• Tidak ada hasil yang ditemukan

Estimasi Nilai Pajak Emisi Kendaraan Umum Berbahan Bakar Solar (Studi Kasus: Metro Mini di DKI Jakarta).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Estimasi Nilai Pajak Emisi Kendaraan Umum Berbahan Bakar Solar (Studi Kasus: Metro Mini di DKI Jakarta)."

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

ESTIMASI NILAI PAJAK EMISI KENDARAAN UMUM

BERBAHAN BAKAR SOLAR

(Studi Kasus: Metro Mini di DKI Jakarta)

LAURA REVIANI BESTARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Estimasi Nilai Pajak Emisi Kendaraan Umum Berbahan Bakar Solar (Studi Kasus: Metro Mini di DKI Jakarta) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2015

Laura Reviani Bestari

(3)

RINGKASAN

LAURA REVIANI BESTARI. Estimasi Nilai Pajak Emisi Kendaraan Umum Berbahan Bakar Solar (Studi Kasus: Metro Mini di DKI Jakarta). Dibimbing oleh ACENG HIDAYAT dan MOHAMAD YANI.

Sebanyak 60 persen pencemaran udara di DKI Jakarta berasal dari sumber bergerak, terutama emisi kendaraan umum berbahan bakar solar. Konsumsi bahan bakar solar oleh sektor transportasi sebanyak 92 persennya digunakan oleh kendaraan umum yang didominasi oleh kategori bus sedang. PT. Metro Mini merupakan perusahaan yang memiliki jumlah bus terbanyak, yaitu 20 persen dari seluruh jenis bus dan 62,7 persen dari total perusahaan kategori bus sedang. Jumlah emisi kendaraan umum berbahan bakar solar kategori bus sedang di DKI Jakarta mencapai 17.078,27 ton NO2, 15.786,63 ton CO, 2.009,21 ton PM10 dan 1.334,69 ton SO2 yang

berisiko bagi kesehatan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengestimasi nilai kerugian ekonomi pencemaran udara dari emisi gas buang kendaraan umum berbahan bakar solar di DKI Jakarta; 2) Mengestimasi nilai pajak kendaraan umum berbahan bakar solar di DKI Jakarta dengan menginternalisasikan kerugian ekonomi pencemaran udara; 3) Mengestimasi nilai pajak emisi per parameter pencemar udara dari kendaraan umum berbahan bakar solar di DKI Jakarta sebagai basis biaya per unit pencemaran berdasarkan kerugian ekonomi yang ditimbulkannya; 4) Menganalisis peran dan pengaruh stakeholders serta peraturan perundangan terkait proses perumusan dan implementasi kebijakan pajak kendaraan umum berbahan bakar solar yang menginternalisasikan nilai kerugian pencemaran udara di DKI Jakarta. Metode penelitian ini adalah analisis valuasi ekonomi dengan pendekatan biaya per unit pencemaran dan biaya kesehatan masyarakat, internalisasi kerugian ekonomi dalam pajak kendaraan bermotor (PKB), perhitungan matematis dan pendekatan proporsi serta analisis stakeholders dan content analysis.

Hasil estimasi nilai kerugian ekonomi pencemaran udara dari emisi Metro Mini berdasarkan pendekatan biaya per unit pencemaran mencapai Rp 2,17 milyar/tahun, sedangkan berdasarkan pendekatan biaya kesehatan masyarakat mencapai Rp 12,45 milyar/tahun. Hasil estimasi nilai PKB yang menginternalisasikan kerugian ekonomi pencemaran udara berdasarkan pendekatan biaya per unit pencemaran adalah Rp 1.301.955/kendaraan/tahun, sedangkan berdasarkan pendekatan biaya kesehatan masyarakat mencapai Rp 4.617.119/kendaraan/tahun. Adapun estimasi tarif pajak per parameter pencemaran berdasarkan kerugian ekonomi yang ditimbulkannya terhadap kesehatan masyarakatyaitu Rp 227/kg-CO, Rp 357/kg-NO2, Rp 2.347/kg-SO2 dan Rp

3.500/kg-PM10. Hasil analisis stakeholders mengenai peran dan pengaruhnya dalam

perumusan dan penerapan PKB yang menginternalisasikan kerugian ekonomi pencemaran udara menunjukkan BPLHD DKI Jakarta merupakan key player, Dishub dan Dinkes DKI Jakarta serta PPSML UI merupakan subject, DPP, BPKD dan DPRD DKI Jakarta serta LSM Organda dan Manajemen PT. Metro Mini merupakan context setter, sedangkan masyarakat merupakan crowd. Adapun hasil content analysis

mengenai peraturan perundangan dalam perumusan dan penerapan kebijakan tersebut menunjukkan bahwa diperlukan peraturan perundangan turunan dari UU PDRD dan UU PPLH untuk operasionalisasinya agar lebih spesifik, realistis dan aplikatif.

(4)

SUMMARY

LAURA REVIANI BESTARI. Estimated Emissions Tax Value of Diesel-Fueled Public Transport (Case Study: Metro Mini in Jakarta). Supervised by ACENG HIDAYAT and MOHAMAD YANI.

As many as 60 percent of air pollution in Jakarta comes from mobile sources, mainly emissions of diesel-fueled public vehicle. Diesel fuel consumption of the transportation sector used by public transport as much as 92 percent, dominated by middle-bus categories. PT. Metro Mini is a company which has the highest bus number, which is 20 percent of all types of buses and 62.7 percent of total middle-bus categories. The amount of emission from diesel-fueled public transport especially middle-bus categories in Jakarta reached 17,078.27 tons of NO2, 15,786.63 tons of

CO, 2,009.21 tons of PM10 and 1,334.69 tons of SO2 which are risky to public health.

This study aims to: 1) Estimate the value of the economic loss of air pollution from diesel-fueled public transport in Jakarta; 2) Estimate the value of diesel-fueled public transport vehicle tax in Jakarta which is internalizing the economic loss of air pollution; 3) Estimate the emissions tax value per parameter pollutant from diesel-fueled public transport in Jakarta as a base cost per unit pollutant caused by the economic loss; 4) Analyze the role and influence of stakeholders as well as legislation related to the formulation and implementation of diesel-fueled public tranport tax policy that internalize the economic loss of air pollution in Jakarta. This research method is the analysis of economic valuation with costs per unit pollutant approach and public health costs approach, internalizing economic losses in the motor vehicle tax (PKB), the mathematical calculations and proportion approaches, as well as stakeholder analysis and content analysis.

Results of the estimated value of air pollution economic losses from Metro Mini emissions based on the cost per unit pollutant approach reached Rp 2.17 billion/year, whereas based on the cost of public health approach reached Rp 12.45 billion/year. Results of estimated PKB value that internalize the economic losses based on the cost per unit pollutant approach is Rp 1,301,955/vehicle/year, whereas based on the cost of a public health approach is Rp 4,617,119/vehicle/year. The estimated emissions tax per parameter pollutant based on economic losses from public health is Rp 227/kg-CO, Rp 357/kg-NO2, Rp 2,347/kg-SO2 and Rp

3,500/kg-PM10. Results of the stakeholders analysis on the role and influence in the formulation

and implementation of the PKB that internalize economic loss of air pollution show BPLHD Jakarta as a key player, Dishub and Dinkes Jakarta and PPSML UI as the subjects, DPP, BPKD and DPRD Jakarta, Organda and PT. Metro Mini as the context setter, while the public as a crowd. The results of content analysis of the legislation in the formulation and implementation of these policies shows that the necessary laws and regulations derived from the PPLH Law and the PDRD Law for its operation to be more specific, realistic and applicable.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

ESTIMASI NILAI PAJAK EMISI KENDARAAN UMUM

BERBAHAN BAKAR SOLAR

(Studi Kasus: Metro Mini di DKI Jakarta)

LAURA REVIANI BESTARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Judul Tesis : Estimasi Nilai Pajak Emisi Kendaraan Umum Berbahan Bakar Solar (Studi Kasus: Metro Mini di DKI Jakarta)

Nama : Laura Reviani Bestari NIM : P052137624

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Ketua

Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Estimasi Nilai Pajak Emisi Kendaraan Umum Berbahan Bakar Solar (Studi Kasus: Metro Mini di DKI Jakarta)”. Penulis menyadari masih adanya kekurangan dalam karya ilmiah ini, namun semoga tetap dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menjadi masukan dalam penyusunan kebijakan terkait pengendalian pencemaran udara dari emisi kendaraan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT dan Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng selaku dosen pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ir. Gustami, M.Sc dan Sulistianingsih, SE, M.Sc dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang telah memberikan banyak saran dalam penyusunan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada papa, mama, adik, suami serta seluruh keluarga atas segala doa dan dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2015

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

1 PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 6

Manfaat Penelitian ... 6

Ruang Lingkup Penelitian ... 7

Kerangka Pemikiran ... 7

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 10

Pencemaran Udara ... 10

Emisi Kendaraan Bermotor dan Dampaknya Terhadap Kesehatan ... 11

Teori Eksternalitas ... 13

Valuasi Ekonomi untuk Internalisasi Eksternalitas Pencemaran Udara ... 15

Pajak Lingkungan ... 18

Analisis Stakeholders dalam Proses Perumusan Kebijakan ... 20

Content Analysis ... 21

Hasil Penelitian Terdahulu ... 22

3 METODE ... 27

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27

Jenis dan Sumber Data ... 27

Metode Pengumpulan Data ... 27

Prosedur Analisis Data ... 28

Analisis Valuasi Ekonomi ... 29

Internalisasi Nilai Kerugian Ekonomi ... 32

Perhitungan Matematis dan Pendekatan Proporsi ... 33

Analisis Stakeholders ... 33

Content Analysis ... 35

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi Pencemaran Udara ... 38

Estimasi Nilai Pajak yang Menginternalisasikan Kerugian Ekonomi Pencemaran Udara ... 45

Estimasi Nilai Pajak Emisi per Parameter Pencemaran Udara Berdasarkan Kerugian Ekonomi ... 48

Peran dan Pengaruh Stakeholders serta Peraturan Perundangan ... 51

5 SIMPULAN DAN SARAN ... 69

Simpulan ... 69

Saran ... 69

(11)

DAFTAR TABEL

1. Nama perusahaan, jumlah bus dan jumlah trayek kendaraan umum

berbahan bakar solar kategori bus sedang di DKI Jakarta ... 4

2. Peneliti, judul, fokus perhatian dan metode penelitian terdahulu ... 26

3. Tujuan penelitian beserta jenis, sumber dan metode analisis data ... 29

4. Basis biaya per unit pencemaran berbagai parameter emisi udara ... 30

5. Responden penelitian pada analisis stakeholders ... 33

6. Topik dan sub topik pada analisis stakeholders ... 34

7. Jumlah unit pencemaran dari gas buang Metro Mini ... 40

8. Estimasi nilai kerugian ekonomi pencemaran udara dari emisi Metro Mini berdasarkan biaya per unit pencemaran ... 40

9. Jumlah masyarakat yang sakit akibat pencemaran udara di DKI Jakarta ... 42

10. Biaya pengobatan akibat pencemaran udara dari emisi Metro Mini ... 44

11. Koreksi perhitungan nilai PKB Metro Mini ... 47

12. Persentase konsentrasi emisi CO, NO2, SO2 dan PM10 dari kendaraan bermotor terhadap baku mutu udara di DKI Jakarta ... 49

13. Kerugian ekonomi per parameter CO, NO2, SO2 dan PM10 dari emisi Metro Mini di DKI Jakarta ... 49

14. Estimasi nilai pajak per kg CO, NO2, SO2 dan PM10 dari emisi Metro Mini... 50

15. Perbandingan nilai pajak per kg CO, NO2, SO2 dan PM10 ... 50

16. Skor kepentingan stakeholders dalam perumusan dan penerapan kebijakan PKB yang menginternalisasikan pencemaran udara ... 53

17. Skor pengaruh stakeholders dalam perumusan dan penerapan kebijakan PKB yang menginternalisasikan pencemaran udara ... 54

18. Ringkasan hasil analisis stakeholders ... 57

DAFTAR GAMBAR

1. Perbandingan konsumsi BBM kendaraan bermotor di DKI Jakarta tahun 2012 (BPLHD DKI Jakarta 2013) ... 3

2. Jumlah kendaraan, jarak tempuh dan konsumsi solar pada kendaraan umum di DKI Jakarta tahun 2012 (Dishub DKI Jakarta 2013) ... 4

3. Jumlah emisi gas buang dari kendaraan umum berbahan bakar solar kategori bus sedang di DKI Jakarta tahun 2012 ... 5

4. Kerangka pemikiran penelitian ... 9

5. Pilihan metode valuasi ekonomi NTD SDALH (KLH 2007) ... 15

6. Prosedur Content Analysis (Rosyilin 2008) ... 22

7. Keterkaitan komponen D, E, F, G dan H sebagai ilustrasi proporsi jumlah masyarakat yang sakit ... 32

8. Matriks pengaruh dan kepentingan stakeholders ... 35

9. Ilustrasi proporsi jumlah masyarakat yang sakit ... 42

(12)

11. Matriks pengaruh dan kepentingan stakeholders dalam perumusan dan penerapan kebijakan PKB yang menginternalisasikan pencemaran udara ... 55

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kuesioner Analisis Biaya Kesehatan Masyarakat ... 75 2. Kuesioner Analisis Stakeholders untuk Masyarakat Pengguna Metro

Mini ... 77 3. Panduan Wawancara Narasumber Analisis Stakeholders ... 78 4. Kendala dalam Perumusan dan Penerapan Kebijakan PKB yang

Menginternalisasikan Biaya Pencemaran Udara ... 80 5. Rekomendasi dalam Perumusan dan Penerapan PKB yang

(13)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Badan Pusat Statistik (BPS 2014a) mencatat jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2013 mencapai 248,82 juta orang dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 1,42 persen per tahun. Peningkatan jumlah penduduk yang diikuti dengan peningkatan aktivitas perekonomian cenderung meningkatkan kebutuhan akan jasa transportasi (Lestari dan Adolf 2008). Subsektor transportasi di Indonesia yang menunjukkan pertumbuhan terpesat selama 20 tahun terakhir adalah subsektor transportasi darat. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor sebagai sarana transportasi darat mencapai rata-rata 11 persen per tahun (BPS 2014a).

Jumlah kendaraan bermotor yang terus bertambah mendorong peningkatan konsumsi bahan bakar minyak (BBM). Kementerian Lingkungan Hidup (KLH 2012a) mengemukakan bahwa konsumsi BBM di Indonesia dalam 20 tahun terakhir meningkat sebanyak dua kali lipat, dari 30 juta kilo liter (KL) pada tahun 1991 menjadi 60 juta KL pada tahun 2011. Proses pembakaran BBM pada kendaraan bermotor mengemisikan gas buang yang mengandung zat-zat pencemar, diantaranya nitrogen dioksida (NO2), karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), partikel berdiameter 10 mikron dan 2,5 mikron ke bawah (Partikulat Matter/PM10 dan PM2,5) serta hidrokarbon (HC). Menurut Achmadi (2008), komposisi udara normal meliputi 79 persen Nitrogen (N), 20 persen Oksigen (O2) dan 1 persen berbagai bahan seperti ozon (O3), karbondioksida (CO2), CO, SO2 dan lain-lain. Penyimpangan dari kondisi normal tersebut atau perubahan konsentrasi jenis komponen pada waktu dan tempat tertentu menimbulkan pencemaran yang berdampak terhadap kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya (Soedomo 2001).

Menurut BPS (2012), emisi gas buang dari kendaraan bermotor memberikan kontribusi terbesar terhadap konsentrasi zat pencemar pada udara ambien di wilayah perkotaan yaitu 90 persen dari konsentrasi CO, 75 persen dari konsentrasi NO2, 67 persen dari konsentrasi PM10 dan 50 persen dari konsentrasi SO2. Pemerintah telah mengupayakan berbagai cara untuk mengendalikan pencemaran udara dari emisi kendaraan bermotor agar tercapai kualitas udara yang layak bagi kesehatan sesuai dengan baku mutu udara ambien nasional. Salah satu program pengendalian pencemaran udara menurut Keputusan Menteri LH Nomor 4/1996 adalah Program Langit Biru yang dilaksanakan melalui kegiatan Evaluasi Kualitas Udara Perkotaan (EKUP). Indikator utama dari kegiatan ini adalah pelaksanaan uji emisi kendaraan bermotor dan pemantauan kualitas udara di jalan raya (roadside monitoring).

(14)

CO (3.907 µg/Nm3) dan SO2 (200 µg/Nm3) meskipun masih di bawah baku mutu yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Dengan demikian, kualitas udara perkotaan di Indonesia umumnya cenderung mengalami penurunan sehingga berpotensi menimbulkan berbagai gangguan kesehatan, diantaranya berupa iritasi mata, infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), reaktivitas pembuluh tenggorokan, peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan risiko kematian dini (KLH 2013a; Tugaswati 2004; Sarassetiawaty 2004; Soleiman 2008; Satriyo 2012).

Berdasarkan data Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) diketahui bahwa Jakarta termasuk kategori kota yang tidak sehat akibat banyaknya hari tercemar di kota tersebut, yaitu rata-rata 26 hari dalam satu bulan. Hasil pemantauan KLH (2013a) menunjukkan tingkat konsentrasi zat pencemar tertinggi berdasarkan parameter PM10 berada di Jakarta Utara (168 µg/Nm3 > baku mutu 150 µg/Nm3), HC di Jakarta Barat (375 µg/Nm3 > baku mutu 160 µg/Nm3), O3 di Jakarta Pusat (350 µg/Nm3 > baku mutu 235 µg/Nm3), serta CO (6.200 µg/Nm3 < baku mutu 10.000 µg/Nm3), NO2 (83 µg/Nm3 < baku mutu 150 µg/Nm3)danSO2 di Jakarta Timur (200 µg/Nm3 < baku mutu 365 µg/Nm3). Hal ini menjadikan Jakarta sebagai kota yang memiliki kualitas udara terendah di Indonesia (KLH 2013a). BPS (2014b) menyebutkan bahwa dari 94,37 juta kendaraan bermotor di Indonesia, sebanyak 14,08 persen diantaranya berada di DKI Jakarta sehingga berkontribusi besar dalam pencemaran udara. Selain itu, Jakarta juga mempunyai kepadatan penduduk tertinggi, yaitu mencapai 15.015 jiwa/km2 dengan total penduduk sebanyak 9.603.417 jiwa (BPS 2014a). Hal ini menyebabkan relatif banyak masyarakat Jakarta yang berisiko mengalami gangguan kesehatan akibat pencemaran udara dari kendaraan bermotor (Asri dan Hidayat 2005; Maryanto et al. 2009). Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi DKI Jakarta (2013) mengemukakan bahwa 57,8 persen warga DKI Jakarta menderita beragam penyakit terkait pencemaran udara, diantaranya ISPA, asma, bronkhitis, pneumonia, penyakit paru obstruktif kronis dan jantung koroner. Adapun jenis penyakit yang paling banyak diderita adalah ISPA, yaitu mencapai 36,7 persen dari masyarakat tersebut.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG 2012) mengemukakan bahwa sebanyak 60 persen pencemaran udara di DKI Jakarta berasal dari sumber bergerak, terutama emisi kendaraan umum berbahan bakar solar. Padahal, menurut Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta (2013), jumlah kendaraan umum berbahan bakar solar hanya 0,21 persen dari keseluruhan kendaraan yang ada di DKI Jakarta. Jenis kendaraan tersebut terdiri atas bus besar (misalnya PPD, Bianglala dan Mayasari Bakti), bus sedang (misalnya Metro Mini, Kopaja dan Kopami), bus Antar Kota Antar Propinsi (AKAP) dan bus pariwisata. Namun demikian, kendaraan tersebut harus melayani lebih dari 8,5 juta perjalanan per hari atau 56 persen dari total kebutuhan perjalanan di DKI Jakarta sehingga total emisi gas buangnya secara kumulatif relatif tinggi dan berkontribusi besar terhadap pencemaran udara di DKI Jakarta.

(15)

penerapan Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB); b) uji emisi dan perawatan kendaraan bermotor; c) penerapan kawasan parkir berstiker lulus uji emisi; dan d) pemberlakuan pajak progresif bagi kepemilikan kendaraan bermotor pribadi (BPLHD DKI Jakarta 2013). Di sisi lain, upaya market based policy berupa instrumen ekonomi lingkungan hidup (IELH) masih perlu dikembangkan, mengingat nilai Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pajak kendaraan bermotor (PKB) yang hanya mencapai Rp 3,6 triliun/tahun (BPS DKI Jakarta 2013). Nilai ini belum dapat menutupi kerugian yang harus ditanggung akibat pencemaran udara yaitu biaya kesehatan masyarakat yang mencapai Rp 38,5 triliun/tahun (KLH 2013b). Dalam rangka mengendalikan pencemaran udara agar dapat meminimalisasi risiko kesehatan masyarakat, maka penentuan tarif PKB perlu menginternalisasikan nilai kerugian akibat pencemaran udara. Hal ini berlandaskan asas pencemar membayar dalam Undang-undang (UU) Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan didukung oleh hasil kajian Organisation Economic Co-operation and Development (OECD 2011) yang menyatakan bahwa penerapan sistem pajak merupakan instrumen kebijakan yang cost-effective dalam pengelolaan kualitas lingkungan.

Perumusan Masalah

Sektor transportasi di DKI Jakarta menggunakan bahan bakar bensin sebanyak 2.953.744 KL dan solar sebanyak 1.329.138 KL pada tahun 2012 (BPLHD DKI Jakarta 2013). Sebanyak 41 persen dari bahan bakar bensin (1.211.035 KL) dan 92 persen dari bahan bakar solar (1.222.807 KL) digunakan oleh kendaraan umum (Gambar 1). Dengan demikian, konsumsi BBM di DKI Jakarta secara keseluruhan didominasi oleh kendaraan umum terutama yang menggunakan bahan bakar solar untuk melayani lebih dari 8,5 juta perjalanan per hari dengan total jarak tempuh mencapai 4.414.666.192 km/tahun (Dishub DKI Jakarta 2013).

Berdasarkan data Dishub DKI Jakarta (2013), jumlah kendaraan umum berbahan bakar solar mencapai 15.606 unit yang terdiri atas 2.967 unit bus besar, 3.279 unit bus AKAP, 4.416 unit bus pariwisata dan 4.944 unit bus sedang. Peraturan Menteri LH Nomor 12/2010 tentang Pelaksanaan Pengendalian Pencemaran Udara di Daerah telah memberikan acuan mengenai nilai ekonomi bahan bakar kendaraan bermotor di kota metropolitan dan kota besar di Indonesia, Gambar 1. Perbandingan konsumsi BBM kendaraan bermotor di DKI Jakarta

tahun 2012 (BPLHD DKI Jakarta 2013)

(16)

yaitu banyaknya bahan bakar yang diperlukan oleh kendaraan bermotor untuk menempuh suatu jarak tertentu. Nilai ekonomi bahan bakar pada kendaraan umum kategori bus besar (termasuk bus pariwisata dan bus AKAP) adalah 3,5 km/L sedangkan bus sedang adalah 4 km/L. Dengan kata lain, konsumsi solar yang diperlukan bus besar untuk menempuh jarak 1 km mencapai 0,29 liter sedangkan bus sedang 0,25 liter. Data jarak tempuh, jumlah kendaraan dan nilai ekonomi bahan bakar dapat dijadikan acuan untuk mengetahui konsumsi solar setiap jenis kendaraan umum di DKI Jakarta pada tahun 2012 (Gambar 2).

Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui bahwa walaupun nilai ekonomi bahan bakar kategori bus sedang lebih besar daripada kategori bus besar, AKAP dan pariwisata, tetapi karena jumlah kendaraannya lebih banyak (31,7 persen) dan total jarak tempuhnya lebih tinggi (32,5 persen) maka jumlah konsumsi solarnya pun relatif lebih banyak (29,3 persen). Dengan demikian, kendaraan umum berbahan bakar solar kategori bus sedang cenderung lebih banyak berkontribusi terhadap pencemaran udara di DKI Jakarta. Menurut Dishub DKI Jakarta (2013), terdapat lima perusahaan yang mengoperasikan kendaraan umum kategori bus sedang, dimana PT. Metro Mini merupakan perusahaan yang memiliki jumlah bus terbanyak, yaitu 3.101 unit atau 20 persen dari seluruh jenis bus dan 62,7 persen dari total perusahaan kategori bus sedang. Selain itu, PT. Metro Mini juga menguasai 50 rute trayek, atau 16,4 persen dari seluruh trayek bus dan 58,8 persen dari total trayek perusahaan kategori bus sedang (Tabel 1).

Tabel 1. Nama perusahaan, jumlah bus dan jumlah trayek kendaraan umum berbahan bakar solar kategori bus sedang di DKI Jakarta

No. Nama Perusahaan Jumlah Bus (unit) Jumlah Trayek (rute)

1. PT. Metro Mini 3.101 50

2. Kopaja 1.475 28

3. Koantas Bima 185 3

4. Kopami Jaya 163 3

5. PT. Jewa Dian Mitra 20 1

Sumber: Dishub DKI Jakarta (2013)

Gambar 2. Jumlah kendaraan, jarak tempuh dan konsumsi solar pada kendaraan umum di DKI Jakarta tahun 2012 (Dishub DKI Jakarta 2013)

0 500.000.000 1.000.000.000 1.500.000.000

Bus Besar Bus AKAP Bus

Pariwisata

Bus Sedang

2.967 3.279 4.416 4.944

829.134.247 916.323.288

1.234.060.274 1.435.148.384

240.448.932 265.733.753 357.877.479 358.787.096

(17)

Putra (2008) mengemukakan bahwa komponen gas buang utama yang berbahaya dari kendaraan bermotor diesel dengan bahan bakar solar adalah CO, NO2, SO2, dan PM10. Terkait hal tersebut, Peraturan Menteri LH Nomor 12/2010 memberikan acuan nilai rerata jumlah massa pencemar dari emisi pembakaran BBM berdasarkan kategori kendaraan dan jenis bahan bakarnya, yang disebut faktor emisi. Nilai faktor emisi untuk kategori bus sedang berbahan bakar solar adalah 11 g-CO/km, 11,9 g-NO2/km, 0,93 g-SO2/km dan 1,4 g-PM10/km. Berdasarkan nilai faktor emisi tersebut dan data jarak tempuh sebagaimana tercantum dalam Gambar 2, maka dapat diketahui jumlah emisi keempat polutan tersebut sebagai beban pencemar udara dari penggunaan kendaraan umum berbahan bakar solar kategori bus sedang di DKI Jakarta (Gambar 3).

Emisi gas buang dari pembakaran solar adalah beban pencemar udara sehingga termasuk eksternalitas negatif yang dapat menimbulkan kerugian secara ekonomi, sosial dan lingkungan (Delucchi 2000). Upaya internalisasi biaya pengelolaan eksternalitas tersebut pada dasarnya telah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Pasal 5 dalam UU ini menyebutkan bahwa dasar pengenaan PKB adalah nilai jual kendaraan bermotor dan bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor. Nilai bobot tersebut dinyatakan dalam koefisien: a) sama dengan 1 (satu), berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan kendaraan bermotor dianggap masih dalam batas toleransi; b) lebih dari 1 (satu), berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan kendaraan bermotor dianggap telah melewati batas toleransi. Namun hingga saat ini, nilai bobot kendaraan bus sedang berbahan bakar solar masih diberi koefisien sama dengan 1 (satu) sehingga tidak berpengaruh pada hasil perhitungan pajak yang harus dibayarkan. Selain itu, walaupun tarif pajak progresif telah diberlakukan bagi kepemilikan kendaraan pribadi di DKI Jakarta melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2010 tentang PKB, namun tarif pajak bagi kendaraan umum masih disamaratakan yaitu sebesar 0,5 persen.

Cole dan Grossman (2002) menyatakan perlunya pendekatan biaya total sebagai instrumen ekonomi dalam pengelolaan lingkungan hidup. Apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 5 UU Nomor 28/2009, diperlukan kajian Gambar 3. Jumlah emisi gas buang dari kendaraan umum berbahan bakar solar

kategori bus sedang di DKI Jakarta tahun 2012

15.786,63

17.078,27

1.334,69 2.009,21

Jumlah emisi CO (ton) Jumlah emisi NO2 (ton)

(18)

mengenai PKB khususnya kendaraan umum berbahan bakar solar di DKI Jakarta yang dikaitkan dengan kerugian akibat pencemaran udara. Hal ini merupakan mekanisme insentif dan/atau disinsentif yang bertujuan untuk mengendalikan pencemaran udara dari kendaraan bermotor serta menstimulasi perilaku yang lebih ramah lingkungan. Sebagai contoh adalah agar penyedia jasa angkutan umum khususnya Metro Mini dapat melakukan peremajaan kendaraan secara berkala dan/atau menerapkan teknologi rendah emisi seperti penggunaan catalytic converter, karena hasil pemantauan Dishub DKI Jakarta (2013) menunjukkan masih banyak kendaraan umum berumur lebih dari 5 tahun masih dioperasikan dan tanpa perawatan yang baik. Proses perumusan dan implementasi kebijakan PKB yang menginternalisasikan biaya pencemaran udara tentunya memerlukan peran berbagai pihak pemangku kepentingan (stakeholders) serta berbagai peraturan perundangan sebagai payung hukumnya. Berdasarkan hal tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Berapa nilai kerugian ekonomi pencemaran udara dari emisi gas buang kendaraan umum berbahan bakar solar di DKI Jakarta?

2. Berapa nilai pajak kendaraan umum berbahan bakar solar di DKI Jakarta dengan menginternalisasikan kerugian ekonomi pencemaran udara?

3. Berapa nilai pajak emisi per parameter pencemar udara dari kendaraan umum berbahan bakar solar di DKI Jakarta sebagai basis biaya per unit pencemaran berdasarkan kerugian ekonomi yang ditimbulkannya?

4. Bagaimana peran dan pengaruh stakeholders serta peraturan perundangan tekait proses perumusan dan implementasi kebijakan pajak kendaraan umum berbahan bakar solar yang menginternalisasikan nilai kerugian pencemaran udara di DKI Jakarta?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengestimasi nilai kerugian ekonomi pencemaran udara dari emisi gas buang kendaraan umum berbahan bakar solar di DKI Jakarta.

2. Mengestimasi nilai pajak kendaraan umum berbahan bakar solar di DKI Jakarta dengan menginternalisasikan kerugian ekonomi pencemaran udara. 3. Mengestimasi nilai pajak emisi per parameter pencemar udara dari

kendaraan umum berbahan bakar solar di DKI Jakarta sebagai basis biaya per unit pencemaran berdasarkan kerugian ekonomi yang ditimbulkannya. 4. Menganalisis peran dan pengaruh stakeholders serta peraturan perundangan

terkait proses perumusan dan implementasi kebijakan pajak kendaraan umum berbahan bakar solar yang menginternalisasikan nilai kerugian pencemaran udara di DKI Jakarta.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:

1. Pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya terkait internalisasi nilai kerugian pencemaran udara ke dalam PKB sebagai salah satu IELH.

(19)

3. Kepentingan masyarakat, berupa insentif dan/atau disinsentif dalam pengelolaan lingkungan hidup, khususnya untuk memenuhi kebutuhan akan transportasi umum yang nyaman serta kualitas udara yang bersih dan sehat.

Ruang Lingkup Penelitian

Batasan penelitian ini adalah:

1. Sampel hasil uji emisi dikhususkan pada kendaraan Metro Mini, karena merupakan kendaraan kategori bus sedang dengan jumlah bus dan trayek paling banyak yang beroperasi di DKI Jakarta. Parameter yang menjadi fokus penelitian adalah CO, NO2, SO2, dan PM10, dengan asumsi bahwa proporsi kerugian pencemaran udara dari gas buang Metro Mini setara dengan proporsi emisi setiap parameter yang dihasilkan Metro Mini tersebut di udara.

2. Nilai tambahan pajak terkait emisi kendaraan bermotor dihitung berdasarkan nilai kerugian pencemaran dari gas buang bus Metro Mini dengan pendekatan biaya per unit pencemaran dan biaya kesehatan masyarakat. Diasumsikan proporsi jumlah masyarakat yang sakit akibat pencemaran udara setara dengan proporsi konsumsi BBM dan proporsi konsumsi solar Metro Mini diasumsikan setara dengan proporsi jumlah bus Metro Mini terhadap jumlah seluruh kendaraan bus sedang di DKI Jakarta. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara kepada masing-masing 30 orang masyarakat sekitar Terminal Senen, Tanjung Priuk, Kampung Melayu, Blok M dan Kalideres serta data kesakitan dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta dan Puskesmas setempat dengan pertimbangan bahwa kelima lokasi tersebut merupakan tujuan akhir terbanyak pada trayek bus Metro Mini.

3. Nilai pajak emisi per parameter pencemar udara dari kendaraan umum berbahan bakar solar di DKI Jakarta sebagai basis biaya per unit pencemaran didasarkan pada kerugian ekonomi yang ditimbulkannya terhadap masyarakat (hasil analisis biaya kesehatan).

4. Konteks penelitian ini berfokus pada penerapan UU PDRD sehingga pemerintah pusat tidak dilibatkan dalam analisis stakeholders.

Kerangka Pemikiran

(20)

penanggulangan pencemaran atau teknologi bersih yang meminimalisasi emisi zat pencemar sehingga kesehatan masyarakat dapat terpelihara.

Soleiman (2008) mengemukakan bahwa penerapan kebijakan pengendalian pencemaran udara di DKI Jakarta yang cenderung berbasis sistem CAC belum menunjukkan hasil yang optimal sehingga perlu dikembangkan sistem IELH karena merupakan kebijakan terbaik dengan risiko kegagalan terkecil untuk diterapkan dalam mereduksi emisi dari kendaraan bermotor. Sehubungan dengan jumlah emisi kendaraan umum berbahan bakar solar yang menyumbang sebanyak 60 persen pencemaran udara di DKI Jakarta, maka KLH (2013b) menyatakan bahwa penyediaan dan perbaikan angkutan umum merupakan opsi kebijakan yang paling efektif dari segi biaya dan memiliki manfaat ekonomi paling tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan pada estimasi nilai pajak kendaraan umum berbahan bakar solar khususnya Metro Mini terkait kerugian pencemaran udara sebagai IELH berbasis asas pencemar membayar di DKI Jakarta.

(21)

Gambar 4. Kerangka pemikiran penelitian

Analisis Stakeholders dan Content Analysis.

Peran dan pengaruh stakeholders serta peraturan perundangan terkait

perumusan dan implementasi kebijakan pajak kendaraan umum berbahan bakar solar yang

menginternalisasikan nilaikerugian pencemaran udara.

Estimasi nilai pajak kendaraan umum berbahan bakar solar dengan

menginternalisasikan kerugian pencemaran udara.

Perhitungan matematis berdasarkan rumus PKB (UU Nomor 28/2009).

Valuasi ekonomi:

1. Pendekatan biaya emisi (nilai per unit pencemaran CO, NO2, SO2, dan

PM10).

2. Pendekatan modal manusia (analisis biaya kesehatan).

Estimasi nilai kerugian pencemaran udara dari emisi gas buang kendaraan umum berbahan bakar solar terhadap lingkungan dan masyarakat.

Optimalisasi pengendalian pencemaran udara. Kebijakan atur awasi (CAC

policy) yang telah ada.

Kebijakan berbasis pasar (market based policy -IELH) yang perlu dikembangkan.

Peningkatan aktivitas perekonomian. Peningkatan jumlah penduduk.

Peningkatan transportasi darat.

Peningkatan konsumsi BBM dan emisi gas buang kendaraan.

Penurunan kualitas udara.

Kondisi udara DKI Jakarta:

ISPU: dalam 1 bulan terdapat 26 hari tercemar.

Sebanyak 60% pencemaran udara berasal dari emisi kendaraan umum berbahan bakar solar terutama Metro Mini.

Estimasi nilai pajak emisi per parameter pencemar udara dari kendaraan umum berbahan bakar solar di DKI Jakarta sebagai basis biaya per unit pencemaran berdasarkan kerugian ekonomi yang ditimbulkannya.

(22)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Pencemaran Udara

Menurut PP Nomor 41/1999, pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Udara ambien sendiri diartikan sebagai udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya.

Pencemaran udara merupakan penyebab beberapa masalah lingkungan seperti hujan asam, pemanasan global, rusaknya infrastruktur bangunan dan penipisan lapisan ozon. Pencemaran udara juga dapat menyebabkan kematian dan kesakitan yang kebanyakan terkait saluran pernapasan. Kerusakan pada jaringan paru-paru akan mengakibatkan peningkatan tekanan di dalam paru-paru, sehingga jantung yang berfungsi sebagai pompa di dalam sistem kardiovaskuler harus bekerja lebih keras untuk mengatasi tekanan tersebut dan dapat berakibat pada terjadinya gagal jantung (Soemirat 2011).

Sumber pencemaran udara berdasarkan distribusi spasialnya dibedakan menjadi: (1) Sumber titik (pencemar tidak bergerak) misalnya cerobong industri; dan (2) Sumber garis (pencemar begerak), misalnya aktivitas kendaraan bemotor. Pada daerah perkotaan, kendaraan bermotor menghasilkan rerata 75 persen dari seluruh pencemaran udara yang terjadi. Kendaraan bermotor merupakan pencemar sumber bergerak yang menghasilkan COx, HC yang tidak terbakar sempurna, NOx, SOx dan partikulat. Jumlah gas buang yang diemisikan oleh kendaraan ditentukan oleh kecepatan, umur dan perawatan kendaraan (Eldewisa dan Driejana 2009).

(23)

Emisi Kendaraan Bermotor dan Dampaknya Terhadap Kesehatan

Emisi kendaraan bermotor adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari pembakaran BBM pada kendaraan bermotor yang masuk/dimasukkan ke dalam udara ambien melalui pipa pembuangan (knalpot). Setelah berada di udara, zat-zat yang terkandung dalam gas buang kendaraan bermotor dapat berubah karena terjadinya suatu reaksi kimia di atmosfer dan menghasilkan produk akhir dengan tingkat reaktivitas yang berbeda dari senyawa aslinya. Emisi yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor dapat terbagi dalam tiga kategori yaitu: (1) Hot emission, yaitu emisi yang dihasilkan selama kendaraan beroperasi pada kondisi normal; (2) Start emission, yaitu emisi yang dikeluarkan hanya pada saat kendaraan mulai berjalan; dan (3) Evaporation emission, yang dapat terjadi dalam berbagai cara misalnya saat pengisian bahan bakar dan peningkatan temperatur harian (Kusminingrum dan Gunawan 2008).

Proses pembakaran pada mesin kendaraan bermotor (sumber bergerak) relatif tidak sesempurna pembakaran pada mesin industri (sumber tidak bergerak/stasioner) sehingga menghasilkan polutan pada kadar yang lebih tinggi. Emisi gas buang kendaraan bermotor juga langsung masuk ke dalam lingkungan yang relatif lebih dekat dengan masyarakat dibandingkan dengan emisi gas buang dari cerobong industri. Oleh karena itu, masyarakat yang tinggal atau beraktifitas di sekitar jalan yang padat lalu lintas kendaraan bermotor akan terpajan oleh polutan dengan kadar yang relatif tinggi dibandingkan masyarakat di sekitar lokasi industri (Rahmawati 2009).

Menurut OECD (2011), sebanyak 3,5 juta orang meninggal setiap tahun di seluruh dunia akibat pencemaran udara. Lebih dari 50 persen kematian tersebut disebabkan oleh sektor transportasi, khususnya emisi kendaraan berbahan bakar solar. Penyebab utama kematian adalah polutan PM10 dan NOx yang dapat menyebabkan asma, kanker paru-paru, gangguan pernafasan, hati dan jantung. Nilai kerugian masyarakat akibat kehilangan kesempatan hidup yang disebabkan oleh pencemaran udara mencapai 1,6 juta US$/tahun. Di perkotaan Asia, dilaporkan lebih dari 530.000 kematian terjadi akibat polusi udara setiap tahun (CAI Asia 2007).

(24)

Soleiman (2008) mengemukakan bahwa komponen utama gas buang mesin berbahan bakar solar yang membahayakan adalah asap hitam (jelaga/soot) yang terbentuk akibat pembakaran yang tidak sempurna dan seringkali bersifat karsinogenik. Mesin tersebut juga akan menghasilkan polutan berupa partikulat (PM10) yang dapat terhisap ke dalam sistem pernafasan sampai ke dalam alveoli dan menyebabkan kontraksi penyempitan saluran pernapasan, kerusakan paru-paru hingga meningkatkan risiko kematian. Pada konsentrasi 140 μg/m3

, PM10 dapat menurunkan fungsi paru-paru pada anak-anak, sementara pada konsentrasi 350 μg/m3

dapat memperparah kondisi penderita bronchitis. PM10 juga merupakan sumber utama haze (kabut asap) yang menurunkan visibilitas (mengurangi jarak pandang) dan menyebabkan iritasi mata. Terdapat beberapa jenis logam yang terkandung dalam PM10 di udara, diantaranya adalah timbal (Pb), cadmium (Cd), nikel (Ni) dan merkuri (Hg). Keempat jenis logam tersebut umumnya akan mengganggu sistem pernapasan (batuk, bronchitis, asma dan emphysema), menyebabkan kanker paru-paru dan radang otak.

Polutan NOx adalah kontributor utama smog (smoke dan fog) yaitu asap dan kabut fotokimia yang merupakan hasil reaksi dengan senyawa organik volatil (mudah menguap) membentuk O3 dan oksidan lainnya seperti peroksiasetilnitrat (PAN). Bila bersamaan dengan air hujan, reaksi tersebut menghasilkan asam nitrat yang menyebabkan deposisi/hujan asam. Smog fotokimia berbahaya bagi kesehatan manusia karena menyebabkan kesulitan bernafas pada penderita asma, batuk-batuk dan berbagai gangguan sistem pernapasan, serta menurunkan jarak pandang (Marshall et al. 2009). Udara yang mengandung gas NO dalam batas normal relatif tidak berbahaya, kecuali bila gas NO berada dalam konsentrasi yang sangat tinggi maka dapat menyebabkan gangguan pada sistem syaraf yang mengakibatkan kejang-kejang. NO adalah hemotoksin (mengikat sel darah merah), dapat menyebabkan gangguan syaraf pusat, menimbulkan iritasi tenggorokan, mata dan hidung. Gas NO akan menjadi lebih berbahaya apabila teroksidasi menjadi gas NO2. Sifat racun (toksisitas) gas NO2 empat kali lebih kuat daripada toksisitas gas NO. Organ tubuh yang dapat terkontaminasi gas NO2 adalah membran mukosa dan jaringan paru-paru yang dicapai melalui aliran darah

(Listyarini 2008). Gas NO2 dengan kadar 30-50 ppm akan menimbulkan sukar tidur dan batuk-batuk. Konsentrasi NO2 yang berkisar antara 50-100 ppm dapat menyebabkan peradangan paru-paru bila orang terpapar selama beberapa menit saja. Pada fase ini orang masih dapat sembuh kembali dalam waktu 6-8 minggu. Konsentrasi 150-200 ppm dapat menyebabkan pemampatan bronkhioli sehingga orang dapat meninggal dalam waktu 3-5 minggu setelah pemaparan. Konsentrasi lebih dari 500 ppm dapat mematikan dalam waktu 2-10 hari (Soemirat 2011).

(25)

keracunan serta mengganggu metabolisme otot dan fungsi enzim intra-seluler (Rahmawati 2009). Konsentrasi CO di udara yang mencapai 0,1 persen dapat menurunkan kapasitas darah dalam mengangkut O2 sebesar 50 persen. Jika kadar HbCO dalam darah mencapai 10-30 persen maka dapat menyebabkan sakit kepala, ketidakstabilan emosi, keletihan, mual dan muntah. Kadar HbCO dalam darah sebesar 40-60 persen dapat menyebabkan halusinasi, gangguan keseimbangan dan gerak, pingsan disertai kejang, gangguan fungsi jantung dan paru-paru. Sedangkan kadar HbCO dalam darah lebih dari 70 persen dapat menyebabkan gangguan sistem syaraf pusat dan sistem kardiovaskular, diantaranya menyebabkan perubahan tekanan darah, meningkatkan denyut jantung dan ritme jantung menjadi abnormal (gagal jantung) serta kerusakan pembuluh darah periferal (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Menurut Basuki (2007), pembakaran pada mesin diesel juga menghasilkan polutan SOx. Polutan SOx merupakan gas yang langsung dapat terabsorbsi ke dalam hidung sehingga dapat menganggu bekerjanya paru-paru (Kneese 1977). Jika konsentrasi SOx melebihi 5 ppm maka dapat menimbulkan iritasi kulit dan selaput lendir serta pada sistem pernafasan, terutama bagi orang tua dan penderita penyakit kronis kardiovaskular. Dalam kadar rendah, SO2 dapat menimbulkan spasme temporer otot-otot polos pada bronchioli yang menyebabkan bronchitis. Pada konsentrasi yang lebih besar, terjadi produksi lendir di saluran pernapasan bagian atas, dan apabila kadar SO2 bertambah tinggi lagi, maka akan terjadi reaksi peradangan yang hebat pada selaput lendir yang disertai dengan kerusakan lapisan ephitelium. Bila kadar SO2 rendah tetapi pemaparan terjadi berulang kali, maka iritasi selaput lendir yang berulang-ulang dapat menyebabkan terjadinya hiperplasia dan metaplasia sel-sel epitel yang dicurigai dapat berubah menjadi kanker.

Teori Eksternalitas

Eksternalitas adalah dampak positif (manfaat) maupun negatif (biaya) dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, tanpa ada kompensasi apapun dari pihak yang diuntungkan maupun pihak yang menimbulkan kerugian. Hal ini dikarenakan eksternalitas merupakan produk sampingan dari kegiatan ekonomi dan ditransaksikan di luar sistem pasar sehingga pembuat eksternalitas tidak memiliki insentif untuk mempertimbangkan manfaat yang dihasilkan maupun biaya yang ditimbulkan. Salah satu faktor penyebab eksternalitas adalah konsumsi barang publik yang dapat mengakibatkan terjadinya kegagalan pasar, seperti pemandangan yang indah, udara segar dan air bersih. Masalah dalam barang publik timbul karena produsen tidak dapat meminta konsumen untuk membayar atas konsumsi barang tersebut (Owen dan Anthony 2004).

(26)

publik tersebut menjadi barang privat yang dapat diperdagangkan di dalam pasar (diinternalisasikan) dengan status hak kepemilikan yang jelas. Manfaat yang diperoleh dari penetapan nilai moneter tersebut dapat digunakan untuk memelihara ketersediaan dan kualitas barang publik itu sendiri (Prasetyia 2013).

Menurut OECD (2010), pencemaran udara merupakan salah satu contoh eksternalitas negatif yang mengakibatkan inefisiensi alokasi sumber daya, yaitu kesenjangan antara manfaat dan/atau biaya sosial dengan manfaat dan/atau biaya privat (individu). Dengan demikian, diperlukan campur tangan pemerintah untuk mengatasinya melalui: (1) Kebijakan CAC, yaitu penerapan regulasi yang melarang atau mengharuskan perilaku tertentu sehingga pihak pencemar bertanggung jawab meminimalisasi dampak pencemaran yang ditimbulkannya terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar; dan/atau (2) Kebijakan berbasis pasar (market based policy) atau IELH, yaitu mekanisme internalisasi eksternalitas agar manfaat dan/atau biaya sosial sama dengan manfaat dan/atau biaya privat sehingga mempengaruhi perubahan perilaku pihak pencemar. Mekanisme tersebut dilakukan dengan cara pemberian subsidi bagi aktivitas yang menghasilkan eksternalitas positif dan penerapan pajak terhadap aktivitas yang menghasilkan eksternalitas negatif, yang disebut pajak Pigovian. Dalam hal ini, pajak Pigovian akan memberikan insentif kepada pembuat eksternalitas untuk sebanyak-banyaknya mengurangi dampak negatif (pencemaran) yang ditimbulkannya, juga mengupayakan berbagai inovasi untuk meningkatkan dampak positif dari kegiatannya, misalnya berupa perbaikan pengetahuan, ekonomi dan kesehatan.

Menurut Mankiw (2009), penerapan pajak Pigovian dapat dilakukan dengan cara: (1) Mengidentifikasi potensi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup akibat suatu kegiatan; (2) Menentukan baku mutu lingkungan berdasarkan ketersediaan pengetahuan ilmiah dan pilihan sosial; (3) Menginternalisasi biaya lingkungan ke dalam perhitungan biaya kegiatan/usaha dalam bentuk biaya pencegahan. (4) Menentukan opsi berupa: (a) pendekatan norma dan harga berdasarkan informasi mengenai fungsi biaya penyusutan marginal, atau (b) pendekatan norma dan ijin berdasarkan informasi mengenai ambang batas tingkat pencemaran dan harga yang sesuai dengan kekuatan pasar. Penerapan pajak Pigovian sebagai sistem insentif ekonomi akan berpengaruh terhadap produsen yang mencemari lingkungan, dalam hal pemilihan cara yang lebih disukai agar kegiatannya dapat memenuhi baku mutu lingkungan. Jika kegiatannya sangat mencemari lingkungan dan biaya untuk menanggulanginya sangat mahal, maka produsen tersebut dapat memilih untuk membayar pajak. Jika kegiatannya tidak terlalu mencemari lingkungan, maka produsen tersebut dapat memilih untuk memasang alat pengendali pencemaran daripada membayar pajak.

(27)

pajak Pigovian; (3) Terdapat kelembagaan yang jelas, berupa institusi, sumber daya manusia dan kebijakan yang mendukung; (4) Adanya kejelasan dalam penetapan subjek pajak berdasarkan jenis bahan pencemar, volume dan tingkat pencemaran/kerusakan yang ditimbulkan; (5) Adanya kejelasan mengenai pemanfaatan dana yang terkumpul secara transparan (KLH 2012b).

Valuasi Ekonomi untuk Internalisasi Eksternalitas Pencemaran Udara

Menurut Fauzi (2014), valuasi ekonomi merupakan analisis ex-ante dalam penyusunan skenario intervensi kebijakan publik, misalnya penentuan strategi harga yang tepat dalam penggunaan mekanisme kebijakan fiskal seperti pajak Pigovian. Panduan Valuasi Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (SDALH) yang diterbitkan KLH (2007) mengemukakan bahwa penentuan harga tersebut dilakukan dengan menghitung nilai total degradasi (NTD) untuk mengetahui biaya yang perlu dibayarkan kepada pihak yang terkena dampak pencemaran dan/atau kerusakan SDALH sehingga pihak tersebut menjadi pulih/tidak mengalami keadaan yang lebih buruk. Berbagai pilihan metode valuasi ekonomi NTD yang dapat digunakan berdasarkan fungsi dan manfaat SDALH yang terganggu ditunjukkan dalam Gambar 5.

Berdasarkan Gambar 5, beberapa pilihan metode valuasi ekonomi NTD SDALH yang dapat digunakan untuk mengukur perubahan kualitas udara dan efek kesehatan diantaranya:

(28)

1. Teknik Biaya Pencegahan (Prevention Cost Expenditure)

Teknik ini menghitung NTD berdasarkan hal-hal yang disiapkan masyarakat untuk mencegah pencemaran dan/atau kerusakan SDALH. Keunggulan dari teknik ini adalah: (1) upaya pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan SDALH dapat diamati dengan relatif mudah; serta (2) informasi mengenai pengeluaran untuk biaya pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan SDALH umumnya dapat diamati melalui pasar sehingga dapat diperoleh dengan relatif mudah pula. Adapun kekurangan dari teknik ini yaitu hanya bermanfaat untuk mempertahankan kualitas lingkungan sehingga tidak bertambah buruk maupun membaik. Tahapan pelaksanaan teknik ini adalah:

a. Menentukan cara untuk melakukan pencegahan (meminimalkan dampak) pencemaran dan/atau kerusakan SDALH, misalnya bermigrasi ke daerah yang kualitas lingkungannya lebih baik.

b. Mengestimasi biaya yang harus disiapkan untuk mengaplikasikan cara tersebut dengan mengidentifikasi harga pasar dari setiap komponen yang dibutuhkan, misalnya biaya transportasi dan biaya sewa tempat tinggal di daerah tujuan migrasi.

c. Menjumlahkan semua nilai pengeluaran untuk melaksanakan cara tersebut. 2. Teknik Biaya Penggantian (Replacement Cost)

Teknik ini secara umum mengidentifikasi pengeluaran untuk biaya perbaikan/penggantian SDALH yang cemar dan/atau rusak sehingga dapat mencapai/mendekati kondisi semula. Beberapa syarat penggunaan teknik ini yaitu: (1) Penggantian fungsi/kualitas SDALH harus sama atau hampir sama dengan fungsi/kualitas SDALH yang telah cemar dan/atau rusak; (2) Penggantian harus dapat mengganti manfaat yang hilang akibat SDALH yang terganggu, bukan akibat penggunaan SDALH yang dilakukan secara normal; (3) Upaya penggantian SDALH harus memberikan nilai manfaat yang lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan. Tahapan pelaksanaan teknik ini yaitu:

a. Mengidentifikasi fungsi/kualitas SDALH yang cemar dan/atau rusak menggunakan kriteria baku mutu sesuai peraturan yang berlaku.

b. Menentukan pengganti fungsi/kualitas SDALH yang cemar dan/atau rusak. c. Menyiapkan data fisik dan harga pasar untuk setiap komponen yang

dibutuhkan sehubungan dengan penggantian fungsi/kualitas SDALH.

d. Memilih besarnya biaya yang paling murah untuk merehabilitasi SDALH yang cemar dan/atau rusak.

e. Menentukan lamanya waktu rehabilitasi SDALH yang dibutuhkan untuk kembali mendekati keadaaan semula.

f. Menghitung jumlah nilai moneter untuk menciptakan/menggantikan semua fungsi dan manfaat SDALH.

3. Pendekatan Modal Manusia (Human Capital)

Pada pendekatan ini, valuasi ekonomi dilakukan untuk memberikan harga modal manusia yang terkena dampak akibat perubahan kualitas SDALH. Pendekatan ini dapat menggunakan harga pasar sesungguhnya atau harga bayangan. Pendekatan ini dapat dilakukan melalui teknik:

(29)

Teknik ini menghitung kerugian berupa pendapatan yang hilang akibat perubahan fungsi/kualitas SDALH yang berdampak pada kesehatan manusia. Tahapan pelaksanaannya yaitu:

 Memastikan bahwa terjadi dampak yang signifikan terhadap kesehatan manusia akibat adanya perubahan fungsi/kualitas SDALH sehingga menyebabkan seseorang kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendapatan.

 Mengidentifikasi sumber pendapatan yang hilang akibat terganggunya kesehatan masyarakat, misalnya upah yang hilang selama sakit.

 Mengidentifikasi lamanya waktu yang hilang akibat gangguan kesehatan yang terjadi.

 Menghitung seluruh potensi hilangnya pendapatan. b. Biaya Kesehatan (Medical Cost/Cost of Illness)

Salah satu dampak negatif dari perubahan kualitas lingkungan adalah menurunnya kondisi kesehatan masyarakat. Valuasi ekonomi melalui teknik biaya pengobatan dapat dilakukan menurut tahapan pelaksanaan berikut ini:

 Mengidentifikasi gangguan kesehatan yang terjadi sehingga memerlukan biaya untuk pengobatan dan/atau menimbulkan kerugian akibat penurunan produktifitas kerja.

 Mengidentifikasi biaya pengobatan yang dibutuhkan secara keseluruhan, misalnya perawatan di rumah sakit, perawatan selama penyembuhan dan pasca penyembuhan, pelayanan kesehatan lain dan obat-obatan.

 Mengidentifikasi kerugian akibat penurunan produktifitas kerja karena sakit, misalnya dengan pendekatan tingkat upah dan nilai kehilangan waktu akibat tidak bekerja.

 Menghitung total biaya pengobatan dan penurunan produktifitas kerja. Apabila perubahan kualitas lingkungan menyebabkan kematian, maka nilai kematian dapat dihitung dengan pendekatan nilai ganti rugi sebagaimana yang dihitung oleh lembaga asuransi.

4. Keefektifan Biaya Penanggulangan (Cost of Effectiveness Analysis of Prevention)

Teknik ini dilakukan apabila perubahan fungsi/kualitas SDAL tidak dapat diduga nilainya, namun dipastikan bahwa tujuan penanggulangannya penting untuk dicapai dengan biaya yang paling efektif. Teknik ini dapat diterapkan untuk mengetahui nilai moneter dari suatu efek kesehatan dan perubahan kualitas air/udara. Tahapan pelaksanaan teknik ini yaitu:

a. Menetapkan target tingkat perubahan fungsi/kualitas SDAL, misalnya tingkat pencemaran maksimum yang dapat diterima.

b. Menetapkan berbagai alternatif untuk mencapai target.

c. Mengevaluasi berbagai alternatif dan memilih alternatif biaya yang terkecil. 5. Pendekatan Benefit Transfer

(30)

tempat lain dengan karakteristik dan tipologi yang sama/mirip. Penggunaan

benefit transfer harus memperhatikan: (1) Deskripsi kualitatif dalam analisis yang akan disusun; (2) Nilai manfaat langsung dan tidak langsung yang kadangkala berbeda nilainya pada berbagai hasil studi; (3) Proyek besar atau dengan dampak lingkungan yang besar maupun proyek kecil dengan dampak lingkungan yang serius, memerlukan alat analisis yang lebih akurat (metode primer) daripada

benefit transfer; (4) Perlu dilakukan penyesuaian dalam nilai pendapatan per orang, hak milik, harga SDAL, institusi, budaya, iklim, dan lain-lain karena kebanyakan hasil kajian valuasi ekonomi dilakukan di negara maju. Tahapan pelaksanaan benefit transfer yaitu:

a. Menyeleksi dan menelaah pustaka yang nilai dan analisisnya akan digunakan dalam kajian yang sedang dilakukan. Selain itu, jika memungkinkan dikaji pula lokasi dan penduduk sekitar studi kasus, terkait dengan nilai ekonomi langsung dan tidak langsung yang menggambarkan perbedaan preferensi, sosial, ekonomi, budaya dan sebagainya.

b. Menyesuaikan nilai-nilai pada hasil kajian pustaka dengan kondisi kajian yang sedang dilakukan, misalnya mengubah nilai moneter pada suatu fungsi/kualitas SDAL, melakukan penyesuaian dengan tingkat sensitivitas, dan lain-lain.

c. Melakukan kalkulasi nilai per unit per waktu dan total nilai yang didiskonto selama jangka waktu manfaat fungsi/kualitas SDAL tersebut akan ada.

Pajak Lingkungan

Menurut UU Nomor 16 Tahun 2009, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UU dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Adapun menurut BPS (2013), pajak lingkungan adalah pajak yang didasarkan pada unit fisik (proxy) yang terbukti mempunyai dampak negatif yang spesifik terhadap lingkungan. Dalam sistem pajak lingkungan, para pencemar diberi kebebasan untuk membuang limbah, tetapi diwajibkan membayar pajak untuk setiap unit emisi limbah yang dibuang tersebut. Esensi dari pajak lingkungan adalah sebagai insentif bagi para pencemar agar dapat mencari sendiri cara terbaik untuk mengurangi emisi yang dihasilkannya, misalnya dengan mengubah input dan proses internal, melakukan daur ulang dan beralih ke output yang lebih ramah lingkungan. Pajak lingkungan merupakan IELH yang langsung menentukan nilai atau harga terhadap penggunaan lingkungan. Beberapa jenis pajak lingkungan diantaranya:

1. Pajak emisi, dikenakan terhadap pembuangan zat pencemar ke udara, badan air, dan/atau ke dalam tanah. Pajak ini dikaitkan dengan kuantitas maupun kualitas pencemarnya serta biaya kerusakan yang ditimbulkannya terhadap lingkungan. Penerapan pajak emisi dapat meningkatkan pendapatan, mendorong pencemar untuk mengurangi polusi dan mendorong inovasi teknologi untuk menurunkan pencemaran (Popp 2006).

(31)

pungutan ini adalah untuk meningkatkan pendapatan negara atau daerah sehingga tidak langsung dihubungkan dengan kerusakan lingkungan.

3. Pungutan atas dasar produk (produk charges), dikenakan pada proyek yang merusak lingkungan, yaitu bila produk yang digunakan dalam proses produksi atau konsumsi dibuang kelingkungan. Besarnya pungutan tergantung pada derajat kerusakan yang ditimbulkannya.

Pajak lingkungan merupakan instrumen yang efektif untuk meminimalisasi pencemaran dan menekan biaya penanggulangannya. Hal ini dikarenakan konsep pajak lingkungan memiliki tiga fungsi utama, yaitu: (1) Optimasi, bahwa pencemar akan membatasi emisi pada tingkat yang optimal apabila pungutan pajak ditetapkan pada titik dimana keuntungan marginal penanggulangan pencemaran sama dengan biaya marginalnya; (2) Efisiensi, bahwa dalam pungutan pajak terdapat pemberian intensif yang memadai dan akan berimbas pada pengurangan emisi oleh pencemar; dan (3) Redistribusi, bahwa dana yang terkumpul melalui pungutan pajak akan diinvestasikan kembali dalam penanggulangan pencemaran, perbaikan kerusakan lingkungan dan pengembangan energi ramah lingkungan.

Dalam penerapannya, pajak lingkungan harus memiliki fitur: (1) Transparansi dalam cakupan dan tarif pajak, yaitu kejelasan objek yang dikenakan pajaknya, subjek yang harus membayar dan besaran biaya per unit pencemar yang harus dibayarkan; serta (2) Kepastian biaya dan lingkungan, yaitu peningkatan biaya per unit pencemar yang dibayar oleh subjek pajak harus sebanding dengan peningkatan perbaikan lingkungan yang memanfaatkan dana dari pajak tersebut sehingga pungutan pajak lingkungan tidak terkesan hanya untuk memobilisasi penerimaan pemerintah dalam rangka meningkatkan pendapatan (Budilaksono 2012). Pajak lingkungan merupakan instrumen yang lebih baik dalam mengurangi pencemaran dan kerusakan lingkungan, namun perlu dikaji secara detil mengenai kriteria wajib pajak, kesesuaian tarif pajak dan mekanisme penandaan (earmarking) dalam APBN/APBD agar dapat diaplikasikan secara baik tanpa menjadi beban bagi para pemangku kepentingan (Hasan dan Puspitasari 2008).

Menurut OECD (2011), cara mendesain pajak lingkungan yang efektif adalah sebagai berikut:

1. Mendefinisikan dasar pemungutan pajak: objek pencemaran atau subjek perilaku pencemar.

2. Menentukan cakupan pajak: keseluruhan dampak lingkungan akibat pencemaran.

3. Menentukan insentif yang konsisten: mendorong perilaku ramah lingkungan. 4. Menentukan tarif pajak: refleksi dari dampak lingkungan akibat pencemaran

dan eksternalitas lainnya, misalnya implikasi terhadap kesehatan masyarakat. Dalam PKB, misalnya dapat dilihat implikasi pembakaran BBM terhadap perubahan iklim dan pencemaran udara yang dapat menyebabkan gangguan pernafasan, kemacetan dan peningkatan kecelakaan lalu lintas.

(32)

6. Menghasilkan pendapatan sebagai konsolidasi fiskal atau mengurangi pajak lain (trade-off).

Sejak awal 1990-an, beberapa negara, terutama di Uni Eropa, telah memperkenalkan Reformasi Pajak Hijau (Green Tax Reform/GTR) yang komprehensif dalam konteks beban pajak konstan, yaitu penerapan pajak lingkungan hidup yang diimbangi dengan pengurangan pajak lain yang telah ada sebelumnya (pergeseran pajak). Dalam konteks pergeseran pajak dengan netralitas pendapatan, negara-negara tersebut berfokus pada hipotesis dividen ganda yang bertujuan untuk: (1) Meningkatkan perlindungan lingkungan hidup melalui peningkatan pajak lingkungan hidup; dan (2) Meningkatkan lapangan kerja melalui pengurangan pajak terkait tenaga kerja, khususnya kontribusi jaminan sosial karyawan, sehingga dapat mengurangi biaya tenaga kerja. Pada tahun 2006, sebanyak 150 jenis pajak atas energi dan 125 jenis pajak terkait transportasi telah diterapkan di negara OECD dan terbukti berhasil memicu pengurangan emisi secara signifikan (Schlegelmilch 2011).

Denmark, Luxemburg, Portugal dan Swedia menerapkan pajak progresif bagi kendaraan bermotor dengan tarif yang berbeda berdasarkan BBM yang digunakan. Dalam hal ini, kendaraan berbahan bakar solar diberikan tarif yang lebih tinggi daripada kendaraan berbahan bakar bensin karena kontribusinya yang lebih besar terhadap pencemaran udara dan pemanasan global. Penerapan pajak tersebut telah mengakibatkan peningkatan biaya penggunaan kendaraan bermotor sehingga mendorong perubahan perilaku masyarakat, berupa: (1) Pemilihan kendaraan yang mempunyai efisiensi BBM lebih tinggi; (2) Penggunaan kendaraan yang menggunakan sumber energi rendah emisi seperti kendaraan hibrid-elektrik; (3) Pengurangan penggunaan kendaraan bermotor pribadi dan beralih menggunakan alat transportasi umum, bersepeda ataupun berjalan kaki, serta (4) Pembatasan frekuensi bepergian dengan memperhatikan skala prioritas. Tarif pajak progresif di Denmark adalah sebesar 230-2.960€ per tahun untuk kendaraan berbahan bakar solar dengan rumus perhitungan pajak dalam persentase nilai jual bersih kendaraan yaitu: ((liter solar/100 km) – 2) x 2, dengan tarif pajak maksimum sebesar 16 persen (OECD 2009).

Analisis Stakeholders dalam Proses Perumusan Kebijakan

Proses perumusan kebijakan perlu dilakukan dengan mempertimbangkan pihak-pihak yang terkait dengan kebijakan tersebut. Kumpulan para aktor (kelompok atau individu) yang memiliki kewenangan dan kepentingan dalam pengambilan keputusan atau perumusan kebijakan serta dapat mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh keputusan atau kebijakan disebut stakeholders. Pada umumnya, stakeholders dikelompokkan ke dalam kategori: donor/internasional, politisi nasional (lembaga legistatif dan eksekutif), masyarakat, pihak swasta dan LSM (Rosyilin 2008).

(33)

stakeholders diantaranya: (1) Mengidentifikasi dan menggambarkan karakteristik

stakeholders kunci; (2) Menilai cara atau kekuatan stakeholders yang mungkin akan mempengaruhi hasil kebijakan; (3) Memahami hubungan/interaksi antar

stakeholders, mencakup penilaian konflik atau potensi konflik kepentingan antar

stakeholders; dan (4) Menilai kapasitas yang berbeda dari stakeholders untuk berpartisipasi dan bekerjasama secara lebih efektif dalam mengimplementasikan kebijakan. Dalam perumusan kebijakan pengelolaan SDALH, analisis

stakeholders digunakan sebagai suatu pendekatan untuk menghasilkan informasi atas aktor-aktor yang relevan untuk memahami perilaku, kepentingan, agenda, dan pengaruh mereka pada proses pengambilan keputusan (Rosyilin 2008).

Metode analisis stakeholders adalah menggunakan matriks pengaruh dan kepentingan dengan mengklasifikasikan stakeholders menjadi (Tabau 2011): 1. Key player, yaitu stakeholder yang paling aktif karena mereka mempunyai

pengaruh dan kepentingan tinggi terhadap pengembangan suatu kebijakan. 2. Subject, yaitu stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi tetapi pengaruh

rendah sehingga bersifat supportive dan mempunyai kapasitas yang kecil untuk mengubah situasi kecuali jika mereka membentuk aliansi.

3. Context setter, yaitu stakeholder yang memiliki pengaruh tinggi tetapi kepentingan rendah. Mereka dapat menjadi risiko yang signifikan dalam pengembangan kebijakan sehingga harus dipantau dengan cermat.

4. Crowd, yaitu stakeholder yang memiliki pengaruh dan kepentingan rendah terhadap hasil yang diinginkan tetapi perlu dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan karena pengaruh dan kepentingan mereka dapat mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

Content Analysis

Content analysis adalah teknik penelitian yang digunakan untuk menganalisis dokumen-dokumen tertulis seperti laporan, surat, transkrip wawancara, dan bentuk-bentuk tertulis lainnya. Teknik ini merupakan analisis kuantitatif yang sistematis dan bisa direplikasi untuk menjelaskan atau memahami konsep yang sedang dipelajari. Selain itu, teknik content analysis memungkinkan peneliti untuk mempelajari perilaku manusia secara tidak langsung melalui cara mereka berkomunikasi. Kelebihan dari teknik ini adalah sifatnya yang unobtrusive

(34)

Hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian terkait beban emisi kendaraan bermotor telah dilakukan oleh Rahmawati (2009) dengan pendekatan panjang perjalanan kendaraan (vehicles kilometers travel-VKT) pada setiap kategori kendaraan yang ada di DKI Jakarta. Nilai VKT didapatkan dari survei pembacaan odometer yang terpasang pada setiap kendaraan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai VKT terbesar adalah pada kendaraan bus sedangkan nilai VKT terkecil terdapat pada sepeda motor. Berdasarkan parameter pencemar yang diteliti, kontribusi terbesar emisi di DKI Jakarta didominasi pencemar CO (72,7 persen), NOx (24,6 persen) dan PM10 (2,7 persen). Tanpa adanya pengendalian pencemaran udara, beban emisi dari kendaraan bermotor pada tahun 2014 diperkirakan meningkat 1,4 kali lipat dari tahun 2008 dan dua kali lipat pada tahun 2020. Penurunan total beban emisi dengan diterapkannya sistem pemeriksaan dan perawatan (P dan P) kendaraan serta kebijakan penggunaan BBG bagi kendaraan umum dan kendaraan operasional pemerintah dilakukan secara bersamaan pada tahun 2014 dan 2020 untuk pencemar CO sebesar 44 dan 47 persen, NOx sebesar 33 dan 37 persen serta PM10 sebesar 57 dan 56 persen.

Penelitian lain terkait emisi kendaraan bermotor dilakukan oleh Eldewisa dan Driejana (2009) di Kota Bandung dengan membandingkan estimasi beban emisi CO dan CO2 kendaraan umum yang dihitung dengan pendekatan konsumsi

Gambar

Gambar 2. Jumlah kendaraan, jarak tempuh dan konsumsi solar pada kendaraan
Gambar 4. Kerangka pemikiran penelitian
Gambar 5. Pilihan metode valuasi ekonomi NTD SDALH (KLH 2007)
Gambar 6. Prosedur Content Analysis (Rosyilin 2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis Efektifitas Dana Bergulir pada UPK-KSM Margodadi Jaya Kelurahan Margodadi Kota Metro Di Tinjau Dari Ekonomi Syariah Pada dasarnya tujuan pinjaman dana

2013 Nomor : 1061/I/KU.806/G1/2013 Tanggal : 5 Februari 2013 dari panitia pengadaan Sosialisasi Program KKB melalui Produksi dan Penayangan Jingle Radio Nasional

Hasil analisis regresi linier berganda tersebut dapat dilihat dari nilai R Square sebesar 0,756 yang menunjukan bahwa penggunaan uang logam di Kabupaten Pulau

Seperti dalam temuan data, ada upaya Aburizal Bakrie untuk memperoleh dukungan dari kalangan intelektual melalui kalimat-kalimat yang ia sampaikan dalam pidato Indonesia

MEMBAWA dan menyerahkan salinan Dokumen Kualifikasi sesuai yang telah di upload , bila TIDAK membawa tidak akan dilakukan pembuktian.. ULP melakukan klarifikasi