KECAMATAN CIGOMBONG, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT
DADANG WAHYU JUNIARWOKO
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penerapan LEISA pada Usahatani Padi Sehat dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Usahatani di Gapoktan Harapan Maju dan Gapoktan Silih Asih, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2014
Dadang Wahyu Juniarwoko
1
Sehat dan Pengaruhnya terhadap Pendapatan Usahatani di Gapoktan Harapan Maju dan Gapoktan Silih Asih, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI.
Usahatani Padi Sehat di Gapoktan Silih Asih dan Harapan Maju
merupakan usahatani low input dan konsep pertanian low input yang dikenal
secara umum adalah Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA).
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi penerapan prinsip-prinsip LEISA pada usahatani Padi Sehat, mengukur tingkat penerapan dan faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan LEISA, serta mendeskripsikan pengaruhnya terhadap produktivitas dan pendapatan usahatani padi di Gapoktan Silih Asih dan Harapan Maju, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan hasil penelitian, usahatani Padi Sehat merupakan usahatani LEISA. Tingkat penerapan LEISA petani Padi Sehat lebih tinggi dari petani non Padi Sehat. Penerapan LEISA di Gapoktan Silih Asih dan Harapan Maju dipengaruhi oleh status penguasaan lahan dan status keanggotaan kelompok tani . Peningkatan penerapan LEISA pada usahatani, secara signifikan akan meningkatkan pendapatan petani, pengembalian atas modal, dan efisiensi usahatani.
Kata kunci: LEISA, faktor-faktor, padi, pendapatan usahatani, penerapan
ABSTRACT
DADANG WAHYU JUNIARWOKO. LEISA Implementation on Padi Sehat Farming and Its Effects on Farm Income in Gapoktan Harapan Maju and Gapoktan Silih Asih, Cigombong, Bogor, West Java. Supervised by NUNUNG KUSNADI.
Padi Sehat farming in Gapoktan Harapan Maju and Silih Asih is a low input farming, and the low input concept that has been widely acknowleged is Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA). This study was conducted to identify the implementation of LEISA principles in Padi Sehat farming practice, to measure the level and to seek the determinants of LEISA implementation, and also to describe its effect on farm production and farmer income in Gapoktan Harapan Maju and Silih Asih. The result of this research
indicated that Padi Sehat farming was a LEISA farming. Padi Sehat farmers’s
implementation level of LEISA was higher than that of non-Padi Sehat farmers’s.
LEISA Implementation in Gapoktan Harapan Maju and Silih Asih was affected by land tenure, and membership of farmer group. The implementation of LEISA on farming would significantly increase farmer income, return on capital, and farm efficiency.
KECAMATAN CIGOMBONG, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT
Dadang Wahyu Juniarwoko
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai kaya akhir dengan judul Penerapan LEISA Pada Padi Sehat dan Pengaruhnya terhadap Pendapatan Petani di Gapoktan Harapan Maju dan Gapoktan Silih Asih, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat sebagai salah satu syarat kelulusan pada Program Alih Jenis Agribisnis Institut Pertanian Bogor. Laporan ini merupakan hasil penelitian penulis yang dilaksanakan di Desa Ciburuy dan Desa Pasir Jaya, Kabupaten Bogor.
Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih secara tertulis sebagai bentuk penghargaan kepada kedua orang tua tercinta yang telah memberikan dukungan, doa, dan materi yang mengantarkan penulis menuju satu titik menuju masa depan, Bapak Dr Ir Nunung Kusnadi MS sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga berterimakasih kepada Ibu Dr Ir Dwi Racmina, MSi sebagai dosen penguji utama dan Ibu Eva Yolynda Aviny, Sp MM sebagai dosen penguji akademik yang telah banyak memberikan saran, pengelola dan sekretariat Departemen Agribisnis yang telah banyak membantu dalam perihal-perihal akademik, dan petani-petani Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian dan membantu dalam pengumpulan data, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Bogor, Mei 2014
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR ii
DAFTAR TABEL ii
DAFTAR LAMPIRAN iii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
Ruang Lingkup Penelitian 4
TINJAUAN PUSTAKA 5
Penerapan Low External Input and Sustainable Agriculture (LEISA) pada
Usahatani Padi dan Pengaruhnya terhadap Pendapatan Usahatani 5
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerapan LEISA dan Teknologi Baru
pada Usahatani Padi 6
Metode Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerapan Teknologi
pada Usahatani 9
KERANGKA PEMIKIRAN 10
Kerangka Pemikiran Teoritis 10
Kerangka Pemikiran Operasional 17
METODE PENELITIAN 20
Lokasi dan Waktu Penelitian 20
Metode Pengambilan Sampel 20
Jenis dan Sumber Data 20
Metode Pengumpulan Data 21
Metode Pengolahan dan Analisis Data 21
Definisi Operasional 30
GAMBARAN UMUM 30
Gapoktan Harapan Maju dan Gapoktan Silih Asih 30
Karakteristik Petani Responden 31
HASIL DAN PEMBAHASAN 37
Penerapan LEISA di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju 37
Pandangan Petani Padi Terhadap Padi Sehat 42
Tingkat Penerapan LEISA di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan
Maju 43
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Penerapan LEISA oleh Petani
Padi 47
Pengaruh Penerapan LEISA Terhadap Produktivitas dan Pendapatan
Usahatani 52
SIMPULAN DAN SARAN 64
Simpulan 64
Saran 65
DAFTAR PUSTAKA 65
LAMPIRAN 68
DAFTAR GAMBAR
1 Pengaruh teknologi baru terhadap fungsi produksi 15
2 Kerangka Pemikiran Operasional 19
DAFTAR TABEL
1 Jenis Data dan Sumber data Penelitian 20
2 Perhitungan Keuntungan Usahatani 22
3 Uji d Durbin-Watson: Aturan Keputusan 25
4 Karakteristik responden berdasarkan status usahatani padi, di Gapoktan
Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju tahun 2013 31
5 Jumlah petani responden berdasarkan kelompok usia, di Gapoktan Silih
Asih dan Gapoktan Harapan Maju tahun 2013 32
6 Jumlah petani responden berdasarkan tingkat pendidikan, di Gapoktan
Silih Asih dan Gapoktan harapan Maju tahun 2013 33
7 Statistik deskriptif data luasan lahan yang dikelola petani padi, di
Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju tahun 2013 34
8 Karakteristik petani berdasarkan status penguasaan lahan, di Gapoktan
Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju tahun 2013 35
9 Karakteristik responden berdasarkan ukuran keluarga, di Gapoktan Silih
Asih dan Gapoktan Harapan Maju tahun 2013 35
10 Statistik deskriptif data pendapatan per bulan dari luar usahatani keluarga petani padi, di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan harapan
Maju tahun 2013 36
11 Motivasi responden menanam Padi Sehat, di Gapoktan Silih Asih dan
Gapoktan Harapan Maju tahun 2013 43
12 Persentase jumlah petani penerap setiap komponen LEISA, di Gapoktan
Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju tahun 2013 44
13 Statistik deskriptif tingkat penerapan LEISA, di Gapoktan Silih Asih
dan Gapoktan Harapan Maju tahun 2013 46
14 Tingkat penerapan LEISA petani responden, di gapoktan Silih Asih dan
Gapoktan Harapan Maju tahun 2013 46
15 Model regresi linier berganda faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penerapan LEISA pada usahatani padi, di Gapoktan Silih Asih dan
Harapan Maju Tahun 2013 49
16 Statistik deskriptif data produtivitas usahatani padi petani responden, di
Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013 52
17 Statistik deskriptif data penerimaan usahatani padi responden, di
Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013 53
18 Biaya usahatani padi petani responden, di Gapoktan Silih Asih dan
19 Alokasi biaya tenaga kerja luar keluarga pada usahatani padi petani
responden, di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013 58
20 Statistik deskriptif data pendapatan tunai usahatani padi petani
responden, di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013 59
21 Statistik deskriptif data pendapatan total usahatani padi petani
responden, di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013 60
22 Analisis efisiensi usahatani padi petani responden, di Gapoktan Silih
Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013 60
23 Alokasi Tenaga Kerja Dalam Keluarga dalam Usahatani Padi, di
Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013 62
24 Analisis pengembalian atas modal opersional pada usahatani padi petani
responden, di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013 63
25 Analisis pengembalian atas tenaga kerja pada usahatani padi petani
responden, di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013 64
DAFTAR LAMPIRAN
1 Pertumbuhan Jumlah Penduduk dan Konsumsi Beras di Indonesia Tahun
2008-2012* 68
2 Laju Pertumbuhan Produksi Beras di Indonesia Tahun 2008-2012 68
3 Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Indonesia Tahun 1968,
1976, 1986, dan 1996 69
4 Data Input Regresi Sekaligus Karakteristik Responden 70
5 Data Tingkat Penerapan LEISA pada Usahatani Padi Responden 71
6 Hasil Analisis Regresi Linier Berganda 72
7 Data rata-rata analisis usahatani padi di Gapoktan Silih Asih dan
Gapoktan Harapan Maju 75
8 Output Uji-t Sampel Bebas 76
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Seiring dengan pertumbuhan populasi, permintaan nasional terhadap beras pun meningkat. Laju pertumbuhan populasi Indonesia tiap tahunnya mulai tahun 2010 mencapai 1,49 persen per tahun, dengan jumlah penduduk di tahun itu
mencapai 237.641.326 jiwa1. Artinya diperkirakan pada tahun 2013 jumlah
penduduk indonesia adalah 248.422.956 jiwa (Lampiran 1). Konsumsi beras per kapita per tahun Indonesia adalah 139 kg per kapita pertahun maka kebutuhan beras tiap tahunnya meningkat 490-506 ribu ton dan diperkirakan akan mencapai 34,53 juta ton beras pada tahun 2013. Bila pemerintah menargetkan surplus 10 juta ton sebagai cadangan beras maka total kebutuhan beras nasional pada 2013
mencapai 44,53 juta ton2.
Laju pertumbuhan konsumsi beras tersebut masih belum bisa diimbangi oleh pertumbuhan produksi beras nasional. Produksi beras rata-rata dari tahun 2008 hingga 2012 tumbuh sekitar 3,47 persen (Lampiran 2). Bila diasumsikan pada 2013 terjadi peningkatan yang sama dengan yang terjadi pada 2012 maka produksi beras tahun 2013 diperkirakan sekitar 40,76 juta ton. Defisit 3,77 ton dari kebutuhan nasional yang diperkirakan dan defisit tersebut oleh pemerintah biasanya diatasi dengan impor beras.
Solusi yang pernah dicetuskan pemerintah dalam meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan beras nasional adalah program-program intesifikasi produksi padi yang dimulai sekitar tahun 1963. Program-program tersebut antara lain program Pertanian Terapan pada tahun 1963, program Demonstrasi Masal pada tahun 1964, dan pada tahun 1965 program Bimbingan Masal (Bimas) dan Intensifikasi Masal (Inmas) yang berskala nasional. Serangkaian program intensifikasi produksi padi tersebut mempunyai prinsip yang sama dan hanya berbeda dalam implementasinya. Prinsip-prinsip tersebut adalah (a) penyuluhan intensif agar petani menanam varietas unggul, menggunakan pestisida dan pupuk sintetis lebih banyak, dan mempraktikan teknologi budidaya yang lebih baik dan tata air yang teratur; (b) pengadaan sarana produksi yang dibutuhkan;(c) pengaturan kredit bagi petani; dan (d) stabilisasi harga dan perbaikan pemasaran (Oudejans, 2006).
Prinsip penggunan pupuk dan pestisida anorganik secara besar-besaran yang dianut oleh program intensifikasi produksi padi saat itu, juga dikenal dengan
istilah High External Input Agriculture (HEIA). HEIA merupakan prinsip inti dari
revolusi hijau. Selain memiliki ketergantungan pada input kimia, HEIA juga memiliki ketergantungan pada benih unggul dan sistem irigasi. Sistem pertanian ini membutuhkan modal relatif besar ketimbang sistem pertanian tradisional,
karena sebagian besar input diperoleh dengan membeli (Reijntjes et al, 2006).
1
http://www.bps.go.id/tab_sub/excel.php?id_subyek=12%20¬ab=2
(diakses 14 Mei 2013)
2
http: // www.setneg.go.id/index.php? option= com_content&task= view&id=
HEIA diakui mampu meningkatkan produktivitas padi selama periode diterapkannya dan meningkatkan produksi nasional. Pertama kali dipublikasikan oleh pemerintah pada tahun 1966, petani yang menerapkan HEIA di Indonesia melalui program Bimas memperoleh hasil dua kali lebih banyak yaitu 4,9 ton per hektar, dibandingkan rata-rata hasil petani yang tidak menerapkan HEIA. Mulai saat itu produksi padi nasional terus meningkat hingga mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Titik pencapaian produksi tertinggi terjadi pada 1996 dan menghasilkan 51,16 juta ton gabah dengan produktivitas rata-rata 4,51 ton per hektar (Lampiran 3).
Kenaikan produktivitas karena penerapan HEIA sayangnya tidak berkelanjutan. Penggunaan bahan organik secara berkepanjangan menyebabkan penurunan kandungan bahan organik di dalam tanah yang mengakibatkan
kesuburan tanah berkurang. Salah satu contoh diberikan oleh Sugito et al (1995),
produktivitas tebu pada periode 1990-an adalah sekitar 10 ton per hektar, berada di bawah produktivitas tebu yang pernah dicapai sebelum 1940 yaitu 16 ton per hektar. Padahal, pada saat itu varietas unggul yang ditanam mampu berproduksi hingga 20 ton per hektar. Hal tersebut dikarenakan pemakaian pupuk anorganik tanpa diiringi pengembalian bahan organik ke dalam tanah.
Pemanfaatan input anorganik dalam sistem HEIA selain menyebabkan penurunan produktivitas juga memiliki dampak buruk terhadap ekologi dan kesehatan manusia. Satu contoh, pestisida anorganik yang digunakan secara berlebihan akan menyebabkan resistensi hama terhadap dosis pestisida yang diaplikasikan. Oleh karena itu, dibutuhkan dosis yang lebih besar untuk mematikan hama tersebut. Sementara kandungan bahan pestisida semisal
Dichloro Diphenyl Trichloretane (DDT) yang mencemari tanah, air, atau tanaman lain akan termakan oleh hewan dan masuk ke dalam rantai makanan yang puncaknya adalah manusia (Ekha, 1991). DDT yang tertimbun di dalam tubuh dapat menyebabkan penyakit bahkan kematian. Contoh lain, pada penerapan
pupuk anorganik, menurut Reijntjes et al (2006) pemakaian pupuk anorganik
menyebabkan peningkatan dekomposisi bahan organik dalam tanah yang kemudian menyebabkan degradasi kesuburan tanah. Lebih lanjut dijelaskan, aplikasi yang tidak seimbang dari pupuk nitrogen menyebabkan penurunan pH tanah dan menyebabkan kekeringan pada tanaman.
Mengatasi kondisi ketidakberlanjutan sistem HEIA lahir konsep pertanian ramah lingkungan yang meminimalkan input anorganik dan mengoptimalkan sumber daya organik yang tersedia di lingkungan sekitar (FAO, 1996). Sistem
pertanian yang bernama umum Low External Input Sustainable Agriculture
(LEISA) ini merupakan konsep pertanian perintisan dari pertanian konvensional ke pertanian organik. Mengenai seberapa rendah porsi penggunaan input anorganik dalam sistem LEISA tidak dibakukan. Namun, karena merupakan
sistem “pertengahan” antara pertanian konvensional dan organik, maka semakin
rendah porsi penggunaan input kimia maka semakin baik.
dengan produktivitas pertanian konvensional, sistem LEISA akan menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi jika padi sistem LEISA dijual dengan harga yang lebih tinggi.
Penerapan LEISA di Indonesia menurut FAO (1996) tercatat sejak awal periode 1990-an. Pada saat itu penerapan LEISA dianggap sebagai solusi yang menjanjikan untuk meningkatkan produktivitas petani padi berskala kecil. Namun, penerapan LEISA masih kurang diminati oleh petani sebab kurangnya insentif ekonomi untuk produk padi LEISA. Minat masyarakat kala itu untuk produk sehat dan ramah lingkungan masih rendah. Maka di kalangan petani pun lebih memilih untuk menerapkan sistem HEIA yang sudah dianggap memiliki kepastian harga dan hasil (FAO, 1996).
Manfaat ekonomi dari penerapan LEISA pada usahatani, berdasarkan penelitian terdahulu, adalah positif. LEISA yang diterapkan pada usahatani padi di beberapa daerah di Indonesia semisal di Kecamata Tempura, Kabupaten karawang dan di Desa Ponggang, Kabupaten Serang, terbukti menguntungkan. Bahkan, pendapatan usahatani padi LEISA di dua daerah tersebut lebih tinggi daripada pendapatan usahatani padi konvensional. Namun, penelitian-penelitian mengenai manfaat ekonomi LEISA terhadap usahatani masih sedikit. Oleh karena itu, penting untuk meneliti mengenai manfaat penerapan LEISA terhadap usahatani di daerah-daerah yang mempunyai indikasi menerapkan LEISA.
Perumusan Masalah
Berdasarkan penelitian terdahulu, di Desa Ciburuy dan Desa Pasir Jaya
terdapat petani-petani padi yang menerapkan pertanian low input. Petani-petani
tersebut tergabung dalam Gapoktan Silih Asih di Desa Ciburuy dan Gapoktan
Harapan Maju di Desa Pasir Jaya. Pertanian low input tersebut dikenal dengan
sebutan “Padi Sehat” (Situmeang, 2012). Penerapan low input pada usahatani Padi
Sehat tergambar dari praktek pengurangan porsi penggunaan pupuk kimia yang digunakan, digantikan dengan pupuk organik buatan petani, serta tidak lagi digunakannya pestisida kimia dan digantikan oleh penggunaan pestisida nabati
yang juga dibuat sendiri oleh petani (Gultom, 2011). Karena konsep pertanian low
input yang dikenal luas adalah konsep Low External Input Sustainable Agriculture
(LEISA). Maka timbul pertanyaan yaitu apakah konsep low input Padi Sehat
dapat dideskripsikan dengan menggunakan prinsip-prinsip LEISA ? Bila terbukti benar usahatani Padi Sehat menggunakan konsep LEISA, maka bagaimana tingkat penerapan LEISA oleh setiap petani Padi Sehat ? Selain itu apakah petani-petani non Padi Sehat juga menerapkan LEISA ? Bila petani-petani non Padi Sehat terbukti menerapkan LEISA seberapa tinggi tingkat penerapannya ? Jika terdapat variasi tingkat penerapan LEISA oleh setiap petani tersebut maka akan timbul pertanyaan tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat penerapan LEISA pada usahatani padi ?
Selain itu, menurut hasil penelitian terdahulu terdapat dua pola pengaruh
penerapan konsep low input Padi Sehat terhadap pendapatan di Desa Ciburuy dan
Desa Pasir Jaya. Pola pertama menunjukkan bahwa pendapatan usahatani Padi
Sehat, yang merupakan usahatani low input, bernilai positif bahkan lebih besar
Situmeang 2012). Kedua pola pengaruh tersebut mengindikasikan adanya variasi
pengaruh tingkat penerapan low input terhadap keuntungan usahatani Padi Sehat
di Desa Ciburuy dan Desa Pasir Jaya. Indikasi tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana pengaruh tingkat penerapan LEISA (bila terbukti konsep
low input Padi Sehat adalah LEISA) terhadap keuntungan usahatani Padi Sehat ?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan di atas. Adapaun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Membuktikan sesuai tidaknya tujuan kegiatan-kegiatan dalam budidaya
Padi Sehat dengan prinsip-prinsip dasar LEISA.
2.
Mengukur tingkat penerapan LEISA pada usahatani padi sawah diGapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju.
3. Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan LEISA pada
padi sawah di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju.
4. Mengukur pengaruh tingkat penerapan LEISA terhadap keuntungan
usahatani di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan menjadi masukan bagi berbagai pihak yang terkait dengan pengembangan usahatani padi dengan konsep LEISA, antara lain:
1. Petani, sebagai bahan masukan dan bahan pertimbangan dalam
menentukan sistem pertanian yang digunakan dalam usahataninya.
2. Penulis, sebagai sarana mengaplikasikan ilmu-ilmu yang didapatkan dari
bangku kuliah dan mendapatkan tambahan wawasan dan pengalaman dari kasus nyata di lapangan.
3. Akademisi dan peneliti, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumber
informasi dan referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan dalam batasan wilayah Desa Ciburuy dan Desa Pasir Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Komoditas yang diteliti adalah padi sawah, Padi Sehat maupun non Padi Sehat, dan respondennya adalah petani-petani padi di Desa Pasir Jaya dan Desa Ciburuy. Analisa pendapatan usahatani Padi Sehat akan disertai dengan ukuran penampilan
usahatani lainnya yaitu imbalan kepada seluruh modal (return to total capital),
imbalan kepada modal petani (return to equity capital), dan imbalan kepada
tenaga kerja (return to labor). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
TINJAUAN PUSTAKA
Penerapan Low External Input and Sustainable Agriculture (LEISA) pada Usahatani Padi dan Pengaruhnya terhadap Pendapatan Usahatani
Penerapan sistem LEISA pada suatu daerah bisa berbeda dengan daerah lain. FAO (1996)-pun tidak mempunyai prosedur baku penerapan sistem LEISA. Seperti dari segi besarnya porsi input luar yang masih digunakan, teknik budidaya, pola proteksi tanaman dan sebagainya. Asalkan prinsip sistem pertanian yang diterapkan menganut prinsip sistem LEISA maka sistem pertanian tersebut bisa disebut sistem LEISA walaupun bisa saja menggunakan terminologi lain. Seperti halnya penerapan sistem LEISA untuk model pekarangan yang dilaporkan
oleh Cai (1995, dalam Mugnisjah et al, 2000) di China tidak menggunakan istilah
LEISA. Perbedaan tipe penerapan sistem LEISA antar daerah diduga akan mengakibatkan perbedaan dampaknya terhadap perbaikan ekologi dan pendapatan petani.
Petani Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, mengadopsi sistem LEISA namun dengan intensitas penggunaan input eksternal yang beragam (Wijaya, 2002). Petani-petani padi yang menerapkan LEISA menerima pendapatan yang setara dengan padi konvensional, walaupun mendapatkan penerimaan yang lebih kecil dari petani konvensional. Hal ini disebabkan berkurangnya biaya tunai petani padi LEISA karena sebagian input eksternal digantikan dengan input organik yang dibuat petani.
Penerapan sistem LEISA pada padi sawah tercatat juga dilakukan oleh petani-petani di Desa Ponggang Kecamatan Sagalaherang Kabupaten Subang, Jawa Barat. Format pertanian yang diusahakan oleh kelompok tani di Desa Ponggang tersebut diberi istilah Pertanian Ramah Lingkungan. Pola pertanian ramah lingkungan menjadi alternatif untuk mengakomodasi permasalahan petani kecil terkait pengadaan input produksi (Ubaydillah, 2008). Pertanian Ramah Lingkungan dalam prakteknya menekan penggunaan input kimia dan menggantikannya dengan input organik seperti pupuk kompos dan pestisida nabati. Pupuk kimia daun masih diaplikasikan ke tanaman dalam pertanian ramah lingkungan, tapi pupuk anorganik seperti urea, TSP, KCL, dan sejenisnya sama sekali tidak digunakan tapi digantikan dengan pupuk bokashi dan pupuk kompos. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan teknik budidaya dan pestisida nabati. Pestisida nabati terbuat dari bahan-bahan alami yang mudah didapat dari lingkungan sekitar seperti gadung dan daun mimba.
Pola perbedaan penerapan sistem LEISA di suatu daerah dengan daerah yang lain terletak pada porsi penggunaan input kimia terhadap total seluruh input yang digunakan untuk keperluan nutrisi tanaman serta pengendalian hama dan penyakit. Ada petani LEISA seperti di Kecamatan Tempura yang masih menggunakan pupuk kimia dalam porsi yang cukup besar yaitu sekitar 30-50% (Wijaya, 2002). Namun, ada pula petani daerah lain seperti di Desa Ponggang yang sudah meninggalkan penggunaan pupuk kimia padat sama sekali dan hanya menggunakan pupuk kimia cair untuk daun yang porsinya sangat kecil (Ubaydillah, 2008).
Usahatani padi yang menerapkan sistem LEISA umumnya memiliki tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibanding tingkat keuntungan usahatani padi konvensional. Hal tersebut dikarenakan beberapa hal seperti:
1. Output usahatani padi sistem LEISA mempunyai harga jual yang lebih tinggi
daripada harga output usahatani padi konvensional. Dalam tingkat output dan biaya yang sama pendapatan petani padi sistem LEISA akan lebih besar (Sari, 2011).
2. Biaya yang dikeluarakan petani padi sistem LEISA, terutama untuk input
kimia, lebih kecil dibandingkan petani padi konvensional. Dengan pengurangan biaya ini maka dalam tingkat penerimaan yang sama pendapatan petani sistem LEISA akan lebih besar ketimbang petani padi konvensional (Wijaya, 2002) .
3. Tingkat output yang dihasilkan usahatani padi sistem LEISA lebih tinggi dari
yang dihasilkan oleh usahatani padi konvensional. Sehingga penerimaan usahatani padi sistem LEISA otomatis lebih besar dari usahatani padi konvensional. Pada selisih tingkat biaya yang tidak jauh lebih besar dibandingkan selisih penerimaan, maka pendapatan petani padi sistem LEISA jauh lebih tinggi dibanding pendapatan petani padi konvensional (Ubaydillah, 2008).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerapan LEISA dan Teknologi Baru pada Usahatani Padi
LEISA secara umum merupakan teknologi dan cara pandang baru bagi petani. Karenanya, menurut definisi Soekartawi (1988) tentang inovasi, LEISA dapat digolongkan sebagai inovasi. Penelitian-penelitian terdahulu pun dalam menentukan faktor-faktor penduga yang mempengaruhi penerapan LEISA maupun teknologi baru lain menggunakan dasar teori penerapan inovasi. Faktor-faktor penduga tersebut antara lain terdiri dari Faktor-faktor sosial, Faktor-faktor situasional, faktor kultural dan faktor personal (Lionberger, 1968).
Filho et al (1998) menjelaskan faktor-faktor ekonomi dan non ekonomi yang meningkatkan kemungkinan penerapan LEISA pada usahatani adalah keikutsertaan petani pada organisasi petani, kontak petani dengan lembaga pertanian swadaya, kesadaran akan efek negatif dari bahan kimia terhadap kesehatan dan lingkungan, keandalan tenaga kerja keluarga, dan lahan yang subur. Sedangkan faktor-faktor yang dapat menurunkan kemungkinan penerapan LEISA
pada usahatani adalah peningkatan skala usahatani. Ditambahkan oleh Filho et al
(1998) penurunan tingkat harga output pertanian meningkatkan kecenderungan penerapan LEISA pada usahatani.
Bila dibandingkan, faktor-faktor penduga yang mempengaruhi penerapan LEISA dan faktor-faktor penduga yang mempengaruhi penerapan teknologi pertanian lain pada usahatani padi tidak akan jauh berbeda. Karenanya faktor-faktor penduga yang mempengaruhi teknologi pertanian selain LEISA diduga bisa menjadi faktor-faktor penduga yang mempengaruhi penerapan LEISA pada usahatani. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan teknologi pada usahatani antara lain:
a. Faktor personal: umur, lama pendidikan formal, dan lama pendidikan non
formal non formal (Basuki, 2008; Rosa, 2002; dan Novarianto, 1999).
b. Faktor sosial: kekosmopolitanan (Rosa, 2002)
c. Faktor situasional: luas lahan, status penguasaan lahan, rasio pendapatan
dari usahatani padi terhadap total pendapatan rumah tangga, tingkat keuntungan usahatani, tingkat produktivitas usahatani, harga gabah, tingkat pengalaman usahatani, dan biaya tenaga kerja (Basuki, 2008, Novarianto, 1999; Yuliarmi, 2006; Rosa, 2002; dan Surya, 2002).
d. Faktor kultural: pandangan petani mengenai utang usahatani, pandangan
petani mengenai pentingnya pendidikan, pandangan petani mengenai kebebasan menentukan pilihan (Pedersen, 1951; dalam Lionberger 1968). Faktor personal yang mempengaruhi adopsi inovasi menurut hasil penelitian Basuki (2008), Rosa (2002), dan Novarianto (1999), adalah umur, lama pendidikan formal, dan lama pendidikan non formal. Dijelaskan bahwa umur mempunyai pengaruh negatif terhadap adopsi inovasi pada usahatani padi, artinya semakin tua petani maka kemungkinan petani tersebut untuk mengadopsi inovasi akan semakin kecil. Sedangkan lama pendidikan baik formal maupun non formal mempunyai pengaruh positif terhadap adopsi inovasi pada usahatani padi, berarti semakin tinggi tingkat pendidikan fomal atau non formal semakin tinggi pula kemungkinan petani tersebut untuk mengadopsi inovasi. Menurut Rosa (2002) dan Novarianto (1999) pendidikan non formal yang digunakan dalam pengukuran adalah adalah lama pendidikan non formal yang pernah diikuti oleh individu yang berhubungan dengan pertanian, seperti penyuluhan pertanian, seminar pertanian, kursus pertanian, dan latihan pertanian. Akan tetapi, lebih lanjut Novarianto (1999) menjelaskan untuk petani dengan lama pendidikan 1-6 tahun tingkat kemungkinan petani untuk mengadopsi inovasi adalah tidak berbeda. Karena kemampuan untuk menerima teknologi antara lama pendidikan 1-6 tahun biasanya tidak berbeda jauh.
penyuluh pertanian, frekuensi diskusi pertanian dengan petani luar desa, dan frekuensi memperoleh informasi dari majalah pertanian, radio, dan televisi. Variabel pendidikan, menariknya, digolongkan Jumri dan Effendi (2007) sebagai faktor sosial sementara sebagian peneliti lain seperti Rosa (2002), Novarianto (1999), Yuliarmi (2006) dan Surya (2002), menggolongkannya sebagai faktor personal. Penggololongan variabel pendidikan sebagi faktor sosial mengikuti teori yang dikemukakan oleh Lionberger (1968), bahwa pendidikan bisa merupakan
suatu ukuran status sosial bagi masyarakat tertentu (status factor). Semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang semakin tinggi pula kedudukannya dalam tingkatan prestise di masyarakatnya. Menjadikannya seorang panutan dalam pengambilan risiko dan cara memandang hal baru di masyarakat. Sementara itu peneliti lainnya menggolongkan variabel pendidikan sebagai faktor personal mengikuti asumsi bahwa pendidikan yang lebih tinggi akan membawa pada sikap menerima inovasi yang lebih baik.
Faktor situasional yang mempengaruhi adopsi inovasi adalah luas lahan, status penguasaan lahan, rasio pendapatan dari usahatani padi terhadap total pendapatan rumah tangga, tingkat keuntungan usahatani, tingkat produktivitas usahatani, harga gabah, dan biaya tenaga kerja (Basuki (2008), Novarianto (1999), Yuliarmi (2006), Rosa (2002), dan Surya (2002)). Variabel-variabel selain biaya tenaga kerja dan status penguasaan lahan berpengaruh positif terhadap kemungkinan adopsi inovasi. Sedangkan variabel biaya tenaga kerja yang menyertai inovasi tersebut berpengaruh negatif terhadap kemungkinan adopsi inovasi. Variabel tingkat keuntungan inovasi yang dijelaskan oleh Novarianto (1999) bisa juga digolongkan sebagai sifat atau atribut inovasi mengacu pada Roger (1971). Roger (1971) menjelskan bahwa tingkat adopsi inovasi bisa dipengaruhi oleh tingkat keuntungan relatif yang akan diterima oleh calon pengadopsi bila mengadopsi suatu inovasi. Pada variabel status penguasaan lahan yang dipaparkan oleh Basuki (2008) terdiri atas petani pemilik lahan dan bukan pemilik lahan. Petani bukan pemilik lahan terbukti memiliki kemungkinan untuk mengadopsi inovasi lebih tinggi ketimbang petani pemilik lahan. Menurut Basuki (2008) petani bukan pemilik lahan mempunyai kewajiban atas biaya lahan dan sebagian atau seluruh biaya produksi lainnya. Sehingga petani bukan pemilik lahan mempunyai harapan lebih besar untuk bisa meningkatkan pendapatannya melalui adopsi inovasi.
keterjaminan dan keamanan yang diidolakan baik orang tua maupun pemuda di Polandia. Singkatnya masyarakat petani Polandia sangat terpaku pada kebiasaan, tradisi, dan skeptis terhadap alternatif. Membuat inovasi pertanian menjadi lebih mudah diterima di Denmark daripada di Polandia.
Metode Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerapan Teknologi pada Usahatani
Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan
teknologi pada usahatani menggunakan alat-alat analisis statistik Spearman Rank
Correlation, regresi logistik, dan chi square. Uji korelasi Rank Spearman dan Chi Square digunakan oleh Jumri dan Effendi (2007), Effendi (2001), Riyadi (2003),
Kartono (2009), Novarianto (1999), dan Rosa (2002). Uji Chi Square digunakan
untuk menganalisa signifikansi korelasi dari tingkat penerapan teknologi dengan masing-masing faktor sosial dan karektiristik petani, dengan taraf nyata sebesar
lima persen. Sedangkan, uji Rank Spearman digunakan untuk mengetahui tingkat
hubungan antara tingkat penerapan atau adopsi teknologi dengan masing-masing
variabel dari faktor sosial dan karakteristik petani. Menurut Firdaus et al (2011)
variabel-variabel yang digunakan dalam uji korelasi Rank Spearman harus
minimal mencapai tingkat pengukuran ordinal. Jumri dan Effendi (2007) menggolongkan tingkat penerapan teknologi ke dalam 3 tingkatan yaitu rendah, sedang, dan tinggi, sedangkan variabel faktor sosial yaitu pendidikan, umur, dan profesi keturunan juga diurutkan dengan urutan rendah, sedang, dan tinggi. Sedangkan Effendi (2001) membagi lagi variabel penerapan teknologi ke dalam variabel-variabel yaitu penggunaan bibit unggul, pengolahan tanah, pemupukan, pengairan, pengendalian hama dan penyakit, dan pasca panen. Masing-masing variabel tersebut diurutkan berdasarkan tingkatan penerapan yang terdiri dari tingkat rendah, sedang, dan tinggi.
Pada uji Chi Square analisa signifikansi hubungan dilakukan antara dua
variabel dengan taraf nyata sebesar lima persen. Bila variabel tersebut terbukti
berhubungan nyata, analisa dilanjutkan dengan uji korelasi Rank Spearman untuk
tingkat keeratan dan arah korelasi antara dua variabel tersebut. Tanda positif pada
koefisien korelasi Rank Spearman menunjukkan kedua variabel berkorelasi searah
sedangkan tanda negatif diartikan kedua variabel berkorelasi berlawanan arah.
Besaran mutlak koefisen korelasi Rank Spearman menyatakan kekuatan korelasi
dari dua variabel. Secara umum, bila koefisien korelasi dibawah 0,4 dapat diartikan sebagai korelasi lemah, koefisien korelasi bernilai lebih dari 0,6 diartikan korelasi kuat, dan nilai koefisien korelasi diantara kedua nilai standar
tersebut dikategorikan sebagai korelasi sedang Firdaus et al (2011). Uji Rank
Spearman bisa saja dilakukan tanpa didahului oleh uji Chi Square seperti dalam
penelitian Riyadi (2003), uji signifikansi dilakukan dengan menggunakan P-value
yang dibandingkan dengan nilai taraf nyata yang diinginkan. Bila nilai P-value
berada di bawah nilai taraf nyata yang diinginkan maka korelasi antara dua
variabel yang diuji adalah nyata, sebaliknya bila P-value berada di atas nilai taraf
nyata yang diinginkan maka korelasi antara dua variabel yang diuji adalah tidak nyata.
Berbeda dengan uji Chi Square dan Rank Spearman yang menguji satu per
secara serentak atau secara simultan. Variabel yang dijelaskan atau variabel tak
bebas dalam regresi logistik merupakan peubah dengan skala numerik Firdaus et
al (2011). Regresi logistik yang digunakan untuk menduga faktor-faktor yang
mempengaruhi penerapan atau adopsi teknologi pada usahatani adalah regresi logistik biner (Surya, 2002; Basuki, 2008; Prayitno, 2012; dan Yuliarmi, 2006). Disebut regresi logistik biner karena peubah tak bebasnya hanya terdiri dari dua nilai diskontinyu yaitu 0 dan 1. Dua nilai tersebut dalam kasus adopsi teknologi pada usaha pertanian melambangkan keputusan petani untuk menerapkan (1) dan keputusan petani untuk tidak menerapkan (0). Variabel penjelas atau variabel bebas yang digunakan dalam penelitian tentang adopsi inovasi pada usahatani adalah faktor personal atau karakteristik petani, faktor sosial, faktor situasional, dan sifat dari inovasi (Surya, 2002; Basuki, 2008; Prayitno, 2012; dan Yuliarmi, 2006).
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
LEISA merupakan alternatif untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh sistem pertanian konvensional. Kelemahan tersebut mulai dari ketidakefisensian penggunaan input kimia, penurunan produktivitas pada jangka panjang, sampai ke dampak buruk yang ditimbulkannya bagi ekosistem. Namun agar LEISA ini dapat diterapkan secara luas, konsep LEISA membutuhkan daya tarik dari aspek ekonomi. Potensi peningkatan pendapatan merupakan salah satu insentif ekonomi yang dapat menarik minat petani untuk mau menerapkan sistem LEISA pada usahataninya. Selain itu terdapat faktor-faktor non ekonomi lain yang mempengaruhi petani untuk menerapkan atau tidak menerapkan konsep LEISA.
Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA)
LEISA didefinisikan sebagai pengembangan pertanian dengan
mengoptimalkan penggunaan input internal dan menggunakan input eksternal sebagai input pelengkap dan digunakan secara efisien (FAO, 1996). Input internal yang dioptimalkan penggunaannya dalam sistem LEISA didefinisikan sebagai input yang diambil dari usahatani itu sendiri, misalnya energi matahari, air hujan, sedimen, nitrogen yang diikat dari udara; atau input yang dihasilkan sendiri oleh petani misalnya tenaga hewan, papan kayu, pupuk kandang, sisa tanaman, pupuk hijau, pakan ternak, tenaga kerja keluarga, dan pengalaman-pengalaman belajar. Sedangkan input eksternal adalah input yang didapatkan dari luar usahatani, seperti pupuk kimia, pestisida kimia, tenaga kerja luar keluarga, bahan bakar minyak, benih atau bibit unggul, air irigasi, alat dan mesin pertanian, serta informasi pertanian. Input eksternal didapatkan dengan cara membeli atau
menukarkannya langsung dengan hasil pertanian (Reijntjes et al 2006). Kedua
jenis input ini dalam sistem LEISA dikombinasikan untuk mengkonservasi dan memperkuat sumber daya alam, meningkatkan dan menstabilkan produktivitas serta menghindari dampak buruk terhadap lingkungan.
panjang. LEISA berupaya untuk mempertahankan, bila mungkin meningkatkan sumber daya alam, serta memanfaatkan proses-proses alami secara maksimal. Juga dicari cara-cara untuk memperoleh kembali nutrisi yang diambil dari usahatani ke pasar. Nutrisi tersebut biasanya diperoleh kembali dengan cara
mendaur ulang biomasa yang dihasilkan dari usahatani (Mugnisjah et al 2000).
Penggunaan input eksternal yang ditekan dalam sistem LEISA mengurangi risiko ekologis. Diharapkan karakteristik ekosistem yang tercipta dari penerapan LEISA akan produktif dan berkelanjutan. Karena sistem yang tercipta memiliki fungsi ekologik yang baik akibat adanya peran komplementer dan sinergik dari aneka spesies tanaman, hewan, dan mikroorganisme yang menghasilkan masukan internal dan menciptakan fungsi protektif.
Menurut Reijntjes et al (2006) terdapat lima prinsip ekologi dasar yang dapat dijadikan panduan dalam menerapkan LEISA, yaitu:
1. Menjamin kondisi tanah yang mendukung bagi pertumbuhan tanaman,
terutama dengan mengelola bahan-bahan organik dan meningkatkan kehidupan agen hayati dalam tanah.
2. Mengoptimalkan ketersediaan unsur hara dan menyeimbangkan arus unsur
hara, terutama dengan menanam tanaman pengikat nitrogen, mendaur ulang unsur hara, dan menggunakan pupuk kimia sebagai pelengkap.
3. Meminimalkan kehilangan akibat radiasi matahari, udara, dan air (misalnya
terjadi penguapan berlebihan, kebanjiran, rebah, dan kekeringan) dengan cara pengelolaan iklim mikro, pengelolaan air, dan pengendalian erosi.
4. Meminimalkan serangan hama dan penyakit terhadap tanaman dan hewan
melalui pencegahan dan perlakuan yang aman dari ekologis maupun kesehatan manusia.
5. Penggunaan sumber daya genetik secara komplementer dan sinergis dengan
mempertahanan tingkat biodiversitas yang tinggi.
Penerapan LEISA di setiap antara satu daerah dengan daerah lain dapat berbeda dan bisa jadi memakai terminologi yang berbeda pula. Penerapan prinsip-prinsip LEISA tergantung oleh keterbatasan-keterbatasan sumber daya dan keadaan sosioekonomis yang dimiliki oleh daerah setempat. FAO (1996) tidak membakukan seberapa rendah porsi input eksternal yang digunakan dalam LEISA. FAO juga tidak membakukan LEISA sebagai istilah untuk sistem pertanian ini. Istilah lain yang biasa digunakan untuk menyebut sistem pertanian ini seperti pertanian ekologis, sistem pertanian terpadu intensif, pengembangan berkelanjutan dari sistem usahatani rumah tangga, pendekatan terintegrasi untuk pengembangan pedesaan, pertanian berkelanjutan untuk pengembangan, pengembangan berkelanjutan untuk pertanian, dan pertanian ramah lingkungan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerapan LEISA
LEISA secara umum merupakan teknologi dan cara pandang baru bagi petani. Karena teknologi dan cara pandang baru merupakan inovasi (Soekartawi, 1988) maka LEISA juga dapat digolongkan sebagai inovasi. Teori-teori yang dijadikan pendekatan untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan LEISA adalah teori menganai faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi.
Keputusan untuk mengadopsi suatu inovasi merupakan proses mental individu yang terjadi melalui serangkaian tahapan dari pengetahuan awal sampai ke keputusan untuk mengadopsi atau menolak suatu inovasi dan memantapkan keputusannya tersebut (Rogers dan Shoemaker, 1971). Keputusan pengadopsian inovasi berbeda dengan jenis proses pengambilan keputusan lainnya. Individu selalu dihadapkan pada alternatif yang bersifat baru yaitu inovasi selain alternatif-alternatif lainnya yang sudah ada. Maka sifat kebaruan dari inovasi itulah yang menjadi pembeda pengambilan keputusan pengadopsian inovasi dengan jenis pengambilan keputusan lainnya.
Rogers dan Shoemakers (1971) mengajukan model keputusan inovasi yang terdiri dari empat tahap. Model ini menggantikan model keputusan inovasi sebelumnya yang dirasa terlalu sederhana. Model keputusan inovasi tradisional diberi nama proses adopsi yang terdiri dari lima tahap yaitu tahap kesadaran, tahap ketertarikan, tahap evaluasi, tahap percobaan, dan tahap adopsi. Sedangkan empat tahapan yang diajukan Rogers dan Shoemakers (1971) adalah tahap
pengetahuan (knowledge), tahap persuasi (persuasion), tahap keputusan
(decision), dan tahap konfirmasi (confirmation). Kemudian Rogers (1971) mengajukan kembali model keputusan inovasi yang terdiri dari lima tahapan yaitu:
1. Tahap pengetahuan (knowledge), terjadi pada saat individu atau unit
pengambilan keputusan lainnya terpapar oleh keberadaan inovasi dan mendapat sejumlah pemahaman mengenai inovasi tersebut.
2. Tahap persuasi (persuasion), terjadi saat individu atau unit pengambilan
keputusan lainnya membentuk sikap setuju atau tidak setuju terhadap inovasi.
3. Tahap keputusan (decision), terjadi saat individu melakukan
kegiatan-kegiatan yang mengarahkannya kepada keputusan untuk mengadopsi atau menolak inovasi.
4. Tahap penerapan (implementation), terjadi saat individu atau unit
pengambilan keputusan lainnya menerapkan inovasi tersebut.
5. Tahap konfirmasi (confirmation), terjadi saat individu atau unit
pengambilan keputusan lainnya mencari dukungan atas keputusan adopsi yang telah dibuat namun bisa jadi malah merubah keputusannya bila terpapar oleh pesan yang bertentangan tentang inovasi.
Banyak faktor yang mempengaruhi keputusan individu yaitu faktor atribut-atribut yang dimiliki oleh inovasi itu sendiri, faktor sosial, faktor kultural, faktor personal, dan faktor situasional (Rogers dan Shoemaker, 1971; dan Lionberger,
1968). Atribut-atribut inovasi merupakan “nilai” inovasi di mata calon
1. Keuntungan relatif (relative advantage), adalah sebuah ukuran untuk menunjukkan sejauh mana suatu inovasi lebih baik dari pada ide-ide yang sudah ada. Ukuran dari keuntungan relatif sering kali ditunjukkan dengan tingkat keuntungan ekonomi, tapi mungkin saja diukur dari dimensi selain ekonomi.
2. Kompatibilitas (compatibility) adalah ukuran dari inovasi dari segi
kesesuaiannya terhadap nilai-nilai yang ada, pengalaman, dan kebutuhan dari calon pengadopsi. Sebuah ide yang sesuai dengan karakteristik utama dari sebuah sistem sosial tentunya akan lebih mudah diadopsi dibanding ide yang tidak sesuai dengan karakteristik sistem sosial tersebut.
3. Kompleksitas (complexity) adalah tingkat kesulitan relatif dari suatu ide
untuk dipahami dan digunakan. Makin mudah suatu teknologi dimengerti dan dipraktekkan makin cepat tingkat pengadopsian ide tersebut.
4. Triabilitas (triability) adalah tingkat kemungkinan ide tersebut bisa
dicobakan pada kondisi yang terbatas. Artinya, bisa tidaknya suatu inovasi diterapkan dalam skala percobaan untuk meyakinkan calon pengadopsinya. Inovasi yang bisa dieksperimenkan merupakan inovasi yang mengandung risiko yang lebih rendah bagi calon pengadopsi dibandingkan inovasi yang tidak bisa dieksperimenkan.
5. Observabilitas (obseravibility), adalah tingkat visibilitas hasil dari inovasi bagi calon pengadopsi. Inovasi yang hasilnya mudah dilihat dan diterangkan kepada calon pengadopsi akan mempunyai tingkat pengadopsian yang lebih tinggi.
Faktor sosial merupakan faktor yang mempengaruhi calon pengadopsi yang pengaruhnya berasal dari lingkungan sosial calon pengadopsi. Variabel-variabel dari faktor sosial antara lain (Lionberger, 1968):
1. Kelompok lokal (locality group), kelompok lokal terdiri dari orang-orang
dalam suatu daerah yang biasanya tidak terlalu besar yang mengembangkan rasa saling memiliki atau rasa kebersamaan. Orang-orang dalam kelompok lokal cenderung untuk lebih suka bersosialisasi dengan orang-orang dari dalam kelompok lokalnya dibandingkan dari luar kelompok lokalnya. Sosiologis mengemukakan dua bentuk kelompok lokal yang umum yaitu lingkungan tetangga dan komunitas.
2. Keluarga (family), anggota keluarga sering kali merupakan sumber referensi
dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan mengadopsi suatu inovasi. Nilai-nilai keluarga yang berpengaruh positif terhadap penerimaan inovasi antara lain:
a. Keinginan untuk mencapai tingkat pendidikan yang tinggi bagi
anak-anak mereka, dan memprioritaskan tujuan pengeluaran untuk operasional usahatani.
b. Status sosial dan partisispasi dalam kelompok sosial formal dianggap
penting.
c. Prioritas tinggi dalam tujuan keluarga adalah pemenuhan kelengkapan
dan kenyamanan rumah tangga.
3. Klik sosial (social cliques), merupakan sekelompok kecil orang yang saling
ketertarikan dan menganut nilai-nilai yang sama dan tidak digolongkan atas keberadaannya pada suatu daerah.
4. Kelompok referensi (reference group) adalah kelompok yang menjadi acuan
seseorang dalam membentuk opini, membuat penilaian, atau memutuskan tindakan. Kelompok referensi bisa jadi para peneliti, institusi tertentu, atau bahkan sanak keluarga, tergantung kepada siapa yang paling banyak memberikan informasi dan paling berpengaruh.
5. Kelompok formal (formal groups), kelompok formal memiliki ciri-ciri
adanya pemilihan pengurus, penunjukkan panitia, dan merencanakan program. Kelompok formal atau bisa disebut juga sebagai organisasi mempunyai tujuan untuk mempercepat penyebarluasan informasi pertanian.
6. Faktor status (status factor), atau dikenal juga dengan status sosial
merupakan tata nilai yang dianut masyarakat yang didasari misalnya pada kepemilikan lahan, tingkat pendidikan, penghormatan, dan sebagainya. Tata cara penilaian ini mempengaruhi tata cara penyampaian informasi. Karena masyarakat dalam proses menerima inovasi selain melihat isi informasinya juga melihat status sosial orang yang menyampaikan informasi tersebut.
Faktor kultural adalah faktor yang berasal dari tata nilai dan sikap yang dianut oleh masyarakat atau individu. Kultur atau budaya mempengaruhi sesorang dalam proses pengambilan keputusan adopsi karena berhubungan dengan cara pandang seseorang terhadap inovasi. Misalnya di suatu wilayah memiliki pandangan bahwa memiliki usahatani tanpa utang adalah suatu hal yang baik dan dijunjung tinggi. Padahal hal tersebut terbukti berhubungan negatif dengan tingkat adopsi inovasi (Lionberger, 1968).
Faktor personal merupakan faktor penting lain dalam adopsi inovasi. Perbedaan kecepatan adopsi antara satu orang dengan orang lain berhubungan dengan kualitas atau keadaan individu itu sendiri. Variabel-variabel umum yang tercakup dalam faktor personal antara lain (Lionberger, 1968):
1. Umur. Petani yang lebih tua mempunyai kecenderungan kurang melakukan
adopsi inovasi. Namun bukanlah hal yang mutlak bahwa petani muda selalu melakukan adopsi inovasi, karena petani muda tersebut bisa jadi kapabilitas dan kesempatan untuk melakukannya. Bisa jadi petani muda bukan merupakan pemilik lahan dan keputusan untuk mengadopsi inovasi hanya dimiliki oleh pemilik lahan.
2. Pendidikan. Secara umum pendidikan dipercaya membentuk sikap mental
individu yang mudah menerima perubahan dan inovasi.
3. Karakteristik psikologis. Karakteristik psikologis personal yang
berhubungan dengan tingkat adopsi inovasi antara lain rasionalitas, keluwesan mental, dogmatisme, dan orientasi usahatani.
Faktor situasional menggambarkan situasi yang dimiliki atau dihadapi oleh petani saat terpapar oleh keberadaan inovasi. Faktor situasional mempunyai variabel-variabel yaitu (Lionberger, 1968):
1. Pendapatan usahatani. Hubungan antara pendapatan usahatani dengan
tingkat adopsi inovasi biasanya positif. Semakin tinggi insentif yang dijanjikan oleh suatu inovasi (dalam ukuran pendapatan usahatani) semakin tinggi pula minat petani untuk mengadopsi inovasi tersebut.
2. Skala usahatani. Skala usahatani biasanya juga berpengaruh positif terhadap
skala ekonominya memenuhi syarat untuk melakukan pengembangan usaha dan berpeluang lebih untuk mengadopsi teknologi baru.
3. Status penguasaan lahan. Pemilik lahan memiliki keleluasaan dalam
mengambil keputusan untuk mengadopsi suatu inovasi. Lain halnya dengan petani penggarap yang membutuhkan persetujuan pemilik lahan sebelum mencoba atau menggunakan inovasi.
4. Prestise di masyarakat. Prestise merupakan faktor status atau status sosial
tapi tata nilai prestise tersebut bisa berbeda antar daerah, tergantung pada jenis tata nilai yang dianut masyarakatnya. Maka prestise di masyarakat juga bersifat situasional.
5. Tingkat kesejahteraan. Terdapat anggapan umum bahwa adopsi inovasi
merupakan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan dan mestinya kedua hal tersebut berhubungan positif.
6. Sumber informasi yang digunakan usahatani. Terlepas dari hubungan kausal
dan kondisi-kondisi yang mengganggu terpaparnya ide-ide baru dan penerapan ide-ide tersebut, jumlah sumber informasi yang digunakan atau frekuensi kontak dengan sumber informasi berhubungan positif dengan tingkat adopsi inovasi.
Sifat dari Inovasi. Kecepatan terjadinya adopsi inovasi tergantung pada sifat dari inovasi itu sendiri. Secara umum semakin rumit suatu inovasi dan semakin banyaknya perubahan yang dibutuhkan pada usahatani yang sudah ada dalam penerapan inovasi, semakin lambat proses adopsi inovasi tersebut.
Pengaruh Teknologi terhadap Efisiensi dan Produktivitas Usahatani
LEISA dapat dikatakan sebagai teknologi baru, walaupun didalamnya terdapat praktek pertanian yang sudah lama dikenal namun praktek-praktek tersebut digabungkan untuk memenuhi prinsip-prinsip LEISA yang merupakan sebuah konsep baru. Hubungan antara penerapan teknologi baru LEISA dengan efisensi usahatani dalam penelitian ini didasari oleh teori pengaruh tingkat teknologi terhadap produksi yang dikemukakan oleh Doll dan Orazem (1984). Menurut Doll dan Orazem (1984) kemajuan teknologi akan meningkatkan efisiensi input, artinya tingkat output yang sama dapat dihasilkan dari tingkat input yang lebih rendah (Gambar 1).
Gambar 1 Pengaruh teknologi baru terhadap fungsi produksi Y1
Y2
X Output
Input TP1
Kemajuan teknis akan menggeser kurva produksi dari TP1 ke TP2 yang
memperlihatkan tingkat keluaran tertentu sekarang dapat diproduksi dengan
masukkan yang lebih sedikit. Menggunakan K unit input, produksi dengan
penerapan teknolgi baru akan menghasilkan Y2 unit produk, sedangkan tanpa
penerapan teknologi baru tingkat produksi hanya di Y1 . Teori ini sesuai bila
digunakan sebagai teori dasar dari pengaruh LEISA terhadap produksi usahatani sebab LEISA mempunyai prinsip penggunaan input eksternal yang lebih rendah yaitu input kimia dan tenaga kerja luar keluarga. Input yang dikurangi pada LEISA adalah input-input yang dibeli atau input-input tunai maka efisiensi input yang terjadi pada LEISA adalah efisiensi input-input tunai.
Pendapatan Usahatani
Besarnya pendapatan yang didapatkan petani dari suatu usahatani merupakan salah satu indikator penting yang menjadi motivasi petani dalam memilih suatu usahatani. Semakin besar pendapatan yang diterima petani semakin tercukupi kebutuhan hidup rumah tangganya dan meningkatkan taraf hidupnya. Pendapatan, menurut Soeharjo dan Patong (1973; dalam Wijaya, 2002) merupakan balas jasa dari kerjasama faktor-faktor produksi seperti lahan, tenaga kerja, modal dan manajemen oleh petani. Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan usahatani, baik tunai maupun tidak tunai, dengan biaya total yang dikeluarkan untuk keperluan operasional usahatani. Perubahan nilai inventaris atau kekayaan usahatani selama kurun waktu tertentu juga termasuk ke
dalam pendapatan (Soekartawi et al, 1986).
Terdapat beberapa ukuran pendapatan usahatani meliputi (Soekartawi et
al, 1986):
1. Pendapatan tunai usahatani (farm net cash flow) adalah selisih antara
penerimaan tunai usahatani dan pengeluaran tunai usahatani. Ukuran pendapatan ini hanya memperlihatkan besarnya uang tunai yang dihasilkan usahatani. Produk usahatani yang tidak dijual tidak diperhitungkan dalam ukuran pendapatan ini.
2. Pendapatan kotor usahatani (gross farm income) merupakan nilai produk
total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun tidak dijual. Produk yang tidak dijual umumnya dipergunakan untuk keperluan konsumsi rumah tangga petani, untuk bibit atau makanan ternak, pembayaran, dan disimpan. Istilah lain untuk pendapatan kotor usahatani
adalah nilai produksi (value of production) atau penerimaan kotor usahatani
(gross return).
3. Pendapatan bersih usahatani (net farm income) adalah selisih antara
pendapatan kotor usahatani dan pengeluaran total usahatani. Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diterima oleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi operasional, manajemen, modal milik dan atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani. Pendapatan bersih yang sudah dikurangi dengan bunga dari modal pinjaman
disebut penghasilan bersih usahatani (net farm earnings). Bila modal
usahatani seluruhnya berasal dari modal sendiri maka pendapatan bersih usahatani sekaligus merupakan penghasilan bersih usahatani.
diketahui besaran pengeluaran usahatani dan penerimaan usahatani. Definisi pengeluaran usahatani adalah nilai semua input produksi yang habis terpakai atau dikeluarkan dalam proses produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja dalam
keluarga (Soekartawi et al, 1986). Pengeluaran usahatani dapat dibedakan
menjadi pengeluaran tunai usahatani (farm payment), pengeluaran tidak tetap
(variable cost atau direct cost), dan pengeluaran tetap (fixed cost). Pengeluaran tunai usahatani adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa keperluan usahatani. Pengeluaran tidak tetap adalah pengeluaran untuk tanaman atau ternak tertentu dan jumlahnya berubah berbanding lurus mengikuti besarnya produksi tanaman atau ternak tersebut. Pengeluaran tetap adalah pengeluaran usahatani yang tidak bergantung pada besarnya produksi. Pengeluaran tunai merupakan bagian dari pengeluaran tetap dan tidak tetap hanya saja pengeluaran tunai menghitung pengeluaran baik tetap maupun tidak tetap yang dibayarkan dengan uang tunai tidak dengan natura.
Penerimaan usahatani merupakan hasil perkalian dari jumlah output yang diproduksi oleh usahatani dengan harga per output yang berlau di pasar. Penerimaan usahatani dibedakan menjadi penerimaan tunai dan penerimaan kotor usahatani. Penerimaan tunai usahatani adalah jumlah uang yang diterima dari hasil penjualan produk usahatani, jadi tidak termasuk di dalamnya produk yang dikonsumsi keluarga, produk yang dijadikan alat pembayaran dalam bentuk natura, dan produk yang disimpan. Pendapatan kotor usahatani dapat digolongkan juga sebagai penerimaan karena merupakan nilai produk yang dihasilkan usahatani diukur dengan mengalikannya dengan harga yang berlaku di pasar.
Selain itu terdapat ukuran penampilan usahatani yang lebih rinci yang diperhitungkan berdasarkan pendapatan usahatani yaitu imbalan kepada seluruh
modal operasional (return to total operational capital), imbalan kepada modal
operasional petani (return to equity operational capital), dan imbalan kepada
tenaga kerja dalam keluarga (return to family labor). Imbalan kepada seluruh
modal merupakan rasio dari pendapatan bersih usahatani terhadap seluruh modal baik modal sendiri maupun modal pinjaman, biasanya dinyatakan dalam bentuk persen. Imbalan kepada modal didapat dengan merasiokan pendapatan bersih usahatani terhadap seluruh modal sendiri, hasilnya juga dinyatakan dalam bentuk persen. Imbalan tenaga kerja keluarga didapat dengan cara membagi penghasilan bersih usahatani dengan jumlah total HOK dari tenaga kerja dalam keluarga.
Imbalan per HOK (return per man) yang didapat dibandingkan dengan imbalan
atau upah di luar usahatani.
Kerangka Pemikiran Operasional
Penerapan LEISA di suatu daerah berbeda dengan daerah lainnya karena LEISA belum mempunyai prosedur standar dalam penerapannya (FAO, 1996). Belum ada aturan baku baik mengenai seberapa rendah porsi input luar yang digunakan, cara pengolahan input organik, jenis input kimia yang masih digunakan, maupun teknik pengendalian hama tertentu yang harus dilakukan dalam sistem LEISA. Perbedaan penerapan tersebut diduga akan menyebabkan perbedaan dampak terhadap lingkungan dan produktivitas. Karena adanya
perbedaan “dampak baik” ini, diduga juga akan menyebabkan perbedaan tingkat
pendapatan petani.
Desa Ciburuy dan Desa Pasir Jaya di Kecamatan Cigombong diduga juga juga mengusahatanikan padi dengan sistem LEISA. Karena prinsip pengembangan LEISA didasarkan pada kebutuhan dan sumber daya lokal, maka LEISA yang diterapkan pada usahatani padi di Desa Ciburuy dan Desa Pasir Jaya akan juga berbeda dengan LEISA yang diterapkan di daerah lain. Maka pada penelitian ini akan dideskripsikan kegiatan usahatani padi LEISA yang dilakukan di Desa Ciburuy dan Pasir Jaya. Juga dianalisa pengaruh penerapan LEISA tersebut terhadap pendapatan petani padi yang mengusahakannya dan dibandingkan dengan pendapatan petani padi konvensional. Selain pendapatan usahatani ukuran penampilan usahatani lainnya yang akan diukur adalah imbalan
atas seluruh modal operasional (return to total operational capital), imbalan
kepada modal petani (return to farm equity operational capital), dan imbalan
kepada tenaga kerja dalam keluarga (return to familiy labor). Juga akan dianalisa
faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penerapan LEISA pada usahatani padi dengan menggunakan regresi linear berganda.
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Operasional
Dibutuhkan sistem pertanian yang dapat memperbaiki ekologi yang terdegradasi tapi tetap berproduksi tinggi.
- Dua Prinsip Utama LEISA
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Pasir Jaya dan Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Desa Pasir Jaya dan Desa Ciburuy dipilih sebagai lokasi penelitian sebab di kedua desa tersebut terdapat sejumlah petani yang telah berusahatani Padi Sehat, yang diduga menerapkan prinsip LEISA, sejak lebih dari 5 tahun lalu. Namun terdapat pula petani padi yang masih berusahatani secara konvensional. Penelitian ini berlangsung pada bulan Juli-September 2013.
Metode Pengambilan Sampel
Populasi yang akan dijadikan objek penelitian adalah usahatani-usahatani padi di Desa Pasir Jaya dan Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Informasi tentang petani-petani yang merupakan petani-petani Padi Sehat dan non Padi Sehat didapatkan dari Ketua Gapoktan harapan Maju dan Silih Asih. Jumlah sampel yang didapatkan dari proses pengambilan sampel adalah sebanyak 32 sampel yang terdiri dari 17 sampel usahatani Padi Sehat dan 15 sampel usahatani non Padi Sehat.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya (Nazir 2011). Data primer yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara langsung kepada responden. Data primer mencakup data ciri individu responden (karakteristik responden), ciri usahatani responden dan ciri eksternal responden (Tabel 1). Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang lain yang melakukan penelitian dengantujuan yang berbeda dengan peneliti atau dari sumber-sumber yang telah ada (Nazir 2011). Data sekunder dikumpulkan dari Departemen Pertanian, BPS Indonesia, Jurnal, buku dan hasil penelitian terdahulu (Tabel 1).
Tabel 1. Jenis Data dan Sumber data Penelitian
Jenis Data Sumber Ket.
Primer
- Penggunaan Input Petani Juli-September 2013
- Harga Input Petani Juli-September 2013
- Kegiatan Usahatani Petani Juli-September 2013
- Produksi/Panen Petani Juli-September 2013
- Harga Output Petani Juli-September 2013
- Keuangan Keluarga Petani Petani Juli-September 2013
- Karakteristik Petani dan Keluarga Petani Petani Juli-September 2013
- Karateristik Teknologi Usahatani Petani Juli-September 2013
Sekunder
Jenis Data Sumber Ket.
- Data Produksi Beras Deptan Mei 2013
- Luas Panen, Produksi dan Produktivitas
Padi
Hasil
Penelitian Mei 2013
- Faktor-Faktor yang Mempengruhi
Penerapan Inovasi
Hasil
Penelitian Mei 2013
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara diskusi serta wawancara langsung dengan responden dan pihak-pihak yang terkait tentang penerapan LEISA di Desa Ciburuy dan Desa Pasir Jaya. Wawancara dengan responden dengan menggunakan kuesioner panduan yang berisikan daftar-daftar pertanyaan yang relevan dengan tujuan penelitian. Data sekunder diperoleh melalui pencarian data dari internet dan pencarian pustaka yang terkait dengan penelitian di perpustakaan.
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Analisis data merupakan bagian yang sangat penting dalam metode ilmiah, karena dapat memberikan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian (Nazir, 2011). Pengolahan data dari lapang dilakukan dengan cara dengan menghitung dan merata-ratakan seluruh data dari responden yang dibedakan menjadi dua kelompok yaitu petani padi yang terdaftar menerapkan LEISA (Padi Sehat) pada usahataninya dan petani padi yang tidak menerapkan LEISA (non Padi Sehat) pada usahataninya yang selanjutnya akan dianalisis. Hasil analisis data dalam penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif.
Data Kuantitatif disajikan menggunakan tabel data frekuensi dan persentase. Data kuantitatif diolah dengan menggunakan alat hitung atau
kalkulator dan dengan bantuan komputer yaitu menggunakan software microsoft
excel 2007 dan software SPSS 17. Analisis kualitatif dianalisis secara deskriptif untuk mengambarkan petani padi di Desa Pasir Jaya dan Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor.
Analisis Pendapatan Usahatani
Tabel 2. Perhitungan Keuntungan Usahatani hektar agar dapat dilakukan perbandingan antara satu petani dengan petani yang lain. Kemudian masing-masing kelompok petani padi yang menerapkan sistem LEISA pada usahataninya dan petani padi yang tidak menerapkan sistem LEISA pada usahataninya dihitung nilai rata-rata setiap biaya dan penerimaan untuk menggambarkan pendapatan secara umum dari kedua kelompok tersebut.
Perhitungan keuntungan usahatani merupakan perhitungan balas jasa terhadap penggunaan faktor-faktor produksi (lahan, modal, tenaga kerja dan pengelolaan). Tingkat keuntungan usahatani bisa tergambar dari nilai pendapatan usahatani, nilai penghasilan bersih usahatani, imbalan atas seluruh modal, imbalan atas modal petani, dan imbalan atas tenaga kerja keluarga. Cara mendapatkan nilai
pendapatan usahatani (net farm income) adalah dengan mengurangkan seluruh
penerimaan usahatani (gross farm income) dengan total biaya usahatani. Bila
sebagian modal usahatani diperoleh dari utang, maka perlu menghitung
penghasilan bersih usahatani (net farm earnings) yang diperoleh dengan cara
mengurangkan pendapatan usahatani dengan bunga utang usahatani. Bila modal usahatani seluruhnya merupakan modal sendiri maka nilai pendapatan usahatani juga merupakan nilai penghasilan bersih usahatani (Soekartawi 1995).