yang dikeluarkannya serta menuntut tanggung jawab hukum lainnya dari
arbiter, seperti tertera di dalam Pasal 18, 19, 20, 21, 22, dan 56.
Berbicara tentang arbitrase, tidaklah sempurna jika tidak mengupas
tentang sejarah perkembangannya. Sejarah perkembangan arbitrase sangat
panjang dikarenakan arbitrase telah lama dikenal dalam peraturan
perundang-undangan sejak mulai berlakunya Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering
(Rv).
Sebagai kita ketahui pada waktu pemerintahan Hindia Belanda masih
menguasai Indonesia, penduduk Indonesia dibagi beberapa golongan yang
mendasari adalah pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling disingkat IS,
berdasarkan IS tersebut ditetapkan bahwa bagi golongan Eropa dan bagi mereka
yang disamakan berlaku hukum Barat. Sedangkan bagi golongan Bumi Putra
berlaku hukum adatnya masing-masing, tetapi dapat juga berlaku hukum barat
jika ada kepentingan sosial yang dibutuhkan. Bagi golongan Cina dan Timur
Asing lainnya sejak tahun 1925 telah ditetapkan bahwa bagi mereka berlaku
hukum Barat dengan beberapa pengecualian.
Karena adanya beberapa perbedaan hukum tersebut, konsekuensinya
adalah ada pula perbedaan badan-badan peradilan berikut hukum acaranya.
Peradilan untuk golongan Eropa dan mereka yang disamakan kedudukannya
dengan golongan tersebut adalah Raad Van Justitie dan Residentie-gerecht
acara yang termuat dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering yang
disingkat B. RV atau RV.
Untuk golongan bumi putra dan mereka yang disamakan kedudukannya
dengan golongan tersebut adalah Landraad sebagai peradilan sehari-hari dan
beberapa peradilan lainnya seperti peradilan kabupaten, peradilan daerah dan
sebagainya. Hukum acara yang dipergunakan adalah termuat dalam Herziene
Inlandsch Reglement disebut HIR, sedangkan untuk daerah pulau Jawa dan
Madura diatur menjadi satu dengan Rechtsreglement Buitengeswesten atau Rbg.
Tata peradilan pada waktu Zaman Hindia Belanda diataur sebagai berikut :
a. Untuk pulau Jawa dan Madura berlaku peraturan organisasi Peradilan dan
kebijakan kehakiman di Hindia Belanda (Reglement op de Rechterlijke
Organisatie en het Beleid der Justitie disingkat R.O).
b. Untuk Luar pulau Jawa dan Madura berlaku peradilan daerah seberang
laut (Rechtsreglemetn Buitengewesten / Rbg).
Sedangkan dasar hukum berlakunya Arbitrase pada zaman kolonial
Belanda ini adalah pasal 377 HIR dan pasal 705 RBG yang berbunyi : “Jika orang
Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan
oleh juru pisah maka mereka wajib mentaati peraturan pengadilan perkara yang
berlaku bagi bangsa Eropa”.31
Jadi pasal ini jelas memberi kemungkinan bagi pihak-pihak yang
bersengketa untuk menyelesaikannya diluar pengadilan. Namun demikian HIR
maupun Rbg tidak membuat aturan tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan
31
tersebut, pasal 337 HIR, 705 Rbg langsung menunjuk aturan pasal-pasal yang
terdapat dalam Reglement hukum Acara Perdata (Reglement opde Burgerlijke
disingkat Rv. S 1847-52 jo 1849- 63).32
Dengan mengacu kepada adanya politik hukum yang membedakan tiga
kelompok tersebut diatas, bagi golongan Bumi Putera, hukum perdata material
yang berlaku pada dasarnya diterapkan hukum adat. Pengadilannya tunduk pada
pengadilan Landraad sebagai peradilan tingkat pertama. Hukum acara yang
dipergunakan adalah HIR untuk daerah pulau Jawa dan Madura dan Rbg untuk
derah luar pulau Jawa dan Madura (tanah seberang).
Bagi golongan Timur Asing dan Eropa, Hukum perdata Materil yang
berlaku adalah Burgerlijk Wetboek / BW (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
dan Wetboek van Kophandel / WvK (Kitab Undang Undang Hukum Dagang).
Hukum acaranya adalah Reglement Acara Perdata (RV).33
Pada zaman Hindia Belanda, arbitrase dipergunakan oleh para pedagang
baik sebagai eksportir mauapun importir dan pengusaha lainnya. Pada waktu itu
ada tiga badan arbitrase tetap yang dibentuk oleh pemerintah Belanda yaitu :
- Badan arbitrase bagai badan Ekspor hasil bumi Indonesia
- Badan arbitrase tentang kebakaran
- Badan arbitrase bagi asuransi kecelakaan.34
Pada waktu jepang masuk mengantikan kedudukan penjajahan belanda,
peradilan Raad Van Justitie dan residen tiegerecht dihapuskan. Jepang
membentuk satu macam peradilan yang berlaku bagi semua orang yang diberi
nama (Tiboo Hooin). Badan peradilan ini merupakan lanjutan dari Landraad.
Hukum acaranya tetap mengacu kepada HIR dan Rbg.35
Mengenai berlakunya arbitrase ini, pemerintah Jepang mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Balatentara Jepang yang menentukan bahwa “semua
badan-badan pemerintahan dan kekuasaan hukum dan undang-udang dari pemerintah
dahulu (Pemerintah Hindia Belanda) tetap diakui sah buat sementara asal tidak
bertentangan dengan aturan pemerintah militer Jepang.36
Kemudian untuk mencegah kevakuman hukum, pada waktu indonesia
merdeka diberlakukanlah aturan peralihan UUD 1945 tertanggal 18 Agustus 1945
yang menyatakan : “Segala Badan Negara dan peraturan yang ada langsung
berlaku, selama belum ada yang baru menurut UUD ini”
Pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden juga telah pengeluarkan peraturan
Nomor 2 yang dalam pasal (1) menyatakan : Segala Badan-badan Negara dan
peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945 selama belum diadakan yang baru menurut UUD masih
berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar tersebut”.
Maka demikianlah pada waktu itu, untuk penyelesaian sengketa melalui
Arbitrase tetap berlaku ketentuan HIR, Rbg dan Rv. Mengenai badan
peradilannya dibeberapa bagian RI yang dikuasai Belanda sebagai pengganti
peradilan zaman Jepang, diadakan landrechter untuk semua orang sebagai
peradilan sehari-hari dan Appelraad sebagai peradilan dalam perkara perdata
tingkat kedua. Selanjutnya pada waktu terjadinya Republik Indonesia Serikat,
35
Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit. hlm.15 36
landrechter ini manjadi Pengadilan Negeri sedangkan Appelraad menjadi
Pengadilan Tinggi, sesuai ketentuan yang berlaku didaerah-daerah yang tidak
pernah dikuasai oleh Pemerintah Belanda.37
Ketika berlakunya Undang Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 Tanggal
14 Januari 1951, maka pada dasarnya diseluruh indonesia hanya ada semacam
badan peradilan yaitu pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan
pengadilan tinggi sebagai pengadilan tingkat kedua atau manding dan Mahkamah
Agung sebagai pengadilan tingkat kasasi, namun diluar itu masih dikenal
pangadilan Adat dan Swapraja.
Pada zaman Republik Indonesia Serikat, menurut konstitusi yang berlaku
saat itu (konstitusi Republik Indonesia Serikat), dalam pasal 192 konstitusi RIS
tersebut dinyatakan bahwa :
a. Peraturan-peraturan, Undang Undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha
yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku (menurut Pasal 197
konstitusi RIS pada saat pemulihan kedaulatan, yaitu pada tanggal 27
Desember 1949) tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai
peraturan-peraturan dan ketentan-ketentuan RIS sendiri, selama ada sekedar
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah
atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas
kuasa konstitusi ini.
b. Pelanjutan peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentan tata
usaha yang sudah ada sebagai diterangkan dalam ayat 1 hanya berlaku,
37
sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan ini tidak
bertentangan dengan ketentuan Piagam Pemulihan Kedaulatan Status UNI,
Persetujuan peralihan ataupun persetujuan-persetujuan yang lain yang
berhubungan dengan pemulihan kedaulatan dan sekedar
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan konstitusi ini tidak memerlukan
peraturan-peraturan undang-undang atau tindakan menjalankan.38
Selanjutnya jika kita lihat ketentuan dalam Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 pasal 142 menyatakan bahwa : ‘Peraturan undang-undang dan
ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 agustus tahun
1950 tetap berlaku dengan dengan tidak berubah bagi peraturan-peraturan dan
ketentuan RI sendiri, selama peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan ini tidak dicabut, ditambah atau di ubah oleh undang-undang dan
ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang-Undang Dasar ini”.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa semua
peraturan-peraturan yang sudah ada sejak zaman penjajahan Hindia Belanda dulu selama
belum diubah, ditambah atau diganti masih tetap berlaku. Jadi ketentuan arbitrase
yang diatur dalam Rv juga masih tetap berlaku. Keadaan ini masih terus berlanjut
sampai dikeluarkannya Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.39
38
Ibid. hlm.17 39
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka
kedudukan dan kewenangan dari arbitrase di Indonesia sudah semakin jelas dan
kuat.40
Dari penjelasan yang tadi diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan yang
menyatakan bahwa semua peraturan-peraturan yang sudah ada pada masa
penjajahan Hindia Belanda dulu selama belum dirubah, ditambah atau diganti
masih tetap berlaku. Jadi ketentuan tentang arbitrase yang diatur dalam Rv juga
tetap berlaku. Dan secara Institusional sejarah perkembangan arbitrase di
Indonesia mendapatkan momentumnya pada tahun 1977 dengan terbentuknya
Badan Arbitrase Nasional pada tanggal 13 Desember 1977 Keadaan ini terus
berlanjut sampai dikeluarkannya Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang merupakan pondasi bagi
Penyelesaian Sengketa Alternatif Non Litigasi. 41
Dalam perkembangannya, saat ini arbitrase telah banyak digunakan
khususnya para pelaku usaha yang lebih memilih arbitrase sebagai alternatif
penyelesaian sengketa dikarenakan lebih efisien dalam segitu waktu, usaha, serta
kerahasiaannya dibanding dengan menyelesaikan sengketa menggunakan jalur
litigasi yakni melalui peradilan umum. Di satu segi, pelaksanaan arbitrase juga
membantu dalam mengurangi laju sengketa yang masuk ke pengadilan.
40 Munir Fuady,
Op.Cit, hlm.30 41
B. Unsur, Objek serta Jenis Arbitrase a. Unsur Arbitrase
Seperti yang telah diketahui sebelumnya, bahwa arbitrase adalah suatu
cara penyelesaian sengketa secara non-litigasi atau di luar peradilan yang di dasari
atas adanya perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak baik sebelum
ataupun sesudah terjadinya sengketa.
Dari defenisi atau pengertian tersebut dapat diambil suatu bagian
unsur-unsur dari arbitrase secara umum, yaitu meliputi :
a. penyelesaian sengketa
b. di luar peradilan umum
c. berdasarkan perjanjian tertulis42
Telah jelas bahwa pada poin c dikatakan bahwa unsur dari arbitrase adalah
berdasarkan perjanjian tertulis. Sebagaimana tertera di dalam pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 bahwa “perjanjian arbitrase adalah suatu
kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian
tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian
arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”. Dengan
adanya perjanjian arbitrase ini, berarti meniadakan hak para pihak yang
bersengketa untu mengajukan gugatan terhadap penyelesaian sengketa ke
Pengadilan Negeri.
Dikarenakan suatu perjanjian arbitrase dapat dibuat sebelum ataupun
sesudah terjadinya sengketa, maka bentuk klausula arbitrase pun dapat dibagi
42
menjadi dua bentuk yaitu klausula yang berbentuk pactum de compromittendo dan klausula yang berbentuk akta kompromis.
Klausula yang berbentuk pactum de compromittendo dibuat oleh para pihak dalam perjanjiannya sebelum timbulnya sengketa. Dalam hal ini para pihak
menyetujui atau menyepakati untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin akan
timbul atau terjadi dikemudian hari melalui arbitrase kepada lembaga arbitrase
ataupun arbitrase ad-hoc.
Pengaturan bentuk klausula pactum de compromittendo ini dapat dijumpai dalam pasal 27 Undang-Undang nomor 30 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa,
“para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi
antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase”. Sebelumnya diatur dalam
pasal 615 ayat (3) Rv yang menentukan “bahwa diperkenankan mengikat diri satu
sama lain, untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul di
kemudian hari, kepada pemutusan seorang atau beberapa orang wasit. Juga
dijumpai dalam pasal II ayat (2) Konvensi New York 1958 yang antara lain
menentukan “...the parties undertake to submit to arbitration all or any
differences....which may arise between them...”43
Suatu perjanjian arbitrase tidak dapat dibatalkan dikarenakan oleh hal-hal
sebagai berikut :
a. meninggalnya salah satu pihak
b. bangkrutnya salah satu pihak
c. novasi (pembaruan utang)
43
d. insolvensi atau keadaan tidak mampu membayar dari salah satu pihak
e. pewarisan
f. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok
g. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga
dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut
h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok44
Bentuk klausula lain adalah akta kompromis. Klausula ini dibuat setelah
timbul atau terjadinya sengketa. Pada perjanjian pokok yang telah dibuat
sebelumnya, para pihak belum mencantumkan klausula arbitrase, lalu setelah
terjadinya sengketa maka para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang
terjadi diantara mereka melalui arbitrase. Perjanjian mengenai hal tersebut dibuat
secara tersendiri serta terpisah dari perjanjian pokok yang mana di dalamnya
tertera mengenai penyerahan penyelesaian sengketa secara arbitrase.
Disimpulkan dari pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 bahwa
pembuatan suatu akta kompromis dapat diancam batal demi hukum jika tidak
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. pemilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase oleh para pihak
dilakukan setelah sengketa terjadi
b. persetujuan mengenai tata cara penyelesaian sengketa harus dibuat secara
tertulis, tidak boleh diperjanjikan secara lisan
44
c. harus ditandatangani oleh para pihak. Jika para pihak tidak dapat
menandatangani perjanjian tersebut maka perjanjian tersebut dibuat dalam
bentuk akta notaris.
d. Isi dari perjanjian harus memuat masalah yang dipersengketakan, nama
lengkap dan tempat tinggal para pihak, nama lengkap dan tempat tinggal
arbiter atau majelis arbiter, tempat arbiter atau majelis arbiter akan
mengambil keputusan, nama lengkap sekretaris, jangka waktu
penyelesaian sengketa, pernyataan kesediaan arbiter serta pernyataan
kesediaan para pihak untuk menanggung segala biaya yang dibutuhkan
untuk penyelesaian sengketa.
Secara umum, klausula arbitrase akan mencakup :
1. Komitmen/kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrase
2. Ruang lingkup arbitrase
3. Apakah arbitrase akan berbentuk arbitrase institusional atau ad.hoc.
apabila memlikih bentuk ad.hoc, maka klausula tersebut merinci metode
penunjukan arbiter atau majelis arbitrase
4. Aturan prosedural yang berlaku
5. Tempat dan bahasa yang digunakan dalam arbitrase
6. Pilihan hukum substantif yang berlaku bagi arbitrase
7. Klausula-klausula stabilitasi dan hak kekebalan (imunitas).45
Menilik penjelasan yang telah diuraikan diatas, dapat diambil kesimpulan
bahwa unsur perjanjian tertulis tersebut merupakan ciri khas penyelesaian
45
sengketa melalui arbitrase. Karena tanpa adanya perjanjian tertulis yang dibuat
antara para pihak yang bersengketa, penyelesaian sengketa tidak dapat
diselesaikan melalui jalan arbitrase.
Berbicara tentang perjanjian, maka pembuatan perjanjian atau klausula
arbitrase juga tunduk pada aturan yang tertera di dalam hukum perjanjian pada
Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Jadi, sah atau tidaknya perjanjian arbitrase tidak terlepas dari syarat-syarat
sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata.46
b. Objek Arbitrase
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, objek memiliki arti hal, perkara,
atau orang yg menjadi pokok pembicaraan.
Berdasarkan pengertian objek tersebut, dapat ditarik suatu pemahaman
bahwa yang menjadi objek arbitrase adalah hal-hal yang dibahas dalam arbitrase
atau hal-hal yang dapat diselesaikan melalui jalan arbitrase.
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar
pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian
sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hanyalah sengketa di bidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
46