• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data ISPU menunjukkan bahwa DKI Jakarta merupakan kota yang memiliki kualitas udara terendah di Indonesia dengan jumlah hari tercemar rata-rata 26 hari dalam satu bulan. Hasil pemantauan KLH (2013a) menunjukkan tingkat konsentrasi zat pencemar tertinggi berdasarkan parameter PM10 berada di Jakarta Utara (168 µg/Nm3 > baku mutu 150 µg/Nm3), HC di Jakarta Barat (375 µg/Nm3 > baku mutu 160 µg/Nm3), O3 di Jakarta Pusat (350 µg/Nm3 > baku mutu 235 µg/Nm3), serta CO (6.200 µg/Nm3 < baku mutu 10.000 µg/Nm3), NO2 (83 µg/Nm3 < baku mutu 150 µg/Nm3)danSO2 di Jakarta Timur (200 µg/Nm3 < baku mutu 365 µg/Nm3). Hal ini menjadikan Jakarta sebagai kota yang memiliki kualitas udara terendah di Indonesia (KLH 2013a).

Sebanyak 60 persen pencemaran udara di DKI Jakarta berasal dari sumber bergerak, terutama emisi kendaraan umum berbahan bakar solar yang harus melayani lebih dari 8,5 juta perjalanan per hari atau 56 persen dari total kebutuhan perjalanan di DKI Jakarta dengan total jarak tempuh mencapai 4.414.666.192 km/tahun (BMKG 2012; Dishub DKI Jakarta 2013). Menurut BPLHD DKI Jakarta (2013), penggunaan BBM oleh sektor transportasi mencapai 4.282.882 KL, terdiri dari konsumsi bensin sebanyak 2.953.744 KL dan solar sebanyak 1.329.138 KL. Kendaraan umum menggunakan 41 persen dari konsumsi bensin (1.211.035 KL) dan 92 persen dari konsumsi solar (1.222.807 KL) tersebut. Dengan demikian, konsumsi BBM di DKI Jakarta secara keseluruhan didominasi oleh kendaraan umum terutama yang menggunakan bahan bakar solar sehingga relatif berkontribusi lebih banyak terhadap pencemaran udara.

Berdasarkan data Dishub DKI Jakarta (2013), terdapat 15.606 unit kendaraan umum berbahan bakar solar yang didominasi oleh kategori bus sedang dengan jumlah kendaraan sebanyak 4.944 unit, jarak tempuh mencapai 1.435.148.384 km dan jumlah konsumsi solar sebanyak 358.787 KL. PT. Metro Mini merupakan perusahaan yang memiliki jumlah bus terbanyak, yaitu 3.101 unit atau 20 persen dari seluruh jenis bus dan 62,7 persen dari total perusahaan kategori bus sedang. Selain itu, PT. Metro Mini juga menguasai 50 rute trayek, atau 16,4 persen dari seluruh trayek bus dan 58,8 persen dari total trayek perusahaan kategori bus sedang. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan jumlah emisi gas buang dari kendaraan umum berbahan bakar solar kategori bus sedang di DKI Jakarta tahun 2012 sebanyak 17.078,27 ton NO2, 15.786,63 ton CO, 2.009,21 ton PM10 dan 1.334,69 ton SO2 (Gambar 3).

DKI Jakarta mempunyai kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia, yaitu 15.015 jiwa/km2 dengan total penduduk sebanyak 9.603.417 jiwa. Hal ini mengakibatkan relatif banyak masyarakat DKI Jakarta yang berisiko mengalami gangguan kesehatan akibat pencemaran udara dari kendaraan bermotor. BPLHD DKI Jakarta (2013) mengemukakan bahwa 57,8 persen warga DKI Jakarta menderita beragam penyakit terkait pencemaran udara, diantaranya ISPA, asma, bronkhitis, pneumonia, penyakit paru obstruktif kronis dan jantung koroner. Adapun jenis penyakit yang paling banyak diderita adalah ISPA akut, yang mencapai 36,7 persen dari masyarakat yang terkena dampak pencemaran udara.

Nilai kerugian yang harus ditanggung akibat pencemaran udara berupa biaya kesehatan masyarakat mencapai Rp 38,5 triliun/tahun (KLH 2013b). Sementara itu, nilai PAD dari PKB hanya mencapai Rp 3,6 triliun/tahun (BPS DKI Jakarta 2013) sehingga tidak dapat menutupi kerugian akibat pencemaran udara yang ditimbulkan oleh penggunaan kendaraan bermotor tersebut.

Hasil penelitian Soleiman (2008) menunjukkan bahwa kebijakan lingkungan yang telah diterapkan di DKI Jakarta merupakan kebijakan sistem CAC, sedangkan sistem IELH belum pernah diterapkan. Hasil simulasi kebijakan menunjukkan kebijakan CAC melalui penetapan standar emisi belum efektif menurunkan emisi kendaraan bermotor sehingga IELH merupakan kebijakan terbaik dengan tingkat kegagalan terkecil untuk diterapkan dalam mereduksi emisi tersebut. Pendapatan dari penerapan IELH dapat dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk peningkatan sarana prasarana transportasi umum, fasilitas kesehatan dan ruang terbuka hijau. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini dilakukan perhitungan estimasi nilai kerugian pencemaran udara dari emisi kendaraan bermotor yang kemudian dijadikan dasar perhitungan PKB terbobot (menginternalisasikan) pencemaran udara sebagai salah satu alternatif IELH yang dapat diterapkan di DKI Jakarta dengan dukungan stakeholders dan peraturan perundangan terkait.

Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi Pencemaran Udara

Udara yang tercemar PM10, NO2, CO dan SO2 dapat meningkatkan risiko berbagai jenis penyakit seperti ISPA (jangka pendek) dan kanker paru-paru (jangka panjang). Tidak jarang, gejala yang timbul dapat berupa gejala penyakit umum seperti demam, infeksi, asfiksia dan keracunan yang bersifat sistemik. Pencemar udara PM10 dapat menyebabkan gangguan hati dan jantung, menurunkan visibilitas dan menyebabkan iritasi mata. Pada konsentrasi 140 μg/m3

, PM10 dapat menurunkan fungsi paru-paru sedangkan pada konsentrasi 350 μg/m3

dapat memperparah kondisi penderita bronchitis. Logam yang terkandung dalam PM10 di udara adalah timbal (Pb), cadmium (Cd), nikel (Ni) dan merkuri (Hg) yang akan mengganggu sistem pernapasan (batuk, bronchitis, asma dan emphysema), menyebabkan kanker paru-paru dan radang otak (Soedomo 2001).

Gas NO2 dapat membentuk ozon fotokimia yang dapat menyebabkan kesulitan bernafas pada penderita asma, berbagai gangguan sistem pernapasan, iritasi tenggorokan, mata dan hidung, menurunkan jarak pandang, merusak paru-paru serta mengganggu syaraf pusat, hati dan jantung. Konsentrasi NO2 yang berkisar antara 30-50 ppm akan menimbulkan sukar tidur dan batuk-batuk, sedangkan konsentrasi antara 50-100 ppm dapat menyebabkan peradangan paru-paru dan konsentrasi antara 150-200 ppm dapat menyebabkan pemampatan bronkhioli yang menyebabkan kematian dalam waktu 3-5 minggu setelah pemaparan. Adapun konsentrasi NO2 lebih dari 500 ppm dapat mematikan dalam waktu 2-10 hari (Soemirat 2011).

Konsentrasi CO yang tinggi di udara dapat meningkatkan jumlah kematian, menyebabkan kerusakan otak dan tekanan fisiologikal, terutama pada penderita

penyakit jantung dan keracunan darah. Konsentrasi CO rendah (<400 ppm) dapat menyebabkan pusing-pusing dan keletihan, kurang konsentrasi, kelainan fungsi susunan saraf pusat, perubahan fungsi paru-paru dan jantung, sesak napas hingga pingsan. Adapun konsentrasi CO tinggi (>2.000 ppm) dapat menyebabkan kematian karena mengganggu sistem syaraf pusat dan sistem kardiovaskular, diantaranya menyebabkan perubahan tekanan darah, meningkatkan denyut jantung dan ritme jantung menjadi abnormal (gagal jantung) serta kerusakan pembuluh darah periferal (Maryanto et al. 2009).

Emisi SO2 dapat menimbulkan serangan asma, insendensi penyakit pernafasan (bronchitis, emphysema) dan meningkatkan tingkat morbiditas. Dalam kadar rendah, SO2 dapat menimbulkan spasme temporer otot-otot polos pada bronchioli yang menyebabkan bronchitis. Pada konsentrasi yang lebih besar, terjadi produksi lendir di saluran pernapasan bagian atas dan apabila kadar SO2 bertambah tinggi maka akan terjadi reaksi peradangan hebat pada selaput lendir yang disertai dengan kerusakan lapisan ephitelium. Bila kadar SO2 rendah tetapi pemaparan terjadi berulang kali, maka iritasi selaput lendir yang berulang-ulang dapat menyebabkan terjadinya hiperplasia dan metaplasia sel-sel epitel yang dicurigai dapat berubah menjadi kanker (Tarigan 2009).

Berdasarkan informasi berbagai dampak pencemaran udara dari emisi PM10, NO2, CO dan SO2 di atas, maka dalam penelitian ini dilakukan perhitungan estimasi nilai kerugian ekonomi akibat pencemaran udara tersebut dengan dua cara, yaitu sebagai berikut:

a. Pendekatan Biaya per Unit Pencemaran

Perhitungan estimasi nilai kerugian ekonomi pencemaran udara dalam penelitian ini mengambil studi kasus emisi PM10, NO2, CO dan SO2 dari Metro Mini. Hal ini berdasarkan data yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa sebanyak 60 persen pencemaran udara di DKI Jakarta terutama berasal dari emisi kendaraan umum berbahan bakar solar khususnya kategori bus sedang yang didominasi oleh Metro Mini. Jumlah emisi kendaraan umum berbahan bakar solar kategori bus sedang di DKI Jakarta tahun 2012 diketahui sebanyak 17.078,27 ton NO2, 15.786,63 ton CO, 2.009,21 ton PM10 dan 1.334,69 ton SO2 (Gambar 3).

Eldewisa dan Driejana (2009) menyatakan estimasi beban emisi yang lebih mendekati kondisi di lapangan adalah estimasi dengan pendekatan konsumsi BBM. Menurut Soedomo (2011), salah satu cara menghitung emisi pencemar adalah dengan mengalikan konsumsi BBM dalam suatu periode dengan faktor emisi rata-rata untuk setiap jenis pencemar dari kendaraan bermotor. Dari hasil studi pendahuluan dan informasi dari Dishub DKI diketahui bahwa konsumsi solar kendaraan umum adalah sebanyak 1.222.807 KL, dimana proporsi konsumsi solar bus sedang adalah 29,3 persennya (358.787 KL). Adapun proporsi konsumsi solar Metro Mini adalah sebesar 62,7 persen dari konsumsi solar bus sedang (225.040,2 KL), yang diasumsikan setara dengan proporsi jumlah bus Metro Mini terhadap jumlah seluruh kendaraan bus sedang di DKI Jakarta. Adapun faktor emisi per parameter untuk kategori bus sedang berbahan bakar solar menurut

Peraturan Menteri LH Nomor 12/2010 yaitu 11 g-CO/km, 11,9 g-NO2/km, 0,93 g-SO2/km, dan 1,4 g-PM10/km, sedangkan nilai ekonomi bahan bakar bus sedang adalah 4 km/liter. Dari data-data tersebut maka dapat dihitung jumlah unit pencemaran dari gas buang Metro Mini dengan menggunakan rumus:

A = Jumlah unit pencemaran (kg/tahun)

= jumlah emisi per parameter pencemaran (g/tahun) : 1.000

= [Konsumsi solar per tahun (L/tahun) x Faktor emisi per parameter (g/km) x Nilai ekonomi bahan bakar (km/L)] : 1.000

Dari Tabel 7 diketahui jumlah emisi per parameter pencemaran dari gas buang Metro Mini mencapai 63 persen dari jumlah emisi kendaraan umum berbahan bakar solar kategori bus sedang di DKI Jakarta tahun 2012 yang tercantum pada Gambar 3. Perhitungan selanjutnya adalah mengestimasi nilai kerugian ekonomi pencemaran udara dari Metro Mini menggunakan pendekatan

benefit transfer dari basis biaya per unit pencemaran berdasarkan Peraturan Menteri LH Nomor 13/2011 (Tabel 4) yaitu Rp 62/kg-CO, Rp 124/kg-NOx, Rp 124/kg-SOx dan Rp 99/kg-PM10. Rumus valuasi ekonomi yang digunakan adalah Rumus 1, yaitu:

C = A x B, dimana: A = Jumlah unit pencemaran (kg/tahun)

B = Basis biaya per unit pencemaran (Rp/kg)

C = Estimasi nilai kerugian ekonomi pencemaran udara berdasarkan biaya per unit pencemaran (Rp/tahun)

Tabel 8. Estimasi nilai kerugian ekonomi pencemaran udara dari emisi Metro Mini berdasarkan biaya per unit pencemaran

Parameter pencemaran Jumlah unit pencemaran (kg/tahun) A

Basis biaya per unit pencemaran

(Rp/kg) B

Nilai kerugian ekonomi pencemaran dari emisi Metro Mini

(Rp/tahun) C = A x B CO 9.901.768,80 62 613.909.666 NO2 10.711.913,52 124 1.328.277.276 SO2 837.149,54 124 103.806.543 PM10 1.260.225,12 99 124.762.287 Total 2.170.755.772

Tabel 7. Jumlah unit pencemaran dari gas buang Metro Mini

Parameter pencemaran Konsumsi solar (L/tahun) Faktor emisi per parameter (g/km) Nilai ekonomi bahan bakar (solar) (km/L) Jumlah emisi per parameter pencemaran (g/tahun) Jumlah unit pencemaran (kg/tahun) A CO 225.040.200 11,00 4 9.901.768.800 9.901.768,80 NO2 225.040.200 11,90 4 10.711.913.520 10.711.913,52 SO2 225.040.200 0,93 4 837.149.544 837.149,54 PM10 225.040.200 1,40 4 1.260.225.120 1.260.225,12

Hasil perhitungan pada Tabel 8 menunjukkan estimasi nilai kerugian ekonomi pencemaran udara dari emisi Metro Mini berdasarkan biaya per unit pencemaran mencapai Rp 2,17 milyar/tahun. Nilai ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Soleiman (2008) yang menyatakan biaya lingkungan akibat pencemaran PM10 dari emisi kendaraan bermotor di DKI Jakarta mencapai Rp 5,7 triliun/tahun. Hal tersebut disebabkan oleh cakupan penelitian yang berbeda, dimana penelitian ini memfokuskan pada empat parameter (CO, NO2, SO2 dan PM10) dari emisi Metro Mini sedangkan penelitian Soleiman (2008) memfokuskan pada satu parameter (PM10) dari emisi seluruh jenis kendaraan bermotor di DKI Jakarta.

b. Pendekatan Biaya Kesehatan (Cost Of Illness-CoI)

Perhitungan estimasi nilai kerugian ekonomi pencemaran udara dalam penelitian ini mengambil studi kasus dampak kesehatan dari emisi Metro Mini, khususnya berupa penyakit ISPA, asma, pneumonia dan paru obstruksi kronis serta gangguan produktifitas kerja. Hal ini berdasarkan ketersediaan data dari Dinas Kesehatan, Puskesmas, hasil penelitian sebelumnya dan wawancara dengan responden di lokasi penelitian yaitu Kecamatan Senen, Tanjung Priuk, Jatinegara, Kebayoran Baru dan Kalideres. Dari hasil penelitian, diketahui rata-rata jumlah masyarakat yang sakit akibat pencemaran udara di DKI Jakarta (D) adalah sebagai beikut: penderita asma 1.210.581 orang, ISPA 2.449.986 orang, pneumonia 336.273 orang dan paru obstruksi kronis 153.724 orang (Zakaria 2013; Dinas Kesehatan DKI Jakarta 2014).

Menurut Murti (2010), salah satu cara menyatakan morbiditas akibat penyakit adalah dengan menghitung proporsi (jumlah bagian dari populasi yang mengalami penyakit) dengan ukuran prevalensi (jumlah individu dalam populasi yang mengalami penyakit pada waktu tertentu yang dinyatakan dalam persen). Manfaat menghitung prevalensi diantaranya adalah mendeskripsikan beban penyakit dan status penyakit pada populasi. Semua kasus dengan suatu penyakit pada waktu tertentu merupakan hasil dari faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit dan kelangsungan hidup, identifikasi individu dan populasi yang berisiko terkena penyakit. Dengan asumsi bahwa proporsi jumlah masyarakat yang sakit setara dengan proporsi pencemaran udara dari kendaraan bermotor, dimana proporsi pencemaran udara tersebut setara dengan proporsi konsumsi BBM, maka:

1. Proporsi jumlah masyarakat yang sakit akibat pencemaran udara dari kendaraan bermotor sebesar 60 persen (data BMKG);

2. Proporsi jumlah masyarakat yang sakit akibat pencemaraan udara dari kendaraan bermotor umum berbahan bakar solar sebesar 28,6 persen (dihitung dari proporsi konsumsi solar kendaraan umum terhadap total konsumsi BBM di DKI Jakarta, yaitu 1.222.807 KL/4.282.882 KL); 3. Proporsi jumlah masyarakat yang sakit akibat pencemaraan udara dari

kendaraan bermotor umum berbahan bakar solar kategori bus sedang sebesar 8,4 persen (dihitung dari proporsi konsumsi solar kendaraan umum kategori bus sedang terhadap total konsumsi BBM di DKI Jakarta, yaitu 358.787 KL/4.282.882 KL);

4. Proporsi jumlah masyarakat yang sakit akibat pencemaraan udara dari kendaraan bermotor umum berbahan bakar solar kategori bus sedang tipe Metro Mini sebesar 5,3 persen (dihitung dari proporsi konsumsi solar Metro Mini terhadap total konsumsi BBM di DKI Jakarta, yaitu 225.040,2 KL/4.282.882 KL).

Ilustrasi proporsi jumlah masyarakat yang sakit tersebut di atas dapat dilihat pada Gambar 9.

Dengan demikian, jumlah masyarakat yang sakit akibat pencemaran udara dapat dihitung sebagaimana Tabel 9.

Tabel 9. Jumlah masyarakat yang sakit akibat pencemaran udara di DKI Jakarta

Jenis Penyakit D E = 60% x D F = 28,6% x E G = 8,4% x F H = 5,3% x G Asma 1.210.581 726.349 207.736 17.450 925 ISPA 2.449.986 1.469.992 420.418 35.315 1.872 Pneumonia 336.273 201.764 57.704 4.847 257 Paru obstruksi kronis 153.724 92.234 26.379 2.216 117 Total 4.150.564 2.490.338 712.237 59.828 3.171 Keterangan:

D = jumlah masyarakat yang sakit akibat pencemaran udara (orang)

E = jumlah masyarakat yang sakit akibat pencemaran udara dari kendaraan bermotor (orang) F = jumlah masyarakat yang sakit akibat pencemaran udara dari kendaraan bermotor umum

berbahan bakar solar (orang)

G = jumlah masyarakat yang sakit akibat pencemaran udara dari kendaraan bermotor umum berbahan bakar solar kategori bus sedang (orang)

H = jumlah masyarakat yang sakit akibat pencemaran udara dari kendaraan bermotor umum berbahan bakar solar kategori bus sedang tipe Metro Mini (orang)

Hasil perhitungan pada Tabel 9 apabila diilustrasikan dalam diagram pohon dapat dilihat sebagaimana Gambar 10.

Berdasarkan Tabel 9, jumlah penderita penyakit akibat pencemaran udara dari emisi Metro Mini adalah 3.171 orang yang terdiri atas penderita asma 925 orang, ISPA 1.872 orang, pneumonia 257 orang dan paru obstruksi kronis 117 orang. Menurut hasil survei ke masyarakat serta data dari Puskesmas, Dinas Kesehatan dan KLH (2013b), diketahui biaya pengobatan penyakit akibat pencemaran udara cukup bervariasi, mencakup perawatan selama penyembuhan dan pasca penyembuhan, pelayanan kesehatan, obat-obatan dan transportasi ke tempat pengobatan. Apabila dirata-ratakan dari hasil survei dan data tersebut diketahui biaya pengobatan per orang per tahun untuk penyakit asma mencapai Rp 313.716, ISPA Rp 4.774.843, pneumonia Rp 5.455.359 dan paru obstruksi kronis Rp 5.276.800. Dari data tersebut maka dapat dihitung total biaya pengobatan akibat pencemaran udara dari emisi Metro Mini dengan rumus:

J = H x I, dimana: J = Total biaya pengobatan (Rp/tahun)

H = Jumlah masyarakat yang sakit akibat pencemaran Metro Mini (orang) I = Rata-rata biaya pengobatan (Rp/orang/tahun)

Gambar 10. Diagram pohon jumlah masyarakat yang sakit akibat pencemaran udara

Hasil perhitungan pada Tabel 10 mengungkapkan bahwa total biaya pengobatan yang harus ditanggung masyarakat DKI Jakarta akibat pencemaran udara dari Metro Mini adalah sebesar Rp 11.248.391.120/tahun. Langkah berikutnya dalam proses estimasi nilai kerugian ekonomi pencemaran udara berdasarkan biaya kesehatan adalah menghitung nilai kehilangan pendapatan masyarakat akibat tidak bekerja karena sakit terkait pencemaran udara dari emisi Metro Mini. Berdasarkan hasil wawancara responden masyarakat di lima kecamatan lokasi penelitian, diketahui sebanyak 70% dari responden mengalami kehilangan pendapatan akibat tidak bekerja karena sakit yang diduga terkait pencemaran udara, dengan rata-rata pendapatan yang hilang (K) sebesar Rp 542.205/orang/tahun. Dengan demikian, nilai kerugian ekonomi akibat pencemaran udara dari kendaraan umum berbahan bakar solar khususnya Metro Mini terhadap kesehatan masyarakat dihitung dengan rumus: L = H x K x 70%, dimana:

L = Nilai kehilangan pendapatan (Rp/tahun)

H = Jumlah masyarakat yang sakit akibat pencemaran Metro Mini (orang) K = Rata-rata jumlah pendapatan yang hilang (Rp/orang/tahun)

Dengan demikian,

L = 3.171 orang x Rp 542.205/orang/tahun x 70% = Rp 1.203.532.439/tahun Analisis valuasi ekonomi untuk mengestimasi nilai kerugian ekonomi pencemaran udara berdasarkan biaya kesehatan dihitung dengan rumus 2, yaitu:

M = J + L, dimana:

M = Estimasi nilai kerugian ekonomi pencemaran udara berdasarkan biaya kesehatan masyarakat (Rp/tahun)

J = Total biaya pengobatan (Rp/tahun) L = Nilai kehilangan pendapatan (Rp/tahun) Dengan demikian,

M = Rp 11.248.391.120/tahun + Rp 1.203.532.439/tahun = Rp 12.451.923.559/tahun.

Berdasarkan hasil perhitungan di atas, diketahui estimasi nilai kerugian ekonomi pencemaran udara dari emisi Metro Mini berdasarkan pendekatan biaya kesehatan adalah sebesar Rp 12,5 milyar/tahun. Nilai ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil estimasi nilai ekonomi gangguan kesehatan akibat pencemaran PM10 dari kendaraan bermotor yang mencapai Rp 4,6 triliun/tahun

Tabel 10. Biaya pengobatan akibat pencemaran udara dari emisi Metro Mini

Jenis Penyakit

Jumlah masyarakat yang sakit akibat pencemaran Metro

Mini (orang) Rata-rata biaya pengobatan (Rp/orang/tahun) Total biaya pengobatan (Rp/tahun) H I J = H x I Asma 925 313.716 290.137.316 ISPA 1.872 4.774.843 8.937.078.112 Pneumonia 257 5.455.359 1.401.471.951 Paru obstruksi kronis 117 5.276.800 619.703.740 Total 3.171 - 11.248.391.120

(Soleiman 2008), estimasi nilai ekonomi gangguan kesehatan akibat pencemaran SO2 dan NO2 dari kendaraan bermotor yang mencapai Rp 151,665 milyar pada tahun 2012 dan diprediksi akan meningkat menjadi Rp 985,287 triliun pada tahun 2025 (Listyarini 2008), serta biaya kesehatan masyarakat akibat pencemaran udara dari emisi kendaraan bermotor hasil kajian KLH (2013b) yang mencapai Rp 38,5 triliun/tahun. Hasil perhitungan yang berbeda tersebut disebabkan oleh cakupan penelitian yang berbeda pula, dimana penelitian ini memfokuskan pada biaya kesehatan dari emisi Metro Mini, sedangkan penelitian Soleiman (2008) memfokuskan pada biaya kesehatan dari emisi PM10 kendaraan bermotor, penelitian Listyarini (2008) memfokuskan pada biaya kesehatan dari emisi SO2 dan NO2 kendaraan bermotor dan kajian KLH (2013b) memfokuskan pada biaya kesehatan dari emisi seluruh kendaraan bermotor.

Estimasi Nilai Pajak yang Menginternalisasikan Kerugian Ekonomi Pencemaran Udara

Soleiman (2008) mengemukakan bahwa penerapan kebijakan pengendalian pencemaran udara di DKI Jakarta yang cenderung berbasis sistem CAC belum menunjukkan hasil yang optimal sehingga perlu dikembangkan sistem IELH karena merupakan kebijakan terbaik dengan risiko kegagalan terkecil untuk diterapkan dalam mereduksi emisi dari kendaraan bermotor. Hal ini sejalan dengan hasil studi Laplante (2012), bahwa IELH dapat memberikan manfaat lebih besar bagi lingkungan dan masyarakat dibandingkan dengan sistem CAC yang disertai denda bagi pihak yang tidak mematuhi baku mutu atau standar pencemaran, karena umumnya pihak pencemar lebih senang membayar denda daripada mengurangi pencemaran yang ditimbulkannya. Terkait dengan hal tersebut, UU Nomor 32/2009 tentang PPLH pada pasal 43 ayat 3 telah menyebutkan pajak lingkungan hidup sebagai salah satu IELH berbentuk insentif dan/atau disinsentif bagi pihak pencemar, dimana jumlah pajak yang harus dibayarkan setara dengan jumlah pencemaran yang ditimbulkan. Dengan kata lain, semakin sedikit pencemaran yang ditimbulkan berarti semakin sedikit jumlah pajak yang harus dibayarkan dan begitu pula sebaliknya. Selanjutnya, dilakukan mekanisme penandaan (earmarking) terhadap dana yang terkumpul sehingga dapat digunakan untuk pengembangan teknologi penanggulangan pencemaran atau teknologi bersih yang meminimalisasi emisi zat pencemar dan memelihara kesehatan masyarakat.

Sebagaimana telah diketahui bahwa emisi kendaraan bermotor merupakan beban pencemar udara sehingga termasuk eksternalitas negatif yang dapat menimbulkan kerugian secara ekonomi, sosial dan lingkungan (Parry et al. 2007). Upaya internalisasi biaya pengelolaan eksternalitas tersebut pada dasarnya telah diatur dalam UU 28/2009 tentang PDRD pasal 5 yang menyebutkan bahwa dasar pengenaan PKB adalah NJKB dan bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor. Nilai bobot tersebut dinyatakan dalam koefisien: a) sama dengan 1 (satu), berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan kendaraan bermotor dianggap masih dalam batas toleransi; b) lebih dari 1 (satu), berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh

penggunaan kendaraan bermotor dianggap telah melewati batas toleransi. Sayangnya, hingga saat ini nilai bobot dalam perhitungan PKB kendaraan umum berbahan bakar solar kategori bus sedang masih diberi koefisien sama dengan 1 (satu), padahal berbagai fakta dan data pada penelitian ini telah mengungkapkan bahwa pencemaran yang ditimbulkannya telah merugikan lingkungan dan kesehatan masyarakat. Dengan demikian, diperlukan koreksi terhadap nilai bobot dalam perhitungan PKB kendaraan umum berbahan bakar solar kategori bus sedang, yang dalam penelitian ini dilakukan studi kasus terhadap jenis bus Metro Mini. Koreksi terhadap nilai bobot tersebut akan menjadi nilai tambahan terhadap PKB eksisting dengan menginternalisasikan nilai kerugian ekonomi pencemaran udara dari emisi Metro Mini berdasarkan hasil analisis valuasi ekonomi dengan pendekatan biaya per unit pencemaran dan biaya kesehatan masyarakat.

Formulasi pajak kendaraan umum menurut UU Nomor 28/2009 dan Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2010 adalah: 0,5% x NJKB x 1. Nilai 0,5% merupakan tarif pajak kendaraan umum sedangkan nilai 1 (satu) mencerminkan bobot tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan yang sudah mempertimbangkan faktor tekanan gandar (jumlah sumbu/as, roda dan berat kendaraan bermotor), jenis bahan bakar serta jenis, penggunaan, tahun pembuatan dan ciri-ciri mesin kendaraan bermotor (2 tak/4 tak/isi silinder). Sebagaimana diketahui bahwa nilai bobot sama dengan satu berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan kendaraan dianggap masih dalam batas toleransi. Dalam penelitian ini, nilai PKB akan dikoreksi dengan menginternalisasikan nilai kerugian pencemaran udara berdasarkan hasil analisis valuasi ekonomi dengan menggunakan rumus 3, yaitu:

P1 = 0,5% x NJKB x (1 + O1) atau P2 = 0,5% x NJKB x (1 + O2), dimana: P1 = PKB yang menginternalisasikan nilai kerugian ekonomi pencemaran udara dengan

pendekatan biaya per unit pencemaran (Rp/kendaraan/tahun)

P2 = PKB yang menginternalisasikan nilai kerugian ekonomi pencemaran udara dengan pendekatan biaya kesehatan masyarakat (Rp/kendaraan/tahun)

O1 = Tambahan nilai bobot berdasarkan kerugian ekonomi pencemaran dengan pendekatan biaya per unit pencemaran

Dokumen terkait