• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Perubahan Kelembagaan dan Dampak Pengganda (Multiplier Effect) Pengembangan Kawasan Wana Wisata (Studi Kasus: Gunung Galunggung, Kabupaten Tasikmalaya)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Perubahan Kelembagaan dan Dampak Pengganda (Multiplier Effect) Pengembangan Kawasan Wana Wisata (Studi Kasus: Gunung Galunggung, Kabupaten Tasikmalaya)"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

NASITA LIRA HENDARTINA

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

ANALISIS PERUBAHAN KELEMBAGAAN DAN DAMPAK

PENGGANDA (

MULTIPLIER EFFECT

) PENGEMBANGAN

KAWASAN WANA WISATA

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Perubahan Kelembagaan dan Dampak Pengganda (Multiplier Effect) Pengembangan Kawasan Wana Wisata (Studi Kasus: Gunung Galunggung, Kabupaten Tasikmalaya) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

(4)
(5)

ABSTRAK

NASITA LIRA HENDARTINA. Analisis Perubahan Kelembagaan dan Dampak Pengganda (Multiplier Effect) Pengembangan Kawasan Wana Wisata di Gunung Galunggung, Kabupaten Tasikmalaya. Dibimbing oleh ACENG HIDAYAT. Gunung Galunggung adalah gunung yang terletak di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat dengan kawasan wana wisata yang menarik. Pengelolaan Kawasan Wana Wisata Gunung Galunggung mengalami perkembangan melalui perubahan tata kelola sehingga dapat mempengaruhi efektivitas, hubungan antara stakeholder, dan dampak ekonomi yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan tata kelola kelembagaan melalui tahap inisiasi dimulai dengan tahap diskusi, kemudian tahap pembentukan dengan dibentuknya Memorandum of Understanding (MOU) antara pihak pengelola, dan sosialisasi melalui penyuluhan. Efektivitas kelembagaan dinilai melalui persepsi dari dua jenis responden yaitu anggota organisasi dan anggota non-organisasi. Efektivitas dinilai berdasarkan substansi kelembagaan dan dampak ekologi yang dihasilkan. Sebagian besar hasil persepsi menunjukan tingkat persepsi baik dan sedang, hanya segi aksesibilitas ke lokasi wisata yang menunjukan hasil tidak baik dan kurang baik. Stakeholder yang terlibat berjumlah tujuh stakeholder yang ditentukan berdasarkan identifikasi stakeholder melalui informasi key person dan perbedaan kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholder. Dampak ekonomi yang dihasilkan diantaranya kesempatan kerja, peningkatan pendapatan asli daerah, dan peningkatan pendapatan masyarakat sekitar. Dampak ekonomi dihitung melalui analisis multiplier effect dihasilkan Keynesian Income Multiplier sebesar 1.36, Ratio Income Multiplier I sebesar 1.37, dan Ratio Income Multiplier II sebesar 1.49.

(6)

Effect Wana Wisata Deveploment Area, Galunggung Mountain, Tasikmalaya Regency. Supervised by ACENG HIDAYAT.

Mount Galunggung is located in Tasikmalaya Regency, West Java. It classified into ecotourism area that attract tourists for a wide range of tourist activities that offered. Ecotourism area in Galunggung which growing through institution changes. Institutional change in management can influence effectiveness, relationships between stakeholders, and the resulting economic impact. The objective of this research is to analyze institutional changes, where there is a change in institution through the initiation phase which begins with discussion stage, then formation stage by the establishment of the Memorandum of Understanding (MOU) between managers, and socialization through counseling. Institutional effectiveness assessed through perceptions that consists of two types of respondents, i.e members of the institutional and non-institutional members. Institutional effectiveness assessed based on the substance and the resulting ecological impacts. Most of the perception showed that the level of perception both good and moderate, just in terms of accessibility to tourist sites that show the results are not good and less good. There are seven stakeholders selection considered to identification from informants on the study area and assessed based on the importance and influence of each stakeholder. The economic impacts these resulted such as job opportunities, increase revenue, and household incomes. The economic impact was calculated through multiplier analysis of the Keynesian Income Multiplier, Ratio Income Multiplier type I, and Ratio Income Multiplier type II respectively 1.36, 1.37, and 1.49.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

NASITA LIRA HENDARTINA

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

ANALISIS PERUBAHAN KELEMBAGAAN DAN DAMPAK

PENGGANDA (

MULTIPLIER EFFECT

) PENGEMBANGAN

KAWASAN WANA WISATA

(8)

Nama : Nasita Lira Hendartina NIM : H44090062

Disetujui oleh

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul,”Analisis Perubahan Kelembagaan dan Dampak Pengganda (Multiplier Effect) Pengembangan Kawasan Wana Wisata (Studi Kasus: Gunung Galunggung, Kabupaten Tasikmalaya).” Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi, yaitu:

 Kedua orang tua tercinta yaitu Bapak Ir. Beny Hendarto dan Ibu Ir. Tina Suhartini, beserta kakak saya Rudie Setiadi S.Agb, Nadia Tannia Hendartina Stp, dan adik saya Sabila Adha Hendartina yang selalu memberikan didikan, dukungan, doa, kasih sayang, dan perhatian.

 Bapak Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT selaku dosen pembimbing, Bapak Adi Hadianto, SP, M.Si sebagai penguji utama, dan Bapak Benny Osta Nababan, S.Pi, M.Si sebagai wakil komisi pendidikan ESL, yang telah memberikan bimbingan, saran dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

 PERUM Perhutani Jawa Barat, Bapak Asep sebagai Kepala Bagian SDM dan Mbak Reny Bagian Humas. KPH Perhutani Tasikmalaya. Bapak Ketua Administrasi, Bapak Ir. Jejen, M.M, Bapak Anggun sebagai Bagian Humas, Bapak Ery Bagian PHBM, Ibu Ika Bagian SDM dan Bapak Atang sebagai Petugas Lapang.

 Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Taksimalaya dan Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya. Bapak Ketua Disparbud, Drs Nana Hermaya, MM, Bapak Sekretaris, Bapak Sutarman, Bapak Dedi Chrisyadi, dan Bapak Toni, serta pihak Disparbud lainnya.

 Dinas Perhubungan Kabupaten Tasikmalaya, Ketua UPTD parkir Bapak Asep, dan seluruh Petugas Lapang Parkir di Kawasan Wana Wisata.

 Bapak Ucu sebagai Ketua LMDH Wana Lingga Mukti, Bapak Totoy sebagai Ketua Koparga, dan pihak Kantor Desa Linggarjati serta pihak-pihak yang telah membantu selama pengumpulan data.

 Keluarga besar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan FEM IPB khususnya dosen-dosen ESL, Komisi Pendidikan dan teman-teman ESL 46 atas semua arahan, masukan, dan bantuan.

 Keluarga besar Resources Enviroment Economics Student Association (REESA)IPB atas segala doa dan dukungan.

 Sahabat terdekat, Dea, Fitri, Lutfi, Gugat, Chintia, Dinda, Adin, Kiki, Naelis, Nunu, Ichi, Ei, Belinda, Esha, dan Dhani yang selalu memberikan bantuan, semangat, dan doa.

Penulis menyadari bahwa terdapat kesalahan yang tidak disengaja di dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik serta saran yang akan digunakan oleh penulis sebagai penyempurnaan di dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Bogor, Februari 2014

(10)
(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL... xvii

DAFTAR GAMBAR... xviii

DAFTAR LAMPIRAN... xviii

I. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah... 4

1.3 Tujuan Penelitian... 5

1.4 Ruang Lingkup Penelitian... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA... 7

2.1 Teori Kelembagaan... 7

2.2 Kelembagaan Wana Wisata... 8

2.3 Karakteristik Kelembagaan... 10

2.4 Teoritis Perubahan Kelembagaan... 11

2.5 Analisis Stakeholder... 12

2.6 Dampak Ekonomi Wana Wisata... 14

2.7 Teori Multiplier Effect…………... 15

2.8 Penelitian Terdahulu... 16

III. KERANGKA OPERASIONAL... 17

IV. METODE PENELITAN... 19

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian... 19

4.2 Jenis dan Sumber Data... 19

4.3 Metode Penentuan Sampel Penelitian... 19

4.3.1 Penentuan Sampel... 19

4.3.2 Pengumpulan Data... 21

4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data... 21

4.4.1 Mengidentifikasi Proses Perubahan Kelembagaan... 22

4.4.2 Menganalisis Efektivitas Kelembagaan... 23

(12)

5.1 Kondisi Geografis dan Administratif... 29

5.2 Kondisi dan Potensi Wilayah... 29

5.3 Kependudukan dan Sumberdaya Manusia... 30

5.4 Sarana, Prasarana, dan Fasilitas... 31

5.5 Aksesibilitas Wilayah... 32

5.6 Karakteristik Responden... 32

5.6.1 Karakteristik Pelaku Usaha... 32

5.6.2 Karakteristik Tenaga Kerja Lokal... 33

5.6.3 Karakteristik Pengunjung... 35

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN... 36

6.1 Perubahan Kelembagaan... 36

6.2 Efektivitas Kelembagaan... 37

6.2.1 Hasil Efektivitas Anggota Non-Organisasi... 38

6.2.2 Hasil Efektivitas Anggota Organisasi... 39

6.3 Analisis Stakeholder... 41

6.4 Multiplier Effect... 45

6.4.1 Dampak Langsung... 46

6.4.2 Dampak Tidak Langsung... 47

6.4.3 Dampak Lanjutan... 47

6.4.4 Hasil Multiplier Effect... 48

VII. SIMPULAN DAN SARAN... 49

7.1 Simpulan... 49

7.2 Saran... 50

DAFTAR PUSTAKA... 51

LAMPIRAN... 55

(13)

DAFTAR TABEL

1 Profil wisata mancanegara tahun 2011 dan 2012 di Jawa

Barat... 1

2 Matriks keterkaitan antara tujuan, parameter, sumber data, dan metode analisis... 22

3 Matriks analisis proses perubahan kelembagaan... 23

4 Matriks analisis efektivitas kelembagaan... 24

5 Identifikasi dan pemetaan aktor... 25

6 Analisis stakeholder pengelolaan kawasan wana wisata... 25

7 Matriks analisis stakeholder... 26

8 Matriks analisis dampak ekonomi... 26

9 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Desa Linggarjati tahun 2008-2012... 30

10 Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2008-2012... 30

11 Jumlah mata pencaharian penduduk di Desa Linggarjati tahun 2008-2012... 31

12 Sarana prasarana dan fasilitas yang berada di Desa Linggarjati Tahun 2008-2012... 31

13 Karakteristik pelaku usaha di Wana Wisata Gunung Galunggung... 33

14 Karakteristik tenaga kerja lokal di Wana Wisata Gunung Galunggung... 34

15 Karakteristik pengunjung di Wana Wisata Gunung Galunggung... 35

16 Hasil skoring analisis stakeholder... 44

17 Proporsi pengeluaran wisatawan... 46

(14)

2 Tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder dalam pengelolaan

kawasan wana wisata... 25

3 Bentuk kelembagaan tata kelola baru... 37

4 Persepsi efektivitas anggota non-organisasi... 39

5 Persepsi efektivitas anggota organisasi... 40

6 Aktor grid... 45

DAFTAR LAMPIRAN 1 Kuesioner penelitian perubahan kelembagaan... 55

2 Kuesioner penelitian efektivitas kelembagaan... 56

3 Kuesioner penelitian wisatawan... 58

4 Kuesioner penelitian pelaku usaha... 61

5 Kuesioner penelitian tenaga kerja lokal... 63

6 Kuesioner penelitian analisis stakeholder... 65

7 Jumlah persepsi anggota non-organisasi... 68

8 Jumlah persepsi anggota organisasi... 68

9 Perhitungan Multiplier Effect... 68

10 Peta lokasi penelitian di Gunung Galunggung, Kabupaten Tasikmalaya... 69

11 Pengeluaran wisatawan perkunjungan... 70

12 Pengeluaran dan pendapatan unit usaha... 74

13 Pendapatan dan pengeluaran tenaga kerja lokal... 76

(15)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai macam tampak topografi, yaitu kenampakan alam berupa gunung, pegunungan, dan lautan. Topografi ini mendukung terbentuknya keanekaragaman biodiversitas yang dapat menambah nilai kekayaan alam di Indonesia. Kekayaan alam yang tersedia berperan sebagai potensi unggul di sektor ekonomi, pariwisata, dan lainnya. Sektor-sektor tersebut menjadi sektor yang berkembang sangat pesat sehingga menimbulkan dampak ekonomi yang mendukung pertumbuhan perekonomian di Indonesia.

Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam pembangunan suatu bangsa. Hal ini dapat dilihat melalui pernyataan IUOTO (International Union of Official Travel Organization) yang dikutip oleh Sammeng (2001), mengemukakan dalam Konferensi Roma tahun 1063 (The United Nations Conference on International Travel and Tourism): “Tourism as a factor economic development role and importance as a source foreign exchange but also as a factor the location of industry and in the development of areas in the natural resources ”. Sektor pariwisata yang baik didukung oleh potensi wisata yang attractive sehingga mampu meningkatkan perekonomian negara melalui perolehan devisa. Berikut ini merupakan profil wisatawan mancanegara tahun 2011 dan 2012 di Jawa Barat.

Tabel 1 Profil wisata mancanegara tahun 2011 dan 2012 di Jawa Barat

No Uraian 2011 2012 Pertumbuhan

(1) (2) (3) (4) (5)

1. Jumlah Wisman (ribu orang) 7 649.7 8 044.5 5.16

a. 19 Pintu 7 207.9 7 567.4 4.99

b. Pintu Lainnya 441.8 477.1 7.97

2. Rata-rata Pengeluaran per Kunjungan (US$)

1 118.26 1 133.81 1.39

3. Rata-rata Lama Tinggal (hari) 7.84 7.70 -0.14 4. Rata-rata Pengeluaran per hari (US$) 142.69 147.22 3.17 5. Perkiraan Penerimaan Devisa (miliar

US$)

8.6 9.1 5.81

(16)

Salah satu potensi alam yang attractive dan mudah ditemui di Indonesia adalah gunung. Gunung merupakan suatu wilayah yang menonjol dengan daerah yang lebih tinggi dari sekitarnya serta didominasi oleh tumbuhan sehingga membentuk hamparan hutan yang luas. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (UU No.41/Kpt-II/1999 tentang kehutanan). Hutan di kawasan pegunungan berpotensi memberikan manfaat yang optimal karena memiliki berbagai fungsi seperti fungsi konservasi, fungsi produksi, dan fungsi lindung. Pemanfaatan yang optimal sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat dengan tetap menjaga kelestarian hutan itu sendiri (Pasal 15 PP No.34/2002).

Kawasan hutan di daerah gunung dapat dikembangkan sebagai suatu kawasan yang dapat memberikan tambahan pendapatan bagi pemerintah dengan membentuk suatu kawasan objek wisata. Salah satu potensi objek wisata potensial kawasan hutan adalah Gunung Galunggung. Gunung Galunggung adalah gunung berapi dengan ketinggian 2 167 meter di atas permukaan laut terletak sekitar 17 km dari pusat Kota Tasikmalaya. Gunung Galunggung memiliki potensi kawasan Hutan Montane 1 200 – 1 500 meter dan Hutan Ericaceous> 1 500 meter. Kawasan hutan di Gunung Galunggung memiliki fungsi lindung, fungsi produksi, dan fungsi konservasi. Salah satu fungsi konservasi Gunung Galunggung, yaitu memiliki daya tarik hutan dengan ciri khas tertentu dan areal seluas kurang lebih 120 hektar di bawah pengelolaan Perum Perhutani.

(17)

3

wewenang pengelolaan kawasan wana wisata kepada KPH (Kesatuan Pemangku Hutan) unit III Tasikmalaya. KPH Tasikmalaya melakukan pengembangan kawasan wana wisata dengan berperan secara langsung dalam pengelolaan wana wisata dan menjalankan fungsi produksi kawasan hutan Gunung Galunggung.

Kesatuan Pemangku Hutan Perhutani Tasikmalaya melakukan kerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya serta Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Tasikmalaya. Namun pengelolaan kawasan wana wisata mengalami perubahan kelembagaan yang disebabkan oleh penyerobotan lahan hutan (illegal logging) dan tindakan perusakan hutan sehingga mempengaruhi kualitas kawasan wana wisata. Oleh karena itu, terjadi perubahan kelembagaan pengelolaan kawasan wana wisata dengan cara KPH Tasikmalaya mengajak masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan wana wisata sehingga terbentuk kawasan dengan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dan Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL). Program tersebut diprioritaskan kepada Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang memiliki usaha produktif dan koperasi serta kegiatan usahanya minimal satu tahun berpotensi untuk dikembangkan.

(18)

1.2 Rumusan Masalah

Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Unit III Tasikmalaya berperan sebagai lembaga yang terlibat langsung dalam pengelolaaan Kawasan Wana Wisata Gunung Galunggung. Namun dalam pengelolaannya KPH Tasikmalaya menghadapi beberapa kendala seperti penyerobotan hutan sehingga membutuhkan partisipasi masyarakat untuk dapat menjamin keberlanjutkan kawasan wana wisata. Oleh karena itu, dibentuk kerjasama dengan LSM setempat, yaitu Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang mendorong terjadinya perubahan kelembagaan dalam pengelolaan kawasan wana wisata. Perubahan tersebut dapat dilihat dari bentuk pengelolaan baru dan apakah perubahan kelembagaan tersebut mampu mengembangkan kawasan wana wisata serta mengurangi dampak negatif yang mempengaruhi kawasan wana wisata.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu:

1. Siapakah yang menginisiasi dan bagaimana proses perubahan kelembagaan yang terjadi di kawasan Wana Wisata Gunung Galunggung?

2. Apakah perubahan kelembagaan dapat meningkatkan kualitas kelembagaan dalam pengelolaan kawasan wana wisata?

3. Bagaimanakah peran para stakeholder yang terlibat dalam proses pengelolaan serta pengembangan kawasan Wana Wisata Gunung Galunggung?

4. Apakah kegiatan wana wisata dapat memberikan dampak ekonomi yang diterima oleh masyarakat sekitar kawasan wisata?

Berdasarkan rumusan masalah yang diuraikan di atas maka disusun dugaan, sebagai berikut:

1. Proses perubahan kelembagaan diinisiasi oleh sejumlah aktor meliputi aktor pemerintahan dan aktor yang berasal dari masyarakat. Perubahan kelembagaan dilakukan secara bersama-sama untuk mendapatkan pengelolaan yang lebih baik.

(19)

5

3. Stakeholder yang terlibat di dalam pengelolaan masih didominasi oleh stakeholder pemerintah. Sementara peran stakeholder dalam masyarakat masih lemah padahal mereka mungkin merupakan pihak yang paling berkepentingan atas wana wisata tersebut.

4. Wana wisata diduga dapat memberikan manfaat ekonomi terhadap masyarakat sekitar khususnya mereka yang memiliki mata pencaharian yang terikat dengan kebijakan wana wisata tersebut.

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini memberikan kontribusi dalam pengelolaan kawasan wana wisata Gunung Galunggung melalui peningkatan peran stakeholder agar tepat dalam mengambil keputusan. Pengambilan keputusan terkait dengan pengelolaan potensi Wana Wisata Gunung Galunggung melalui identifikasi yang jelas terhadap perubahan kelembagaan yang terjadi dan mengidentifikasi dampak-dampak yang dihasilkan. Perubahan pengelolaan kawasan wana wisata yang terjadi bertujuan agar terbentuk kawasan wana wisata yang berkelanjutan dan mampu mengembangan kawasan dengan baik.

Tujuan khusus didalam penelitian ini, yaitu:

1. Mengidentifikasi proses perubahan kelembagaan dalam pengembangan kawasan Wana Wisata Gunung Galunggung dengan memperhatikan dampak yang terjadi akibat proses perubahan tersebut.

2. Menganalisis efektivitas kelembagaan dalam pengembangan kawasan wana wisata.

3. Menganalisis stakeholder yang berperan dalam proses pengelolaan kawasan Wana Wisata Gunung Galunggung.

4. Mengestimasi efek pengganda yang dihasilkan dari kegiatan pengembangan wana wisata.

1.4Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan memiliki batasan-batasan, yaitu:

(20)

sumber literatur, serta referensi, dan data dukungan dari KPH unit III Tasikmalaya, Dinas Pariwisata dan Budaya (Disparbud) Kabupaten Tasikmalaya, Dinas Perhubungan Kabupaten Tasikmalaya, Kantor Desa Linggarjati, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya. Data primer adalah data yang diperoleh melalui tahapan penyebaran kuesioner dengan proses wawancara terhadap responden terkait Wana Wisata Gunung Galunggung.

2. Penelitian ini mengestimasi dampak ekonomi yang dihasilkan dari kegiatan wana wisata yang dikembangkan oleh KPH unit III Tasikmalaya dan Disparbud dengan menggunakan analisis multiplier effect tanpa memperhitungan Produk Dosmestik Regional Bruto (PDRB) yang diperoleh oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Tasikmalaya.

3. Penelitian ini mengidentifikasi serta mengevaluasi apakah perubahan kelembagaan untuk mengembangkan Wana Wisata Gunung Galunggung telah berjalan dengan baik dan dikatakan berhasil melalui identifikasi indikator-indikator kelembagaan, ekonomi, dan ekologi di tingkat responden. Responden yang diteliti, yaitu: tenaga kerja lokal, pelaku unit usaha, dan pengunjung di kawasan Wana Wisata Gunung Galunggung.

4. Aspek-aspek yang diperhatikan dalam penelitian ini, yaitu:

a. Nilai sosial ekonomi dapat dilihat dari tingkat pendapatan responden dan manfaat sosial yang diterima masyarakat sekitar kawasan wana wisata bertempat di Desa Linggarjati seperti tingkat kesempatan kerja yang terbuka luas ketika terbentuknya wana wisata dan penyerapan tenaga kerja yang dilakukan oleh pihak pengelolaan. Manfaat ekonomi tersebut dapat diihat melalui nilai multiplier effect yang dihasilkan oleh kegiatan wana wisata.

(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Kelembagaan

Para ilmuwan memandang kelembagaan dari sudut pandang yang berbeda-beda. Oleh karena itu, teori kelembagaan didefinisikan secara beragam. Kelembagaan seperti yang dikutip oleh Yustika (2006), menurut Yeager (1999) memandang kelembagaan sebagai aturan main dalam masyarakat. Aturan main tersebut mencakup regulasi yang memapankan masyarakat untuk melakukan interaksi. Sejalan dengan Yeager menurut Pejovich (1995) dalam Yustika (2006), kelembagaan dapat mengurangi ketidakpastian yang inheren dalam interaksi manusia melalui penciptaan pola perilaku.

Ostrom (1990) dalam paper Block (2011) kelembagaan sebagai aturan yang berlaku dalam masyarakat (arena) yang menentukan siapa yang berhak membuat keputusan, tindakan apa yang boleh dilakukan, dan yang tidak boleh dilakukan, aturan apa yang berlaku di umum di dalam masyarakat, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa mesti atau tidak boleh disediakan, dan keuntungan apa yang akan individu terima sebagai hasil tindakannya. Sedangkan menurut Soekanto (2006) ahli sosiologi di Indonesia mendefinisikan kelembagaan yaitu himpunan norma-norma segala tindakan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, kelembagaan merupakan instrumen yang mengatur hubungan antar individu. Singkatnya, kelembagaan adalah aturan main yang berlaku dalam masyarakat yang disepakati oleh anggota masyarakat tersebut sebagai sesuatu yang harus diikuti dan dipatuhi (memiliki kekuatan sanksi) dengan tujuan terciptanya keteraturan dan kepastian interaksi diantara sesama anggota masyarakat. Interaksi yang dimaksud terkait dengan kegiatan ekonomi, politik, maupun sosial.

(22)
(23)

8

tertulis seperti adat istiadat, pamali, tradisi, kesepakatan, konvensi, dan sejenisnya dengan beragam nama. Bentuk kelembagaan yang beragam seperti informal dan formal sama-sama memiliki tujuan kelembagaan, yaitu mengurangi ketidakpastian melalui pembentukan struktur atau pola interaksi. Sedangkan menurut Ostrom (1990) dalam Hidayat (2007) tujuan kelembagaan adalah untuk mengarahkan perilaku individu menuju arah yang diinginkan oleh anggota masyarakat serta untuk meningkatkan kepastian dan keteraturan dalam masyarakat serta mengurangi perilaku oportunis.

2.2 Kelembagaan Wana Wisata

Wana wisata merupakan bagian dari ekowisata. Wana wisata adalah ekowisata yang hanya meliputi wilayah kawasan hutan. Menurut Fandeli (2000) yang dikutip oleh Avenzora (2008), ekowisata merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan lingkungan, ekonomi, dan sosial. Pada hakekatnya juga merupakan suatu bentuk wisata yang bertanggung jawab terhadap pelestarian areal, memberi manfaat secara ekonomi, dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat sekitar.

Pengelolaan kawasan wana wisata harus dilakukan dengan pendekatan sebagai fungsi konservasi. Pendekatan fungsi konservasi adalah fungsi yang meliputi fungsi kelestarian dan menjamin kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan kawasan wana wisata membentuk suatu kelembagaan wana wisata. Kelembagaan kawasan wana wisata adalah kelembagaan yang mengelola kawasan wana wisata berdasarkan peraturan yang berlaku serta aturan main yang ditetapkan. Menurut Eplerwood (1999) dalam Zulaifa (2006), terdapat delapan prinsip pokok di dalam pengelolaan wana wisata yang berbasis kerakyatan (community based), yaitu: 1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap

hutan.

2. Pendidikan konservasi lingkungan dengan sasaran wisatawan dan masyarakat setempat.

(24)

dibebankan terhadap pengunjung dapat digunakan secara langsung untuk membina, melestarikan, dan meningkatkan kualitas pelestarian alam.

4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan dan pengawasan pelaksanaan pengembangan wana wisata. 5. Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara ekonomi yang diperoleh

masyarakat yang terlibat dalam kegiatan wana wisata dapat mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan hutan.

6. Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam.

7. Memperhatikan daya dukung sehingga walaupun permintaan tinggi tidak selamanya harus dipenuhi karena terbatasnya daya dukung.

8. Peluang penghasilan pada tingkat lokal maupun nasional. Bila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk wana wisata, maka devisa dan belanja wisatawan didorong semaksimal mungkin sehingga berpengaruh terhadap pendapatan secara lokal (pemerintah daerah setempat) atau bahkan sampai ke tingkat nasional. Hal ini sejalan dengan pendapat Kusworo (2000:31) yang dikutip oleh Zulaifa (2006) bahwa pemerintah Indonesia berharap suatu saat sektor pariwisata dapat berperan sebagai pendorong peningkatan pendapatan nasional yang pada gilirannya ikut meningkatkan kualitas hidup masyarakat di daerah tujuan wisata pada khususnya dan masyarakat umum.

Kegiatan pengembangan hutan sebagai kegiatan kawasan wana wisata tersedia dalam kebijakan umum dan kebijakan khusus yang digariskan di dalam Undang-undang No.5 tahun 1990, peraturan pemerintah No.18, dan No.13 tahun 1994 seperti yang dikutip oleh Zulaifa (2006). Kebijakan umum berisi tentang, “Pengembangan pariwisata alam dilakukan dalam kerangka mewujudkan kelestarian sumberdaya alam hayati dan keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.” Sedangkan kebijakan operasional sebagai penjabaran kebijaksanaan umum berisi tentang:

(25)
(26)

2. Pengusahaan pariwisata alam dilaksanakan pada sebagian kecil areal blok pemanfaatan dan tetap memperhatikan pada aspek kelestarian.

3. Pengusaha pariwisata alam tidak dibenarkan melakukan perubahan mendasar pada bentang alam dan keaslian habitat.

4. Pembangunan sarana dan prasarana dalam rangka pengusahaan pariwisata alam harus bercorak pada bentuk asli tradisional dan tidak menghilangkan ciri khas atau identitas etnis setempat.

5. Kegiatan pengusahaan pariwisata alam harus melibatkan masyarakat setempat dalam rangka pemberdayaan ekonomi.

6. Pengusaha pariwisata alam harus melaporkan semua aktivitasnya secara berkala untuk memudahkan kegiatan monitoring, pengendalian, dan pembinaan.

Kebijakan-kebijakan yang telah dimuat pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan wisata alam perlu dijadikan patokan bagi pihak pengelola agar memperhatikan kondisi ekologis kawasan bukan hanya mencari keuntungan. Kegiatan wana wisata jangan sampai menyebabkan kerusakan hutan. Wana wisata yang telah berjalan seharusnya dapat menjadi media pembelajaran yang mengajarkan arti pentingnya kelestarian dunia.

2.3 Karakteristik Kelembagaan

(27)

11

sampai 100 tahun. Ketiga, perubahan kelembagaan tata kelola adalah perubahan yang terjadi terhadap serangkaian peraturan pada struktur tata kelola dalam sebuah komunitas lengkap dengan tata cara penegakan dan pemberian sangsi. Perubahan pada level ini bersifat diskontinu. Keempat perubahan bersifat kontinu adalah perubahan yang mengikuti perubahan harga input produksi dan perubahan input produksi sehingga menyebabkan perubahan kelembagaan.

Teoritis mengenai perubahan model kelembagaan Williamson (2000) tidak jelas karena perbedaan setiap level sulit dibedakan sehingga Kiser dan Ostrom (1982) dalam Polski (1999) melakukan analisis model perubahan kelembagaan ke dalam tigal level, yaitu:

1. Operational Choice level, yaitu aturan yang terdapat pada suatu komunitas organisasi dan bagaimana interaksi antar anggota komunitas tersebut seharusnya terjadi. Instrument pembatas mengenai kapan, dimana, seberapa banyak, dan bagaimana anggota sebuah komunitas memanfaatkan sumberdaya alam. Pemberian sangsi berlaku bagi anggota yang melanggar dan pemberian reward bagi anggota yang taat terhadap aturan. Aturan tersebut berubah seiring dengan perubahan ekonomi, teknologi, sumberdaya, dan budaya.

2. Level Collective Choice, yaitu aturan mengenai bagaimana operational rule diubah, siapa yang melakukan perubahan, dan kapan perubahan tersebut harus berlangsung. Hasil pekerjaan yang dilakukan oleh aktor collective choice level akan mempengaruhi operational rule secara langsung.

3. Constitutional rule merupakan kelembagaan yang mengatur mengenai siapa yang berwenang bekerja pada level colletive choice dan bagaimana mereka bekerja. Level Constitutional rule merupakan rule tertinggi.

2.4 Teoritis Perubahan Kelembagaan

(28)

Teori perubahan kelembagaan berbasiskan efisiensi ekonomi berdasarkan Posner (1992) yang dikutip oleh Hidayat (2007), perubahan kelembagaan tersebut karena adanya upaya untuk melindungi hak kepemilikan. Latar belakang hak-hak kepemilikan tersebut yang mendorong masyarakat untuk membuat aturan utama demi melindungi haknya. Sedangkan teori perubahan distributional conflict adalah teori yang didasarkan bahwa setiap aktor di dalam arena memiliki kepentingan dan wewenangan yang berbeda-beda. Hal inilah yang melatarbelakangi terjadinya konflik. Aktor yang dapat mengendalikan power lebih baik akan menguasai informasi, akses, modal, dan lain-lain sehingga proses perubahan akan berpihak terhadap aktor tersebut (Knight 1992). Aktor tersebut harus mampu mengendalikan power untuk mencari solusi dari konflik yang dihadapi dengan merubah aturan main yang diberlakukan. Teori kebijakan adalah teori yang didasarkan pada suatu kebijakan. Perubahan kelembagaan pada teori kebijakan bersifat memaksa. Perubahan tersebut terjadi karena kebijakan yang lama dianggap sudah tidak efektif sehingga diberlakukan kebijakan yang baru dimana, perubahan tersebut mampu mendorong tingkat efektivitas yang tinggi. Bagi aktor yang melanggar akan diberikan sangsi sedangkan aktor yang taat terhadap kebijakan akan diberikan reward.

2.5 Analisis Stakeholder

(29)

13

1. KeyPlayers

Players adalah stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan serta wewenang yang tinggi. Key Players biasa diartikan sebagai pemain atau pelaksana pengelolaan kawasan wana wisata. Players memiliki minat secara langsung dalam pengelolaan kawasan wana wisata dan wewenang untuk melakukan sesuatu atau membuat aturan untuk pengelolaan kawasana wana wisata. Key Players mampu mengendalikan sistem yang ada.

2. Subject

Subject adalah stakeholder yang memiliki kepentingan yang cukup besar namun wewenang yang dimiliki kecil. Subject dapat dikatakan sebagai pelaku utama didalam pengelolaan kawasan wana wisata. Stakeholder tersebut memiliki kesungguhan untuk mengelola wana wisata agar menjadi lebih baik. Namun stakeholder tersebut tidak mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi perarturan-perarturan yang berlaku.

3. Context Setter

Context Setter adalah mereka yang mempunyai minat kecil dan wewenang yang besar. Context Setter dalam pengelolaan kawasan wana wisata dapat diartikan sebagai perencanaan makro dalam pembangunan kawasan wana wisata karena lingkup kerjanya bersifat makro maka minat terhadap pengelolaan kawasan wana wisata kecil. Wewenang Context Setter sangat besar karena Context Setter mempunyai wewenang untuk mengesahkan program-program dari instansi terkait termasuk wewenang untuk mengesahkan dalam pemberian anggaran sehingga dalam kategori ini stakeholder harus diberdayakan agar tidak menentang sistem yang ada.

4. Crowd

(30)

2.6 Dampak Ekonomi Wana Wisata

Pariwisata merupakan suatu kegiatan yang melibatkan masyarakat sehingga dapat membawa berbagai macam dampak. Wana wisata adalah salah satu kegiatan pariwisata. Salah satu dampak yang dihasilkan kegiatan wana wisata adalah dampak sosial ekonomi. Dampak pariwisata yang akan mendapatkan perhatian adalah masyarakat lokal sekitar kawasan wisata. Dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal dapat dikategorikan menjadi delapan kelompok besar (Cohen 1984) dalam Pitana dan Gayatri (2005), yaitu: 1. dampak terhadap penerimaan devisa

2. dampak terhadap pendapatan masyarakat 3. dampak terhadap kesempatan kerja 4. dampak terhadap harga-harga

5. dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan 6. dampak terhadap kepemilikan dan kontrol

7. dampak terhadap pembangunan pada umumnya, dan 8. dampak terhadap pendapatan pemerintah.

Dampak ekonomi dapat menghasilkan manfaat ekonomi dan biaya ekonomi. Manfaat ekonomi yang dihasilkan memberikan dampak positif. Kegiatan pariwisata mampu memberikan dampak-dampak yang dinilai positif seperti kesempatan kerja, peningkatan devisa, dan peningkatan peluang usaha. Kontribusi kegiatan pariwisata dapat dilihat melalui besarnya nilai penggandaan (Multiplier effect).

(31)

15

2.7 Teori Multiplier Effect

Kegiatan pariwisata menghasilkan dampak ekonomi yang terdiri dari dampak langsung, dampak tidak langsung, dan dampak lanjutan. Menurut META (2001), dampak langsung adalah total nilai pengeluaran wisatawan yang dikeluarkan di lokasi wana wisata seperti konsumsi, souvenir, hotel, restoran, dan lainnya. Dampak tidak langsung adalah aktivitas ekonomi dengan perputaran yang terjadi setelah diterimanya pengeluaran wisatawan. Sedangkan dampak lanjutan adalah pengeluaran pendapatan yang diperoleh warga setempat dari upah dan keuntungan yang diperoleh dari perputaran dampak langsung dan tidak langsung. Jika wisatawan melakukan pengeluaran di luar lokasi wisata, seperti impor barang dan jasa, perpajakan, dan tabungan maka disebut dengan kebocoran. Menurut Yoeti (2008), semakin kecil kebocoran yang terjadi maka semakin baik bagi perekonomian di suatu kawasan wisata, sebaliknya apabila kebocoran semakin besar maka semakin kecil dampak ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat sekitar kawasan wana wisata.

Menurut Clement dalam Yoeti (2008), ketika wisatawan mengunjungi suatu tempat tujuan wisata, wisatawan tersebut pasti akan membelanjakan uang mereka untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan selama melakukan kunjungan. Uang yang dibelanjakan tersebut tidak berhenti beredar, tetapi berpindah tangan dari satu tangan ke tangan yang lain selama periode tertentu. Hal inilah yang dinamakan efek pengganda (Multiplier Effect). Efek pengganda tersebut memiliki prinsip yang dijelaskan oleh Yoeti (2008), yaitu :

1. Uang yang dibelanjakan wisatawan tidak pernah berhenti beredar dalam kegiatan ekonomi dimana uang itu dibelanjakan

2. Uang itu selalu berpindah tangan dari satu orang ke orang lain

3. Semakin cepat uang itu berpindah tangan, semakin besar pengaruh uang itu dalam perekonomian setempat, dan semakin besar nilai koefisien multiplier 4. Uang itu akan hilang dari peredaran, apabila uang itu tidak lagi berpindah

tangan tetapi berhenti dari peredaran karena sudah tidak memberikan pengaruh terhadap ekonomi setempat

(32)

2.8 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu berjudul Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat untuk Pengembangan Kawasan Hutan Regaloh di Kabupaten Pati, Jawa Tengah oleh Zulaifah (2006), yang bertujuan untuk merumuskan strategi pemanfaatan sumberdaya hutan bersama masyarakat untuk pengembangan kawasan Hutan Regaloh. Metode yang digunakan berupa analisis deskriptif untuk menjelaskan penggunaan lahan, keanekaragaman hayati, dan kondisi kawasan wana wisata. Sedangkan kebijakan-kebijakan terkait pengelolaan dianalisis menggunakan analisis SWOT.

Pengelolaan hutan di kawasan Hutan Regaloh dilakukan oleh Perum Perhutani bersama masyarakat. Fungsi hutan yang berpengaruh besar adalah fungsi hutan sebagai fungsi produksi yang menghasilkan hasil produksi berupa kayu dan fungsi konservasi sebagai kawasan objek wisata. Organisasi sosial seringkali membentuk struktur sosial yang lebih baik. Pelaksanaan pengelolaan hutan bersama masyarakat melalui LMDH. Kawasan Hutan Regaloh telah terbentuk sepuluh LMDH yang telah resmi menjadi mitra kerja Perhutani. Keberadaan LMDH memang cukup penting karena lembaga ini mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota secara keseluruhan menyelenggarakan dan mengembangkan usaha di bidang pertanian dan jasa berbasis kehutanan dengan memperhatikan azas kelestarian hutan. (Zulaifa 2006).

(33)

17

III. KERANGKA OPERASIONAL

Keadaan topografi Gunung Galunggung serta kekayaan alamnya mendukung terbentuknya kawasan wana wisata. Kawasan wana wisata di bawah pengelolaan kelembagaan, yaitu KPH Perhutani Tasikmalaya dengan program pengelolaan kawasan hutan bersama masyarakat dan program kemitraan bina lingkungan. Namun telah terjadi perubahan tata kelola dalam proses pengelolaannya. Perubahan pengelolaan terjadi antara pihak KPH Perhutani Tasikmalaya dengan lembaga swadaya masyarakat yaitu Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Pihak KPH Perhutani unit III Tasikmalaya bersama-sama LMDH berkoordinasi dengan Koperasi Pariwisata Galunggung (Koparga) sebagai wadah dalam pelaksanaan pengelolaan kawasan wana wisata yang melibatkan partisipasi masyarakat. Kerjasama dalam kelembagaan tersebut menghasilkan bentuk kelembagaan dengan tata kelola yang baru. Perubahan kelembagaan melalui tahapan inisiasi (pencetusan), tahap pembentukan, dan tahap sosialisasi kepada seluruh anggota organisasi.

Perubahan pengelolaan tersebut mempengaruhi substansi kelembagaan (struktur, kelengkapan, monitoring, dan penegakan hukum), persepsi antar anggota terhadap kelembagaan, dan dampak ekologi dalam pengelolaan kawasan wana wisata yang dapat dilihat melalui efektivitas kelembagaan. Nilai efektivitas kelembagaan yang terjadi dapat dilihat melalui persepsi masing-masing stakeholder yang terlibat didalam pengelolaan dengan menggunakan analisis stakeholder. Identifikasi dan analisis stakeholder penting dilakukan agar para aktor mampu berkoordinasi dengan baik dalam pengelolaan kawasan wana wisata.

(34)

Gambar 1 Kerangka pemikiran operasional Keterangan :

: Aspek yang dikaji

Kelembagaan Kawasan Wana Wisata Gunung Galunggung

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dan Program Kemitraan Bina Lingkungan Pengelolaan oleh Perum Perhutani

Koperasi Pariwisata Gunung Galunggung

Pengembangan Kawasan Wanawisata

Identifikasi manfaat ekonomi

Proses Perubahan Kelembagaan

Analisis Efektivitas Kelembagaan

Analisis kuantitatif melalui Multiplier Effect

 Inisisasi

 Pembentukan

 Sosialisasi

1. Subtansi kelembagaan 2. Persepsi

Kelembagaan 3. Analisis dampak

ekologi

Analisis Kuantitatif dan

analisis deskriptif Analisis Kualitatif dan analisis deskriptif

(35)

19

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Gunung Galunggung yang terletak di Desa Linggarjati, Kecamatan Sukaratu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian dipilih secara purposive (sengaja) dengan mempertimbangkan bahwa lokasi tersebut memenuhi kriteria perubahan kelembagaan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Pengambilan data primer untuk penelitian pada bulan April hingga Juni 2013.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui tahap wawancara langsung dengan para responden menggunakan daftar pertanyaan yang terstruktur (kuesioner). Sedangkan data sekunder diperoleh melalui literatur, referensi, dan data pendukung yang diperoleh dari Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tasikmalaya, Dinas Perhubungan Kabupaten Tasikmalaya, Kantor Desa Linggarjati, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, KPH Perhutani Tasikmalaya, Koparga, dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan Wana Lingga Mukti.

Data primer digunakan untuk menganalisis proses perubahan kelembagaan stakeholder yang berperan, pola interaksi antar stakeholder, kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan wana wisata, dan analisis terhadap efektivitas kelembagaan. Sedangkan data sekunder meliputi struktur kelembagaan, pembagian peran, fungsi, wewenang masing-masing aktor, Infrastruktur kelembagaan terkait pengelola kawasan wana wisata, dan peraturan perundang-undangan.

4.3Metode Penentuan Sampel Data

4.3.1 Penentuan Sampel

(36)

person ditentukan secara purposive (sengaja). Key person dipilih melalui identifikasi pihak-pihak yang terlibat didalam pengelolaan kawasan wana wisata. Informan adalah stakeholder yang terlibat didalam kelembagaan dan menguasai akses informasi terkait keluarga, diri sendiri, lingkungan, serta pihak lain sehingga mampu memberikan informasi yang berkaitan dengan penelitian. Apabila informasi yang diberikan key person masih kurang digunakan teknik snowball untuk memenuhi kelengkapan informasi. Sedangkan responden adalah pihak yang memiliki pandangan terhadap objek penelitian dan mampu menginformasikan persepsi tersebut. Responden pada penelitian ini terdiri dari pengunjung, pelaku usaha di lokasi wana wisata, dan tenaga kerja lokal.

Penentuan sampel responden pengunjung bersifat accidental sampling. Penentuan jumlah pengunjung berdasarkan tingkat kunjungan periode II bulan Maret tahun 2013 sebagai populasi dalam perhitungan menggunakan metode slovin (Wulandari 2010), yaitu 27 993 Jiwa. Populasi tersebut dipilih karena penelitian dilakukan bulan April. Error yang digunakan sebesar 10 persen.

n =

²

Keterangan : n = Jumlah responden

N = Jumlah populasi (kunjungan periode II Bulan Maret Tahun 2013)

e = Galat (error) yang dapat diterima (10%)

Dari hasil perhitungan diperoleh jumlah responden sebesar 100 orang. Sedangkan populasi pelaku usaha sekitar 80 orang. Jumlah pelaku usaha yang aktif berjumlah 40 orang. Keaktifan dilihat berdasarkan intentitas berjualan dan kewajiban membayar retribusi berjualan kepada KPH. Jumlah sampel diambil secara purposive (sengaja). Jumlah sampel pelaku usaha yang digunakan adalah 44 orang.

Tenaga kerja lokal yang berkerja di lokasi wisata dipilih secara purposive (sengaja). Jumlah sampel tenaga kerja yang diambil berdasarkan jumlah populasi tenaga kerja, yaitu 23 orang. Tenaga kerja lokal adalah pihak-pihak dari kelembagaan yang berkerja langsung di lokasi wisata, seperti anggota Disparbud KPH Perhutani, Dishub, dan Koparga.

(37)

21

4.3.2 Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer menggunakan teknik wawancara secara langsung dengan informan dan responden. Wawancara melalui teknik pendekatan wawancara secara mendalam. Menurut Rudito dan Famiola (2008) dalam Adina (2012), teknik pendekatan melalui wawancara secara mendalam adalah teknik mengumpulkan data melalui orang-orang tertentu yang dipandang sebagai pemimpin pengambil keputusan atau juga dianggap sebagai juru bicara dari kelompok atau komunitas yang jadi obyek pengamatan dan orang tersebut dianggap akan bisa memberikan informasi akurat dalam mengidentifikasi masalah-masalah dalam komunitas tersebut.

Pengumpulan data sekunder melalui survei secara langsung ke instasi-instasi yang terlibat dalam pengelolaan kawasan Wana Wisata Galunggung. Hasil data sekunder kemudian diamati dan diinterpretasikan untuk kebutuhan penelitian. Data sekunder digunakan untuk mendukung hasil penelitian, terutama data-data yang berhubungan dengan proses perubahan kelembagaan.

4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data dan informasi yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif adalah metode pengolahan dengan menginterpretasikan hasil yang diperoleh. Sedangkan metode kuantitatif adalah metode pengolahan melalui statistik untuk menguji hipotesis yang telah ditentukan.

(38)

Tabel 2 Matriks keterkaitan antara tujuan, parameter, sumber data, dan metode

Perubahan kelembagaan yang terjadi di kawasan wana wisata dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Menurut Whitney (1960) dalam Nazir (2003), metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Analisis deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat tata cara yang berlaku dalam masyarakat dalam situasi-situasi tertentu termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, dan pandangan-pandangan serta proses-proses yang sedang terjadi sehingga memberikan pengaruh akibat dari suatu fenomena. Tujuan dari analisis deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki.

(39)

23

proses pembentukan seperti tukar pendapat, diskusi, musyawarah, kepentingan golongan kuat, hukum, dan lainnya. Setelah pembentukan kelembagaan harus disosialisasikan terhadap anggota dan masyarakat. Sosialisasi terkait dengan bagaimana menyebarluaskan informasi dan aturan kepada anggota dan masyarakat.

Tabel 3 Matriks analisis proses perubahan kelembagaan

Tujuan Indikator Parameter Metode analisis

Proses perubahan

Efektivitas kelembagaan dapat dianalisis melalui substansi kelembagaan persepsi terhadap kelembagaan dan dampak ekologi yang dihasilkan dari proses pengelolaan kawasan wana wisata. Suatu kelembagaan dapat berjalan dengan baik jika memiliki substansi kelembagaan yang terdiri dari struktur kelembagaan, kelengkapan kelembagaan yang jelas dengan pembagian tugas, wewenang, peran serta fungsi setiap aktor kelembagaan jelas, aspek monitoring yang dilakukan, dan proses penegakan hukum. Pembentukan kelembagaan baru yang melibatkan berbagai aktor harus memenuhi kriteria substansi kelembagaan sehingga membentuk kelembagaan dengan efektivitas yang baik.

(40)

Tabel 4 Matriks analisis efektivitas kelembagaan

Tujuan Indikator Parameter Metode analisis

Efektivitas

Penelitian pengelolaan kawasan wana wisata menggunakan analisis stakeholder sebagai alat analisis untuk mengetahui kepentingan dan peran masing-masing stakeholder serta wewenang dalam pengelolaan kawasan wana wisata. Analisis stakeholder menggunakan matriks berdasarkan kepentingan dan kewenangan. Kepentingan masing-masing stakeholder dapat dilihat dari tupoksi masing-masing stakeholder. Sedangkan kewenangan adalah kekuasaan stakeholder untuk mempengaruhi peraturan yang berlaku maupun kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan wana wisata Gunung Galungung. Analisis stakeholder dapat dianalisis melalui beberapa tahapan berikut (Wijayanti 2009): 1. Membuat tabel stakeholder yang berisi informasi mengenai:

a. Daftar stakeholder

b. Kepentingan stakeholder, yaitu motif dan perhatiannya pada kebijakan. Untuk melihat tingkat kepentingan aktor dilakukan pengkodean dengan menggunakan skala likert yaitu antara 1 sampai 5, dimana; 5 = sangat tinggi; 4 = tinggi; 3 = cukup tinggi; 2 = kurang tinggi; 1 = rendah. Indikator tinggi dilihat dari seberapa penting pengelolaan kawasan wisata terhadap masing-masing stakeholder.

c. Sikap stakeholder terhadap kebijakan atau program. Sikap stakeholder mengacu kepada reaksi terhadap kebijakan yang ditetapkan.

(41)

25

Pengaruh dari masing-masing stakeholder mengacu pada tingkat pengaruhnya dalam proses penyusunan kebijakan. Penilaian tingkat pengaruh menggunakan skala likert yaitu antara 1 sampai 5, adapun; 5 = sangat tinggi; 4 = tinggi; 3 =sedang; 2 = kurang tinggi; 1 = rendah.

Tabel 5 Identifikasi dan pemetaan aktor

Skor Kriteria Keterangan

Kepentingan aktor

5 Sangat tinggi Sangat bergantung pada keberadaan kawasan wana wisata 4 Tinggi Ketergantungan yang tinggi terhadap keberadaan kawasan

wana wisata

3 Sedang Cukup bergantung terhadap kawasan wana wisata

2 Kurang Tinggi Ketergantungan pada keberadaan kawasan wana wisata kecil 1 Rendah Tidak terdapat ketergantungan pada keberadaan kawasan wana

wisata kecil

Pengaruh aktor

5 Sangat Tinggi Jika respon aktor berpengaruh nyata terhadap aktivitas aktor lain

4 Tinggi Jika respon aktor berpengaruh besar terhadap aktivitas aktor lain

3 Sedang Jika respon aktor tersebut cukup berpengaruh terhadap aktivitas aktor lain

2 Kurang tinggi Jika respon aktor tersebut berpengaruh kecil terhadap aktivitas aktor lain

1 Rendah Jika respon aktor tersebut tidak berpengaruh terhadap aktivitas aktor lain

3. Menentukan tingkat pengaruh total yaitu jumlah dari tingkat kekuatan (SDM, finansial, dan politik) dari masing-masing stakeholder.

4. Menentukan nilai total dilihat berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh. Tabel 6 Analisis stakeholder pengelolaan kawasan wana wisata

No Stakeholder Kriteria evaluasi

(42)

Gambar 2 menggambarkan tingkat kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholder dalam setiap kategori. Stakeholder dapat ditentukan berdasarkan pengalaman dalam bidang pembangunan wilayah atau berkaitan dalam perencanaan kebijakan berdasarkan catatan statistik, laporan penelitian, dan berdasarkan teknik snowball melalui identifikasi setiap aktor dengan aktor lainnya untuk diteliti sehingga informasi yang dibutuhkan lengkap.

Tabel 7 Matriks analisis stakeholder

Tujuan Indikator Data yang dibutuhkan Metode Analisis

Manfaat ekonomi dapat diestimasi melalui multiplier effect (efek pengganda). Multiplier effect dalam penelitian ini adalah multiplierincome. Data yang diperoleh melalui hasil wawancara kepada wisatawan, unit usaha, pihak pengelola, dan tenaga kerja di lokasi wana wisata.

Tabel 8 Matriks analisis dampak ekonomi

Tujuan Indikator Jenis data Metode analisis Menganalisis manfaat

(43)

27

Dampak lanjutan berupa perubahan aktivitas ekonomi di lokasi wisata dari pembelanjaan tenaga kerja tersebut untuk memenuhi kebutuhannya.

Pengukuran dampak ekonomi dalam penelitian meliputi dua kelompok, yaitu: 1) survei terhadap unit usaha penyedia barang dan jasa dan 2) survei terhadap tenaga kerja pada unit usaha di kawasan wana wisata. Survei terhadap unit usaha merupakan dampak langsung. Dampak terhadap unit usaha membutuhkan informasi terkait (1) proporsi perputaran uang yang berasal dari pengeluaran pengunjung ke unit usaha tersebut, (2) proporsi dari perputaran arus uang terhadap tenaga kerja lokal, supplier, dan pajak, dan (3) tipe dan kuantitas bahan baku yang dibutuhkan.

Kelompok kedua adalah tenaga kerja lokal pada unit usaha lokal penyedia barang dan jasa untuk kegiatan wisata. Tenaga kerja adalah dampak tidak langsung. Informasi terkait dengan dampak ekonomi adalah (1) jumlah tenaga kerja yang terdapat pada kawasan wana wisata, (2) jumlah jam kerja dan tingkat upah, (3) proporsi dari pengeluaran sehari-hari pekerja yang dilakukan di dalam dan di luar wilayah kawasan wana wisata, dan (4) kondisi pekerjaan sebelum bekerja di unit usaha saat ini. Estimasi terhadap unit usaha yang memberikan nilai dampak ekonomi terhadap manfaat dan biaya masyarakat lokal dan penyediaan barang dan jasa yang diperlukan pengunjung.

Pengukuran dampak ekonomi lokal melalui beberapa tipe efek pengganda (META, 2001) , yaitu:

1.

Keynesian Income Multiplier adalah perubahan unit pengeluaran wisatawan memberikan perubahan pada tingkat pendapatan masyarakat lokal. Secara matematis ditulis:

=

2. Ratio Income Multiplier adalah efek multiplier yang menggambarkan seberapa besar dampak terhadap perekonomian lokal. Multiplier ini telah memasukan dampak lanjutan dan dampak tidak langsung.

Ratio Income Multiplier Tipe I, secara matematis ditulis:

=

...(2)

(44)

Ratio Income Multiplier Tipe II, secara matematis ditulis:

=

dimana:

D: Pendapatan lokat yang diterima secara langsung dari E (rupiah) N: Pendapatan lokal yang diterima secara tidak langsung dari E (rupiah) E: Tambahan pengeluaran wisatawan (rupiah)

U: Pendapatan lokal yang diterima secara lanjutan dari E (rupiah) Multiplier effect memiliki kriteria-kriteria, sebagai berikut:

 Jika nilai koefisien multiplier tersebut kurang atau sama dengan nol (≤ 0), maka kawasan wana wisata belum mampu memberikan dampak ekonomi terhadap aktivitas wisatanya.

 Jika nilai koefisien multiplier diantara nol dan satu (0 ≤ x ≤ 1), maka kawasan wana wisata memberikan nilai dampak ekonomi yang rendah.

 Jika nilai koefisien multiplier tersebut lebih atau sama dengan satu (≥ 1) , maka kawasan wana wisata mampu memberikan dampak ekonomi terhadap aktivitas wisatanya.

(45)

29

V. GAMBARAN UMUM

5.1 Kondisi Geografis dan Administratif

Kabupaten Tasikmalaya secara geografis terletak di 107.56 – 108.8 BT dan 7.10-7.49 LS. Kabupaten Tasikmalaya memiliki luas 2 712.52 km. Kabupaten Tasikmalaya mengalami pemekaran daerah secara bertahap sejak tahun 2000-2005 sehingga memiliki kawasan wilayah administratif 39 kecamatan yang terdiri dari 351 desa. Salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Tasikmalaya adalah Kecamatan Sukaratu. Sukaratu merupakan kecamatan baru yang mengalami pemekaran pada tanggal 21 Juni 2000 sesuai dengan Perda No. 25 tahun 2000. Kecamatan Sukaratu memiliki 8 desa. Desa Linggarjati merupakan salah satu desa di Kecamatan Sukaratu dengan luas 780.559 Ha, dengan batasan wilayah berikut:

Batas Utara : Desa Sinagar, Kecamatan Sukaratu Batas Timur : Desa Tawabanteng, Kecamatan Sukaratu Batas Selatan : Desa Mekarjaya, Kecamatan Padakembang Batas Barat : Gunung Galunggung, Kecamatan Sukaratu

5.2 Kondisi dan Potensi Wilayah

(46)

5.3 Kependudukan dan Sumberdaya Manusia

Kepadatan penduduk Desa Linggarjati dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Jumlah kepadatan penduduk dapat dilihat pada tabel 9 berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 9 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Desa Linggarjati tahun 2008-2012

Tahun Jenis kelamin

Laki-laki Perempuan Jumlah

2008 2 300 2 025 4 325

2009 2 315 2 035 4 350

2010 2 340 2 051 4 391

2011 2 347 2 054 4 401

2012 2 356 2 068 4 424

Sumber: Kantor Desa Linggarjati (2013)

Jumlah penduduk yang semakin meningkat disebabkan oleh faktor kelahiran yang semakin meningkat dan jumlah pendatang yang semakin bertambah serta menetap di Desa Linggarjati.

Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan mengalami fluktuatif dari tahun ke tahun. Penurunan jumlah masyarakat kurang terdidik di Desa Linggarjati disebabkan oleh sekolah yang belum memadai sehingga masyarakat memilih bersekolah di luar desa dan faktor keterbatasan biaya sehingga masyarakat memilih berkerja untuk mensejahterakan ekonomi rumah tangga. Berikut tabel 10 Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan.

Tabel 10 Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2008-2012 Tingkat pendidikan

Tahun SD SMP SMA PT

2008 305 201 104 25

2009 340 207 119 23

2010 326 221 132 18

2011 335 205 165 21

2012 345 198 113 21

Sumber: Kantor Desa Linggarjati (2013)

(47)

31

Tabel 11 Jumlah matapencaharian penduduk di Desa Linggajati tahun 2008-2012

Tahun Petani Buruh PNS Wirausaha

Sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Linggarjati mendukung kegiatan masyarakat dan kegiatan pariwisata di Kawasan Wana Wisata Gunung Galunggung. Berikut tabel 12 sarana, prasarana, dan fasilitas yang berada di Desa Linggarjati.

Tabel 12 Sarana, prasarana, dan fasilitas yang berada di Desa Linggarjati tahun 2013

No Sarana prasana dan fasilitas Jumlah

1 Kantor Desa 1

Kondisi sarana, prasarana, dan fasilitas di Desa Linggarjati dan Kawasan Wana Wisata Gunung Galunggung cukup memadai karena mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan masyarakat dan pengunjung. Kawasan Wana Wisata Gunung Galunggung menyediakan sarana dan prasarana, yaitu fasilitas kolam renang, pemandian alam, Kawah Galunggung, air terjun, dan bak rendam. Sarana dan prasarana dikelola oleh KPH Perhutani Tasikmalaya dan Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Tasikmalaya.

5.5 Aksesibilitas Wilayah

(48)

perjalanan ±300 km. Sedangkan dari Ibukota Provinsi, Bandung dibutuhkan waktu berkisar ±3 jam dengan jarak tempuh 120 km. Desa Linggarjati dapat ditempuh dari Kota Tasikmalaya menggunakan angkutan umum rute terminal Indihiang ke Sukaratu dengan jadwal keberangkatan satu jam sekali dan biaya sebesar Rp 7 000,

5.6 Karakteristik Responden

Penelitian dilakukan di kawasan wana wisata Gunung Galunggung peneliti membagi reponden kedalam tiga kelompok, yaitu 1) Unit usaha, 2) Tenaga kerja di kawasan wisata, dan 3) Pengunjung kawasan wana wisata bulan April-Mei 2013.

5.6.1 Karateristik Pelaku Unit Usaha

Karakteristik pelaku unit usaha dikelompokan berdasarkan jenis kelamin, kategori umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan lama berjualan. Pelaku unit usaha berada di sekitar lokasi Wana Wisata Gunung Galunggung. Mayoritas pelaku unit usaha terlibat langsung untuk melaksanakan kegiatan jual beli tanpa mempekerjakan tenaga kerja.

(49)

33

(50)

aktivitas usaha secara langsung. Karakteristik berdasarkan jenis kelamin, seluruh tenaga kerja lokal merupakan laki-laki. Kawasan wana wisata yang beroperasi hampir 24 jam mendorong kawasan wana wisata memiliki tenaga kerja lokal laki-laki. Berdasarkan karakteristik umur, tenaga kerja lokal dengan umur 35-44 tahun adalah tingkat umur paling banyak sebesar 56 persen. Berdasarkan karakteristik tingkat pendidikan, tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SMA menempati tingkat paling tinggi sebesar 61 persen. Berdasarkan karakteristik pendapatan tenaga kerja lokal dengan tingkat pendapatan >2 000 000 adalah tingkat pendapatan paling banyak sebesar 39 persen karena rata-rata tenaga kerja lokal sudah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tenaga kerja lokal yang berkerja >16 tahun merupakan tenaga kerja terbanyak sebesar 39 persen.

Tabel 14 Karateristik tenaga kerja lokal di Wana Wisata Gunung Galunggung

Karakteristik Jumlah Persentase

(Jiwa) (%)

1. Umur (Tahun)

a. 25-34 2 9

b. 35-44 13 56

c. >45 8 35

2. Tingkat Pendidikan

a. Tidak Sekolah 1 5

b. SD 6 26

c.SMP 1 4

d. SMA 14 61

e. Perguruan Tinggi 1 4

3. Tingkat Pendapatan (Rupiah)

a.<500 000 6 26

b. 500 001-1 000 000 3 13

c. 1 000 001-2 000 000 5 22

d. >2 000 000 9 39

4. Lama Bekerja

a. < 5 tahun 1 4

b. 6-10 tahun 8 35

c. -15 tahun 5 22

d. >16 Tahun 9 39

Total Setiap Karakteristik 23 100

(51)

35

5.6.3 Karakteristik Pengunjung

Karakteristik pengunjung berdasarkan jenis kelamin, kategori umur, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan. Karakteristik pengunjung merupakan pengunjung yang mengunjungi kawasan wana wisata pada bulan April-Mei 2013. Tabel 15 Karateristik pengunjung di Wana Wisata Gunung Galunggung

Karakterisitik Jumlah

(52)

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Perubahan Kelembagaan

Penyerobotan dalam penggunaan kawasan hutan lindung Gunung Galunggung sebagai lahan pertanian yang illegal karena lemahnya pengawasan kelembagaan melatarbelakangi terjadinya perubahan kelembagaan. Perubahan kelembagaan diawali melalui diskusi yang merupakan tahapan dalam proses inisiasi oleh pihak KPH Tasikmalaya. Diskusi yang dilakukan bertujuan mengidentifikasi pihak–pihak dalam masyarakat yang ingin melibatkan diri secara langsung melalui pembentukan wadah pengelolaan kawasan wana wisata. Output yang dihasilkan dari tahapan inisiasi berupa pembentukan MOU (Memorandum Of Understanding) dengan wadah pengelolaan bersama antara masyarakat dalam LMDH wana Lingga Mukti dengan pihak KPH Perhutani.

Pembentukan MOU antara Pihak Perhutani dan LMDH Wana Lingga Mukti berdasarkan pada MOU nomor: 7/059.9/PHBM/TSM/III/2008 untuk menjelaskan tupoksi masing-masing kelembagaan. Pembentukan MOU berdasarkan informasi dasar perjanjian sesuai pasal 1 keputusan Direksi Perum Perhutani No.268/KPTS/Dir/2007 tanggal 8 Maret 2007, Keputusan Bupati Tasikmalaya No.5222.12/Kep146/Dishutbun/2002 Tanggal 6 Mei 2002 tentang forum PHBM di Kabupaten Tasikmalaya, Surat Gubernur Jawa Barat No. 11 Tahun 2006 tentang Pemberdayaan Masyarakat Desa Sekitar Hutan Negara dan Perkebunan Besar, dan Nota Kesepakatan bersama antara Perum Perhutani KPH dengan Pemerintah Desa Linggarjati tahun 2008. MOU terdiri dari 18 pasal dengan 2 lembar lampiran berisi Data Pangkuan Desa Hutan.

(53)

37

desa yang aktif melakukan kegiatan ekonomi seperti pelaku unit usaha di sekitar kawasan wana wisata. Pelaku usaha dibedakan menjadi dua pihak, yaitu pihak Pemda yang diwakilkan oleh institusi Disparbud dengan daerah berjualan di lahan milik Pemda dan pihak Koparga di bawah institusi KPH Perhutani dengan daerah berjualan di lahan milik KPH Perhutani. Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya memberikan wewenang kepada Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Tasikmalaya untuk mengelola kawasan wana wisata dengan terjalin kerjasama yang menetapkan kebijakan berupa masuk kawasan wana wisata satu pintu. Hasil yang diperoleh melalui ticketing merupakan share antara KPH dan Disparbud.

Gambar 3 Bentuk kelembagaan tata kelola baru

Hasil kelembagaan dengan tata kelola baru berupa aturan main dan anggota kelembagaan yang baru. Oleh karena itu, dibutuhkan tahap sosialisasi kelembagaan untuk menyamakan persepsi. Stakeholder memberikan sosialisasi kepada anggota kelembagaan termasuk masyarakat sebagai anggota baru dalam kelembagaan guna mengetahui kerjasama antar lembaga sehingga mampu menjalankan tugas, pokok, dan fungsi masing-masing kelembagaan dan bentuk kerjasama yang koordinatif. Sosialisasi yang dilakukan dalam bentuk penyuluhan sehingga tercipta komunikasi feedback dengan mekanisme sharing.

6.2 Efektivitas Kelembagaan

Substansi kelembagaan disetiap lembaga memiliki struktur kelembagaan dan kelengkapan kelembagaan yang jelas karena diperkuat dengan hukum. Bentuk

PEMDA

DISPARBUD

Perum Perhutani

KPH Perhutani

LMDH

(54)

kelembagaan baru terbentuk memiliki struktur antar lembaga yang jelas. Proses monitoring dan evaluasi guna mengukur tingkat keberhasilan berdasarkan penguatan hukum, yaitu MOU dilakukan secara bersama-sama dengan rutin. Namun koordinasi dalam proses kelembagaan dilaksanakan secara tidak menyeluruh antara lembaga yang satu dengan lembaga yang lain, contoh Koparga tidak berkoordinasi secara langsung dengan Disparbud dan hanya berkoordinasi dengan pihak KPH Perhutani, kemudian Pihak KPH yang berhubungan dengan Disparbud. Hal ini menyebabkan penyampaian informasi kelembagaan yang kurang efektif. Efektivitas yang rendah ditunjukan melalui hasil wawancara dengan key person, yaitu kurangnya koordinasi antara Koparga dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan sehingga terjadi keterlambatan dalam penerimaan informasi seperti dalam perencanaan anggaran dana.

Efektivitas kelembagaan dinilai berdasarkan persepsi mengenai kelembagaan dan dampak ekologi yang diakibatkan dari proses perubahan kelembagaan. Persepsi dinilai oleh anggota organisasi dan anggota non-organisasi. Anggota organisasi adalah pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pengelolaan kawasan wana wisata. Sedangkan anggota non-organisasi adalah pihak-pihak yang tidak terlibat di dalam pengelolaan kawasan wana wisata.

6.2.1 Hasil Persepsi Efektivitas Anggota Non-organisasi

Gambar

Tabel 1 Profil wisata mancanegara tahun 2011 dan 2012 di Jawa Barat
Gambar 1 Kerangka pemikiran operasional
Tabel 2 Matriks keterkaitan antara tujuan, parameter, sumber data, dan metode analisis
Tabel 3 Matriks analisis proses perubahan kelembagaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan menjadi satu pengertian yang menjelaskan keiikutsertaan dan keterlibatan yang menjadi subjek pelaku yang

Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Daun Sirsak ( Annona muricata L.) Terhadap Kadar Superoksida dismutase (SOD) dan Malondialdehide (MDA) Mammae Mencit (Mus musculus)

Faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi tingkat kerawanan desa atau kelurahan terhadap penyakit DBD di Kabupaten Lamongan tahun 2009 berdasarkan model GWOLR adalah kepadatan

Rencana Penarikan Dana dan Perkiraan Penerimaan yang tercantum dalam Halaman III DIPA diisi sesuai dengan rencana pelaksanaan kegiatan.. Tanggung jawab terhadap penggunaan anggaran

Hasilevaluasi administrasi, teknis dan harga sudah sesuai dengan ketentuan. il Nama

[r]

In a later work, The Experience of Freedom of 1988, Nancy presents an even more elaborate defense of the links between experience and freedom, which involves the

Skripsi yang berjudul PENGARUH PEMBERIAN ANEKA PAKAN HIJAUAN YANG BERBEDA TERHADAP DAYA TAHAN HIDUP JANGKRIK KALUNG ( Gryllus bimaculatus ) Oleh Uswatun Hasanah