• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencemaran Udara

Menurut PP Nomor 41/1999, pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Udara ambien sendiri diartikan sebagai udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya.

Pencemaran udara merupakan penyebab beberapa masalah lingkungan seperti hujan asam, pemanasan global, rusaknya infrastruktur bangunan dan penipisan lapisan ozon. Pencemaran udara juga dapat menyebabkan kematian dan kesakitan yang kebanyakan terkait saluran pernapasan. Kerusakan pada jaringan paru-paru akan mengakibatkan peningkatan tekanan di dalam paru-paru, sehingga jantung yang berfungsi sebagai pompa di dalam sistem kardiovaskuler harus bekerja lebih keras untuk mengatasi tekanan tersebut dan dapat berakibat pada terjadinya gagal jantung (Soemirat 2011).

Sumber pencemaran udara berdasarkan distribusi spasialnya dibedakan menjadi: (1) Sumber titik (pencemar tidak bergerak) misalnya cerobong industri; dan (2) Sumber garis (pencemar begerak), misalnya aktivitas kendaraan bemotor. Pada daerah perkotaan, kendaraan bermotor menghasilkan rerata 75 persen dari seluruh pencemaran udara yang terjadi. Kendaraan bermotor merupakan pencemar sumber bergerak yang menghasilkan COx, HC yang tidak terbakar sempurna, NOx, SOx dan partikulat. Jumlah gas buang yang diemisikan oleh kendaraan ditentukan oleh kecepatan, umur dan perawatan kendaraan (Eldewisa dan Driejana 2009).

Udara yang tercemar dapat meningkatkan risiko berbagai jenis penyakit seperti ISPA (jangka pendek) dan kanker paru-paru (jangka panjang). Menurut Soedomo (2001), partikulat merupakan pencemar udara paling prevalens, terdiri dari sulfat, nitrat, amonia, natrium klorida, karbon, debu mineral dan airdalam bentuk suspensi berukuran kurang dari 0,01 mikron hingga 100 mikron. Oksida nitrogen berupa NOx, diemisikan dari pembuangan pembakaran pada temperatur tinggi. Dengan adanya HC pada siang hari akibat radiasi foton ultra violet, senyawa ini akan membentuk ozon fotokimia (photochemical smog) berwarna coklat kemerahan dan berbau tajam yang dapat menyebabkan kerusakan paru-paru dan mengganggu syaraf pusat. Tidak sempurnanya pembakaran pada mesin kendaraan bermotor karena kekurangan oksigen dapat membentuk pencemar CO yang bersifat tidak berbau, tidak berasa dan pada suhu udara normal berbentuk gas yang tidak berwarna. Konsentrasi CO yang tinggi di udara dapat meningkatkan jumlah kematian, menyebabkan kerusakan otak dan tekanan fisiologikal, terutama pada penderita penyakit jantung dan keracunan darah (Maryanto et al. 2009). Proses pembakaran BBM juga mengemisikan SOx dengan kandungan 1-5 persen. Gas yang berbau tajam tapi tidak berwarna ini dapat menimbulkan serangan asma, insendensi penyakit pernafasan (bronchitis, emphysema), meningkatkan tingkat morbiditas dan jika bereaksi di atmosfir akan membentuk zat asam (Tarigan 2009).

Emisi Kendaraan Bermotor dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Emisi kendaraan bermotor adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari pembakaran BBM pada kendaraan bermotor yang masuk/dimasukkan ke dalam udara ambien melalui pipa pembuangan (knalpot). Setelah berada di udara, zat-zat yang terkandung dalam gas buang kendaraan bermotor dapat berubah karena terjadinya suatu reaksi kimia di atmosfer dan menghasilkan produk akhir dengan tingkat reaktivitas yang berbeda dari senyawa aslinya. Emisi yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor dapat terbagi dalam tiga kategori yaitu: (1) Hot emission, yaitu emisi yang dihasilkan selama kendaraan beroperasi pada kondisi normal; (2) Start emission, yaitu emisi yang dikeluarkan hanya pada saat kendaraan mulai berjalan; dan (3) Evaporation emission, yang dapat terjadi dalam berbagai cara misalnya saat pengisian bahan bakar dan peningkatan temperatur harian (Kusminingrum dan Gunawan 2008).

Proses pembakaran pada mesin kendaraan bermotor (sumber bergerak) relatif tidak sesempurna pembakaran pada mesin industri (sumber tidak bergerak/stasioner) sehingga menghasilkan polutan pada kadar yang lebih tinggi. Emisi gas buang kendaraan bermotor juga langsung masuk ke dalam lingkungan yang relatif lebih dekat dengan masyarakat dibandingkan dengan emisi gas buang dari cerobong industri. Oleh karena itu, masyarakat yang tinggal atau beraktifitas di sekitar jalan yang padat lalu lintas kendaraan bermotor akan terpajan oleh polutan dengan kadar yang relatif tinggi dibandingkan masyarakat di sekitar lokasi industri (Rahmawati 2009).

Menurut OECD (2011), sebanyak 3,5 juta orang meninggal setiap tahun di seluruh dunia akibat pencemaran udara. Lebih dari 50 persen kematian tersebut disebabkan oleh sektor transportasi, khususnya emisi kendaraan berbahan bakar solar. Penyebab utama kematian adalah polutan PM10 dan NOx yang dapat menyebabkan asma, kanker paru-paru, gangguan pernafasan, hati dan jantung. Nilai kerugian masyarakat akibat kehilangan kesempatan hidup yang disebabkan oleh pencemaran udara mencapai 1,6 juta US$/tahun. Di perkotaan Asia, dilaporkan lebih dari 530.000 kematian terjadi akibat polusi udara setiap tahun (CAI Asia 2007).

Sebelumnya orang selalu mengira bahwa epidemi hanya dapat disebabkan oleh penyakit menular (perantara makhluk hidup). Pada kenyataannya, penyakit jantung dan paru-paru yang bersifat tidak menular dapat terjadi secara epidemis akibat pencemaran udara (perantara zat tak hidup). Selain itu, zat pencemar akan masuk ke jaringan tubuh lain, misalnya sistem saraf. Pencemar udara di dalam troposfir terutama akan berpengaruh pada sistem pernapasan, kardiovaskuler, kulit, mata dan selaput lendir. Sistem pernapasan akan mengerut (spasme) bila masuk benda asing atau gas yang bersifat iritatif. Akibatnya, tekanan vaskuler meningkat dan dapat menimbulkan kelainan seperti fibrosis dan granuloma. Tetapi tidak jarang, gejala yang timbul tidak berupa penyakit paru-paru tetapi berupa gejala penyakit umum seperti demam, infeksi, asfiksia, kanker dan keracunan yang bersifat sistemik (Soemirat 2011).

Soleiman (2008) mengemukakan bahwa komponen utama gas buang mesin berbahan bakar solar yang membahayakan adalah asap hitam (jelaga/soot) yang terbentuk akibat pembakaran yang tidak sempurna dan seringkali bersifat karsinogenik. Mesin tersebut juga akan menghasilkan polutan berupa partikulat (PM10) yang dapat terhisap ke dalam sistem pernafasan sampai ke dalam alveoli dan menyebabkan kontraksi penyempitan saluran pernapasan, kerusakan paru-paru hingga meningkatkan risiko kematian. Pada konsentrasi 140 μg/m3

, PM10 dapat menurunkan fungsi paru-paru pada anak-anak, sementara pada konsentrasi 350 μg/m3

dapat memperparah kondisi penderita bronchitis. PM10 juga merupakan sumber utama haze (kabut asap) yang menurunkan visibilitas (mengurangi jarak pandang) dan menyebabkan iritasi mata. Terdapat beberapa jenis logam yang terkandung dalam PM10 di udara, diantaranya adalah timbal (Pb), cadmium (Cd), nikel (Ni) dan merkuri (Hg). Keempat jenis logam tersebut umumnya akan mengganggu sistem pernapasan (batuk, bronchitis, asma dan emphysema), menyebabkan kanker paru-paru dan radang otak.

Polutan NOx adalah kontributor utama smog (smoke dan fog) yaitu asap dan kabut fotokimia yang merupakan hasil reaksi dengan senyawa organik volatil (mudah menguap) membentuk O3 dan oksidan lainnya seperti peroksiasetilnitrat (PAN). Bila bersamaan dengan air hujan, reaksi tersebut menghasilkan asam nitrat yang menyebabkan deposisi/hujan asam. Smog fotokimia berbahaya bagi kesehatan manusia karena menyebabkan kesulitan bernafas pada penderita asma, batuk-batuk dan berbagai gangguan sistem pernapasan, serta menurunkan jarak pandang (Marshall et al. 2009). Udara yang mengandung gas NO dalam batas normal relatif tidak berbahaya, kecuali bila gas NO berada dalam konsentrasi yang sangat tinggi maka dapat menyebabkan gangguan pada sistem syaraf yang mengakibatkan kejang-kejang. NO adalah hemotoksin (mengikat sel darah merah), dapat menyebabkan gangguan syaraf pusat, menimbulkan iritasi tenggorokan, mata dan hidung. Gas NO akan menjadi lebih berbahaya apabila teroksidasi menjadi gas NO2. Sifat racun (toksisitas) gas NO2 empat kali lebih kuat daripada toksisitas gas NO. Organ tubuh yang dapat terkontaminasi gas NO2 adalah membran mukosa dan jaringan paru-paru yang dicapai melalui aliran darah

(Listyarini 2008). Gas NO2 dengan kadar 30-50 ppm akan menimbulkan sukar tidur dan batuk-batuk. Konsentrasi NO2 yang berkisar antara 50-100 ppm dapat menyebabkan peradangan paru-paru bila orang terpapar selama beberapa menit saja. Pada fase ini orang masih dapat sembuh kembali dalam waktu 6-8 minggu. Konsentrasi 150-200 ppm dapat menyebabkan pemampatan bronkhioli sehingga orang dapat meninggal dalam waktu 3-5 minggu setelah pemaparan. Konsentrasi lebih dari 500 ppm dapat mematikan dalam waktu 2-10 hari (Soemirat 2011).

Polutan lain dari emisi kendaraan solar adalah CO yang memiliki karakteristik biologis berupa kemampuan untuk berikatan dengan haemoglobin (Hb) yaitu sel darah merah yang mengangkut O2 ke seluruh tubuh. Menurut Needlemen dan Gatsonis (1996), sifat ini menghasilkan pembentukan karboksihaemoglobin (HbCO) yang 200 kali lebih stabil dibandingkan oksihaemoglobin (HbO2). Secara langsung hal ini akan menyebabkan pasokan O2 ke seluruh tubuh menurun tajam sehingga melemahkan kontraksi jantung dan menurunkan volume darah yang didistribusikan. Kondisi ini dapat menyebabkan

keracunan serta mengganggu metabolisme otot dan fungsi enzim intra-seluler (Rahmawati 2009). Konsentrasi CO di udara yang mencapai 0,1 persen dapat menurunkan kapasitas darah dalam mengangkut O2 sebesar 50 persen. Jika kadar HbCO dalam darah mencapai 10-30 persen maka dapat menyebabkan sakit kepala, ketidakstabilan emosi, keletihan, mual dan muntah. Kadar HbCO dalam darah sebesar 40-60 persen dapat menyebabkan halusinasi, gangguan keseimbangan dan gerak, pingsan disertai kejang, gangguan fungsi jantung dan paru-paru. Sedangkan kadar HbCO dalam darah lebih dari 70 persen dapat menyebabkan gangguan sistem syaraf pusat dan sistem kardiovaskular, diantaranya menyebabkan perubahan tekanan darah, meningkatkan denyut jantung dan ritme jantung menjadi abnormal (gagal jantung) serta kerusakan pembuluh darah periferal (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Menurut Basuki (2007), pembakaran pada mesin diesel juga menghasilkan polutan SOx. Polutan SOx merupakan gas yang langsung dapat terabsorbsi ke dalam hidung sehingga dapat menganggu bekerjanya paru-paru (Kneese 1977). Jika konsentrasi SOx melebihi 5 ppm maka dapat menimbulkan iritasi kulit dan selaput lendir serta pada sistem pernafasan, terutama bagi orang tua dan penderita penyakit kronis kardiovaskular. Dalam kadar rendah, SO2 dapat menimbulkan spasme temporer otot-otot polos pada bronchioli yang menyebabkan bronchitis. Pada konsentrasi yang lebih besar, terjadi produksi lendir di saluran pernapasan bagian atas, dan apabila kadar SO2 bertambah tinggi lagi, maka akan terjadi reaksi peradangan yang hebat pada selaput lendir yang disertai dengan kerusakan lapisan ephitelium. Bila kadar SO2 rendah tetapi pemaparan terjadi berulang kali, maka iritasi selaput lendir yang berulang-ulang dapat menyebabkan terjadinya hiperplasia dan metaplasia sel-sel epitel yang dicurigai dapat berubah menjadi kanker.

Teori Eksternalitas

Eksternalitas adalah dampak positif (manfaat) maupun negatif (biaya) dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, tanpa ada kompensasi apapun dari pihak yang diuntungkan maupun pihak yang menimbulkan kerugian. Hal ini dikarenakan eksternalitas merupakan produk sampingan dari kegiatan ekonomi dan ditransaksikan di luar sistem pasar sehingga pembuat eksternalitas tidak memiliki insentif untuk mempertimbangkan manfaat yang dihasilkan maupun biaya yang ditimbulkan. Salah satu faktor penyebab eksternalitas adalah konsumsi barang publik yang dapat mengakibatkan terjadinya kegagalan pasar, seperti pemandangan yang indah, udara segar dan air bersih. Masalah dalam barang publik timbul karena produsen tidak dapat meminta konsumen untuk membayar atas konsumsi barang tersebut (Owen dan Anthony 2004).

Berdasarkan ciri-cirinya, barang publik memiliki dua sifat dominan yaitu: (1) Non-rivalry atau non-divisible, artinya konsumsi seseorang terhadap barang publik tidak akan mengurangi konsumsi orang lain terhadap barang yang sama; dan (2) Non-excludable, artinya sulit melarang orang lain untuk mengkonsumsi barang yang sama. Satu-satunya mekanisme untuk mengatasi permasalahan terkait barang publik adalah dengan menetapkan harga (nilai moneter) sehingga barang

publik tersebut menjadi barang privat yang dapat diperdagangkan di dalam pasar (diinternalisasikan) dengan status hak kepemilikan yang jelas. Manfaat yang diperoleh dari penetapan nilai moneter tersebut dapat digunakan untuk memelihara ketersediaan dan kualitas barang publik itu sendiri (Prasetyia 2013).

Menurut OECD (2010), pencemaran udara merupakan salah satu contoh eksternalitas negatif yang mengakibatkan inefisiensi alokasi sumber daya, yaitu kesenjangan antara manfaat dan/atau biaya sosial dengan manfaat dan/atau biaya privat (individu). Dengan demikian, diperlukan campur tangan pemerintah untuk mengatasinya melalui: (1) Kebijakan CAC, yaitu penerapan regulasi yang melarang atau mengharuskan perilaku tertentu sehingga pihak pencemar bertanggung jawab meminimalisasi dampak pencemaran yang ditimbulkannya terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar; dan/atau (2) Kebijakan berbasis pasar (market based policy) atau IELH, yaitu mekanisme internalisasi eksternalitas agar manfaat dan/atau biaya sosial sama dengan manfaat dan/atau biaya privat sehingga mempengaruhi perubahan perilaku pihak pencemar. Mekanisme tersebut dilakukan dengan cara pemberian subsidi bagi aktivitas yang menghasilkan eksternalitas positif dan penerapan pajak terhadap aktivitas yang menghasilkan eksternalitas negatif, yang disebut pajak Pigovian. Dalam hal ini, pajak Pigovian akan memberikan insentif kepada pembuat eksternalitas untuk sebanyak-banyaknya mengurangi dampak negatif (pencemaran) yang ditimbulkannya, juga mengupayakan berbagai inovasi untuk meningkatkan dampak positif dari kegiatannya, misalnya berupa perbaikan pengetahuan, ekonomi dan kesehatan.

Menurut Mankiw (2009), penerapan pajak Pigovian dapat dilakukan dengan cara: (1) Mengidentifikasi potensi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup akibat suatu kegiatan; (2) Menentukan baku mutu lingkungan berdasarkan ketersediaan pengetahuan ilmiah dan pilihan sosial; (3) Menginternalisasi biaya lingkungan ke dalam perhitungan biaya kegiatan/usaha dalam bentuk biaya pencegahan. (4) Menentukan opsi berupa: (a) pendekatan norma dan harga berdasarkan informasi mengenai fungsi biaya penyusutan marginal, atau (b) pendekatan norma dan ijin berdasarkan informasi mengenai ambang batas tingkat pencemaran dan harga yang sesuai dengan kekuatan pasar. Penerapan pajak Pigovian sebagai sistem insentif ekonomi akan berpengaruh terhadap produsen yang mencemari lingkungan, dalam hal pemilihan cara yang lebih disukai agar kegiatannya dapat memenuhi baku mutu lingkungan. Jika kegiatannya sangat mencemari lingkungan dan biaya untuk menanggulanginya sangat mahal, maka produsen tersebut dapat memilih untuk membayar pajak. Jika kegiatannya tidak terlalu mencemari lingkungan, maka produsen tersebut dapat memilih untuk memasang alat pengendali pencemaran daripada membayar pajak.

Penerapan pajak Pigovian berpengaruh terhadap pendapatan pemerintah, sehingga hasil pungutan pajak tersebut dapat digunakan untuk membiayai pengelolaan lingkungan. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penerapan pajak tersebut diantaranya: (1) Perumus kebijakan harus memahami kondisi ekonomi saat ini dan kecenderungannya di masa depan agar tidak terjadi distorsi ekonomi; (2) Terdapat otoritas legal, yaitu sistem hukum yang berlaku terkait penerapan

pajak Pigovian; (3) Terdapat kelembagaan yang jelas, berupa institusi, sumber daya manusia dan kebijakan yang mendukung; (4) Adanya kejelasan dalam penetapan subjek pajak berdasarkan jenis bahan pencemar, volume dan tingkat pencemaran/kerusakan yang ditimbulkan; (5) Adanya kejelasan mengenai pemanfaatan dana yang terkumpul secara transparan (KLH 2012b).

Valuasi Ekonomi untuk Internalisasi Eksternalitas Pencemaran Udara Menurut Fauzi (2014), valuasi ekonomi merupakan analisis ex-ante dalam penyusunan skenario intervensi kebijakan publik, misalnya penentuan strategi harga yang tepat dalam penggunaan mekanisme kebijakan fiskal seperti pajak Pigovian. Panduan Valuasi Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (SDALH) yang diterbitkan KLH (2007) mengemukakan bahwa penentuan harga tersebut dilakukan dengan menghitung nilai total degradasi (NTD) untuk mengetahui biaya yang perlu dibayarkan kepada pihak yang terkena dampak pencemaran dan/atau kerusakan SDALH sehingga pihak tersebut menjadi pulih/tidak mengalami keadaan yang lebih buruk. Berbagai pilihan metode valuasi ekonomi NTD yang dapat digunakan berdasarkan fungsi dan manfaat SDALH yang terganggu ditunjukkan dalam Gambar 5.

Berdasarkan Gambar 5, beberapa pilihan metode valuasi ekonomi NTD SDALH yang dapat digunakan untuk mengukur perubahan kualitas udara dan efek kesehatan diantaranya:

1. Teknik Biaya Pencegahan (Prevention Cost Expenditure)

Teknik ini menghitung NTD berdasarkan hal-hal yang disiapkan masyarakat untuk mencegah pencemaran dan/atau kerusakan SDALH. Keunggulan dari teknik ini adalah: (1) upaya pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan SDALH dapat diamati dengan relatif mudah; serta (2) informasi mengenai pengeluaran untuk biaya pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan SDALH umumnya dapat diamati melalui pasar sehingga dapat diperoleh dengan relatif mudah pula. Adapun kekurangan dari teknik ini yaitu hanya bermanfaat untuk mempertahankan kualitas lingkungan sehingga tidak bertambah buruk maupun membaik. Tahapan pelaksanaan teknik ini adalah:

a. Menentukan cara untuk melakukan pencegahan (meminimalkan dampak) pencemaran dan/atau kerusakan SDALH, misalnya bermigrasi ke daerah yang kualitas lingkungannya lebih baik.

b. Mengestimasi biaya yang harus disiapkan untuk mengaplikasikan cara tersebut dengan mengidentifikasi harga pasar dari setiap komponen yang dibutuhkan, misalnya biaya transportasi dan biaya sewa tempat tinggal di daerah tujuan migrasi.

c. Menjumlahkan semua nilai pengeluaran untuk melaksanakan cara tersebut. 2. Teknik Biaya Penggantian (Replacement Cost)

Teknik ini secara umum mengidentifikasi pengeluaran untuk biaya perbaikan/penggantian SDALH yang cemar dan/atau rusak sehingga dapat mencapai/mendekati kondisi semula. Beberapa syarat penggunaan teknik ini yaitu: (1) Penggantian fungsi/kualitas SDALH harus sama atau hampir sama dengan fungsi/kualitas SDALH yang telah cemar dan/atau rusak; (2) Penggantian harus dapat mengganti manfaat yang hilang akibat SDALH yang terganggu, bukan akibat penggunaan SDALH yang dilakukan secara normal; (3) Upaya penggantian SDALH harus memberikan nilai manfaat yang lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan. Tahapan pelaksanaan teknik ini yaitu:

a. Mengidentifikasi fungsi/kualitas SDALH yang cemar dan/atau rusak menggunakan kriteria baku mutu sesuai peraturan yang berlaku.

b. Menentukan pengganti fungsi/kualitas SDALH yang cemar dan/atau rusak. c. Menyiapkan data fisik dan harga pasar untuk setiap komponen yang

dibutuhkan sehubungan dengan penggantian fungsi/kualitas SDALH.

d. Memilih besarnya biaya yang paling murah untuk merehabilitasi SDALH yang cemar dan/atau rusak.

e. Menentukan lamanya waktu rehabilitasi SDALH yang dibutuhkan untuk kembali mendekati keadaaan semula.

f. Menghitung jumlah nilai moneter untuk menciptakan/menggantikan semua fungsi dan manfaat SDALH.

3. Pendekatan Modal Manusia (Human Capital)

Pada pendekatan ini, valuasi ekonomi dilakukan untuk memberikan harga modal manusia yang terkena dampak akibat perubahan kualitas SDALH. Pendekatan ini dapat menggunakan harga pasar sesungguhnya atau harga bayangan. Pendekatan ini dapat dilakukan melalui teknik:

Teknik ini menghitung kerugian berupa pendapatan yang hilang akibat perubahan fungsi/kualitas SDALH yang berdampak pada kesehatan manusia. Tahapan pelaksanaannya yaitu:

 Memastikan bahwa terjadi dampak yang signifikan terhadap kesehatan manusia akibat adanya perubahan fungsi/kualitas SDALH sehingga menyebabkan seseorang kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendapatan.

 Mengidentifikasi sumber pendapatan yang hilang akibat terganggunya kesehatan masyarakat, misalnya upah yang hilang selama sakit.

 Mengidentifikasi lamanya waktu yang hilang akibat gangguan kesehatan yang terjadi.

 Menghitung seluruh potensi hilangnya pendapatan. b. Biaya Kesehatan (Medical Cost/Cost of Illness)

Salah satu dampak negatif dari perubahan kualitas lingkungan adalah menurunnya kondisi kesehatan masyarakat. Valuasi ekonomi melalui teknik biaya pengobatan dapat dilakukan menurut tahapan pelaksanaan berikut ini:

 Mengidentifikasi gangguan kesehatan yang terjadi sehingga memerlukan biaya untuk pengobatan dan/atau menimbulkan kerugian akibat penurunan produktifitas kerja.

 Mengidentifikasi biaya pengobatan yang dibutuhkan secara keseluruhan, misalnya perawatan di rumah sakit, perawatan selama penyembuhan dan pasca penyembuhan, pelayanan kesehatan lain dan obat-obatan.

 Mengidentifikasi kerugian akibat penurunan produktifitas kerja karena sakit, misalnya dengan pendekatan tingkat upah dan nilai kehilangan waktu akibat tidak bekerja.

 Menghitung total biaya pengobatan dan penurunan produktifitas kerja. Apabila perubahan kualitas lingkungan menyebabkan kematian, maka nilai kematian dapat dihitung dengan pendekatan nilai ganti rugi sebagaimana yang dihitung oleh lembaga asuransi.

4. Keefektifan Biaya Penanggulangan (Cost of Effectiveness Analysis of Prevention)

Teknik ini dilakukan apabila perubahan fungsi/kualitas SDAL tidak dapat diduga nilainya, namun dipastikan bahwa tujuan penanggulangannya penting untuk dicapai dengan biaya yang paling efektif. Teknik ini dapat diterapkan untuk mengetahui nilai moneter dari suatu efek kesehatan dan perubahan kualitas air/udara. Tahapan pelaksanaan teknik ini yaitu:

a. Menetapkan target tingkat perubahan fungsi/kualitas SDAL, misalnya tingkat pencemaran maksimum yang dapat diterima.

b. Menetapkan berbagai alternatif untuk mencapai target.

c. Mengevaluasi berbagai alternatif dan memilih alternatif biaya yang terkecil. 5. Pendekatan Benefit Transfer

Metode benefit transfer merupakan metode sekunder dalam melakukan valuasi ekonomi SDAL yang dapat digunakan apabila terdapat banyak kendala dalam penghitungan fungsi/kualitas SDAL, berupa kendala keuangan, ketersediaan data, waktudan kendala lainnya. Metode ini digunakan untuk menduga nilai moneter SDAL dengan cara meminjam hasil studi/penelitian di

tempat lain dengan karakteristik dan tipologi yang sama/mirip. Penggunaan

benefit transfer harus memperhatikan: (1) Deskripsi kualitatif dalam analisis yang akan disusun; (2) Nilai manfaat langsung dan tidak langsung yang kadangkala berbeda nilainya pada berbagai hasil studi; (3) Proyek besar atau dengan dampak lingkungan yang besar maupun proyek kecil dengan dampak lingkungan yang serius, memerlukan alat analisis yang lebih akurat (metode primer) daripada

benefit transfer; (4) Perlu dilakukan penyesuaian dalam nilai pendapatan per orang, hak milik, harga SDAL, institusi, budaya, iklim, dan lain-lain karena kebanyakan hasil kajian valuasi ekonomi dilakukan di negara maju. Tahapan pelaksanaan benefit transfer yaitu:

a. Menyeleksi dan menelaah pustaka yang nilai dan analisisnya akan digunakan dalam kajian yang sedang dilakukan. Selain itu, jika memungkinkan dikaji pula lokasi dan penduduk sekitar studi kasus, terkait dengan nilai ekonomi langsung dan tidak langsung yang menggambarkan perbedaan preferensi, sosial, ekonomi, budaya dan sebagainya.

b. Menyesuaikan nilai-nilai pada hasil kajian pustaka dengan kondisi kajian yang sedang dilakukan, misalnya mengubah nilai moneter pada suatu fungsi/kualitas SDAL, melakukan penyesuaian dengan tingkat sensitivitas, dan lain-lain.

c. Melakukan kalkulasi nilai per unit per waktu dan total nilai yang didiskonto selama jangka waktu manfaat fungsi/kualitas SDAL tersebut akan ada.

Dokumen terkait